Kerjasama dengan
Center for Economic and
Public Policy Study –
Universitas Gadjah Mada (CEPPS-UGM)
DECENTRALIZATION SUPPORT FACILITY
Gedung Bursa Efek Indonesia, Gedung I, Lantai 9
Jalan Jenderal Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12190
Telepon: (+6221) 5299 3199
Fax: (+6221) 5299 3299
Website: www.dsfindonesia.org
Decentralization Support Facility (DSF) merupakan dana perwalian multi donor yang dipimpin oleh
Pemerintah Indonesia, yang bertujuan untuk mendukung agenda desentralisasi pemerintah. DSF berupaya
mencapai tujuannya dengan memenuhi tiga peranan, yaitu membantu Pemerintah Indonesia
meningkatkan: (i) harmonisasi, keselarasan, dan efektivitas bantuan pembangunan; (ii) penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan; dan (iii) kapasitas pemerintah, terutama di tingkat daerah. Keanggotaan DSF terdiri
dari BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan sembilan donor (ADB, AusAID,
CIDA, DFID, Pemerintah Jerman, Pemerintah Belanda, UNDP, USAID, dan Bank Dunia). Dukungan keuangan
untuk DSF utamanya diberikan oleh DFID, dan juga kontribusi dari AusAID serta CIDA.
Foto pada halaman sampul merupakan hak cipta PREM, World Bank Indonesia.
Penilaian Status Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria untuk Pelayanan Pemerintah Daerah: Laporan Akhir
merupakan hasil kerja konsultan dan staf Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan
ini tidak mencerminkan pendapat DSF maupun donor yang diwakili.
Bab ini membahas praktik, legal formal, dan panduan umum penyusunan NSPK. Sub-bab 7.1
mendeskripsikan proses penyusunan NSPK yang selama ini dilakukan oleh kementerian/lembaga
pemerintahan. Deskripsi tersebut merupakan rangkuman hasil studi lapangan di seluruh
kementerian/lembaga pemerintah yang dilakukan Tim.
Tabel 1.1. menunjukkan urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah
Provinsi (Kolom 1) dan Pemerintahan Kabupaten/Kota (Kolom 2) menurut UU 32/2004.
Pasal 1 ayat (6) PP 65/2005 mendefinisikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah
ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal. PP 65/2005 tidak menampilkan daftar spesifik urusan wajib
dan pelayanan dasar. PP 65/2005 hanya mendefinisikannya di Pasal 1 ayat (5) dan ayat (8).
Selanjutnya, pelayanan dasar didefinisikan sebagai jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Pasal 2
ayat (2) PP 65/, SPM disusun dan diaplikasikan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan
pelayanan dasar sesuai dengan perundang-undangan.
• Pasal 14 ayat (3): “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan peraturan Pemerintah.
Lebih khusus PP 65/2004 mengatur secara spesifik SPM:
1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah.
2 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 -
Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
3 Peraturan Pemerintah No. 65 Pedoman Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Minimum. Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.
4 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2004 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005
Tentang Rencana Kerja Pemerintah. Tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
5 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2007 Peraturan Presiden Republik Indonesia
Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pengesahan,
Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Penundangan, Dan Penyebarluasan Peraturan
Keterangan Pertanggungjawaan Kepala Perundang-Undangan.
Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan Informasi Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada
Masyarakat.
6 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2004
Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Tentang Rancangan Kerja Pemerintah.
Pemerintah Daerah.
7 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 6 Tahun Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2007
2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Tentang Laporan Penyelenggaraan
dan Petetapan Standar Pelayanan Minimal. Pemerinah Daerah Kepada Pemerintahan,
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
Kepala daerah Kepada DPRD, dan Informasi
Laporan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah Kepada Masyarakat.
8 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 79
Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pencapaian Standar Pelayanan Minimal.
9 Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.05-
76 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Tim
Konsultasi Penyusunan SPM.
PP 38/2007 menyatakan bahwa NSPK mengatur tentang semua urusan wajib, pilihan dan
urusan sisa. Khusus untuk urusan wajib terkait dengan pelayanan dasar harus berpedoman pada
standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan oleh pemerintah. Berbeda dengan SPM yang telah
diatur dari proses pembentukan, rancangan sampai dengan penetapan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah, NSPK tidak memiliki aturan yang secara langsung menetapkan bagaimana proses
pembentukan NSPK, seperti ditunjukkan oleh Gambar 1.1.
Gambar 1.2 di bawah ini menunjukkan urusan pemerintahan menurut PP 38/2007. Urusan
tersebut dibagi menjadi: urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan sisa di mana kesemuanya
membutuhkan NSPK (Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1)). Pelaksanaan urusan pemerintahan yang
terkait dengan pelayanan dasar harus berpedoman pada SPM (Pasal 7 ayat (1) dan pasal 8 ayat (1)).
Urusan wajib mencakup pelayanan dasar NSPK sebagai payung pembuatan SPM maka SPM juga
harus dibuatkan NSPK.
Gambar 1.2. Posisi NSPK
URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI Norma, Standar, Prosedur dan
KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH
Kriteria (NSPK) (PP 38/2007,
Penjelasan Pasal 9)
• Norma adalah aturan atau ketentuan
URUSAN WAJIB yang dipakai sebagai tatanan untuk
URUSAN PILIHAN penyelenggaraan pemerintahan daerah.
• Standar adalah acuan yang dipakai
sebagai patokan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
• Prosedur adalah metode atau tata cara
Pelayanan untuk penyelenggaraan pemerintahan
Dasar daerah.
• Kriteria adalah ukuran yang
dipergunakan menjadi dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Urusan Sisa
Asas Tugas
Pembantuan Asas Otonomi
UU 32/2004 Pasal
PP 65/2005 Tentang
10 Ayat (2) dan PP PP 38/2007 Tentang
Pedoman
38/2007 Pasal 9 Peraturan Lainnya Pembagian urusan
Penyusunan dan
Ayat(1) Pemerintahan
Penetapan SPM
SPM
Berikut adalah garis besar substansi yang menjadi guideline bagi pembuatan NSPK:
1.3.1. Konsiderans
Konsiderans merupakan salah satu substansi dalam sebuah kerangka peraturan. Berikut
adalah beberapa hal terkait dengan konsiderans dalam pembuatan sebuah peraturan:
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 87 ayat (5) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum tentang Pedoman Pembentukan Wadah Koordinasi
Pengelolaan Sumber Daya Air pada Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan
Wilayah Sungai.
1.3.2. Mengingat
1. Mengingat diletakkan setelah Konsiderans yang berisi tentang Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri,
dan Keputusan Menteri. Perundang-undangan tersebut harus sesuai dengan urutannya,
tetapi tidak wajib memiliki seluruhnya dalam pembuatan NSPK.
2. Seperti contoh pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun
2010 Tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria di Bidang Pendidikan adalah
sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
c. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4737);
d. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
e. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi,
Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
f. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai pembentukan Kabinet
Indonesia Bersatu II.
1.3.3. Ketentuan Umum
1. Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam Peraturan Perundang-
undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam
pasal - pasal awal. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
2. Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim vang digunakan dalam peraturan;
c. hal- hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal - pasal berikutnya antara
lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
3. Frase pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi -Dalam Undang-
Undang ini yang dimaksudkan dengan:
4. Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang-Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.
5. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi singkatan atau akrorim
lebih dari satu, maka masing- masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab
dan diawali dengan huraf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
6. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang
digunakan berulangulang di dalam pasal - pasal selanjutnya.
7. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu
diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan
agar kata atau istilah itu diberi definisi.
8. Jika suatu batasan pengertian atau definsi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan
umum suatu peraturan pelaksanaan, maka ramusan batasan pengertian atau definisi di
dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau
definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
9. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi, untuk
menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi,
singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus
dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
10. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari
yang berlingkup khusus;
b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur
ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan
berdekatan secara berurutan.
11. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari
yang berlingkup khusus;
b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur
ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan
berdekatan secara berurutan.
Contoh:
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang
standar pelayanan minimal bidang kesehatan di kabupaten/kota, Bab I pasal I tentang
ketentuan umum, yang dimaksud dengan:
a. Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan selanjutnya disebut SPM Kesehatan
adalah tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Daerah
Kabupaten/ Kota.
b. Pelayanan dasar kepada masyarakat adalah fungsi Pemerintah dalam memberikan
dan mengurus keperluan kebutuhan dasar masyarakat untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan rakyat.
c. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Menteri Kesehatan.
d. Daerah Otonom selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
e. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah Kabupaten/Kota dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Pemerintah Daerah adalah Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
g. Pengembangan kapasitas adalah upaya meningkatkan kemampuan sistem atau
sarana dan prasarana, kelembagaan, personil, dan keuangan untuk melaksanakan
fungsi- fungsi pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan pelayanan dasar
dan/atau SPM Kesehatan secara efektif dan efisien dengan menggunakan prinsip-
prinsip tata pemerintahan yang baik.
Contoh:
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 828/Menkes/SK/IX/2008 tentang Petunjuk Teknis
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
Bab I Sub-Bab B tentang maksud dan tujuan bahwa petunjuk Teknis Standar Pelayanan
Minimal ini dimaksudkan guna memberikan panduan kepada daerah dalam melaksanakan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian, serta pengawasan dan pertanggungjawaban
penyelenggaraan standar pelayanan minimal bidang kesehatan di Kabupaten/Kota.
Contoh:
Permen Kementerian Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis
Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung
1.3.6. Persyaratan
Persyaratan adalah hal-hal yang harus dipenuhi dalam penyusunan peraturan. Dalam UU No
10 Tahun 2004 bagian penjelasan dijelaskan bahwa untuk membentuk peraturan yang baik,
diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan
pembahasan, teknik, penyusunan maupun pemberlakuannya.
Contoh yang dapat diambil dari persyaratan adalah pada Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI Nomor 25 tahun 2007 tentang persyaratan dan prosedur bagi warga negara asing untuk
menjadi mahasiswa pada perguruan tinggi di Indonesia. Disebutkan pada Pasal 3 bahwa Persyaratan
bagi warga negara asing untuk menjadi calon mahasiswa pada perguruan tinggi di Indonesia meliputi:
Contoh:
Pada Permen Kementerian Pekerjaan Umum Nomor 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), tata cara/mekanisme ditempatkan
pada bab terpisah, yaitu Kebijakan dan Strategi.
Pasal 4
(1) Perencanaan pengembangan SPAM disusun mengacu pada Kebijakan dan Strategi
Pengembangan SPAM.
(2) Pemerintah Daerah wajib menyusun Kebijakan dan Strategi Pengembangan
SPAM Daerah mengacu pada Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan
SPAM dan peraturan pemerintah yang berlaku.
(3) Kebijakan dan Strategi Pengembangan SPAM Daerah antara lain memuat rencana
strategis dan program pengembangan SPAM.
(4) Rencana strategis dan program pengembangan SPAM sebagaimana disebutkan
pada ayat (4) memuat:
a. Identifikasi potensi dan rencana alokasi air baku untuk wilayah pelayanan
sesuai perkembangannya;
b. Garis besar sistem penyediaan air baku di wilayah administratif;
c. Garis besar rencana pembagian wilayah administratif menjadi satu atau lebih
wilayah pelayanan sesuai potensi air baku dan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) baik wilayah pelayanan dengan jaringan perpipaan maupun wilayah
pelayanan dengan bukan jaringan perpipaan;
d. Indikasi program pengembangan untuk setiap rencana wilayah pelayanan
berdasarkan urutan prioritas;
e. Kriteria dan standar pelayanan di wilayah administratif kabupaten atau kota;
f. Indikasi keterpaduan program dengan pengembangan prasarana dan sarana
sanitasi yang merupakan dampak penggunaan air minum untuk wilayah
pelayanan yang dianggap strategis dan merupakan wilayah pusat
pertumbuhan;
g. Indikasi alternatif pembiayaan dan pola investasi untuk wilayah pelayanan
yang dianggap strategis dan merupakan wilayah pusat pertumbuhan; serta
h. Indikasi pengembangan kelembagaan untuk wilayah pelayanan yang dianggap
strategis dan merupakan wilayah pusat pertumbuhan.
(5) Dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM dan/atau Prasarana dan Sarana
Sanitasi, Pemerintah Daerah mengutamakan kerjasama antar-daerah.
(6) Dalam hal penyusunan rencana strategi dan program pengembangan SPAM,
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus mengikutsertakan penyelenggara
SPAM dan para pemangku kepentingan dalam bentuk konsultasi publik.
1.3.8. Kriteria
Kriteria adalah hal-hal yang harus dipenuhi dan ukuran yang menjadi dasar penilaian atau
penetapan sesuatu. Dalam penyusunan peraturan, kriteria merupakan hal mendasar yang harus
dipenuhi.
Contoh untuk kriteria dapat dilihat dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11
Tahun 2009 tentang kriteria dan perangkat akreditasi Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI).
Penjelasan mengenai kriteria terdapat pada pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) yang isinya sebagai berikut:
Contoh:
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.741/MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal di Kabupaten/Kota
1.3.10. Pendanaan
Pendanaan pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial di
provinsi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi. Pendanaan
pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial di kabupaten/kota
bersumber dari APBD kabupaten/kota. Pemerintah dapat memberikan bantuan pendanaan
pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Seperti contoh pada Lampiran I Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 5 Tahun
2010, tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan Tahun
Anggaran 2005, Bab II, Sub-bab C adalah sebagai berikut:
a. DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2010 disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari
Rekening Kas Umum Negara (Pemerintah Pusat c.q Departemen Keuangan) ke Rekening Kas
Umum Daerah (kabupaten/kota).
b. Mekanisme dan tata cara mengenai penyaluran DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2010
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Penyaluran dana diberikan secara penuh/utuh baik dari kas umum negara ke kas umum daerah
maupun dari kas umum daerah ke rekening sekolah tanpa ada potongan dalam bentuk apapun.
d. Penyaluran dana dari Kas Umum Daerah ke rekening sekolah mempertimbangkan jangka
waktu pelaksanaan kegiatan dengan batas waktu kegiatan, pelaporan, dan saat
pemanfaatannya.
e. Kewajiban pajak atas penggunaan DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2010 diselesaikan
oleh sekolah penerima DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2010 sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
1.3.11. Pelaporan
Dalam setiap urusan yang dilakukan, Pemerintah Daerah wajib membentuk tim/unit khusus
untuk membuat laporan dari Satuan Kerja untuk urusan yang dilakukan. Tim/unit khusus tersebut
langsung dikepalai oleh Kepala Satuan Kerjadari urusan yang dilakukan. Pengawasan dari pelaporan
diawasi langsung oleh badan yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
Contoh:
Permen Kementerian Pekerjaan Umum Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kegiatan Departemen Pekerjaan Umum Yang Merupakan Kewenangan Pemerintah dan
Dilaksanakan Sendiri.
Pasal 10
(1) Setiap Unit Satuan Kerja wajib membentuk Unit Akuntansi Kuasa Pengguna
Anggaran/Barang (UAKPA/UAKPB).
(2) Setiap Unit Eselon I yang mempunyai kegiatan di daerah wajib membentuk Unit
Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran/Barang Wilayah (UAPPA-W/UAPPB-
W) pada provinsi terkait.
(3) Setiap Unit Eselon I wajib membentuk Unit Akuntansi Pembantu Pengguna
Anggaran/Barang Eselon I (UAPPA-E1/UAPPB-E1).
(4) Kepala Satuan Kerja selaku Kuasa Pengguna Anggaran wajib menyusun dan
menyampaikan laporan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Petunjuk
Operasional Kegiatan.
(5) Kepala Satuan Kerja selaku Kuasa Pengguna Barang wajib menyusun dan
menyampaikan laporan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Petunjuk
Operasional Kegiatan.
(6) Penilaian kinerja Kepala Satuan Kerja salah satunya berdasarkan kepatuhan, yang
akan menjadi pertimbangan dalam penentuan Kasatker selanjutnya.
(7) Mekanisme pelaporan Satuan Kerja dilakukan sebagaimana tercantum dalam
lampiran 1.e yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri
ini.
Pasal 11
(1) Pengawasan eksternal pelaksanaan Satuan Kerja bidang pekerjaan umum
dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI).
(2) Pengawasan internal pelaksanaan Satuan Kerja bidang pekerjaan umum
dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Pekerjaan Umum atau Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
(3) Inspektorat Jenderal Departemen Pekerjaan Umum menyusun program
pemeriksaan tahunan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pemeriksaan.
Berikut beberapa hal yang terkait dalam hal penataan dan evaluasi.
(1) Untuk menjamin sinergi berkesinambungan dan efektifitas langkah-langkah secara terpadu
dalam pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial, pemerintah
daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan pemantauan.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk mengetahui
perkembangan dan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan jaminan
kesejahteraan sosial.
(3) Pemantauan dilakukan secara berkala melalui koordinasi dan pemantauan langsung terhadap
SKPD yang melaksanakan kebijakan, program dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial.
(4) Pemantauan dilakukan mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan kebijakan,
program, dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial.
Evaluasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial
dilakukan minimal sekali dalam setahun. Hasil evaluas i pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan
jaminan kesejahteraan sosial digunakan sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijakan, program
dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial.
Contoh penataan dapat dijelaskan seperti pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57
Tahun 2007, tentang petunjuk teknis penataan organisasi perangkat daerah, yaitu pada pasal 2 yang
berbunyi Penataan organisasi perangkat daerah dilakukan melalui analisis jabatan dan analisis beban
kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara rinci pada Peraturan Menteri tersebut
menjelaskan tentang Penataan kelembagaan SKPD baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang
pembentukannya ditetapkan melalui peraturan daerah.
Untuk contoh evaluasi, seperti pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER.11/MEN/V/2009 tentang tata cara pemantauan dan evaluasi pengelolaan data dan
informasi ketenagakerjaan. Pada Bab III Pasal 7, disebutkan bahwa objek evaluasi pengelolaan data
dan informasi ketenagakerjaan meliputi hasil pemantauan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) yang berisikan sebagai berikut:
Contoh dari pembinaan dan pengawasan adalah pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
741/MENKES/PER/VII/2008 Bab IX Pasal 12 yang isinya sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
(2) Peraturan Menteri ini disebarluaskan kepada para pihak yang bersangkutan untuk
diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
a. Kejelasan tujuan.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan.
d. Dapat dilaksanakan.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.
f. Kejelasan rumusan.
g. Keterbukaan.
Terdapat pula asas yang harus dikandung dalam peraturan perundang-undangan, yaitu materi
muatan yang terdapat pada Pasal 6 ayat 1 yang berisi:
a. Pengayoman.
b. Kemanusiaan.
c. Kebangsaan.
d. Kekeluargaan.
e. Kenusantaraan.
f. Bhinneka Tunggal Ika.
g. Keadilan.
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, terdapat dua urusan yang dipegang oleh
pemerintah daerah, yaitu Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang wajib
dise lenggarakan oleh pemerintah daerah yang terkait dengan pelayanan dasar bagi masyarakat, seperti
pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan, dan sebagainya. Di
dalam Urusan Wajib, terdapat dua aturan yaitu Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan NSPK.
Dalam hal ini SPM merupakan aturan yang mengatur pelayanan dasar yang wajib dilaksanakan oleh
pemerintah daerah. Sedangkan NSPK, merupakan aturan yang juga harus dilaksanakan oleh
pemerintah daerah mengenai segala urusan wajib diluar pelayanan dasar. Urusan pilihan merupakan
urusan pemerintah yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait
dengan upaya mengembangkan potensi unggulan yang menjadi kekhasan daerah. Di dalam urusan
pilihan, aturan yang digunakan sebagai acuan adalah NSPK.
Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, baik urusan wajib maupun pilhan,
keduanya membutuhkan NSPK. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indones ia
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Sehingga urgensi umum NSPK
adalah aturan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah di mana NSPK harus
dipenuhi sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
Adanya NSPK diharapkan dapat mengantar pemerintah daerah dalam menjalankan urusan wajib dan
pilihan secara sempurna.
Beberapa pakar juga menyatakan bahwa perencanaan merupakan proses pembuatan kebijakan
untuk mengendalikan masa depan yang ditentukan. Proses pembuatan perencanaan perlu
memperhatikan beberapa hal seperti pemilihan alternatif yang ada, alokasi sumber daya, target yang
akan dituju pada masa mendatang dan siapa yang akan menjalankannya. Perencanaan dapat dijadikan
sebagai pedoman bagi kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Perencanaan juga dapat berfungsi sebagai alat prediksi masa depan dan alat ukur untuk
melakukan evaluasi terhadap pencapaian tujuan tertentu.
Ruang lingkup perencanaan secara kewilayahan dapat dilakukan dalam skala nasional
maupun daerah. Perencanaan pembangunan nasional perlu dilakukan oleh suatu negara agar dapat
menjamin kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien dan bersasaran. Berdasarkan Instruksi
Presiden Nomor 7/1999 perencanaan strategis merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil
yang hendak dicapai instansi selama waktu 1-5 tahun dengan memperhitungkan segala aspek
termasuk potensi, peluang dan kendala yang ada dan yang mungkin muncul.
Berdasarkan UU 22/1999, kewenangan pemerintah pusat dan daerah diatur dengan Peraturan
Pemerintah (PP) 25/2000 kemudian peraturan tentang pemerintahan daerah direvisi dengan
dikeluarkannya UU 32/2004. Untuk melaksanakan UU 32/2004 maka pemerintah mengeluarkan PP
38/2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan PP 38/2007 terdapat 31 urusan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah,
28 urusan dianggap sebagai urusan wajib dan 8 urusan pilihan. PP ini juga mengenalkan konsep
NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria) sebagai pedoman pelaksanaan fungsi dan kewenangan
pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah dalam memberikan pelayanan publik. Oleh sebab
itu pelaksanaan setiap urusan harus berpedoman pada NSPK. NSPK disusun oleh masing-masing
kementerian dan lembaga non kementerian terkait, dengan kata lain dalam hal perencanaan nasional
maupun daerah perlu memperhatikan kewenangan antara pusat dan daerah dengan berpedoman pada
NSPK sesuai dengan amanat PP 38/2007.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa keterpaduan dan sinergi pembangunan pusat dan
daerah mutlak diperlukan agar pembangunan dapat berjalan dengan efektif, efisien serta mencapai
sustainability. Untuk mendorong sinergi pembangunan antara pusat dan daerah maka pemerintah
mengeluarkan PP 19/2010 tentang tata cara pelaksanaan tugas dan kewenangan serta kedudukan
keuangan Gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Kaitannya dengan NSPK, inti dari
pasal 3 ayat 1(bagian c) PP 19/2010 menyebutkan bahwa :
Kemendagri pada bulan September 2010 telah membahas isu-isu strategis sebagai masukan
revisi terhadap UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Isu-isu yang dihasilkan berkaitan dengan
hubungan antara pusat dan daerah adalah bahwa kebijakan publik di tingkat daerah tidak boleh
bertentangan dengan kebijakan publik di tingkat nasional dan dise lenggarakan dalam koridor Norma,
Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan pusat selain itu mas ih banyak urusan
pemerintahan yang belum dilengkapi NSPK sehingga menimbulkan multi interprestasi dalam
pelaksanaannya. Dalam hal pembagian urusan kewenangan maka pemerintah pusat wajib menetapkan
NSPK sebagai acuan bagi daerah dalam melaksanakan kewenangannya dalam koridor NKRI
sedangkan pemerintah provinsi menetapkan kebijakan daerah untuk melaksanakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya dalam NSPK yang ditetapkan oleh pusat, manakala
pemerintah kabupaten/kota menetapkan kebijakan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya dengan mengacu pada NSPK yang ditetapkan oleh pusat.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa NSPK dalam perencanaan yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah hendaknya
memperhatikan kewenangan pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku baik itu UU 32/2004, PP 38/2007 dan juga UU 24/2005 sehingga
perencanaan pembangunan dapat berjalan sinkron dan harmonis di tingkat pusat maupun daerah.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan juga perlu memperhatikan NSPK agar dapat berjalan dengan
efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan.
Pada ayat (2) selanjutnya dijelaskan mengenai keserasian hubungan Pemerintah dengan
pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah sebagai satu kesatuan sistem dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Keserasian hubungan adalah pengelolaan bagian urusan pemerintah
yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi),
saling tergantung (interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan
memperhatikan cakupan kemanfaatan.
Selanjutnya dalam ayat (3) disebutkan bahwa penetapan norma, standar, prosedur, dan
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan pemangku kepentingan terkait dan
berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Pemangku kepentingan di sini terdiri dari unsur
departemen/lembaga pemerintah non-departemen terkait, pemerintah daerah, asosiasi profesi, dan
perwakilan masyarakat.
Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara
proporsional antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai
satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan
susunan pemerintahan. Sesuai dengan PP 38 Tahun 2007 Pasal 4 Ayat 1, ketiga kriteria tersebut
memiliki arti:
Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong akuntabilitas Pemerintah
kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat
pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang sangat diperlukan dalam menghadapi persaingan di
era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut, semangat demokrasi yang diterapkan melalui
kriteria eksternalitas dan akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan melalui kriteria
efisiensi dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi
sebagai esensi dasar dari kebijakan desentralisasi.
1. Pembuatan NSPK berasal dari 2 sumber, yaitu amanat PP 38 tahun 2007, dan
berasal dari usulan internal kementerian yang berasal dari direktorat atau unit
kerja terkait.
2. Sinkronisasi usulan bertujuan untuk mengakomodasi semua usulan yang ada
sehingga terjadi penyelarasan wewenang khususnya antara pusat dan daerah.
Sinkronisasi usulan dapat berupa FGD yang melibatkan stakeholder yang terkait
secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholder yang dimaksud adalah
kementerian yang menyusun NSPK (Pemerintah Pusat), Pemerintah Daerah,
kementerian lain yang terkait, Kementerian Dalam Negeri, dan pihak lain.
3. Hasil Pengkajian diberikan kepada Biro Hukum. Selanjutnya Biro Hukum Ditjen
membuat draft awal NSPK kepada Dirjen.
4. Ditjen menyampaikan draft awal kepada Bagian Hukum Sekjen untuk
mendapatkan telaahan.
5. Rancangan yang telah dibahas dikembalikan kembali ke Tim Pemrakarsa dan
bagian terkait yang menangani masalah hukum (biro hukum Sesditjen).
Selanjutnya rancangan yang telah dibahas kemudian di paraf oleh tim pemrakarsa
dari setiap unit (Sesditjen dan biro terkait)
6. Hasil draft yang telah dibahas kemudian diserahkan kepada Biro Hukum Sekjen
untuk diproses lebih lanjut.
7. Biro Hukum Sekjen kemudian menyerahkan draft yang telah diproses kepada
Dirjen/Kepala Badan.
8. Setelah mendapat paraf dari Dirjen, kemudian draft tersebut di sampaikan kepada
Sekjen untuk mendapat paraf.
9. Sekjen kemudian menyerahkan kepada Menteri untuk mendapat telaahan lebih
lanjut.
10. Setelah mendapatkan telaahan dari Menteri, draft tersebut diserahkan kepada Biro
Hukum Sekjen untuk diproses menjadi produk hukum.
11. Biro Hukum menyampaikan draft akhir kepada Menteri untuk mendapatkan
penetapan dan penandatanganan.
12. Draft yang telah mendapatkan paraf persetujuan Menteri, diserahkan kepada
Bagian Arsip.
13. Bagian Arsip menyerahkan arsip asli kepada tim pemrakarsa.
14. Pendistribusian dan Sosialisasi oleh Bagian Bagian Arsip.
Berikut adalah Guideline pembuatan NSPK yang disusun dari hasil analisis peneliian yang dilakukan berdasarkan penyusunan NSPK di lembaga
kementerian/non-kementerian.
26
PIHAK YANG TERKAIT
27
PIHAK YANG TERKAIT
28