Anda di halaman 1dari 9

Akuntansi dalam Perspektif Islam

Dalam beberapa disiplin ilmu pengetahuan akuntansi merupakan ilmu informasi yang

mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan

pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account,

perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Sebagaimana

firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 282) yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu

yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara

kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya

sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang

yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa

kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya…”

Dalam Al Quran juga dijelaskan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan

dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan

timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al-Quran

menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surat Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang

berbunyi:

”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan

timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada

hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan

bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

Dalam Al Quran juga dijelaskan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan

dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan

timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al-Quran

menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surat Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang
berbunyi:

”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan

timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada

hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan

bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Dr. Umer

Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba

perusahaan, sehingga seorang akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Agar

pengukuran tersebut dilakukan dengan benar, maka perlu adanya fungsi auditing. Pada Islam,

fungsi auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Hujuraat

ayat 6 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,

maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu

kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu

itu.”

Sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an, kita harus menyempurnakan

pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam neraca, sebagaimana

digambarkan dalam Surat Al-Isra’ ayat 35 yang berbunyi:

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang

benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dalam istilah Islam yang menggunakan istilah arab, akuntansi disebut

sebagai Muhasabah. Secara umum muhasabah memiliki dua (2) pengertian pokok yaitu:

1. Muhasabah dengan arti Musa'alah (perhitungan) dan munaqasyah (perdebatan).

Kemudian dilanjutkan dengan pembalasan yang sesuai dengan catatan perbuatannya.

Proses Musa'alah dapat diselesaikan secara individu atau dengan perantara orang lain,
atau dapat pula dengan perantara Malaikat, atau oleh Allah sendiri pada hari kiamat

nanti.

2. Muhasabah dengan arti pembukuan/ pencatatan keuangan seperti yang diterapkan

pada masa awal munculnya Agama Islam. Juga diartiakan dengan penghitungan

modal pokok serta keuntungan dan kerugian.Muhasabah juga berarti pendataan,

pembukuan, dan semakna dengan Musa'alah, perdebatan, serta penentuan imbalan/

balasan seperti yang diterapkan dalam lembaga-lembaga Negara, lembaga Baitul

Maal, undang-undang wakaf, Mudharabah, dan serikat-serikat kerja.

Dari paparan di atas dapat disimpulan, bahwa kaidah akuntansi dalam konsep Islam

dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang disimpulkan dari sumber-

sumber syari’ah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang akuntan dalam

pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan,

dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa. Dasar hukum dalam

akuntansi syari’ah bersumber dari Al Quran dan Sunah Rasul, serta adat yang tidak

bertentangan dengan syari’ah Islam.

Konsep-konsep Akuntansi Islam

Konsep dasar disebut juga asumsi adalah aksioma atau pernyataan yang tidak perlu

dibuktikan lagi kebenarannya karena secara umum telah diterima kesesuaiannya dengan

tujuan laporan keuangan, dan menggambarkan lingkungan ekonomi, politik, sosial dan

hukum dimana akuntansi beroperasi.dimana diturunkan dari tujuan laporan keuangan

berfungsi sebagai fondasi bagi prinsip-prinsip akuntansi. Tujuan laporan keuangan akuntansi

syari’ah adalah untuk memberikan pertanggungjawaban dan informasi. Menurut Belkoui


yang dikutip oleh Rosjidi, konsep dasar akuntansi adalah entitas akuntansi, kesinambungan,

unit pengukuran dan periode akuntansi, yang masing-masing konsep dibahas di bawah ini :

1. Entitas Bisnis (Business Entity / al-Widah al Iqtishadiyah)

Entitas atau kesatuan bisnis adalah perusahaan dianggap sebagai entitas ekonomi dan

hukum terpisah dari pihak-pihak yang berkepentingan atau para pemiliknya secara pribadi.

Syahatah menyebutkan sebagai kaidah indepedensi jaminan keuangan. Oleh karena itu

seluruh transaksi hanya berhubungan dengan entitas perusahaan yang membatasi kepentingan

para pemiliknya.

2. Kesinambungan (going concern)

Berdasarkan konsep ini, suatu entitas dianggap akan berjalan terus, apabila tidak

terdapat bukti sebaliknya. Ini didasarkan pada pengertian bahwa kehidupan ini juga

berkesinambungan. Manusia memang akan fana, tapi Allah akan mewariskan semua yang

ada di ala mini. Maka, seorang muslim yakin bahwa anak-anaknya dan saudara-saudaranya

akan meneruskan aktivitas itu setelah dia meninggal. Mereka juga yakin harta yang diperoleh

dari aktivitas kerjanya itu milik Allah, seperti firman Allah

” Berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, dan nafkahkanlah sebagian harta

kamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya..”.

dan juga sabda Rosulullah :

’’Allah menyayangi orang yang mencari nafkah yang baik dan menafkahkan secara

sederhana serta menabung sisanya untuk persiapan pada hari ia membutuhkan dan pada hari

fakirnya. Ali bin abi tholib juga pernah berkata, Berusahalah untuk duniamu seolah-olah

kamu akan hidup selama-lamanya, dan berusahalah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu

akan mati esok hari. Pengaplikasian kaidah ini adalah untuk penentuan dan penghitungan

laba serta menghitung harga-harga sisa suplay untuk tujuan penghitungan zakat harta. Dari
sini dapat dipahami bahwa penghitungan zakat itu berdasarkan kesinambungan (kontinuitas)

sebuah perusahaan dan bukan berdasar penutupan atau liquidasi suatu perusahaan.

3. Stabilitas Daya Beli Unit Moneter (The Stability of the Purchasing Power of the

Monetery Unit)

Postulat ini merupakan term yang digunakan oleh Adnan dan Gaffikin terhadap suatu

term yang biaanya disebut “unit pengukuran (unit ofmeasure) atau ”unit moneter (monetary

unit) seperti digunkan oleh beberapa penulis buku. Postulat ini menunjukkan pentingnya

menilai aktivitas-aktivitas ekonomi dan mengsahkannya atau menegaskannya dalam surat-

surat berdasarkan kesatuan moneter, dengan memposisikannya sebagai nilai terhadap barang-

barang, serta ukuran untuk penentuan harga dan skaligus sebagai pusat harga.

Mempertimbangkan bahwa uang yang biasa dipahami dalam akuntansi konvensional-

uang kertas dan logam, rentan terhadap ketidakstabilan, mka satuan moneter yang memenuhi

syarat postulat ini adalah mata uang emas dan perak. Mata uang emas dan perak tidak

mengenal dikotomi nilai nominal dan nilai intrinsik, nili uang emas dan perak adalah senilai

emas dan peraknya. Hal inilah yang menyebabkan uang emas dan perak resistan terhadap

efek inflasi. Pada zaman Rasulullah saw., satu dirham (uang perak) senilai seekor ayam, satu

dinar adalah nilai tukar seekor kambing dewasa, harga ini berlaku sampai sekarang.

Mempertimbangkan kompleksitas lingkungan bisnis masa sekarang, pengaplikasiannya

menjadi satu hal yang tidak dapat diterapkan sepenuhnya. Dalam suatu Negara yang tidak

menggunakan mata uang emas dan perak, postulat ini jelas tidak dapat dipenuhi. Beberapa

pakar akuntansi menjadikan ini sebagai rukhsah (keringanan) sebagai suatukondisi darurat

untuk dapat menggunakan standar nilai uang sebagai unit pengukuran, selama belum ada

solusi yang mampu mengatasinya. Namun demikian, penulis berharap akan ada usaha

menuju perbaikan kearah penerapan standar emaas dan perak ini secara bertahap.
4. Periode Akuntansi.

Dalam Islam, ada hubungan erat antara kewajiban membayar zakat dengan dengan

dasar periode akuntansi (haul). Hal ini sehubungan dengan sabda Rasulullah saw., “Tidak

wajib zakat pada suatu harta kecuali telah sampai haulnya.” Berdasarkan hadis ini, setiap

Muslim secara otomatis diperintahkan untuk menghitung kekayaannya setiap tahun untuk

menentukan besarnya zakat yang harus ia bayarkan. Mengenai waktu pembayarannya, bila

menggunakan kalender Hijriyah maka awal tahun penghitungan zakat adalah bulan

Muharram. Adapun bila menggunakan kalender Masehi, awal tahun adalah bulan Januari.

Muhammad Akram Khan (Harahap, 1992) merumuskan sifat akuntansi islam sebagai

berikut :

a. Penentuan Laba Rugi yang Tepat

Walaupun penentuan laba rugi agak bersifat subjetif dan bergantung nilai, kehati-

hatian harus dilaksanakan agar tercapai hasil yang bijaksana (atau dalam islam sesuai

dengan syariah) dan konsisten sehingga dapat menjamin bahwa kepentingan semua

pihak pemakai laporan dilindungi.

b. Mempromosikan dan Menilai Efisiensi Kepemimpinan

Sistem akuntansi harus memberikan standar berdasarkan hukum sejarah untuk

menjamin bahwa manajemen mengikuti kebijaksanaan-kebijaksanaan yang baik.

c. Ketaatan kepada Hukum Syariah

Setiap aktivitas yang dilakukan oleh unit ekonomi harus dinilai halal haramnya.

Faktor ekonomi tidak harus menjadi alasan tunggal untuk menentukan berlanjut

tidaknya suatu organisasi.

d. Keterikatan pada Keadilan


Karena tujuan utama dari syariah adalah penerapan keadilan dalam masayarakat

seluruhnya, informasi akuntan harus mampu melaporkan (selanjutnya mencegah)

setiap kegiatan atau keputusan yang dibuat untuk menambah ketidakadilan dalam

masyarakat.

e. Melaporkan dengan Baik

Telah disepakati bahwa peranan perusahaan dianggap dari pandangan yang lebih luas

(pada dasarnya bertanggung jawab pada masyarakat secara keseluruhan). Nilai sosial

ekonomi dari ekonomi islam harus diikuti dan dianjurkan. Informasi akuntansi harus

berada dalam posisi yang terbaik untuk melaporkan hal ini.

f. Perubahan dalam Praktek Akuntansi

Peran akuntansi yang demikian luas dalam kerangka islam memerlukan perubahan

yang sesuai dan cepat dalam praktek akuntansi sekarang. Akuntansi mampu

bekerjasama untuk menyusun saran-saran yang tepat untuk mengikuti perubahan ini.

Etika Islami dan Akuntansi

Etika sebagai pemikiran dan pertimbangan moral memberikan dasar bagi


seseorang maupun sebuah komunitas untuk dapat menentukan baik buruk atau benar
salahnya suatu tindakan yang akan diambilnya. Dalam perkembangannya, keragaman
pemikiran etika kemudian berkembang membentuk suatu teori etika. Teori etika dapat
disebut sebagai gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan
yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan
tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang.
Praktisi akuntansi syariah sebagai pelaku akuntansi syariah terikat oleh syariah
yang bersumber dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Dari Al-Quran dan As-Sunnah
diturunkan formulasi praktis dalam bentuk hukum Islam yang selanjutnya dikenal
dengan syariah. Dalam syariah setiap tindakan manusia akan diklasifikasikan ke dalam lima
hukum yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Intitutions
(AAOIFI) merumuskan sebuah kode etik bagi akuntan dan auditor internal disamping
eksternal yang bekerja dalam lembaga keuangan Islam. Kode etik akuntan ini adalah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari syariah Islam. Dalam sistem nilai Islam
syariat ini ditempatkan sebagai landasan semua nilai dan dijadikan sebagai dasar
pertimbangan dalam setiap legislasi dalam masyarakat dan Negara Islam.

Beberapa kode etik menurut AAOIFI (2002:230) sebagai berikut:


1. Dapat dipercaya
Akuntan harus jujur dan bisa dipercaya dalam melaksanakan kewajiban
dan jasa profesionalnya. Dapat juga mencakup bahwaakuntan harus memiliki
tingkat integritas dan kejujuran yang tinggi dan akuntan juga harus dapat
menghargai kerahasiaan informasi yang diketahuinya selama pelaksanaan tugas
dan jasa baik kepada organisasinya atau langganannya.

2. Legitimasi
Akuntan harus dapat memastikan bahwa semua kegiatan profesi yang
dilakukannya harus memiliki legitimasi dati hukum syariah maupun peraturan
dan perundangan yang berlaku.

3. Objektivitas
Akuntan harus bertindak adil, tidak memihak, tidak bias, bebas dari
konflik kepentingan dan bebas dalam kenyataan maupun penampilan.
Objektivitas mencakup juga bahwa ia tidak boleh mendelegasikan tugas dan
pertimbangan profesinya kepada pihak lain yang tidak kompeten.

4. Kompetensi profesi dan rajin


Akuntan harus memiliki kompetensi profesional dan dilengkapi dengan
latihan-latihan yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas jasa profesi tersebut
dengan baik. Dia harus melaksanakan tugas dan jasa profesionalnya dengan
rajin dan berusaha sekuat tenaga at all cost sehingga ia bebas dari tanggung
jawab yang dibebankan kepadanya bukan saja dari atasan, profesi, public tetapi juga
dari Allah SWT.
5. Perilaku yang didorong keyakinan agama (keimanan)
Perilaku akuntan harus konsisten dengan keyakinan akan nilai Islam yang
berasal dari prinsip dan aturan syariah. Senua perilaku dan tindak tanduk harus
disaring dan didorong oleh nilai-nilai Islam.

6. Perilaku profesional dan standar teknik


Dalam melaksanakan kewajibannya, akuntan harus memperhatikan
peraturan profesi termasuk didalamnya standar akuntansi dan auditing lembaga
keuangan syariah.

Anda mungkin juga menyukai