Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

Anak merupakan sebuah karunia yang besar bagi orang tuanya. Keberadaannya

diharapkan dan ditunggu-tunggu serta disambut dengan penuh bahagia. Semua orang tua

mengharapkan memiliki anak yang sehat, membanggakan, dan sempurna, akan tetapi,

terkadang kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan. Pada praktek sehari-hari, bayi

baru lahir yang mengalami ikterus sering ditemukan. Sebagian dari bayi tersebut mengalami

kolestasis. Kolestasis terjadi karena terganggunya aliran empedu dan/atau ekskresinya.

Kolestasis neonatal mengenai kurang lebih 1:2500 bayi.4 Penyebab kolestasis neonatal

bermacam-macam, tetapi yang perlu dideteksi cepat adalah atresia bilier.

Atresia bilier adalah suatu penyakit yang disebabkan kerusakan progresif saluran

empedu ekstrahepatik dan akhirnya juga intrahepatik yang dalam waktu 3 bulan telah dapat

menyebabkan sirosis hati yang kemudian akan menimbulkan gagal hati, dan kematian bila

tidak diterapi. Di dunia secara keseluruhan dilaporkan angka kejadian atresia bilier berkisar

1:10,000-15,00 kelahiran hidup. Rasio atresia bilier antara anak perempuan dan laki-laki 1,4:1

dan angka kejadian lebih sering pada bangsa Asia sehingga kita perlu lebih berhati-hati untuk

kemungkinan menemukan pasien atresia bilier.1

Keberhasilan penanganan atresia bilier tergantung kecepatan dilakukannya operasi

Kasai. Di Swedia dilaporkan angka harapan hidup 4 tahun dengan hatinya sendiri adalah 75%

pada bayi yang menjalani operasi Kasai sebelum usia 46 hari, 33% pada pasien yang menjalani

operasi Kasai antara 46-75 hari, dan 11% pada pasien yang menjalani pembedahan setelah 75

hari.6 Keterlambatan diagnosis dan tatalaksana kolestasis terutama atresia bilier dapat berakibat

terjadinya sirosis hati, hipertensi portal, dan gagal hati yang hanya dapat ditolong dengan

transplantasi hati.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kolestasis didefiniskan sebagai gangguan ekskresi empedu, yang dapat disebabkan

oleh defek produksi empedu intrahepatik atau gangguan transport transmembrane empedu,

atau obstruksi mekanik terhadap aliran empedu. Karakterisitik utama pada kebanyakkan kasus

kolestasis neonatal adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk).3

Seorang bayi dikatakan mengalami kolestasis bila kadar bilirubin terkonjugasi > 1,0

mg/dL jika kadar bilirubin total serum < 5,0 mg/dL, atau kadarnya >20% dari bilirubin total

jika kadar bilirubin total >5,0 mg/dL4. Setiap ditemukan peningkatan kadar bilirubin

terkonjugasi merupakan keadaan abnormal dan memerlukan evalusi selanjutnya.4

2.2 Manifestasi Kolestasis

Bayi berusia lebih dari 2 minggu yang masih tampak kuning perlu diperiksa kadar

bilirubin total dan terkonjugasi (direk) untuk menentukan apakah terdapat kolestasis. Secara

klinis kolestasis ditandai dengan adanya ikterus, tinja bewarna pucat atau akolik dan urin yang

bewarna kuning tua seperti teh, Apabila proses berjalan lama dapat muncul berbagai

manifestasi klinis lain misalnya pruritus, gagal tumbuh dan lain-lain akibat dari penumpukan

zat-zat yang seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang melalui usus.2

Kolestasis menyebabkan peningkatan bilirubin dalam darah atau hiperbilirubinemia.

Hiperbilirubinemia terbagi menjadi hiperbilirubinemai tak terkonjugasi dan hiperbilirubinemia

konjugasi. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah peningkatan kadar bilirubin indirek

(larut lemak) antara lain disebabkan oleh peningkatan hemolisis. Hiperbilirubinemia konjugasi

dapat terjadi melalui proses non-kolestasis, misalnya pada sindorm Dubin-Johnson, maupun
proses kolestasis. Berbeda dengan hiperbilirubinemai konjugasi non-kolestasis hanya terjadi

peningkatan kadar bilirubin direk tanpa disertai peningkatan asam empedu ( aliran dan eksresi

asam empedu normal ).

Hiperbilirubinemia konjugasi kolestasis dibedakan menjadi kolestasis intrahepatic dan

ekstrahepatik. Kolestasis disebut intrahepatik bila lokasi anatomi gangguan ekskresi empedu

terjadi antara sitoplasma hepatosit hingga duktus biliaris ukuran sedang (diameter 400 um).

Kolestasis ekstrahepatik bila gangguan eksresi empedu terjadi di duktus dengan diameter di

atas 400 um, terutama duktus koledokus.2

2.3 Penyebab Kolestasis Ekstrahepatik

Kolestasis ekstrahepatik adalah suatu keadaan yang dapat mengakibatkan obstruksi

saluran empedu ekstrahepatik baik total maupun parsial. Contohnya ialah :2,3

1. Atresia biliaris ekstrahepatik : suatu obstruksi total ductus biliaris ekstrahepatal

2. Kista ductus koledokus : dilatasi suatu segmen ductus biliaris ekstrahepatal

3. Stenosis ductus biliaris : obstruksi parsial ductus biliaris eksrahepatal

4. Sludge dan batu atau kolelitiasis : adanya penumpukan endapan-endapan pada ductus

biliaris ekstrahepatal, misalnya sebagai akibat dari proses hemolitik yang berlebihan.

2.3 Penyebab Kolestasis Intrahepatik

Kolestrasis intraahepatik gangguan yang terjadi pada tingkat hepatosis ataupun elemen

ductus biliaris yang ada di dalam hati atau intrahepatal. Penyebab-penyebab penting yang

pernah dilaporkan antara lain adalah :2,3

1. Infeksi

 Bakteri : sepsis, infeksi saluran kemih

 Virus : rubella, CMV, herpes simplesk, virus hepatotropic


 Parasite : toksoplasma

2. Metabolic

 Gangguan metabolisme karbohidrat : Galaktosemia, Fruktosemia, Gycogen Storage

Disease Type IV

 Gangguan metabolisme asam amino : Tirosinemia, Hipertionimenia

 Gangguan metababolisme lipid : Penyakit Niemann-Pick, Penyakit Wolman,

Penyakit Gaucher

 Gangguan endokrin : Hipotirodisme, Hipopituirasime

 Gangguan metabolic lain : Defisiensi alfa-1-antripsin, Sindrom Alagille,

Progressive Familial Intrahepatic Cholestasus (PFIC), cystic fibrosis

3. Toksik

 Obat-obatan

 Nutrisi parenteral total

4. Genetic/kromosomal

 Trisomi 18

 Trisnomi 21

5. Penyakit Caroli

6. Hepatitis neonatal idiopatik

2.5 Penyebab Kolestasis Yang Tersering

 Atresia bilier ektrahepatik

 Hepatits neonatal idiopatik

 Hepatitis infeksius : kolestasis terkait sepsis, infeksi saluran kemih

 Sindron Alagille

 Progressive Familian Intrahepatic Cholestasis ( PFIC )


 Kolestasis kerana nutrisi parenteral

2.6 Patogenisis dan Patofisiologi Kolestasis

Metabolisme bilirubin diawali dengan reaksi proses pemecahan heme oleh enzim

hemoksigenase yang mengubah biliverdin menjadi bilirubin oleh enzim reduksitase. Sel

retikuloendotel membuat bilirubin tak larut dalam air, bilirubin yang disekresikan kedalam

darah diikat albumin untuk diangkut ke dalam plasma. Bilirubin dari jaringan retikuloendotel

adalah bentuk yang sedikit larut dalam plasma dan air. Bilirubin akan diikat nonkovalen dan

diangkut oleh albumin ke hepar.

Kolestasis merupakan kegagalan empedu mencapai ke duodenum sehingga

menyebabkan penumpukan empedu di hepar serta masuknya konstituen empedu ke sirkulasi

sistemik. Retensi bilirubin memunculkan warna tinja yang lebih pucat ( akibat pigmen warna

berkurang ) dan pruritus ( akibat peningkatana asam empedu di sirkulasi ).

Pada kondisi fisiologis, kadar asam empedu dijaga pada batas yang aman untuk

mencegah kerusakan organel sel. Pada keadaan kolestasis, mekanisme kontrol kadar asam

empedu ini terganggu sehingga kadar asam empedu intraseluler dapat mencapai kadar yang

merusak organel sel. Target kerusakan utama asam empedu di hepar adalah hepatosit dan sel

duktus biliaris. Pada konsentrasi micromolar rendah, asam empedu hidrofobik menyebabkan

kerusakan pada mitokondria tanpa mempengaruhi integritas membran plasma. Pada

konsentrasi millimolar atau micromolar tinggi, asam empedu hidrofobik mampu melarutkan

membran plasma. Asam empedu hidrofilik membutuhkan dosis yang jauh lebih tinggu dari

asam empedu hidrofobik untuk menghasilkan efek toksik. Mekanisme kerusakan mitokondria

dan membran plasma ini diduga berkaitan dengan mekanisme direk dan mekanisme inflamasi.

Pada percobaan in vitro didapatkan bahwa asam empedu hidrofobik dosis millimolar berikatan
langsung dengan lapisan lemak ganda di membran plasma sehingga menimbulkan lubang-

lubang pada membran sel.

2.7 Pendekatan Diagnostik

Untuk mengetahui penyebab kolestasis yang sangat banyak diperlukan pendekatan

diagnostic yang terarah agar efisein dan tidak terlamabat. Evalusai diagnostic tersebut

sebaiknya dilakukan secara bertahap yaitu :3

1. Tahap pertama, bila bayi kuning pada usia lebih dari 2 minggu tentukan apakah kuning

yang dialami bayi tersebut adalah kolestasis dengan cara memeriksa bilirubin total dan

bilirubin direk.

2. Tahap kedua adalah diagnosis cepat untuk penyakit yang dapat diterapi, sehingga terapi

cepat pula dapat dilakukan. Diagnosis yang perlu dipikirkan pada tahap ini misalnya

adalah terutama sepsis, infeksi saluran kemih, hipotiroid. Bila bayi bukan dengan

kelainan pada tahap ini, bayi perlu dikonsulkan kepada konsultan

gastroenterohepatologi anak untuk pemeriksaan lanjut.

3. Tahap ketiga adalah penentuan apakah kolestasis adalah atresia bilier agar dapat

dilakukan intervensi bedah sebelum usai 8 minggu.1

4. Tahap keempat adalah pemeriksaan lanjutan untuk diagnosis yang spesifik dan evaluasi

adanya kompliaski misalnya hipoalbuminemia dan/atau koagulopati.

2.8 Anamnesis

Hasil anamnesis diharapkan dapat menjadi pemandu pencarian etiologik dan faktor resiko

kolestasis. Hal-hal yang sering ditanyakan adalah :

 Riwayat kehamilan dan kelahiran : riwayat obsteri ibu ( infeksi TORCH, hepatitis B,

dan infeksi lain), berat badan lahir, infeksi intrapartum, morbiditas perinatal, riwayat

pemberian nutrisi parenteral.


 Riwayat keluarga : bila saudara kandung pasien ada yang menderita penyakit serupa

maka kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetic/metabolic

 Risiko hepatitis virus hepatotropik, paparan terhadap toksin/obat-obatan

2.9 Pemeriksaan Fisik

Untuk mencari etiologik atau ada tidaknya komplikasi kolestasis

 Fasies dismorfik : Sindrom Alagille

 Mata :

1. Katarak : infeksi TORCH

2. Chorioretinitis : infeksi TORCH

3. Posterior embyotoxon : Sindrom Alagille

 Thoraks : bising jantung pada Sindrom Alagille, atresia biliaris

 Abdomen

1. Hepar : mengetahui apakah sudah terjadi sirosis : hepatomegali atau mengecil,

konsistensi kenyal atau sudah mengeras, permukaan masih licin atau sudah

berbenjol-benjol

2. Lien : Pelacakan hipertensi portal atau mencari kemungkinan infeksi

3. Asites : gangguan sintesis albumin

4. Vena kolateral : pelacakan hipertensi portal

 Kulit : ikterus, spider angioma, eritema palmaris, edema

 Lain-lain: phimosis ( kemungkinan infeksi saluran kemih )

2.10 Pemeriksaan Penunjang

1. Tes hati
 Transaminase

Transaminase serum, alanin aminotransferase (ALT) dan aspartate aminotransferase

(AST) merupakan tes yang paling sering dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan

hepatoseluler kerana tes ini spesifik untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatosit, akan tetapi

tidak spesifik2. AST dijumpai dalam kadar yang tinggi pada berbagai jaringan, antaranya hati,

otot jantung, otot skelet, ginjal, pancreas dan sel darah merah. Apabila ada kerusakan pada

jaringan-jaringan tersebut maka akan terjadi kenaikan kadar enzim ini dalam serum3.

Dibandingkan dengan ALT, AST lebih spesifik untuk mendeteksi adanya penyakit hati kerana

kadar di jaringan lain relatif lebih rendah dibandingkan dengan kadar di hati4.

 Gamma-glutomyltransferase (GGT)

GGt merupakan enzim yang dapat ditemukan pada epitel duktuli biliaris dan hepatosit

hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada pancreas, lien, otak, mammae, dan intestinum dengan

kadar tertinggi pada tubulus renal. Kerana enzim ini dapat ditemukan pada banyak jaringan,

peningkatannya tidak spesifik mengindikasikan adanya penyakit hati.

Pada bayi baru lahir dapat dijumpai kadar GGT yang sangat tinggi, lima sampai delapan

kali lebih tinggi dari batas atas kadar normal pada orang dewasa. Pada bayi premature, kadar

GGT dapat lebih tinggi disbanding bayi cukup bulan pada minggu pertama kehidupan.

Kemudian secara perlahan akan turun, baik pada bayi premature maupun cukup bulan dan

mencapai kadar normal orang dewasa pada usia 6-9 bulan3.

GGT merupakan indicator yang paling sensitive untuk mendeteksi adanya penyakit

hepatobilier. Kadar GGT tertinggi ditemukan pada obstruksi hepatobilier dan kolestasis

intrahepatic contohnya pada Sindrom Alagille.

Tabel 1. Kadar Normal GGT


Umur Jenis kelamin U/L (persentil 2,5-97,5)

0-5 hari L-P 34-263

1-3 tahun L-P 6-19

4-6 tahun L-P 10-22

7-9 tahun L-P 13-25

10-11 tahun L 17-30

P 17-28

12-13 tahun L 17-44

P 14-25

14-15 tahun L 12-33

P 14-26

16-19 tahun L 11-34

P 11-28

Sumber : Modul Pelatihan Kolestasis. 1st ed. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

2. Tes fungsi hati

Albumin

Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di reticulum

endoplasma hepatosit dengan half-life dalam serums sekitar 20 hari. Fungsi utamanya adalah

untuk mempertahankan tekanan koliod osmotic intravaskulat dan sebagai pembawa (carrier)

berbagai komponen dalam serum, termasuk bilirubin, ion-ion inorganik seperti kalsium serta

obat-obatan.3

Penurunan kadar albumin serum dapat disebabkan kerana penurunan produksi akibat

penyakit parenkim hati. Kadar albumin serum digunakan sebagai indikator utama kapasitas

sintesis yang masih tersisa pada penyakit hati. Kerana albumin memiliki half-life yang panjang,
kadar albumin seum yang rendah sering digunakan sebagai indikator adanya penyakit hati

kronis.2

Tabel 2. Kadar albumin serum normal pada anak

Umur g/dL

1-3 bulan 3.41

4-6 bulan 3.46

7-12 bulan 3.62

13-24 bulan 3.63

25-36 bulan 4.11

3-8 tahun 4.00

9-16 tahun 4.25

Sumber : Modul Pelatihan Kolestasis. 1st ed. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

3. Tes untuk pelacakan etiologik

 Darah : darah rutin, kultur untuk mecari kemungkinan infeksi

kadar T4 dan TSH serum, alfa-1 antripsin serum, asam amino, laktat, ammonia

untuk mencari kemungkinan kelainan metabolic

 Urin : urinalisis kultur untuk mecari kemungkinan infeksi saluran kemih

4. USG Abdomen

USG Abdomen merupakan pemeriksaan radiologis yang paling berguna pada evaluasi

awal kolestasis pada bayi. USG dapat menunjukkan ukuran dan keadaan hati dan kandungan

empedu, mendeteksi adanya obstruksi pada sistem bilier oleh batu maupun endepan, ascites

dan menentukan adanya dilatasi obstruktif atau kistik pada sistem bilier.2
Pada saat puasa kandung empedu bayi normal pada umumnya akan terisi cairan empedu

sheingga akan mudah dilihat dengan USG. Pada umumnya bayi cukup puasa 4 jam, tetapi bila

dicurigai atresia bilier lebih baik bayi dipuaskan 12 jam, tentukan bayi perlu diinfus agar tidak

terjadi dehidasi dan/atau hipoglikemia.2 Pemeriksaan USG hati saat puasa pada atresia bilier

akan menunjukkan kandung empedu yang kecil atau tidak terlihat. Pada saat setelah diberi

minum, pada USG tidak tampak perubahan ukuran kandung empedu. Hal ini disebabkan

kerana adanya gangguan aliran empedu dari kandung empedu melewati ductus koledokus

komunis ke dueodenum.3

Tanda “triangular cord” yaitu ditemukan adanya densitas ekogenik triangular atau

tubular di kranial bifurcation vena porta spesifik menunjukkan adanya atresia biliaris.

5. Biopsi hati

Pemeriksaan lanjutan yang pernting adalah biopsy hati. Biposi hati dapat dilakukan

dengan aman pada bayi dan membantu menegakkan diagnosis pasti kolestasis. Guidelines

NASPGHAN menganjurkan biopsi hati perkutan dilakukan pada semua bayi yang tidak dapat

didiagnosis penyebab kolestasisnya. Biopsi juga direkomendasikan sebelum dilakukan

prosedur bedah untuk mendiagnosis atresia bilier.

Pada atresia bilier dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile plug,

portal track edema dan fibrosis. Sedangkan pada hepatitis neonatal idiopatik dapat ditemukan

gambaran pembengkakan sel difus, transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoselular fokal.

Selain itu dapat pula ditemukan badan inklusi virus yang menunjukkan adanya infeksi CMV

atau herpes simpleks.

6. Kolangiografi

Untuk pemastian diagnosis atresia bilier dilakukan kolangiografi intrahepatik

intraoperatif. Dokter bedah anak akan memasukkan cairan kontras langsung ke dalam kantung
emepedu, dan dilihat aliran cairan kontras secara langsung dengan fluroskopi bagaimana

perjalanan cairan kontras tersebut. Bila terdapat obstruksi maka cairan kontras tidak daoat

mengalir kedalam duodenum. Selain menilai aliran cairan kontras ke duodenum, dapat juga

dinilai patensi saluran bilier ductus hepatikus kanan dan kiri dengancara mengklem ductus

koledokus.3

2.11 Tatalaksana

1. Kausal

Terapi spesifik pada kolestasis bergantung pada penyebabnya. Operasi Kasai dan

transplantasi hati dapat dilakukan pada atresia biliaris.

2. Supportif

Apabila tidak ada terapi spesifik maka dilakukan terapi supportif yang bertujuan untuk

menunjuang pertumbuhan dan perkembangan seoptimal mungkin serta meminimalkan akibat

komplikasi kolestasis. Terapi supportif pada kolestasi meliputi :3

A. Medikamentosa

 Asam ursodeoksikolat

Umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada pruritus yang disebabkan kerana

kolestasis, kolestasis yang disebabkan kerana nutrisi parenteral dan atresia biliaris. Asam

ursodeoksilat merupakan asam empedu hidrofilik yang bekerja pada bile pool dengan

menggantikan asam empedu hidrofobik serta meningkatkan aliran empedu.

 Kolestiramin

Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen usus sehingga dapat menghalangi

sirkulasi enterohepatik asam empedu serta meningkatkan ekskresinya. Selain itu kolestiramin

dapat menurukan umpan balik negatif ke hati, memacu konversi kolestrol yang berperan
sebagai koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan pada manajemen jangka panjang kolestasis

intrahepatal dan hiperkolesterolemia.

 Phenobarbital

Phenobarbital dapat meningkatkan aliran asam empedu, meningkatkan sistesis asam empedu,

mestimulasi pelepasan enzim-enzim hepar, sehingga dapat menurukan kadar asam empedu

dalam sirkulasi. Akan tetapi phenobarbital dapat menyebabkan sedasi dan gangguan perilaku

sehingga penggunaanya terbatas.

B. Intake kalori dan protein yang cukup

Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis. Penurunan

ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisi intraluminal, solubilisasi dan

absorbsi trigliserid rantai panjang. Maka pada bayi dengan kolestasis diperlukan kalori yang

lebih tinggi dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan.

 Kebutuhan kalori umunya dapat mencapai 125% kebutuhan bayi normal sesuai dengan

berat badan ideal

 Kebutuhan protein : 2-3 gr/kgBB/hari

 Sebagai tambahan dapat diberikan lemak rantai sedang kerana tidak memerlukan

pelarutan oleh garam empedu sebelum diabsobsi usus.

3. Suplementasi vitamin yang larut lemak

Asam empedu dibutuhkan dalam proses absorbs vitamin-vitamin larut lemak ( A, D, E, K).

Untuk mencegah komplikasi akibat defisiensi vitamin-vitamin tersebut perlu diberikan

suplementasi oral. Suplementasi tetap diberikan minimal sampai 3 bulan bebas ikterus.
BAB 3

KESIMPULAN

Bayi dengan kuning pada usia 2 minggu atau lebih perlu diperiksa bilirubin total dan

direk untuk memastikan apakah terdapat kolestasis. Kolestasis bukan merupakan suatu

diagnosis melainkan suatu sindroma yang etiologinya bemacam-macam mulai dari

pembentukan empedu di hepatosit, transport keluar dari hepatosit, saluran empedu intrahepatik

dan saluran empedu ekstrahepatik sampai muara keluarnya di duodenum.

Secara klinis kolestasis ditandai dengan adanya ikterus, tinja berwarna pucat atau

akolik, dan urin yang berwarna kuning tua seperti teh. Apabila proses berjalan lama dapat

muncul berbagai manifestasi klinis lainnya misalnya pruritus, gagal tumbuh, dan lain-lain

akibat dari penumpukan zat-zat yang seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang melalui

usus.

Kolestasis bila ditemukan perlu diperiksa lebih lanjut untuk ditentukan penyebabnya.

Evaluasi kolestasis perlu dilakukan dengan pendekatan bertahap untuk kecepatan dan efisiensi

biaya. Tahap untuk mencari etiologi, perlu dicari penyakit yang dapat diterapi dan segera dapat

dimulai terapi bila ditemukan, selanjutnya usaha untuk menegakkan atau menyingkirkan

diagnosis atresia bilier. Selanjutnya bila belum ditemukan diagnosis etiologinya, maka perlu

mencari penyebab lain dan menilai adanya komplikasi kolestasis.


DAFTAR PUSTAKA

1. Dianne Y, Soeyati Y. Laporan Kasus Atresia Bilier. Majalah Kedokteran Andalas.


2009;33(2):188-195.

2. Juffrie M, Sri Mulyani N. Modul Pelatihan Kolestasis. 1st ed. Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada; 2009.

3. Trihono P, M. Djer M, Sjakti H. Best Practices in Pediatrics. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia Cabang DKI Jakarta; 2013.

4. Prasetyo D, Ermaya Y, Martiza I. Perbedaan Manifestasi Klinis dan Labortatorium


Kolestasis Intrahepatal dan Ekstrahepatal pada Bayi. Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2016;48(1):45-50.

5. Waiman E, Oswari H. Peran Operasi Kasai pada Pasien Atresia Bilier. Sari Pediatri.
2010;11(6):463-470.

6. Wildhaber B, Majno P, Mayr J. Biliary Atresia : Swiss National Study 1994-2004. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2008;48:299-307.

Anda mungkin juga menyukai