Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 PENDAHULUAN
Encephalitis adalah merupakan suatu proses inflamasi pada otak dengan
memberikan efek yaitu disfungsi dari neurologi. Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu
bentuk primer dan bentuk sekunder. Ensefalitis Primer melibatkan infeksi virus langsung
dari otak dan sumsum tulang belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus
pertama terjadi di tempat lain di tubuh dan kemudian ke otak.1
Mengingat bahwa ensefalitis lebih melibatkan susunan saraf pusat dibandingkan
meningitis yang hanya menimbulkan rangsangan meningeal, seperti kaku kuduk, maka
penanganan penyakit ini harus diketahui secara benar.Karena gejala sisanya pada 20-40%
penderita yang hidup adalah kelainan atau gangguan pada kecerdasan, motoris,
penglihatan, pendengaran secara menetap. Enampuluh persen penyebab ensefalitis tidak
diketahui, dari penyebab yang diketahui tersebut kira-kira 67% berhubungan dengan
penyakit infeksi pada anak seperti parotitis, varisela, morbili, dan rubella, 20% dari
kelompok arbovirus dan herpes simplex, 5% dari kelompok enterovirus, sisanya dari agen
lainnya.2
Kebanyakan kasus ringan, namun sesekali parah dan terjadi kerusakan otak akibat
demielinasi. Ensefalitis jarang sekali terjadi setelah prosedur imunisasi (pertusis, campak),
resiko yang ada 10 kali lebih kecil ketimbang ensefaltis yang diasosiasikan dengan infeksi
yang berkaitan3.

II.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden ensefalitis di seluruh dunia sulit untuk ditentukan. Sekitar 150-3000 kasus,
yang kebanyakan ringan dapat terjadi setiap tahun di Amerika Serikat. Kebanyakan kasus
herpes virus ensefalitis di Amerika Serikat.
Arboviral ensefalitis lebih lazim dalam iklim yang hangat dan insiden bervariasi dari
daerah ke daerah dan dari tahun ke tahun. St Louis ensefalitis adalah tipe yang paling
umum, ensefalitis arboviral di Amerika Serikat, dan ensefalitis Jepang adalah tipe yang
paling umum di bagian lain dunia. Ensefalitis lebih sering terjadi pada anak-anak dan
orang dewasa muda.(1,4)
Ensefalitis akibat arbovirus dan enterovirus memiliki karakteristik timbul sebagai
kelompok kejadian atau sebagai epidemic pada pertengahan musim panas sampai awal
musim gugur, walaupun beberapa kasusu ensefalitis enterovirus dapat timbul secara
sporadik sepanjang tahun. Insidens terjadinya ensefalitis arbovirus cenderung terbatas
pada wilayah geografis tertentu, hal ini merefleksikan reservoir dan vector nyamuk.

II.3 ETIOLOGI
Infeksi bakteri dan parasit seperti toksoplasmosis dapat menyebabkan ensefalitis
pada orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Penyebab ensefalitis
yang paling sering adalah infeksi karena virus. Beberapa contoh, Adenovirus, arbovirus,
enterovirus, herpesvirus, virus influenza, virus koriomeningitis limfositik, virus
campak, virus gondongan, virus rabies, dan virus rubella. Ensefalitis mempunyai dua
bentuk, yang dikategorikan oleh dua cara virus dapat menginfeksi otak yaitu ensefalitis
primer terjadi ketika virus langsung menyerang otak dan saraf tulang belakang. Hal ini
dapat terjadi setiap saat (ensefalitis sporadis), sehingga menjadi wabah (epidemik
ensefalitis). Ensefalitis sekunder terjadi ketika virus pertama menginfeksi bagian lain
dari tubuh kemudian memasuki otak.
Virus herpes beberapa virus herpes yang menyebabkan infeksi umum juga dapat
menyebabkan ensefalitis. Ini termasuk: Herpes simpleks virus. Ada dua jenis virus
herpes simpleks (HSV) infeksi. HSV tipe 1 (HSV-1) lebih sering menyebabkan cold
sores lepuh demam atau sekitar mulut Anda. HSV tipe 2 (HSV-2) lebih sering
menyebabkan herpes genital. HSV-1 merupakan penyebab paling penting dari
ensefalitis sporadis yang fatal di Amerika Serikat, tetapi juga langka. Varicella-zoster
virus. Virus ini bertanggung jawab untuk cacar air dan herpes zoster. Hal ini dapat
menyebabkan ensefalitis pada orang dewasa dan anak-anak, tetapi cenderung ringan.
Virus Epstein-Barr. Virus herpes yang menyebabkan infeksi mononucleosis. Jika
ensefalitis berkembang, biasanya ringan, tetapi dapat berakibat fatal pada sejumlah
kecil kasus.

II.4 FAKTOR RESIKO


- Fraktur kepala terbuka

- Sinusitis

- Otitis

- Mastoiditis
- Tuberkulosis

- HIV dan keadaan immunocompromised lainnya.

II.5 KLASIFIKASI

Klasifikasi berdasarkan penyebab


1. ENSEFALITIS SUPURATIVA
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus
aureus,streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa. Patogenesis:Peradangan dapat
menjalar ke jaringan otak dari otitis Media ,mastoiditis,sinusitis,atau dari piema yang
berasl dari radang, abses di dalam paru, bronchiektasi, empiema, osteomeylitis
cranium, fraktur terbuka,trauma yang menembus ke dalam otak dan
tromboflebitis.Reaksi dini jaringan otak terhadap kuman yang bersarang adalah
edema,kongesti yang disusul dengan pelunakan dan pembentukan abses. Disekeliling
daerah yang meradang berproliferasi jaringan ikat dan astrosit yang membentuk
kapsula. Bila kapsula pecah terbentuklah abses yang masuk ventrikel.Bila
berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum, tanda-
tanda meningkatnya tekanan intracranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan
progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan
mungkin terdapat edema papil.Tanda-tanda defisit neurologist tergantung pada lokasi
dan luas abses.(2,3,4,5)

2. ENSEFALITIS VIRUS
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :
a. Virus RNA

Paramikso virus : virus parotitis, irus morbili


Rabdovirus : virus rabies
Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virusdengue)
Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A,B,echovirus)
Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria

b. Virus DNA
Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks, sitomegalivirus,virus Epstein-
barr
Poxvirus : variola, vaksinia
Retrovirus : AIDS
Manifestasi klinis Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan,
nausea, Kesadaran menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk,hemiparesis
dan paralysis bulbaris.(1,2,3,4,5)

3. ENSEFALITIS KARENA PARASIT


a. Malaria serebral
Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gangguan
utama terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit. Sel darah merah yang
terinfeksi plasmodium falsifarum akan melekat satu sama Lainnya sehingga
menimbulkan penyumbatan-penyumbatan. Hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal
yang tersebar secara difus ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak.Gejala-
gejala yang timbul : demam tinggi.kesadaran menurun hingga koma.Kelainan
neurologik tergantung pada lokasi kerusakan-kerusakan.

b. Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejala –
gejala kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun. Didalam tubuh manusia
parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista terutama di otot
dan jaringan otak.

c. Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika berenang
di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan meningoencefalitis akut. Gejala-
gejalanya adalah demam akut, nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan
kesadaran menurun.

d. Sistiserkosis
Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus mukosa
dan masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh badan. Larva dapat
tumbuh menjadi sistiserkus, berbentuk kista di dalam ventrikel dan parenkim otak.
Bentuk rasemosanya tumbuh didalam meninges atau tersebar didalam sisterna.
Jaringan akan bereaksi dan membentuk kapsula disekitarnya.Gejaja-gejala neurologik
yang timbul tergantung pada lokasi kerusakan.(2,4)

4. ENSEFALITIS KARENA FUNGUS


Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : Candida albicans,
Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor mycosis.
Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah meningo-
ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya infeksi adalah daya
imunitas yang menurun.(2,4)

II.6 PATOGENESIS

Virus masuk tubuh melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya virus dapat
melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh
virus akan menyebar dengan beberapa cara:
1. Setempat: virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ
tertentu.
2. Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke
organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
3. Penyebaran hematogen sekunder: virus berkembang biak di daerah pertama kali
masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke organ lain.
4. Penyebaran melalui saraf: virus berkembang biak di permukaan selaput lendir dan
menyebar melalui sistem saraf.
Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien, tetapi belum ada kelainan
neurologis. Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan
akhirnya diikuti oleh kelainan neurologis. HSV-1 mungkin mencapai otak dengan
penyebaran langsung sepanjang akson saraf.
Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh:
1. Invasi dan pengrusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang
berkembang biak.
2. Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat
demielinisasi, kerusakan vaskular dan paravaskular. Sedangkan virusnya sendiri
sudah tidak ada dalam jaringan otak.
3. Reaksi aktivitas virus neurotopik yang bersifat laten
Tingkat demielinasi yang mencolok pada pemeliharaan neuron dan aksonnya terutama
dianggap menggambarkan ensefalitis “pascainfeksi” atau alergi. Korteks serebri terutama
lobus temporalis, sering terkena oleh virus herpes simpleks; arbovirus cenderung mengenai
seluruh otak; rabies mempunyai kecenderungan pada struktur basal.[7] Seberapa berat
kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi virus, kekuatan teraupetik dari
system imun dan agen-agen tubuh yang dapat menghambat multiplikasi virus.Banyak virus
yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu menginokulasi virus Arbo, sedang
virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Pada beberapa virus seperti varisella-zoster
dan citomegalo virus, pejamu dengan sistem imun yang lemah, merupakan faktor resiko
utama.
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui peredaran darah
atau melalui sistem neural ( virus herpes simpleks, virus varisella zoster ). Patofisiologi
infeksi virus lambat seperti subakut skelosing panensefalitis (SSPE) sanpai sekarang ini
masih belum jelas. Setelah melewati sawar darah otak,virus memasuki sel-sel neural yang
mengakibatjan fungsi-fungsi sel menjadi rusak, kongesti perivaskular, dan respons inflamasi
yang secara difus menyebabkan ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan
substansia putih (alba).
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran sel saraf
yang hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh, virus herpes
simpleks mempunyai predileksi pada lobus temporal medial dan inferior. Patogenesis dari
ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum jelas dimengerti. Infeksi otak
diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural secara langsung dari perifer ke otak
melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.

II.7 MANIFESTASI KLINIS


Trias ensefalitis yang khas ialah : demam, kejang, kesadaran menurun. Manifestasi
klinis tergantung kepada :
1. Berat dan lokasi anatomi susunan saraf yang terlibat, misalnya :
- Virus Herpes simpleks yang kerapkali menyerang korteks serebri, terutama
lobus temporalis
- Virus ARBO cenderung menyerang seluruh otak.
2. Patogenesis agen yang menyerang.
3. Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita.
Umumnya diawali dengan suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan
hiperpireksia. Kesadaran dengan cepat menurun,. Anak besar, sebelum kesadaran menurun,
sering mengeluh nyeri kepala. Muntah sering ditemukan. Pada bayi, terdapat jeritan dan
perasaan tak enak pada perut. Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal atau hanya
twitching saja. Kejang dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebrum yang beraneka ragam
dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan
sebagainya.
Masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai dengan demam, sakit
kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat.
Kemudian diikuti tanda ensefalitis berat ringannya tergantung dari distribusi dan luasnya lesi
pada neuron. Gejala-gejala tersebut berupa pasien gelisah, irritable, screaming attack,
perubahan dalam perilaku, gangguan kesadaran dan kejang. Kadang- kadang disertai tanda
neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia dan paralisis saraf otak.
Tanda rangsangan meningeal dapat terjadi bila peradangan mencapai meningen. Ruam kulit
didapatkan pada beberapa tipe ensefalitis misalnya pada enterovirus, dan varicela zoster.2

II. 8 DIAGNOSIS
Untuk memastikan diagnosis ensefalitis didasarkan atas gambaran klinis, pemeriksaan
virologis dan patologi anatomi.2 Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia,
penurunan kesadaran cepat, anak agak besar sering mengeluh nyeri kepala, ensefalopati,
kejang dan kesadaran menurun ditemukan pada anamnesis. Pada pemeriksaan fisik
seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun sampai koma dan kejang, kejang
dapat berupa status konvulsivus. Ditemukan gejala peningkatan tekanan intracranial, gejala
serebral dapat beraneka ragam, seperti kumpulan tipe upper motor neuron( spastis,
hiperefleks, refleks patologis dan klonus).3 Selain itu, dapat juga timbul gejala dari infeksi
traktus respiratorius atas (mumps, enterovirus) atau infeksi gastrointestinal (enterovirus) dan
tanda seperti exantem (enterovirus, measles, rubella, herpes viruses), parotitis, atau orchitis
(mumps atau lymphocytic chotiomeningitis).(5,7,8)
Pemeriksaan Penunjang
a.Pencitraan/ radiologi
Pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan patologi lain sebelum melakukan LP
(lumbal punksi) atau ditemukan tanda neurologis fokal. Pencitraan mungkin berguna untuk
memeriksa adanya abses, efusi subdural, atau hidrosefalus.[9] Pada CT-scan dapat ditemukan
edema otak dan hemoragik setelah satu minggu.Pada virus Herpes didapatkan lesi
berdensitas rendah pada lobus temporal, namun gambaran tidak tampak tiga hingga empat
hari setelah onset.CT-scan tidak membantu dalam membedakan berbagai ensefalitis virus.5
MRI (magnetic resonance imaging) kepala dengan peningkatan gadolinium
merupakan pencitraan yang baik pada kecurigaan ensefalitis. Temuan khas yaitu
peningkatan sinyal T2-weighted pada substansia grisea dan alba. Pada daerah yang
terinfeksi dan meninges biasanya meningkat dengan gadolinium.Pada infeksi herpes virus
memperlihatkan lesi lobus temporal dimana terjadi hemoragik pada unilateral dan bilateral.8
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi yang difus (aktivitas lambat
bilateral).Pada Japanese B encephalitis dihubungkan dengan tiga tanda EEG: 1)gelombang
delta aktif yang terus-menerus ;2)gelombang delta yang disertai spike (gelombang paku)
;3)pola koma alpha.Pada St Louis ensefalitis karakteristik EEG ditandai adanya gelombang
delta yang difus dan gelombang paku tidak menyolok pada fase akut.Dengan asumsi bahwa
biopsi otak tidak meningkatkan morbiditas dan mortalitas, apabila didapat lesi fokal pada
pemeriksaan EEG atau CT-scan, pada daerah tersebut dapat dilakukan biopsi tetapi apabila
pada CT-scan dan EEG tidak didapatkan lesi fokal, biopsi tetap dilakukan dengan melihat
tanda klinis fokal. Apabila tanda klinis fokal tidak didapatkan maka biopsi dapat dilakukan
pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes simpleks.5
b.Laboratorium
Biakan dari darah, viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar
mendapatkan hasil yang positif dari cairan likour srebrospinalis atau jaringan otak ; dari
feces untuk jenis enterovirus,sering didapatkan hasil positif. Analisis CSS (cairan
serebrospinal) menunjukkan pleositosis (yang didominasi oleh sel mononuklear) sekitar 5-
1000 sel/mm3 pada 95% pasien. Pada 48 jam pertama infeksi, pleositosis cenderung
didominasi oleh sel polimorfonuklear, kemudian berubah menjadi limfosit pada hari
berikutnya. Kadar glukosa CSS biasanya dalam batas normal dan jumlah ptotein meningkat.
PCR (polymerase chain reaction) dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
ensefalitis.8,9
Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) pada cairan serebrospinal biasanya
positif lebih awal dibandingkan titer antibody. Pemeriksaan PCR mempunyai sensitivitas
75% dan spesifisitas 100% dan ada yang melaporkan hasil postif pada 98% kasus yang telah
terbukti dengan biposi otak.Tes PCR untuk mendeteksi West Nile virus telah dikembangkan
di California.PCR digunakan untuk mendeteksi virus-virus DNA.Herpes virus dan Japenese
B encephalitis dapat terdeteksi dengan PCR.
II. 9 DIAGNOSIS BANDING
Kelainan-kelainan yang merupakan diagnosis banding adalah meningitis tbc,
syndrome Reye, abses otak, tumor otak dan ensefalopati.

II.10 TATALAKSANA
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien koma
yaitu mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral atau
parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan asam
basa darah.2
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti epilepsy,
kadang diberikan kortikosteroid. Untuk kejang berulang dapat diberikan fenitoin atau
fenobarbital sesuai standar terapi.3
Bila kejang dapat diberi Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB IV dilanjutkan fenobarbital.
Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres dingin dapat diberikan apabila pasien panas. Apabila
didapatkan tanda kenaikan tekanan intrakranial dapat diberi Dexamethasone 1 mg/kgBB/hari
dilanjutkan pemberian 0,25-0,5 mg/kgBB/hari. Pemberian Dexamethasone tidak
diindikasikan pada pasien tanpa tekanan intrakranial yang meningkat atau keadaan umum
telah stabil. Mannitol juga dapat diberikan dengan dosis 1,5-2 mg/kgBB IV dalam periode 8-
12 jam. Perawatan yang baik berupa drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodik
pada pasien ensefalitis yang mengalami gangguan menelan, akumulasi lendir pada
tenggorokan serta adanya paralisis pita suara atau otot-otot pernapasan. Pada pasien herpes
ensefalitis (EHS) dapat diberikan Adenosine Arabinose 15 mg/kgBB/hari IV diberikan
selama 10 hari. Pada beberapa penelitian dikatakan pemberian Adenosine Arabinose untuk
herpes ensefalitis dapat menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%. Saat ini
Acyclovir IV telah terbukti lebih baik dibandingkan vidarabin, dan merupakan obat pilihan
pertama. Dosis Acyclovir 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari.5
Pemantauan pasca rawat memerlukan pemantauan tumbuh kembang, jika terdapat
gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen terkait (rehabilitasi medik, mata dll) sesuai
indikasi.
Diantara pasien yang hidup, 20-40% mempunyai gejala sisa berupa paresis, paralisis,
gerakan koreoatetoid, gangguan penglihatan, dan kelainan neurologis lain. Pasien yang
sembuh tanpa kelainan yang nyata, dalam perkembangan selanjutnya masih mungkin terjadi
retardasi mental, gangguan perilaku, dan epilepsi.3

II.11 KOMPLIKASI

Pada pasien yang bertahan hidup, gejala umumnya membaik setelah beberapa hari
sampai dengan 2-3 minggu.2

Dalam beberapa kasus, pembengkakan otak dapat menyebabkan kerusakan otak


permanen dan komplikasi tetap seperti kesulitan belajar, masalah berbicara, kehilangan
memori, atau berkurangnya kontrol otot.[11]
Prognosis tergantung dari keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, dan umur anak.
Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim maka prognosisnya
jelek dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik, psikiatri, epileptik,
penglihatan atau pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan pada infeksi yang
disebabkan oleh virus Herpes simpleks.[7]

II.12 PENCEGAHAN
1. Early treatment (pengobatan awal) pada demam tinggi atau infeksi

2. Hindari menghabiskan waktu di luar rumah pada waktu senja ketika serangga aktif
menggigit.
3. Pengendalian nyamuk atau surveilans melalui penyemprotan
4. Indikasi seksio sesar jika ibu memiliki lesi aktif herpes untuk melindungi bayi baru
lahir
5. Imunisasi/vaksin anak terhadap virus yang dapat menyebabkan ensefalitis (mumps,
measles/campak)
DAFTAR PUSTAKA

1. Saharso, Darto. Hidayati, Siti Nurul. Infeksi Virus Pada Susunan Saraf Pusat.
Soetomenggolo, Taslim S. Ismael, Sofyan. Dalam: Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan
ke-2. Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2000;hal373-5.
2. Prober, Charles G. Meningoensefalitis. Nelson, Waldo E. Dalam: Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Ed.15 Vol.2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996;hal880-2.
3. Sevigny, Jeffrey MD. Frontera, Jennifer MD. Acute Viral Encephalitis. Brust, John C.M.
In: Current Diagnosis & Treatment In Neurology. International Edition. New York. Mc
Graw Hill. 2007;p449-54
4. Markam,S.Ensefalitis dalam Kapita Selekta Neurologi Ed ke-2,Editor :Harsono.,Gadjah
Mada University Press,Yogyakarta.2000;hal 155-6.
5. Arvin A.M Penyakit Infeksi dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Edtor:Wahab SA.EGC
Jakarta.2000;hal 1141-53
6. Jeffrey Hom, MD. Pediatric Meningitis and Encephalitis Differential Diagnoses.
Richard G, Bachur,MD. Updated on April 19th, 2011. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/802760-differential. Accessed January 31,2012
7. Jeffrey Hom, MD. Pediatric Meningitis and Encephalitis Workup. Richard G,
Bachur,MD. Updated on April 19th, 2011. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/802760-workup. Accessed January 31,2012
8. Jeffrey Hom, MD. Pediatric Meningitis and Encephalitis. Richard G, Bathur,MD.
Updated on April 19th, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/802760-
overview. Accessed January 31,2012
9. Kate M, Cronan.MD. Encephalitis. Updated: January 2010. Available from
http://kidshealth.org/parent/infections/bacterial_viral/encephalitis.html. Accessed on January
31, 2012.
10. NINDS. Meningitis and Encephalitis Fact Sheet. Last updated on February 16, 2011
Available from
http://www.ninds.nih.gov/disorders/encephalitis_meningitis/detail_encephalitis_meningitis .
Accessed January 31,2012
11. Soldatos, Ariane MD. Encephalitis. Available from
http://www.childrenshospital.org/az/Site832/mainpageS832P0.html. Accessed January
31,2012
12. Todd, Mundy.MD. Encephalitis causese. Michael D, Burg MD. 2012. Available from
http://www.emedicinehealth.com/encephalitis/page2_em.htm. Accessed on January 31, 2012.
13. Todd, Mundy.MD. Encephalitis Prevention. Michael D, Burg MD. 2012. Available from
http://www.emedicinehealth.com/encephalitis/page9_em.htm. Accessed on January 31, 2012.
14. Todd, Mundy.MD. Encephalitis. Michael D, Burg MD. 2012. Available from
http://www.emedicinehealth.com/encephalitis/. Accessed on January 31, 2012.

Anda mungkin juga menyukai