Anda di halaman 1dari 40

EVALUASI PERTUMBUHAN, PENENTUAN DIFERENSIASI

KELAMIN, DAN PRODUKSI JANTAN FUNGSIONAL IKAN


PAPUYU (Anabas testudineus Bloch)

RAHMAT HIDAYAT

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Evaluasi Pertumbuhan,


Penentuan Diferensiasi Kelamin, dan Produksi Jantan Fungsional Ikan Papuyu
(Anabas testudineus Bloch)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Rahmat Hidayat
NIM C151130711
RINGKASAN

RAHMAT HIDAYAT. Evaluasi Pertumbuhan, Penentuan Diferensiasi Kelamin,


dan Produksi Jantan Fungsional Ikan Papuyu (Anabas testudineus Bloch).
Dibimbing oleh ODANG CARMAN dan ALIMUDDIN.

Ikan papuyu (Anabas testudineus) atau betok adalah ikan asli Indonesia
yang memiliki nilai ekonomis dan banyak disukai oleh sebagian besar masyarakat
Kalimantan. Ikan papuyu diduga memiliki perbedaan laju pertumbuhan terkait
dimorfisme seksual (DS). Ikan papuyu betina lebih cepat tumbuh dibandingkan
dengan ikan jantan, sehingga berpotensi dilakukannya budidaya monoseks betina.
Populasi monoseks betina dapat diperoleh melalui persilangan ikan jantan
fungsional (XX) dengan betina normal (XX). Ikan jantan fungsional diperoleh
dengan cara maskulinisasi menggunakan hormon 17α-metiltestosteron (MT)
sebelum diferensiasi kelamin (DK) terjadi. Penelitian ini telah dilakukan dalam
bentuk rangkaian riset sistematis sebagai dasar pengembangan budidaya
monoseks betina ikan papuyu; riset DS untuk membuktikan pertumbuhan ikan
papuyu betina lebih cepat dibandingkan dengan jantan, riset DK mengungkap
waktu terjadinya DK pada ikan papuyu sebagai dasar untuk perlakuan sex
reversal, dan riset maskulinisasi dilakukan untuk menentukan dosis optimum
pemberian MT yang menghasilkan ikan jantan fungsional.
Benih ikan papuyu varietas hijau dalam penelitian ini diperoleh dari
pendederan larva hasil pemijahan lima pasang induk. Penelitian DS dilakukan
dengan cara memelihara 60 ekor benih ikan papuyu umur 45 hari pascatetas (hpt)
secara individu pada hapa ukuran 20×20×100 cm3 selama 135 hari. Secara
individual, bobot badan ditimbang setiap 15 hari sekali dan jenis kelamin
ditentukan saat akhir penelitian dengan cara membedah ikan. Penelitian DK
dilakukan dengan cara mengambil 20 ekor sampel ikan per hari mulai umur 10–29
hpt, lalu dilakukan prosedur preparasi histologi dengan pewarnaan hematoksilin-
eosin. Struktur dan status diferensiasi gonad diobservasi secara histologi.
Penelitian maskulinisasi ikan papuyu dilakukan pada ikan papuyu umur 14 hpt
dengan perlakuan pemberian pakan berhormon dengan dosis 25, 50, 75, 100 mg
MT/kg pakan dan satu perlakuan tanpa hormon MT (kontrol) selama 30 hari,
kemudian rasio kelamin ditentukan pada saat akhir penelitian melalui observasi
secara histologi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan papuyu memiliki DS terkait
pertumbuhan. Pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan bobot harian ikan
betina masing-masing 48% dan 17% lebih tinggi (P<0,05) daripada ikan jantan.
Gonad ikan papuyu terdiferensiasi pada umur 18–21 hpt, ditandai dengan
perkembangan genital ridges seiring bertambahnya jumlah PGC dan terbentuknya
ovarian cavity. Induksi sex reversal menggunakan MT secara oral pada ikan
papuyu berhasil dilakukan dengan dosis 50 mg/kg pakan pada ikan umur 14 hpt
selama 30 hari menghasilkan rasio jantan tertinggi (88,9%) dan berpeluang
menghasilkan jantan fungsional sebesar 61,1%.

Kata kunci: Anabas testudineus, diferensiasi, dimorfisme, jantan fungsional,


maskulinisasi, pertumbuhan
SUMMARY

RAHMAT HIDAYAT. Evaluation on Growth, Sexual Differentiation, and


Functional Male Production of Climbing Perch (Anabas testudineus Bloch).
Supervised by ODANG CARMAN and ALIMUDDIN.

Climbing perch (Anabas testudineus) is a native freshwater fish species of


Indonesia that commercially cultured, especially in South Kalimantan district. The
phenomenon that often occurs in culture of this species is a significant size
difference between male and female, that possibly reflects the sexual dimorphism
in growth rate; female grows faster than male. This phenomenon leads to a high
potential for female monosex culture in the future. Monosex female population
can be produced by mating functional male and normal female, and functional
male can be generated by masculinization using androgen treatment, prior to the
timing of sexual differentiation. This research was conducted to gather basic data
for developing possibility of female monosex culture on this species; sexual
dimorphism evaluation was conducted to examine growth rate differences
between male and female quantitatively, sex differentiation study to reveal the
timing of sex differentiation as an important strategy for sex reversal, and
masculinization research to established the optimum dosage of 17α-
methyltestosterone (MT) hormone to produce the functional males.
Green strain of climbing perch fries used in these experiments were
derived from mating of five pairs of broods. For sexual dimorphism evaluation,
sixty 45-days-old juveniles were randomly picked up and reared individually in
20×20×100 cm3 net cages for 135 days. Fish were fed on commercial feed (30%
protein) three times a day at 10% feeding rate. Body weight and body length were
individually recorded every 15 days, the sexes were determined at the end of the
experiment by surgerying the fish. For sex differentiation study, 20 fries at 10–29
days post-hatching were sampled for gonad structure and status analysis
histologically. In masculinization experiment, 14-days-old juveniles were fed on
artificial diet without MT (control) and four different MT contained diets namely
25, 50, 75, and 100 mg of MT per kg diet for 30 days at similar frequency and
feeding rate as previous experiment. Male ratios were histologically determined at
the end of the experiment.
The result showed that both growth rate and specific growth rate of female
climbing perch were 48% and 17% significantly higher (P<0.05) than male
respectively, and differentiated gonads were observed at 18–21 days post-hatching
fish. Furthermore, oral MT administration at dose of 50 mg MT/kg diet seemed to
be an optimum dosage resulted highest male ratio (88.9%) and potentially
generate 61.1% of functional males.

Keywords: Anabas testudineus, differentiation, dimorphism, functional male,


growth, masculinization
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EVALUASI PERTUMBUHAN, PENENTUAN DIFERENSIASI
KELAMIN, DAN PRODUKSI JANTAN FUNGSIONAL IKAN
PAPUYU (Anabas testudineus Bloch)

RAHMAT HIDAYAT

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini ialah
mengenai budidaya monoseks ikan papuyu, dengan judul “Evaluasi Pertumbuhan,
Penentuan Diferensiasi Kelamin, dan Produksi Jantan Fungsional Ikan Papuyu
(Anabas testudineus Bloch)”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Odang Carman MSc dan
Bapak Dr Alimuddin SPi MSc selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir Dinar Tri
Soelistyowati DEA sebagai penguji yang telah banyak memberi saran. Terima
kasih disampaikan kepada Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan atas dukungan
dana melalui program tugas belajar program Pascasarjana dalam negeri Tahun
2013/2015. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Ir Endang
Mudjiutami selaku kepala Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT)
Mandiangin yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjalani
studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada Bapak Bunasir SPi beserta staf kelompok kerja, staf perekayasa
dan litkayasa, Ir Jamilah Hayati MSi beserta staf laboran BPBAT Mandiangin,
yang telah membantu dan menyediakan fasilitas penelitian. Terima kasih juga
disampaikan kepada Saudari Nurkardina dan tim yang secara teknis telah banyak
membantu dalam pelaksanaan penelitian.
Ungkapan terimakasih juga penulis haturkan kepada istri dan kedua anak
tercinta; Setiawati Hidayat, Dany Sajid El Abqary dan Ijlal Najih El Abqary, yang
sabar dan setia memberikan semangat serta inspirasi. Terima kasih juga diucapkan
kepada H Abdul Fatah, Ibunda Titiek Hidayati, Ayahanda Hazmi Al Askhan,
Adinda Muhammad Arief Islamy, serta segenap keluarga besar Bani Fatah atas
segala doa dan dukungannya selama studi. Selanjutnya, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan persaudaraan Yayasan Al Hikmah
Corner; Fitria Nawir, Abung Maruli Simanjuntak, Novianto Poernomo, Yunarty,
Sekar Ayu Chairunnisa, Rifqi Tamamdusturi, Asep Akmal Aonullah, Artin
Indrayati, Hirmawan Tirta Yudha, Lukman Anugrah Agung, Aisyah Lukmini, dan
seluruh rekan-rekan Pascasarjana Ilmu Akuakultur angkatan 2013 atas
kebersamaan dan bantuannya selama penyelesaian studi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2015

Rahmat Hidayat
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 METODE 4
Waktu dan Tempat 4
Rancangan Penelitian 4
Prosedur Penelitian 4
Parameter Pengamatan 6
Analisis Data 8
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Hasil 9
Pembahasan 14
4 KESIMPULAN DAN SARAN 19
Kesimpulan 19
Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 19
LAMPIRAN 25
RIWAYAT HIDUP 27
DAFTAR TABEL

1 Parameter pengamatan (×) pada penelitian pengujian pertumbuhan terkait


dimorfisme seksual (DS), pengkajian diferensiasi kelamin (DK), dan
maskulinisasi (M) ikan papuyu 6
2 Status gonad ikan papuyu varietas hijau pada umur 10–26 hpt 11
3 Bobot akhir, pertumbuhan bobot mutlak (PBM), laju pertumbuhan bobot
harian (LPH), dan biomassa ikan papuyu umur 105 hpt yang diberi
perlakuan pemberian MT secara oral mulai umur 14 hpt selama 30 hari 14

DAFTAR GAMBAR

4 Alur pengembangan budidaya monoseks betina ikan papuyu (Text box


berwarna biru merupakan aspek yang dikaji dalam penelitian ini) 3
5 Ikan papuyu varietas hijau jantan (A), dan betina (B). T= testis, mulai
matang mencapai tingkat kematangan gonad (TKG) III. O= ovari, gonad
telah mengisi sekitar 2/3 rongga perut (TKG IV) 9
6 Pertumbuhan ikan papuyu varietas hijau jantan (n=30) dan betina (n=26)
selama pemeliharaan 180 hari. (A) Bobot rerata, (B) Pertumbuhan mutlak
bobot (PBM), (C) Laju pertumbuhan bobot harian (LPH), dan (D)
pertumbuhan panjang. Tanda asterik menunjukkan nilai berbeda nyata
(P<0,05). hpt= hari pascatetas 10
7 Bobot tubuh dengan dan tanpa gonad (A), dan indeks gonadosomatik (B)
ikan papuyu varietas hijau jantan (n=27) dan betina (n=22) pada umur 180
hpt. Tanda asterik menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 10
8 Histologi ikan papuyu varietas hijau umur 18 hpt. (A) Potongan melintang
badan ikan. a = tulang belakang; b = gelembung renang; c = hati; (B)
sepasang gonad yang menggantung di dinding peritonial punggung pada
rongga badan, dihubungkan oleh mesogonium (m), tanda panah
menunjukkan posisi gonad. Skala = 100 μm. 11
9 Potongan melintang gonad undifferentiated ikan papuyu varietas hijau,
umur (A) 10 hpt, (B) 11 hpt, (C) 15 hpt, dan (D) 18 hpt. M =
mesogonium, PGC = primordial germ cell, BV = pembuluh darah. Skala
= 10 µm 12
10 Potongan melintang gonad ikan papuyu varietas hijau terdiferensiasi, umur
(A) 20 hpt, (B) 21 hpt, (C) 23 hpt, dan (D) 26 hpt. M = mesogonium, Og =
oogonia, Ost = oosit, OC = ovarian cavity, CN = chromatin nucleolus, PN
= Perinucleolus, BV = pembuluh darah. Skala = 10 µm 12
11 Status gonad ikan papuyu varietas hijau umur 105 hpt yang diberi
perlakuan MT dosis 0, 25, 50, 75, dan 100 mg/kg pakan secara oral: (A)
testis, (B) ovari, (C) interseks, (D) steril. Sc = spermatosit, Sp =
spermatid, Oc = oosit. Skala = 10 µm 13
12 Persentase jantan, interseks, steril dan kelangsungan hidup (KH) ikan
papuyu varietas hijau umur 105 hpt yang telah diberi perlakuan pemberian
MT secara oral mulai umur 14 hpt selama 30 hari, dosis 0 mg/kg pakan
(kontrol), 25 mg/kg pakan (MT25), 50 mg/kg pakan (MT50), 75 mg/kg
pakan (MT75), 100 mg/kg pakan (MT100). 14
DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur preparasi histologi menggunakan pewarna haematoxyline-eosine 25


2 Prosedur preparasi histologi menggunakan pewarna asetokarmin 26
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan betok (Anabas testudineus Bloch) adalah ikan yang telah banyak
dibudidayakan secara komersial di wilayah Asia Tenggara (Chotipuntu dan
Avakul 2010). Di Indonesia, ikan ini tersebar di pulau Kalimantan, Jawa,
Sumatera, Sumbawa, dan Manado (www.fishbase.org). Ikan betok atau papuyu di
Kalimantan Selatan terdiri atas dua varian berdasarkan warna badan, yaitu warna
hijau (varietas hijau), dan warna kuning (varietas galam). Ikan papuyu varietas
galam memiliki bentuk badan yang lebih kecil dibandingkan dengan ikan papuyu
varietas hijau (Rohansyah et al. 2010). Ikan papuyu banyak disukai oleh
masyarakat Kalimantan. Harga ikan papuyu di Kalimantan (kecuali Kalimantan
Barat) relatif mahal, berkisar Rp. 50.000,- sampai Rp. 80.000,- per kg
(DISPERINDAGKOP 2013), bahkan dapat mencapai Rp. 150.000,- per kilogram
pada bulan Maret di Kota Palangka Raya. Kenaikan harga ikan papuyu ini
disebabkan menurunnya hasil tangkapan di alam akibat naiknya air sehingga
menyulitkan nelayan melakukan penangkapan ikan di perairan umum.
Teknik pemijahan, pendederan dan pembesaran ikan papuyu telah
dikembangkan oleh Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin Kalimantan
Selatan dan dilakukan rilis domestikasi pada tahun 2014. Dengan menggunakan
sistem pembesaran saat ini, waktu yang diperlukan untuk mencapai ukuran
konsumsi (bobot 66,7-125 g/ekor) dari ukuran 1–2 g/ekor adalah sekitar 8 bulan
dengan ukuran ikan hasil panen yang bervariasi (Bunasir et al. 2014). Salah satu
fenomena yang sering dijumpai dalam budidaya ikan papuyu adalah perbedaan
ukuran yang mencolok antara individu jantan dan betina yang menyebabkan lebih
banyaknya individu di bawah ukuran pasar. Selain faktor genetik, perbedaan ini
diduga disebabkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan terkait dimorfisme
seksual (DS), ikan papuyu betina lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan ikan
jantan. Oleh karena itu, riset kuantitatif diperlukan untuk membuktikannya.
Pengkajian terhadap pertumbuhan ikan papuyu di alam dengan pendugaan
umur menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ikan papuyu betina lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan papuyu jantan (Nagris 2010). Hal ini berbeda dengan
ikan nila yang lebih cepat tumbuh pada nila jantan daripada betina (Chakraborty
dan Banarjee 2010; Bhatta et al. 2012b). Selanjutnya, tingkat produksi budidaya
ikan nila monoseks jantan lebih tinggi sekitar 10% (Nguyen dan David 2000)
daripada campur kelamin jantan-betina. Ikan mas monoseks betina yang
dibudidayakan di Eropa Tengah secara signifikan memiliki bobot panen 29,7%
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi heteroseks (Kocour et al. 2005).
Bila benar bahwa ikan papuyu betina tumbuh lebih cepat, maka perlu
pengembangan stok induk yang dapat menghasilkan benih ikan papuyu monoseks
betina secara massal. Produksi ikan monoseks betina secara massal dapat dilakukan
menggunakan teknik ginogenesis (bila kromosom kelamin betina homogametik
XX/WW) (Komen dan Thorgaard 2007), pengarahan diferensiasi kelamin (DK)
atau sex reversal menggunakan hormon estrogen, dan persilangan ikan jantan
fungsional (ikan XX yang menghasilkan sperma) dengan betina normal (XX)
(Piferrer 2001). Secara teknis, metode ketiga lebih aplikatif bagi pembudidaya.
2

Dalam hal ini, jantan fungsional dapat dihasilkan melalui sex reversal
menggunakan hormon 17α-metiltestosteron (MT) melalui perendaman atau oral.
Sex reversal melibatkan proses hormonal untuk mengarahkan kelamin ikan
saat berlangsungnya DK. Sex reversal dapat dilakukan karena determinasi kelamin
pada ikan merupakan sebuah proses yang fleksibel (Piferrer dan Guiguen 2008)
selama periode diferensiasi berlangsung, namun sangat sulit, bahkan tidak mungkin
dilakukan setelah masa diferensiasi berlalu (Nakamura et al. 2003). Oleh karena itu,
DK pada ikan papuyu penting untuk dipelajari agar diketahui waktu DK ikan yang
bermanfaat sebagai dasar penentuan umur ikan dan cara yang tepat saat pemberian
hormon MT dalam proses sex reversal (oral atau imersi). Diferensiasi kelamin
merupakan proses transformasi dari gonad yang belum terdiferensiasi menjadi testis
atau ovari, yang dipengaruhi oleh informasi genetik, lingkungan, atau keduanya
sehingga secara fenotipe menghasilkan individu jantan atau betina (Piferrer 2011,
Penman dan Piferrer 2008).
Dosis dan waktu pemberian hormon MT pada ikan menentukan
keberhasilan proses sex reversal. Feminisasi menggunakan hormon estradiol-17β
secara oral atau imersi pada larva ikan papuyu 14 hari pascatetas (hpt) selama
empat minggu menghasilkan 92,6-100,0% ikan betina. Kelangsungan hidup ikan
papuyu perlakuan sex reversal melalui oral (43,33%) lebih tinggi daripada melalui
imersi (36,67%) (Pongthana et al. 1998). Hal yang sama diduga terjadi pada
maskulinisasi ikan papuyu menggunakan MT. Dosis optimum MT yang
digunakan untuk maskulinisasi ikan nila umur tujuh hpt selama 21 hari adalah 75
mg/kg pakan (Marjani et al. 2009), dan ikan mas umur 15 hpt selama 30 hari
sebesar 100 mg/kg pakan (Mubarik et al. 2011). Riset penggunaan MT untuk
maskulinisasi pada ikan papuyu belum pernah dilakukan, oleh sebab itu evaluasi
penentuan dosis optimum MT untuk menghasilkan jantan fungsional pada ikan
papuyu perlu dilakukan.

Perumusan Masalah

Verifikasi adanya fenomena ikan papuyu betina yang lebih cepat tumbuh
dibandingkan dengan ikan jantan (DS) memerlukan riset kuantitatif. Bila
verifikasi tersebut terbukti, maka budidaya tunggal kelamin (monoseks) betina
ikan papuyu sangat berpotensi memperpendek masa pemeliharaan, dan
meningkatkan produksi. Teknik persilangan ikan jantan fungsional (XX) dengan
betina normal merupakan metode yang lebih mudah dilakukan oleh pembudidaya
untuk produksi benih ikan monoseks betina. Populasi ikan jantan fungsional (XX)
diperoleh dari maskulinisasi ikan dengan cara sex reversal menggunakan hormon
MT. Dalam hal ini, induksi sex reversal mudah dilakukan dengan memberikan
hormon pada ikan selama periode DK berlangsung. Oleh karena itu, diperlukan
informasi terjadinya DK ikan papuyu sebagai dasar penentuan umur ikan dan cara
yang tepat saat pemberian hormon MT dalam proses sex reversal (oral atau
imersi). Selain itu, perlu diketahui dosis dan lama pemberian hormon MT pada
ikan papuyu yang menentukan keberhasilan sex reversal. Alur pemikiran untuk
pengembangan budidaya monoseks ikan papuyu sebagai rumusan masalah dalam
penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
3

Gambar 1 Alur pengembangan budidaya monoseks betina ikan papuyu (Text


box berwarna biru merupakan aspek yang dikaji dalam penelitian
ini)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan ikan papuyu yang


terkait dengan jenis kelamin (DS), menentukan waktu terjadinya DK dan dosis
MT yang efektif untuk menghasilkan jantan fungsional.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar pertimbangan dalam


pengembangan budidaya monoseks betina ikan papuyu.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggali informasi dasar untuk pengembangan teknologi


produksi monoseks betina ikan papuyu, dimulai dari observasi pertumbuhan untuk
mengevaluasi perbedaan antara ikan jantan dan betina (DS), penentuan umur
terjadinya DK, dan penentuan dosis MT terbaik dalam proses maskulinisasi
sebagai sumber diperolehnya jantan fungsional.
4

2 METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan September 2014 sampai dengan Juni 2015
di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin, Kalimantan Selatan.

Rancangan Penelitian

Pengujian pertumbuhan terkait dimorfisme seksual


Penelitian dimorfisme seksual (DS) dilakukan menggunakan rancangan pra-
eksperimental berupa tes awal-tes akhir kelompok tunggal (the one group pretest-
posttest) ikan uji yang diberi perlakuan pemeliharaan selama 135 hari. Rancangan
penelitian ini memungkinkan untuk dilakukannya perbandingan hasil observasi bobot
dan panjang tubuh ikan papuyu saat awal dan akhir berdasarkan jenis kelamin.

Pengkajian diferensiasi kelamin


Penelitian diferensiasi kelamin dilakukan menggunakan rancangan
penelitian deskriptif untuk menentukan waktu diferensiasi kelamin (DK) pada
ikan papuyu mulai umur 10–29 hpt yang dipelihara dalam kolam pendederan.

Maskulinisasi
Penelitian maskulinisasi dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap
dengan empat perlakuan MT; dosis 25 mg/kg pakan (MT25), dosis 50 mg/kg
pakan (MT50), dosis 75 mg/kg pakan (MT75) dan dosis 100 mg/kg pakan (MT100),
dengan satu kontrol (dosis MT 0 mg/kg pakan), yang diulang sebanyak tiga kali.

Prosedur Penelitian

Benih ikan papuyu diperoleh dari pendederan larva hasil pemijahan lima
pasang induk ikan papuyu varietas hijau betina bobot 80–100 g, dan jantan bobot
30–60 g. Pemijahan diinduksi dengan ovaprim dosis 0,25 ml/kg induk secara
intramuskuler, lalu setiap pasang induk dipijahkan di dalam akuarium 604050
(plt) cm3 yang diaerasi secara kontinyu. Setelah memijah, induk dipindahkan
ke tempat pemeliharaannya, dan telur diinkubasi dalam akuarium yang sama
selama 18–20 jam pada suhu 28–30 C hingga menjadi larva umur 2 hari.
Selanjutnya larva ditebar dalam bak pendederan ukuran 521 m3 (ketinggian air
= 60 cm) lima hari setelah diberi dolomit dosis 0,5 kg/m2 dan dipupuk dengan
kotoran ayam dosis 1 kg/m2 . Selama pemeliharaan, larva diberi pakan komersial
berupa tepung (kadar protein 30%) dengan feeding rate (FR) 10% bobot tubuh
ikan dan frekuensi tiga kali per hari. Pergantian air sebesar 10% volume air bak
dilakukan setiap 10 hari sekali. Prosedur pemeliharaan larva dan pendederan
tersebut dilakukan untuk menghasilkan stok ikan uji yang digunakan dalam
pengujian pertumbuhan terkait DS (benih umur 45 hpt), DK (benih umur 10–29
hpt), dan maskulinisasi ikan papuyu (benih umur 14 hpt).
5

Pengujian pertumbuhan terkait dimorfisme seksual


Ikan yang digunakan pada pengujian ini adalah benih ikan papuyu umur 45
hpt (rerata bobot 2,920,87 g dan panjang baku 4,19±0,39 cm) hasil pendederan di
atas sebanyak 60 ekor yang diambil secara acak. Benih tersebut dipelihara secara
individual selama 135 hari di dalam hapa ukuran 20×20×100 cm3 yang dipasang
dalam bak beton ukuran 310×200×100 cm3 dengan ketinggian air 60 cm. Ikan
diberi pakan komersial (kadar protein 30%) dengan FR 10% dari biomassa dan
frekuensi tiga kali sehari (pagi, siang dan sore). Penyifonan dan penggantian air
sebesar 10% volume air bak beton dilakukan setiap 15 hari sekali. Dengan cara
ini, kisaran kualitas air hasil monitoring selama penelitian menunjukkan suhu
26,4–27,6 C, pH air 5,8–8,8 dan oksigen terlarut 1,1–4,6 mg/L.
Sensus pertumbuhan dilakukan setiap 15 hari sekali hingga akhir penelitian
dengan cara penimbangan bobot menggunakan timbangan digital (skala terkecil 0,1
g) dan pengukuran panjang standar menggunakan penggaris aluminium (skala
terkecil 0,1 cm), setiap 15 hari sekali hingga akhir penelitian. Di akhir penelitian,
semua ikan dibedah, jenis kelamin ditentukan berdasarkan Behera et al. (2015)
dan Jacob (2005), dan gonad ditimbang menggunakan timbangan digital (skala
terkecil 0,0001 g) untuk menghitung indeks gonadosomatik (IGS).

Pengkajian diferensiasi kelamin


Ikan uji yang digunakan adalah benih ikan papuyu umur 10–29 hpt (panjang
total 5,15–22,35 mm dan bobot 4,35–248,83 mg) hasil pendederan pada suhu 28–30
C sebanyak 20 sampel per pengamatan yang dilakukan setiap hari. Penimbangan
bobot tubuh ikan dilakukan menggunakan timbangan digital (skala terkecil 0,0001 g)
dan pengukuran panjang total menggunakan jangka sorong (skala terkecil 0,05 mm).
Setiap sampel dihistologi (Lampiran 1) untuk mengamati struktur dan status gonad
terkait dengan DK. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan
pembesaran 40×, 100×, 400×, dan 1000×.

Maskulinisasi
Penyiapan pakan berhormon MT
Prosedur pencampuran MT dengan pakan mengacu pada Mubarik et al. (2011).
Masing-masing jumlah hormon untuk membuat dosis sesuai perlakuan dilarutkan
dalam 170 ml etanol dan disemprotkan menggunakan sprayer secara merata pada 500
g pakan komersial berupa tepung (kadar protein 30%), kemudian pakan berhormon
dikering-anginkan pada suhu 27–29 C selama 24 jam untuk menghilangkan etanol.
Setelah kering, pakan berhormon disimpan dalam refrigerator sebelum digunakan.

Pemberian pakan berhormon dan pemeliharaan ikan


Benih ikan papuyu umur 14 hpt (bobot= 106,0±3,2 mg; panjang= 4,9±1,0 mm)
sebanyak 100 ekor dipelihara dalam hapa (mesh size 1 mm) ukuran 5050100 cm3
yang dipasang dalam bak beton ukuran 310200100 cm3 (ketinggian air 60 cm)
dengan kepadatan 400 ekor/m2. Pemberian pakan berhormon dilakukan selama 30
hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian pakan tanpa hormon selama 60 hari.
Pemberian pakan ini dilakukan dengan frekuensi tiga kali sehari (pagi, siang dan
sore) dengan FR 10% dari bobot tubuh per hari. Penggantian air sebesar 10% volume
air bak dilakukan setiap dua hari sekali. Hapa dibersihkan dari kotoran sisa pakan dan
feses 30 hari sekali selama penelitian. Hasil monitoring kualitas air selama
6

pemeliharaan menunjukkan suhu 26,9–27,4 °C, pH 5,79–7,34, dan oksigen terlarut


3,19–4,38 mg/L. Bobot ikan saat awal penelitian ditimbang menggunakan timbangan
digital skala terkecil 0,0001 g, kemudian setiap 30 hari ditimbang menggunakan
timbangan digital skala terkecil 0,1 g, sedangkan panjang standar ikan diukur saat
awal dan akhir penelitian menggunakan penggaris aluminium (skala terkecil 0,1 cm)
dengan mengambil 30 ekor sampel secara acak dari tiap unit ulangan, atau dengan
sensus pada unit ulangan yang kelangsungan hidupnya kurang dari 30 ekor.

Identifikasi jenis kelamin


Gonad diobservasi secara histologi melalui pewarnaan asetokarmin
(Guerrero dan Shelton 1974) dan eosin-hematoksilin (Genten et al. 2009) yang
prosedurnya disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Sampel yang diperiksa
pada setiap ulangan berjumlah 30 ekor, atau dilakukan sensus pada ulangan yang
jumlah individu dalam populasinya kurang dari 30 ekor. Selanjutnya, dilakukan
pengamatan menggunakan alat bantu mikroskop cahaya dengan pembesaran 40×,
100×, 400×, dan 1000×. Hasil pengamatan status gonad dikelompokkan ke dalam
jenis kelamin jantan, betina, interseks, dan tidak berkembang (steril), yang
selanjutnya dihitung masing-masing nisbahnya.

Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi parameter kinerja


pertumbuhan (pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan bobot harian),
kelangsungan hidup, indeks gonadosomatik, struktur dan status gonad, serta rasio
jenis kelamin. Adapun parameter pengamatan untuk setiap penelitian dirincikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1 Parameter pengamatan (×) pada penelitian pengujian pertumbuhan terkait
dimorfisme seksual (DS), pengkajian diferensiasi kelamin (DK), dan
maskulinisasi (M) ikan papuyu
Penelitian
Parameter Referensi
DS DK M
Pertumbuhan bobot mutlak Loum et al. (2013) × ×
Laju pertumbuhan bobot harian Ling et al. (2006) × ×
Kelangsungan hidup Bungas et al. (2013) ×
Indeks gonadosomatik Asad et al. (2010) ×
Struktur gonad Genten et al. (2009); Nakamura (2013) ×
Status gonad Behera et al. (2015); Jacob (2005) ×
Guerrero dan Shelton (1974) ×
Genten et al. (2009) × ×
Rasio kelamin Ferdouz dan Ali (2011) ×

Pertumbuhan bobot mutlak (PBM)


Pertumbuhan bobot mutlak ikan uji dihitung berdasarkan persamaan sebagai
berikut:
PBM (g) = Bt – B0
Keterangan:
Bt = bobot rata-rata ikan pada akhir penelitian (g)
B0 = bobot rata-rata ikan pada awal tebar (g)
7

Laju pertumbuhan bobot harian (LPH)


Laju pertumbuhan bobot harian ikan uji dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut:
Ln(Bt) – Ln(B0)
LPH (%/hari) = ×100
t
Keterangan:
t = lama waktu pemeliharaan (hari)
Bt = bobot rata-rata ikan pada akhir penelitian (g)
B0 = bobot rata-rata ikan pada awal tebar (g)

Kelangsungan hidup (KH)


Kelangsungan hidup ikan uji dihitung menggunakan persamaan sebagai
berikut:
Nt
KH (%) = ×100
N0
Keterangan:
Nt = Jumlah ikan pada akhir penelitian (ekor)
N0 = Jumlah ikan pada awal tebar (ekor)

Indeks gonadosomatik (IGS)


Indeks gonadosomatik ikan uji diketahui berdasarkan persamaan sebagai
berikut:
Wg
IGS (%) = ×100
Wb
Keterangan:
Wg = bobot gonad (g)
Wb = bobot tubuh (b)

Struktur gonad
Struktur gonad diketahui dengan mengamati gonad secara histologi. Proses
DK dimulai dengan terbentuknya PGC (primordial germ cell) dan terbentuknya
koloni daerah genital (genital ridges), hingga terbentuknya testis atau ovari.

Status gonad
Penentuan jenis kelamin dilakukan melalui observasi status gonad secara
visual (Jacob 2005; Behera et al. 2015) dan mikroskopis (histologi). Secara visual,
gonad betina berupa ovari dicirikan berwarna merah muda, diisi butiran-butiran
telur, berbentuk jelly transparan seperti jaringan lembut, menempati bagian
posterior rongga badan (body cavity), sedangkan gonad jantan berupa testis
memiliki ciri warna keputih-putihan berisi sel sperma sangat halus, dan menempel
pada rongga badan. Secara histologi, pewarnaan asetokarmin pada gonad betina
memperlihatkan sel telur berbentuk bulat dan di dalamnya terdapat inti sel
berwarna pudar yang dikelilingi sitoplasma berwarna merah, sedangkan gonad
jantan memperlihatkan sel spermatozoa berbentuk titik halus menyebar berwarna
8

merah (Guerrero dan Shelton 1974). Selanjutnya, ciri gonad pada pewarnaan
hematoksilin-eosin secara histologi mengacu pada Genten et al. (2009).

Rasio kelamin (RK)


Rasio kelamin dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Nk
RK (%) = ×100
N(j+b+i+s)
Keterangan:
Nk = jumlah ikan (ekor) berstatus gonad tertentu
N(j+b+i+s) = jumlah total ikan (ekor) berstatus gonad jantan (j), betina (b), interseks
(i), dan steril (s) rata-rata ikan pada akhir penelitian (g)

Analisis Data

Uji pertumbuhan terkait dimorfisme seksual


Data kuantitatif yang diperoleh selama penelitian ditabulasi menggunakan
program Microsoft Excel 2007 dan dianalisis secara statistik menggunakan
software Minitab 16. Data dikelompokkan menjadi data pertumbuhan, dan IGS
ikan betina dan jantan, lalu diuji normalitasnya. Uji t dilakukan pada selang
kepercayaan 95%.

Pengkajian diferensiasi kelamin


Hasil pengamatan gonad ikan uji dalam penelitian DK dianalisis secara
histologi.

Maskulinisasi
Parameter rasio status gonad tiap perlakuan ditabulasi menggunakan alat
bantu program Microsoft Excel 2007, kemudian dianalisis secara statistik
menggunakan software Minitab 16. Uji ANOVA dilakukan pada selang
kepercayaan 95%, selanjutnya dilakukan uji Tukey pada selang kepercayaan 95%
jika uji ANOVA menunjukkan nilai Phitung <0,05.
9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Dimorfisme seksual
Ikan uji yang bertahan hidup sampai penelitian berakhir berjumlah 56 dari
60 ekor yang dipelihara secara individual, terdiri dari 30 ekor ikan jantan (50,8%)
dan 26 ekor ikan betina (44,2%), dari jumlah tersebut berhasil didapatkan nilai
IGS pada 27 ekor jantan dan 22 ekor betina. Identifikasi status kelamin terhadap
ikan uji secara visual menunjukkan gonad jantan berupa testis, sedangkan gonad
betina berupa ovari (Gambar 2) dengan rata-rata gonad jantan telah mencapai
TKG III, sedangkan gonad betina mencapai TKG IV.

Gambar 2 Ikan papuyu varietas hijau jantan (A), dan betina (B). T= testis, mulai
matang mencapai tingkat kematangan gonad (TKG) III. O= ovari,
gonad telah mengisi sekitar 2/3 rongga perut (TKG IV)
Perbedaan pertumbuhan ikan papuyu jantan dan betina disajikan pada
Gambar 3. Ikan papuyu betina dan jantan memiliki bobot, pertumbuhan bobot
mutlak (PBM), dan panjang baku yang sama sampai umur 120 hpt (Gambar 3A,
Gambar 3B, dan Gambar 3D). Perbedaan bobot tubuh, PBM, dan panjang baku
ikan betina yang lebih tinggi daripada jantan (P<0,05) baru terdeteksi pada umur
135–180 hpt. Laju pertumbuhan harian (LPH) jantan dan betina memperlihatkan
nilai yang sama sampai umur 135 hpt (Gambar 3C), kemudian mulai ditemukan
perbedaannya pada umur 150–180 hpt. Pada akhir pemeliharaan, ikan betina
menunjukkan bobot tubuh 40% lebih tinggi daripada bobot ikan jantan, sedangkan
panjang baku betina hanya 10% lebih panjang daripada jantan. Hasil yang serupa
ditunjukkan pada parameter PBM dan LPH yang menunjukkan nilai lebih besar
pada ikan betina daripada ikan jantan, yaitu masing-masing 48% dan 17%.
10

A B

C D

Gambar 3 Pertumbuhan ikan papuyu varietas hijau jantan (n=30) dan betina (n=26)
selama pemeliharaan 180 hari. (A) Bobot rerata, (B) Pertumbuhan mutlak
bobot (PBM), (C) Laju pertumbuhan bobot harian (LPH), dan (D)
pertumbuhan panjang. Tanda asterik menunjukkan nilai berbeda nyata
(P<0,05). hpt= hari pascatetas

Bobot ikan papuyu betina umur 180 hpt (Gambar 4A), baik bobot tubuh
ikan dengan gonad (19,69±2,92 gram), maupun bobot tubuh tanpa gonad
(16,70±2,85 gram) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan bobot ikan jantan
(dengan gonad= 14,00±3,49 gram; tanpa gonad= 13,84±3,49 gram). Bobot gonad
ikan betina (n= 22) sebesar 2,99±0,46 g, atau ekivalen dengan 18,59 kali lebih
tinggi daripada ikan jantan (n= 27; 1,16±0,35 g). Selanjutnya, Gambar 4B
memperlihatkan nilai IGS ikan betina (15,301,98%) yang 13,14 kali lebih tinggi
(P<0,05) dibandingkan dengan IGS jantan (1,160,35).
A B

Gambar 4 Bobot tubuh dengan dan tanpa gonad (A), dan indeks gonadosomatik
(B) ikan papuyu varietas hijau jantan (n=27) dan betina (n=22) pada
umur 180 hpt. Tanda asterik menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Diferensiasi Kelamin
Identifikasi gonad secara histologi berhasil dilakukan pada ikan papuyu
umur 10, 11, 12, 13, 15, 16, 18, 20, 21, 23, dan 26 hpt yang menunjukkan status
11

diferensiasi sebagaimana diperlihatkan dalam Tabel 2. Analisis histologi terhadap


sampel gonad ikan umur 10–16 hpt menunjukkan status gonad yang belum
terdiferensiasi dan pada umur 18–20 hpt menunjukkan 20%–40% gonad
terdiferensiasi. Pada ikan papuyu yang umurnya 21 hpt atau lebih, menunjukkan
bahwa 100% gonad sudah terdiferensiasi menjadi jantan atau betina.
Tabel 2 Status gonad ikan papuyu varietas hijau pada umur 10–26 hpt
Status
Umur ikan Jumlah Panjang total Persentase
Bobot (mg) diff.1 undiff.1
(hpt) sampel (n) (cm) diff. (%)
(ekor) (ekor)
10 10 0,5 ± 0,05 4,35 ± 0,82 0 10 0
11 10 0,6 ± 0,06 5,16 ± 0,96 0 10 0
12 10 0,8 ± 0,05 5,42 ± 0,94 0 10 0
13 10 0,8 ± 0,05 5,83 ± 0,97 0 10 0
15 10 0,7 ± 0,19 9,27 ± 2,45 0 10 0
16 10 1,0 ± 0,11 13,80 ± 4,94 0 10 0
18 10 1,1 ± 0,13 22,59 ± 10,16 2 8 20
20 10 1,3 ± 0,11 38,39 ± 9,42 4 6 40
21 10 1,4 ± 0,10 47,45 ± 12,07 10 0 100
23 10 1,5 ± 0,14 66,74 ± 16,17 10 0 100
26 10 1,7 ± 0,22 107,85 ± 33,66 10 0 100
keterangan: 1 differentiated (terdiferensiasi); 2 undifferentiated (belum terdiferensiasi)

Secara morfologi, gonad ikan papuyu menunjukkan perbedaan ukuran yang


tidak selalu berkaitan dengan umurnya, dengan lebar bervariasi antara 6,6–48,4
μm dan panjang 15,4–80,9 μm. Berdasarkan karakteristik genital rides, jumlah
primordial germ cells (PGC), munculnya efferent duct sebagai ciri status jantan
dan ovarian cavity sebagai ciri status betina menunjukkan posisi gonad terletak
dalam rongga badan, menggantung pada dinding dorsal peritonial berupa jaringan
yang relatif sangat kecil dibandingkan dengan isi rongga badan (Gambar 5A).
Gonad berjumlah sepasang yang ditopang oleh mesogonium (Gambar 5B).

Gambar 5 Histologi ikan papuyu varietas hijau umur 18 hpt. (A) Potongan
melintang badan ikan. a = tulang belakang; b = gelembung renang; c =
hati; (B) sepasang gonad yang menggantung di dinding peritonial
punggung pada rongga badan, dihubungkan oleh mesogonium (m),
tanda panah menunjukkan posisi gonad. Skala = 100 μm.
Pengamatan yang lebih mendetail pada histologi gonad yang berumur 10,
11, 15, dan 18 hpt memperlihatkan adanya PGC dengan jumlah yang bervariasi
(2–11 buah) dengan ukuran 2,4–5,8 μm. Karakteristik germ cell (GC) tersebut
diperkirakan merupakan tahap awal pembentukan oogonia atau spermatogonia
12

yang belum menunjukkan terjadinya diferensiasi gonad menjadi testis atau ovari
(Gambar 6).

Gambar 6 Potongan melintang gonad undifferentiated ikan papuyu varietas


hijau, umur (A) 10 hpt, (B) 11 hpt, (C) 15 hpt, dan (D) 18 hpt. M =
mesogonium, PGC = primordial germ cell, BV = pembuluh darah.
Skala = 10 µm
Gambar 7 menyajikan gambaran histologi gonad yang telah terdiferensiasi
sebagai ovari. Pada gonad umur 20 dan 21 hpt (Gambar 7A dan Gambar 7B)
ditemukan satu atau lebih sel oogonia, sedangkan pada gonad umur 23 dan 26 hpt
(Gambar 7C dan Gambar 7D) ditemukan sel oogonia lebih banyak dengan ukuran
lebih besar dan perkembangan lebih lanjut yang di antaranya dengan jelas mencirikan
oosit pada fase perinucleolus.

Gambar 7 Potongan melintang gonad ikan papuyu varietas hijau terdiferensiasi,


umur (A) 20 hpt, (B) 21 hpt, (C) 23 hpt, dan (D) 26 hpt. M =
mesogonium, Og = oogonia, Ost = oosit, OC = ovarian cavity, CN =
chromatin nucleolus, PN = Perinucleolus, BV = pembuluh darah. Skala
= 10 µm
13

Maskulinisasi
Berdasarkan pengamatan status gonad pada sampel ikan yang diberi perlakuan
MT menunjukkan bahwa secara umum pemberian MT menghasilkan empat
karakteristik status gonad, yaitu status jantan, betina, interseks, dan steril (Gambar 8).
Karakteristik gonad jantan (Gambar 8A) menunjukkan ciri jaringan testis yang sangat
jelas, dicirikan dengan adanya spermatosit dan spermatid, gonad betina (Gambar 8B)
dicirikan dengan adanya oosit pada jaringan ovari, gonad interseks (Gambar 8C)
dicirikan dengan adanya jaringan testis dan ovari dalam satu gonad, sedangkan
karakteristik steril (Gambar 8D) menunjukkan tidak adanya perkembangan sel gamet
dan secara histologi tidak dapat dibedakan sebagai karakteristik jantan atau betina.
Masing-masing rasio status gonad dan persentase KH pada setiap perlakuan
dan kontrol disajikan pada Gambar 9. Perlakuan MT50 dan MT75 menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap rasio jantan (P<0,05), sedangkan perlakuan MT25
dan MT100 tidak berpengaruh terhadap rasio jantan (P>0,05). Pemberian MT
dengan dosis 50 mg/kg pakan menghasilkan rasio jantan tertinggi (88,9±6,9%),
diikuti oleh perlakuan pemberian MT dengan dosis 75 mg/kg pakan (57,4±9,7%).
Pada selang dosis MT yang digunakan dalam penelitian ini terlihat adanya
kecenderungan bahwa semakin tinggi dosis MT yang diberikan menghasilkan
rasio interseks yang semakin rendah (20,9–3,3%) dan rasio steril yang secara
signifikan semakin meningkat (0–32,2%). Selanjutnya, meningkatnya dosis
hormon menyebabkan penurunan KH yang signifikan; dosis MT 25–50 mg/kg
pakan menyebabkan kematian 27,7–34,0% lebih banyak dibandingkan dengan
kontrol, dan dosis MT 75–100 mg/kg pakan menyebabkan kematian 46,7–47,7%
lebih banyak dibandingkan dengan kontrol.

Gambar 8 Status gonad ikan papuyu varietas hijau umur 105 hpt yang diberi
perlakuan MT dosis 0, 25, 50, 75, dan 100 mg/kg pakan secara oral:
(A) testis, (B) ovari, (C) interseks, (D) steril. Sc = spermatosit, Sp =
spermatid, Oc = oosit. Skala = 10 µm
14

Gambar 9 Persentase jantan, interseks, steril dan kelangsungan hidup (KH) ikan
papuyu varietas hijau umur 105 hpt yang telah diberi perlakuan
pemberian MT secara oral mulai umur 14 hpt selama 30 hari, dosis 0
mg/kg pakan (kontrol), 25 mg/kg pakan (MT25), 50 mg/kg pakan
(MT50), 75 mg/kg pakan (MT75), 100 mg/kg pakan (MT100).
Keberhasilan maskulinisasi ikan papuyu menggunakan MT terhadap
peluang untuk memproduksi jantan fungsional diperlihatkan berdasarkan selisih
rasio jantan dibandingkan dengan kontrol. Dalam hal ini, perlakuan MT50 dan
MT75 secara signifikan berpeluang menghasilkan jantan fungsional (P<0,05),
dengan peluang tertinggi diperoleh pada perlakuan MT50 (61,1±6,9%). Parameter
pertumbuhan (Tabel 3) menunjukkan bahwa pemberian MT secara oral tidak
berpengaruh terhadap bobot akhir, pertumbuhan mutlak bobot, maupun laju
pertumbuhan bobot harian antar perlakuan (P>0,05), namun berpengaruh nyata
terhadap biomassa ikan hingga umur 105 hpt, dengan biomassa tertinggi
ditemukan pada perlakuan kontrol (P<0,05).

Tabel 3 Bobot akhir, pertumbuhan bobot mutlak (PBM), laju pertumbuhan bobot
harian (LPH), dan biomassa ikan papuyu umur 105 hpt yang diberi
perlakuan pemberian MT secara oral mulai umur 14 hpt selama 30 hari
Perlakuan
Parameter
Kontrol MT25 MT50 MT75 MT100
Bobot akhir (g) 7,15±2,01a 7,43 ± 0,92a 5,73 ± 1,00a 10,46±1,54 a 9,22 ± 3,48a
PBM (g) 7,1±2,01a 7,4 ± 0,92a 5,7 ± 1,00a 10,5±1,54 a 9,2 ± 3,48a
a a a a
LPH (%/hari) 21,6±0,9 21,8 ± 0,4 20,9 ± 0,6 23,0±0,5 22,4 ± 1,5a
a b b b
Biomassa (g) 440,8±54,9 216,2 ± 8,5 231,3 ± 28,8 171,5±19,1 135,6 ± 30,1b
Keterangan : huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang
berbeda nyata (p<0,05); Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata dan simpangan baku

Pembahasan

Dimorfisme Seksual
Penelitian ini membuktikan adanya dimorfisme seksual (DS) terkait dengan
pertumbuhan pada ikan papuyu. Pada umur 180 hpt, bobot ikan betina, baik
dengan maupun tanpa gonad menunjukkan nilai yang lebih tinggi (P<0,05)
daripada ikan jantan, berturut-turut 40,6% dan 20,7%. Perbedaan pertumbuhan ini
menguatkan adanya fenomena bahwa variasi ukuran ikan papuyu saat panen
(Bunasir et al. 2014) lebih disebabkan oleh dimorfisme seksual. Di samping itu,
15

tingginya bobot ikan papuyu betina dibandingkan dengan ikan jantan


mengindikasikan bahwa ikan betina lebih cepat tumbuh daripada ikan jantan.
Dimorfisme seksual terkait pertumbuhan pada ikan papuyu ini menunjukkan
perbedaan yang lebih besar (dua kali lipat) jika dibandingkan dengan udang windu
(Penaeus monodon) (Gopal et al. 2010), relatif sama dengan lobster air tawar
(Cherax quadricarinatus) (Rodgers et al. 2006), dan lebih rendah dengan ikan
mujair (Oreochromis mossambicus) (Bhatta et al. 2012b).
Indeks gonadosomatik ikan betina lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan
dengan ikan jantan pada umur yang sama (Gambar 4B). Nilai IGS ini memberikan
gambaran bahwa gonad ikan betina menyumbang sebesar 15,201,98% dari bobot
totalnya, sedangkan gonad ikan jantan menyumbang hanya 1,16±0,35% dari
bobot totalnya. Sebagaimana dimorfisme seksual pada ikan chinook salmon, ikan
jantan memiliki bobot tubuh lebih rendah dibandingkan dengan ikan betina
(Mizzau et al. 2013). Namun demikian, hal ini tidak berlaku untuk ikan Atlantic
salmon yang belum dewasa (Leclercq et al. 2010) dan ikan lele Eropa (Silurus
glanis) (Haffray et al. 1998) yang memiliki karakteristik sebaliknya, yaitu ikan
jantan cepat tumbuh dibandingkan dengan ikan betina. Dimorfisme seksual terkait
dengan pertumbuhan tersebut berhubungan erat dengan perkembangan gonad,
yang mana gonad mengekspresikan hormon pertumbuhan yang diduga
mengendalikan pertumbuhan bobot tubuh (Bhatta et al. 2012a). Pengkajian
dimorfisme berdasarkan perbedaan TKG dan IGS pada ikan papuyu dalam
penelitian ini tidak menyertakan gambaran kapan terjadinya awal matang gonad,
atau kemungkinan telah terjadi rematurasi, sehingga belum dapat disimpulkan
bahwa ikan papuyu betina lebih cepat matang gonad dibanding ikan jantan.
Perbedaan pertumbuhan terkait dengan jenis kelamin pada beberapa jenis
ikan ekonomis mendasari perlu adanya langkah strategis terkait keunggulan antara
jantan dan betina. Karakteristik keunggulan tersebut dapat menjadi pertimbangan
dalam rekayasa reproduksi untuk mencetak stok induk yang akan menghasilkan
benih monoseks yang unggul (Cnaani dan Levavi-Sivan 2009) atau rekayasa
hormonal untuk mengarahkan jenis kelamin sesuai dengan yang diharapkan.
Rekayasa jenis kelamin tentunya bertujuan untuk memaksimalkan produksi
budidaya dan meningkatkan efisiensi. Pendekatan seperti ini telah dilakukan pada
budidaya ikan mas monoseks betina (Kocour et al. 2005), nila monoseks jantan
(Beaven dan Muposhi 2012; Chakraborty et al. 2010; Chakraborty et al. 2011; Silva
et al. 2012; El-Greisy dan El-Gamal 2012; Siddik et al. 2007), yang
menggambarkan bahwa budidaya secara monoseks tersebut dapat meningkatkan
bobot panen, memperbaiki konversi pakan, dan mempercepat pengembalian modal
usaha (Dagne et al. 2013). Oleh sebab itu, budidaya ikan secara monoseks
merupakan metode yang prospektif untuk meningkatkan produksi dan
perekonomian masyarakat (Chakraborty dan Banerjee 2009).
Adanya fenomena DS pada ikan papuyu yang sangat signifikan dalam
penelitian ini mendasari perlu dilakukannya pengendalian seksualitas dalam bentuk
teknologi monoseks betina ikan papuyu (feminisasi) untuk meningkatkan hasil
panen. Feminisasi dapat dilakukan secara langsung menggunakan Estradiol-17β dan
secara tidak langsung melalui persilangan jantan fungsional dengan betina normal,
di mana jantan fungsional dihasilkan melalui proses maskulinisasi menggunakan
MT (Piferrer 2001). Feminisasi secara tak langsung pada ikan mas telah dilakukan
Luo et al. (2011) dengan cara memproduksi jantan fungsional melalui perlakuan
16

pemberian MT pada ikan mas diploid. Selanjutnya, jantan tersebut disilangkan


dengan ikan mas krusian betina diploid dan allotetraploid, masing-masing
menghasilkan ikan mas krusian monoseks betina diploid dan triploid. Hal yang
sama diduga dapat diterapkan pada persilangan antara ikan papuyu jantan
fungsional dengan betina normal untuk menghasilkan benih papuyu monoseks
betina secara massal. Feminisasi melibatkan proses hormonal untuk mengarahkan
kelamin (sex reversal) ikan saat berlangsungnya DK. Pengarahan jenis kelamin ini
dapat dilakukan karena determinasi kelamin pada ikan merupakan suatu proses
diferensiasi yang fleksibel (Piferrer dan Guiguen 2008). Oleh sebab itu, diferensiasi
seksual penting untuk dipelajari sebagai dasar dalam aplikasi sex reversal tersebut.

Diferensiasi Kelamin
Penelitian telah dilakukan untuk mengkaji diferensiasi kelamin (DK) dan
berhasil mengungkap waktu terjadinya DK pada ikan papuyu berdasarkan
pengamatan karakteristik gonad secara histologi. Gambaran histologi gonad ikan
papuyu pada sampel ikan umur 18 hpt (Gambar 5B) menunjukkan posisi sepasang
gonad terlihat menggantung dari dinding peritoneal punggung ke rongga badan,
ditopang oleh sel somatik yang tipis (mesogonium), hal tersebut sesuai dengan
konfirmasi Nakamura (2013). Gambaran gonad yang belum terdiferensiasi
dicirikan dengan adanya sel PGC berbentuk inti tunggal dan bulatan besar yang
dikelilingi oleh sel somatik (Bhatta et. al. 2012b; Tong et al. 2010; Yön dan
Akbulut 2015). Okuthe et al. (2014) menyatakan bahwa GC pada gonad
undifferentiated memiliki karakteristik morfologi sebagai oogonia atau
spermatogonia, namun belum dapat dibedakan secara pasti sebagai ciri testis
maupun ovari. Dalam penelitian ini, karakteristik GC tersebut sesuai dengan
karakteristik gonad pada gambaran histologi gonad sampel ikan umur 10–18 hpt
(Gambar 6) yang masih tergolong berstatus belum terdiferensiasi. Gonad yang
belum terdiferensiasi terbagi dalam dua tipe berdasarkan jumlah GC gonia, yaitu
GC dalam jumlah lebih banyak akan menjadi ovari dan GC dalam jumlah sedikit
cenderung terdiferensiasi menjadi testis (Pandian 2013, Siegfried dan Nüsslein-
Volhard 2008), kecuali pada ikan loach (Misgurnus anguillicaudatus,
Cypriniformes: Cobitidae) yang menunjukkan sedikit GC pada gonad yang
akhirnya terdiferensiasi menjadi ovari (Fujimoto et al. 2010).
Gambaran histologi gonad ikan papuyu umur 20, 21, 23, dan 26 hpt
(Gambar 7) menunjukkan adanya perkembangan daerah genital, lebih banyaknya
jumlah GC, terdapatnya oosit pada fase perinukleolus, dan munculnya struktur
ovarian cavity. Ciri-ciri tersebut merupakan kriteria yang jelas untuk menentukan
status pada fase awal perkembangan gonad sebagai ovari (Nakamura 2013; Arezo
et. al. 2007; Cho et al. 2014). Diferensiasi kelamin terjadi secara fleksibel karena
PGC memiliki tingkat elastisitas yang tinggi terhadap bipotensi seksual (Okutsu et
al. 2006) dan pada tahap perkembangan gonad selanjutnya akan berkembang
menjadi gonad terdiferensiasi saat umur lebih dewasa. Selain dipengaruhi faktor
genetik dan lingkungan (Baroiller et al. 2009, Zhang et al. 2008), proses
diferensiasi juga dikendalikan oleh otak melalui kelenjar pituitari (Piferrer 2011)
yang secara ontogeni telah ada pada masa awal perkembangan larva (de Jesus et
al. 2013). Dalam hal ini, hormon steroid berperan penting dalam proses
diferensiasi kelamin; estrogen endogenus menginduksi terbentuknya ovari, dan
kurang atau ketiadaan estrogen menentukan terbentuknya testis (Murata et al.
17

2011, Guiguen et al. 2010, Ijiri et al. 2008, Kobayashi et al. 2008, Sakai et al.
2008, Hofsten dan Olsson 2005, Nagahama 2005).
Hasil pengamatan dalam penelitian DK pada ikan papuyu ini secara umum
menunjukkan prediksi terjadinya diferensiasi pada umur 18–21 hpt dan menjadi
pertimbangan dalam prosedur sex reversal. Oleh sebab itu, pemberian hormon
secara oral maupun imersi untuk sex reversal pada ikan papuyu harus dilakukan
sebelum ikan berumur 18 hpt. Berkaitan dengan hal ini, larva ikan papuyu sudah
dapat memanfaatkan pakan dari luar pada umur 5–7 hari, dan tahap awal
pemberian pakan serbuk dalam prosedur pembenihannya sudah dapat dilakukan
saat benih berumur 8–11 hpt (Bunasir et al. 2014), sehingga sangat
memungkinkan untuk dilakukan sex reversal secara oral.

Maskulinisasi
Penelitian pemberian MT sebagai hormon sex reversal secara oral dengan
dosis yang berbeda telah dilakukan untuk maskulinisasi ikan papuyu dalam
rangka menghasilkan jantan fungsional. Hasil penelitian memperlihatkan
hubungan antara dosis MT dan rasio jantan cenderung bersifat parabolik dan
puncaknya pada dosis MT 50 mg/kg pakan; dosis hormon MT kurang atau lebih
dari 50 mg/kg pakan menghasilkan rasio jantan yang cenderung menurun
(Gambar 9). Beberapa riset maskulinisasi pada ikan nila telah dilakukan
menggunakan MT dosis 14–70 mg/kg pakan yang diberikan secara oral pada ikan
umur 3–5 hari selama 24–30 hari menghasilkan 95–100% rasio jantan (Phelps dan
Okoko 2011, Asaad et al. 2012, Ferdous dan Ali 2011, Asad et al. 2010). Selain
itu, MT dosis 1 mg/kg pakan yang diberikan pada ikan sturgeon mulai umur tiga
bulan selama 15 bulan menghasilkan 93% ikan jantan (Omoto et al. 2002).
Maskulinisasi tersebut terjadi diduga karena MT menekan proses biosintesis
estrogen saat diferensiasi gonad (Tzchori et al. 2004) sehingga gonad
terdiferensiasi menjadi testis yang melibatkan aktivasi reseptor androgen (Golan
dan Levavi-Sivan 2014) dan penghambatan sintesis estrogen (Piferrer 2011).
Rasio interseks dalam penelitian ini cenderung menurun, dan sebaliknya
individu steril semakin meningkat seiring dengan peningkatan dosis MT. Ciri
kelamin interseks ditandai dengan adanya jaringan testis dan ovari dalam satu
gonad. Penelitian ini memperlihatkan bahwa MT dosis rendah (25 mg/kg pakan)
diduga belum efektif dalam maskulinisasi ikan papuyu (Gambar 9). Individu
interseks juga ditemukan pada ikan mas (Cyprinus carpio) yang diberi perlakuan
MT (Mubarik et al. 2011), gupi (Poecilia reticulata) yang diberi perlakuan
ekstrak tanaman gendola (Basella alba) (Chakraborty et al. 2012), dan individu
interseks yang ditemukan pada benih ikan rainbow trout jantan (Oncorhynchus
mykiss) diduga dikarenakan adanya respons reseptor androgen terhadap paparan
estrogen (Depiereux et al. 2014). Piferrer dan Guiguen (2008) menyatakan bahwa
diferensiasi kelamin selama sex reversal dipengaruhi oleh perbandingan jumlah
absolut antara estrogen dan androgen, serta jenis reseptor steroid.
Hasil penelitian menunjukkan individu steril semakin meningkat seiring
dengan bertambahnya dosis MT. George dan Pandian (1998) melaporkan bahwa
pemberian MT yang melebihi dosis optimal mengakibatkan peningkatan individu
steril, penurunan rasio jantan, dan peningkatan mortalitas ikan target. Munculnya
individu steril secara tak langsung diduga disebabkan adanya respons reseptor
steroid terhadap dosis androgen yang terlalu tinggi (Al-Ablani dan Phelps 2002)
18

yang mengakibatkan terjadinya peningkatan abnormalitas inti eritrosit (Rivero-


Wendt 2013), ketidakseimbangan atau kerusakan permanen sistem hormonal
(Hachfi et al. 2012; Milnes et al. 2006), dan kerusakan gonad atau tidak terjadi
proses perkembangan sel gamet (Metcalfe 2010). Gambaran gonad steril dalam
penelitian ini secara signifikan ditemukan pada perlakuan pemberian MT dosis 75
dan 100 mg/kg pakan (Gambar 9). Penggunaan hormon induksi sex reversal yang
melebihi dosis optimal menghasilkan individu steril juga ditemukan pada ikan
mas (Bharadwaj dan Sharma 2000), mujair (Marjani et al. 2009), nila (Manosroi
et al. 2004) dan blue hap (Sciaenochromis ahli) (Elmdoust et al. 2011).
Hubungan KH dengan dosis MT bersifat linear, yaitu KH cenderung
semakin menurun seiring bertambahnya dosis MT. Selanjutnya, jika dibandingkan
dengan KH kontrol, maka pemberian MT dosis 25, 50, 75, dan 100 mg/kg pakan
berturut-turut meningkatkan mortalitas ikan sebesar 33,0%, 27,7%, 46,7%, dan
47,7%; MT dosis 25–50 mg/kg pakan merupakan dosis yang cenderung
memberikan mortalitas ikan paling rendah dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Rendahnya KH dalam penelitian ini juga ditemukan pada sex reversal
ikan papuyu menggunakan estradiol (Pongthana et al. 1998) dan ikan lele Afrika
(Clarias gariepinus) menggunakan testosteron propionat (Alam dan Uddin 1998).
Peluang potensi produksi jantan fungsional dihasilkan pada pemberian MT
dosis 50 dan 75 mg/kg pakan. Perlakuan MT50 menghasilkan rasio jantan
tertinggi, rasio interseks dan steril yang sama dengan kontrol, serta menghasilkan
mortalitas ikan yang relatif rendah. Oleh sebab itu, dosis MT 50 mg/kg pakan
merupakan dosis optimum dalam maskulinisasi ikan papuyu yang menghasilkan
populasi jantan 88,9±6,9% dan berpeluang untuk memproduksi jantan fungsional
sebesar 61,1%.
19

4 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Setelah pemeliharaan selama 4,5 bulan, ikan papuyu betina terbukti tumbuh
lebih cepat daripada jantan. Pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan
bobot harian ikan papuyu betina pada umur 6 bulan menunjukkan nilai 48% dan
17% lebih tinggi daripada ikan papuyu jantan. Diferensiasi kelamin pada ikan
papuyu yang dipelihara pada suhu 28–30 C  terjadi pada umur 18 hari pascatetas.
Maskulinisasi ikan papuyu menggunakan MT dosis 50 mg/kg pakan pada ikan
umur 14 hari pascatetas selama 30 hari menghasilkan rasio jantan 88,9% dan
berpeluang untuk memproduksi ikan jantan fungsional sebesar 61,1%.

Saran

Uji progeni pada populasi ikan papuyu jantan hasil maskulinisasi perlu
dilakukan untuk menentukan individu jantan fungsional sebagai stok induk untuk
menghasilkan benih monoseks betina ikan papuyu secara massal.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ablani SA, Phelps RP. 2002. Paradoxes in exogenous androgen treatments of


bluegill. J Appl Ichthyol. 18(1):61-64.
Alam MS, Uddin MZ. 1998. Effects of testosterone propionate on growth,
survival and sex-ratio of African catfish (Clarias gariepinus Burchell).
Bangla Fish Res. 2(1):31-39.
Arezo MJ, D’Alessandro S, Papa N, de Sa R, Berois N. 2007. Sex differentiation
pattern in the annual fish Austrolebias charrua (Cyprinodontiformes:
Rivulidae). Tissue and Cell. 39:89-98.
Asaad HM, Traifalgar RFM, Jr AES, Peralta JP, Pedroso FL. 2012. Dietary
administration of dehydroepiandrosterone hormone influences sex
differentiation of hybrid red tilapia (O. niloticus × O. mossambicus) larvae.
J Fish Aquat Sci. 7(6):447-453.
Asad F, Ahmed I, Saleem M, Iqbal T. 2010. Hormonal masculinization and
growth performance in Nile tilapia (Oreochromis niloticus) by androgen
administration at different dietary protein levels. Int J Agric Biol. 12(6):939-
943.
Baroiller JF, D’cotta H, Saillant E. 2009. Environmental effects on fish sex
determination and differentiation. Sex Dev. 3:118-135.
Beaven U, Muposhi V. 2012. Aspects of a monosex population of Oreochromis
niloticus fingerlings produced using 17-α methyltestosterone hormone. J
Aquacult Res. Dev. 3:3.
20

Behera S, Devi LM, Kumar S, Gogoi R, Samanta P, Jomang O, Baksi S. 2015.


External morphology and sexual dimorphism of Anabas testudineus in
natural environment. IJSN. 6(2):288-292
Bharadwaj R, Sharma LL. 2000. Effect of methyltestosterone (tablets) in
sterilization and masculinization of common carp (Cyprinus carpio
communis L.). Indian J Fish. 47(4):377-381.
Bhatta S, Fukada H, Higuchia M, Iwaia T, Miuraa C, Miuraa T, Yamaguchia SS.
2012a. Gonads directly regulate growth in teleosts. PNAS. 109(28):11408-
11412.
Bhatta S, Iwai T, Miura T, Huguchi M, Maugars G, Chiemi M. 2012b.
Differences between male and female growth and sexual maturation in
tilapia (Oreochromis mossambicus). J Sci Eng Tec. 8(2):57-65.
Bunasir, Haryadi A, Hidayat R, Ilmi A, Mudjiutami E, Rifa’i A, Susanti W,
Tulus, Wahyutomo, Webby et al. 2014. Domestikasi dan Budidaya Ikan
Papuyu. Banjarbaru (ID): BPBAT Mandiangin.
Bungas K, Arfiati D, Marsoedi, Halim H. 2013. Effects of protein levels on the
growth of climbing perch (Anabas testudineus) galam type, in peat water.
Int Res J Biological Sci. 2(4):55-58
Chakraborty SB, Banerjee S. 2009. Culture of monosex Nile tilapia under
different traditional and non-traditional methods in India. World J Fish
Marine Sci. 1(3): 212-217.
Chakraborty SB, Banerjee S. 2010. Comparative growth performance of mixed-
sex and monosex Nile tilapia population in freshwater cage culture system
under Indian perspective. Int J Biol. 2(1):44-50.
Chakraborty SB, Mazumdar D, Chatterji U, Banerjee S. 2011. Growth of mixed-
sex and monosex Nile tilapia in different culture systems. Turk J Fish Aquat
Sci. 11:131-138.
Chakraborty SB, Molnár T, Hancz C. 2012. Effects of methyltestosterone,
tamoxifen, genistein and Basella alba extract on masculinization of guppy
(Poecilia reticulata). J App Pharm Sci. 2(12):048-052
Cho HC, Hwang IJ, Baek HJ. 2014. Histological analysis of early gonadal
development and sex differentiation in chameleon goby (Tridentiger
trigonocephalus). Dev Reprod. 18(1):51-56.
Chotipuntu P, Avakul P. 2010. Aquaculture potential of climbing perch (Anabas
testudineus) in brackish water. Walailak J Sci Tech. 7:15-21.
Cnaani A, Sivan BL. 2009. Sexual development in fish, practical applications for
aquaculture. Sex Dev. 3:164-175.
Dagne A, Degefu F, Lakew A. 2013. Comparative growth performance of mono-
sex and mixed-sex Nile tilapia (Oreochromis niloticus L.) in pond culture
system at Sebeta, Ethiopian. Int J Aqua. 3(7):30-34.
de Jesus LWO, Chehade C, Costa FG, Borella MI. 2014. Pituitary gland
morphogenesis and ontogeny of adenohypophyseal cells of Salminus
brasiliensis (Teleostei, Characiformes). Fish Physiol Biochem. 40(3):897-
909.
Depiereux S, Liagre M, Danis L, De Meulder B, Depiereux E, Segner H,
Kestemont P. 2014. Intersex occurrence in rainbow trout (Oncorhynchus
mykiss) male fry chronically exposed to ethynylestradiol. PLoS ONE. 9(7):1-
18
21

[DISPERINDAGKOP] Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Dan Usaha


Kecil Menengah Pemerintahan Kabupaten Tanah Bumbu. 2013. Monitoring
Harga Pasar [internet]. [diunduh 2014 Juni 10]; tersedia pada:
http://disperindagkop.tanahbumbukab.go.id/index.php?option=com_content
&view=article&id=123:monitoring-harga-pasar-juli-2013&catid=35:berita-
terkini&Itemid=28
El-Greisy ZA, El-Gamal AE. 2012. Monosex production of tilapia (Oreochromis
niloticus) using different doses of 17α-methyltestosterone with respect to the
degree of sex stability after one year of treatment. Egypt J Aquat. Res.
38:59-66.
Elmdoust EAR, Farahmand H, Rafiee G, Amiri MB, Mirvaghefi AR. 2010.
Masculinization of blue hap (Sciaenochromis ahli) treated with 17α-
methyltestosterone. J Agri Sci Tech. 13:173-180.
Ferdous Z, Ali MM. 2011. Optimization of hormonal dose during masculinization
of tilapia (Oreochromis niloticus) fry. J Bangla Agril Univ. 9(2):359-364.
Fujimoto T, Nishimura T, Goto-Kazeto R, Kawakami Y, Yamaha E, Arai K.
2010. Sexual dimorphism of gonadal structure and gene expression in germ
cell-deficient loach, a teleost fish. PNAS. 107(40):17211-17216.
Genten F, Terwinghe E, Danguy A. 2009. Atlas of Fish Histology. Enfield (US).
Sci Pub. hlm 159-175.
George T, Pandian TJ. 1998. Dietary administration of androgens induces sterility
in the female-heterogametic black molly (Poecilia sphenops Cuvier and
Valenciennes, 1846). Aqua Res. 29:167-175.
Golan M, Levavi-Sivan B. 2014. Artificial masculinization in tilapia involves
androgen receptor activation. Gen Comp Endocr. 207:50-55.
Gopal C, Gopikrishna G, Krishna G, Jahageerdar GS, Rye M, Hayes BJ,
Paulpandi S, Kiran RP, Pillai SM, Ravichandran P et al. 2010. Weight and
time of onset of female-superior sexual dimorphism in pond reared Penaeus
monodon. Aquaculture. 300:237-239.
Guerrero RD, Shelton WL. 1974. An aceto-carmine squash method for sexing
juvenile fishes. The Progressive Fish-Culturist. London (UK): CRC pr.
36(1):56-56.
Guiguen Y, Fostier A, Piferrer F, Chang CF. 2010. Ovarian aromatase and
estrogens: a pivotal role for gonadal sex differentiation and sex change in
fish. Gen Comp Endocr. 165: 352-366.
Hachfi L, Couvray S, Simide R, Tarnowska K, Pierre S, Gaillard S, Richard S,
Coupe S, Grillasca JP, Prévot-D’Alvise N. 2012. Impact of endocrine
disrupting chemicals [EDCs] on hypothalamic-pituitary-gonad-liver
[HPGL] axis in fish. World J Fish Marine Sci. 4(1):14-30.
Haffray P, Vauchez C, Vandeputte M, Linhart O. 1998. Different growth and
processing traits in males and females of European catfish (Silurus glanis).
Aquat Liv Resour. 11(5):341-345.
Hofsten J, Olsson PE. 2005. Zebrafish sex determination and differentiation:
involvement of FTZ-F1 genes. Reprod Biol Endocrinol. 3:1-11.
Ijiri S, Kaneko H, Kobayashi T, Wang DS, Sakai F, Paul-Prasanth B, Nakamura
M, Nagaham Y. 2008. Sexual dimorphic expression of genes in gonads
during early differentiation of a teleost fish, the Nile tilapia (Oreochromis
niloticus). Biol Reprod. 78:333-341.
22

Jacob KP. 2005. Studies on some aspect of reproduction of female Anabas


testudineus Bloch. [Thesis]. Cochin (IN): Cochin University of Science and
Technology.
Kobayashi T, Kajiura-Kobayashi H, Guan G, Nagahama Y. 2008. Sexual
dimorphic expression of DMRT1 and Sox9a during gonadal differentiation
and hormone-induced sex reversal in the teleost fish Nile tilapia
(Oreochromis niloticus). Dev Dynam. 237:297-306.
Kocour M, Linhart O, Gela D, Rodina M. 2005. Growth performance of all-
female and mixed-sex common carp (Cyprinus carpio L.) populations in the
Central Europe climatic conditions. J World Aqua Soc. 36(1):103-113
Komen H, Thorgaard GH. 2007. Androgenesis, gynogenesis and the production of
clones in fishes: a review. Aquaculture. 269(1):150-173.
Leclercq E, Taylor JF, Hunter D, Migaud H. 2010. Body size dimorphism of sea-
reared Atlantic salmon (Salmo salar L.): implications for the management
of sexual maturation and harvest quality. Aquaculture. 301: 47-56.
Ling S, Hashim R, Kolkovski S, Shu-Chien AC. 2006. Effects of varying dietary
lipid and protein levels on growth and reproductive performance of female
swordtails (Xiphorus helleri) (Poeciliidae). Aqua Res. 37:1267-1275.
Loum A, Sagne M, Fall J, Ndong D, Diouf M, Sarr A, Thiaw OT. 2013. Effects of
dietary protein level on growth performance, carcass composition and
survival rate of fry monosex Nile tilapia (Oreochromis niloticus) reared
under re-circulating system. J Bio Life Sci. 4(2):13-22.
Luo K, Xiao J, Liu SJ, Wang J, He WG, Hu J, Qin Q, Zhang C, Tao M, Liu Y.
2011. Massive production of all-female diploids and triploids in the Crucian
carp. Int J Biol Sci. 7(4):487-495.
Manosroi J, Petchjul K, Manosroi A. 2004. Effect of fluoxymesterone fish feed
granule on sex reversal of the hybrid, Thai red tilapia (Oreochromis
mossambicus L.). Asian Fish Sci. 17:323-331.
Marjani M, Jamili S, Mostafavi PG, Mashinchian A. 2009. Influence of 17-alpha
methyl testosteron on masculinization and growth in tilapia (Oreochromis
mossambicus). J Fish Aquat Sci. 4(1):71-74.
Metcalfe CD, Kidd KA, Sumpter JP. 2010. Endocrine and reproductive system,
including their interaction with the immune system. Di dalam: Leatherland
JF, Woo PTK, editor. Fish Diseases and Disorders. Volume 2. Non-
Infectious Disorders. Preston (UK): CABI. hlm 85-143.
Milnes MR, Bermudez DS, Bryan TA, Edwards TM, Gunderson MP, Larkin ILV,
Moore BC, Guillette LJ. 2006. Contaminant-induced feminization and
demasculinization of nonmammalian vertebrate males in aquatic
environments. Environ Res. 100:3-17.
Mizzau TW, Garner SR, Marklevitz SA, Thompson GJ, Morbey YE. 2013. A
genetic test of sexual size dimorphism in pre-emergent Chinook salmon.
PloS one. 8(10):1-6.
Mubarik MS, Ahmed I, Mateen A, Iqbal T. 2011. 17α-methyltestosterone induced
masculinization and its effect on growth and meat quality of Cyprinus
carpio. Int J Agri Biol. 13(6):971-975.
Murata R, Karimata H, Kobayashi Y, Horiguchi R, Kishimoto K, Kimura M,
Kobayashi T, Soyano K, Nakamura M. 2011. Differentiation of steroid-
23

producing cells during ovarian differentiation in the protogynous Malabar


grouper (Epinephelus malabaricus). Int J Dev Biol. 55:619-625.
Nagahama Y. 2005. Molecular mechanisms of sex determination and gonadal sex
differentiation in fish. Fish. Physiol. Biochem. 31:105-109.
Nagris A. 2010. Ageing and growth records of Anabas testudineus (Bloch)
(Anabantidae : Perciformes). Bangla J Sci Ind Res. 45(3):283-287.
Nakamura M, Bhandari RK, Higa M. 2003. The role estrogens play in sex
differentiation and sex changes of fish. Fish Physiol Biochem. 28:113-117.
Nakmura M. 2013. Morphological and physiological studies on gonadal sex
differentiation in teleost fish. Aqua Bio Sci Monogr. 6(1):1-47.
Nguyen CD, David CL. 2000. The culture performance of monosex and mixed-
sex new-season and overwintered fry in three strains of Nile tilapia
(Oreochromis niloticus) in northern. Aquaculture. 184:221-231.
Okuthe GE, Hanrahan S, Fabian BC. 2014. Early gonad development in zebrafish
(Danio rerio). Afr J Biotechnol. 13(33):3433-3442.
Okutsu T, Suzuki K, Takeuchi Y, Takeuchi T, Yoshizaki G. 2006. Testicular
germ cells can colonize sexually undifferentiated embryonic gonad and
produce functional eggs in fish. PNAS. 103(8):2725-2729.
Omoto N, Maebayashi M, Mitsuhashi E, Yoshitomi K, Adachi S, Yamauchi K.
2002. Effects of estradiol-17 and 17-methyltestosterone on gonadal sex
differentiation in the F2 hybrid sturgeon, the bester. Fish Sci. 68:1047-1054.
Pandian TJ. 2013. Endocrine Sex Differentiation in Fish. CRC. New York (US):
CRC Pr. 302 hlm.
Penman DJ, Piferrer F. 2008. Fish gonadogenesis. Part I: genetic and
environmental mechanisms of sex determination. Rev Fish Sci. 16(S1):16-
34.
Phelps RP, Okoko M. 2011. A non‐paradoxical dose response to
17α‐methyltestosterone by Nile tilapia (Oreochromis niloticus L.): effects
on the sex ratio, growth and gonadal development. Aqua Res. 42:549-558.
Piferrer F, Guiguen Y. 2008. Fish gonadogenesis. Part II: Molecular biology and
genomics of sex differentiation. Rev Fish Sci. 16(S1):35-55.
Piferrer F. 2001. Endocrine sex control strategies for the feminization of teleost
fish. Aquaculture 197:229-281.
Piferrer F. 2011. Endocrine control of sex differentiation in fish. Di dalam: Farrell
AP, editor. Encyclopedia of Fish Physiology, From Genome to
Environment. Volume 2. Gas Exchange, Internal Homeostatis, and Food
Uptake. San Diego (US): Academic Pr. hlm 1490-1499.
Pongthana N, Niroth M, Kanchit W. 1998. Sex control in climbing perch (Anabas
testudineus Bloch,1972). FAO Technical paper 20. Rome (IT): FAO.
Rivero-Wendt CL, Miranda-Vilela AL, Ferreira MF, Borges AM, Grisolia CK.
2013. Cytogenetic toxicity and gonadal effects of 17 α-methyltestosterone in
Astyanax bimaculatus (Characidae) and Oreochromis niloticus (Cichlidae).
Genet Mol Res. 12(3): 3862-3870.
Rodgers LJ, Saoud PI, Rouse DB. 2006. The effects of monosex culture and
stocking density on survival, growth and yield of redclaw crayfish (Cherax
quadricarinatus) in earthen ponds. Aquaculture. 259:164-168.
Rohansyah, Elrifadah, Marlida R. 2010. Kaji banding karakter morfologi dua
varian ikan papuyu (Anabas testudineus Bloch). Media SainS. 2(1):77-82
24

Sakai F, Kobayashi T, Matsuda M, Nagahama Y. 2008. Stability in aromatase


immunoreactivity of steroid-producing cells during early development of
XX gonads of the Nile tilapia (Oreochromis niloticus): an organ culture
study: short communication. Zool Sci. 25(3):344-348.
Siddik MAB, Khan MMR, Hasan M. 2007. Evaluation of different diets on the
growth of normal and monosex GIFT tilapia (Oreochromis niloticus L.) in
Bangladesh. J Bangla Agri Univ. 5(2):377-384.
Siegfried KR, Nüsslein-Volhard C. 2008. Germ line control of female sex
determination in zebrafish. Dev Biol. 324:277-287.
Silva CF, Zarazua GMS, Pacheco IT, Rangel AF. 2012. Male tilapia production
techniques: A mini-review. Afr J Biotechnol. 12(36):5496-5502.
Tong SK, Hsu HJ, Chung BC. 2010. Zebrafish monosex population reveals
female dominance in sex determination and earliest events of gonad
differentiation. Dev Biol. 344:849-856.
Tzchori I, Zak T, Sachs O. 2004. Masculinization of genetic females of the
common carp (Cyprinus carpio L.) by dietary administration of an
aromatase inhibitor. Israeli J Aqua. 56(4):239-246
www.fishbase.org. List of Fish Occurrence Records for Indonesia. [diakses 2014
Juni 10]; tersedia pada: http://www.fishbase.org/country/ Species
OccurrenceList.php? requesttimeout=999999&vc_code=360. [10 Juni
2014].
Yön ND, Akbulut C. 2015. Identification of primordial germ cells: cytological,
histological and immunohistochemical aspects. Braz. Arch. Biol. Technol.
58(2):22-228.
Zhang Q, Sun X, Qi J, Wang Z, Wang X, Wang X, Zhai T. 2008. Sex
determination mechanisms in fish. J Ocean Univ China Ocean Coast Sea
Res. 8(2):155-160.
25

LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur preparasi histologi menggunakan pewarna


haematoxyline-eosine
1. Fiksasi
Gonad diambil dan dicuci dengan NaCl fisiologis 0,65%, difiksasi ke
dalam larutan BNF (Buffered Neutral Formalin) 10% selama 24 jam lalu
dicuci dengan alkohol 70% sampai warna kuning pada gonad hilang. Gonad
dapat disimpan dalam larutan alkohol 70% untuk beberapa waktu lamanya
sebelum proses dehidrasi.
2. Dehidrasi
Organ direndam dalam larutan alkohol bertingkat (80%, 85%, 90%
dan 95%) masing-masing selama 2 jam dan dipindahkan ke dalam alkohol
100% sebanyak 4 kali masing-masing selama 1 jam
3. Clearing
Organ direndam dalam alkohol 100% + xylol (1:1), kemudian ke
dalam xylol I, II, dan III masing-masing selama 45 menit.
4. Infiltring
Organ direndam dalam xylol + parafin (1:1) selama 45 menit pada
suhu 60 C kemudian direndam ke dalam parafin I, II, dan III masing-
masing selama 45 menit.
5. Embedding
Organ direndam ke dalam balok parafin cair pada suhu 60 C sampai
parafin mengeras selama 24 jam.
6. Pemotongan
Spesimen dipotong setebal 5 mikron dengan menggunakan mikrotom,
ditempelkan pada gelas obyek yang telah ditetesi ewid, direnggangkan di
atas pemanas dan dikeringkan selama 24 jam pada suhu 45 C
7. Deparafinasi
Preparat direndam berturut-turut pada larutan xylol I, xylol II, alkohol
100% I, 100% II, 95%, 90%, 85%, 80%, 70%, dan 50%, untuk masing-
masing preparat selama 2 menit dan dicuci sampai berwarna putih.
8. Pewarnaan
Preparat direndam dalam larutan haematoxyline selama 2 menit,
dicuci dengan air keran mengalir, direndam dalam larutan eosine selama 2
menit dan di cuci kembali dengan air mengalir.
9. Dehidrasi
Preparat direndam berturut-turut di dalam alkohol 70%, 80%, 85%,
90%, 95% I, 95% II, 100% I, dan 100% II masing-masing selama 1 menit.
10. Clearing
Preparat direndam ke dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama 1
menit.
11. Penutupan dengan kaca penutup
Preparat diberi zat perekat canda balsem, ditutup dengan kaca
penutup, dikeringkan selama 10 menit. Preparat diberi label sesuai dengan
keperluan sehingga didapatkan preparat permanen histologi gonad (testis
dan ovarium) yang dapat diamati di bawah mikroskop setiap saat.
26

Lampiran 2 Prosedur preparasi histologi menggunakan pewarna


asetokarmin
1. Pembuatan larutan asetokarmin
Larutan asetokarmin dibuat dengan melarutkan 0,6 g bubuk karmin
dalam 100 ml asam asetat. Selanjutnya larutan dipanaskan selama 2-4
menit, kemudian didinginkan dan disaring menggunakan kertas saring untuk
memisahkan partikel kasarnya.
2. Pembedahan gonad ikan uji
Ikan dibedah dan diambil gonadnya
3. Penghancuran gonad
Gonad diletakkan di atas gelas obyek, kemudian dihancurkan dengan
cara dicacah hingga lembut.
4. Pemberian pewarna asetokarmin dan penutupan dengan kaca penutup
Gonad yang telah hancur selanjutnya ditetesi dengan pewarna
asetokarmin, setelah itu ditutup dengan kaca penutup, sehingga didapatkan
preparat histologi gonad yang dapat diamati di bawah mikroskop
27

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung Tengah pada tanggal 11 Februari 1981


sebagai anak sulung dari pasangan Hazmi Al Askhan dan Titiek Hidayati, yang
dalam masa pendidikannya diasuh oleh Abdul Fatah dan Siti Mangisah sebagai
wali di Klaten, Jawa Tengah. Dalam pengasuhan wali, penulis menamatkan
pendidikan di SMU Muhammadiyah I Klaten pada tahun 1999. Pada tahun yang
sama, penulis diterima di Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam pada Universitas Negeri Yogyakarta, namun mengundurkan
diri pada tahun 2000, dan mulai menjalani pendidikan sarjana di Program Studi
Budidaya Perikanan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian pada Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta hingga tahun 2005.
Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil Pusat pada Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak Januari 2008
hingga sekarang, dengan penempatan tugas kerja di Balai Perikanan Budidaya Air
Tawar (BPBAT) Mandiangin, Kalimantan Selatan. Penulis ikut dalam tim
pengembangan budidaya ikan papuyu dan rilis domestikasi ikan papuyu varietas
hijau Kalimantan Selatan yang telah diresmikan oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan pada tahun 2014. Sejak tahun 2009, penulis menjabat sebagai
Pengawas Pembudidayaan Ikan di BPBAT Mandiangin hingga diberhentikan
sementara dari jabatannya pada tahun 2013 untuk melanjutkan pendidikan di
program studi Ilmu Akuakultur pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Pendidikan pascasarjana tersebut dibiayai oleh Badan Pengembangan
Sumberdaya Manusia Perikanan dan Kelautan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia.
Penulis telah menyususn tesis dengan judul “Evaluasi Pertumbuhan,
Penentuan Diferensiasi Kelamin, dan Produksi Jantan Fungsional Ikan Papuyu
(Anabas testudineus Bloch)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
master pada program studi Ilmu Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB. Sebagian hasil riset dalam tesis tersebut dipublikasi dalam Jurnal
Akuakultur Indonesia Volume 15 Nomor 1, dengan judul “Perbedaan
pertumbuhan ikan papuyu Anabas testudineus jantan dan betina”.

Anda mungkin juga menyukai