RAHMAT HIDAYAT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Rahmat Hidayat
NIM C151130711
RINGKASAN
Ikan papuyu (Anabas testudineus) atau betok adalah ikan asli Indonesia
yang memiliki nilai ekonomis dan banyak disukai oleh sebagian besar masyarakat
Kalimantan. Ikan papuyu diduga memiliki perbedaan laju pertumbuhan terkait
dimorfisme seksual (DS). Ikan papuyu betina lebih cepat tumbuh dibandingkan
dengan ikan jantan, sehingga berpotensi dilakukannya budidaya monoseks betina.
Populasi monoseks betina dapat diperoleh melalui persilangan ikan jantan
fungsional (XX) dengan betina normal (XX). Ikan jantan fungsional diperoleh
dengan cara maskulinisasi menggunakan hormon 17α-metiltestosteron (MT)
sebelum diferensiasi kelamin (DK) terjadi. Penelitian ini telah dilakukan dalam
bentuk rangkaian riset sistematis sebagai dasar pengembangan budidaya
monoseks betina ikan papuyu; riset DS untuk membuktikan pertumbuhan ikan
papuyu betina lebih cepat dibandingkan dengan jantan, riset DK mengungkap
waktu terjadinya DK pada ikan papuyu sebagai dasar untuk perlakuan sex
reversal, dan riset maskulinisasi dilakukan untuk menentukan dosis optimum
pemberian MT yang menghasilkan ikan jantan fungsional.
Benih ikan papuyu varietas hijau dalam penelitian ini diperoleh dari
pendederan larva hasil pemijahan lima pasang induk. Penelitian DS dilakukan
dengan cara memelihara 60 ekor benih ikan papuyu umur 45 hari pascatetas (hpt)
secara individu pada hapa ukuran 20×20×100 cm3 selama 135 hari. Secara
individual, bobot badan ditimbang setiap 15 hari sekali dan jenis kelamin
ditentukan saat akhir penelitian dengan cara membedah ikan. Penelitian DK
dilakukan dengan cara mengambil 20 ekor sampel ikan per hari mulai umur 10–29
hpt, lalu dilakukan prosedur preparasi histologi dengan pewarnaan hematoksilin-
eosin. Struktur dan status diferensiasi gonad diobservasi secara histologi.
Penelitian maskulinisasi ikan papuyu dilakukan pada ikan papuyu umur 14 hpt
dengan perlakuan pemberian pakan berhormon dengan dosis 25, 50, 75, 100 mg
MT/kg pakan dan satu perlakuan tanpa hormon MT (kontrol) selama 30 hari,
kemudian rasio kelamin ditentukan pada saat akhir penelitian melalui observasi
secara histologi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan papuyu memiliki DS terkait
pertumbuhan. Pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan bobot harian ikan
betina masing-masing 48% dan 17% lebih tinggi (P<0,05) daripada ikan jantan.
Gonad ikan papuyu terdiferensiasi pada umur 18–21 hpt, ditandai dengan
perkembangan genital ridges seiring bertambahnya jumlah PGC dan terbentuknya
ovarian cavity. Induksi sex reversal menggunakan MT secara oral pada ikan
papuyu berhasil dilakukan dengan dosis 50 mg/kg pakan pada ikan umur 14 hpt
selama 30 hari menghasilkan rasio jantan tertinggi (88,9%) dan berpeluang
menghasilkan jantan fungsional sebesar 61,1%.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EVALUASI PERTUMBUHAN, PENENTUAN DIFERENSIASI
KELAMIN, DAN PRODUKSI JANTAN FUNGSIONAL IKAN
PAPUYU (Anabas testudineus Bloch)
RAHMAT HIDAYAT
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini ialah
mengenai budidaya monoseks ikan papuyu, dengan judul “Evaluasi Pertumbuhan,
Penentuan Diferensiasi Kelamin, dan Produksi Jantan Fungsional Ikan Papuyu
(Anabas testudineus Bloch)”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Odang Carman MSc dan
Bapak Dr Alimuddin SPi MSc selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir Dinar Tri
Soelistyowati DEA sebagai penguji yang telah banyak memberi saran. Terima
kasih disampaikan kepada Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan atas dukungan
dana melalui program tugas belajar program Pascasarjana dalam negeri Tahun
2013/2015. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Ir Endang
Mudjiutami selaku kepala Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT)
Mandiangin yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjalani
studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada Bapak Bunasir SPi beserta staf kelompok kerja, staf perekayasa
dan litkayasa, Ir Jamilah Hayati MSi beserta staf laboran BPBAT Mandiangin,
yang telah membantu dan menyediakan fasilitas penelitian. Terima kasih juga
disampaikan kepada Saudari Nurkardina dan tim yang secara teknis telah banyak
membantu dalam pelaksanaan penelitian.
Ungkapan terimakasih juga penulis haturkan kepada istri dan kedua anak
tercinta; Setiawati Hidayat, Dany Sajid El Abqary dan Ijlal Najih El Abqary, yang
sabar dan setia memberikan semangat serta inspirasi. Terima kasih juga diucapkan
kepada H Abdul Fatah, Ibunda Titiek Hidayati, Ayahanda Hazmi Al Askhan,
Adinda Muhammad Arief Islamy, serta segenap keluarga besar Bani Fatah atas
segala doa dan dukungannya selama studi. Selanjutnya, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan persaudaraan Yayasan Al Hikmah
Corner; Fitria Nawir, Abung Maruli Simanjuntak, Novianto Poernomo, Yunarty,
Sekar Ayu Chairunnisa, Rifqi Tamamdusturi, Asep Akmal Aonullah, Artin
Indrayati, Hirmawan Tirta Yudha, Lukman Anugrah Agung, Aisyah Lukmini, dan
seluruh rekan-rekan Pascasarjana Ilmu Akuakultur angkatan 2013 atas
kebersamaan dan bantuannya selama penyelesaian studi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Rahmat Hidayat
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Ruang Lingkup Penelitian 3
2 METODE 4
Waktu dan Tempat 4
Rancangan Penelitian 4
Prosedur Penelitian 4
Parameter Pengamatan 6
Analisis Data 8
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Hasil 9
Pembahasan 14
4 KESIMPULAN DAN SARAN 19
Kesimpulan 19
Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 19
LAMPIRAN 25
RIWAYAT HIDUP 27
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Latar Belakang
Ikan betok (Anabas testudineus Bloch) adalah ikan yang telah banyak
dibudidayakan secara komersial di wilayah Asia Tenggara (Chotipuntu dan
Avakul 2010). Di Indonesia, ikan ini tersebar di pulau Kalimantan, Jawa,
Sumatera, Sumbawa, dan Manado (www.fishbase.org). Ikan betok atau papuyu di
Kalimantan Selatan terdiri atas dua varian berdasarkan warna badan, yaitu warna
hijau (varietas hijau), dan warna kuning (varietas galam). Ikan papuyu varietas
galam memiliki bentuk badan yang lebih kecil dibandingkan dengan ikan papuyu
varietas hijau (Rohansyah et al. 2010). Ikan papuyu banyak disukai oleh
masyarakat Kalimantan. Harga ikan papuyu di Kalimantan (kecuali Kalimantan
Barat) relatif mahal, berkisar Rp. 50.000,- sampai Rp. 80.000,- per kg
(DISPERINDAGKOP 2013), bahkan dapat mencapai Rp. 150.000,- per kilogram
pada bulan Maret di Kota Palangka Raya. Kenaikan harga ikan papuyu ini
disebabkan menurunnya hasil tangkapan di alam akibat naiknya air sehingga
menyulitkan nelayan melakukan penangkapan ikan di perairan umum.
Teknik pemijahan, pendederan dan pembesaran ikan papuyu telah
dikembangkan oleh Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin Kalimantan
Selatan dan dilakukan rilis domestikasi pada tahun 2014. Dengan menggunakan
sistem pembesaran saat ini, waktu yang diperlukan untuk mencapai ukuran
konsumsi (bobot 66,7-125 g/ekor) dari ukuran 1–2 g/ekor adalah sekitar 8 bulan
dengan ukuran ikan hasil panen yang bervariasi (Bunasir et al. 2014). Salah satu
fenomena yang sering dijumpai dalam budidaya ikan papuyu adalah perbedaan
ukuran yang mencolok antara individu jantan dan betina yang menyebabkan lebih
banyaknya individu di bawah ukuran pasar. Selain faktor genetik, perbedaan ini
diduga disebabkan oleh adanya perbedaan laju pertumbuhan terkait dimorfisme
seksual (DS), ikan papuyu betina lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan ikan
jantan. Oleh karena itu, riset kuantitatif diperlukan untuk membuktikannya.
Pengkajian terhadap pertumbuhan ikan papuyu di alam dengan pendugaan
umur menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ikan papuyu betina lebih tinggi
dibandingkan dengan ikan papuyu jantan (Nagris 2010). Hal ini berbeda dengan
ikan nila yang lebih cepat tumbuh pada nila jantan daripada betina (Chakraborty
dan Banarjee 2010; Bhatta et al. 2012b). Selanjutnya, tingkat produksi budidaya
ikan nila monoseks jantan lebih tinggi sekitar 10% (Nguyen dan David 2000)
daripada campur kelamin jantan-betina. Ikan mas monoseks betina yang
dibudidayakan di Eropa Tengah secara signifikan memiliki bobot panen 29,7%
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi heteroseks (Kocour et al. 2005).
Bila benar bahwa ikan papuyu betina tumbuh lebih cepat, maka perlu
pengembangan stok induk yang dapat menghasilkan benih ikan papuyu monoseks
betina secara massal. Produksi ikan monoseks betina secara massal dapat dilakukan
menggunakan teknik ginogenesis (bila kromosom kelamin betina homogametik
XX/WW) (Komen dan Thorgaard 2007), pengarahan diferensiasi kelamin (DK)
atau sex reversal menggunakan hormon estrogen, dan persilangan ikan jantan
fungsional (ikan XX yang menghasilkan sperma) dengan betina normal (XX)
(Piferrer 2001). Secara teknis, metode ketiga lebih aplikatif bagi pembudidaya.
2
Dalam hal ini, jantan fungsional dapat dihasilkan melalui sex reversal
menggunakan hormon 17α-metiltestosteron (MT) melalui perendaman atau oral.
Sex reversal melibatkan proses hormonal untuk mengarahkan kelamin ikan
saat berlangsungnya DK. Sex reversal dapat dilakukan karena determinasi kelamin
pada ikan merupakan sebuah proses yang fleksibel (Piferrer dan Guiguen 2008)
selama periode diferensiasi berlangsung, namun sangat sulit, bahkan tidak mungkin
dilakukan setelah masa diferensiasi berlalu (Nakamura et al. 2003). Oleh karena itu,
DK pada ikan papuyu penting untuk dipelajari agar diketahui waktu DK ikan yang
bermanfaat sebagai dasar penentuan umur ikan dan cara yang tepat saat pemberian
hormon MT dalam proses sex reversal (oral atau imersi). Diferensiasi kelamin
merupakan proses transformasi dari gonad yang belum terdiferensiasi menjadi testis
atau ovari, yang dipengaruhi oleh informasi genetik, lingkungan, atau keduanya
sehingga secara fenotipe menghasilkan individu jantan atau betina (Piferrer 2011,
Penman dan Piferrer 2008).
Dosis dan waktu pemberian hormon MT pada ikan menentukan
keberhasilan proses sex reversal. Feminisasi menggunakan hormon estradiol-17β
secara oral atau imersi pada larva ikan papuyu 14 hari pascatetas (hpt) selama
empat minggu menghasilkan 92,6-100,0% ikan betina. Kelangsungan hidup ikan
papuyu perlakuan sex reversal melalui oral (43,33%) lebih tinggi daripada melalui
imersi (36,67%) (Pongthana et al. 1998). Hal yang sama diduga terjadi pada
maskulinisasi ikan papuyu menggunakan MT. Dosis optimum MT yang
digunakan untuk maskulinisasi ikan nila umur tujuh hpt selama 21 hari adalah 75
mg/kg pakan (Marjani et al. 2009), dan ikan mas umur 15 hpt selama 30 hari
sebesar 100 mg/kg pakan (Mubarik et al. 2011). Riset penggunaan MT untuk
maskulinisasi pada ikan papuyu belum pernah dilakukan, oleh sebab itu evaluasi
penentuan dosis optimum MT untuk menghasilkan jantan fungsional pada ikan
papuyu perlu dilakukan.
Perumusan Masalah
Verifikasi adanya fenomena ikan papuyu betina yang lebih cepat tumbuh
dibandingkan dengan ikan jantan (DS) memerlukan riset kuantitatif. Bila
verifikasi tersebut terbukti, maka budidaya tunggal kelamin (monoseks) betina
ikan papuyu sangat berpotensi memperpendek masa pemeliharaan, dan
meningkatkan produksi. Teknik persilangan ikan jantan fungsional (XX) dengan
betina normal merupakan metode yang lebih mudah dilakukan oleh pembudidaya
untuk produksi benih ikan monoseks betina. Populasi ikan jantan fungsional (XX)
diperoleh dari maskulinisasi ikan dengan cara sex reversal menggunakan hormon
MT. Dalam hal ini, induksi sex reversal mudah dilakukan dengan memberikan
hormon pada ikan selama periode DK berlangsung. Oleh karena itu, diperlukan
informasi terjadinya DK ikan papuyu sebagai dasar penentuan umur ikan dan cara
yang tepat saat pemberian hormon MT dalam proses sex reversal (oral atau
imersi). Selain itu, perlu diketahui dosis dan lama pemberian hormon MT pada
ikan papuyu yang menentukan keberhasilan sex reversal. Alur pemikiran untuk
pengembangan budidaya monoseks ikan papuyu sebagai rumusan masalah dalam
penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
3
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 METODE
Penelitian dilakukan pada bulan September 2014 sampai dengan Juni 2015
di Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin, Kalimantan Selatan.
Rancangan Penelitian
Maskulinisasi
Penelitian maskulinisasi dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap
dengan empat perlakuan MT; dosis 25 mg/kg pakan (MT25), dosis 50 mg/kg
pakan (MT50), dosis 75 mg/kg pakan (MT75) dan dosis 100 mg/kg pakan (MT100),
dengan satu kontrol (dosis MT 0 mg/kg pakan), yang diulang sebanyak tiga kali.
Prosedur Penelitian
Benih ikan papuyu diperoleh dari pendederan larva hasil pemijahan lima
pasang induk ikan papuyu varietas hijau betina bobot 80–100 g, dan jantan bobot
30–60 g. Pemijahan diinduksi dengan ovaprim dosis 0,25 ml/kg induk secara
intramuskuler, lalu setiap pasang induk dipijahkan di dalam akuarium 604050
(plt) cm3 yang diaerasi secara kontinyu. Setelah memijah, induk dipindahkan
ke tempat pemeliharaannya, dan telur diinkubasi dalam akuarium yang sama
selama 18–20 jam pada suhu 28–30 C hingga menjadi larva umur 2 hari.
Selanjutnya larva ditebar dalam bak pendederan ukuran 521 m3 (ketinggian air
= 60 cm) lima hari setelah diberi dolomit dosis 0,5 kg/m2 dan dipupuk dengan
kotoran ayam dosis 1 kg/m2 . Selama pemeliharaan, larva diberi pakan komersial
berupa tepung (kadar protein 30%) dengan feeding rate (FR) 10% bobot tubuh
ikan dan frekuensi tiga kali per hari. Pergantian air sebesar 10% volume air bak
dilakukan setiap 10 hari sekali. Prosedur pemeliharaan larva dan pendederan
tersebut dilakukan untuk menghasilkan stok ikan uji yang digunakan dalam
pengujian pertumbuhan terkait DS (benih umur 45 hpt), DK (benih umur 10–29
hpt), dan maskulinisasi ikan papuyu (benih umur 14 hpt).
5
Maskulinisasi
Penyiapan pakan berhormon MT
Prosedur pencampuran MT dengan pakan mengacu pada Mubarik et al. (2011).
Masing-masing jumlah hormon untuk membuat dosis sesuai perlakuan dilarutkan
dalam 170 ml etanol dan disemprotkan menggunakan sprayer secara merata pada 500
g pakan komersial berupa tepung (kadar protein 30%), kemudian pakan berhormon
dikering-anginkan pada suhu 27–29 C selama 24 jam untuk menghilangkan etanol.
Setelah kering, pakan berhormon disimpan dalam refrigerator sebelum digunakan.
Parameter Pengamatan
Struktur gonad
Struktur gonad diketahui dengan mengamati gonad secara histologi. Proses
DK dimulai dengan terbentuknya PGC (primordial germ cell) dan terbentuknya
koloni daerah genital (genital ridges), hingga terbentuknya testis atau ovari.
Status gonad
Penentuan jenis kelamin dilakukan melalui observasi status gonad secara
visual (Jacob 2005; Behera et al. 2015) dan mikroskopis (histologi). Secara visual,
gonad betina berupa ovari dicirikan berwarna merah muda, diisi butiran-butiran
telur, berbentuk jelly transparan seperti jaringan lembut, menempati bagian
posterior rongga badan (body cavity), sedangkan gonad jantan berupa testis
memiliki ciri warna keputih-putihan berisi sel sperma sangat halus, dan menempel
pada rongga badan. Secara histologi, pewarnaan asetokarmin pada gonad betina
memperlihatkan sel telur berbentuk bulat dan di dalamnya terdapat inti sel
berwarna pudar yang dikelilingi sitoplasma berwarna merah, sedangkan gonad
jantan memperlihatkan sel spermatozoa berbentuk titik halus menyebar berwarna
8
merah (Guerrero dan Shelton 1974). Selanjutnya, ciri gonad pada pewarnaan
hematoksilin-eosin secara histologi mengacu pada Genten et al. (2009).
Analisis Data
Maskulinisasi
Parameter rasio status gonad tiap perlakuan ditabulasi menggunakan alat
bantu program Microsoft Excel 2007, kemudian dianalisis secara statistik
menggunakan software Minitab 16. Uji ANOVA dilakukan pada selang
kepercayaan 95%, selanjutnya dilakukan uji Tukey pada selang kepercayaan 95%
jika uji ANOVA menunjukkan nilai Phitung <0,05.
9
Hasil
Dimorfisme seksual
Ikan uji yang bertahan hidup sampai penelitian berakhir berjumlah 56 dari
60 ekor yang dipelihara secara individual, terdiri dari 30 ekor ikan jantan (50,8%)
dan 26 ekor ikan betina (44,2%), dari jumlah tersebut berhasil didapatkan nilai
IGS pada 27 ekor jantan dan 22 ekor betina. Identifikasi status kelamin terhadap
ikan uji secara visual menunjukkan gonad jantan berupa testis, sedangkan gonad
betina berupa ovari (Gambar 2) dengan rata-rata gonad jantan telah mencapai
TKG III, sedangkan gonad betina mencapai TKG IV.
Gambar 2 Ikan papuyu varietas hijau jantan (A), dan betina (B). T= testis, mulai
matang mencapai tingkat kematangan gonad (TKG) III. O= ovari,
gonad telah mengisi sekitar 2/3 rongga perut (TKG IV)
Perbedaan pertumbuhan ikan papuyu jantan dan betina disajikan pada
Gambar 3. Ikan papuyu betina dan jantan memiliki bobot, pertumbuhan bobot
mutlak (PBM), dan panjang baku yang sama sampai umur 120 hpt (Gambar 3A,
Gambar 3B, dan Gambar 3D). Perbedaan bobot tubuh, PBM, dan panjang baku
ikan betina yang lebih tinggi daripada jantan (P<0,05) baru terdeteksi pada umur
135–180 hpt. Laju pertumbuhan harian (LPH) jantan dan betina memperlihatkan
nilai yang sama sampai umur 135 hpt (Gambar 3C), kemudian mulai ditemukan
perbedaannya pada umur 150–180 hpt. Pada akhir pemeliharaan, ikan betina
menunjukkan bobot tubuh 40% lebih tinggi daripada bobot ikan jantan, sedangkan
panjang baku betina hanya 10% lebih panjang daripada jantan. Hasil yang serupa
ditunjukkan pada parameter PBM dan LPH yang menunjukkan nilai lebih besar
pada ikan betina daripada ikan jantan, yaitu masing-masing 48% dan 17%.
10
A B
C D
Gambar 3 Pertumbuhan ikan papuyu varietas hijau jantan (n=30) dan betina (n=26)
selama pemeliharaan 180 hari. (A) Bobot rerata, (B) Pertumbuhan mutlak
bobot (PBM), (C) Laju pertumbuhan bobot harian (LPH), dan (D)
pertumbuhan panjang. Tanda asterik menunjukkan nilai berbeda nyata
(P<0,05). hpt= hari pascatetas
Bobot ikan papuyu betina umur 180 hpt (Gambar 4A), baik bobot tubuh
ikan dengan gonad (19,69±2,92 gram), maupun bobot tubuh tanpa gonad
(16,70±2,85 gram) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan bobot ikan jantan
(dengan gonad= 14,00±3,49 gram; tanpa gonad= 13,84±3,49 gram). Bobot gonad
ikan betina (n= 22) sebesar 2,99±0,46 g, atau ekivalen dengan 18,59 kali lebih
tinggi daripada ikan jantan (n= 27; 1,16±0,35 g). Selanjutnya, Gambar 4B
memperlihatkan nilai IGS ikan betina (15,301,98%) yang 13,14 kali lebih tinggi
(P<0,05) dibandingkan dengan IGS jantan (1,160,35).
A B
Gambar 4 Bobot tubuh dengan dan tanpa gonad (A), dan indeks gonadosomatik
(B) ikan papuyu varietas hijau jantan (n=27) dan betina (n=22) pada
umur 180 hpt. Tanda asterik menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Diferensiasi Kelamin
Identifikasi gonad secara histologi berhasil dilakukan pada ikan papuyu
umur 10, 11, 12, 13, 15, 16, 18, 20, 21, 23, dan 26 hpt yang menunjukkan status
11
Gambar 5 Histologi ikan papuyu varietas hijau umur 18 hpt. (A) Potongan
melintang badan ikan. a = tulang belakang; b = gelembung renang; c =
hati; (B) sepasang gonad yang menggantung di dinding peritonial
punggung pada rongga badan, dihubungkan oleh mesogonium (m),
tanda panah menunjukkan posisi gonad. Skala = 100 μm.
Pengamatan yang lebih mendetail pada histologi gonad yang berumur 10,
11, 15, dan 18 hpt memperlihatkan adanya PGC dengan jumlah yang bervariasi
(2–11 buah) dengan ukuran 2,4–5,8 μm. Karakteristik germ cell (GC) tersebut
diperkirakan merupakan tahap awal pembentukan oogonia atau spermatogonia
12
yang belum menunjukkan terjadinya diferensiasi gonad menjadi testis atau ovari
(Gambar 6).
Maskulinisasi
Berdasarkan pengamatan status gonad pada sampel ikan yang diberi perlakuan
MT menunjukkan bahwa secara umum pemberian MT menghasilkan empat
karakteristik status gonad, yaitu status jantan, betina, interseks, dan steril (Gambar 8).
Karakteristik gonad jantan (Gambar 8A) menunjukkan ciri jaringan testis yang sangat
jelas, dicirikan dengan adanya spermatosit dan spermatid, gonad betina (Gambar 8B)
dicirikan dengan adanya oosit pada jaringan ovari, gonad interseks (Gambar 8C)
dicirikan dengan adanya jaringan testis dan ovari dalam satu gonad, sedangkan
karakteristik steril (Gambar 8D) menunjukkan tidak adanya perkembangan sel gamet
dan secara histologi tidak dapat dibedakan sebagai karakteristik jantan atau betina.
Masing-masing rasio status gonad dan persentase KH pada setiap perlakuan
dan kontrol disajikan pada Gambar 9. Perlakuan MT50 dan MT75 menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap rasio jantan (P<0,05), sedangkan perlakuan MT25
dan MT100 tidak berpengaruh terhadap rasio jantan (P>0,05). Pemberian MT
dengan dosis 50 mg/kg pakan menghasilkan rasio jantan tertinggi (88,9±6,9%),
diikuti oleh perlakuan pemberian MT dengan dosis 75 mg/kg pakan (57,4±9,7%).
Pada selang dosis MT yang digunakan dalam penelitian ini terlihat adanya
kecenderungan bahwa semakin tinggi dosis MT yang diberikan menghasilkan
rasio interseks yang semakin rendah (20,9–3,3%) dan rasio steril yang secara
signifikan semakin meningkat (0–32,2%). Selanjutnya, meningkatnya dosis
hormon menyebabkan penurunan KH yang signifikan; dosis MT 25–50 mg/kg
pakan menyebabkan kematian 27,7–34,0% lebih banyak dibandingkan dengan
kontrol, dan dosis MT 75–100 mg/kg pakan menyebabkan kematian 46,7–47,7%
lebih banyak dibandingkan dengan kontrol.
Gambar 8 Status gonad ikan papuyu varietas hijau umur 105 hpt yang diberi
perlakuan MT dosis 0, 25, 50, 75, dan 100 mg/kg pakan secara oral:
(A) testis, (B) ovari, (C) interseks, (D) steril. Sc = spermatosit, Sp =
spermatid, Oc = oosit. Skala = 10 µm
14
Gambar 9 Persentase jantan, interseks, steril dan kelangsungan hidup (KH) ikan
papuyu varietas hijau umur 105 hpt yang telah diberi perlakuan
pemberian MT secara oral mulai umur 14 hpt selama 30 hari, dosis 0
mg/kg pakan (kontrol), 25 mg/kg pakan (MT25), 50 mg/kg pakan
(MT50), 75 mg/kg pakan (MT75), 100 mg/kg pakan (MT100).
Keberhasilan maskulinisasi ikan papuyu menggunakan MT terhadap
peluang untuk memproduksi jantan fungsional diperlihatkan berdasarkan selisih
rasio jantan dibandingkan dengan kontrol. Dalam hal ini, perlakuan MT50 dan
MT75 secara signifikan berpeluang menghasilkan jantan fungsional (P<0,05),
dengan peluang tertinggi diperoleh pada perlakuan MT50 (61,1±6,9%). Parameter
pertumbuhan (Tabel 3) menunjukkan bahwa pemberian MT secara oral tidak
berpengaruh terhadap bobot akhir, pertumbuhan mutlak bobot, maupun laju
pertumbuhan bobot harian antar perlakuan (P>0,05), namun berpengaruh nyata
terhadap biomassa ikan hingga umur 105 hpt, dengan biomassa tertinggi
ditemukan pada perlakuan kontrol (P<0,05).
Tabel 3 Bobot akhir, pertumbuhan bobot mutlak (PBM), laju pertumbuhan bobot
harian (LPH), dan biomassa ikan papuyu umur 105 hpt yang diberi
perlakuan pemberian MT secara oral mulai umur 14 hpt selama 30 hari
Perlakuan
Parameter
Kontrol MT25 MT50 MT75 MT100
Bobot akhir (g) 7,15±2,01a 7,43 ± 0,92a 5,73 ± 1,00a 10,46±1,54 a 9,22 ± 3,48a
PBM (g) 7,1±2,01a 7,4 ± 0,92a 5,7 ± 1,00a 10,5±1,54 a 9,2 ± 3,48a
a a a a
LPH (%/hari) 21,6±0,9 21,8 ± 0,4 20,9 ± 0,6 23,0±0,5 22,4 ± 1,5a
a b b b
Biomassa (g) 440,8±54,9 216,2 ± 8,5 231,3 ± 28,8 171,5±19,1 135,6 ± 30,1b
Keterangan : huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang
berbeda nyata (p<0,05); Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata dan simpangan baku
Pembahasan
Dimorfisme Seksual
Penelitian ini membuktikan adanya dimorfisme seksual (DS) terkait dengan
pertumbuhan pada ikan papuyu. Pada umur 180 hpt, bobot ikan betina, baik
dengan maupun tanpa gonad menunjukkan nilai yang lebih tinggi (P<0,05)
daripada ikan jantan, berturut-turut 40,6% dan 20,7%. Perbedaan pertumbuhan ini
menguatkan adanya fenomena bahwa variasi ukuran ikan papuyu saat panen
(Bunasir et al. 2014) lebih disebabkan oleh dimorfisme seksual. Di samping itu,
15
Diferensiasi Kelamin
Penelitian telah dilakukan untuk mengkaji diferensiasi kelamin (DK) dan
berhasil mengungkap waktu terjadinya DK pada ikan papuyu berdasarkan
pengamatan karakteristik gonad secara histologi. Gambaran histologi gonad ikan
papuyu pada sampel ikan umur 18 hpt (Gambar 5B) menunjukkan posisi sepasang
gonad terlihat menggantung dari dinding peritoneal punggung ke rongga badan,
ditopang oleh sel somatik yang tipis (mesogonium), hal tersebut sesuai dengan
konfirmasi Nakamura (2013). Gambaran gonad yang belum terdiferensiasi
dicirikan dengan adanya sel PGC berbentuk inti tunggal dan bulatan besar yang
dikelilingi oleh sel somatik (Bhatta et. al. 2012b; Tong et al. 2010; Yön dan
Akbulut 2015). Okuthe et al. (2014) menyatakan bahwa GC pada gonad
undifferentiated memiliki karakteristik morfologi sebagai oogonia atau
spermatogonia, namun belum dapat dibedakan secara pasti sebagai ciri testis
maupun ovari. Dalam penelitian ini, karakteristik GC tersebut sesuai dengan
karakteristik gonad pada gambaran histologi gonad sampel ikan umur 10–18 hpt
(Gambar 6) yang masih tergolong berstatus belum terdiferensiasi. Gonad yang
belum terdiferensiasi terbagi dalam dua tipe berdasarkan jumlah GC gonia, yaitu
GC dalam jumlah lebih banyak akan menjadi ovari dan GC dalam jumlah sedikit
cenderung terdiferensiasi menjadi testis (Pandian 2013, Siegfried dan Nüsslein-
Volhard 2008), kecuali pada ikan loach (Misgurnus anguillicaudatus,
Cypriniformes: Cobitidae) yang menunjukkan sedikit GC pada gonad yang
akhirnya terdiferensiasi menjadi ovari (Fujimoto et al. 2010).
Gambaran histologi gonad ikan papuyu umur 20, 21, 23, dan 26 hpt
(Gambar 7) menunjukkan adanya perkembangan daerah genital, lebih banyaknya
jumlah GC, terdapatnya oosit pada fase perinukleolus, dan munculnya struktur
ovarian cavity. Ciri-ciri tersebut merupakan kriteria yang jelas untuk menentukan
status pada fase awal perkembangan gonad sebagai ovari (Nakamura 2013; Arezo
et. al. 2007; Cho et al. 2014). Diferensiasi kelamin terjadi secara fleksibel karena
PGC memiliki tingkat elastisitas yang tinggi terhadap bipotensi seksual (Okutsu et
al. 2006) dan pada tahap perkembangan gonad selanjutnya akan berkembang
menjadi gonad terdiferensiasi saat umur lebih dewasa. Selain dipengaruhi faktor
genetik dan lingkungan (Baroiller et al. 2009, Zhang et al. 2008), proses
diferensiasi juga dikendalikan oleh otak melalui kelenjar pituitari (Piferrer 2011)
yang secara ontogeni telah ada pada masa awal perkembangan larva (de Jesus et
al. 2013). Dalam hal ini, hormon steroid berperan penting dalam proses
diferensiasi kelamin; estrogen endogenus menginduksi terbentuknya ovari, dan
kurang atau ketiadaan estrogen menentukan terbentuknya testis (Murata et al.
17
2011, Guiguen et al. 2010, Ijiri et al. 2008, Kobayashi et al. 2008, Sakai et al.
2008, Hofsten dan Olsson 2005, Nagahama 2005).
Hasil pengamatan dalam penelitian DK pada ikan papuyu ini secara umum
menunjukkan prediksi terjadinya diferensiasi pada umur 18–21 hpt dan menjadi
pertimbangan dalam prosedur sex reversal. Oleh sebab itu, pemberian hormon
secara oral maupun imersi untuk sex reversal pada ikan papuyu harus dilakukan
sebelum ikan berumur 18 hpt. Berkaitan dengan hal ini, larva ikan papuyu sudah
dapat memanfaatkan pakan dari luar pada umur 5–7 hari, dan tahap awal
pemberian pakan serbuk dalam prosedur pembenihannya sudah dapat dilakukan
saat benih berumur 8–11 hpt (Bunasir et al. 2014), sehingga sangat
memungkinkan untuk dilakukan sex reversal secara oral.
Maskulinisasi
Penelitian pemberian MT sebagai hormon sex reversal secara oral dengan
dosis yang berbeda telah dilakukan untuk maskulinisasi ikan papuyu dalam
rangka menghasilkan jantan fungsional. Hasil penelitian memperlihatkan
hubungan antara dosis MT dan rasio jantan cenderung bersifat parabolik dan
puncaknya pada dosis MT 50 mg/kg pakan; dosis hormon MT kurang atau lebih
dari 50 mg/kg pakan menghasilkan rasio jantan yang cenderung menurun
(Gambar 9). Beberapa riset maskulinisasi pada ikan nila telah dilakukan
menggunakan MT dosis 14–70 mg/kg pakan yang diberikan secara oral pada ikan
umur 3–5 hari selama 24–30 hari menghasilkan 95–100% rasio jantan (Phelps dan
Okoko 2011, Asaad et al. 2012, Ferdous dan Ali 2011, Asad et al. 2010). Selain
itu, MT dosis 1 mg/kg pakan yang diberikan pada ikan sturgeon mulai umur tiga
bulan selama 15 bulan menghasilkan 93% ikan jantan (Omoto et al. 2002).
Maskulinisasi tersebut terjadi diduga karena MT menekan proses biosintesis
estrogen saat diferensiasi gonad (Tzchori et al. 2004) sehingga gonad
terdiferensiasi menjadi testis yang melibatkan aktivasi reseptor androgen (Golan
dan Levavi-Sivan 2014) dan penghambatan sintesis estrogen (Piferrer 2011).
Rasio interseks dalam penelitian ini cenderung menurun, dan sebaliknya
individu steril semakin meningkat seiring dengan peningkatan dosis MT. Ciri
kelamin interseks ditandai dengan adanya jaringan testis dan ovari dalam satu
gonad. Penelitian ini memperlihatkan bahwa MT dosis rendah (25 mg/kg pakan)
diduga belum efektif dalam maskulinisasi ikan papuyu (Gambar 9). Individu
interseks juga ditemukan pada ikan mas (Cyprinus carpio) yang diberi perlakuan
MT (Mubarik et al. 2011), gupi (Poecilia reticulata) yang diberi perlakuan
ekstrak tanaman gendola (Basella alba) (Chakraborty et al. 2012), dan individu
interseks yang ditemukan pada benih ikan rainbow trout jantan (Oncorhynchus
mykiss) diduga dikarenakan adanya respons reseptor androgen terhadap paparan
estrogen (Depiereux et al. 2014). Piferrer dan Guiguen (2008) menyatakan bahwa
diferensiasi kelamin selama sex reversal dipengaruhi oleh perbandingan jumlah
absolut antara estrogen dan androgen, serta jenis reseptor steroid.
Hasil penelitian menunjukkan individu steril semakin meningkat seiring
dengan bertambahnya dosis MT. George dan Pandian (1998) melaporkan bahwa
pemberian MT yang melebihi dosis optimal mengakibatkan peningkatan individu
steril, penurunan rasio jantan, dan peningkatan mortalitas ikan target. Munculnya
individu steril secara tak langsung diduga disebabkan adanya respons reseptor
steroid terhadap dosis androgen yang terlalu tinggi (Al-Ablani dan Phelps 2002)
18
Kesimpulan
Setelah pemeliharaan selama 4,5 bulan, ikan papuyu betina terbukti tumbuh
lebih cepat daripada jantan. Pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan
bobot harian ikan papuyu betina pada umur 6 bulan menunjukkan nilai 48% dan
17% lebih tinggi daripada ikan papuyu jantan. Diferensiasi kelamin pada ikan
papuyu yang dipelihara pada suhu 28–30 C terjadi pada umur 18 hari pascatetas.
Maskulinisasi ikan papuyu menggunakan MT dosis 50 mg/kg pakan pada ikan
umur 14 hari pascatetas selama 30 hari menghasilkan rasio jantan 88,9% dan
berpeluang untuk memproduksi ikan jantan fungsional sebesar 61,1%.
Saran
Uji progeni pada populasi ikan papuyu jantan hasil maskulinisasi perlu
dilakukan untuk menentukan individu jantan fungsional sebagai stok induk untuk
menghasilkan benih monoseks betina ikan papuyu secara massal.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP