Anda di halaman 1dari 34

Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized

Prosedur, dan Kriteria untuk


Pelayanan Pemerintah Daerah
Guideline Status Norma, Standar,
68995
 
 
 
 
 
Guideline Status Norma,
Standar, Prosedur, dan Kriteria
untuk Pelayanan Pemerintah
Daerah
 
 
 

Kerjasama dengan
Center for Economic and
Public Policy Study –
Universitas Gadjah Mada (CEPPS-UGM)
DECENTRALIZATION SUPPORT FACILITY
Gedung Bursa Efek Indonesia, Gedung I, Lantai 9
Jalan Jenderal Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12190
Telepon: (+6221) 5299 3199
Fax: (+6221) 5299 3299
Website: www.dsfindonesia.org

Decentralization Support Facility (DSF) merupakan dana perwalian multi donor yang dipimpin oleh
Pemerintah Indonesia, yang bertujuan untuk mendukung agenda desentralisasi pemerintah. DSF berupaya
mencapai tujuannya dengan memenuhi tiga peranan, yaitu membantu Pemerintah Indonesia
meningkatkan: (i) harmonisasi, keselarasan, dan efektivitas bantuan pembangunan; (ii) penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan; dan (iii) kapasitas pemerintah, terutama di tingkat daerah. Keanggotaan DSF terdiri
dari BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan sembilan donor (ADB, AusAID,
CIDA, DFID, Pemerintah Jerman, Pemerintah Belanda, UNDP, USAID, dan Bank Dunia). Dukungan keuangan
untuk DSF utamanya diberikan oleh DFID, dan juga kontribusi dari AusAID serta CIDA.

Foto pada halaman sampul merupakan hak cipta PREM, World Bank Indonesia.

Penilaian Status Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria untuk Pelayanan Pemerintah Daerah: Laporan Akhir
merupakan hasil kerja konsultan dan staf Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan
ini tidak mencerminkan pendapat DSF maupun donor yang diwakili.

Desain sampul oleh Harityas Wiyoga.  


Guideline NSPK

Bab ini membahas praktik, legal formal, dan panduan umum penyusunan NSPK. Sub-bab 7.1
mendeskripsikan proses penyusunan NSPK yang selama ini dilakukan oleh kementerian/lembaga
pemerintahan. Deskripsi tersebut merupakan rangkuman hasil studi lapangan di seluruh
kementerian/lembaga pemerintah yang dilakukan Tim.

1.1. SPM dan NSPK


Studi lapangan di kementerian dan daerah menemukan isu penting yaitu adanya kebingungan
antara konsep Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria
(NSPK). Sub-bagian ini memaparkan legal-formal keterkaitan keduanya. Tabel 7.3 menunjukkan
daftar peraturan/perundangan terkait dengan SPM dan NSPK. Pasal 11 ayat (4) UU 32/2004
menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman
pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah’. Lebih
lanjut, penjelasan pasal 11 ayat (3) UU 32/2004 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “urusan
wajib” adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga
negara antara lain:

1. Perlindungan hak konstitusional.


2. Perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketenteraman dan
ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI.
3. Pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan
konvensi internasional.
Sedangkan urusan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan
daerah, seperti: pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata.

Tabel 1.1. menunjukkan urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah
Provinsi (Kolom 1) dan Pemerintahan Kabupaten/Kota (Kolom 2) menurut UU 32/2004.

Tabel 1.1. Urusan Wajib Menurut UU No. 32/2004 dan PP 38/2007


UU 32/ 2004 PP 38/2007 tentang
Pemerintahan Daerah Pemerintahan Daerah Pemerintahan Daer ah
Provinsi Kabupaten/kota Provi nsi dan Kabupaten/ Kota
A. Perencanaan dan pengendalian A. Perencanaan dan pengendalian A. Pendidikan.
pembangunan. pembangunan.

B. Perencanaan, pemanfaatan, dan B. Perencanaan, pemanfaatan, dan B. Kesehatan.


pengawasan tata ruang. pengawasan tata ruang.

C. Penyelenggaraan ketertiban C. Penyelenggaraan ketertiban C. Lingkungan hidup.


umum dan ketentraman umum dan ketentraman
masy arakat. masy arakat.
D. Penyediaan sarana dan D. Penyediaan sarana dan D. Pekerjaan umum.
prasarana umum. prasarana umum.

E. Penanganan bidang kesehatan. E. Penanganan bidang kesehatan. E. Penataan ruang.


F. Penyelenggaraan pendidikan F. Penyelenggaraan pendidikan. F. Perencanaan pembangunan.
dan alokasi sumber daya
manusiapotensial.
G. Penanggulangan masalah sosial G. Penanggulangan masalah sosial. G. Perumahan.
lintas kabupaten/kota.

H. Pelayanan bidang H. Pelayanan bidang H. Kepemudaan dan olahraga.


ketenagakerjaan lintas ketenagakerjaan.
kabupaten/kota.
I. Fasilitasi pengembangan I. Fasilitasi pengembangan I. Penanaman modal.
koperasi, usaha kecil, dan koperasi, usaha kecil dan
menengah termasuk lintas menengah.
kabupaten/kota.
J. Pengendalian lingkungan hidup. J. Pengendalian lingkungan hidup. J. Koperasi dan usaha kecil dan
menengah.

K. Pelayanan pertanahan termasuk K. Pelayanan pertanahan. K. Kependudukan dan catatan sipil.


lintas kabupaten/kota.

L. Pelayanan kependudukan, dan L. Pelayanan kependudukan, dan L. Ketenagakerjaan.


catatan sipil. catatan sipil.

M . Pelayanan administrasi umum M . Pelayanan administrasi umum M . Ketahanan pangan.


pemerintahan. pemerintahan.

N. Pelayanan administrasi N. Pelayanan administrasi N. Pemberdayaan perempuan dan


penanaman modal termasuk penanaman modal. perlindungan anak.
lintaskabupaten/kota.
O. Penyelenggaraan pelayanan O. Penyelenggaraan pelayanan O. Keluarga berencana dan
dasar lainnya yang belum dasar lainnya. keluarga sejahtera.
dapatdilaksanakan oleh
kabupaten/kota
P. Urusan wajib lainnya yang P. Urusan wajib lainnya yang P. Perhubungan.
diamanatkan oleh peraturan diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan. perundang-undangan.

Q. Komunikasi dan informatika.


R. Pertanahan.
S. Kesatuan bangsa dan politik
dalam negeri.

T. Otonomi daerah, pemerintahan


umum, administrasikeuangan
daerah, perangkat daerah,
kepegawaian,dan persandian.

U. Pemberdayaan masy arakat dan


desa.
V. Sosial.
W. Kebudayaan.
X. Statistik.
Y. Kearsipan.
Z. Perpustakaan.

Untuk melaksanakan SPM, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65


Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Pasal 1 ayat
(5) PP 65/2005 menyebutkan “Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan hak
dan pelayanan dasar warga negara yang penyelenggaraanya diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan kepada Daerah untuk perlindungan hak konstitusional, kepentingan nasional, kesejahteraan
masyarakat, serta ketenteraman dan ketertiban umum dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia serta pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan
perjanjian dan konvensi internasional”. Dalam penjelasan PP 65/2005 disebutkan SPM diterapkan
pada urusan wajib Daerah terutama yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Untuk urusan
pemerintahan lainnya, daerah dapat mengembangkan dan menerapkan standar/indikator kinerja.

Pasal 1 ayat (6) PP 65/2005 mendefinisikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah
ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal. PP 65/2005 tidak menampilkan daftar spesifik urusan wajib
dan pelayanan dasar. PP 65/2005 hanya mendefinisikannya di Pasal 1 ayat (5) dan ayat (8).
Selanjutnya, pelayanan dasar didefinisikan sebagai jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Pasal 2
ayat (2) PP 65/, SPM disusun dan diaplikasikan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan
pelayanan dasar sesuai dengan perundang-undangan.

UU 32/2004 mengamanatkan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan


pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah (meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,
serta agama). Implementasi desentralisasi dan otonomi daerah mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara Pemerintah dengan pemerintahan daerah. Terkait dengan urusan pemerintahan
yang bersifat konkuren, pembagian urusan pemerintahan didasarkan atas kriteria eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi. Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan
urusan pilihan. Untuk pelaksanaan pembagian urusan pemerintahan tersebut pemerintah menetapkan
PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Deerah Kabupaten/Kota. Tabel 1.2. menunjukkan urusan wajib yang menjadi
kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota. Pasal 1 ayat (6) PP 38/2007
menyatakan kebijakan nasional adalah serangaian aturan yang dapat berupa norma, standar, prosedur
dan/atau kriteria yang ditetapkan Pemerintah sebagai pedoman penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Pasal 9 ayat (1) menyebutkan bahwa menteri /kepala lembaga pemerintah non-departemen
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan
pilihan.

PP 38/2007 dan PP 65/2004 merupakan penjabaran lebih lanjut pembagian urusan


pemerintahan pasal 14 ayat (3) UU 32/2004:

• Pasal 14 ayat (3): “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan peraturan Pemerintah.
Lebih khusus PP 65/2004 mengatur secara spesifik SPM:

• Pasal 11 ayat (4): “Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan


daerah, yang diselenggarkan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan”
Keterkaitan SPM dan NSPK ditunjukkan oleh Pasal 8 ayat (1) PP 65/2005 yang menyatakan: “Untuk
mendukung penerapan SPM, Menteri yang bersangkutan menyusun petunjuk teknis yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri”, dan ayat (2) yang menyatakan: “Untuk mendukung penerapan SPM,
Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen menyusun petunjuk teknis yang ditetapkan dengan
Peraturan Menteri terkait”. Dalam penjelasan PP 65/2005 disebutkan bahwa SPM berbeda dengan
Standar Teknis, karena Standar Teknis merupakan faktor pendukung pencapaian SPM.
Tabel 1.2. Dasar Hukum SPM dan NSPK

No. SPM NSPK

1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah.
2 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 -
Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
3 Peraturan Pemerintah No. 65 Pedoman Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Minimum. Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.
4 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2004 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005
Tentang Rencana Kerja Pemerintah. Tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
5 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2007 Peraturan Presiden Republik Indonesia
Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pengesahan,
Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Penundangan, Dan Penyebarluasan Peraturan
Keterangan Pertanggungjawaan Kepala Perundang-Undangan.
Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan Informasi Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada
Masyarakat.
6 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2004
Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Tentang Rancangan Kerja Pemerintah.
Pemerintah Daerah.
7 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 6 Tahun Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2007
2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Tentang Laporan Penyelenggaraan
dan Petetapan Standar Pelayanan Minimal. Pemerinah Daerah Kepada Pemerintahan,
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
Kepala daerah Kepada DPRD, dan Informasi
Laporan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah Kepada Masyarakat.
8 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 79
Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pencapaian Standar Pelayanan Minimal.
9 Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 100.05-
76 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Tim
Konsultasi Penyusunan SPM.

1.1. Bentuk Hukum NSPK


NSPK sebagai salah satu kebijakan nasional yang mengatur pedoman penyelenggaraan
urusan pemerintahan di Indonesia, merupakan bentuk dari perwujudan amanat PP 38/2007 Tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terkait urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah
daerah yang disebutkan di Pasal 6. Amanat pembentukan NSPK seperti yang disebutkan dalam Pasal
1 Ayat (6), menjadi tugas dari Pemerintah yang kemudian berdasarkan Pasal 9 diamanahkan kepada
menteri/ kepala lembaga pemerintah non departemen untuk menyusunnya.

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tata cara penyusunan NSPK sebagai


sebuah peraturan perundang-undangan secara tidak langsung mengacu pada UU 10/2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mengapa demikian? Dalam pembagian urusan
pemerintahan dalam UU 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Urusan Pemerintah dapat dibagi
menjadi dua, urusan pemerintah pusat dan urusan pemerintah yang menjadi wewenang pemerintah
daerah (urusan konkuren). Untuk urusan pemerintah pusat, segala pelaksanaannya menjadi wewenang
pemerintah pusat sedangkan dalam urusan konkuren terdapat kewenangan pemerintah daerah di
dalam pelaksanaannya. Urusan konkuren ini dapat dibagi menjadi dua yaitu urusan wajib dan urusan
pilihan. Urusan wajib sendiri berdasarkan cakupannya dapat dikategorikan menjadi urusan wajib yang
merupakan pelayanan dasar dan urusan wajib di luar pelayanan dasar.

PP 38/2007 menyatakan bahwa NSPK mengatur tentang semua urusan wajib, pilihan dan
urusan sisa. Khusus untuk urusan wajib terkait dengan pelayanan dasar harus berpedoman pada
standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan oleh pemerintah. Berbeda dengan SPM yang telah
diatur dari proses pembentukan, rancangan sampai dengan penetapan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah, NSPK tidak memiliki aturan yang secara langsung menetapkan bagaimana proses
pembentukan NSPK, seperti ditunjukkan oleh Gambar 1.1.

Gambar 1.1. NSPK dalam Peraturan Perundang-undangan

Terdapat beberapa jenis produk hukum kementerian/lembaga pemerintah, meliputi: Peraturan,


Keputusan, Instruksi, Surat Perintah, dan Surat Edaran. Peraturan Menteri merupakan kebijakan
umum dan pengaturan kebijakan pokok yang bersifat umum dan mengikat yang harus dilaksanakan
unit kerja di lingkungan kementerian/lembaga tersebut. Peraturan Menteri memuat pelaksanaan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; atau perubahan, penambahan dan pencabutan dari
suatu Peraturan Menteri. Keputusan menteri yang bersifat penetapan memuat antara lain: a)
Pembentukan, perubahan status dan pembubaran suatu organisasi, badan, panitia, tim/kelompok. b)
Pelimpahan atau penyerahan wewenang tertentu kepada Pejabat di bawahnya. c) Penunjukkan,
pengangkatan dan pemberhentian sesorang pada jabatan tertentu. d) Pemberian tanda jasa kepada
seseorang. Instruksi Menteri memuat perintah kepada satuan kerja Eselon I untuk melaksanakan
kebijakan. Surat Perintah memuat perintah kepada seseorag atau beberapa orang pejabat untuk
melakukan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu. Surat Edaran memuat petunjuk yang bersifat
teknis, terperinci menjadi hal-hal yang harus dikerjakan, diperhatkan dan dilaksanakan oleh seluruh
satuan kerja Inspektur Jenderal dan dapat dilimpahkan atau diserahkan kepada Pejabat Eselon II di
bawahnya di lingkungan kerja masing-masing.

Dari definisi dan sifat masing-masing produk hukum kementerian/lembaga pemerintah


tersebut, peraturan menteri (permen) atau peraturan kepala (perka) adalah bentuk produk hukum yang
paling tepat untuk NSPK karena NSPK adalah bentuk pelaksanaan peraturan perundang-undangan PP
38/2007 dan UU 32/2004. Selain itu NSPK merupakan kebijakan umum dan pengaturan mengenai
kebijakan pokok yang bersifat umum dan mengikat baik Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah
Provinsi maupun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

PP 38/2007 telah menyebutkan bahwa NSPK merupakan peraturan yang penetapannya


menjadi kewenangan menteri. Seperti yang telah dijelaskan diatas karena belum adanya peraturan
pemerintah yang mengatur proses pembuatan NSPK maka dalam proses pembentukanya sendiri harus
merujuk kepada UU 10/2004 sebagai aturan dasar perundang-undangan di Indonesia. Sehingga dalam
proses pembentukan sebuah NSPK, dalam melakukan legal drafting kementerian/lembaga non
kementerian memasukkan NSPK sebagai peraturan menteri/kepala lembaga. Penyusunan NSPK
sendiri dalam masing-masing kementerian/lembaga non kementerian diserahkan kepada
direktorat/unit kerja/biro yang bertanggung jawab atas masing-masing sub bidang dalam lampiran PP
38/2007 dengan mengacu pada UU 10/2004.

1.2. Posisi NSPK


Urusan pemerintahan menurut PP 38/2007 adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi
hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus
fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi fungsi-fungsi tersebut
yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan dan
mensejahterakan masyarakat. Kebijakan nasional adalah serangkaian aturan yang dapat berupa norma,
standar, prosedur dan/atau kriteria yang ditetapkan Pemerintah sebagai pedoman penyelenggaraan
urusan pemerintah daerah.

Gambar 1.2 di bawah ini menunjukkan urusan pemerintahan menurut PP 38/2007. Urusan
tersebut dibagi menjadi: urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan sisa di mana kesemuanya
membutuhkan NSPK (Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1)). Pelaksanaan urusan pemerintahan yang
terkait dengan pelayanan dasar harus berpedoman pada SPM (Pasal 7 ayat (1) dan pasal 8 ayat (1)).
Urusan wajib mencakup pelayanan dasar NSPK sebagai payung pembuatan SPM maka SPM juga
harus dibuatkan NSPK.
Gambar 1.2. Posisi NSPK
URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI Norma, Standar, Prosedur dan
KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH
Kriteria (NSPK) (PP 38/2007,
Penjelasan Pasal 9)
• Norma adalah aturan atau ketentuan
URUSAN WAJIB yang dipakai sebagai tatanan untuk
URUSAN PILIHAN penyelenggaraan pemerintahan daerah.
• Standar adalah acuan yang dipakai
sebagai patokan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
• Prosedur adalah metode atau tata cara
Pelayanan untuk penyelenggaraan pemerintahan
Dasar daerah.
• Kriteria adalah ukuran yang
dipergunakan menjadi dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Urusan Sisa

Standar Pelayanan Minimal


(PP 65/2005 Pasal 1 Ayat 6)
“Ketentuan tentang jenis dan mutu
pelayanan dasar yang merupakan urusan
wajib daerah yang berhak diperoleh setiap
warga secara minimal.”

Sumber: PP 38/2007 dan PP 65/2005, diolah

1.3. Lingkup dan Prinsip NSPK


Berdasarkan PP 38/2007, terdapat beberapa prinsip NSPK yang dapat dijabarkan,
yaitu serangkaian aturan yang merupakan kebijakan nasional, dapat berupa NSPK yang
ditetapkan Pemerintah sebagai pedoman untuk pemerintahan daerah. Pada pasal 9 ayat (1),
dijelaskan bahwa penyelenggaraan yang dimaksud meliputi urusan wajib dan pilihan, serta
penetapan untuk urusan sisa dijeaskan pada pasal 25 ayat (1). Dalam hal ini, penyelenggaraan
tersebut merupakan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang pemerintahan daerah.
Urusan wajib dan pilihan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah ditetapkan dalam
peraturan daerah selambat-lambatnya satu tahun setelah ditetapkan Peraturan Pemerintah ini.
Urusan wajib dan pilihan yang dimaksud, menjadi dasar penyusunan organisasi dan tata kerja
perangkat daerah.
Gambar 1.3. Lingkup NSPK

Urusan Pemerintahan Yang


UU 32/2004 Pasal
Menjadi Wewenang
10 Ayat 2
Pemerintahan Daerah

Asas Tugas
Pembantuan Asas Otonomi

UU 32/2004 Pasal
PP 65/2005 Tentang
10 Ayat (2) dan PP PP 38/2007 Tentang
Pedoman
38/2007 Pasal 9 Peraturan Lainnya Pembagian urusan
Penyusunan dan
Ayat(1) Pemerintahan
Penetapan SPM

Urusan Wajib Urusan Pilihan Urusan Sisa


NSPK NSPK Pelayanan Dasar
(Pasal 6-7) (Pasal 6-7) (Pasal 15)

NSPK NSPK NSPK

SPM

Sumber: UU 32/2004, PP 65/2005 dan PP 38/2007, diolah

Penetapan NSPK dilakukan oleh menteri/kepala lembaga pemerintah non


departemen dan diberlakukan untuk seluruh Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
Di dalam penetapan NSPK, memperhatikan keserasian hubungan Pemerintah dengan
pemerintahan daerah dan antar pemerintah daerah sebagai satu kesatuan sistem dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penetapan NSPK juga harus melibatkan
pemangku kepentingan terkait dan berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Dalam hal
ini, penetapan NSPK dilakukan paling lambat dalam waktu dua tahun setelah ditetapkannya
PP 38/2007.
Pada dasarnya NSPK bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau,
dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga pelaksanaan urusan wajib, pilihan, dan sisa
dapat berjalan secara sempurna. Dalam hal ini, NSPK sebagai pedoman disesuaikan dengan
perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta
kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan.

Berikut adalah garis besar substansi yang menjadi guideline bagi pembuatan NSPK:

1.3.1. Konsiderans
Konsiderans merupakan salah satu substansi dalam sebuah kerangka peraturan. Berikut
adalah beberapa hal terkait dengan konsiderans dalam pembuatan sebuah peraturan:

1. Konsiderans diawali dengan kata “Menimbang”.


2. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi
latar belakang dan alasan pembuatan NSPK.
3. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans NSPK memuat unsur filosofis, yuridis, dan
sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.
4. Pokok-pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa NSPK dianggap perlu untuk
dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan
alasan dibuatnya NSPK tersebut.
5. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran
dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
6. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu
kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.
Contoh:
Permen Kementerian Pekerjaan Umum Nomor 4 tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan
Wadah Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota,
dan Wilayah Sungai

Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 87 ayat (5) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum tentang Pedoman Pembentukan Wadah Koordinasi
Pengelolaan Sumber Daya Air pada Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan
Wilayah Sungai.

1.3.2. Mengingat
1. Mengingat diletakkan setelah Konsiderans yang berisi tentang Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri,
dan Keputusan Menteri. Perundang-undangan tersebut harus sesuai dengan urutannya,
tetapi tidak wajib memiliki seluruhnya dalam pembuatan NSPK.
2. Seperti contoh pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun
2010 Tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria di Bidang Pendidikan adalah
sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
c. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4737);
d. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 tentang
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara;
e. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi,
Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
f. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 mengenai pembentukan Kabinet
Indonesia Bersatu II.
1.3.3. Ketentuan Umum
1. Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam Peraturan Perundang-
undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam
pasal - pasal awal. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
2. Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim vang digunakan dalam peraturan;
c. hal- hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal - pasal berikutnya antara
lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
3. Frase pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi -Dalam Undang-
Undang ini yang dimaksudkan dengan:
4. Frase pembuka dalam ketentuan umum Peraturan Perundang-undangan di bawah
Undang-Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya.
5. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi singkatan atau akrorim
lebih dari satu, maka masing- masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab
dan diawali dengan huraf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
6. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang
digunakan berulangulang di dalam pasal - pasal selanjutnya.
7. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu
diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan
agar kata atau istilah itu diberi definisi.
8. Jika suatu batasan pengertian atau definsi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan
umum suatu peraturan pelaksanaan, maka ramusan batasan pengertian atau definisi di
dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau
definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
9. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi, untuk
menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi,
singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus
dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
10. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari
yang berlingkup khusus;
b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur
ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan
berdekatan secara berurutan.
11. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari
yang berlingkup khusus;
b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur
ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan
berdekatan secara berurutan.
Contoh:
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang
standar pelayanan minimal bidang kesehatan di kabupaten/kota, Bab I pasal I tentang
ketentuan umum, yang dimaksud dengan:
a. Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan selanjutnya disebut SPM Kesehatan
adalah tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Daerah
Kabupaten/ Kota.
b. Pelayanan dasar kepada masyarakat adalah fungsi Pemerintah dalam memberikan
dan mengurus keperluan kebutuhan dasar masyarakat untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan rakyat.
c. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Menteri Kesehatan.
d. Daerah Otonom selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
e. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah Kabupaten/Kota dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Pemerintah Daerah adalah Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
g. Pengembangan kapasitas adalah upaya meningkatkan kemampuan sistem atau
sarana dan prasarana, kelembagaan, personil, dan keuangan untuk melaksanakan
fungsi- fungsi pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan pelayanan dasar
dan/atau SPM Kesehatan secara efektif dan efisien dengan menggunakan prinsip-
prinsip tata pemerintahan yang baik.

1.3.4. Maksud dan Tujuan


Pada bagian ini penyusunan peraturan harus mencakup maksud dan tujuan dalam pembuatan
peraturan tersebut. Jika peraturan perundang-undangan mempunyai materi yang ruang lingkupnya
sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal (-pasal) tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku
(jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf.

Contoh:
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 828/Menkes/SK/IX/2008 tentang Petunjuk Teknis
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota

Bab I Sub-Bab B tentang maksud dan tujuan bahwa petunjuk Teknis Standar Pelayanan
Minimal ini dimaksudkan guna memberikan panduan kepada daerah dalam melaksanakan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian, serta pengawasan dan pertanggungjawaban
penyelenggaraan standar pelayanan minimal bidang kesehatan di Kabupaten/Kota.

Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota ini


bertujuan untuk menyamakan pemahaman tentang definisi operasional, indikator kinerja,
ukuran/satuan, rujukan (buku pedoman, standar teknis), target nasional untuk tahun 2010 dan
2015, cara perhitungan pencapaian kinerja/target/rumus satuan, pembilang dan penyebut,
rumus perhitungan, sumber data, langkah-langkah kegiatan dan kebutuhan Sumber Daya
Manusia untuk masing-masing indikator SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.

1.3.5. Hal-hal yang akan diatur


Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak
ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal – pasal ketentuan umum.
Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria atau ruang
lingkup yang dijadikan dasar pembagian.

Contoh:
Permen Kementerian Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis
Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung

Pasal Pasal 2 ayat (3)


Lingkup pemeriksaan berkala meliputi:

a. Tata cara pemeriksaan berkala bangunan gedung;


b. Daftar simak dan evaluasi hasil pemeriksaan berkala; dan
c. Jenis-jenis kerusakan komponen bangunan gedung.

1.3.6. Persyaratan
Persyaratan adalah hal-hal yang harus dipenuhi dalam penyusunan peraturan. Dalam UU No
10 Tahun 2004 bagian penjelasan dijelaskan bahwa untuk membentuk peraturan yang baik,
diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan
pembahasan, teknik, penyusunan maupun pemberlakuannya.

Contoh yang dapat diambil dari persyaratan adalah pada Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI Nomor 25 tahun 2007 tentang persyaratan dan prosedur bagi warga negara asing untuk
menjadi mahasiswa pada perguruan tinggi di Indonesia. Disebutkan pada Pasal 3 bahwa Persyaratan
bagi warga negara asing untuk menjadi calon mahasiswa pada perguruan tinggi di Indonesia meliputi:

a. memenuhi persyaratan akademik untuk mengikuti pendidikan tinggi di Indonesia;


b. memiliki sumber pembiayaan untuk menjamin kelangsungan mengikuti pendidikan di
perguruan tinggi;
c. diterima oleh perguruan tinggi sebagai mahasiswa;
d. memiliki izin belajar dari Sekretariat Jenderal;
e. memiliki visa atau izin tinggal di Indonesia; dan
f. mematuhi peraturan perundang- undangan di Indonesia dan ketentuan perguruan tinggi
yang dituju.

1.3.7. Tata cara/Mekanisme


Tata cara/mekanisme secara umum mengatur mengenai perencanaan urutan, sistematika,
pelaksanaan secara teknis, dan sebagainya yang terkait dengan cara dasar penyusunan Peraturan
Daerah. Perencanaan tersebut disusun untuk membentuk kebijakan dan strategi dari Pemerintah Pusat
sebagai acuan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan pada bidang yang bersangkutan. Tata
cara/mekanisme penyusunan perundang-undang dan peraturan dapat dilihat secara jelas pada UU
10/2004.

Contoh:
Pada Permen Kementerian Pekerjaan Umum Nomor 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), tata cara/mekanisme ditempatkan
pada bab terpisah, yaitu Kebijakan dan Strategi.

Pasal 4
(1) Perencanaan pengembangan SPAM disusun mengacu pada Kebijakan dan Strategi
Pengembangan SPAM.
(2) Pemerintah Daerah wajib menyusun Kebijakan dan Strategi Pengembangan
SPAM Daerah mengacu pada Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan
SPAM dan peraturan pemerintah yang berlaku.
(3) Kebijakan dan Strategi Pengembangan SPAM Daerah antara lain memuat rencana
strategis dan program pengembangan SPAM.
(4) Rencana strategis dan program pengembangan SPAM sebagaimana disebutkan
pada ayat (4) memuat:
a. Identifikasi potensi dan rencana alokasi air baku untuk wilayah pelayanan
sesuai perkembangannya;
b. Garis besar sistem penyediaan air baku di wilayah administratif;
c. Garis besar rencana pembagian wilayah administratif menjadi satu atau lebih
wilayah pelayanan sesuai potensi air baku dan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) baik wilayah pelayanan dengan jaringan perpipaan maupun wilayah
pelayanan dengan bukan jaringan perpipaan;
d. Indikasi program pengembangan untuk setiap rencana wilayah pelayanan
berdasarkan urutan prioritas;
e. Kriteria dan standar pelayanan di wilayah administratif kabupaten atau kota;
f. Indikasi keterpaduan program dengan pengembangan prasarana dan sarana
sanitasi yang merupakan dampak penggunaan air minum untuk wilayah
pelayanan yang dianggap strategis dan merupakan wilayah pusat
pertumbuhan;
g. Indikasi alternatif pembiayaan dan pola investasi untuk wilayah pelayanan
yang dianggap strategis dan merupakan wilayah pusat pertumbuhan; serta
h. Indikasi pengembangan kelembagaan untuk wilayah pelayanan yang dianggap
strategis dan merupakan wilayah pusat pertumbuhan.
(5) Dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM dan/atau Prasarana dan Sarana
Sanitasi, Pemerintah Daerah mengutamakan kerjasama antar-daerah.
(6) Dalam hal penyusunan rencana strategi dan program pengembangan SPAM,
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus mengikutsertakan penyelenggara
SPAM dan para pemangku kepentingan dalam bentuk konsultasi publik.

1.3.8. Kriteria
Kriteria adalah hal-hal yang harus dipenuhi dan ukuran yang menjadi dasar penilaian atau
penetapan sesuatu. Dalam penyusunan peraturan, kriteria merupakan hal mendasar yang harus
dipenuhi.

Contoh untuk kriteria dapat dilihat dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11
Tahun 2009 tentang kriteria dan perangkat akreditasi Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI).
Penjelasan mengenai kriteria terdapat pada pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) yang isinya sebagai berikut:

a. Kriteria dan perangkat akreditasi sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI)


meliputi instrumen akreditasi, petunjuk teknis pengisian instrumen akreditasi,
instrumen pengumpulan data dan informasi pendukung akreditasi, serta teknik
penskoran dan pemeringkatan hasil akreditasi.
b. Kriteria dan perangkat akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan untuk penilaian kelayakan sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah
(SD/MI) yang diakreditasi.
Pemerintah Pusat Pemerintah Daer ah Provinsi Pemerintah Daer ah Kabupaten

Pasal 7 Pasal 8 Pasal 3


(2) Berdasarkan laporan (3) Monitoring dan evaluasi Di luar jen is pelayanan
teknis tahunan sebagaimana sebagaimana d imaksud pada ayat sebagaimana d imaksud dalam
dimaksud pada ayat (1) (1) pasal 8 dilakukan oleh gubernur Pasal 2 ayat (2), Kabupaten/Kota
Menteri Kesehatan melakukan sebagai wakil pemerintah di daerah tertentu wajib menyelenggarakan
pembinaan dan pengawasan untuk Pemerintahan Daerah jenis pelayanan sesuai kebutuhan,
teknis penerapan SPM Kabupaten/Kota. karakteristik, dan potensi daerah.
Kesehatan.
Pasal 8 Pasal 11 Pasal 5
(1) Menteri Kesehatan (2) Pendanaan yang berkaitan (1) Bupati/Walikota bertanggung
melaksanakan monitoring dan dengan penerapan, pencapaian jawab dalam penyelenggaraan
evaluasi atas penerapan SPM kinerja/target, pelaporan, pelayanan kesehatan sesuai SPM
Kesehatan oleh Pemerintah monitoring, dan evaluasi, Kesehatan yang dilaksanakan
Daerah dalam rangka pembinaan dan pengawasan, oleh Perangkat Daerah
men jamin akses dan mutu pembangunan sub-sistem informasi Kabupaten/Kota dan masyarakat;
pelayanan dasar kepada manajemen, serta pengembangan (2) Penyelenggaraan pelayanan
masyarakat. kapas itas, yang merupakan tugas kesehatan sesuai SPM Kesehatan
dan tanggung jawab pe merintahan sebagaimana d imaksud pada ayat
daerah dibebankan kepada APBD. (1) secara operasional
Pasal 10 Pasal 13 dikoordinasikan oleh Dinas
(1) Menteri Kesehatan (2) Gubernur selaku wakil Kesehatan Kabupaten/ Kota; (3)
memfasilitasi pengembangan pemerintah di daerah dalam Penyelenggaraan pelayanan
kapas itas melalui peningkatan melakukan pengawasan teknis atas kesehatan sesuai SPM Kesehatan
kemampuan sistem, penerapan dan pencapaian SPM dilakukan oleh tenaga kesehatan
kelembagaan, personal, dan Kesehatan, dibantu oleh Inspektorat sesuai dengan kualifikasi dan
keuangan, baik di tingkat Provins i berkoordinasi dengan ko mpetensi yang dibutuhkan.
pemerintah maupun Inspektorat Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota
c. Kriteria dan perangkat akreditasi sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran I, II, III, dan
IV Peraturan Menteri ini.

1.3.9. Kewenangan Provinsi dan Kabupaten/Kota


Kewenangan adalah hak dan kekuasaan yg dimiliki suatu instansi untuk melakukan sesuatu.
Oleh karena itu, urusan antara provinsi dan kabupaten/kota harus jelas sampai dimana batasan
wewenang masing-masing pihak. Bahasan kewenangan menjadi bab tersendiri dalam pembentukan
NSPK. Bahasan kewenangan ini meliputi kedudukan, tugas, dan fungsi dari Pemerintah Pusat sampai
Pemerintah Daerah pada suatu urusan tertentu.

Contoh:
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.741/MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal di Kabupaten/Kota

1.3.10. Pendanaan
Pendanaan pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial di
provinsi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi. Pendanaan
pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial di kabupaten/kota
bersumber dari APBD kabupaten/kota. Pemerintah dapat memberikan bantuan pendanaan
pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Seperti contoh pada Lampiran I Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 5 Tahun
2010, tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan Tahun
Anggaran 2005, Bab II, Sub-bab C adalah sebagai berikut:

a. DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2010 disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari
Rekening Kas Umum Negara (Pemerintah Pusat c.q Departemen Keuangan) ke Rekening Kas
Umum Daerah (kabupaten/kota).
b. Mekanisme dan tata cara mengenai penyaluran DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2010
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Penyaluran dana diberikan secara penuh/utuh baik dari kas umum negara ke kas umum daerah
maupun dari kas umum daerah ke rekening sekolah tanpa ada potongan dalam bentuk apapun.
d. Penyaluran dana dari Kas Umum Daerah ke rekening sekolah mempertimbangkan jangka
waktu pelaksanaan kegiatan dengan batas waktu kegiatan, pelaporan, dan saat
pemanfaatannya.
e. Kewajiban pajak atas penggunaan DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2010 diselesaikan
oleh sekolah penerima DAK bidang pendidikan tahun anggaran 2010 sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

1.3.11. Pelaporan
Dalam setiap urusan yang dilakukan, Pemerintah Daerah wajib membentuk tim/unit khusus
untuk membuat laporan dari Satuan Kerja untuk urusan yang dilakukan. Tim/unit khusus tersebut
langsung dikepalai oleh Kepala Satuan Kerjadari urusan yang dilakukan. Pengawasan dari pelaporan
diawasi langsung oleh badan yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.

Contoh:
Permen Kementerian Pekerjaan Umum Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan
Kegiatan Departemen Pekerjaan Umum Yang Merupakan Kewenangan Pemerintah dan
Dilaksanakan Sendiri.

Pasal 10
(1) Setiap Unit Satuan Kerja wajib membentuk Unit Akuntansi Kuasa Pengguna
Anggaran/Barang (UAKPA/UAKPB).
(2) Setiap Unit Eselon I yang mempunyai kegiatan di daerah wajib membentuk Unit
Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran/Barang Wilayah (UAPPA-W/UAPPB-
W) pada provinsi terkait.
(3) Setiap Unit Eselon I wajib membentuk Unit Akuntansi Pembantu Pengguna
Anggaran/Barang Eselon I (UAPPA-E1/UAPPB-E1).
(4) Kepala Satuan Kerja selaku Kuasa Pengguna Anggaran wajib menyusun dan
menyampaikan laporan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Petunjuk
Operasional Kegiatan.
(5) Kepala Satuan Kerja selaku Kuasa Pengguna Barang wajib menyusun dan
menyampaikan laporan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Petunjuk
Operasional Kegiatan.
(6) Penilaian kinerja Kepala Satuan Kerja salah satunya berdasarkan kepatuhan, yang
akan menjadi pertimbangan dalam penentuan Kasatker selanjutnya.
(7) Mekanisme pelaporan Satuan Kerja dilakukan sebagaimana tercantum dalam
lampiran 1.e yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan Menteri
ini.
Pasal 11
(1) Pengawasan eksternal pelaksanaan Satuan Kerja bidang pekerjaan umum
dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI).
(2) Pengawasan internal pelaksanaan Satuan Kerja bidang pekerjaan umum
dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Pekerjaan Umum atau Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
(3) Inspektorat Jenderal Departemen Pekerjaan Umum menyusun program
pemeriksaan tahunan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pemeriksaan.

1.3.12. Penataan dan Evaluasi


Penataan merupakan sebuah proses untuk penertiban, pengarahan, pengaturan, pengelolaan,
pengurusan, penyusunan, perancangan dan sistematika sebuah peraturan. Proses yang dilakukan
selanjutnya adalah proses evaluasi. Evaluasi dilakukan secara hierarki tingkat kekuasaan, misal
Pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan
jaminan kesejahteraan sosial di provinsi. Gubernur sebagai wakil Pemerintah melakukan pemantauan
dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial di
kabupaten/kota.

Berikut beberapa hal yang terkait dalam hal penataan dan evaluasi.

(1) Untuk menjamin sinergi berkesinambungan dan efektifitas langkah-langkah secara terpadu
dalam pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial, pemerintah
daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan pemantauan.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk mengetahui
perkembangan dan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan jaminan
kesejahteraan sosial.
(3) Pemantauan dilakukan secara berkala melalui koordinasi dan pemantauan langsung terhadap
SKPD yang melaksanakan kebijakan, program dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial.
(4) Pemantauan dilakukan mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan kebijakan,
program, dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial.
Evaluasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial
dilakukan minimal sekali dalam setahun. Hasil evaluas i pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan
jaminan kesejahteraan sosial digunakan sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijakan, program
dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial.

Contoh penataan dapat dijelaskan seperti pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57
Tahun 2007, tentang petunjuk teknis penataan organisasi perangkat daerah, yaitu pada pasal 2 yang
berbunyi Penataan organisasi perangkat daerah dilakukan melalui analisis jabatan dan analisis beban
kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara rinci pada Peraturan Menteri tersebut
menjelaskan tentang Penataan kelembagaan SKPD baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang
pembentukannya ditetapkan melalui peraturan daerah.

Untuk contoh evaluasi, seperti pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER.11/MEN/V/2009 tentang tata cara pemantauan dan evaluasi pengelolaan data dan
informasi ketenagakerjaan. Pada Bab III Pasal 7, disebutkan bahwa objek evaluasi pengelolaan data
dan informasi ketenagakerjaan meliputi hasil pemantauan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) yang berisikan sebagai berikut:

Objek pemantauan pengelolaan data dan informasi ketenagakerjaan meliputi:

a. Pengumpulan data dan informasi ketenagakerjaan;


b. Pengolahan data dan informasi ketenagakerjaan;
c. Penganalisisan data dan informasi ketenagakerjaan;
d. Penyimpanan data dan informasi ketenagakerjaan;
e. Penyajian data dan informasi ketenagakerjaan; dan
f. Penyebarluasan data dan informasi ketenagakerjaan.

1.3.13. Pembinaan dan Pengawasan


Kementeri Dalam Negeri dan Kementerian/Lembaga terkait melakukan pembinaan dan
pengawasan atas pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan terkait NSPK kepada pemerintahan
daerah provinsi. Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kebijakan,
program, dan kegiatan jaminan kesejahteraan sosial kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Contoh dari pembinaan dan pengawasan adalah pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
741/MENKES/PER/VII/2008 Bab IX Pasal 12 yang isinya sebagai berikut:

a. Menteri Kesehatan melakukan pembinaan teknis atas penerapan dan


pencapaian SPM Kesehatan.
b. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
menyusun Petunjuk Teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan.
c. Menteri Kesehatan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, dapat
mendelegasikan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah.

1.3.14. Ketentuan Penutup


Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Berikut adalah beberapa hal mengenai
ketentuan penutup.

1. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam


pasal (-pasal) terakhir. Pada umumnya ketentuan penutup memuat ketentuan
mengenai:
a. Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Peraturan
Perundangandangan;
b. Nama singkat;
c. Status peraturan perundang-undangan yang sudah ada; dan
d. Saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan.

2. Ketentuan penutup dapat memuat peraturan pelaksanaan yang bersifat:


a. Menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi
kewenangan untuk memberikan izin, mengangkat pegawai, dan lain- lain;
b. Mengatur (legislatif), misalnya, memberikan kewenangan untuk membuat
peraturan pelaksanaan.
Contoh:
Permen Kementerian Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Pemukiman (KSNP-SPALP) pada
Bab IV memuat ketentuan penutup yang berisi:

Pasal 7
(1) Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
(2) Peraturan Menteri ini disebarluaskan kepada para pihak yang bersangkutan untuk
diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

1.5. Asas-asas Pembentukan NSPK yang Terintegrasi dengan Guideline


Pembentukan peraturan perundang-undangan di Indones ia dirumuskan dan dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal
5 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan
harus berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan.
d. Dapat dilaksanakan.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.
f. Kejelasan rumusan.
g. Keterbukaan.
Terdapat pula asas yang harus dikandung dalam peraturan perundang-undangan, yaitu materi
muatan yang terdapat pada Pasal 6 ayat 1 yang berisi:

a. Pengayoman.
b. Kemanusiaan.
c. Kebangsaan.
d. Kekeluargaan.
e. Kenusantaraan.
f. Bhinneka Tunggal Ika.
g. Keadilan.
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

1.6. Urgensi NSPK


Secara umum pembentukan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) dilandasi oleh sebuah
urgensi yang terjadi di setiap daerah dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Berdasarkan
UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah menjadi
wewenang pemerintah daerah kecuali urusan-urusan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Dalam hal ini, penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantu.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, terdapat dua urusan yang dipegang oleh
pemerintah daerah, yaitu Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang wajib
dise lenggarakan oleh pemerintah daerah yang terkait dengan pelayanan dasar bagi masyarakat, seperti
pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan, dan sebagainya. Di
dalam Urusan Wajib, terdapat dua aturan yaitu Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan NSPK.
Dalam hal ini SPM merupakan aturan yang mengatur pelayanan dasar yang wajib dilaksanakan oleh
pemerintah daerah. Sedangkan NSPK, merupakan aturan yang juga harus dilaksanakan oleh
pemerintah daerah mengenai segala urusan wajib diluar pelayanan dasar. Urusan pilihan merupakan
urusan pemerintah yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait
dengan upaya mengembangkan potensi unggulan yang menjadi kekhasan daerah. Di dalam urusan
pilihan, aturan yang digunakan sebagai acuan adalah NSPK.

Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, baik urusan wajib maupun pilhan,
keduanya membutuhkan NSPK. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indones ia
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Sehingga urgensi umum NSPK
adalah aturan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah di mana NSPK harus
dipenuhi sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
Adanya NSPK diharapkan dapat mengantar pemerintah daerah dalam menjalankan urusan wajib dan
pilihan secara sempurna.

1.7. NSPK dan Perencanaan


Suatu perencanaan mutlak diperlukan dalam proses pembangunan suatu negara dalam hal ini
Indonesia karena terjadinya berbagai hal seperti kegagalan pasar, adanya bantuan luar negeri,
mobilisasi dan alokasi sumber daya, distribusi sumber daya yang kurang merata sehingga
menyebabkan kesenjangan. Definisi perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan masa depan
yang tepat melalui serangkaian pilihan. Secara umum pengertian perencanaan merupakan proses
penyusunan berbagai kegiatan maupun kebijakan/keputusan secara sistematis yang akan dilaksanakan
pada masa hadapan untuk mencapai tujuan tertentu.

Beberapa pakar juga menyatakan bahwa perencanaan merupakan proses pembuatan kebijakan
untuk mengendalikan masa depan yang ditentukan. Proses pembuatan perencanaan perlu
memperhatikan beberapa hal seperti pemilihan alternatif yang ada, alokasi sumber daya, target yang
akan dituju pada masa mendatang dan siapa yang akan menjalankannya. Perencanaan dapat dijadikan
sebagai pedoman bagi kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Perencanaan juga dapat berfungsi sebagai alat prediksi masa depan dan alat ukur untuk
melakukan evaluasi terhadap pencapaian tujuan tertentu.

Ruang lingkup perencanaan secara kewilayahan dapat dilakukan dalam skala nasional
maupun daerah. Perencanaan pembangunan nasional perlu dilakukan oleh suatu negara agar dapat
menjamin kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien dan bersasaran. Berdasarkan Instruksi
Presiden Nomor 7/1999 perencanaan strategis merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil
yang hendak dicapai instansi selama waktu 1-5 tahun dengan memperhitungkan segala aspek
termasuk potensi, peluang dan kendala yang ada dan yang mungkin muncul.

Perencanaan pembangunan dalam skala nasional dituangkan dalam dokumen perencaan


seperti RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang dilakukan 25 tahun), RPJMN
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang dilakukan 5 tahun) dan RKP (Rencana
Kerja Pemerintah-tahunan). Pada tahun 2004 Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 25/2004 tentang
sistem perencanaan pembangunan nasional yang dapat mendukung koordinasi antar pelaku
pembangunan, harmonisasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, sinergi
antar daerah dan antar instansi pemerintah seperti ditunjukkan oleh Gambar 7.7.

Sistem perencanaan pembangunan mengamanatkan konsistensi dari proses perencanaan,


penganggaran, pelaksanaan hingga proses pengawasan yang kesemuanya perlu melibatkan peran aktif
stakeholder yang ada. UU 25/2004 juga mewajibkan setiap daerah harus menyusun rencana
pembangunan secara sistematis, terarah, terpadu dan tanggap terhadap perubahan (pasal 2 ayat 2). Hal
ini sejalan dengan UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, pada Bab VII pasal 150 disebutkan
bahwa daerah wajib memiliki dokumen RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah 25
tahun), RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 5 tahun) dan RKPD (Rencana
Kerja Pemerintah Daerah-tahunan).

Implikasi pelaksanaan desentralisasi di Indonesia dengan berbagai peraturan perundang-


undangan yang mengaturnya seperti UU 22/1999 dan UU 32/2004 adalah beberapa kewenangan
pemerintah tetap menjadi milik pemerintah pusat seperti politik internasional, pertahanan, keamanan
nasional, keadilan, moneter dan fiskal tetapi ada juga kewenangan yang dilimpahkan kepada
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Berdasarkan UU 22/1999, kewenangan pemerintah pusat dan daerah diatur dengan Peraturan
Pemerintah (PP) 25/2000 kemudian peraturan tentang pemerintahan daerah direvisi dengan
dikeluarkannya UU 32/2004. Untuk melaksanakan UU 32/2004 maka pemerintah mengeluarkan PP
38/2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.

Berdasarkan PP 38/2007 terdapat 31 urusan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah,
28 urusan dianggap sebagai urusan wajib dan 8 urusan pilihan. PP ini juga mengenalkan konsep
NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria) sebagai pedoman pelaksanaan fungsi dan kewenangan
pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah dalam memberikan pelayanan publik. Oleh sebab
itu pelaksanaan setiap urusan harus berpedoman pada NSPK. NSPK disusun oleh masing-masing
kementerian dan lembaga non kementerian terkait, dengan kata lain dalam hal perencanaan nasional
maupun daerah perlu memperhatikan kewenangan antara pusat dan daerah dengan berpedoman pada
NSPK sesuai dengan amanat PP 38/2007.

Pembagian urusan pemerintahan dalam bidang perencanaan pembangunan sesuai dengan PP


38/2007 (lampiran) sub bidang perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah, sub sub bidang
perumusan kebijakan maka kewenangan pemerintah pusat adalah penetapan pedoman dan standar
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian daerah. Sedangkan kewenangan pemerintah provinsi
adalah penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah pada skala pembangunan
provinsi dan pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah provinsi. Manakala pemerintah
kabupaten/kota memiliki 3 kewenangan yaitu :

1. Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah


pada skala kabupaten/kota.
2. Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota.
3. Penetapan pedoman dan standar perencanaan pembangunan daerah kecamatan/desa.
Berdasarkan UU 32/2004 pasal 150 ayat 1 menyatakan dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah maka disusunlah perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam
sistem perencanaan pembangunan nasional. Bahkan dalam ayat 2 menyatakan bahwa perencanaan
pembangunan daerah disusun pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan
disini merujuk pada PP 38/2007 sebagai peraturan pelaksana dari UU 32/2004 dan selanjutnya sesuai
dengan UU 25/2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa keterpaduan dan sinergi pembangunan pusat dan
daerah mutlak diperlukan agar pembangunan dapat berjalan dengan efektif, efisien serta mencapai
sustainability. Untuk mendorong sinergi pembangunan antara pusat dan daerah maka pemerintah
mengeluarkan PP 19/2010 tentang tata cara pelaksanaan tugas dan kewenangan serta kedudukan
keuangan Gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Kaitannya dengan NSPK, inti dari
pasal 3 ayat 1(bagian c) PP 19/2010 menyebutkan bahwa :

“Dilaksanakannya norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK)


dalam penyelenggaran urusan pemerintahan oleh pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota serta meningkatkan akuntabilitas
pemerintah daerah melalui peran Gubernur melakukan fungsi
pengawasan.”

Kemendagri pada bulan September 2010 telah membahas isu-isu strategis sebagai masukan
revisi terhadap UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Isu-isu yang dihasilkan berkaitan dengan
hubungan antara pusat dan daerah adalah bahwa kebijakan publik di tingkat daerah tidak boleh
bertentangan dengan kebijakan publik di tingkat nasional dan dise lenggarakan dalam koridor Norma,
Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan pusat selain itu mas ih banyak urusan
pemerintahan yang belum dilengkapi NSPK sehingga menimbulkan multi interprestasi dalam
pelaksanaannya. Dalam hal pembagian urusan kewenangan maka pemerintah pusat wajib menetapkan
NSPK sebagai acuan bagi daerah dalam melaksanakan kewenangannya dalam koridor NKRI
sedangkan pemerintah provinsi menetapkan kebijakan daerah untuk melaksanakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya dalam NSPK yang ditetapkan oleh pusat, manakala
pemerintah kabupaten/kota menetapkan kebijakan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya dengan mengacu pada NSPK yang ditetapkan oleh pusat.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa NSPK dalam perencanaan yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah hendaknya
memperhatikan kewenangan pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku baik itu UU 32/2004, PP 38/2007 dan juga UU 24/2005 sehingga
perencanaan pembangunan dapat berjalan sinkron dan harmonis di tingkat pusat maupun daerah.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan juga perlu memperhatikan NSPK agar dapat berjalan dengan
efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan.

1.8. Kriteria NSPK: Eksternalitas, Akuntabilitas, Efisiensi dan Keserasian


Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten /
Kota dalam ayat (1) dijelaskan bahwa Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk melaksanakan Urusan Pemerintah yang
menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah (urusan yang bersifat konkuren) yaitu urusan wajib dan
urusan pilihan. Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Prosedur adalah metode atau tata cara untuk penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Kriteria adalah ukuran yang dipergunakan menjadi dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pada ayat (2) selanjutnya dijelaskan mengenai keserasian hubungan Pemerintah dengan
pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah sebagai satu kesatuan sistem dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Keserasian hubungan adalah pengelolaan bagian urusan pemerintah
yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi),
saling tergantung (interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan
memperhatikan cakupan kemanfaatan.

Selanjutnya dalam ayat (3) disebutkan bahwa penetapan norma, standar, prosedur, dan
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan pemangku kepentingan terkait dan
berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Pemangku kepentingan di sini terdiri dari unsur
departemen/lembaga pemerintah non-departemen terkait, pemerintah daerah, asosiasi profesi, dan
perwakilan masyarakat.

Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara
proporsional antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai
satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan
susunan pemerintahan. Sesuai dengan PP 38 Tahun 2007 Pasal 4 Ayat 1, ketiga kriteria tersebut
memiliki arti:

1. Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan


memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu
urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka
urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota
dan/atau regional maka urusan pemerintahan itu menjadi kewenangan
pemerintahan provinsi; dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi dan/atau
nasional, maka urusan itu menjadi kewenangan Pemerintah.
2. Akuntabilitas adalah kriteria pembagian urusan Pemerintahan dengan
memperhatikan pertanggungjawaban Pemerintah, pemerintahan daerah Provinsi,
dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan
Pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Apabila dampak penyelenggaraan
bagian urusan pemerintahan secara langsung hanya dialami secara lokal (satu
kabupaten/kota), maka pemerintahan daerah kabupaten/kota bertanggungjawab
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut. Sedangkan apabila
dampak penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara langsung dialami
oleh lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi, maka pemerintahan
daerah provinsi yang bersangkutan bertanggung jawab mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan tersebut; dan apabila dampak penyelenggaraan urusan
pemerintahan dialami lebih dari satu provinsi dan/atau bersifat nasional maka
Pemerintah bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dimaksud.
3. Efisiensi adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan
daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani
pemerintahan daerah kabupaten/kota, maka diserahkan kepada pemerintahan
daerah kabupaten/kota, sedangkan apabila akan lebih berdayaguna bila ditangani
pemerintahan daerah provinsi, maka diserahkan kepada pemerintahan daerah
provinsi. Sebaliknya apabila suatu urusan pemerintahan akan berdayaguna bila
ditangani Pemerintah maka akan tetap menjadi kewenangan Pemerintah.
Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang
atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh dampak jangkauan yang diakibatkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih
pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat
pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah yang paling berwenang untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut.

Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong akuntabilitas Pemerintah
kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat
pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang sangat diperlukan dalam menghadapi persaingan di
era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut, semangat demokrasi yang diterapkan melalui
kriteria eksternalitas dan akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan melalui kriteria
efisiensi dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi
sebagai esensi dasar dari kebijakan desentralisasi.

1.9. Proses Penyusunan NSPK


Tahapan awal penyusunan NSPK dimulai identifikasi NSPK amanah PP 38/2007 atau adanya
usulan dari beberapa pihak yang terkait atau yang membutuhkan. Pihak-pihak tersebut dapat berasal
dari usulan dari unit kerja (direktorat di masing kementerian), ataupun adanya perintah yang
mengharuskan pembuatan NSPK selama masih berada di dalam koridor PP 38 Tahun 2007.
Selanjutnya usulan tersebut disampaikan dan dibahas lebih lanjut oleh Tim Pemrakarsa NSPK yang
terdiri dari unit-unit kerja yang bersangkutan dengan bidang usulan dan berkoordinasi dengan
Kementerian Dalam Negeri. Oleh Tim Kecil, usulan NSPK dikaji berdasar kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi sebagaimana pada pasal 4 ayat 1 PP 38 Tahun 2007. Hasil kajian tersebut
selanjutnya menjadi rekomendasi yang akan disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga Non
Departemen untuk dikaji lebih lanjut. Setelah mendapatkan perbaikan dari Menteri/Pimpinan
Lembaga Non Departemen, usulan NSPK tersebut diserahkan kepada Biro Hukum kementerian untuk
dibuat peraturan. Berikut secara rinci mengenai tahapan dalam penyusunan NSPK:

1. Pembuatan NSPK berasal dari 2 sumber, yaitu amanat PP 38 tahun 2007, dan
berasal dari usulan internal kementerian yang berasal dari direktorat atau unit
kerja terkait.
2. Sinkronisasi usulan bertujuan untuk mengakomodasi semua usulan yang ada
sehingga terjadi penyelarasan wewenang khususnya antara pusat dan daerah.
Sinkronisasi usulan dapat berupa FGD yang melibatkan stakeholder yang terkait
secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholder yang dimaksud adalah
kementerian yang menyusun NSPK (Pemerintah Pusat), Pemerintah Daerah,
kementerian lain yang terkait, Kementerian Dalam Negeri, dan pihak lain.
3. Hasil Pengkajian diberikan kepada Biro Hukum. Selanjutnya Biro Hukum Ditjen
membuat draft awal NSPK kepada Dirjen.
4. Ditjen menyampaikan draft awal kepada Bagian Hukum Sekjen untuk
mendapatkan telaahan.
5. Rancangan yang telah dibahas dikembalikan kembali ke Tim Pemrakarsa dan
bagian terkait yang menangani masalah hukum (biro hukum Sesditjen).
Selanjutnya rancangan yang telah dibahas kemudian di paraf oleh tim pemrakarsa
dari setiap unit (Sesditjen dan biro terkait)
6. Hasil draft yang telah dibahas kemudian diserahkan kepada Biro Hukum Sekjen
untuk diproses lebih lanjut.
7. Biro Hukum Sekjen kemudian menyerahkan draft yang telah diproses kepada
Dirjen/Kepala Badan.
8. Setelah mendapat paraf dari Dirjen, kemudian draft tersebut di sampaikan kepada
Sekjen untuk mendapat paraf.
9. Sekjen kemudian menyerahkan kepada Menteri untuk mendapat telaahan lebih
lanjut.
10. Setelah mendapatkan telaahan dari Menteri, draft tersebut diserahkan kepada Biro
Hukum Sekjen untuk diproses menjadi produk hukum.
11. Biro Hukum menyampaikan draft akhir kepada Menteri untuk mendapatkan
penetapan dan penandatanganan.
12. Draft yang telah mendapatkan paraf persetujuan Menteri, diserahkan kepada
Bagian Arsip.
13. Bagian Arsip menyerahkan arsip asli kepada tim pemrakarsa.
14. Pendistribusian dan Sosialisasi oleh Bagian Bagian Arsip.
Berikut adalah Guideline pembuatan NSPK yang disusun dari hasil analisis peneliian yang dilakukan berdasarkan penyusunan NSPK di lembaga
kementerian/non-kementerian.

Tabel 1.4. Proses Pembuatan NSPK


PIHAK YANG TERKAIT

KEMENTERIAN KEMENTERIAN/LEMBAGA NON DEPARTEMEN


NO PROS ES PERATURAN PEMERINTAH
DALAM
PERUNDANGAN BAGIAN BAGIAN DIRJEN/KEPALA DAERAH
NEGERI S EKJEN MENT ERI
ARS IP HUKUM BADAN
Amanat PP 38/2007 Dirjen terkait Usulan daerah
mengusulkan akan urusan
1 USULAN pembuatan NSPK yang perlu
sesuai dengan penetapan NSPK
bidangnya
SINKRONISASI Pemerintah Daerah dan Kementerian/Lembaga Non Departemen dikoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri melakukan sinkronisasi usulan dengan
2
USULAN berpedoman pada Lampiran PP 38/2007 dalam bentuk FGD (Focus Group Discussion) yang selanjutny a dibuat draft awal NSPK
Draft Awal
NSPK diterima
PENYERAHAN
oleh Bagian
USULAN
3 Hukum Ditjen
KEPADA BIRO
untuk diserahkan
HUKUM
kepada Biro
Hukum Dirjen
Biro Hukum
PENGKAJIAN Dirjen melakukan
4 DRAFT AWAL penelaahan
NSPK terhadap draft
awal NSPK
PEM BAHASAN
5 DRAFT AWAL Hasil telaahan dari Biro Hukum Dirjen dikembalikan kembali dan dibahas bersama Biro Hukum, Tim Pemrakarsa dan Biro Hukum Sesditjen terkait
NSPK

26
PIHAK YANG TERKAIT

KEMENTERIAN KEMENTERIAN/LEMBAGA NON DEPARTEMEN


NO PROS ES PERATURAN PEMERINTAH
DALAM
PERUNDANGAN BAGIAN BAGIAN DIRJEN/KEPALA DAERAH
NEGERI S EKJEN MENT ERI
ARS IP HUKUM BADAN
Hasil draft yang
telah dibahas
PENYERAHAN kemudian
USULAN diserahkan
6
KEPADA BIRO kepada Biro
HUKUM Hukum Sekjen
untuk diproses
lebih lanjut.
Biro Hukum
Sekjen
kemudian
menyerahkan
draft y ang
telah diproses
PERSETUJUAN kepada Eselon
7 ESELON I DAN 1 yang
DIRJEN selanjutny a
diserahkan
kepada
Sekjen/Kepala
Badan untuk
mendapat
persetujuan.
Sekjen
kemudian
menyerahkan
PENELAAHAN kepada
8
M ENTERI M enteri untuk
mendapat
telaahan lebih
lanjut

27
PIHAK YANG TERKAIT

KEMENTERIAN KEMENTERIAN/LEMBAGA NON DEPARTEMEN


NO PROS ES PERATURAN PEMERINTAH
DALAM
PERUNDANGAN BAGIAN BAGIAN DIRJEN/KEPALA DAERAH
NEGERI S EKJEN MENT ERI
ARS IP HUKUM BADAN
Setelah
mendapatkan
telaahan dari
M enteri, draft
PENYERAHAN
tersebut
USULAN
9 diserahkan
KEPADA BIRO
kepada Biro
HUKUM
Hukum Sekjen
untuk diproses
menjadi produk
hukum

28
 
 

Anda mungkin juga menyukai