Anda di halaman 1dari 3

I.

Tonsilofaringitis
i. Definisi
Faringitis secara luas menyangkut tonsillitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis.
Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya yang ditandai dengan keluhan nyeri tenggorok
(Roni et al., 2008).

ii. Etiologi
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada anak berusia ≤
3 tahun. Virus penyebab penyakit respiratori seperti adenovirus, rhinovirus, dan virus
parainfluenza dapat menjadi penyebabnya. Streptococcus beta hemolitikus grup A
(SBHGA) adalah bakteri terbanyak penyebab penyakit faringitis atau tonsilofaringitis
akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% pada anak sedangkan pada dewasa hanya sekitar
5-10% kasus.mikroorganisme seperti klamidia dan mikoplasma dilaporkan dapat
menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi (Roni et al., 2008).
Faringotonsilitis kronik memiliki faktor predisposisi berupa radang kronik di faring,
seperti rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi uap dan
debu, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik,
dan pengobatan tonsillitis akut sebelumnya yang tidak adekuat (Rusmarjono et al., 2007).

iii. Patogenesis
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan
mukosa nasofaring dan orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi,
serta melalui makanan merupakan cara penularan yang kurang berperan. Penyebaran
SBHGA memerlukan penjamu yang rentan dan difasilitasi dengan kontak yang erat (Roni
et al., 2008; Simon et al., 2016).
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang
kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Sebagian besar peradangan melibatkan
nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari
agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokal sehingga menyebabkan
eritem faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptococcus ditandai dengan invasi lokal
serta penglepasan toksin ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus dan SBHGA lebih
banyak terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung atau droplet dibandingkan
kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu 24-72 jam (Roni
et al., 2008; Rusmarjono et al., 2007).
iv. Manifestasi Klinik
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri tenggorokan
dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan
oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Selain itu
juga didapatkan demam tinggi dan nyeri tenggorok. Gejala seperti rhinorrea, suara serak,
batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien
rhinitis dapat ditemukan pada anamnesa.
Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut streptococcus
menunjukkan tanda infeksi streptococcus yaitu eritem pada tonsil dan faring yang disrtai
pembesaran tonsil. Faringitis streptococcus sangat mungkin jika dijumpai gejala seperti
awitan akut disertai mual muntah, faring hiperemis, demam, nyeri tenggorokan, tonsil
bengkak dengan eksudasi, kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri, uvula
bengkak dan merah, ekskoriasi hidung disertai impetigo sekunder, ruam skarlatina, petekie
palatum mole (Roni et al., 2008; Behrma et al., 2000).
Tanda khas faringitis difteri adalah membrane asimetris, mudah berdarah, dan
berwarna kelabu pada faring. Pada faringitis akibat virus dapat ditemukan ulkus di palatum
mole, dan dinding faring serta eksudat di palatum dan tonsil. Gejala yang timbul dapat
menghilang dalam 24 jam berlangsung 4-10 hari dengan prognosis baik (Roni et al., 2008).

v. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah melalui
pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Pada saat ini terdapat metode cepat mendeteksi
antigen streptococcus grup A dengan sensitivitas dan spesivitas yang cukup tinggi (Roni
et al., 2008; Behrma et al., 2000).

vi. Penatalaksanaan
Tujuan dari pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi gejala dan mencegah
terjadinya komplikasi (Behrma et al., 2000). Faringitis streptococcus grup A merupakan
faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotik.
Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif yang dapat
diberikan. Pemberian obat kumur dan obat hisap pada anak cukup besar dapat mengurangi
gejala nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri berlebih atau demam dapat diberikan
paracetamol atau ibuprofen (Roni et al., 2008).
Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut streptococcus grup A adalah penisislin V
oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin penisilin G IM dosis
tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB<30 kg) dan 1.200.000 IU (BB>30 kg). Amoksisilin
dapat digunakan sebagai pengganti pilihan pengganti penisislin pada anak yang lebih kecil
karena selain efeknya sama amoksisilin memiliki rasa yang enak. Amoksisilin dengan
dosis 50 mg/kgBB/ hari dibagi 2 selama 6 hari (Roni et al., 2008). Selain itu eritromisin
40mg/kgBB/hari, Klindamisin 30 mg/kgBB/hari, atau sefadroksil monohidrat 15
mg/kgBB/hari dapat digunakan untuk pengobatan faringitis streptococcus pada penderita
yang alergi terhadap penisilin (Behrma et al., 2000).
Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk mengurangi
frekuensi tonsillitis rekuren. Indikator klinis yang digunakan adalah Children’s Hospital
of Pittsburgh Study yaitu tujuh atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi
dengan antibiotik pada tahun sebelumnya, lima atau lebih episode infeksi tenggorok yang
diterapi antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau lebih episode
infeksi tenggorok yang diterapi dengan antibiotik selama 3 tahun sebelumnya.
Adenoidektomi sering direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada otitis media kronis
dan berulang. Indikasi tonsiloadenektomi yang lain adalah bila terjadi obstructive sleep
apneu (OSA) akibat pembesaran adenotonsil (Roni et al., 2008; Rusmarjono et al., 2007;
Behrma et al., 2000).

vii. Komplikasi
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Kompilkasi biasanya
menggambarkan perluasan infeksi streptococcus dari nasofaring. Beberapa kasus dapat
berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri dan virus dapat
ditemukan komplikasi ulkus kronik yang luas. Komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat
perluasan langsung atau secara hematogen. Akibat perluasan langsung dapat terjadi
rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis servikal, abses retrofaringeal atau faringeal,
atau pneumonia. Penyebaran hematogen SBHGA dapat mengakibatkan meningitis,
osteomielitis, atau arthritis septic, sedangkan komplikasi non supuratif berupa demam
reumatik dan gromerulonefritis (Roni et al., 2008; Sudarmo et al., 2008).

Anda mungkin juga menyukai