PITIRIASIS ROSEA
Disusun Oleh :
1102014291
Pembimbing :
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta
pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan
referat ini dengan judul “Pitiriasis Rosea” sebagai salah satu persyaratan mengikuti ujian
kepaniteraan klinik di bagian Kulit dan Kelamin RSU dr. Slamet Garut.
Berbagai kendala yang telah dihadapi penulis hingga referat ini selesai tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang telah diberikan, baik moril maupun
materil, maka selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Hilman
WIldan Latief, SpDV selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu, saran dan kritik kepada
penulis dalam penyelesaian referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini, kesalahan dan
kekurangan tidak dapat dihindari, baik dari segi materi maupun tata bahasa yang disajikan. Untuk itu
penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan yang dibuat. Semoga presentasi kasus
ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca dalam memberikan sumbang pikir dan
perkembangan ilmu pengetahuan di dunia kedokteran.
Akhir kata, dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu merahmati kita
semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Penderita Pitiriasis Rosea dapat mengalami gejala prodromal seperti lemas, mual,
tidak nafsu makan, demam, nyeri sendi dan pembesaran kelenjar limfe, penyakit ini dapat
sembuh dengan sendirinya namun bila diperlukan penanganan terhadap penyakit ini dapat
diberikan terapi suportif, antivirus dan steroid topikal untuk mengurangi rasa gatal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Pitiriasis Rosea ialah penyakit akut yang berasal dari kata pityriasis yang
memiliki artiskuama halus dan rosea yang berarti berwarna merah muda, kelainan ini
berupa timbulnya papuloskuamosa dengan bercak merah dan bersisik yang bisa
muncul di batang tubuhnya, paha atas, atau di daerah bahu yang memiliki gambaran
distribusinya seperti pohon natal. Penyakit ini dapat menyerang segala usia namun
insidensi lebih tinggi ditemukan pada remaja serta dewasa muda dan dapat hilang
dengan sendirinya. Penyebab dari Pitiriasis Rosea belum diketahui namun diduga
human herpes virus HHV 7 atau HHV 6 sebagai penyebab timbulnya erupsi.
2. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya Pitiriasis Rosea masih belum diketahui, walaupun sudah
dikemukakan beberapa dugaan penyebab timbulnya penyakit ini. Sudah lama
dipikirkan bahwa virus sebagai penyebab timbulnya penyakit ini, karena adanya
gejala prodromal yang biasa muncul pada infeksi virus bersamaan dengan munculnya
bercak kemerahan di kulit.
Watanabe dkk melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa Pitiriasis
Rosea merupakan penyakit yang disebabkan oleh HHV-7 dan HHV-6 dengan
mendemonstrasikan replikasi aktif dari HHV-6 dan HHV-7 dalam sel mononuklear
pada lesi kulit, hal ini sama dengan mengidentifikasi virus-virus pada sampel serum
pasien. Erupsi kulit yang timbul dianggap sebagai reaksi sekunder akibat reaktivasi
virus yang mengarah pada terjadinya viremia.
Penelitian baru-baru ini menemukan bukti dari infeksi sistemik aktif HHV-6
dan HHV-7 pada kulit yang kelainan, kulit yang sehat, air liur, sel mononuklear darah
perifer, dan serum dari pasien penderita Pitiriasis Rosea. Terdapat hipotesis bahwa
reaktivasi HHV-7 memicu terjadinya reaktivasi HHV-6. Namun apa yang menjadi
pemicu utama reaktivasi HHV-7 masih belum jelas. Pitiriasis Rosea tidak disebabkan
langsung oleh infeksi virus herpes melalui kulit, tapi kemungkinan disebabkan karena
infiltrasi kutaneus dari infeksi limfosit yang tersembunyi pada waktu replikasi virus
sistemik.
3. EPIDEMIOLOGI
Pitiriasis Rosea terjadi pada seluruh ras yang ada di dunia, sekitar 158,9 kasus
pitriasis rosea dalam 100.000 jiwa setiap tahunnya, prevalensi Pitiriasis Rosea adalah
0,13% pada laki-laki dan 0,14% pada wanita per total penduduk dunia dengan rentang
usia antara 10-34 tahun. Anak-anak berusia 2 tahun dan orangtua berusia diatas 65
tahun jarang mengalami penyakit ini. Pada musim semi dan musim gugur insidensi
pitriasis rosea mengalami peningkatan. Prevalensi terjadinya Pitiriasis Rosea lebih
banyak ditemukan pada golongan sosioekonomi masyarakat kelas menengah dan
yang kurang mampu.
4. HISTOPATOLOGI
Pada Pitiriasis Rosea memiliki gambaran yang khas berupa parakeratosis
fokal,hiperplasia, spongiosis fokal, eksositosis limfosit, akantosis ringan dan
menghilang atau menipisnya lapisan granuler pada lapisan epidermis, sedangkan pada
lapisan dermis tampak ekstravasasi eritrosit serta beberapa monosit.
5. MANIFESTASI KLINIS
Pada beberapa pasien akan muncul gejala seperti sindroma flu (mual,
kehilangan nafsu makan, pusing, demam dan arthalgia). Lesi utama yang muncul
berupa lesi soliter makula eritem atau papul eritem pada batang tubuh atau leher, yang
secara bertahap akan membesar dalam beberapa hari hingga satu minggu dengan
diameter 2-10 cm, berwarna pink salmon, berbentuk oval dengan skuama yang tipis,
lesi ini dinamakan dengan Herald patch/Mother plaque/Medalion. Bila lesi ini
digores pada sumbu panjangnya akan tampak “Hanging curtain sign” (skuama yang
melipat sesuai dengan goresan yang dibuat).
Gambar 2.2 Herald Patch
Herald patch ini akan terdapat pada tubuh kurang lebih satu minggu atau
lebih, dan saat lesi ini akan mulai hilang akan muncul efloresensi lain yang menyebar
dengan cepat, namun kemunculan dan penyebaran efloresensi yang lain dapat
bervariasi dari hanya dalam beberapa jam hingga sampai 3 bulan. Bentuknya
bervariasi dari makula berbentuk oval hingga plak berukuran 0,5-2 cm dengan tepi
yang sedikit meninggi dengan aksis panjangnya sejajar dengan garis kulit dan sejajar
dengan kosta sehingga memberikan gambaran pohon natal yang terbalik. Warnanya
pink salmon (atau berupa hiperpigmentasi pada orang-orang yang berkulit gelap) dan
khasnya terdapat koleret dari skuama di bagian tepinya, dapat pula ditemukan
beberapa lesi berbentuk anular dengan bagian tengahnya yang tampak lebih tenang.
6. DIAGNOSIS
Diagnosa Pitiriasis Rosea ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Pada anamnesa perlu ditanyakan kapan munculnya erupsi dan ada tidaknya gejala seperti
sindroma flu. Pada pemeriksaan fisik harus didapatkan adanya papiloeritroskuamosa dan
pada pemeriksaan klinis minimal terdapat dua lesi dari tiga kriteria di bawah ini:
Makula berbentuk oval atau sirkuler.
Skuama menutupi hampir semua lesi.
Terdapatnya koleret pada tepi lesi dengan bagian tengah yang lebih tenang.
7. DIAGNOSIS BANDING
a. Sifilis sekunder
Penyakit yang disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan lanjutan dari sifilis
primer yang timbul setelah 6 bulan timbulnya chancre. Gejala klinisnya berupa lesi
kulit dan lesi mukosa. Lesi kulitnya non purpura, makula, papul, pustul atau
kombinasi, walaupun umumnya makulopapular lebih sering muncul disebut makula
sifilitika. Perbedaannya dengan Pitiriasis Rosea adalah sifilis memiliki riwayat
primary chancre (makula eritem yang berkembang menjadi papul dan pecah
sehingga mengalami ulserasi di tengah ) berupa tidak ada herald patch, limfadenopati,
lesi melibatkan telapak tangan dan telapak kaki, dari tes laboratorium VDRL (+).
b. Tinea korporis
Merupakan penyakit yang disebabkan oleh dermatofit Trichophyton. Gejala klinisnya
adalah gatal, eritema yang berbentuk cincin dengan pinggir berskuama dan
penyembuhan di bagian tengah. Perbedaan dengan Pitiriasis Rosea adalah pada Tinea
korporis, skuama berada di tepi, plak tidak berbentuk oval, dari pemeriksaan
penunjang didapatkan hifa panjang pada pemeriksaan KOH 10%.
c. Dermatitis numuler
Ditandai dengan plak berbatas tegas yang berbentuk koin ( numuler ) dan dapat
ditutupi oleh krusta. Kulit sekitarnya normal. Predileksinya di ekstensor. Perbedaan
dengan Pitiriasis Rosea adalah pada Dermatitis Numuler, lesi berbentuk bulat, tidak
oval, papul berukuran milier dan didominasi vesikel serta tidak berskuama.2
d. Psoriasis gutata
Perbedaan dengan Pitiriasis Rosea adalah pada Psoriasis gutata, aksis panjang lesi
tidak sejajar dengan garis kulit, skuama tebal.
8. TATALAKSANA
Bedasarkan penelitian Drago dan kawan-kawan tatalaksana pitriasis rosea adalah
9. PROGNOSIS
Prognosisnya baik dan merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya,
umunya Pitiriasis Rosea terjadi selama 4-10 minggu, dapat terjadi kekambuhan terhadap
penyakit ini namun sangat jarang terjadi.
10. KOMPLIKASI
Satu hingga tiga pasien dapat mengalami gelisah dan depresi. Ibu hamil yang
mengalami pitriasis rosea dapat terjadi prematuritas namun tidak didapatkan cacat pada
kelahirannya. Tidak didapatkan komplikasi bermakna dari penyakit ini
BAB III
KESIMPULAN
Pitiriasis rosea merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya dan
ditandai dengan gejala sindroma flu seperti lemas, mual, tidak nafsu makan, demam,
nyeri sendi dan pembesaran kelenjar limfe, didapatkan lesi berbentuk plak oval eritem
(herald patch) dengan skuama yang halus dan berukuran 2 hingga 4 centimeter yang
terdistribusi dengan gambaran seperti pohon natal terbalik. Penyakit ini belum
diketahui penyebab pastinya namun HHV-6 dan HHV-7 diduga sebagai penyebabnya.
Pitiriasis rosea dapat ditangani dengan edukasi yang baik pada pasien, teknik mandi
dengan cara colloidal bath, pemberian kortikosteroid topikal, antihistamin oral,
acyclovir oral 5 X 800 mg selama satu minggu, erythromycin dan fototerapi. Tidak
didapatkan komplikasi yang berbahaya pada penyakit ini sehingga memiliki prognosis
yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Broccolo F, Drago F, Careddu AM, et al. Additional evidence that pityriasis rosea is
associated with reactivation of human herpesvirus-6 and -7. J Invest Dermatol. 2005;
124:1234-1240.
2. Djuanda Adhi. Dermatosis Eritriskuamosa. Dalam: Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar,
Aisah Siti, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; edisi ke-5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2007: 189-200.
3. Drago F, Ciccarese G, Rebora A, Parodi A. Relapsing pityriasis rosea. Dermatology.
2014;229(4):316-318.
4. Drago F, Broccolo F, Javor S, Drago F, Rebora A, Parodi A. Evidence of human
herpesvirus-6 and -7 reactivation in miscarrying women with pityriasis rosea. J Am
Acad Dermatol. 2014;71(1):198-199
5. Rosen T. Gonorrhea, mycoplasma, and vaginosis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, et al. editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine 8th ed. New York: McGraw-Hill companies; 2012. p. 458-463.
6. Siregar, R. (2004). Atlas Saripati Kulit Ed.3. Jakarta: EGC
7. Stulberg, D. L., Jeff W. Pityriasis Rosea. Am Fam Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91.