Anda di halaman 1dari 3

Nama : Christina Sonia Wibowo

NIM : 102016197

Kelas : E-F (E)

Perlukah Euthanasia?

Sampai saat ini, Euthanasia masih sering dianggap sebagai suatu pembunuhan dan ilegal
dalam praktik kedokteran. Walau begitu, timbul perspektif bahwa euthanasia diperlukan
dalam beberapa situasi. Tetapi, untuk persoalan dibenarkan/dibolehkan dan tidaknya
euthanasia dalam suatu wilayah, masih menjadi polemik dengan adanya berbagai sudut
pandang yang melihat secara moral maupun kebenaran ilmunya.

Dalam bahasa Yunani, eu artinya baik dan thanatos berarti mati atau meningal. Sehingga
euthanasia adalah mati cepat tanpa derita. Arti istilah euthanasia lalu berkembang sebagai
pengakhiran kehidupan karena belas kasihan (mercy killing) dan membiarkan seseorang
untuk mati (mercy death), atau sebagai a good or happy death.1

Sedangkan Belanda, sebagai salah satu negara yang mengizinkan praktik euthanasia,
mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group
dari KNMB (Ikatan Dokter Belanda) : ”Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan
sesuatu untuk memperpanjang hidup sesorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk
kepentingan pesien sendiri.”2

Dilihat dari pengertian-pengertian diatas, terlihat bahwa euthanasia merupakan sesuatu


yang baik yang membawa keuntungan bagi si pasien yang menderita. Euthanasia dinilai telah
meringankan penderitaan bagi seseorang yang memang meminta euthanasia.

Secara umum, euthanasia dibagi menjadi 3 jenis yaitu: Euthanasia aktif adalah secara
sengaja melakukan tindakan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seseorang,
Euthanasia pasif adalah dengan sengaja tidak melakukan tindakan untuk memperpanjang
hidup seseorang, dan Auto-euthanasia adalah seseorang menolak dengan tegas segala tindak
pengobatan walau ia tahu hal itu dapat perlahan mengakhiri hidupnya. 1

Bagi jenis-jenis euthanasia selain auto-euthanasia atau selain seseorang meminta sendiri
untuk diakhiri hidupnya, memang dapat membuat stigma bahwa euthanasia adalah
pembunuhan. Banyak negara yang masih melarang euthanasia dengan pertimbangan bahwa
siapapun tidak berhak mencabut nyawa orang lain. Bahkan euthanasia yang didasari oleh
permintaan pasien pun tetap dapat dianggap salah.

Lalu bagaimana dengan hukuman mati dan pengambilan organ untuk transplantasi?
Hukuman mati dikenakan pada orang yang dirasa telah melakukan kejahatan sangat berat dan
dirasa pantas atau lebih baik dibinasakan. Bukankah hal tersebut juga adalah pembunuhan?
Hal pengambilan organ pun sama. Dalam ilmu kedokteran, jika ingin mengambil organ dari
tubuh seseorang, haruslah jantung orang itu masih berdetak agar organnya tidak rusak. Jadi,
kalau patokan konsep tentang kematiannya adalah berhentinya fungsi jantung, maka
pengambilan organ tersebut bisa dikatakan euthanasia. Tetapi, patokan konsep tentang
kematian berbeda-beda di setiap negara. Ada yang mengatakan berhentinya aliran darah, ada
yang mengatakan berhentinya fungsi jantung, ada juga yang mengatakan berhentinya fungsi
otak dan batang otak (brain dead), dll.

Yang menjadi persoalan adalah bolehkah kita melakukan euthanasia, walaupun sudah
mendapat persetujuan dari orang yang akan di-euthanasia? Dalam hal ini, saya berpendapat
bahwa euthanasia boleh dan perlu dalam kondisi tertentu. Bila kita terlalu idealis pada etika
deontologis, maka hal pengambilan organ akan menjadi sia-sia. Seseorang tadinya hendak
mendonorkan organnya untuk orang lain, tapi organnya menjadi tidak bisa didonor karena
wilayah tempat ia diambil organnya tidak membolehkan pengambilan organ sebelum orang
itu benar-benar mati. Lalu orang-orang yang merasa begitu menderita dengan penyakitnya
atau yang merasa lebih baik mati daripada menunggu ajal dengan penderitaan, euthanasia
juga dapat dibolehkan. Mungkin untuk mengurangi stigma masyarakat tentang “euthanasia
adalah membunuh”, maka kita bisa memberikan konsultasi, perawatan, pengobatan, dan
lainnya untuk orang dengan penyakit yang berat dan menyiksa. Jika memang dirasa sudah
tidak ada alternatif lain, dan segala usaha telah dicoba namun orang ini masih merasa tersiksa,
lebih baik kita memberikan euthanasia yang ia inginkan sebagai jalan terakhir. Karena jika
kita memaksakan hal-hal yang tidak ia inginkan, kita malah menambah penderitaan orang itu
yang akan menambah rasa ingin mati orang tersebut. Yang penting adalah adanya persetujuan
tertulis dan legal dari yang mengajukan euthanasia dan orang yang akan membantu proses
tersebut.

Euthanasia sering dirumuskan sebagai mati cepat tanpa derita. Moralitas manusia
membawa penilaian buruk tehadap euthanasia. Namun, dengan melihat sisi situasi, beberapa
negara akhirnya membolehkan euthanasia. Jadi, dengan melihat situasi, dan dengan
persetujuan tertulis dan legal, seharusnya euthanasia bisa dijadikan jalan terakhir untuk
meringankan penderitaan seseorang.

Daftar Pustaka :

1. Achadiat Chrisdiono M. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan


Zaman. Jakarta: EGC; 2006. h. 182-181
2. Hanafiah M J, Amir Amri. Buku Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Edisi 4.
Jakarta: EGC; 2009. h. 105

Anda mungkin juga menyukai