Dermatitis Atopi Referat
Dermatitis Atopi Referat
Dermatitis Atopi Referat
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit keradangan kulit yang kronis, ditandai rasa
gatal ringan sampai berat, bersifat kumat-kumatan, sebagian besar muncul pada saat bayi dan
anak. Prevalensi DA meningkat tiga kali lipat Sejak tahun 1960. Peningkatan insidensi DA
kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor misalnya urbanisasi, polusi, dan hygiene
anak sebesar 10-20% dan pada dewasa sekitar 1-3%.1 Sebesar 50% kasus DA muncul pada
tahun pertama kehidupan.2 Prevalensi DA di Asia Tenggara bervariasi antar negara dari 1,1%
pada usia 13-14 tahun di Indonesia sampai 17,9% pada usia 12 tahun di Singapura.4 Jumlah
kunjungan pasien DA pada tahun 2009-2011 di Divisi Alergi Imunologi URJ Kulit dan
Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya sebanyak 353 pasien (Hutomo, 2016).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dermatitis Atopik adalah penyakit kulit reaksi inflamasi yang didasari oleh faktor
herediter dan faktor lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula,
vesikel, kusta, skuama, dan pruritus yang hebat. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau
alergi, faktor psikologik atau akibat bahan kimia atau iritan (Ardly, 2016).
B. Epidemiologi
Epidemiologi menrut Evina tahun 2015 yaitu : Dermatitis atopik merupakan penyakit
kulit yang sering menyerang anak-anak dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan
prevalensi pada orang dewasa 1-3% di Amerika, Jepang, Eropa, Australia, dan negara
industri lain. Sedangkan pada negara agraris seperti Cina dan Asia Tengah prevalensi
atopik menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI) yaitu sebesar 23,67%
dimana dermatitis atopic menempati menmpati peringkat pertama dari 10 besar penyakit
kulit anak. Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan
Pada anak, sekitar 45% kasus dermatitis atopic muncul dalam 6 bulan pertama
kehidupan, 60% muncul dalam tahun pertama kehidupan, dan 85% kasus muncul
sebelum usia 5 tahun. Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa pertumbuhan
(early-onset dermatitis atopic). Sekitar 45% kasus dermatitis atopic anak muncul dalam 6
bulan pertama kehidupan, 60% muncul dalam tahun pertama kehidupan, dan 85% kasus
muncul sebelum usia 5 tahun. Sebagian besar yaitu 70% kasus penderita dermatitis atopik
anak, akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga dapat
2
terjadi pada saat dewasa (late onset dermatitis atopic ).Dermatitis atopik cenderung
diturunkan. Bila seorang ibu menderita atopi maka lebih dari seperempat anaknya akan
menderita Dermatitis atopik pada 3 bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita
atopi maka lebih separuh anaknya menderita alergi sampai usia 2 tahun dan bila kedua
orang tua menderita atopi, angka ini meningkat sampai 75 % (Evina, 2015).
Etiologi dan patogenesis dari DA menurut Pandaleke tahun 2014 : Sampai saat ini
penyebab pasti DA masih sulit dipahami.11,16 Pada beberapa kasus, DA merupakan masalah
kulit yang berlangsung lama dan memerlukan lebih dari satu pengobatan.17 Beberapa
fungsi sawar kulit, sistem imun, genetik, serta faktor pemicu lainnya seperti faktor
Kulit merupakan organ terluar yang melindungi tubuh dari lingkungan sekitar-nya dan
membantu tubuh berinteraksi dengan lingkungan.18,19 Fungsi kulit antara lain mencegah
keluarnya cairan berlebihan dari dalam tubuh dan menahan substansi yang merugikan masuk
ke dalam tubuh; hal ini terutama dilakukan oleh lapisan epidermis paling luar, yaitu stratum
korneum Pada DA kulit menjadi kering; hal ini berhubungan dengan disfungsi permeabi-litas
sawar epidermis yaitu hilangnya fungsi mutasi gen filaggrin (FLG). Gen ini mengkode
protein profilargin sebagai prekusor struktur protein FLG pada diferensiasi kompleks
epidermis (Gambar 1). Setelah keratinosit menjadi padat, protein FLG melepaskan natural
3
Umumnya pasien DA memiliki peningkatan jumlah eosinofil dan kadar serum
Immunoglobulin E (IgE).7 Hal ini berhubungan dengan mekanisme imunologi dan seluler
berkaitan dengan sel T helper (Th), yang berfungsi mengenali antigen dan mengatur respon
imun seperti inflamasi, pertahanan terhadap infeksi virus, serta proliferasi sel T dan B
spesifik. Sel Th berperan utama dalam patogenesis DA dimana jumlah Th 2 lebih banyak
4
Pada DA terdapat 2 tipe sel dendritik dengan afinitas tinggi terhadap IgE (reseptor
IgE yang mengandung mieloid) yaitu sel Langerhans (SL) dan sel epidermal dendritik
inflamasi (SEDI). SL yang mengandung IgE tampaknya berperan penting pada presentasi
alergen kulit pada sel Th2 yang memproduksi IL-4, dimana pada DA akut Th2 yang terlibat
dan sitokin terutama IL-4, IL-5 dan IL-13 serta pe-nurunan IFN-γ, yang memediasi
perubahan isotipe imunoglobulin ke sintesis IgE dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi
pada sel-sel endotelial. Berbeda halnya dengan DA kronis yang melibatkan pro-duksi sitokin
Th1, IL-12, IL-18, dan IL-5, serta IFN-γ yang mengalami upregulation dalam keratinosit.
(Gambar 2).
Genetik
Bila salah satu orang tua memiliki riwayat DA, maka insiden terkena DA menjadi dua
kali lipat pada anaknya. Insi-den ini menjadi tiga kali lipat bila riwayat DA ditemukan pada
kedua orang tua. Terdapat 2 kromosom yang berkaitan erat dengan DA yaitu kromosom 1q21
dan kromosom 17q25. Hal ini masih paradoksal karena psoriasis dengan gambaran klini
yang berbeda juga terkait dengan kromosom yang sama. Selain itu, kedua kromosom tersebut
tidak terkait dengan penyakit atopi lainnya. Juga ditemukan peran kromosom lainnya seperti
DA merupakan hasil interaksi kompleks dari berbagai faktor, antara lain genetik,
sistem imun, disfungsi sawar kulit dan berbagai faktor pencetus lainnya baik yang bersifat
Makanan
hipersensitifitas terhadap makanan pada anak dan dewasa.27 Diperkirakan 30-40% bayi dan
5
anak usia muda menderita DA sedang sampai berat dengan alergi makanan sebagai faktor
pencetus. Prevalensi tertinggi alergi makanan dijumpai pada bayi, menurun pada usia anak,
dan makin berkurang pada dewasa. Makanan yang paling sering sebagai faktor pencetus ialah
Alergi makanan sering dimulai pada tahun pertama kehidupan dimana saluran cerna
bayi baru lahir akan terpapar dengan protein makanan dalam ASI serta lingkungan sekitar
yang dikelilingi bakteri. Hal ini merupakan suatu perubahan dramatis dengan kondisi bayi
sebelumnya di dalam rahim yang hanya menelan air ketuban steril dan bebas alergen.
Umumnya akibat proses sensitisasi dan reaksi hipersensitifitas spesifik terhadap protein
makanan, terbentuk IgE spesifik terhadap makanan. Alergen makanan cepat diabsorpsi dan
melewati sawar mukosa saluran cerna melalui aliran darah, kemudian dibawa ke seluruh
tubuh dan menyebar ke sel mast di kulit sehingga menimbulkan rasa gatal dan menyebabkan
lesi DA. Hampir 85% pasien dengan DA menunjukkan tingginya kadar total IgE.
6
Aeroalergen
Paparan terhadap alergen inhalan seperti serbuk sari, jamur, tungau, dan bulu binatang
berhubungan dalam perjalanan penyakit pada beberapa kasus DA. Pertama kali dilaporkan
oleh Walker (1918), alergen inhalan nampaknya sering pada anak-anak yang lebih tua dan
orang dewasa yang mengakibatkan rasa gatal dan lesi atopik setelah individu tersebut
tersensitisasi secara inhalasi bronkial. Perbaikan klinis dapat terjadi bila individu tersebut
tidak terkena atau berada pada lingkungan yang kurang alergen. Kadar IgE meningkat pada
individu yang sering tersensitisasi dengan tungau, serbuk sari, dan bulu binatang, serta
berhubungan erat dengan tingkat keparahan penyakit. Mekanisme bagaimana alergen dapat
memasuki tubuh dan memperberat eksema masih dalam perdebatan, namun hal ini
berhubungan dengan fungsi sawar kulit yang mendukung invasi alergen ke dalam epidermis.
Penelitian Riley et al. men-dapatkan bahwa sensitisasi terhadap alergen inhalan dapat juga
Staphylococcus aureus
Infeksi S. aureus paling sering terjadi, diperkirakan sekitar 90% pada DA. Hal ini
dikarenakan kemampuan bakteri tersebut untuk menyekresi toksin yang dikenal sebagai
7
superantigen. Bahan ini akan menstimulasi aktivasi sel T dan makrofag. Mekanisme
meningkatnya kolonisasi S. aureus pada DA masih belum diketahui pasti, diduga akibat
kombinasi berbagai faktor (Tabel 3). Menggaruk merupakan salah satu faktor penting karena
Faktor-faktor ini didukung oleh berbagai studi, yaitu: 1) Lesi kulit pada DA akut dikolonisasi
oleh S. aureus dengan jumlah lebih banyak dibandingkan pada DA kronik; 2) Pengobatan
dengan anti inflamasi seperti kortikosteroid topikal atau inhibitor kalsineurin secara
bermakna dapat mengurangi jumlah S.aureus pada kulit penderita atopik; 3) Studi pada tikus
mendapatkan jumlah bakteri lebih besar pada kulit yang dimediasi oleh sel Th2 dibandingkan
oleh sel Th1. Kegagalan fungsi sawar kulit akibat pH meningkat, penurunan antimicrobial
peptides (AMP), serta penurunan jumlah lemak dan sphingosine (prekusor ceramides)
merupakan predisposisi infeksi dan kolonisasi S. aureus. Infeksi dan kolonisasi ini akan
memperburuk disfungsi sawar. Strain toksigenik sering menyebabkan infeksi klinis dan
merangsang terjadinya pruritus melalui enterotoksin dan induksi produksi IgE. Toksin yang
bertindak sebagai superantigen akan merangsang proliferasi sel T. Il-13 yang diproduksi oleh
8
Stres
berperan penting dalam terjadinya DA. Stres dapat menyebabkan rusaknya fungsi sawar kulit
dan memicu terjadinya respon alergi atau Th2. Pada saat stres, saraf sensoris melepaskan
neuromediator yang me-regulasi inflamasi dan respon imun seperti pada penurunan fungsi
sawar kulit. Respon hypothalamus-pituitary-adrenal axis (HPA) pada sistem saraf pusat akan
dan ACTH menstimulasi norepinefrin (NE) dan pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal, serta
langsung menstimulasi sel imun dalam darah dan perifer melalui masing-masing reseptor.
Akibatnya terjadi umpan balik negatif dari kortisol pada CRH dan ACTH, kemudian
hipotalamus dan hipofisis. Produksi serotonin pada batang otak (5HT) meningkat. Substansi
P (SP), gastrin-releasing peptide (GRP), dan calcitonin gene related peptide (CGRP) pada
Pada kulit, sel-sel imun melepaskan sitokin, kemokin, dan neuropeptida, yang
memodulasi respon inflamasi lokal. Selain itu, saraf sensoris melepaskan neuro-mediator
yang memodulasi inflamasi kulit, nyeri, dan gatal, serta mengirimkan rangsangan sensorik
melalui ganglia spinalis dorsalis dan medula spinalis ke area tertentu dari sistem saraf pusat.
Sel mast kulit berhubungan erat dengan substansi P (SP), CGRP, pituitary adenylate cyclase-
activating protein (PACAP), dan opioid releasing neurons. Kesemuanya akan memicu
sintesis dan sekresi mediator inflamasi sebagai respon terhadap berbagai rangsangan fisik dan
biokimia. Produksi lokal dari neurohormon dan neuropeptida dengan serabut saraf SP terjadi
9
Gambar 5. Mekanisme stres menyebabkan dermatitis atopik
D. Manifestasi Klinis
Menurut Hajar tahun 2007 Gejala utama dermatitis atopik adalah gatal/pruritus yang
muncul sepanjang hari dan memberat ketika malam hari yang dapat menyebabkan insomnia
dan penurunan kualitas hidup. Rasa gatal yang hebat menyebabkan penderita menggaruk
kulitnya sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratch mark) yang akan diikuti oleh
kelainan-kelainan sekunder berupa papula, erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi
likenifikasi bila proses menjadi kronis. Gambaran lesi eksematous dapat timbul secara akut
(plak eritematosa, prurigo papules, papulovesikel), subakut (penebalan dan plak ekskoriasi),
dan kronik (likenifikasi). Lesi eksematous dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan
terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat basah (weeping)
dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut. Gambaran klinis dermatitis atopic
10
1. Dermatitis Atopik Infantil (0-1 tahun)
Dermatitis atopi sering muncul pada tahun pertama kehidupan dan dimulai sekitar
usia 2 bulan. Jenis ini disebut juga milk scale karena lesinya menyerupai bekas susu. Lesi
berupa plak eritematosa, papulo-vesikel yang halus, dan menjadi krusta akibat garukan pada
pipi dan dahi. Rasa gatal yang timbul menyebabkan anak menjadi gelisah, sulit tidur, dan
sering menangis. Lesi eksudatif, erosi, dan krusta dapat menyebabkan infeksi sekunder dan
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantile atau timbul sendiri. Pada umumnya lesi
berupa papul eritematosa simetris dengan ekskoriasi, krusta kecil, dan likenifikasi. Lesi dapat
ditemukan di bagian fleksura dan ekstensor ekstremitas, sekitar mulut, kelopak mata, tangan
dan leher.
Pada usia 4-16 tahun dapat dijumpai dermatitis pada tubuh bagian atas dan wajah.
Umumnya muncul dermatitis yang simetris pada area fleksura, tangan, dan kaki.
Pada orang dewasa, lesi dermatitis kurang karakteristik, dapat di wajah, tubuh bagian
atas, fleksura, bibir dan tangan Lesi kering, papul datar, plak likenifikasi dengan sedikit
skuama, dan sering terjadi ekskoriasi dan eksudasi karena garukan. Terkadang dapat
berkembang menjadi eritroderma. Stres dapat menjadi faktor pencetus karena saat stres nilai
xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris, tanda Hertoghe, keilitis,
11
E. Kriteria Diagnosis
Diagnosis dermatitis atopik meurut Evina 2015 harus mempunyai 3 kriteria mayor dan 3
kriteria minor jika menggunakan kriteria Hanifin and Rajka. Kriteria ini cocok digunakan
untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit dan eksperimental, namun tidak cocok pada
penelitian berbasis populasi. Oleh karena itu William, dkk pada tahun 1994 memodifikasi dan
menyederhanakan kriteria Hanifin and Rajka menjadi satu pedoman diagnosis dermatitis
atopik yang dapat digunakan untuk diagnosis dengan cepat. Kriteria William,dkk yaitu:
1. Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar leher
2. Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat penyakit
4. Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak <4 tahun).
5. Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak <4 tahun).
Kriteria diagnostik dermatitis atopik yang lain adalah kriteria diagnostik menurut
Svensson, 1985, yang membagi kriteria menjadi 3 kelompok. Dalam menegakkan diagnosis
dermatitis atopik berdasarkan kriteria Svennson, pasien harus memiliki dermatitis di daerah
fleksural kronik yang hilang timbul ditambah dengan memiliki 15 nilai dari sistem skor
Svennson. The Europian Task Force on Atopic Dermatitis membuat suatu indeks untuk
menilai derajat dermatitis atopik, dikenal dengan istilah SCORAD (Score of atopic
dermatitis). SCORAD dapat menilai derajat keparahan inflamasi dermatitis atopik dengan
menilai (A) luas luka, (B) tanda-tanda inflamasi, dan (C) Keluhan gatal dan gangguan tidur.
12
Tanda inflamasi yaitu eritema, indurasi, ekskoriasi, papul, dan likenifikasi. Eritema adalah
kemerahan kulit karena pelebaran pembuluh- pembuluh darah. Indurasi adalah pengerasan,
Kriteria Mayor :
1. Pruritus (gatal)
Kriteria Minor :
2. Tanda Dennie-Morgan
3. Keratokonus
4. Konjungtivitis rekuren
7. White dermatographisme
8. Pitiriasis Alba
9. Fissura pre-aurikular
11.Facial pallor
12.Hiperliniar palmaris
13.Keratosis palmaris
15.Xerotic
13
16.Iktiosis pada kaki
19.Awitan dini
20.Peningkatan Ig E serum
Ekskoriasi adalah kerusakan kulit yang lebih dalam dari pada kulit epidermis
sehingga berdarah (lecet). Papul adalah tonjolan kulit yang kecil, berbatas jelas dan padat.
Likenifikasi adalah perubahan suatu erupsi kulit misalnya eksema, sehingga berwujud seperti
liken (penyakit kulit yang ditandai dengan bintil-bintil kecil padat, teratur secara
berkelompok), kulit menjadi lebih tebal dan garis-garis kulit menjadi lebih jelas Luas luka
(A) diukur dengan menggunakan the rule of nine dengan skala penilaian 0-100. Tanda-tanda
inflamasi (B) pada SCORAD terdiri dari 6 kriteria: eritema, edema/papul, ekskoriasi,
likenifikasi, krusta, dan kulit kering yang masing-masing dinilai dari skala 0-3. Gejala
subjektif (C) terdiri dari pruritus dan gangguan tidur yang masing-masing dinilai dengan
visual analogue scale dari skala 0-10 sehingga skor maksimum untuk bagian ini adalah 20.
Formula SCORAD yaitu A/5 + 7B/2 + C. Pada formula ini A adalah luas luka (0-100), B
adalah intensitas (0-18), dan C adalah gejala subjektif (0-20). Skor maksimal SCORAD
adalah 10.
14
Keterangan :
A : adalah jumlah luas permukaan kulit yang terkena dermatitis atopik di luar kulit kering
dengan mengikuti rule of nine dengan jumlah skor tertinggi kategori A adalah 100.
berskala 0-3 (0 = tidak ada, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat), jumlah skor tertinggi
C : adalah jumlah dari nilai gatal dan gangguan tidur dengan skala 0 – 10 dengan jumlah
15
Berdasarkan dari penilaian SCORAD dermatitis atopik digolongkan menjadi:
1. Dermatitis atopik ringan (skor SCORAD <15): perubahan warna kulit menjadi
kemerahan, kulit kering yang ringan, gatal ringan, tidak ada infeksi sekunder.
2. Dermatitis atopik sedang (skor SCORAD antara 15–40): kulit kemerahan, infeksi
3. Dermatitis atopik berat (skor SCORAD >40): kemerahan kulit, gatal, likenifikasi,
F. Komplikasi
DA yang mengalami perluasan dapat menjadi eritroderma. Atrofi kulit dapat terjadi
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan bila ada keraguan klinis. Peningkatan kadar
IgE dalam serum juga dapat terjadi pada sekitar 15% orang sehat, demikian pula
kadae eosinofil sehingga tidak patognomonik. Uji kulit dilakukan bila ada dugaan
H. Penatalaksanaan
1. Pencegahan (Avoidance)
pencetus baik makanan, alergen hirup, alergen kontak, stress psikis maupun
penyebab lainnya.
2. Probiotik
di bawah dua tahun berkurang dengan pemberian probiotik pada wanita yang
16
mempunyai riwayat atopi dalam keluarga selama empat minggu sebelum lahir dan
selama masa menyusui. Akan tetapi perlu penelitian lebih lanjut untuk
membuktikan kebenarannya.
3. Pelembab
4. Mandi
topikal dan menjaga kulit yang sedang mengalami inflamasi dari infeksisekunder.
5. Kortikosteroid topikal
satunya adalah hidrokortison 1% yang aman digunakan untuk daerah yang sensitif
seperti pada wajah dan leher.Kortikosteroid topikal masih merupakan terapi pilihan
Merupakan terapi topikal pilihan lain yang cukup aman seperti tacrolimus dan
steroid topikal.
17
7. Pengobatan sistemik
yang berat dan tidak sembuh dengan terapi topikal, misalnya prednison 0,5
8. Antibiotik sistemik
sefalosporin.
9. Imunomodulator sistemik
mikofenolat telah diterima sebagai terapi pada DA yang refrakter dan tidak respon
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dermatitis atopik adalah suatu peradangan kulit kronik dan residif (atau sekelompok
gangguan yang berkaitan), yang sering ditemukan pada penderita rhinitis alergika dan asma
serta diantara para anggota keluarga mereka, yang ditandai dengan kelainan kulit berupa
papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di lipatan
(fleksural) tubuh. Gatal merupakan keluhan utama dermatitis atopik disertai dengan kelainan
kulit berupa plak eritematosa, papul, vesikel, krusta, likenifikasi yang dapat ditemukan pada
wajah, tangan, kulit kepala, hingga seluruh tubuh. Penegakkan diagnosis dermatitis atopik
didasarkan pada temuan klinis dan uji alergi serta uji laboratorium dengan menggunanakan
beberapa criteria diagnosis, diantaranya Hanifin dan Rajka, skor Svennson, Kriteria
19
DAFTAR PUSTAKA
Pandaleke, dkk. 2014. Etiopatogenesis Dermatitis Atopi. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit
Evina Belda. 2015. Clinical Manifestations And Diagnostic Criteria Of Atopic Dermatitis.
Hajar Sitti. 2007. Gejala Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. Kedokteran Syah Kuala.
Jurnal.
Evalina Rita. 2017. Dermatitis Atopi. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
20