Laporan
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Individu
dalam Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah
Disusun Oleh:
2. Etiologi
Penyebab penyakit demam berdarah dangue pada seseorang adalah virus
dangue termasuk family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe,
yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada di
Indonesia, dan dilaporkan bahwa serotip virus DEN-3 sering menimbulkan wabah
(Syahruman, 1988). Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang relative
labil terhadap suhu dan faKtor kimiawai lain serta masa viremia yang pendek.
Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh nukleokapsid,
ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung 2 protein yaitu selubung
protein E dan protein membrane M.
3. Patofisiologi
Patofisiologi primer DHF dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas
vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler,
sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume
plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat. (Gubler, 1998). Jika
penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan
cepat, menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada DHF dan
DSS melibatkan 3 faktor, yaitu perunahan vaskuler, trombositopeni, dan kelainan
koagulasi (Soegijanto, 2004).
4. Patogenesis
Virus dangue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
aegypty atau Aedes albopictus dengan organ sasaran adalah organ hepar, nodus
limfaticus, sumsum tulang belakang, dan paru. Dalam peredaran darah, virus
tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. Virus DEN mampu bertahan
hidup dan mengadakan multifikasi dalam sel tersebut. Infeksivirus dangue
dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan
bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponenya.
Setelah terbentuk, virus dilepaskan dari sel. Proses perkembangbiakan sel virus
DEN terjadi di sitoplasma sel. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan
imunitas protektif terhadap serotype tersebut tetapi tidak ada cross protectif
terhadap serotip virus yang lain (Kurane & Francis, 1992).
Beberapa teori mengenai terjadinya DHF dan DSS antara lain adalah:
a. Teori Antigen Antibodi
Virus dangue dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan
antibody, membentuk virus antibody kompleks (komplek imun) yang akan
mengaktifasi komplemen. Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin C3A
dan C5A yang akan merupakan mediator yang mempunyai efek farmakologis
cepat dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan prokoagulant sehingga
menimbulkan kebococran plasma (hipovolemik syok dan perdarahan.
(Soewandoyo, 1998).
b. Teori Infection Enhancing Antibody
Teori ini berdasarkan pada peran sel fagosit mononuclear merangsang
terbentuknya antibody nonnetralisasi. Antigen dangue lebih banyak didapat
pada sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian ini
antibody nonnetralisasi berupaya melekat pada sekeliling permukaan sel
makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel makrofag yang menetapdi
jaringan. Makrofag yang dilekati antibody nonnetralisasi akan memiliki sifat
opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi.
Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan sitokin
yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi. Bahan-bahan mediator
tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan
system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan
perdarahan. (Wang, 1995).
c. Teori mediator
Teori mediator didasarkan pada beberapa hal:
1) Kelanjutan dari teori antibody enhancing, bahwa makrofag yang terinfeksi
virus mengeluarkan mediator atau sitokin. Fungsi dan mekanismme
sitokin kerja adalah sebagai mediator pada imunitas alami yang
disebabkan oleh rangsangan zat yang infeksius, sebagai regulator yang
mengatur aktivasi, proliferasi dan diferensiasi limfosit, sebagai activator
sel inflamasi nonspesifik, dan sebagai stimulator pertumbuhan dan
deferensiasi lekosit matur (Khana, 1990).
2) Kejadian masa krisis pada DHF selama 48-72 jam, berlangsung sangat
pendek. Kemudian disusul masa penyembuhan yang cepat, dan praktis
tidak ada gejala sisa.
3) Dari kalangan ahli syok bacterial, mengambil perbandingan bahwa pada
syok septic banyak berhubungan dengan mediator.
Menurut Suvatte (1977) patogenesis DHF dan DSS adalah masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DHF dan DSS
adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau
hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung
bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus
dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DHF berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus
lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi
yang kemudian berikatan dengan reseptor dari membran sel leokosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh
tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Suvatte, 1977).
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya
virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus
kompleks antigen-antibodi (virus antibody compleks) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi
C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular (Suvatte,
1977).
Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih
dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan
terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak
ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat
berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah
kematian (Suvatte, 1977).
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang
lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu. Virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai
kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar (Suvatte, 1977).
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh
darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DHF. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada
membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat),
sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan factor pembbekuan. Agregasi
trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi factor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DHF diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan
mempercepat syok yang terjadi (Suvatte, 1977).
5. Klasifikasi
WHO (1997) membagi DHF menjadi 4 (Vasanwala dkk, 2011):
a. Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala
klinis (nyeri ulu hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan spontan,
trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.
b. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti
mimisan, muntah darah dan berak darah.
c. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah
rendah (hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar mulut,
hidung dan jari (tanda-tand adini renjatan).
d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4
Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
6. Manifestasi Klinis
a. Demam
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang mendadak
tanpa sebab yang jelas, continue, bifasik. Biasanya berlangsung 2-7 hari
(Bagian Patologi Klinik, 2009). Naik turun dan tidak berhasil dengan
pengobatan antipiretik. Demam biasanya menurun pada hari ke-3 dan ke-7
dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari, telinga dan hidung teraba
dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5. Demam akut (38°-40° C)
dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat gejala penyerta seperti ,
anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala.
Gambar: Kurva suhu pada DHF
b. Perdarahan
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam.
Bentuk perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan
fraglita kapiler meingkat (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kondisi seperti ini
juga dapat dijumpai pada campak, demam chikungunya, tifoid, dll.
Perdarahan tanda lainnya ptekie, purpura, ekomosis, epitaksis dan perdarahan
gusi, hematemesisi melena. Uji tourniquet positif jika terdapat lebih dari 20
ptekie dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian volar termasuk fossa
cubiti.
c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai
ikterus. Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba hingga 2-4
cm di bawah lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik, 2009). Derajat
pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit namun nyeri tekan
pada daerah tepi hati berhubungan dengan adanya perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan ke-
7 sakit. Syok yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya
mempunyai prognosa buruk (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kegagalan
sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat dan lemah disertai
penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan
tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan pasien
terlihat gelisah.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) (≤ 100000/µI)
2) Hematokrit meningkat ≥ 20%, merupakan indikator akan timbulnya
renjatan. Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis pasti
pada DHF dengan dua kriteria tersebut ditambah terjadinya
trombositopenia, hemokonsentrasi serta dikonfirmasi secara uji serologi
hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey, Helsey, 2012).
Gambar: Perubahan Ht, Trombosit, dan LPB dalam perjalanan DHF
d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai
pertimbangan karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan dapat
diperiksa sekaligus berbagai organ pada abdomen. Adanya acites dan cairan
pleura pada pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai alat menentukan
diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh berat misalnya dengan melihat
ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan pancreas.
e. Diagnosis Serologis
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya sensitive
namun tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang
menginfeksi. Antibody HI bertahan dalam tubuh lama sekali (>48 tahun)
sehingga uji ini baik digunakan pada studi serologi-epidemioligi. Untuk
diagnosis pasien, Kenaikan titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut
atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut atau konvalesen daianggap
sebagai presumtif (+) atau di dugan keras positif infeksu dengue yang baru
terjadi (Vasanwala dkk, 2011).
2) Uji komplemen fiksasi (uji CF)
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit dan
butuh tenaga berpengalaman. Antibodi komplemen fiksasi bertahan
beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
3) Uji neutralisasi
Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya
memamkai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu
berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Anti body
neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dengan antibody HI
tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan bertahan lama (>4-
8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama sehingga tidak rutin
digunakan (Vasanwala dkk, 2011).
8. Penatalaksanaan
a.Pre Hospital
Penatalaksanaanprehospital DHF bisa dilakukan melalui 2 cara yaitu
pencegahan dan penanganan pertama pada penderita demam berdarah.
DinasKesehatan Kota Denpasar menjelaskan pencegahan yang dilakukan
meliputi kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu kegiatan
memberantas jentik ditempat perkembangbiakan dengan cara 3M Plus:
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak
mandi / WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2).
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan (M3).
1) Fase Demam
Tatalaksana DHF fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana
DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral
untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan
oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik
kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik
tidak dapat mengurangi lama demam pada DHF. Parasetamol
direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di sederhanakan seperti
tertera pada Tabel 1. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul
sebagai akibat demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis minuman
yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta
larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6
jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan
cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang
masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oiarit. Bila
terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif
selama demam (DepKes RI, 2005).
Tabel 1
Dosisi Parasetamol Menurut umur
Umur (Tahun) Parasetaol (tiap kali pemberian)
Dosis (mg) Tablet (1 tab = 500
mg)
<1 60 1/8
1-3 60-125 1/8-1/4
4-6 125-250 1/4-1/2
7-12 250-500 1/2-1
Tersangka DHF
Gejala Klinis
Demam 2-7 hari
Uji Tourniquet (+) atau perdarahan spontan
Laboratorium: Ht tidak meningkat,
Trombositopenia ringan
9.
10. Pasien tidak dapat minum
Pasien masih dapat minum
11.
Beri Minum banyak 1-2 liter/ hari
12.1 swndok makan tiap 5 menit
atau
Jenis minum: air putih, teh manis,
jus buah, susu, oralit Pasang Infus NaCl 0,9%: dektrose
Bila suhu > 380 C beri Paracetamol 5%(1:3)
Jika kejang beri anti convulsi Tetesan rumatan sesuai Berat badan
Periksa Ht, Hb, tiap 6 jam,
trombosit tiap 6-12 jam
13.
Perbaikan Tidak ada perbaikan
14.
Tidak gelisah Gelisah
Nadi kuat Distress pernapasan
Tekadan Darah stabil Frekuensi nadi
Diuresis Cukup meningkat
HT turun (2x HT tetap tinggi / naik
pemeriksaan) Tekanan nadi < 20
mmHg
Tetesan dikurangi 5 Tanda vital memburuk Diuresis kurang/tidak
ml/kgBB/jam Ht meningkat ada
Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kg BB/jam
Perbaikan
Distress nafas
IVFD stop setelah 24-48 jam Ht naik HT turun
Apabila tanda vital dan Hb Tekanan nadi < 20 mmHg
stabil, diuresis cukup
Perbaikan
Penatalaksanaan DHF Derajat II dan III
Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda Perdarahan
Diuresis Syock belum teratasi
Syok teratasi
Pantau Hb, Ht, trombosit
Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Gambar: Penatalaksanaan DHF derajat II dan III (Sumber: DepKes RI, 2005)
Intervensi :
Intervensi prioritas NIC
1) Autotranfusi pengumpulan dan reinfusi darah yang hilang akibat
perdarahan
2) Pengelolaan elektrolit peningkatan keseimbangan elektrolit dan
pencegahan komplikasi akibat kadar elektrolit serum yang tidak
normal atau tidak diinginkan (misalnya : kalsium, kalium.agnesium,
natrium dan fosfat dalam serum).
3) Pengelolaan cairan : peningkatan dan analisis data paisen untuk
mengatur keseimbangan cairan
4) Pengelolaan hipovolemia : expansi volume cairan intravaskular pada
pasien yang mengalami penurunan volume.
5) Terapi intravena : Pemberian dan pemantauan cairan dan obat
intravena
6) Pengelolaan syok , volume : peningkatan keadekuatan perfusi
jaringan pada pasien yang mengalami masalah volume intravaskular
yang berat
Aktifitas Keperawatan
1) Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
2) Observasi khusus terhadap kehilangan cairan dan elektrolit yang tinggi
3) Pantau perdarahan
4) Identifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap bertambah
buruknya dehidrasi
5) Tinjau ulang elektrolit terutama natrium, kalium dan klorida.
6) Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
7) Pengelolaan cairan (NIC) :
a) Pantau status hidrasi
b) Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan
cairan
c) Pertahankan keakuratan asupan dan keluaran.
Aktivitas kolaboratif :
1) laporkan dan catat keluaran (Output)
2) laporkan abnormalitas elektrolit
3) berikan terapi IV sesuai dengan anjuran
Aktifitas lain
1) bersihkan mulut secara teratur,
2) tentukan jumlah cairan dalam 24 jam
3) tingkatkan asupan orla, pasang kateter bila perlu
4) berikan cairan sesuai indikasi
Intervensi :
Intervensi prioritas NIC
1) Pengobatan demam pengelolaan pasien dengan hipertermia yang
disebabkan oleh faktor-faktor yang bukan dari lingkungan
2) Regulasi suhu mencapai dan atau untuk mempertahankan suhu tubuh
dalam rentang normal
3) Pemantauan tanda vital pengumpulan dan analisis data
kardiovaskluar, respirasi, suhu tubuh untuk menentukan serta
mencegah komplikasi
Aktivitas Keperawatan
1) Pantau aktivitas kejang
2) Pantau hidrasi
3) Pantau tkanan darah dan, nadi dan pernafasan,e
4) Regulasi suhu (NIC) : pantau suhu tubuh minimal tiap 2 jam sesuai
dengan kebutuhan denge pantau warna kulit dan suhu
Aktifitas kolaboratif :
1) Berikan obatantipiretik sesuai dengan kebutuhan
2) Gunakan air jangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh sesuai
dengan kebutuhan
Aktifitas lain :
1) Lepaskan pakaian yang yang berlebihn
2) Anjurkan asupan cairan oral
3) Gunakan selimut
4) Gunakna kompres pada aksila, kening, leher dan lipat paha
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan klien/keluarga tentang penyakit DHF
2) Kaji latar belakang pendidikan klien/ keluarga.
3) Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan obat-obatan
pada klien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
4) Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan dan manfaatnya pada
klien.
5) Berikan kesempatan pada klien/ keluarga untuk menanyakan hal-hal
yang ingin diketahui sehubungan dengan penyakit yang diderita klien.
6) Gunakan leaflet atau gambar-gambar dalam memberikan penjelasan.
2. Saran
a. Diperlukan peran masyarakat dan pemerintah secara luas untuk bersama-
sama menjalankan program-program yang telah dibuat dalam
penanggulangan DHF.
b. Dibutuhkan peran serta perawat Puskesmas sebagai lini terdepan dalam
pencegahan DHF di lingkungan masyarakat dengan deteksi dini dan
peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat terkait DHF.
BAB II
TINJAUAN KASUS
3.1. Pengkajian
A. Identitas
a. Identitas Pasien
Nama : An. S
Umur : 9 tahun
Pendidikan : SD
Pekerjaan : -
Alamat : Kertapati
Nama : Ny. Y
Umur : 36 tahun
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : IRT
Alamat : Kertapati
Hubungan dengan Pasien : Orang tua
B. Riwayat Kesehatan
An.”S” masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri pada ulu hati, nyeri seperti
tidak nafsu makan selama sakit. Pasien mengatakan mual dan muntah setiap
sesudah makan. Muntah 3-4 kali sehari, pasien tampak lemah, mukosa bibir
kering dan pecah- pecah, pasien tampak malas untuk minum, pasien hanya
minum 2 -3 gelas air putih dalam sehari, pasien tampak menahan nyeri skala
nyeri 6
Pasien mengatakan dirinya pernah mengalami sakit seperti ini tetapi pasien
Pasien mengatakan tidak ada keluarga yang mengalami sakit Demam Berdarah
Pasien mengatakan riwayat sebelumnya tidak pernah dirawat di Rumah sakit dan
- Alergi
3 Pola Tidur
- Malam ± 6-7 jam perhari ± 8 jam perhari
- Siang ± 2 jam perhari ± 2-4 jam perhari
5 Personal Hygiene
Mandi 2 kali/ hari 2 kali/hari dengan bantuan
7. Pemeriksaan Fisk :
a. Keadaan Umum : Lemah
c. Tanda-Tanda Vital :
TD : 110 / 60 mmHg
RR : 24 x/menit
Suhu : 38 oC
Sesudah masuk RS 16 Kg
f. Kepala
- Bentuk : Simetris
- Kebersihan : Bersih
- Masalah Keperawatan :
g. Mata
- Bentuk : Simetris
- Penglihatan : Normal
- Pupil : Isokor
- Sclera : Tidak ikterik
h. Telinga
- Bentuk : Simetris
- Pendengaran : Baik
i. Hidung
- Bentuk : Simetris
- Penciuman : Baik
- Kebersihan : Bersih
j. Mulut
- Lidah : Bersih
- Kebersihan : Baik
k. Leher
- Bentuk : Normal
- Gerakan : Aktif
- Kebersihan : Bersih
l. Kulit
- Kebersihan : Bersih
- Bentuk : Simetris
n. Cardiovaskuler
o. Abdomen
- Bentuk : Simetris
p. Genetalia
- Kebersihan : Bersih
q. Ekstremitas atas
- Bentuk : Simetris
sebelah kiri
r. Ekstremitas bawah
- Bentuk : Simetris
s. Data penunjang
Tabel 3.2
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin
Hemoglobin 11,8 L132-17,3 g/dl
P11,7-15,5 g/dl
Leukosit 15,0 5,0-10,0*3/ul
Hitung Jenis
- Basofil 3,0 0,0-2.5%
- Eosinofil 3,0 0,0-7,0%
- Limfosit 32,0 20,0-60,0%
6,0 2.0-15,0%
- Monosit
29 3-15/mnt
- LED 1 jam 100 150-450 K/ul
- Jumlah trombosit
Kimia Klinik
Ureum 10 15-39 mg/dl
Kreatinin 0,6 0,6-1,1 mg/dl
Glukosa darah sewaktu 123 70-105 mg/dl
Asam urat 2,2 2,6-6,0 mg/dl
SGOT 10 < 40 U/L
SGPT 11 < 41 U/L
t. Terapi
- Sanmol : 3 x 1 SM
DO : Peningkatan Suhu
- Pasien tampak menahan Tubuh
nyeri.
- Pasien tampak Mual dan
Muntah H. Phylori
- Skala nyeri 6 Melekat pada epitel
lambung
- TTV :
- TD : 110/60mmHg Menghancurkan
- RR : 24x/m. Nadi : 80x/m, lapisan mukosa sel
Temp : 38 0C. lambung
- Pols : 100 x/mnt
Menurunnya barrier
lambung terhadap
asam lambung dan
pepsin
Menyebabkan difusi
kembali asam
lambung dan pepsin
Inflamasi
Nyeri epigastrium
Nyeri
DO :
- Pasien tampak tidak nafsu Menurunnya sensori
makan. untuk makan
- Porsi makanan yang
disediakan tidak habis.
- Pasien hanya makan 3 Mual , Muntah
sendok makan.
- BB sebelum sakit 18 Kg
Anoreksia
- BB sesudah sakit 16 Kg
Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
DO :
- Pasien tampak lemah. Peningkatan Suhu
- Pasien tampak muntah Tubuh
setelah habis makan
- Mukosa bibir kering dan
pecah – pecah. H. Phylori
Melekat pada epitel
- Pasien tampak malas untuk
lambung
minum.
- Pasien hanya minum 2 -3 Menghancurkan
gelas air putih dalam lapisan mukosa sel
sehari lambung
- Kulit kurang elastis
Menyebabkan difusi
kembali asam
lambung dan pepsin
Erosi mukosa
lambung
Menurunnya tonus
dan peristaltik
lambung
Muntah
3. Nyeri
4. Ketidakefektifan Thermoregulasi
Tabel. 3.4
Intervensi Keperawatan
Tabel. 3.5
Implementasi Keperawatan
Tabel 3.6
Evaluasi Keperawatan
P : Intervensi dilanjutkan
1. Pertahankan intake dan output
adekuat.
2. Monitor status dehidrasi
3. Monitor vital sign sesuai kebutuhan.
4. Monitor masukan/makanan/cairan
dan hitung intake kalori harian.
5. Kaji membran mukosa dan turgor
kulit.
6. Pertahankan kecepatan pemberian
cairan intravena.
7. Kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian obat sesuai dengan
kebutuhan pasien.
2. Ketidakseimbangan nutrisi S : Pasien mengatakan mual pada saat
kurang dari kebutuhan makan serta pasien mengatakan tidak
tubuh berhubungan dengan nafsu makan selama sakit.
tidak nafsu
makan/anoreksia. O:
- Pasien tampak lemah.
- Pasien tampak tidak nafsu makan.
- Porsi makanan yang disediakan tidak
habis, pasien hanya makan 3 sendok
makan.
- Berat badan sebelum masuk RS 61
Kg
- Berat badan seudah masuk RS 58 Kg
P : Intervensi dilanjutkan
1. Identifikasi faktor penyebab mual
dan muntah.
2. Identifikasi faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap hilangnya
nafsu makan pasien.
3. Pantau intake dan output nutrisi
4. Jelaskan pentingnya asupan makan
banyak buah dan sayuran.
5. Ajarkan pasien/keluarga tentang
makanan bergizi.
6. Tawarkan hygiene mulut sebelum
makan.
7. Kolaborasi dengan ahli gizi
mengenai jumlah kalori dan jenis zat
gizi yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan energi.
P : Intervensi dilanjutkan
1. Kaji tanda – tanda vital
2. Kaji nyeri secara komprehensif
berupa lokasi, durasi, karakteristik,
kualitas nyeri
3. Ajarkan pasien tentang tehnik non
farmakologi nyeri dengan nafas
dalam dan relaksasi serta kompres
hangat
4. Memberikan informasi tentang nyeri
yang dialami
5. Kolaborasi dalam pemberian
analgetik
4 Ketidakefektifan S:
termoregulasi berhubungan - Klien mengatakan badannya masih
dengan fluktuasi suhu terasa panas
lingkungan proses, penyakit O:
Data subjektif : - KU : lemah
- Klien mengatakan suhu - TD : 100/60 mmHg
badannya panas sejak 3
- T : 38,5.0 C
hari sebelum masuk
rumah sakit - RR : 22x/menit
Data objektif : - N : 89 x/menit
- Tanda – tanda vital A:
KU : Lemah - Masalah Belum teratasi
TD : 110/60 mmHg P:
T : 38 C Intervensi dilanjutkan
RR : 24x/menit - Monitor suhu sesering mungkin
N : 100x/menit
- Monitor TTV
- Kompres pasien pada bagian prontal
dan aksila
Evaluasi Keperawatan
P : Intervensi dilanjutkan
1. Pertahankan intake dan output
adekuat.
2. Monitor status dehidrasi
3. Monitor vital sign sesuai kebutuhan.
4. Monitor masukan/makanan/cairan
dan hitung intake kalori harian.
5. Kaji membran mukosa dan turgor
kulit.
6. Pertahankan kecepatan pemberian
cairan intravena.
7. Kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian obat sesuai dengan
kebutuhan pasien.
2. Ketidakseimbangan nutrisi
S : S: Pasien mengatakan mual muntah sudah
kurang dari kebutuhan berkurang.
tubuh berhubungan dengan Pasien mengatakan nafsu makan sudah
tidak nafsu mulai ada.
makan/anoreksia
O:
- Pasien tampak tenang.
- Pasien tampak ada nafsu makan.
- Porsi makanan yang disediakan
habis setengah porsi
P : Intervensi dilanjutkan
1. Identifikasi faktor penyebab mual
dan muntah.
2. Identifikasi faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap hilangnya
nafsu makan pasien.
3. Pantau intake dan output nutrisi
4. Ajarkan pasien/keluarga tentang
makanan bergizi.
5. Tawarkan hygiene mulut sebelum
makan.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi
mengenai jumlah kalori dan jenis zat
gizi yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan energi.
P : Intervensi dilanjutkan
1. Kaji tanda – tanda vital
2. Kaji nyeri secara komprehensif
berupa lokasi, durasi, karakteristik,
kualitas nyeri
3. Ajarkan pasien tentang tehnik non
farmakologi nyeri dengan nafas
dalam dan relaksasi.
4. Memberikan informasi tentang nyeri
yang dialami
5. Kolaborasi dalam pemberian
analgetik
.
4 Ketidakefektifan S:
termoregulasi berhubungan - Klien mengatakan badannya masih
dengan fluktuasi suhu terasa panas
lingkungan proses, penyakit O:
Data subjektif : - KU : lemah
- Klien mengatakan suhu - TD : 100/60 mmHg
badannya panas sejak 3
- T : 37,5 C
hari sebelum masuk
rumah sakit - RR : 22x/menit
Data objektif : - N : 89 x/menit
- Tanda – tanda vital A:
KU : Lemah - Masalah teratasi sebagian
TD : 110/60 mmHg P:
T : 38 C Intervensi dilanjutkan
RR : 24x/menit - Monitor suhu sesering mungkin
N : 100x/menit
- Monitor TTV
- Kompres pasien pada bagian prontal
dan aksila
Evaluasi Keperawatan
O:
- pasien tampak tenang
- pasien tidak lagi muntah
- Mukosa bibir lembab
- Kulit elastis
-
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan.
2. Kettidakseimbangan S:
nutrisi kurang dari Pasien mengatakan dirinya
kebutuhan tubuh sudah mulai nafsu makan.
berhubungan dengan tidak
nafsu makan / anoreksia O:
- Pasien tampak tenang
- Pasien tampak nafsu
makan
- Porsi makanan yang
diberikan habis.
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
4. Nyeri berhubungan dengan . S :
iritasi mukosa lambung pasien mengatakan nyeri
sudah tidak terasa.
O:
- pasien tampak rileks/
tenang.
- Skala nyeri 0
- Td : 170/90 mmHg
- Nadi 80 x/menit
- RR : 20 x/m
- Temp : 36,7 0C
A : Masalah teratas
P : Intervensi dihentikan
4 Ketidakefektifan S:
termoregulasi berhubungan - Klien mengatakan
dengan fluktuasi suhu badanya terasa tidak
lingkungan proses, penyakit panas lagi
Data subjektif : O:
- Klien mengatakan suhu - KU : lemah
badannya panas sejak 3 - TD : 100/60 mmHg
hari sebelum masuk
- T : 36 C
rumah sakit
- RR : 22x/menit
Data objektif :
- Tanda – tanda vital - N : 89 x/menit
KU : Lemah A:
TD : 110/60 mmHg - Masalah teratasi
T : 38 C P:
RR : 24x/menit Intervensi dihentikan
N : 100x/menit
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, F.U. 2010. Manajemen demam berdarah berbasis wilayah. Buletin jendela
epidemiologi. 2 (1): 1 – 3
Bagian Patologi Klinik. (2009). Peran pemeriksaan laboratorium dalam diagnose
Demam Berdarah Dengue. RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Barakah, V. F. 2012. Demam Berdarah tidak ada obatnya, Hanya andalkan cairan.
Detik Health. Retrieved from:
http://health.detik.com/read/2012/06/15/143241/1942274/763/ 18 April 2013
Brasier. A. R., Ju. H., Garcia. J., Spratt. H. M., Forshey. B. M., Helsey. E. S. (2012). A
three-component biomarker panel for prediction of dengue hemorraghic fever.
Am. J. Trop. Med. Hyg. 86(2): 341-348.
CDC (Centers for Disease and Prevention). (2010). Dengue Branch.Cañada
SanJuan,PuertoRico.From:http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html
diakses 20 April 2013
Danny, Wiradharma. 2009. Diagnosis cepat demam berdarah dengue. Jurnal
Kedokteran Trisakti., 18 (2): 78 – 79
DepKes, RI.,(2005). Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah
Dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Waspadalah penyakit demam berdarah dengue.
Retrieved from www.denpasarkota.go.id. 18 april 2013.