Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN ….…………………………………………………….

2.1 Definisi ………………………..……………………………………………..

2.2 Insidensi ...……………………………...……………………………………

2.3 Etiologi …….………………...………………………………………………

2.4 Patofisiologi ...…………………………....………………………………….

2.5 Gejala Klinik …...……………………………………………………………

2.6 Diagnosis ………………………………………………….…………………

2.7 Terapi pada Neoplasia Intraepitelial Serviks …..……………………………

BAB III PENUTUP ……………...….....………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA ………...............................................................................

2
BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia, kanker serviks merupakan keganasan yang paling banyak ditemukan dan
merupakan penyebab kematian utama pada perempuan.(1,2) Sekitar 50-80% wanita terinfeksi
oleh human papillomavirus (HPV) sepanjang masa hidupnya.(1) Berdasarkan data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2008 diperkirakan setiap harinya ada 38 kasus baru kanker
serviks dan 21 orang perempuan yang meninggal karena kanker serviks di Indonesia.(2)
Kanker serviks di Indonesia, 60-70% ditemukan dalam stadium lanjut.(1) Hasil penelitian
di pusat pelayanan primer di lima wilayah DKI Jakarta didapatkan korelasi lemah antara
pengetahuan dan perilaku mengenai deteksi dini kanker serviks.(3) Penemuan dan terapi pada
fase lesi prakanker ternyata dapat mencegah kejadian kanker serviks dengan keberhasilan
mendekati 100%.(2) Namun setelah kanker terbentuk, prognosis tergantung pada stadium
sebagai berikut: stadium 0 (prainvasif), 100% ; stadium 1, 90%; stadium 2, 82% stadium 3, 35%
; dan stadium 4, 10%.(4)
Lesi pra kanker yang dikenal dengan neoplasia intraepitelial serviks (NIS) merupakan
perubahan diplastik epitel serviks secara dini yang mendahului sebelum terjadinya kanker
invasif.(4) Infeksi oleh HPV terutama HPV risiko tinggi (HR-HPV) tipe 16 atau tipe 18, adalah
penyebab utama dari NIS.(4) Berdasarkan gambaran histologi, NIS dapat dibagi menjadi 3
kategori: displasia ringan (NIS 1), displasia sedang (NIS 2) dan displasia berat/karsinoma in situ
(NIS 3).(4,5) Perkembangan dari derajat yang lebih rendah ke yang lebih tinggi tidak selalu
terjadi. Semakin berat derajat NIS semakin besar peluang berkembang menjadi kanker.(4)
Kematian akibat penyakit ini dapat dicegah bila program skrining dan pelayanan
kesehatan diperbaiki. Sejak tahun 2001 kanker serviks ini masih merupakan penyebab utama
kematian perempuan dan kasusnya turun secara drastis sebaliknya insidensi NIS meningkat oleh
perbaikan penemuan kasus semenjak diperkenalkan teknik skrining Papsmear oleh George N.
Papaniculou.(4)

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Neoplasma intraepitel serviks (NIS) merupakan lesi premaligna yang terbentuk dari
transformasi sel skuamosa pada permukaan serviks.(2,4) NIS biasanya dapat disembuhkan pada
sebagian kasus NIS yang stabil atau dieliminasi oleh sistem kekebalan tubuh. Namun, sebagian
kecil kasus NIS, jika tidak diobati, dapat berkembang menjadi kanker serviks.(6)

2.2 INSIDENSI

Kanker serviks adalah salah satu dari empat kanker terbanyak pada wanita. Ada sekitar
266.000 kematian akibat kanker serviks di seluruh dunia pada tahun 2012 dan sembilan dari
sepuluh (87%) kematian akibat kanker serviks terjadi di daerah-daerah tertinggal.(7) Di Amerika
Serikat 7% hasil tes Paps Smear ditemukan epitel yang abnormal dengan berbagai derajat
histologi NIS.(8)
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 diperkirakan
setiap harinya ada 38 kasus baru kanker serviks dan 21 orang perempuan yang meninggal karena
kanker serviks di Indonesia. Pada tahun 2025 diperkirakan kasus baru kanker serviks di
Indonesia akan meningkat sebesar 74%.(2)

2.3 ETIOLOGI

Human papillomavirus (HPV) merupakan penyebab utama neoplasia intraepitelial serviks


(NIS).(2-6) Lesi prakanker dapat dengan spontan kembali ke normal, menjadi stabil dalam waktu
yang lama atau berlanjut menjadi displasia dengan derajat lebih tinggi yang kemudian dapat
berkembang menjadi kanker invasif.(4,8) Observasi dari Hall dan Walton mengenai progresivitas
NIS yang 6% dengan displasia ringan, 13% dengan displasia sedang dan 29% dengan displasia
berat didapati bahwa displasia ringan 62% menurun bahkan menghilang namun 19% menjadi
displasia berat. Penelitian Castle juga menunjukkan bahwa 40% NIS 2 menurun secara spontan
selama 2 tahun.(8)

2
Tabel 2.3.1 Perjalanan Alamiah Lesi Prakanker Serviks(8)
Regresi (%) Persisten (%) Progres ke NIS Progres ke
III (%) Karsinoma (%)
NIS 1 57 32 11 1
NIS 2 43 35 22 5
NIS 3 32 < 56 - > 12
Keterangan : NIS = Neoplasia Intraepitelial Serviks

Penyebab terbanyak NIS adalah infeksi kronis serviks oleh HPV melalui hubungan
seksual.(6) HPV tipe resiko tinggi untuk menjadi kanker adalah tipe 16 dan 18 yang memiliki
gen yang setelah terintegrasi ke genom sel pejamu, mengkode protein yang menghambat atau
menginaktifkan gen penekan tumor TP53 dan RB1 di sel epitel sasaran serta mengaktifkan gen
terkait siklus sel, seperti siklin E sehingga terjadi proliferasi sel yang tidak terkendali.(4)
HPV diketahui sebagai penyebab utama keganasan serviks melalui dua protein virus,
yaitu E6 dan E7, yang bekerja menginaktivasi tumor supresor utama p53 dan protein
retinoblastoma (pRb).(9) E6 mempunyai kemampuan yang khas mampu berikatan dengan p53
yaitu protein yang termasuk supresor tumor yang meregulasi siklus sel baik pada G1/S maupun
G2/M. Pada saat terjadi kerusakan DNA, p53 teraktifasi dan meningkatkan ekspresi p21,
menghasilkan cell arrest atau apoptosis. Proses apoptosis ini juga merupakan cara pertahanan sel
untuk mencegah penularan virus pada sel-sel didekatnya. Kebanyakan virus tumor menghalangi
induksi apoptosis. E6 membentuk susunan kompleks dengan regulator p53 seluler ubiquitin
ligase / E6AP yang meningkatkan degradasi p53. E6 juga menurunkan aktifitas p53 melalui
CBP/p300, koaktifator p53. Inaktifasi p53 menghilangkan kontrol siklus sel, arrest dan
apoptosis. Penurunan p53 menghalangi proses proapoptotik, sehingga terjadi peningkatan
proliferasi. E7 berbeda dengan E6 yang tidak hanya dapat menyebabkan lesi displasia yang low-
grade tetapi juga high-grade. Protein E7 mampu berikatan dengan famili Rb yang lebih kuat pada
high-risk yang disebabkan oleh perbedaan susunan asam amino pada domain CR2 yang
memediasi ikatan terhadap Rb. Protein Rb berfungsi untuk mencegah perkembangan siklus sel
yang berlebihan sampai sel siap membelah diri dengan baik. pRb yang tidak berfungsi
menyebabkan proliferasi sel. pRb terikat dengan faktor transkripsi E2F-DP. Protein Rb terdiri
dari 3 protein Rb, p107 dan p120, dimana Rb diekspresikan sepanjang siklus sel, p107 disintesis

2
terutama selama fase S, sedangkan p130 terutama saat G0. pRb yang tidak difosforilasi
membentuk kompleks dengan faktor transkripsi E2F/DP yang terikat dengan promoter gen yang
terlibat dalam proses fase S yang mengakibatkan represi transkripsi. pRb yang berikatan dengan
E7 melepaskan ikatannya dengan E2F-DP dan menyebabkan replikasi pada sel suprabasal.(10)

Gambar 2.3.1 Struktur HPV(10)

2
Gambar 2.3.2 Cara kerja protein E6 dan E7 HPV(10)

Penelitian juga mengatakan bahwa matrix metalloproteinase 9 (MMP-9) merupakan


enzim proteolitik yang diduga berperan penting dalam proses progresivitas lesi prakanker
menjadi kanker serviks.(12) Kadar MMP-9 yang tinggi akan menyebabkan proses degradasi
jaringan serviks menjadi lebih cepat dan mempermudah proses invasi sel kanker. Faktor-faktor
lain yang berkontribusi terhadap risiko terkena kanker serviks yaitu usia, jumlah pasangan
seksual seumur hidup, merokok, penggunaan jangka panjang dari kontrasepsi hormonal dan
kehamilan.(4,6,8,13)

2
2.4 PATOFISIOLOGI

Neoplasma intraepitel serviks (NIS) atau lesi prakanker merupakan perubahan pada sel
epitel di daerah transformasi dari serviks menjadi bentuk abnormal oleh karena terpapar dengan
infeksi HPV.(14) Jenis virus HPV 16 dan HPV 18 memiliki peran penting dalam perkembangan
kanker serviks. Karsinoma sel squamosal serviks menggambarkan hasil dari perkembangan
displasia atipik yang progresif pada epitel metaplastik di zona transformasi.(5)
Serviks dan vagina berasal dari duktus Mulleri yang pada awalnya berada dalam barisan
yang terdiri dari 1 lapis epitel kolumnar. Pada saat usia kehamilan 18-20 minggu, epitel
kolumnar pada daerah vagina akan mengalami kolonisasi dan tumbuh ke atas. Hubungan antara
epitel skuamosa pada vagina dan daerah ektoserviks dengan epitel kolumnar pada daerah kanalis
endoserviks disebut hubungan skuamokolumnar original.(5)
Endoserviks dilapisi oleh epitel kolumnar yang mengeluarkan lendir. Ektoserviks ditutupi
oleh lapisan epitel skuamosa yang tidak mengalami keratinisasi. Pada wanita menopause dan
prapubertas lapisan superfisial menjadi atrofi dengan terutama basal dan sel-sel parabasal dengan
rasio nukleosida-sitoplasma tinggi yang menyerupai displasia. Pada daerah skuamokolumnar
yaitu batas antara skuamosa dan kelenjar (kolumnar) epitel memenuhi daerah ini yang biasanya
menjadi diplasia serviks yang terjadi di ektoserviks. Zona transformasi atau disebut ektropion
merupakan skuamokolumnar dan perbatasan metaplastik epitel skuamosa dimana terjadi
epidermalisasi dan diferensiasi sel-sel skuamosa yang bertransformasi menjadi epitel skuamosa;
sel skuamosa karsinoma sel dan displasia.(6)
Peningkatan sekresi estrogen saat pubertas dan kehamilan pertama menyebabkan
peningkatan volume serviks dan merupakan suatu eversi dari epitel kolumnar endoserviks ke
penempatan ektoserviks. Eversi dari epitel kolumnar menjadi ektoseviks dikenal dengan
ektropion dan kesalahan dari ektropion disebut erosi. Kerusakan pada epitel kolumnar yang
tereversi disebabkan oleh kadar keasaman yang dihasilkan oleh proliferasi dari cadangan sel
stroma epitel kolumnar dasar yang akan digantikan dengan epitel imatur, undifferentiated,
stratified, skuamosa dan epitel metaplastik. Hubungan linier original antara epitel skuamosa dan
kolumnar tergantikan oleh zona metaplasia skuamosa pada variasi derajat maturasi yang dikenal
dengan sambungan skuamokolumnar.(5)
Sambungan skuamokolumnar yang baru merupakan daerah yang tidak stabil. Epitel
metaplastik skuamosa dewasa sering digantikan dengan batas distal dari epitel kolumnar.

2
Metaplastik epitelium imatur pada sambungan skuamokolumnar baru tidak termasuk dalam
pengertian zona transformasi tetapi adanya epitel tersebut memberikan risiko terbesar untuk
transformasi neoplastik pada masa yang akan datang.(5)

2.5 GEJALA KLINIK

Tidak ada gejala dan tanda yang spesifik dari neoplasia intraepitelial serviks. Diagnosis
hanya dapat dibuat jika telah dilakukan pemeriksaan sitologi. Jika telah terjadi kanker maka
dapat timbul gejala metrorhagia, pendarahan pasca senggama, ulserasi serviks. Dapat juga
ditemukan cairan yang berbau, purulent. Gejala lanjutan dapat terjadi gangguan buang air besar
dan buang air kecil ataupun fistula.
Tabel 2.5.1 Klasifikasi neoplasia intraepitelial serviks(16)

Ket: CIN/NIS: cervical intraepithelial neoplasia / neoplasia intraepitelial serviks; LISDR: Lesi
Intraepitel Skuamosa Derajat Rendah; LISDT: Lesi Intraepitel Skuamosa Derajat Tinggi; ASC-
US: atypical squamous cells of undetermined significance; ASC-H: atypical squamous cells:
cannot exclude a high-grade squamous epithelial lesion.
Keterangan
1. Negatif (Kelas I): hasil apusan negatif tanpa adanya sel abnormal atau tidak dapat
terlihat. Hasil apusan bersih dan tidak terdapat sel inflamasi dan tidak memiliki bukti
keganasan (kanker).(14)

2. Atipikal (Kelas II): Hal ini lebih lanjut dibagi menjadi dua istilah: sel Atypical squamous
cells, cannot exclude high grade lesions (ASC-H) dan atypical squamous cells of
uncertain significance (ASC-US).

2
Kriteria sitologi untuk diagnosis ASC-US termasuk pembesaran inti ukuran 2,5-3
kali lipat dari sel intermediate dengan sedikit peningkatan rasio inti / sitoplasma, terdapat
variasi ringan dalam ukuran inti dan kontur, dan sedikit hiperkromasia dengan kromatin.
Kriteria sitologi untuk ASC-H yaitu sel skuamosa dengan inti membesar dan kurang
sitoplasma dengan kontur inti tidak teratur. Mungkin ada bukti regenerasi sel-sel pada
serviks atau perubahan sel yang berhubungan dengan infeksi atau trauma persalinan.
Tergantung pada deskripsi lain ahli patologi mungkin diperlukan pengobatan untuk
infeksi, pengecekan ulang PAP smear, tes DNA, observasi, atau tes diagnostik dengan
kolposkopi. (14,15)
3. Low-grade squamous intraepithelial lesion (Kelas III, displasia ringan): Klasifikasi ini
untuk sel-sel abnormal, yang dapat dianggap sebagai displasia ringan atau dengan ringan
potensial "premaligna". Jika dibiarkan saja, perubahan ini mungkin kembali ke normal,
mungkin tetap sama, atau bisa berkembang menjadi keganasan selama periode tahunan.
Interval untuk pengembangan keganasan dari displasia adalah dari 3 sampai 10 tahun.
(14)
4. High-grade squamous intraepithelial lesion (Kelas III, IV): Klasifikasi ini merupakan
indikasi dari perubahan tingkat tinggi prakanker. Evaluasi dilakukan dengan
menggunakan kolposkopi. Pengobatan dengan pembekuan atau eksisi biasanya
diperlukan. (14)

5. Kanker (Kelas V): Klasifikasi ini menunjukkan probabilitas tinggi kanker dan diperlukan
evaluasi lengkap untuk menentukan sejauh mana lesi kanker. Sebuah rencana perawatan
untuk hasil terbaik dapat ditentukan. (14)
2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 Pemeriksaan Sitologi
WHO merekomendasikan usia wanita untuk diskrining antara usia 30 tahun atau
lebih, dan termasuk wanita muda dengan mempunyai faktor resiko tinggi karena hanya
sebagian kecil dari infeksi HPV yang menetap selama bertahun-tahun dapat
menyebabkan kanker invasif. Kanker serviks biasanya berkembang 10-20 tahun dari awal
prakanker menjadi kanker invasif. Namun skrining kanker serviks dapat pada wanita usia
muda yang mempunyai bukti risiko tinggi untuk terjadi NIS 2. Bila skrining dengan

2
inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) atau sitologi hasilnya negatif dapat diperiksa
kembali 3-5 tahun.(16)
Pada pemeriksaan sitologi, spesimen yang diambil yaitu dari dari sel serviks
bagian luar (ektoserviks) dan kanalis servikalis (endoserviks) yang menggunakan
prosedur pewarnaan sel vagina dan servikal untuk memberikan gambaran yang jelas dari
kromatin inti sehingga dapat ditentukan perubahan sel-sel serviks yang mengarah pada
infeksi, radang, atau sel-sel abnormal dalam serviks.(16)
2.6.2 Kolposkopi
Pada perempuan dengan ASC-US dan skrining HPV negatif, maka pemeriksaan
dengan kolposkopi perlu dilakukan.(17) Kolposkopi adalah pemeriksaan serviks, vagina
dan vulva dengan melihat serviks pada pembesaran 10-20 kali maka dapat terlihat ukuran
dan batas dari lesi abnormal pada permukaan serviks. Pada kolposkopi, serviks dioles
dengan larutan asam asetat 3-5% atau lugol untuk membersihkan lendir yang meliputi
permukaan serviks. Perubahan yang dapat terjadi yaitu adanya bercak putih dan vaskuler
yang atipik yang menandakan adanya aktivitas selular yang hebat. Kolposkopi digunakan
sebagai alat diagnostik yang memiliki sensitivitas tinggi (sekitar 85%) dan spesifiktas
sekitar 70% untuk deteksi prakanker dan kanker. Kolposkopi digunakan untuk
mengevaluasi prakanker dan lesi kanker, membantu mengidentifikasi luasnya lesi,
memandu biopsi dan membantu pengobatan dengan krioterapi atau LEEP.(16)

2
2
Gambar 2.6.2.1 Epitel squamous dan epitel kolumnar pada serviks(18)

2
Gambar 2.6.2.2 Serviks abnormal (18)
Tabel 2.6.2.1 Klasifikasi kolposkopi epitel serviks abnormal(5)
Tabel 2.6.2.1 Klasifikasi kolposkopi epitel - Epitel skuamosa asli
serviks abnormal(5) Temuan kolposkopi - Epitel kolumnar
normal - Zona transformasi normal
Temuan kolposkopi abnormal - Epitel acetowhite-flat, mikropapiler atau
(pada zona transformasi) microconvoluted
- Punktasi
- Mosaik
- Yodium negatif
- Pembuluh darah atipik
Kolposkopi suspek kanker invasif - Sambungan skuamokolumnar tidak
(kolposkopi tidak memuaskan) tampak
- Inflamasi berat atau atrofi berat
- Serviks tidak tampak

2
Temuan miscellaneous - Permukaan mikropapiler yang tidak
berwarna putih
- Kondiloma eksofitik
- Inflamasi
- Atrofi
- Ulkus

Tabel 2.6.2.2 Indeks kolposkopi Coppleson(5,18)


Kategori Temuan
Tidak signifikan Gambaran acetowhite epitel tidak jelas
atau semitransparan. Batas tidak jelas,
dengan atau tanpa caliber pembuluh darah
(fine punctuation/fine mosaic), dengan
pola yang teratur dan jarak antara kapiler
dekat. Tidak ada pembuluh darah atipikal.
Signifikan Acetowhite epitel jelas, batas tegas,
perubahan vaskuler berukuran lebar,
ireguler, berbentuk koil (coarse
punctuation/mosaic). Terdapat pembuluh
darah atipikal dan terkadang
permukaannya ireguler mengindikasikan
terdapatnya lesi kanker invasif

2
2.6.3 Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)
Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang pemeriksanya
(dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi asam asetat/asam cuka 3-5%
secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata telanjang.(14,16)
Pemberian asam asetat akan mempengaruhi epitel abnormal dan meningkatkan osmolaritas
cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini menarik cairan dari
intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Akibatnya
jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak diteruskan ke stroma, tetapi
dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal berwarna putih yang disebut epitel putih
(acetowhite). Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan berwarna putih juga setelah
pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang. Hal
ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama
menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih
banyak. Jika makin putih dan makin jelas, main tinggi derajat kelainan jaringannya. Dibutuhkan
1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel. Leher rahim yang diberi 5%
larutan asam asetat akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan tersebut. Efek akan
menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil
gambaran leher rahim yang normal (merah homogen) dan bercak putih (displasia). Lesi yang
tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih, tetapi disebut
leukoplakia, biasanya disebabkan oleh proses keratosis.(19)
Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada lesi
prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka).
Perempuan yang diskrining berada dalam posisi litotomi, kemudian dengan spekulum dan
penerangan yang cukup dilakukan inspeksi terhadap kondisi leher rahim. Leher rahim dioles
dengan larutan asam asetat 3-5% dan didiamkan selama kurang lebih 1-2 menit. Leher rahim
yang normal tetap berwarna merah muda, sementara hasil positif bila ditemukan area, plak atau
ulkus yang berwarna putih. Lesi prakanker ringan/jinak (NIS 1) menunjukkan lesi putih pucat
yang bisa berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar. Lesi yang lebih parah (NIS 2-3
seterusnya) menunjukkan lesi putih tebal dengan batas yang tegas, dimana salah satu tepinya
selalu berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar.

2
Tabel 2.6.3.1 Kategori Temuan IVA(6)

Kategori IVA Temuan Klinik


Tes Negatif Epitel skuamosa berwarna coklat dan
epitel kolumnar tidak menunjukkan
perubahan warna; atau tidak beraturan,
sebagian atau tidak ada area yang
menyerap iodium.
Tes Positif Berbatas jelas, area yang tidak menyerap
iodium yang berwarna kuning terang
bersentuhan dengan squamocolumnar
junction (SCJ) atau menutupi jika SCJ
tidak kelihatan.
Suspek kanker Secara klinik terlihat ulserasi,
pertumbuhan cauliflower atau ulkus;
mengeluarkan dan/atau berdarah jika
disentuh.

Tabel 2.6.3.2 Kategori Temuan IVA(20)

1. Normal Licin, merah muda, bentuk porsio


normal
2. Infeksi Servisitis (inflamasi, hiperemis)
Banyak fluor
Ektropion
Polip
3 Positif IVA Plak putih
Epitel acetowhite (bercak putih)
4. Kanker leher rahim Pertumbuhan seperti bunga kol
Pertumbuhan mudah berdarah

Tabel 2.6.3.3 Kategori Temuan IVA(20)

1. Negatif - Tak ada lesi bercak putih


(acetowhite lesion)
- Bercak putih pada polip
endoserviks atau kista
nabothi
- Garis putih mirip lesi
acetowhite pada sambungan
skuamokolumnar

2
2. Positif 1 (+) - Samar, transparan, tidak
jelas, terdapat lesi bercak
putih yang ireguler pada
serviks
- Lesi bercak putih yang
tegas, membentuk sudut
(angular), geographic
acetowhite lessions yang
terletak jauh dari
sambungan
skuamokolumnar

3. Positif 2 (++)
- Lesi acetowhite yang
buram, padat dan berbatas
jelas sampai ke sambungan
skuamokolumnar
- Lesi acetowhite yang luas,
circumorificial, berbatas
tegas, tebal dan padat
- Pertumbuhan pada leher
rahim menjadi acetowhite

2.6.4 Metode Inspeksi Visual dengan Iodium Lugol (IVIL/VILI)


Metode ini dikenal juga dengan Schiller’s test, dengan menggunakan cairan iodium
sebagai pengganti asam asetat. Epitel skuamosa mengandung glikogen, dimana lesi
prakanker dan lesi invasif mengandung sedikit atau tidak ada glikogen. Iodium adalah zat
glycophilic dan diserap oleh epitel skuamosa, sehingga memberi warna coklat atau hitam.
Epitel kolumnar tidak mengalami perubahan warna karena tidak mengandung glikogen.
Metaplasia imatur dan lesi inflamasi hanya mengandung sedikit glikogen dan ketika
diberikan pewarnaan dengan iodium, tampak seperti bergaris, dan area dengan batas tidak
jelas. Lesi prakanker dan lesi invasif tidak menyerap iodium (karena tidak mengandung
glikogen) sehingga tampak berbatas tegas, tebal, area berwarna kuning sampai
jingga.(21)

2
Gambar 2.6.4.1 Perubahan warna setelah pemberian lugol’s iodine(18)

Gambar 2.6.4.2 Lesi NIS 1 dengan batas yang tidak tegas(18)


Hasil pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Iodium Lugol (IVIL)

Terapi untuk hasil IVIL positif yang dilakukan sedini mungkin (tanpa menggunakan kolposkopi
atau biopsi) dikenal dengan test-and-treat atau single-visit approach.

2
2.7 TERAPI PADA NEOPLASIA INTRAEPITELIAL SERVIKS
Banyak modalitas yang dimiliki dalam usaha melakukan pengobatan terhadap NIS. Laser ablasi dan
krioterapi biasa digunakan untuk displasia ringan dan cold knife, konisasi, atau laser konisasi biasa
digunakan untuk displasia moderat. Di samping modalitas terapi destruksi, didapatkan terapi eksisi
seperti LEEP, LLETZ, konisasi, sampai histerektomi.

2.7.1 Krioterapi
Krioterapi merupakan prosedur sederhana untuk destruksi area prakanker pada serviks dengan cara
pembekuan. Cryoprobe diletakkan pada serviks dan membekukan permukaannya menggunakan gas
karbon dioksida (CO2) atau nitrous oxide (N2O). Cryoprobe diterapkan pada serviks dua kali selama
tiga menit setiap kali dengan jarak 5 menit (teknik double-freeze). Krioterapi sangat efektif untuk
pengobatan lesi kecil, tapi untuk lesi yang lebih besar angka kesembuhan di bawah 80%.(16)
Penyemprotan NO2 mengakibatkan pendinginan suhu ujung probe -65oC sampai -85oC, jauh di
bawah suhu letal -20oC. Dengan penyemprotan tersebut akan terbentuk bunga es setebal 7 mm. 5 mm
bagian proksimal bersuhu kurang dari -20oC akan mengalami nekrosis, sedangkan 2 mm tepi bunga
es tersebut yang bersuhu 0oC sampai -20oC akan mengalami regenerasi. Dengan kenyataan ini
diasumsikan bahwa krioterapi tidak dapat mematikan jaringan lebih dalam dari 5 mm. Pada HSIL
sering disertai keterlibatan kripta kelenjar serviks sehingga efektivitas krioterapi pada HSIL tidak
memadai dan lebih dianjurkan eksisi daripada krioterapi untuk menangani HSIL.(5)

Gambar 2.7.1 Alat krioterapi(18)

2
2.7.2 Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP)
LEEP atau Large Loop Excision of The Transformation Zone (LLETZ) adalah
penghapusan daerah abnormal pada serviks dengan menggunakan kawat panas. Hal ini
membutuhkan unit electrosurgical yang menghasilkan tegangan rendah konstan dan
transmisi ke perangkat loop kawat, yang digunakan untuk menghilangkan jaringan
abnormal. LEEP bertujuan untuk menghapus kedua lesi dan seluruh zona transformasi.
Teknik ini berhasil mengeradikasi prakanker sebanyak 90% kasus.(16) LEEP
dipergunakan untuk lesi intraepithelial derajat tinggi (HISL) karena kedalaman
pengambilan jaringan dapat lebih besar sehingga seluruh kripta endoserviks dapat
terambil yang mungkin luput pada pemakaian krioterapi.(5)
2.7.3 Konisasi
Konisasi adalah eksisi pada daerah berbentuk kerucut dari serviks dengan menggunakan
cold knife conization termasuk ektoserviks dan endoserviks. Tingkat konisasi akan
tergantung pada ukuran lesi dan kemungkinan ditemukan kanker invasif.(13) Konisasi
direkomendasikan untuk pengobatan NIS 2 dan NIS 3.(22)

2
BAB III
PENUTUP

Lesi prakanker atau neoplasia intraepitelial serviks (NIS) adalah lesi premaligna yang
terbentuk dari transformasi sel skuamosa pada permukaan serviks yang disebabkan
karena infeksi Human papillomavirus. Terminologi NIS dibagi menjadi 3 kategori yaitu
NIS 1 sesuai dengan displasia ringan, NIS 2 sesuai dengan displasia sedang, dan NIS 3
meliputi displasia berat serta karsinoma insitu. Terminologi ini juga dikonfirmasikan
dengan sistem Bethesda, yaitu NIS 1 dan infeksi HPV sebagai lesi intraepitelial
skuamosa derajat rendah (LISDR) serta NIS 2 dan NIS 3 sebagai lesi intraepitelial
skuamosa derajat tinggi (LISDT). Berdasarkan perjalanan alamiah dari NIS, disimpulkan
bahwa makin rendah derajat kelainan maka makin besar kemungkinan regresi menjadi
normal. Sebaliknya, makin berat derajat kelainan maka makin besar kemungkinan
menjadi lesi yang lebih berat.

2
DAFTAR PUSTAKA

1. Goedadi A. Kebijakan dan Strategi Program Kesehatan Reproduksi. Indonesia: BKKBN;

2012: 80-90.

2. Ocviyanti Dwiana, Handoko Yohanes. Peran Dokter Umum dalam Pencegahan Kanker

Serviks di Indonesia. Jurnal Indonesia Medical Association, Volume: 63, Nomor: 1. 2013:1-3

3. Fauziah Rathi Manjari, Wirawan Jimmy Panji, Lorianto Rossalina, dkk. Deteksi Dini Kanker

Serviks pada Pusat Pelayanan Primer di Lima Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Indonesia Medical

Association, Volume: 61, Nomor: 11. 2011:447-452

4. Tumor Serviks. Buku Ajar Patologi Robbins. Ed. 7. Jakarta: EGC, 2007:767-770

5. Lesi Prakanker. Onkologi Ginekologi. Ed.I. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo. 2006:399-429

6. Adekunle Oguntayo Olanrewaju. Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) (Squamous

Dysplasia). Intraepithelial Neoplasia. 2012: 279-310

7. Globocan 2012. Cancer Fact Street. Estimated Incidence, Mortality and Prevalence

Worldwide in 2012 IARC. [cited: 2015 March. 23]. Available from:

http://www.globocan.iarc.fr/old/FactSheets/cancers/cervix-new.asp#MORTALITY

8. Barbara L. Hoffman, et al. Williams Gynecology. Ed.2 Preinvasive lesions of the lower genital

tract. 2012:730-754

2
9. T Maringan D.L, Susanto Herman, S Bethy, et.all. Hubungan antara Ekspresi p63 dengan

Jenis Histopatologis Penderita Kanker Serviks Stadium IB2 dan IIA. Indonesian Journal of

Cancer. Volume 8. No 3. 2014 : iv-v

10. Hakim Lukman. Biologi dan Patogenesis Human Papiloma Virus. PKB “New Perspective of

Sexually Transmitted Infection Problems”. 2010:164-180. [cited: 2015 April 1]. Available from:

http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/id/index.php/promosi-kesehatan/majalah-

rs/doc_download/62-biologi-a-patogenesis-human-papiloma-virus-

11. Prayitno Adi, Darmawan Ruben, Yuliadi Istar, Mudigdo Ambar. Ekspresi Protein p53, Rb,

dan c-myc pada Kanker Serviks Uteri dengan pengecatan Immunohistokimia.

BIODIVERSITAS. Volume 6. No. 3. 2005: 157-159

12. Chrestella Jessy, Lubis M Nadjib D, Wibisono Soekimin A.H. Gambaran Immunoekspresi

Matrix Metalloproteinase 9 (MMP-9) pada Lesi-lesi Prakanker dan Karsinoma Serviks Invasif.

Majalah Patologi. Volume 9. No.2, 2010:1-7

13. Lumban Tobing Maringan Diapari, Sahiratmadja Edhyana, Dinda Mufti, Hernowo Bethy

Suryawathy, Susanto Herman. Human Papillomavirus Genotypes Profile in Cervical Cancer

Patients at Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung, Indonesia. Asian Pasific Journal of

Cancer Prevention, Volume 15, 2014: 5781-5785

14. Pfenninger J. Pap Smear Information. [cited on 25 Februari 2015].2011. Available from:

http://www.mpcenter.net/patient_ed/pap_smear_info.html

15. Tewari L, Chaudary C. Atypical Squamous Cell of Undetermined Significance: A Follow Up

Study. 2010: 225-227

2
16. Comprehensive Cervical Cancer Control: A Guide to Essential Practice – 2nd ed. World

Health Organization. 2014:123-145

17. Massad L. Stewart, Einstein Mark H., Huh Warner K., et.all. 2012 Updated Consensus

Guidelines for the Management of Abnormal Cervical Cancer Screening Tests and Cancer

Precursors. American Society for Colposcopy and Cervical Pathology. Journal of Lower Genital

Tract Disease, Volume 17, Number 5, 2013: S1-S27

18. Colposcopic Appearance of the Normal Cervix. Colposcopy and Treatment of Cervical

Intraepithelial Neoplasia: A Beginner's Manual. International Agency for Research on Cancer

Screening group. 45-54 [cited: 2015 April 1]. Available from:

http://screening.iarc.fr/colpochap.php?lang=1&chap=6

19. Wiyono Sapto. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) untuk Deteksi Dini Lesi Prakanker

Serviks. Semarang: Universitas Diponegoro, 2004:26-28

20. Nuranna Laila, Purwoto Gatot, Madjid Omo A, dkk. Skrining Kanker Leher Rahim dengan

Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA). Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

2008:24-33

21. Sherris, Jacqueline, Castro Wendy, Levin Carol et all. The Case for Investing in Cervical

Cancer Prevention. Cervical Cancer Prevention Issues in Depth. Alliance for Cervical Cancer

Prevention (ACCP). 2004:15-16

22. Cheng X, Feng Y, Wang X, et al. The effectiveness of conization treatment for post-

menopausal women with high-grade cervical intraepithelial neoplasia. 2012:185-188

Anda mungkin juga menyukai