Untuk Apa DPD PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 96

Bagian Pertama

Jalan Berlubang
Menuju DPD RI

Sidang BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia


Pusat) di Malang, Februari 1947.
(Foto: Ipphos)
Untuk Apa DPD RI

Jalan Berlubang
Menuju DPD RI

“...Pekerjaan kita sekarang tidak menghadapi masa romantik,


tapi prosa yang di sana-sini ada juga puisinya. Untuk itu perlu
menyusun, membanting tenaga, sedangkan hasilnya tidak akan
diperoleh sekaligus, ia akan diperoleh berangsur-angsur...”
(Muhammad Hatta: 1950).1

Latar Belakang

Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik


Indonesia (RI) tidak terlepas dari pelbagai latar belakang
persoalan lembaga-lembaga negara di Indonesia. Hal ini
tentunya dimaksudkan untuk mendapatkan sistem kelembagaan
politik yang pas dan sesuai dengan kondisi masyarakat

3
Untuk Apa DPD RI

Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan komposisi


etnis yang beragam, bahasa ibu yang berbeda, agama yang
berlainan, serta persebaran penduduk yang menghuni
kawasan pulau-pulau kecil sampai gunung-gunung tinggi,
rasanya mustahil satu sistem kelembagaan politik saja
akan mampu menampung seluruh perbedaan itu.
Pengelompokan dan penumpukan kekuasaan politik hanya
pada satu lembaga politik saja akan langsung
memunculkan penciutan peran lembaga politik lainnya.
Untuk menjelaskan soal ini tentulah tidak mudah. DPD
RI baru berumur setahun jagung, tetapi harapan atas
perannya setinggi gunung. Apalagi persoalan-persoalan
yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia semakin dalam
dan beragam, sebagiannya muncul dari hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang belum
harmonis. Atas dasar itulah DPD RI diusahakan lahir,
sekalipun belum melalui proses penelitian yang lama dan
proses penampungan aspirasi yang terukur.
Akan tetapi, sekalipun masih tertatih-tatih dengan
persoalan eksternal dan internal, keberadaan DPD RI ini
patutlah diinformasikan kepada publik. Masyarakat haruslah
mendapatkan informasi menyangkut apa yang dilakukan oleh
DPD RI, bagaimana DPD RI mengorganisasikan dirinya,
serta mengapa DPD RI belum mampu memberikan hasil
maksimal sesuai dengan harapan rakyat. Atas dasar itulah,
diperlukan pemaparan yang bersifat filosofis sampai teknis,
agar masyarakat menyadari betapa DPD RI sudah berupaya
melakukan tugas dan wewenangnya dengan serius, sekalipun
masih menghadapi banyak kendala menyangkut dasar
kelahirannya dan masa depan keberadaannya.

4
Untuk Apa DPD RI

Filosofis

Plato dan Aristoteles sepakat bahwa negara ada dan


terbentuk bukan ditujukan untuk negara itu sendiri. Negara
ada untuk manusia yang menjadi warganya. Warga negara
dalam konteks ini artinya warga negara secara keseluruhan
tanpa terkecuali.
Sebagai sebuah bentuk persekutuan hidup politis (he
koninonia politike), negara adalah bentuk yang paling
tinggi karena merupakan perkembangan terakhir dari
persekutuan hidup manusia. Oleh sebab itulah Aristoteles
kemudian menegaskan bahwa negara semestinya memiliki
tujuan yang tertinggi, paling mulia, dan terluhur di
banding persekutuan hidup lainnya.2 Konsekuensinya,
negara haruslah senantiasa mengupayakan kebaikan
tertinggi, bukan saja sekadar kebaikan semata-mata tetapi
kebaikan yang semaksimal mungkin bagi para warganya.
Kebaikan yang semaksimal mungkin ini dapat berarti
kehidupan yang aman, tenteram dan sejahtera. Melalui
keamanan, ketenteraman dan kesejahteraan maka manusia
akan mencapai tingkat kesempurnaan jati dirinya sebagai
manusia. Dengan kata lain, tujuan ideal adanya negara tak
lain adalah untuk ’memanusiakan manusia’.
Secara kodrati, manusia adalah makhluk yang hidup dalam
negara. Jika tidak demikian maka manusia belumlah bisa
disebut beradab. Aristoteles menyebut hal ini dengan istilah
politikon zoon3. Artinya, makhluk hidup yang hidup dalam
negara kota (polis). Awal mulanya adalah hubungan antar
individu laki-laki dan perempuan yang kemudian menjadi
keluarga, terus tumbuh dalam ikatan kelompok dalam suatu

5
Untuk Apa DPD RI

tempat, membentuk desa, kemudian menyatukan diri dalam


sebuah region, wilayah yang lebih luas dan akhirnya
berkembang menjadi sebuah bangsa dan terbentuklah negara.
Polis atau negara kota di sini menyiratkan makna tentang
peradaban, yaitu sarana manusia untuk mencukupi
kebutuhannya sendiri (autarkeia, swasembada) dalam
berbagai bidang, baik itu di bidang ekonomi, politik, sosial,
budaya, bahkan seluruh aspek kehidupan.
Namun, dalam kenyataannya, banyak negara yang gagal
mencapai tujuan idealnya. Terdapat cukup banyak contoh,
ketika sejumlah negara tidak sanggup melaksanakan tugasnya
untuk memberikan keamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan
warganya. Kenapa ini bisa terjadi? Kegagalan dan
ketidaksanggupan ini terjadi tak lain karena negara tersebut
belum memiliki sistem pemerintahan yang baik dan cocok bagi
sekelompok manusia yang menjadi warganya. Dengan kata lain,
tata pemerintahan yang buruk akan gagal melaksanakan tujuan
idealnya untuk ’memanusiakan manusia’.
Untuk Indonesia, kegagalan pencapaian tujuan-tujuan
bernegara yang sudah termaktub dalam pembukaan UUD 1945
lebih banyak terletak pada kesalahan penyelenggaraan negara
dan penyelewengan aparatur negara. Sejak proklamasi
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, lebih dari 60 tahun
yang lalu, negara Republik Indonesia menghadapi banyak
tantangan eksternal dan internal. Sehingga, nasib warga negara
menjadi agak terabaikan. Upaya membangun negara (state
building) dan membangun bangsa (nation building) yang
dilakukan oleh founding fathers and mothers (ibu dan bapak
pertiwi pendiri bangsa) untuk tahapan pertama pada akhirnya
mengabaikan pembangunan manusia Indonesia sendiri.

6
Untuk Apa DPD RI

Negara seakan berjalan sendirian. Negara seperti


berada dalam ketiak penyelenggara negara, terutama yang
berada di ibukota negara, Jakarta. Bukan malah mencoba
untuk melakukan berbagai konsolidasi pemerintahan demi
tercapainya tujuan-tujuan penyelenggaraan negara, justru
para penyelenggara negara itu saling sikut dan telikung.
Pemerintahan pun jatuh bangun. Perubahan posisi dari
sekadar pemimpin dalam ranah ideologis dan penguasa
dalam kerajaan-kerajaan kecil yang bertebaran sebelum
dan setelah kemerdekaan4 menjadi pemerintah dalam
negara yang begitu besar dan majemuk, malahan
memunculkan nafsu kekuasaan yang semakin tak terbatas.
Warga negarapun terabaikan. Sebagian malah terbunuh
dalam perang yang tidak perlu dan pertikaian penuh nafsu.
Pembelahan di tingkat penyelenggara negara
memunculkan kehancuran peradaban, kebudayaan dan
kemanusiaan. Jembatan-jembatan diruntuhkan, jalan-jalan
dihancurkan, pohon-pohon ditebang, peluru-peluru
ditembakkan, panah dan tombak meluncur deras mengenai
manusia-manusia Indonesia. Tragedi demi tragedi muncul
secara berulang. Traumapun tertanam dalam relung batin
manusia Indonesia dan sulit untuk disembuhkan.
Terlalu terpusatnya kekuasaan ditangan negara menyebabkan
posisi warga negara selalu rawan. Atas dasar itulah muncul
keinginan untuk membatasi kekuasaan negara. Hal ini tentulah
tidak mudah, karena negara sudah telanjur membesar dan
meraksasa. Pembatasan itu hanya bisa dilakukan lewat pembuatan
lembaga negara lain yang sejajar dengan pemerintah dan parlemen.
Kehadiran DPD RI berada dalam wilayah itu.
Tujuan kelahirannya secara filosofis lebih didorong oleh

7
Untuk Apa DPD RI

kepentingan mewarnai kebijakan pemerintahan nasional dengan


memberikan ruang baru bagi kepentingan masyarakat daerah.
Pengertian daerah di sini tentu bukanlah daerah per daerah,
melainkan wilayah geokultural dalam bingkai yang majemuk.
Namun, karena pembentukan DPD RI sendiri dilalui lewat
proses yang elitis, maka disain awalnya baru bersifat
akomodasionis semata, bukan berdasarkan kesadaran tinggi
betapa peran negara yang terpusat harus dibatasi.
Kesenjangan pemaknaan atas hal ini dalam diri pelaku-
pelaku amandemen UUD 1945 akhirnya melahirkan bentuk
DPD RI yang belum ideal. Hal inilah yang kemudian
memunculkan pelbagai sikap sinis dan kurang berkenan dari
lembaga negara lain, bahkan dari anggota masyarakat sendiri
yang belum banyak mengetahui persoalan internal dan
eksternal yang dihadapi oleh lembaga negara baru ini.

Pemaknaan Atas Ruang

Tatkala para penggagas kebangsaan Indonesia modern mulai


mencetuskan ide-ide mereka pada awal abad kesembilan belas,
proses pencarian jati diri dan hakikat kebangsaan pun sudah
mulai bersemi. Awalnya kita mengadopsi istilah “Indonesia”
yang dituliskan ilmuwan asal Jerman Adolf Bastian (1864).
Istilah ini selanjutnya tumbuh sebagai identitas bersama dan
menjadi sebuah cita-cita kolektif kebangsaan.
Setelah itu, untuk mewadahi komunikasi unsur-unsur
kebangsaan yang beraneka ragam dan warna, bahasa Melayu
dialek Riau kemudian diusung sebagai bahasa pemersatu.
Bahasa yang berakar dari zaman Sriwijaya ini, yang kemudian
tumbuh menjadi lingua franca Austronesia, dan dikembangkan

8
Untuk Apa DPD RI

menjadi bahasa literer di Aceh, akhirnya mengalami


pembakuan klasik di Riau. Hasil garapan para intelektual
modern, khususnya dari Sumatera Barat serta kontribusi
penting tokoh-tokoh yang berlatar suku berbeda, akhirnya
berhasil mewariskan sebuah bahasa modern dalam lingkup
negara, yakni Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah aset kebangsaan kita yang paling
penting, paling nyata, dan paling menentukan. Dan, jika kita
punya cukup alasan bahwa bangsa kita tidak akan pecah
berantakan, sebagian besar adalah karena keberhasilan kita
mengembangkan bahasa nasional itu. Dapat dibayangkan
betapa sulitnya mempersatukan dan mendekatkan hubungan
antarsuku yang memiliki alat komunikasi berbeda-beda.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, kehadiran
Bahasa Indonesia dapat diterima oleh seluruh suku bangsa
dengan tangan terbuka. Sampai saat ini Bahasa Indonesia
terbukti efektif sebagai alat komunikasi nasional bagi kurang
lebih 500-an suku bangsa di Indonesia dan belum pernah
terdengar berita tentang penolakan penggunaan Bahasa Indo-
nesia sebagai bahasa nasional. Kalaupun masih banyak suku
bangsa yang menggunakan bahasa ibunya dalam pergaulan
sehari-hari, namun terdapat kesadaran penuh untuk
menggunakan bahasa Indonesia apabila menemukan penduduk
lainnya yang tidak bisa menggunakan bahasa ibu itu.
Akan tetapi alasan adanya Bahasa sebagai alat pemersatu
tentu bukanlah jaminan mutlak. Yang akan lebih menjamin
masa depan kita ialah pelaksanaan sungguh-sungguh tujuan
negara yaitu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia dan implementasi yang konsekuen atas prinsip-
prinsip multikultural yang disemangati Bhineka Tunggal Ika.

9
Untuk Apa DPD RI

Sebagaimana ditulis oleh negarawan Nurcholis Madjid, dengan


bahasa Melayu sebagai sahamnya, meminjam jargon dalam
dunia komputer, Sumatera dan Luar Jawa pada umumnya telah
menyediakan “perangkat lunak” (software) bagi hakikat
kemanusiaan. Sedangkan Pulau Jawa, yang selalu berperan
sebagai pusat kekuasaan dalam ukuran besar dan luas,
menyediakan “perangkat keras” (hardware) baginya.5
Atas dasar itu, pemaknaan atas ruang menjadi penting.
Selama ini, pembabakan sejarah nasional Indonesia selalu
terorientasi atas waktu. Waktu seolah menjadi sangat
penting dan utama, sehingga kita terkungkung dalam
periodesasi, angkatan demi angkatan, sampai soal-soal
seperti senioritas dan junioritas. Selain itu, kita juga
terpenjara oleh persoalan mayoritas dan minoritas, baik
dari segi komposisi penduduk, agama, partai politik, dan
soal-soal bersifat kuantitatif lainnya. Pemerataan
pembangunan, misalnya, menjadi terbengkalai oleh
konsep pertumbuhan yang hanya mengejar akumulasi
modal dalam skala banyak, namun hanya terkonsentrasi di
beberapa orang dan daerah pertumbuhan.
Padahal, masyarakat mempunyai pemahaman tersendiri atas
waktu. Waktu tidak semata-mata hanya menyangkut soal klaim
kesejarahan yang berlangsung di seputaran elite, melainkan juga
menyangkut masyarakat itu sendiri. Peristiwa yang dianggap
penting tidak hanya berlangsung di tingkat penyelenggara
negara, melainkan di tengah masyarakat itu sendiri. Kelahiran
adalah peristiwa penting yang selalu memberikan harapan bagi
satu orang ibu, keluarga, tetangga, sampai orang lain. Kematian
juga selalu membawa kesedihan. Dari sinilah muncul nama-
nama, pengalaman, kehidupan,

10
Untuk Apa DPD RI

kesengsaraan, kebahagiaan, dan berbagai rasa yang tidak


semua orang bisa mengerti dan memahaminya.
Pada suatu tempat, dalam suatu masa, terdapat banyak
rangkaian peristiwa yang memberi makna bagi satu atau
sekelompok orang. Hal inilah yang sering diabaikan oleh negara
yang memusat. Kehadiran DPD RI sebetulnya memberi jalan
bagi pemaknaan atas ruang itu. DPD RI dimaksudkan untuk
mengingatkan pemerintah nasional dan parlemen nasional,
betapa segala sesuatu bisa berjalan sangat berbeda, bahkan
kontradiktif, dengan apa yang berlangsung di seputaran elite.
Bukan berarti nafas nasionalisme akan berhenti, apabila
semakin banyak orang mengatakan perbedaannya. Tidaklah
mungkin aparatur negara bisa mencapai seluruh manusia
Indonesia, karena banyak keterbatasan yang dimiliki.
Walaupun DPD RI belum mencapai tingkat ideal itu,
paling tidak sudah ada usaha untuk memberikan makna atas
ruang ini. DPD RI menelorkan sejumlah keputusan penting,
termasuk pengenalan atas wilayah perbatasan, sesuatu yang
kurang dimaknai oleh pemerintahan pusat selama ini. DPD
RI juga mengarahkan cara berpikir lembaga-lembaga negara
lainnya untuk selalu memperhatikan ruang atau wilayah atau
tempat ini. Adanya pemahaman yang menyeluruh atas ruang
ini akan memberikan panduan tentang peta persoalan yang
sebenarnya yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Kalau
tujuan bernegara hanya memberikan kompas dalam
perjalanan kapal besar Indonesia, maka pemaknaan atas
ruang ini memberikan sinyal tentang karang, ombak, ikan,
badai dan gelombang.

11
Untuk Apa DPD RI

Historis

Dilihat dari sejarah perkembangan konsepnya, bangsa


Indonesia dapat dikatakan masih di tengah proses pertumbuhan
dan penjadiannya. Indonesia adalah suatu bangsa yang sedang
menjadi, a nation in making. Bahkan, sebagian penulis
menyebut Indonesia masih sedang menanti, a nation in waiting.
Seolah, Indonesia sedang menunggu proses pesalinan,
sementara segala sesuatu sudah dijalankan dengan segala
keterbatasannya. Berbagai formulasi konsep itu memperlihatkan
betapa sebuah kesatuan pandangan adalah mustahil.
Secara faktual, DPD RI lahir pada tanggal 1 Oktober 2004
yang ditandai dengan pelantikan dan pengambilan sumpah/
janji para anggota DPD RI. Kehadiran DPD RI ini tidak
dapat dilepaskan dari hubungan pusat dan daerah yang selalu
mengalami ketegangan sejak kemerdekaan Indonesia.
Ketegangan ini termanifestasikan lewat sejumlah
pemberontakan yang dilakukan oleh daerah, yang bersumber
dari ketidakpuasan atas kebijakan pemerintah pusat dan
ketimpangan hubungan pusat dan daerah.
Pergolakan daerah yang terjadi di Indonesia sesungguhnya telah
mengalami proses yang panjang, jauh sebelum kelahiran negara
ini. Pergolakan-pergolakan ini bersumber dari rasa ketidakpuasan
atas sikap negara penjajah yang berlaku sewenang-wenang dan
eksploitatif. Beberapa diantara pemberontakan tersebut adalah
perlawanan Imam Bonjol di Sumatera Barat, Diponegoro di Jawa
Tengah, Teuku Umar di Aceh dan Pattimura di Maluku. Dalam
perjalanannya, perlawanan-perlawanan tersebut berkembang
menjadi sikap anti penjajahan, bertujuan mencapai kemerdekaan
dan bersifat nasional.

12
Untuk Apa DPD RI

Pasca 17 Agustus 1945 pergolakan-pergolakan ini tidak


sepenuhnya surut. Sejumlah daerah kembali bergolak dan
melakukan perlawanan terhadap pemerintahan pusat
diantaranya, PRRI/PERMESTA6 di Sumatera dan Sulawesi,
Darul Islam dan Gerakan Aceh Merdeka7 di Aceh dan DII/TII8
di Jawa Barat. Bahkan beberapa dari konflik tersebut hingga
kini belum mampu diselesaikan seperti, konflik antara
pemerintah Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka.
Salah satu alasan dari lahirnya perlawanan-perlawanan
tersebut adalah rasa ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan
yang dikeluarkan pemerintahan pusat. Harvey menjelaskan
bahwa salah satu penyebab lahirnya Permesta adalah:
“Persoalan di Utara berpusat pada kopra, terutama dalam
penguasaan dan penggunaan penghasilan ekspor. Rakyat
Minahasa merasa penghasilan ini, dengan peraturan-peraturan
pemerintah yang ada, tidak digunakan untuk memenuhi
kebutuhan mereka, tetapi dihambur-hamburkan untuk proyek-
proyek mercusuar di Jakarta. Mereka ingin mempertahankan
tingkat yang tinggi dalam pendidikan dan melek huruf, tetapi
pembiayaan sekolah-sekolah dari pemerintah pusat sama sekali
tidak mencukupi. Kota Manado telah sangat rusak oleh
pemboman Sekutu, namun pemerintah pusat mengabaikan
permohonan mendapat sebagian dari uang pampasan perang
Jepang. Jalanan ditelantarkan dan sering tak bisa dilalui;
hubungan perkapalan antar pulau tak bisa diharapkan. Maka
banyak orang percaya, jika penghasilan dari ekspor kopra bisa
dikuasai Minahasa sendiri, cukup banyak –jika pun tak
seluruhnya– kebutuhan ini bisa dipenuhi.”9
Di dalam Piagam Perjuangan Semesta yang dikeluarkan oleh
sejumlah tokoh daerah10 di Makassar ada beberapa poin yang

13
Untuk Apa DPD RI

menunjukkan ketidakpuasan tersebut dan menuntut


hubungan yang lebih adil dengan pemerintah pusat.
Beberapa poin tersebut adalah:11
1. Dalam memahami otonomi luas, piagam ini
memahaminya sebagai: a) daerah surplus: 70% dari
pendapatan daerah untuk daerah dan 30% untuk
pemerintah pusat; b) daerah minus: 100% pendapatan
daerah untuk daerah ditambah subsidi dari pemerintah
pusat untuk pembangunan vital selama 25 tahun.
2. Menuntut pembagian devisa dan kredit dalam dan luar
negeri serta pembagian pampasan Jepang seimbang
dengan luas daerah, bukan jumlah penduduk dan
jumlah provinsi otonom.
3. Penghilangan sistem sentralisme yang statis formal. Di
dalam piagam ini disebutkan bahwa sentralisme merupakan
biang keladi birokrasi, korupsi dan stagnasi daerah.
4. Menuntut pengembalian dinamika, inisiatif dan kewibawaan,
melalui desentralisasi hak dan kekuasaan melalui, salah
satunya, adalah otonomi luas kepada daerah dimana 70%
dari anggota Dewan Nasional yang dimaksudkan oleh
konsepsi Soekarno harus dari wakil-wakil Daerah Otonomi
Tingkat I yang pada akhirnya akan mendapatkan status
Majelis Tingkat (senat) di samping DPR (parlemen). Apa
yang tercantum di dalam Piagam Perjuangan Semesta
ini sejalan dengan hasil reuni bekas Divisi Banteng atau Dewan
Banteng di Sumatera, walaupun kedua gerakan tersebut tidak
memiliki hubungan organisatoris. Persamaan tersebut adalah
adanya tuntutan mengenai perubahan sistem hubungan
pemerintah pusat dan daerah. Bagi kedua gerakan ini kelemahan
sistem tersebut adalah “sentralisme yang statis formal” yang

14
Untuk Apa DPD RI

menyebabkan “birokrasi, korupsi dan stagnasi daerah”. Selain itu,


kedua gerakan tersebut juga memberikan tuntutan yang sama yaitu
otonomi luas dan perwakilan daerah-daerah di tingkat nasional
(senat). Persamaan tersebut menandakan adanya persesuaian
pemahaman situasi nasional pada tahun 1950-an.12 Alasan-alasan
inilah yang kemudian melatarbelakangi pemberontakan
PRRI/PERMESTA di tahun 1950-an.
Demikian pula dengan gerakan Darul Islam tahun 1953-
1962. Gerakan ini selain dipengaruhi oleh konflik internal juga
disebabkan oleh ketidakpuasan atas kebijakan pemerintah pusat,
yaitu pembubaran provinsi Aceh, pembubaran sekolah-sekolah
dan penghapusan sistem barter di sana (Aceh).13 Keinginan
pemerintah pusat untuk membubarkan provinsi Aceh serta
menggabungkannya dengan Sumatera Timur dan Tapanuli
membentuk provinsi baru, Sumatera Utara, mendapat reaksi
keras dari masyarakat di Aceh. Penolakan ini bersumber dari
perasaan psikologis masyarakat Aceh, yang melihat dirinya
sebagai masyarakat yang pernah memiliki kejayaan, yang
diperkuat oleh kepentingan ekonomi dan politik.14.
Jika dirunut sejarahnya, lembaga perwakilan daerah di
Indonesia sebenarnya telah ada sejak sebelum kemerdekaan.
Hanya saja persoalan utama yang selalu merubungi lembaga ini
dari masa ke masa adalah tidak pernah hadirnya lembaga
perwakilan daerah yang mampu menyuarakan kepentingan-
kepentingan daerah di tingkat nasional. Berbagai versi itu adalah
(a) Bikameral versi ’Indonesia Berparlemen’ pada konferensi
GAPI 31 Januari 1941; (b) Utusan daerah versi Founding
Fathers and Mothers; (c) Versi Republik Indonesia Serikat;
(d) Sejarah Utusan Daerah pada era Orde Lama, Orde Baru,
dan Reformasi; serta (e) Sejarah Pembentukan DPD RI di era

15
Untuk Apa DPD RI

Reformasi yang terdiri dari (i) Rapat Panitia Ad Hoc I


Badan Pekerja-Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999-
2000; (ii) Amandemen UUD 1945; dan (iii) Pengesahan
dan Pelantikan DPD RI.
Pada Februari 1950 bersamaan dengan dibentuknya
Dewan Perwakilan Rakyat- Republik Indonesia Serikat
(DPR-RIS) dibentuk pula Senat RIS. Pelaksanaan tugas dan
kewenangan Senat RIS tidak bersifat ekslusif tetapi selalu
dalam hubungan kerja dengan DPR dan pemerintah. Dalam
pembuatan undang-undang, Senat hanya turut terlibat dalam
pembuatan RUU terkait masalah-masalah negara bagian atau
bagian-bagiannya maupun menyangkut hubungan RIS
dengan negara bagian. Di luar masalah itu, semuanya adalah
kewenangan DPR dan pemerintah, sedangkan Senat hanya
mendapatkan tembusan untuk sekadar mengetahui. Bahkan
pemerintah dapat mengesahkan sebuah RUU walaupun
mendapat penolakan dari Senat.15 Dengan demikian tugas
dan wewenang Senat sangat terbatas.
Karena RIS berumur pendek maka usia Senat RIS pun
demikian. Sejak Maret 1950 satu persatu negara bagian
menyatakan niat untuk bergabung ke dalam wadah Negara
Kesatuan RI. Untuk mewadahi keinginan tersebut dibuatlah
UU No.11/1950 yang mengatur tata cara perubahan bentuk
negara tersebut. Secara bersamaan DPR dan Senat RIS juga
membahas pergantian UUD. Pada tanggal 14 Agustus 1950
hasilnya disahkan dalam bentuk UU No.7/1950 tentang
Perubahan Konstitusi RIS Menjadi UUD Sementara 1950.
Dan pada tanggal 17 Agustus 1950 Negara Kesatuan RI dan
UUDS 1950 berlaku secara resmi.16

16
Untuk Apa DPD RI

Sejak tahun 1950 hingga 1959 terjadi kevakuman


dalam mengakomodasi perwakilan daerah. Sistem
parlemen yang terbentuk adalah unikameral (satu kamar)
dimana DPR(S) menjadi satu-satunya kamar yang ada.
Sistem parlemen bikameral (dua kamar) kembali dijalankan
pada tahun 1959. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkan pula Penetapan Presiden No.
2/1959 tentang Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) dan Penetapan Presiden No. 12 /1959
tentang Susunan MPRS yang terdiri atas anggota DPR (hasil
pemilu 1955) ditambah Utusan-Utusan Daerah dan Golongan
Karya.17 Perekrutan keanggotaan MPRS tidak melalui pemilu
melainkan pengangkatan langsung oleh Presiden Soekarno.
Juga, Soekarno memangkas habis kedudukan, fungsi dan
wewenang MPRS melalui TAP MPRS No.1/MPRS/1960. Pada
masa ini MPRS hanya menjalankan tugas menetapkan Garis-
Garis Besar Haluan Negara dan tidak memiliki hak untuk
mengubah dan menetapkan undang-undang dasar. Dengan
demikian MPRS hanya menjadi “tukang stempel” kebijakan-
kebijakan Soekarno.18
Tumbangnya kekuasaan Soekarno ternyata tidak merubah
kedudukan MPRS. MPRS kembali digunakan oleh pemerintahan
Orde Baru untuk melegitimasi keberadaanya.19 Pada masa awal
berkuasanya Orde Baru ini, jumlah keanggotaan MPRS mengalami
penciutan. Hanya saja jumlah anggota dari utusan golongan
mengalami sedikit kenaikan sesuai dengan ketentuan UU
No.10/1966 pasal 3 yang mengatur penambahan utusan dari
daerah-daerah. Kondisi ini terus berlanjut semenjak pemilu 1971
hingga kejatuhan Orde Baru tahun 1998. Secara substantif
lembaga perwakilan daerah yang ada di parlemen

17
Untuk Apa DPD RI

semasa Orde Baru tidak mampu menyuarakan


kepentingan-kepentingan daerah.
Melihat dari sejarah perjalanannya, sistem perwakilan
daerah yang ada di Indonesia selalu mengalami kooptasi
eksekutif. Parlemen selalu berada di bawah kontrol penuh
eksekutif. Kondisi kooptasi ini menyebabkan lembaga
perwakilan daerah tidak mampu mengawasi jalannya
proses pembangunan di Indonesia. Sehingga yang terjadi
selanjutnya adalah ketimpangan pembangunan antara
Jakarta dan daerah-daerah lain di Indo-nesia.
Ahmad Erani Yustika mencatat terdapat kecenderungan
bahwa alasan utama urbanisasi di Pulau Jawa adalah
alasan pekerjaan; sementara alasan urbanisasi untuk luar
Pulau Jawa adalah alasan keluarga dan pendidikan
walaupun alasan pekerjaan juga ada (tabel I).20 Yustika
mencatat pula bahwa kondisi ini juga memperlihatkan
adanya dikotomi pembangunan antara Jawa dan luar Jawa.
Selain itu, berdasarkan tabel I, juga dapat dilihat bahwa
tingkat urbanisasi di Jakarta pada tahun 1980 dan 1995
adalah 93,36% dan 100,0% (tertinggi dibanding daerah-
daerah lain). Dengan demikian semakin terlihat bahwa
pola pembangunan di Indonesia terkonsentrasi di Jakarta.
Faktor inilah yang kemudian memancing reaksi keras dari
sejumlah daerah di Indonesia. Dalam bentuk yang ekstrem
reaksi tersebut memunculkan keinginan untuk melepaskan diri
dari Indonesia sebagaimana yang terjadi di Aceh (Gerakan
Aceh Merdeka) dan Papua (Organisasi Papua Merdeka). Namun
pemerintah pusat tidak tanggap atas persoalan ini dengan
bereaksi secara agresif melalui pengiriman kekuatan militer ke
daerah-daerah yang bergolak, bukannya mengembangkan

18
Untuk Apa DPD RI

Tabel I
Tingkat Urbanisasi dan Alasan Utama Pindah
Menurut Provinsi: 1980-1995 (dalam persentase)

Provinsi 1980 1995 Alasan Utama Pindah*

DI Aceh 8,94 20,54 Keluarga (50,01)


Sumatera Utara 25,45 41,09 Keluarga (49,14
Sumatera Barat 12,71 25,06 Keluarga (43,08)
Riau 27,12 34,36 Keluarga (53,75)
Jambi 12,65 27,16 Keluarga (50,46)
Sumatera Selatan 27,37 30,31 Keluarga (51,56)
Bengkulu 9,43 27,71 Keluarga (47,62)
Lampung 12,47 15,71 Keluarga (42,31)
DKI Jakarta 93,36 100,0 Pekerjaan (59,58)
Jawa Barat 21,02 42,69 Pekerjaan (48,83)
Jawa Tengah 18,74 31,90 Keluarga (46,16)
DI Yogyakarta 22,08 58,05 Pendidikan (51,64)
Jawa Timur 19,60 32,06 Pekerjaan (44,65)
Kalimantan Barat 16,77 21,66 Keluarga (47,84)
Kalimantan Tengah 10,30 22,47 Pekerjaan (32,97)
Kalimantan Selatan 21,35 29,96 Keluarga (41,58)
Kalimantan Tenggara** 39,84 50,22 Pekerjaan (46,61)
Sulawesi Utara 16,76 26,28 Keluarga (39,09)
Sulawesi Tengah 8,95 21,87 Keluarga (42,79)
Sulawesi Selatan 18,08 28,27 Pendidikan (38,44)
Sulawesi Tenggara 9,34 22,38 Keluarga (44,51)
Bali 14,71 34,31 Pekerjaan (49,56)
Nusa Tenggara Barat 14,07 18,85 Pendidikan (37,85)
Nusa Tenggara Timur 7,51 13,88 Pendidikan (37,34)
Timor-Timur Ttd 9,51 Keluarga (47,38)
Maluku 10,84 24,57 Keluarga (47,28)
Irian Jaya 20,22 25,76 Keluarga (47,35)

Indonesia 22,27 35,91

Sumber: Biro Pusat Statistik, 1997.

* Yang ditampilkan hanya alasan yang persentasenya paling tinggi.


Angka dalam kurung adalah persentase penduduk yang menjawab
alasan utama kepindahan karena alternatif sebagai berikut: a)
pekerjaan, b) pendidikan, c) keluarga, d) perumahan,
e) lainnya.
** Data yang tertulis memperlihatkan demikian. Kemungkinan yang
dimaksud adalah provinsi Kalimantan Timur, (penulis).

19
Untuk Apa DPD RI

pendekatan yang persuasif dan akomodatif. Sehingga


persoalannya menjadi semakin rumit. Ketika gerakan-
gerakan pembangkangan itu dikalahkan dengan korban
yang tidak sedikit, pemerintah pusat langsung menerapkan
strategi pembangunan yang menomorsatukan pusat dan
menomor-sekiankan daerah. Pusat juga berubah menjadi
kekuatan yang menakutkan, sehingga yang terjadi
hanyalah penundukan dan ketundukan aspirasi apapun
yang pelan-pelan mengubah mentalitas pembaharuan dan
perubahan ke arah mentalitas “perbudakan” yang serius.
Perputaran roda nasib akhirnya membawa Indonesia ke
arah bangsa dan negara yang kurang beruntung akibat
pembentukan kelembagaan politik yang miskin partisipasi.
Pengawasan terhadap warga negara meningkat, sementara
kekuasaan negara sulit dikontrol. Sistem jaminan sosial
melemah, sementara para pejabat memiliki harta kekayaan
yang melimpah, bahkan jauh lebih besar dari kekayaan yang
dimiliki oleh pemimpin dan pejabat negara-negara maju,
seperti Eropa. Kemiskinan struktural menjadi hantu serius
yang menyebabkan orang-orang kehilangan masa depannya.
Daerah-daerah yang memiliki kekayaan alam yang melimpah
harus mendapatkan diri penduduknya miskin. Walau negara
begitu beringas, tidak muncul perlawanan rakyat yang keras.
Negara yang kuat itu kenyataannya keropos dari dalam.
Terpaan kesulitan akibat defisit neraca pembayaran pada Juli
1997 akhirnya membuka krisis yang lebih baru dan parah, yakni
krisis moneter, krisis ekonomi, lalu krisis kepemimpinan, krisis
politik dan multikrisis. Momentum politik yang jarang terjadi
pun terbuka, yakni perubahan konstitusi. Suasana begitu
emosional, sehingga berbagai impian masa lalu dipaksakan
masuk ke dalam konstitusi baru. Akomodasi

20
Untuk Apa DPD RI

terhadap kepentingan daerah pun dimasukkan ke dalam


pasal-pasal konstitusi baru, termasuk keberadaan DPD RI.

Yuridis

Dilihat dari aspek demografi, Indonesia adalah negara


berwilayah luas yang terdiri atas ribuan pulau dan ratusan
juta penduduk. Keragaman etnis dan budaya turut
mengukuhkan pendapat bahwa masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang majemuk. Melihat kenyataan seperti itu,
Indonesia tentunya membutuhkan suatu sistem yang lebih
baik agar keterwakilan politik dapat berjalan dengan mulus.

a. Konstitusi
Melalui Amandemen UUD 1945 khususnya pasal 2 ayat 1
maka terbentuklah sistem ketatanegaraan baru dengan berdirinya
sebuah lembaga baru yang disebut dengan Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Perubahan ini merupakan
hasil dari amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945,
khususnya pasal 2 ayat 1. Untuk mendukung perubahan tersebut,
UUD 1945 hasil amandemen juga menjelaskan mengenai DPD RI
ini dalam sejumlah pasal lainnya (tabel II).
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dengan tumbangnya
Orde Baru telah dibentuk sebuah lembaga baru yaitu DPD RI
sebagai ruang penyampaian aspirasi suara daerah-daerah.
Lembaga ini memiliki beberapa fungsi, tugas dan wewenang,
sebagaimana terdapat dalam tabel III.
Namun sebagai sebuah lembaga perwakilan daerah,
DPD RI masih mengalami sejumlah kendala. Ada
beberapa persoalan yang dihadapi DPD RI yaitu,

21
Untuk Apa DPD RI

Tabel II
Pasal-pasal UUD 1945 tentang DPD RI
Pasal 2, ayat (1)
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota-anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut di dalam undang-undang
Pasal 22 C
1. Anggota Dewan Perwakilan Daerah terpilih dari setiap provinsi melalui pemilihan
umum
2. Anggota dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan
jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
3. Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
4. Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-
undang.
Pasal 22 D
1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
Rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan
agama.
3. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai: otonomi daerah, hubungan pusat daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja negara dan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
4. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
Pasal 22 E, ayat (2), (3) dan (4)
1. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil Presidan dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
Pasal 23 E, ayat (2)
Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 23 F, ayat (1)
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh
Presiden.

22
Untuk Apa DPD RI

Pertama, terjadi miskonsepsi dalam menerapkan konsep


bikameral sebagai landasan DPD RI. Selama ini dikemukakan
bahwa wewenang terbatas yang dimiliki DPD RI merupakan
implementasi dari konsep weak bicameralism. Namun, konsep
bikameral sendiri tidak diterapkan di Indonesia karena DPD RI
tidak mempunyai wewenang legislasi yang utuh21 dan MPR RI
bukan mekanisme pertemuan DPR RI dan DPD RI untuk
melengkapi fungsi-fungsi kedua dewan tersebut.
Mengutip Arend Lijphart, bahwa ada tiga prasyarat dari
weak bicameralism yaitu wewenang konstitusional kedua
kamar, metode pemilihan anggota, dan kemungkinan
kamar kedua memang ditujukan untuk mewakili golongan
minoritas. Dengan demikian kedua kamar memiliki fungsi
legislasi, anggaran dan wewenang, serta akan bersatu
dalam sebuah joint session untuk menjalankan fungsi-
fungsi tersebut. Sementara di Indonesia, MPR RI bukanlah
sebuah sidang gabungan (joint session) antara DPR RI dan
DPD RI melainkan sebuah lembaga permanen tersendiri;22
Kedua, DPD RI memiliki wewenang yang sangat terbatas
dan hanya terkait dengan soal-soal kedaerahan sehingga DPD
RI tampak hanya menjadi penasihat DPR. Amandemen
konstitusi sesungguhnya gagal memberikan rumusan tepat
mengenai dasar pemikiran yang akurat menyangkut keberadaan
DPD RI ini. DPD RI kenyataannya tetap dilahirkan dalam
keadaan prematur, lewat perkawinan paksa beragam
kepentingan yang berseberangan dalam sistem MPR RI yang
tidak seluruhnya legitimated. Sejak awal sudah disadari betapa
DPD RI akan mengalami berbagai persoalan menyangkut
kewenangannya yang terbatas, namun keberadaannya tetap
dipertahankan. Secara politik memang muncul ketakutan

23
Untuk Apa DPD RI

Tabel III
Fungsi, Tugas dan Wewenang DPD
FUNGSI PERUNDANG-UNDANGAN (LEGISLASI)
Tugas dan Wewenang:
Dapat mengajukan RUU kepada DPR
Ikut membahas RUU
Bidang Terkait:
Otonomi Daerah
Hubungan pusat dan daerah
Pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah
Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya
Perimbangan keuangan pusat dan daerah

FUNGSI PERTIMBANGAN (KONSULTASI)


Tugas dan Wewenang:
Memberikan pertimbagan kepada DPR ihwal RUU tertentu
Memberikan pertimbangan kepada DPR ihwal pemilihan BPK
Bidang Terkait:
RUU APBN
RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama
Pemilihan anggota BPK

FUNGSI PENGAWASAN (KONTROL)


Tugas dan Wewenang:
Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan
menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai
bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti
Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK
Bidang Terkait:
Otonomi Daerah
Hubungan pusat dan daerah
Pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah
Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya
Perimbangan keuangan pusat dan daerah
Pelaksanaan APBN
Pajak
Pendidikan
Agama

FUNGSI ANGGARAN
Sebagai fungsi khusus yang merangkum ketiga fungsi di atas terkait
masalah keuangan dan anggaran
Tugas dan Wewenang:
Dapat mengajukan RUU tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah (legislasi)
Memberikan pertimbangan terhadap RUU APBN (konsultasi)
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN (kontrol)
Perimbangan keuangan pusat dan daerah
Bidang Terkait:
RUU APBN
Pelaksanaan APBN

24
Untuk Apa DPD RI

betapa “saudara muda” DPR RI ini akan jauh lebih populis


ketimbang partai-partai politik dan DPR RI sendiri,
sehingga untuk mencegahnya dilakukan proses
pengekangan sejak ia dipikirkan untuk lahir.
Ketiga, DPD RI hanya seolah dimaksudkan untuk menjawab
tantangan untuk tidak munculnya kembali hegemoni lembaga
eksekutif sebagaimana tertulis di catatan sejarah mengenai
perjalanan lembaga perwakilan daerah di Indonesia. Seiring
dengan penggerogotan kekuasaan eksekutif, khususnya lembaga
kepresidenan, dalam proses amandemen konstitusi itu, terdapat
usaha yang sistematis – dan berhasil – untuk memperkuat
lembaga legislatif, khususnya DPR RI.24 Perimbangan
kekuasaan menjadi oleng, karena besarnya wewenang DPR RI.
Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut setidaknya ada
dua hal yang bisa dilakukan yaitu, penguatan DPD RI sebagai
upaya sementara untuk menuju penguatan konstitusional dan
penguatan kelembagaan DPD RI sebagai bagian dari merintis
perubahan amandemen yang akan menghasilkan sistem
bikameral yang efektif. Lebih lanjut langkah penguatan tersebut
adalah pertama, penguatan internal berupa perbaikan prosedur
dan struktur kelembagaan. Kedua, penguatan hubungan
kelembagaan dengan DPR RI, pemerintah dan pemerintah
daerah. Ketiga, penguatan hubungan dengan konstituennya.25
Sementara, langkah-langkah strategis lain bisa dilakukan, antara
lain (i) DPD RI selayaknya mengajukan proses pengujian atas
UU kepada Mahkamah Konstitusi sehubungan dengan
(kemungkinan) adalah proses peminggiran dan pengebirian
peran DPD RI yang bertentangan dengan UUD 1945, misalnya
soal domisili; dan (2) DPD RI menjadi komunikator urusan-
urusan daerah. Hak bicara (tanpa hak

25
Untuk Apa DPD RI

suara) DPD RI dalam sidang-sidang DPR RI bisa


digunakan semaksimal mungkin.

b. Undang-Undang
Bukan hanya memiliki keterbatasan menurut konstitusi,
ruang gerak DPD RI bahkan lebih terbatas lagi dengan
pengaturan fungsi, tugas, dan kewenangannya lewat UU.
Antara lain dalam UU No. 10/2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan tidak mengatur keterlibatan
DPD dalam proses perencanaan penyusunan program
legislasi nasional (prolegnas). Hal ini menjadi persoalan
karena ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU tersebut menyebutkan
bahwa RUU, baik yang berasal dari dari DPR, Presiden,
maupun DPD disusun berdasarkan prolegnas. Dengan
demikian pembahasan RUU di DPD harus sesuai dengan
prolegnas, sementara DPD harus pula menangkap aspirasi
yang berkembang di daerah yang akan ditindaklajuti dengan
penyusunan suatu RUU dan mungkin RUU tersebut berada
di luar prolegnas yang telah ditetapkan. Selain itu, ketentuan
Pasal 17 ayat (3) tidak memberi peluang bagi DPD untuk
mengajukan RUU di luar prolegnas. Peluang ini hanya
diberikan kepada DPR dan Presiden dalam keadaan tertentu.
Sementara dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD
dan DPRD ditegaskan bahwa keikutsertaan DPD dalam
pembahasan RUU tertentu antara DPR dan Pemerintah
hanya pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan
Tata Tertib DPR.

26
Untuk Apa DPD RI

c. Peraturan Tata Tertib DPD RI


Implementasi atas konstitusi dan UU adalah lahirnya
peraturan tata tertib DPD RI. Aturan mengenai mekanisme
kerja internal DPD tersebut untuk pertama kalinya disusun
oleh anggota MPR periode 1999-2004 dan diputuskan
dalam Sidang MPR Tahun 2004 sebagaimana tertuang
dalam Keputusan MPR No. 6/MPR/2004 tentang
Peraturan Tata Tertib DPD RI. Penyusunan peraturan tata
tertib DPD oleh MPR dimaksudkan agar DPD sebagai
lembaga baru di awal masa jabatannya dapat
melaksanakan persidangan dengan tertib dan lancar.
Seiring dengan pembahasan peraturan tata tertib DPD oleh
anggota MPR, Sekretariat Jenderal MPR bekerja sama dengan
Japan Internasional Coorporation Agency (JICA) dan
Internasional IDEA memfasilitasi penyelenggaraan rapat kerja
dan lokakarya dengan peserta para calon anggota DPD yang
terpilih pada pemilu 2004 untuk membahas dan menyusun
rancangan peraturan tata tertib DPD. Selanjutnya rancangan
tersebut disahkan pada sidang pertama DPD tanggal 2 Oktober
2004 dan dituangkan dalam Keputusan DPD RI No.
2/DPD/2004 tentang Peraturan Tata Tertib DPD RI.
Di sadari bahwa peraturan tata tertib DPD masih belum
sempurna. Hal ini mengingat DPD sebagai lembaga baru dan
belum berpengalaman perlu terus mencari format terbaik dan
menemukan mekanisme kerja yang baku. Oleh karena itu,
dengan melihat perkembangan dinamika pembahasan dalam
persidangan/rapat-rapat DPD serta kebutuhan lembaga agar
dapat melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara
optimal maka peraturan tata tertib DPD telah mengalami
beberapa kali perubahan, terakhir dengan Keputusan DPD No.

27
Untuk Apa DPD RI

29/DPD/2005. Perubahan tersebut meliputi antara lain


pengaturan tentang ruang lingkup tugas alat-alat
kelengkapan DPD, proses penyusunan dan pembahasan
RUU, dan pengaturan tentang Kelompok DPD di MPR.

Fakta Geokultural

Indonesia adalah sebuah negara-bangsa yang unik. Bukti-


bukti sejarah telah berbicara kepada kita tentang kenyataan
bahwa bangsa yang besar ini telah mengalami proses difusi
kebudayaan yang cukup lama. ”Indonesia” berasal dari dua
kata bahasa Yunani “Indos” yang berarti India dan “Nesos”
yang artinya kepulauan. Dari dua arti kata di atas muncul
kemudian istilah Nusantara. Di antara 17.508 pulau
Nusantara berikut lima pulau besar utamanya, yaitu Sumatera
(473.606 km2), Kalimantan (539.460 km2), Sulawesi
(189.216 km2), Papua (421.981 km2), dan Jawa (132.187
km2) yang menghampar pada wilayah sepanjang ribuan km
ini berbagai ras manusia pernah hidup di dalamnya. Sebut
saja misalnya Pithecanhropus Erectus atau Homo Soloensis,
Mongoloid, Austro Melanesoid, dan Proto Melayu yang
jejak-jejaknya hingga saat ini masih dapat kita telusuri.
Warna dan corak kebudayaan Indonesia yang kini ada, pun
tak lepas dari sentuhan sejumlah agama besar umat manusia,
mulai dari Hindu, Budha, Islam, Kristen, Katholik, dan
Konghucu. Belum lagi gelombang kebudayaan Barat yang turut
memoles kebudayaan Nusantara ini menjadi semakin beragam
dan menemukan aktualisasinya yang khas. Tak heran, jika
seorang filsuf Belanda Van Peurseun menilai bahwa dalam
kemajemukannya, budaya Indonesia sampai sekarang ini masih

28
Untuk Apa DPD RI

menampilkan tiga tataran kesadaran kebudayaan, yaitu mulai


dari yang bersifat mistis, ontologis, sampai yang fungsional.
Kemajemukan bangsa kita ini bukan saja menyebar, tetapi
juga mengandung sistem gagasan yang berlapis-lapis.
Keanekaragaman itulah yang membuat berbagai wilayah
memiliki ciri khas, adat, tradisi, kesenian, dan khazanah
tersendiri. Ada 583 bahasa dan dialek ditemukan di ranah
Nusantara kita. Jika bahasa bisa dipakai sebagai indikator
maka jumlah suku dan subetnis di Indonesia bisa dikatakan
hampir mencapai angka tersebut. Belum lagi jika suku-suku
asli yang masih tinggal di kawasan-kawasan pedalaman
dapat diidentifikasikan secara akurat. Bisa jadi bangsa kita
adalah bangsa yang paling majemuk di dunia.
Sejak awal, founding fathers and mothers tampaknya tidak
pernah berniat untuk menghapus identitas suku-suku bangsa
yang tergabung dalam negara kesatuan ini. Fakta paling
telanjang adalah pada lambang negara Garuda Pancasila yang
mencantumkan “Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan ini secara
tak langsung menunjukkan adanya kesetaraan antara yang
bhinna atau terpisah(= banyak), serta yang tunggal atau satu
(=satu-satunya)26. Artinya, negara kita sejak berdirinya —
secara teoritis— bersifat ‘multikultural’ yang terintegrasi dalam
suatu kesatuan. Inilah corak struktur yang melandasi
masyarakat Indonesia baik di tingkat nasional maupun lokal.
Indonesia yang bersifat multikultural artinya bukan sekadar
mengakui kemajemukan/keanekaragaman suku bangsa atau
budaya saja tapi juga menekankan pada kesetaraan atau
kesederajatan antar kebudayaan tersebut. Adanya etnisitas
dianggap sebagai suatu kekayaan hakiki bangsa yang bisa
digunakan untuk membentuk jalinan relasi sosial sekaligus

29
Untuk Apa DPD RI

saling mengenal dan memperkaya budaya masing-masing.


Dalam hal ini, multikulturalisme mengakomodasi sekaligus dua
hal yang dipertentangkan, yaitu ‘perbedaan’ dan ‘kesetaraan’.
Dengan demikian meskipun tingkat heterogenitasnya tinggi,
konflik vertikal dan horizontal dapat diredam karena masing-
masing budaya diberi keleluasaan untuk menunjukkan
identitasnya dan melaksanakan kehidupan secara lebih otonom
seraya mendapat pengakuan yang sama atas keberadaannya dan
keunikannya masing-masing.
Namun, pada prakteknya, politik telah menyempitkan
keragaman ini hanya pada tataran fisik-material saja, sedangkan
pada tingkat kesadaran bangsa kita justru digiring pada
‘monokulturalisme’ atau ’penyeragaman budaya’. Jika dirunut
sejak masa kemerdekaan, baik pada era Demokrasi Terpimpin
ataupun Orde Baru, kecendrungan politik monokulturalisme ini
nampak begitu kuat. Wacana politik atas nama persatuan dan
kesatuan dipergunakan pemerintah sebagai ideologi untuk
meredam gejolak konflik manakala berbagai kasus pergolakan
daerah, pertentangan etnik, perlawanan terhadap dominasi
budaya, dan sebagainya muncul sebagai akibat dari
ketidakadilan serta kesenjangan sosial yang kian menganga.
Cara pandang warisan kolonialisme dan imperialisme dagang
yang berbunyi “integrasikan dan kelolalah” dipraktekkan para
politikus bukan bertujuan untuk mempersatukan kepulauan-
kepulauan di Indonesia melainkan untuk melakukan hegemoni
sekaligus eksploitasi bagi kepentingan segelintir elite saja.
Atas nama stabilitas dan pembangunan, khazanah local
cutural geniuses dihancurkan secara sistematis. Sistem tradisi
sosio-kultural lokal mulai dari Pela Gandong di Maluku,
Kajaroan di Banten, desa adat Pakraman di Bali, sampai

30
Untuk Apa DPD RI

Republik Federasi Nagari di Sumbar dihilangkan eksistensinya


melalui penyeragaman sistem birokrasi pemerintahan lokal.
Padahal, perbendaharaan kekayaan kultural yang bernilai tinggi ini
bukan saja bermanfaat bagi komunitas masyarakat lokal tetapi juga
bagi komunitas masyarakat lainnya. Secara alamiah local genus
merupakan perangkat yang mampu menjaga keutuhan sosio-
kultural sekaligus memelihara integrasi nasional.
Pelbagai konflik dan kekerasan bernuansa etnis dan agama
yang marak pada pertengahan 90-an tak bisa dilepaskan dari
akibat hilangnya pengakuan atas eksistensi local genius ini.
Akumulasi kekecewaan lokal juga menyeruak dan
terekspresikan dalam gelombang disintegrasi yang juga
melanda negeri kita. Kegagalan lembaga-lembaga politik dan
hukum dalam mengonsolidasikan secara positif identitas sosial-
budaya yang ada serta tertutupnya akses langsung atas sumber-
sumber daya alam dan ekonomi telah memperumit keadaan ini.
Bagaimanapun, keberagaman kebudayaan adalah sebuah
potensi sekaligus puzzle yang senantiasa menuntut penyelesaian
masalah. Setiap keunikan atau sesuatu yang menyiratkan kekhasan
suatu daerah pada dasarnya adalah kekayaan. Konsepsi Indonesia
yang multikultural selaiknya bukan hanya pada tataran fisik saja
tetapi juga pada tingkat kesadaran. Dengan kenyataan semacam
inilah maka tanggungjawab yang besar menghadang kita,
bagaimanakah caranya agar kemajemukan budaya dan
heterogenitas sosial ini dapat diakomodasi sedemikian rupa
sehingga menjadi landasan kerja politik?
Demokrasi adalah jalan terjal berliku bagi sebuah proses
perubahan. Bilamana model demokrasi yang bersifat
multikultural bisa diterapkan maka politik Indonesia
membutuhkan sebuah instrumen baru yang terhubung pada

31
Untuk Apa DPD RI

akar-akar sosial-budaya yang melatari terbentuknya negara


bangsa ini. Kita harus melakukan perubahan paradigma
secara lebih mendasar dalam sistem pemerintahan kita. Di
tengah bangkitnya kesadaran lokal yang kian hari kian
membubung, sudah selayaknyalah kita membuat piranti-
piranti negara yang lebih serius. Lebih-lebih, kita
menghendaki tatanan geopolitik Indonesia yang rumit dan
luas ini dipertahankan. Kebuntuan aspirasi yang selama ini
tersumbat, sewaktu-waktu dapat meledak tanpa terduga.
Paket kebijakan otonomi daerah dan lahirnya DPD RI adalah
sebuah harapan baru. Setidaknya pada era reformasi ini telah
muncul pengakuan politis yang setara atas daerah-daerah.
Setiap provinsi di Indonesia masing-masing memiliki hak
perwakilan untuk duduk di parlemen sebanyak 4 (empat) orang.
Artinya, DPD RI tidak akan didominasi oleh provinsi tertentu
yang jumlah penduduknya lebih besar. Wajah Indo-nesia yang
multikultural tentunya akan tercermin dari eksistensi DPD RI
ini. Hanya saja, masih diperlukan berbagai perjuangan politik,
ide dan konsep untuk mempengaruhi pola pikir kalangan
politikus yang sudah berurat-berakar, betapa perbedaan bagi
mereka adalah bukan keniscayaan, melainkan ajang kompetisi
belaka untuk saling pengaruh-mempengaruhi.

Penutup

Uraian di atas menunjukkan betapa DPD RI lahir lewat


perjuangan panjang yang penuh jalan berlubang. Pada satu
momentum jalan-jalan itu juga dipenuhi oleh tumpukan
senjata, perkelahian massal, perang saudara, dan mayat-
mayat manusia Indonesia yang gugur hanya karena atas dasar

32
Untuk Apa DPD RI

perbedaan kepentingan dan pendapat. Sudah saatnya kita


berpikir bahwa perbedaan adalah sesuatu yang benar-
benar bagian dari sebuah bangsa yang majemuk, sehingga
patutlah perbedaan itu ditampung dalam lembaga politik
dan pemerintahan.
Dengan segala keterbatasannya, DPD RI mencoba
untuk terus menunjukkan betapa keindonesiaan hanya bisa
dipertahankan apabila masing-masing lembaga negara
saling mencoba memahami dan menghormati lembaga
negara lainnya. Kalaupun terjadi pertikaian kepentingan,
masing-masing lembaga negara itu selayaknya
menyediakan forum bersama untuk menyelesaikannya,
bukan malah menjadikan kewenangan satu lembaga
negara yang lebih besar dari lembaga negara lainnya
sebagai alat untuk menunjukkan dominasi dan hegemoni.
Bangsa ini sudah terlalu lelah dengan pertikaian yang
disertai kekerasan, termasuk penggunaan jalan kekerasan dan
pendekatan keamanan sebagai jalan keluar. Sebagai bangsa
beradab, Indonesia sesungguhnya memiliki banyak potensi
sosio-kultural untuk lebih menonjolkan perdamaian
ketimbang peperangan. Pemaksaan kehendak dengan jalan
radikal dan teror hanya akan merugikan bangsa secara
keseluruhan, termasuk para pelaku kekerasan dan teror itu.
Tidak peduli datangnya dari negara atau dari komunitas
tertentu, tetap saja bangsa sedang dilukai dan dibunuh
perlahan-lahan apabila kekerasan tetap menonjol.
Atas dasar itu pulalah DPD RI mengambil posisi perdamaian
sebagai pintu penyelesaian krisis dan sengketa. Sesuai dengan
fungsi, tugas dan wewenangnya, DPD RI berada dalam

33
Untuk Apa DPD RI

spektrum kepentingan daerah sebagai sebuah ruang


keseteraan, sementara pada sisi yang lain DPD RI tetap
akan memformulasikan berbagai pikiran terbaiknya untuk
disampaikan dan dinegosiasikan dengan lembaga negara
lainnya, terutama DPR RI dan Presiden RI. Walaupun secara
konstitusional dan aturan perundangan DPD RI mengalami
keterbatasan, tetap saja dengan segala keterbatasan itu
terdapat ruang untuk bergerak, berjuang dan berbuat.

34
Bagian Kedua

Jejak Langkah DPD RI

Sidang Paripurna Perdana MPR RI 1 Oktober 2004 dipimpin oleh


Pimpinan Sementara Tertua Hj. B.R.A. Mooryati Soedibyo dan
Termuda Muhammad Nasir (anggota DPD RI
Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jambi).
(Foto: Setjen DPD RI)
Untuk Apa DPD RI

Jejak Langkah
DPD RI

Sebagaimana diuraikan dalam bagian sebelumnya,


kehadiran DPD RI dilatarbelakangi tuntutan demokrasi
untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah dan
memperluas serta meningkatkan partisipasi daerah dalam
kehidupan nasional. Tuntutan kehadirannya membuat
MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru,
yakni DPD RI, perubahan ketiga UUD 1945 pada Agustus
2001. Sekalipun fungsi, tugas dan wewenang DPD RI ini
dibatasi, sesungguhnya sudah dimulai perjalanan panjang
menuju kehidupan ketatanegaraan yang lebih baik.
Adapun dasar pertimbangan teoritis kehadiran DPD RI
antara lain untuk membangun sebuah mekanisme kontrol dan
keseimbangan (checks and balances) antar cabang kekuasaan
negara dan dalam lembaga legislatif itu sendiri. Selain itu,
DPD RI diharapkan mampu menjamin dan menampung per-
wakilan kepentingan daerah-daerah secara memadai, serta

37
Untuk Apa DPD RI

memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam


lembaga legislatif. Bukan berarti dengan cara seperti itu
kepentingan nasional akan dikurangi, karena bagaimanapun
DPD RI adalah lembaga negara yang bersifat nasional,
sebagaimana juga DPR RI. Hanya saja, mekanisme
pemilihannya dan persyaratan pencalonan anggotanya lebih
banyak dikaitkan dengan daerah, bukan penduduk.
Sedangkan dasar pertimbangan politis kehadiran DPD RI
adalah memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia; meneguhkan persatuan dan
semangat kebangsaan seluruh daerah dalam forum yang
mempertemukan pelbagai latar persoalan kedaerahan;
meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi serta kepentingan
daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional; serta
mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan
daerah secara berkeadilan, kesetaraan dan berkesinambungan.

Aspek Perwakilan dan Pemilihan Anggota DPD RI

a. Aspek Perwakilan
DPD RI DPR RI
Merupakan lembaga perwakilan Merupakan lembaga perwakilan
daerah. partai politik.
Anggota DPD RI dipilih melalui Anggota DPR RI dipilih melalui
pemilu yang pesertanya pemilu yang pesertanya adalah
perseorangan. partai-partai politik.
Terdiri dari 4 orang per provinsi Terdiri dari 3-12 orang per daerah
yang sekaligus sebagai daerah pemilihan yang tersebar di 69
pemilihan. daerah pemilihan.

Jumlah anggota DPR RI yang dipilih


Sampai pemilu 2004, jumlah anggota dalam pemilu 2004 adalah sebanyak
yang dipilih adalah 128 orang dari
550 orang.
32 provinsi. Provinsi Sulawesi Barat
sebagai provinsi paling baru belum
terwakili.

38
Untuk Apa DPD RI

b. Aspek Pemilihan
Dari hasil pemilu 2004 telah terpilih 128 anggota DPD
RI dari 32 provinsi di seluruh Indonesia. Setiap provinsi
memiliki empat orang anggota DPD RI. Masa jabatan
seorang anggota DPD RI selama 5 (lima) tahun.
Anggota DPD RI dapat diganti sesuai dengan aturan
dalam UU Susunan dan Kedudukan pasal 89.
Mekanismenya adalah sebagai berikut:
a. Calon pengganti adalah calon yang memperoleh suara
terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat
suara calon anggota DPD RI daerah pemilihan di
provinsi yang sama dengan yang digantikan.
b. Bila calon pengganti dalam daftar peringkat perolehan
suara calon anggota DPD RI sebagaimana dimaksud
pada huruf a mengundurkan diri atau meninggal akan
diganti oleh urutan suara terbanyak berikutnya.

Tugas dan Wewenang DPD

1. Legislasi Terbatas
a. Dapat mengajukan RUU dan ikut membahas RUU yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah;
b. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
pajak, pendidikan dan agama.
2. Pengangkatan
Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam
pemilihan anggota BPK.

39
Untuk Apa DPD RI

3. Pengawasan
a. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU
yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, hubungan
Pusat dan Daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE
lainnya, perimbangan keuangan Pusat dan Daerah,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama;
b. Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK.

Hak DPD RI

1. Mengajukan rancangan undang-undang tertentu kepada


DPR;
2. Ikut membahas rancangan undang-undang tertentu.

Hak Anggota DPD RI

1. Menyampaikan usul dan pendapat;


2. Memilih dan dipilih;
3. Membela diri;
4. Imunitas;
5. Protokoler; dan
6. Keuangan dan administratif.

Kewajiban Anggota DPD RI

1. Mengamalkan Pancasila;
2. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan
perundang-undangan;

40
Untuk Apa DPD RI

3. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam


penyelenggaraan pemerintahan;
4. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional
dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;
5. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
6. Menyerap, menghimpun, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah;
7. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan golongan;
8. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan
politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;
9. Menaati kode etik dan Peraturan Tata Tertib DPD; dan
10.Menjaga etika dan norma adat daerah yang diwakilinya.

Kedudukan Anggota DPD RI

Posisi seorang anggota DPD RI sebenarnya sangatlah kuat.


Dalam sistem politik Amerika Serikat wakil negara bagian ini
dikenal dengan istilah Senator. Dibandingkan anggota DPR RI
yang umumnya tidak memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih
(BPP) dalam Pemilu 2004 – hanya 2 orang yang melebihi BPP,
yakni Hidayat Nurwahid (Partai Keadilan Sejahtera, Provinsi
DKI Jakarta) dan Saleh Jasit (Partai Golkar, Provinsi Riau)—
maka anggota DPD justru memiliki dukungan yang lebih riil
dan legitimatif. Sungguh sangatlah wajar apabila konstituen
menaruh harapan besar kepada para anggota DPD RI.
Namun sayangnya, kedudukan institusi DPD RI dalam
struktur politik nasional ternyata masih dibatasi UUD dan UU.
DPD RI kedudukannya masih belum setara dengan DPR RI.
Jika diamati tugas dan kewenangannya, peran para wakil daerah

41
Untuk Apa DPD RI

ini tak lebih dari sekadar lembaga pertimbangan saja.


Peran DPD RI yang antara lain menyangkut urusan
desentralisasi, keterlibatan dalam pembahasan RUU
(khususnya pajak, pendidikan dan agama), APBN dan
sebagian fungsi pengawasan lainnnya yang juga
selanjutnya melaporkan hasilnya kepada DPR RI, hanya
dijadikan bahan pertimbangan saja untuk ditindaklanjuti.
Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU),
DPD RI tampak belum memiliki kekuasaan yang berarti. DPD
RI memiliki wewenang memberi masukan, tetapi pengambilan
keputusan ada di tangan DPR RI yang anggotanya berasal dari
partai politik. Akibatnya, dalam upaya membuat kebijakan yang
berskala nasional, anggota DPD RI harus memiliki kemampuan
yang lebih untuk menggunakan pengaruh yang dimilikinya.
Wewenang DPD RI sebagaimana terdapat dalam konstitusi bisa
mengakibatkan berlarutnya pembahasan. Di sisi lain, pola
hubungan antara DPD RI dengan DPR RI tidak dinyatakan
secara eksplisit dalam konstitusi. Anehnya lagi, anggota DPD
RI bisa diberhentikan dari jabatannya yang mana syarat-
syaratnya dan tata caranya telah diatur dalam UU (22d ayat 4).
Sementara, ketiadaan hak legislasi DPD RI bisa menyebabkan
kepentingan parpol ikut mengatur dan mengintervensi susunan,
kedudukan dan pemberhentian anggota DPD RI.

Kelemahan hak, fungsi, tugas dan kewenangan tersebut,


betul-betul tidak sebanding dengan proses yang harus dilewati
oleh para calon ‘senator’ ini. Bandingkan dengan anggota DPR
RI yang—jika dilihat dari UU No.12/2003 tentang Pemilu DPR,
DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
memungkinkan adanya kekuasaan Dewan Pimpinan Pusat

42
Untuk Apa DPD RI

(DPP) partai politik untuk menentukan calon jadi legislatif.


Untuk menjadi anggota DPD RI ada beberapa tahap yang
harus dilalui oleh seorang calon. Misalnya saja, dukungan
suara rakyat yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan atau yang berkekuatan hukum sama yang besaran
dukungannya berkisar antara 1000-5000 penduduk
(tergantung pada populasi penduduk per daerah pemilihan).
Jika struktur politik seperti ini masih dipertahankan,
maka masa depan DPD RI sebagai penyeimbang DPR RI
dalam sistem bikameral jadi agak mengkhawatirkan. Di
saat kinerja DPR RI kurang maksimal maka bandul
demokrasi pun akan bergerak ke titik yang pesimis. DPR
RI dan DPD RI semestinya memiliki kewenangan, fungsi
dan hak yang setara agar kelemahan DPR RI tersebut bisa
ditutupi oleh masifnya kinerja DPD RI.
Di samping itu, model demokrasi yang kita anut sudah
seharusnya memberikan ruang yang lebih luas serta
penghargaan yang tinggi pada kepentingan dan partisipasi
masyarakat lokal. Karena prinsip inilah mestinya yang
melatari semangat untuk membangun demokrasi dalam
konteks masyarakat majemuk. Sebuah upaya untuk
memberikan ruang artikulasi dan partisipasi politik yang
lebih besar pada masyarakat lokal untuk membangun dirinya.
Kehadiran DPD RI dalam konteks lain adalah sebuah
jawaban atas persoalan tentang minimnya kontrol politik
masyarakat yang dulu hanya dilakukan oleh DPR RI. Saat ini
institusi DPD RI diharapkan bisa menjadi alternatif baru
yang mampu membawa perubahan politik secara nasional.
Oleh sebab itulah maka penguatan DPD RI perlu mendapat
dukungan dari DPR-RI sebagai mitra kerja dalam satu kamar

43
Untuk Apa DPD RI

yang lain serta berbagai kelompok strategis seperti


lembaga swadaya masyarakat, organisasi lokal, institusi
pendidikan, dan sebagainya. Dengan demikian, masa
depan demokrasi di Indonesia bisa lebih menjanjikan.

Kendala yang dihadapi DPD

1. Kewenangan DPD RI di bidang legislasi jelas sangat


terbatas karena DPD RI dapat ikut mengusulkan dan
membahas Rancangan Undang-Undang di bidang tertentu
tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan akhir.
2. Meskipun memperoleh fungsi, tugas dan kewenangan
pengawasan, namun DPD RI hanya sebatas memberikan
masukan kepada DPR RI sebagai bahan pertimbangan.
3. Tidak ada ketentuan yang mengatur hak DPD RI untuk
meminta keterangan dari pejabat negara, pejabat
pemerintah dan lainnya seperti yang diberikan kepada
DPR RI dalam UU no 22/2003 pasal 30.
4. Tidak ada pengaturan mengenai hubungan dan
kewenangan DPD RI dalam kaitannya dengan
Pemerintah Daerah. Padahal anggota DPD RI
berkewajiban menyerap, menghimpun, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah.

Alat-Alat Kelengkapan DPD RI

Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya tersebut,


DPD RI membentuk Alat Kelengkapan yang terdiri atas:

44
Untuk Apa DPD RI

Pimpinan DPD RI; Panitia Ad Hoc; Badan Kehormatan; Panitia


Musyawarah; Panitia Perancang Undang-undang; Panitia
Urusan Rumah Tangga; Panitia Kerjasama Antar-Lembaga
Perwakilan dan Kelompok DPD di MPR RI. Uraian tugas dan
aktivitas Alat-Alat Kelengkapan ini adalah sebagai berikut:

Pimpinan DPD RI
(Tatib DPD RI Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25,
26, 27, 28, 29)
Pimpinan adalah kesatuan yang bersifat kolektif, terdiri
atas satu orang ketua dan dua orang wakil ketua yang
dipilih dari dan oleh Anggota dalam Sidang Paripurna.

Tugas:
1. Memimpin sidang-sidang dan menyimpulkan hasil
sidang untuk diambil keputusan;
2. Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian
kerja antara ketua dan wakil ketua;
3. Menjadi juru bicara DPD;
4. Melaksanakan dan memasyarakatkan putusan DPD;
5. Mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga
negara lainnya sesuai dengan hasil rapat Koordinasi DPD;
6. Mewakili DPD dan/atau alat kelengkapan di pengadilan;
7. Melaksanakan putusan DPD berkenaan dengan
penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
8. Menetapkan arah, kebijakan umum, dan strategi
pengelolaan anggaran DPD;
9. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya
dalam Sidang Paripurna DPD.

45
Untuk Apa DPD RI

Panitia Ad Hoc (PAH)


(Tatib DPD RI Pasal 30, 31, 32, 33)
Panitia Ad Hoc (PAH) dibentuk oleh DPD RI dan merupakan
alat kelengkapan DPD RI. Dalam melaksanakan tugasnya PAH
dapat membentuk Tim Kerja. Susunan dan Keanggotaan PAH
ditetapkan oleh DPD RI dalam Sidang Paripurna, pada
permulaan masa keanggotaan DPD RI dan pada permulaan
tahun sidang kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari
masa keanggotaan DPD RI. Setiap Anggota kecuali Pimpinan
DPD RI harus menjadi anggota PAH.

Ruang Lingkup:
a. PAH I: Otonomi Daerah;
Hubungan Pusat dan Daerah;
Pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah.
b. PAH II: Pengelolaan sumber daya alam;
Pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya;
c. PAH III: Pendidikan;
Agama.
d. PAH IV: Rancangan anggaran pendapatan dan belanja
negara;
Perimbangan keuangan pusat dan daerah;
Memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan
keuangan negara dan pemilihan Anggota BPK;
Pajak.

46
Untuk Apa DPD RI

Tugas:
1. Pengajuan rancangan UU: mengadakan persiapan,
pembahasan, dan penyempurnaan RUU tertentu sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Bab XVI.
2. Pembahasan RUU yang berasal dari DPR dan/atau
Pemerintah: mengadakan persiapan, pembahasan dan
penyempurnaan rancangan UU tertentu sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Bab XVII.
3. Pertimbangan:
a. Mengadakan persiapan, pembahasan, dan penyusunan
pertimbangan mengenai RUU APBN dan RUU yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Bab XVIII.
b. Menyusun pertimbangan kepada DPR dalam
pemilihan anggota BPK sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Pasal 140.
4. Pengawasan:
a. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Bab XVIII.
b. Membahas hasil pemeriksaan BPK sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Bab XIX.

Kegiatan:
1. Mengadakan Rapat Kerja dengan:
a. DPR;
b. Pemerintah;
c. Pemerintah Daerah/Provinsi/ Kabupaten/Kota;
d. DPRD Provinsi/Kabupaten/ Kota.

47
Untuk Apa DPD RI

2. Mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum, baik atas


permintaan Panitia Ad Hoc maupun atas permintaan
pihak lain;
3. Mengadakan kunjungan kerja sekurang-kurangnya
pada masa sidang dengan persetujuan Pimpinan DPD
RI yang hasilnya dilaporkan dalam rapat Panitia Ad
Hoc yang bersangkutan dan disampaikan kepada semua
alat kelengkapan DPD RI;
4. Mengadakan studi banding atas persetujuan Pimpinan
DPD RI yang hasilnya dilaporkan dalam rapat Panitia
Ad Hoc yang bersangkutan dan disampaikan kepada
semua alat kelengkapan DPD RI;
5. Mengadakan Rapat Gabungan Panitia Ad Hoc apabila ada
masalah yang menyangkut lebih dari satu Panitia Ad Hoc;
6. Melakukan tugas atas keputusan Sidang Paripurna
dan/atau Panitia Musyawarah;
7. Mengusulkan kepada Panitia Musyawarah hal yang
dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPD RI.

Badan Kehormatan
(Tatib DPD RI Pasal 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40)
Badan Kehormatan dibentuk oleh DPD RI dan merupakan
alat kelengkapan DPD RI. Keanggotaan Badan Kehormatan
DPD RI terdiri atas sebanyak-banyaknya 32 orang anggota
yang mencerminkan keterwakilan setiap provinsi. Rapat-
rapat Badan Kehormatan DPD RI bersifat tertutup. Jika
Badan Kehormatan bertujuan untuk mengambil keputusan
maka rapat tersebut harus memenuhi kuorum.

48
Untuk Apa DPD RI

Tugas:
1. Melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan
terhadap anggota karena:
Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan
atau berhalangan tetap sebagai Anggota;
Tidak lagi memenuhi syarat -syarat sebagai anggota
sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Pemilihan
Umum;
Dinyatakan melanggar sumpah/janji, Kode Etik DPD RI,
dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota;
Melanggar peraturan ketentuan larangan rangkap jabatan
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Mengambil keputusan atas hasil penyelidikan dan
verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
3. Menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b kepada Sidang Paripurna DPD RI untuk
ditetapkan.

Wewenang Badan Kehormatan antara lain:


a. Memanggil Anggota yang bersangkutan untuk
memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan
pelanggaran yang dilakukan; dan
b. Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain
yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk
dimintai dokumen atau bukti lain.

Panitia Musyawarah (Panmus)


(Tatib DPD RI Pasal 41, 42, 43, 44, 45)

49
Untuk Apa DPD RI

Keanggotaan Panmus ditetapkan oleh DPD RI dalam


Sidang Paripurna DPD RI pada permulaan masa
keanggotaan DPD RI dan pada setiap permulaan tahun
sidang kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir dari
masa keanggotaan DPD RI. Jumlah Anggota Panitia
Musyawarah berjumlah 32 (tiga puluh dua) orang yang
mencerminkan keterwakilan setiap provinsi.

Tugas:
1. Menetapkan acara DPD RI untuk 1 (satu) Tahun
Sidang, 1 (satu) Masa Persidangan, atau sebagian dari
suatu Masa Sidang dan perkiraan waktu penyelesaian
suatu masalah, serta jangka waktu penyelesaian
Rancangan Undang-Undang, dengan tidak mengurangi
hak Sidang Paripurna untuk mengubahnya;
2. Memberikan pendapat kepada Pimpinan DPD RI dalam
menentukan garis kebijaksanaan yang menyangkut
pelaksanaan tugas dan wewenang DPD RI;
3. Meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat
kelengkapan DPD RI yang lain untuk memberikan
keterangan/penjelasan mengenai hal yang menyangkut
pelaksanaan tugas tiap-tiap alat kelengkapan tersebut;
4. Menentukan penanganan terhadap pelaksanaan tugas
DPD RI oleh alat kelengkapan DPD RI;
5. Melaksanakan hal-hal yang oleh Sidang Paripurna
diserahkan kepada Panitia Musyawarah.

Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU)


(Tatib DPD RI Pasal 46, 47, 48, 49)
Panitia Perancang Undang-Undang dibentuk oleh DPD RI dan

50
Untuk Apa DPD RI

merupakan alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap.


Panitia Perancang Undang-Undang dapat membentuk Tim
Kerja untuk kelancaran pelaksanaan tugas.
Keanggotaan Panitia Perancang Undang-Undang
sebanyak-banyaknya berjumlah 32 (tiga puluh dua) orang
yang mencerminkan keterwakilan setiap provinsi.
Keanggotaan Panitia Perancang Undang-Undang
ditetapkan oleh Sidang Paripurna DPD RI pada permulaan
masa keanggotaan DPD RI dan pada setiap permulaan
tahunsidang, kecuali pada permulaan tahun sidang terakhir
dari masa keanggotaan DPD RI.

Tugas:
1. Merencanakan dan menyusun program serta urutan
prioritas pembahasan usul pembentukan rancangan
undang-undang dan usul rancangan undang-undang
untuk satu masa keanggotaan DPD RI dan setiap Tahun
Anggaran dengan tahapan:
Menginventarisir masukan dari anggota, PAH, masyarakat,
dan daerah untuk ditetapkan menjadi keputusan PPUU;
Keputusan tersebut disampaikan kepada DPD melalui alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi
dan Pemerintah melalui menteri yang tugas dan
tanggungjawabnya meliputi bidang peraturan perundang-
undangan sebagai bahan dalam penyusunan program
legislasi nasional.
2. Membahas Usul Pembentukan Rancangan Undang-
Undang dan Usul Rancangan Undang-Undang
berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan;
3. Mengkoordinasikan kegiatan pembahasan, harmonisasi,

51
Untuk Apa DPD RI

pembulatan, dan pemantapan konsepsi Usul


Pembentukan Rancangan Undang-Undang dan Usul
Rancangan Undang-Undang yang disiapkan oleh
Anggota dan/atau Panitia Ad Hoc;
4. Melakukan pembahasan, perubahan/penyempurnaan
Rancangan Undang-Undang yang secara khusus ditugaskan
oleh Panitia Musyawarah dan/atau Sidang Paripurna;
5. Melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam
rangka mengikuti perkembangan terhadap materi Usul
Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas oleh
Panitia Ad Hoc;
6. Melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul
rancangan undang-undang;
7. Membuat inventarisasi masalah, baik yang sudah
maupun yang belum terselesaikan untuk dapat
dipegunakan sebagai bahan oleh Panitia Perancnag
Undang-Undang pada masa keanggotaan berikutnya;
8. Melakukan evaluasi dan penyempurnaan Peraturan
Tata Tertib dan Kode Etik anggota.

Kegiatan:
a. Mengadakan Rapat Kerja dengan: DPR;pemerintah;
Pemerintah daerah Provinsi /Kabupaten /Kota;DPRD
Provinsi/Kabupaten /Kota.
b. Mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum, baik atas
prakarsa PPUU maupun atas permintaan pihak lain;
c. Mengadakan kunjungan kerja pada Masa Sidang yang
hasilnya dilaporkan dalam rapat PPUU yang bersangkutan
dan disampaikan kepada semua alat kelengkapan DPD RI;

52
Untuk Apa DPD RI

d. Mengadakan studi banding atas persetujuan Pimpinan


DPD RI yang hasilnya dilaporkan dalam rapat PPUU
yang bersangkutan dan disampaikan kepada semua alat
kelengkapan DPD RI;
e. Mengusulkan kepada Pimpinan DPD RI mengenai hal yang
dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPD RI.

Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT)


(Tatib DPD RI Pasal 50, 51, 52, 53)
PURT dibentuk oleh DPD RI dan merupakan alat
kelengkapan DPD RI. PURT dapat membentuk Tim Kerja
untuk kelancaran pelaksanaan tugas.Keanggotaan PURT
sebanyak-banyaknya berjumlah 32 (tiga puluh dua) orang
yang mencerminkan keterwakilan setiap provinsi.
Keanggotaan PURT ditetapkan oleh Sidang Paripurna DPD
RI pada permulaan masa keanggotaan DPD RI dan pada
setiap permulaan Tahun Sidang, kecuali pada permulaan
Tahun Sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD RI.

Tugas:
1. Membantu pimpinan DPD dalam menentukan
kebijaksanaan kerumahtanggaan DPD, termasuk
kesejahteraan Anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal;
2. Membantu Pimpinan DPD dalam melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban
yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal;
3. Membantu Pimpinan DPD dalam merencanakan dan
menyusun kebijaksanaan anggaran DPD dengan:

53
Untuk Apa DPD RI

meneliti dan menyempurnakan Rancangan dan


Anggaran DPD yang penyusunannya disiapkan oleh
Sekretariat Jenderal dengan memperhatikan
masukan dan usulan dari masing-masing alat
kelengkapan dan usulan kegiatan provinsi;
Menetapkan pagu anggaran DPD setelah melalui
rapat gabungan alat kelengkapan DPD untuk
selanjutnya dikonsultasikan dengan Panitia
Anggaran DPR dan Menteri Keuangan;
Mengawasi pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPD.
4. Melaksanakan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah
kerumahtanggaan DPD yang ditugaskan oleh Pimpinan DPD
berdasarkan hasil Rapat Panitia Musyawarah.

Panitia Kerjasama Antar-Lembaga Perwakilan (PKALP)


(Tatib DPD RI 54, 55, 56, 57)
Panitia Kerjasama Antar-Lembaga Perwakilan (PKALP)
dibentuk oleh DPD RI dan merupakan alat kelengkapan
DPD RI.
Dalam melaksanakan tugasnya PKALP dapat membentuk
Tim Kerja.
Keanggotaan PKALP berjumlah 32 (tiga puluh dua) orang
yang mencerminkan keterwakilan setiap provinsi.
Keanggotaan PKALP ditetapkan oleh Sidang Paripurna DPD
RI pada permulaan masa keanggotaan DPD RI dan pada
setiap permulaan Tahun Sidang, kecuali pada permulaan
Tahun Sidang terakhir dari masa keanggotaan DPD RI.

54
Untuk Apa DPD RI

Tugas:
1. Membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan
persahabatan dan kerjasama antara DPD RI dengan lembaga
negara sejenis, baik secara bilateral maupun multilateral atas
penugasan atau persetujuan Pimpinan DPD RI;
2. Mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan kunjungan delegasi lembaga negara sejenis
yang menjadi tamu DPD RI;
3. Mengadakan evaluasi dan menindaklanjuti hasil
pelaksanaan tugas PKALP;
4. Memberikan saran atau usul kepada Pimpinan DPD RI
tentang kerja sama antara DPD RI dengan lembaga negara
sejenis, baik secara bilateral maupun multilateral.

Kelompok DPD di MPR-RI


(Tatib DPD RI 62, 63, 64)
Kelompok DPD di MPR adalah bagian integral dari DPD yang
merupakan pengelompokan Anggota sebagai anggota MPR,
bersifat mandiri dan dibentuk dalam rangka optimalisasi dan
efektifitas pelaksanaan tugas, wewenang, dan fungsi sebagai
anggota MPR. Kelompok DPD di MPR merupakan 1 (satu)
kesatuan yang bersifat kolektif berjumlah 32 (tiga puluh dua)
orang anggota yang mencerminkan keterwakilan provinsi.

Tugas:
Kelompok DPD di MPR bertugas mengkoordinasikan
kegiatan anggota DPD di MPR.Kelompok DPD di MPR
bertugas meningkatkan kemampuan kinerja DPD dalam
lingkup sebagai anggota MPR.

55
Untuk Apa DPD RI

Menyelenggarakan rapat-rapat Kelompok DPD di MPR.


Membantu MPR melaksanakan kegiatan sosialisasi putusan
MPR.
Mensosialisasikan fungsi dan peran dari lembaga DPD.
Menyusun program peningkatan kedudukan dan kewenangan
DPD RI.

Susunan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah

Ketua : Prof. Dr. Ir. H. GINANDJAR KARTASASMITA


Wakil Ketua : H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA
Wakil Ketua : DR LA ODE IDA

Susunan Pimpinan Alat Kelengkapan


Dewan Perwakilan Daerah 2005-2006

Panitia Ad Hoc I
Ketua : Drs. Sudharto, M.A.
Wakil Ketua : Muspani, S.H.
Wakil Ketua : Ir. Marhany V.P. Pua

Panitia Ad Hoc II
Ketua : Ir. Sarwono Kusumaatmadja
Wakil Ketua : Drs. H. Husein Rahayaan
Wakil Ketua : Drs. M. Jum Perkasa, AP.

Panitia Ad Hoc III


Ketua : Nuzran Joher, S.Ag.
Wakil Ketua : Prof. Dr. H. Mohamad Surya
Wakil Ketua : Drs. H. Faisal Mahmud

Panitia Ad Hoc IV
Ketua : Ir. H. Eka Komariah Kuncoro, M.A.C.Ed.
Wakil Ketua : Anthony Charles Sunarjo
Wakil Ketua : Ir. Ruslan Wijaya, S.E., M.Sc.

Badan Kehormatan
Ketua : H. Aspar, S.E
Wakil Ketua : Aryanti Baramuli Putri
Wakil Ketua : Dinawati, S.Ag

56
Untuk Apa DPD RI

Panitia Musyawarah
Ketua : Drs. H. Wahidin Ismail
Wakil Ketua : Drs. H. Soemardi Thaher
Wakil Ketua : Drs. Ida Bagus Gede Agastia

Panitia Perancang Undang-Undang


Ketua : I Wayan Sudirta, S.H.
Wakil Ketua : Dra. Eni Khairani, M.Si.
Wakil Ketua : Dr. Ir. H. Abdul M. Killian, MS.

Panitia Urusan Rumah Tangga


Ketua : Fajar Fairy Husni, S.H.
Wakil Ketua : Benyamin Bura
Wakil Ketua : Ir. Hj. Nur Andriyani

Panitia Kerjasama Antar Lembaga Perwakilan


Ketua : Ir. Alexander Edwin Kawilarang
Wakil Ketua : Hj. Sri Kadarwati Aswin
Wakil Ketua : Ir. Nurdin Tampubolon

Keanggotaan Kelompok DPD di MPR


Ketua : H. Bambang Soeroso, Dipl. Ing.
Sekretaris : M. Ichsan Loulembah
Wakil Ketua I : G.K.R. Hemas
Wakil Ketua II : Drs. H. Nursyamsa Hadis
Wakil Ketua III : Drs. Juanda Bakar
Wakil Ketua IV : Dr. H. Yoppie Sangkot Batubara
Wakil Ketua V : Ir. Abdul A. Qahar Mudzakkar
Wakil Sekretaris I : P.R.A. Arief Natadiningrat, S.E.
Wakil Sekretaris II : Mohammad Nasir

Persoalan Keanggotaan DPD RI


Pemilu 5 April 2004 lalu menghasilkan keanggotaan DPD RI
yang diisi oleh orang-orang yang populer dan tokoh di mata
masyarakat daerah di tingkat provinsi. Populer di sini berarti
dikenal luas baik karena jabatan di masa lalu, kesuksesan di bidang
usaha, kiprah dan jasa di bidang sosial kemasyarakatan, atau
memang karena masyarakat menyukainya. Hanya sedikit yang
berasal dari kalangan masyarakat akar rumput, karena memang
sangat sulit melakukan persiapan dan memenuhi persyaratan yang
diajukan. Akibatnya, sempat muncul kekhawatiran publik bahwa
DPD RI akan menjadi makelar dari segelintir elit

57
Untuk Apa DPD RI

lokal yang ingin kepentingan mereka diakomodasi dalam


pengambilan kebijakan di Pusat. Akan tetapi, hal yang
terpenting adalah mereka betul-betul sudah menjadi pilihan
rakyat, sehingga aspirasi rakyat berada dalam pundak mereka.
Mekanisme perekrutan anggota DPD RI yang diterapkan
sekarang ini sedikit banyak akan mempengaruhi kualitas seorang
anggota DPD RI. Persyaratan yang ditentukan pada pemilu 2004
adalah seorang yang tidak tercela, menerima Pancasila dan
sejumlah persyaratan normatif lainnya, seorang calon anggota DPD
RI harus berasal dari perseorangan bukan pengurus partai politik,
bukan TNI-Polri yang masih aktif, dan harus melepaskan status
PNS ketika mencalonkan diri, serta memperoleh dukungan berupa
tanda tangan warga masyarakat dalam jumlah tertentu yaitu antara
1000-5000 orang tergantung jumlah penduduk di daerah dimana
yang bersangkutan mencalonkan diri. Calon anggota DPD RI juga
mesti memenuhi ketentuan domisili yaitu sang calon harus tinggal
di provinsi bersangkutan sekurang-kurangnya tiga tahun atau
pernah berdomisili di daerah itu selama sepuluh tahun sejak usia
17 tahun.
Sedangkan sistem distrik berwakil banyak dipakai dalam
menjaring anggota DPD RI pemilu 2004 lalu. Artinya, satu
distrik pemilihan atau provinsi akan memilih wakil lebih dari
satu orang, yaitu empat wakil. Mereka yang meraih suara
terbanyaklah yang berhak menjadi anggota DPD RI. Jika ada
beberapa calon memperoleh suara yang sama maka calon
dengan penyebaran perolehan suara yang lebih merata
menjadi pemenang atau ditetapkan sebagai calon terpilih.
Dengan pola rekrutmen semacam ini motivasi perseorangan
dalam mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI menjadi
sangat beragam. Bisa jadi keberagaman motivasi jumlahnya

58
Untuk Apa DPD RI

sama banyak dengan jumlah anggota DPD RI yang ada.


Sedangkan dukungan yang disyaratkan menjadi penegas
bahwa calon tersebut memiliki sumber daya (sosial,
politik atau ekonomi) yang memadai untuk bisa meraih
dukungan. Dengan begitu, tak dipungkiri jika anggota
DPD RI yang terpilih adalah mereka yang menjadi bagian
dari elite atau tokoh masyarakat di daerah setempat.
Latar belakang keanggotaan DPD RI ini memberikan
implikasi dalam hubungan DPD RI dengan daerahnya.
Tanpa komitmen penuh, seorang anggota DPD RI dapat
saja berpaling seperti yang sudah disinyalir terjadi dalam
kasus pilkada dimana anggota DPD RI masuk bursa
sebagai kandidat kepala daerah. Sekalipun tujuannya baik,
yakni memaksimalkan kontribusi bagi daerah yang
bersangkutan, tetap saja terdapat aspek yang terlupakan,
betapa DPD RI adalah lembaga negara yang ruang lingkup
pekerjaannya bersifat nasional dan internasional, bukan
terbatas kepada daerah per daerah. Karena itu, pasca
pemilu, perlu dikembangkan sebuah pola intimasi agar
DPD RI dengan daerah yang diwakilinya dapat
terkonversi pada suatu perwakilan politik yang berkualitas
(fungsional, efektif dan produktif). Guna menunjang
intimasi tersebut setidaknya dibutuhkan tiga faktor yaitu:
Pertama, ketersediaan prosedur dan mekanisme yang secara
teratur memberikan kepastian terselenggarakannya interaksi
antara wakil daerah itu, DPD RI dengan konstituennya. Terlebih
lagi sebetulnya, anggota-anggota DPD RI ini mestinya tinggal
di daerah masing-masing, bukan di Jakarta seperti
kecenderungan yang terjadi selama ini. Walaupun demikian, hal
ini tetap menjadi hipotesis yang belum maksimal,

59
Untuk Apa DPD RI

mengingat lembaga negara seperti DPD RI memang


berkedudukan di ibukota negara. Tidak ada lembaga negara lain
yang kedudukan orang-orangnya di daerah. Sebut saja anggota
DPR RI yang notabene mewakili satu daerah pemilihan, namun
tidak berdomisili di daerah pemilihan tersebut.
Kedua, komitmen politik para wakil atau badan perwakilan atas
peran yang diembannya. Komitmen semacam ini mestinya
menegaskan dengan sendirinya etika politik yang dihasilkan dari
pola rekrutmen perwakilan bersifat langsung, seperti terjadi pada
anggota DPD RI. Komitmen politik ini semestinya membuat para
wakil daerah bersifat proaktif terhadap masalah, aspirasi dan
kepentingan konstituen. Hal ini juga harus ditunjang oleh
keberadaan infrastruktur politik, mengingat anggota DPD RI tidak
mempunyai organisasi pendukung, sebagaimana partai politik
mempunyai organisasi pusat, wilayah, daerah, cabang, ranting,
bahkan sampai ke tingkat desa.
Ketiga, konstituen yang aktif dan terorganisasi. Hal ini dapat
terwujud jika pemahaman telah tumbuh pada konstituen bahwa
keberadaan wakil mereka di DPD RI adalah demi menampung
aspirasi daerah serta dapat menyelesaikan prob-lem daerah di
tingkat nasional. Pengorganisasian diperlukan agar kepentingan
masyarakat secara efektif dapat disalurkan secara periodik
melalui keberadaan perwakilan daerah alias DPD RI. Ujung dari
adanya pengorganisasian yang aktif ini adalah semakin
terpacunya kerja dan kinerja anggota DPD RI dari daerah yang
diwakilinya karena secara berkala konstituen menagih janji dan
menaruh problem dalam pundak anggota DPD RI tersebut.
Tetapi perlu disadari terbatasnya kewenangan seorang anggota
DPD RI dapat membuat jera konstituennya karena menganggap
aspirasi mereka tidak ditindaklanjuti.

60
Untuk Apa DPD RI

DPD RI dan Otonomi Daerah

Konsep besar DPD RI sebenarnya tidak berkaitan secara


langsung dengan konsep otonomi daerah, bila otonomi daerah
dipahami sebagai konsep pembagian kekuasaan antara
pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah. UU no 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah pasal 10 menyatakan Pemerintah
daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali politik, luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, monoter dan fiskal nasional serta agama.
Keenam urusan itu menjadi wewenang Pemerintah Pusat.
Dengan demikian sebenarnya ada perbedaan cukup mendasar
karena daerah mempunyai wewenang langsung pada seluruh
urusan di daerah kecuali enam hal tadi. Secara riil, tentunya ada
dan perlu dibangun hubungan yang jelas antara DPD RI dan
daerah. Karena bagaimanapun subyek bagi keduanya jelas sama
yaitu masyarakat di daerahnya sendiri. Dengan demikian perlu
dipikirkan dengan hati-hati konsep hubungan DPD RI dengan
daerah, khususnya terkait otonomi daerah.
Sementara jika dikaitkan dengan masyarakat di provinsi
masing-masing maka DPD RI akan menemui tiga komponen
masyarakat yaitu: masyarakat atau konstituen, DPRD dan
Pemda. Masing-masing dari pola tiga hubungan ini unik
sekaligus membawa kerumitan sendiri. Kerumitan itu memberi
tantangan tersendiri bagi DPD RI agar ditindaklanjuti, yakni:

1. Dasar Hukum
Belum ada dasar hukum bagi koordinasi dan kerja sama
antara DPRD dan DPD RI. Hal ini tidak dimuat secara formal
dalam peraturan perundang-undangan, baik itu UU no 32/

61
Untuk Apa DPD RI

2004 tentang Pemerintahan Daerah maupun UU no


22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD RI dan DPRD (UU Susduk). Namun mekanisme itu
nyata dibutuhkan karena DPRD dan Pemda mengetahui
problem keseharian dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah serta kebutuhan masyarakat di daerah.

2. Perbedaan Mandat
Terdapat perbedaan mandat yang cukup jelas antara
DPRD dan DPD RI, karena pasal 10 UU Pemda mengatur
mandat yang berbeda antara Pusat dan Daerah.

3. Perbedaan Legitimasi
Konsep otonomi daerah yang diterapkan saat ini
memberikan otonomi pada kabupaten/ kota sementara
DPD RI berbasis provinsi, sekaligus menjadi lembaga
negara. Dengan begitu, perlu dipikirkan model relasi
antara DPD RI dengan Pemda Provinsi dan Pemda
Kabupaten/Kota agar isu yang dibicarakan lebih fokus.

4. Perbedaan Kepentingan dan Peran


Terdapat perbedaan kepentingan dan peran antara DPD RI
dengan Pemda dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota yang
disebabkan oleh basis pemilihan mereka. Kalau DPRD dan
Pemda dipilih berdasarkan konsistensi partai politik, DPD RI
justru dipilih berdasarkan (kualitas) individu, walau tidak
tertutup kemungkinan adanya anggota DPD RI yang
berafiliasi dengan partai politik tertentu. Perbedaan basis
pemilihan ini berpotensi menyebabkan perbedaan
kepentingan dan peran antara ketiga lembaga ini.

62
Untuk Apa DPD RI

5. Kualitas Masukan dan Efektivitas Komunikasi


Mekanisme komunikasi bisa saja dibuat dengan baik,
namun isu kualitas juga akan menjadi tantangan tersendiri
karena berbagai perbedaan di atas dan kesibukan masing-
masing lembaga.

Penguatan DPD RI

Terlepas dari kuat atau lemahnya kedudukan DPD RI dalam


sistem parlemen di Indonesia, keberadaannya telah terbukti
mampu memberikan stimulasi positif terhadap kemajuan
demokrasi di Indonesia. Oleh sebab itu, pada prinsipnya,
bagaimanapun kondisinya, eksistensi DPD RI harus tetap
dipertahankan. Upaya untuk mempertahankan DPD RI ini di
antaranya adalah dengan mendorong penguatan kelembagaan,
baik itu oleh internal DPD RI sendiri, anggota DPR RI,
Organisasi Non-Pemerintah, ataupun masyarakat.
Adanya wacana yang berkembang di masyarakat bahwa negara
seperti Indonesia tidak cocok menganut sistem perwakilan
bikameralisme tapi unikameralisme sesungguhnya tidak beralasan.
Meski lazimnya sistem ini dipergunakan di negara federal, pada
kenyataannya hal ini tak berhubungan dengan bentuk negara. Pada
akhirnya sistem perwakilan berhubungan dengan kebutuhan
pragmatis sebuah negara dengan memperhitungkan berbagai aspek
politik yang mendukung hal tersebut.
Dalam konteks Indonesia yang memiliki komposisi
heterogenitas penduduk begitu tinggi, belum lagi aspek wilayah
yang luas, etnis, agama, budaya, serta aspek historis, maka
dapat dipastikan kanal politik yang terbatas tidak akan mampu
menampung itu semua. Belum lagi aspek karakteristik

63
Untuk Apa DPD RI

kelembagaan yang berbeda dengan DPR RI dan


kedudukannya sebagai penyeimbang DPR RI di parlemen
yang kedudukannya cenderung superior pasca Amandemen
UUD 1945. Selain itu ada banyak keuntungan politik yang
dapat dicapai masyarakat dan pemerintah daerah dengan
keberadaan lembaga ini karena anggota DPD RI berasal dari
wakil daerah yang independen, tidak berafiliasi pada parpol
dan memiliki legitimasi kuat dari rakyat sekaligus kepekaan
aspirasi yang tinggi.

Kenyataan DPD RI Saat Ini

1. Mekanisme Legislasi DPR RI-DPD RI


Regulasi yang mengatur peran DPD RI dalam fungsi
legislasi ternyata tidak secara jelas mengatur tentang siapa yang
berwenang menentukan suatu RUU menjadi kewenangan DPD
RI sesuai pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dan siapa
yang berwenang mengirimkan naskah RUU yang akan
dimintakan kepada DPD RI untuk ikut membahas atau
memberikan pertimbangannya. Sementara UU no 22/2003
hanya menjelaskan mengenai proses pengajuan RUU oleh DPD
RI dan pembahasan RUU oleh DPD RI.
Sedangkan dalam Tata Tertib DPR RI pasal 128 ayat (9) dan
pasal 132 ayat (8) tersirat bahwa DPR RI-lah yang berhak
menyatakan suatu RUU itu terkait dengan DPD RI atau tidak.
Tatib ini belum mendapat persetujuan dari DPD RI, sesuai
dengan pasal 102 ayat (3) UU no 22/2003. Pasal 102 ayat (3)
menyebut “peraturan tata tertib yang mempunyai keterkaitan
dengan pihak lain/suatu lembaga di luar DPR harus mendapat
persetujuan dari pihak lain/lembaga yang terkait”.

64
Untuk Apa DPD RI

Permasalahan akan kembali muncul jika satu RUU yang


berasal dari Presiden RI diajukan oleh DPR RI. Sedangkan
menurut DPD RI, RUU tersebut merupakan bagian dari
kewenangannya untuk ikut membahas. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah draf RUU tersebut sampai di tangan
DPD RI melalui DPR RI ataukah Presiden RI. Permasalahan
dapat semakin meruncing jika tidak jelas siapa yang berwenang
menentukan untuk menyatakan bahwa RUU itu harus atau tidak
harus melibatkan DPD RI dalam prosesnya. Undang-undang
Guru dan Dosen yang baru disahkan oleh DPR menjadi contoh.
DPD RI memberikan pertimbangannya kepada DPR RI karena
UU tersebut menyangkut pendidikan. Namun sebetulnya dalam
isi UU tersebut mengatur mengenai penggajian yang
dibebankan pada pemerintah daerah. Maka DPD RI kembali
berfungsi dalam konteks otonomi daerah untuk membahas
penggajian guru dan dosen tersebut.
Selain regulasi, soal lain yang mengemuka adalah
mengenai teknis pembahasan suatu RUU antara DPR RI
dengan DPD RI. Dalam Tata Tertib DPR RI pasal 132 ayat
(5) terlihat DPR RI membatasi keikutsertaan DPD RI dengan
menyebut Komisi atau Badan Legislasi yang ditugaskan
untuk membahas sebuah RUU. DPD RI diundang sebanyak-
banyaknya 1/3 dari jumlah anggota alat kelembagaan DPR.
Tata tertib DPR RI yang membatasi peran DPD RI, dalam
hal jumlah, ternyata juga dibuat tanpa persetujuan DPD RI.
Dalam jangka pendek, DPR RI dan DPD RI perlu duduk
bersama membahas isi Tata Tertib yang mengatur cara kerja
kedua lembaga tersebut. Pembatasan jumlah anggota DPD RI
yang terlibat dalam pembahasan undang-undang dipandang
tidak urgen secara substansial dan akan menimbulkan

65
Untuk Apa DPD RI

persoalan yang kontraproduktif dalam pembentukan


undang-undang.
Ketidakkonsistenan mengenai fungsi DPD RI dalam
legislasi kembali terlihat pada Program Legislasi Nasional,
Prolegnas. Berkaitan dengan pengajuan RUU, DPD RI
berwenang mengajukan RUU. Namun dalam menyusun
Prolegnas 2006 DPD RI tidak dilibatkan. Hal ini
bertentangan dengan UU no 10/2004 pasal 17 ayat (1) yang
menyebut “rancangan undang-undang baik yang berasal dari
DPR, Presiden maupun dari DPD disusun berdasarkan
Program Legislasi Nasional”. DPR hanya mempersamakan
kedudukan DPD RI dengan fraksi, komisi dan masyarakat.
Hal tersebut dipertegas dalam peraturan Tata Tertib
DPR yang mengatur Badan Legislasi dalam Prolegnas.
Dalam pasal 42 ayat (1) dinyatakan bahwa tugas Badan
Legislasi dalam Prolegnas adalah menginventarisasi
masukan dari anggota fraksi, komisi, DPD dan masyarakat
untuk ditetapkan menjadi keputusan Badan Legislasi.
Pengebirian fungsi DPD RI berlanjut pada ayat (3) UU no
10/2004 pasal 17 yang menyebutkan: “Dalam keadaan
tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan rancangan
undang-undang di luar Program Legislasi Nasional”. Untuk
hal ini, Ketua DPR Agung Laksono menyatakan DPD dapat
mengajukan usulan RUU kepada DPR, namun bukan
merupakan usulan DPD. Akibatnya, bisa jadi permasalahan
dalam formalitas menjadi masalah krusial dibandingkan
masalah substansi. Lebih lanjut, dikhawatirkan akan semakin
banyak produk undang-undangn DPR yang disengketakan di
Mahkamah Konstitusi. Buntutnya, kepastian hukum di
Indonesia semakin tidak jelas.

66
Untuk Apa DPD RI

2.Mekanisme Pemberian Pertimbangan DPD RI


UU No 22/2003 ayat pasal 44 menyebut “pertimbangan
DPD terhadap APBN diberikan dalam bentuk tertulis
sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan
Pemerintah.” Namun tidak dijelaskan RUU APBN itu
diterima DPD RI dari DPR atau diberikan langsung oleh
Presiden. Akibatnya Pidato Kenegaraan Presiden untuk
menyampaikan Nota Keuangan dan RUU APBN pada
tanggal 16 Agustus yang lalu menjadi ajang “perebutan” oleh
DPR RI dan DPD RI. DPR RI telah mengatur dalam
peraturan Tata Tertib DPR RI pada pasal 137 ayat (2) yang
menyebut: “RUU yang akan diberikan pertimbangan oleh
DPD disampaikan oleh DPR”. Selanjutnya mengenai tindak
lanjut DPR terhadap pertimbangan DPD RI. Aturan ini harus
jelas memberikan arti dari tindak lanjut DPR RI terhadap
pertimbangan DPD RI. Apakah dimungkinkan suatu forum
bagi DPD RI untuk mempertanyakan hal tersebut?
Hal lain yang masih belum jelas adalah mengenai batas
waktu pemberian pertimbangan. Karena pembahasan RUU
APBN dibatasi oleh waktu, maka regulasi perlu untuk
memberikan batasan terhadap DPD RI. Hal ini dimaksud
agar jadwal pembahasan RUU antara DPR RI dan Presiden
RI tidak terganggu. Seringkali yang terjadi adalah DPD RI
menerima surat permintaan pertimbangan dari DPR RI,
hanya beberapa hari sebelum pengesahan RUU menjadi UU.
Permasalahan lain terkait pertimbangan adalah ketika hasil
pertimbangan DPD RI menyangkut pemeriksaan keuangan
negara yang diperoleh dari BPK RI mentok di DPR RI.
Wewenang DPR RI hanyalah menerima hasil pengawasan.
Namun terhadap penyimpangan yang ditemukan, DPR RI

67
Untuk Apa DPD RI

hanya berperan sebagai perantara saja. Sebab tindak


lanjutnya merupakan wewenang kepolisian atau kejaksaan
atau instansi yang terkait sesuai peraturan Tata Tertib
DPR pasal 164 ayat 7.
Hal ini perlu diperjelas mengingat adanya ketentuan
yang mengatur bahwa DPR RI mempunyai kewajiban
menindaklanjuti pertimbangan yang diberikan oleh DPD
RI sebagai hasil pengawasan BPK RI. Peraturan Tata
Tertib DPD RI pasal 143 ayat (1) menyebut: “Dalam hal
DPR dan/atau Pemerintah tidak menindaklanjuti masukan
DPD RI, DPD RI meminta penjelasan kepada DPR dan/
atau Pemerintah.”

3. Mekanisme Pengawasan DPD RI


Pasal 150 ayat (1) peraturan Tata Tertib DPD RI
memasukkan hasil pengawasan DPD RI, bukan hanya
menyangkut BPK RI sebagaimana pasal 143 di atas. Pasal 150
ayat (1) menyebut: “Dalam hal DPR tidak menindaklanjuti hasil
pengawasan yang diajukan oleh DPD RI, DPD RI meminta
penjelasan kepada DPR”. Penjelasan yang dimaksud kemudian
diberikan secara tertulis oleh pimpinan DPR RI sesuai ayat (2)
pasal 150 peraturan Tata Tertib DPD RI.
Namun, tidak jelas pula bagaimana kriteria hasil
pengawasan DPD RI tersebut sudah ditindaklanjuti atau
belum. Perlu adanya ketegasan dalam aturan mengenai hal
tersebut agar tidak menimbulkan kesan seolah-olah DPD
RI adalah lembaga pengawas DPR RI, yang mengawasi
setiap pekerjaan DPR RI yang diterima dari DPD RI.
Hasil pengawasan DPD RI juga perlu diperinci
berdasarkan Komisi yang terdapat di dalam DPR RI.

68
Untuk Apa DPD RI

4. Mekanisme Pengangkatan Anggota BPK RI


DPD RI dapat memberikan pertimbangan pemilihan
anggota BPK RI secara tertulis kepada pimpinan DPR RI
selambatnya dalam lima hari. Hal ini sesuai dengan pasal
22 UUD 1945 serta Pasal 45 ayat 1 UU Susduk dan juga
peraturan Tata Tertib DPD RI pasal 140. Padahal lima hari
yang dimaksud dalam pasal itu setelah pimpinan DPD RI
menerima surat dari pimpinan DPR RI mengenai
pencalonan anggota BPK RI.
Dalam tata tertib DPD RI disebutkan bahwa DPD RI akan
mengadakan sidang paripurna untuk menyampaikan mengenai
calon anggota BPK RI tersebut. Kemudian sidang paripurna
DPD RI akan menugaskan Panitia Ad Hoc guna menyusun
pertimbangan DPD RI. Nah, pertimbangan tersebut meliputi
pengajuan nama calon, penelitian administrasi, penyampaian
visi dan misi dan penentuan urutan calon (pasal 139 ayat 3).
Dapat dibayangkan dalam lima hari sebuah pertimbangan dari
DPD RI untuk memilih anggota BPK.

Kedudukan DPD RI di MPR RI


Keputusan MPR RI atas usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR RI yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang
hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan
menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
Dalam penjabaran itu, terlihat ketidakseimbangan wewenang
DPD RI dalam konteks impeachment. Gagasan awal kehadiran
DPD RI adalah agar keputusan akhir yang penting diambil oleh

69
Untuk Apa DPD RI

kedua kamar. Di sini DPD RI hadir sebagai penyeimbang dalam


MPR, karena usulan impeachment bermula dari tangan DPR.
Namun, UUD hanya mengatur persetujuan tentang tata cara
pengambilan keputusan di MPR yakni dihadiri sekurang-
kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, tanpa mengatur
sebaran kuorum antara DPR RI dan DPD RI.
Sedangkan pada pasal 22C ayat (2) UUD menyebut:
“Anggota DPD RI tidak boleh lebih dari sepertiga anggota
DPR”. Artinya tanpa adanya keseimbangan antara suara DPR
RI dan DPD RI, keputusan untuk memecat Presiden dan/atau
Wakil Presiden dapat diambil. Bahkan, meski DPD RI tidak
hadirpun dalam sidang paripurna MPR RI, DPR RI dapat
memecat Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sidang
paripurna MPR RI. Cacat mekanisme ini mesti diubah.

Upaya Penguatan Kelembagaan DPD RI

Berbicara tentang penguatan kelembagaan, hal ini dapat


berarti membangun peran DPD RI agar lebih memadai dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, sekaligus memenuhi tuntutan
dan aspirasi masyarakat dan daerah. Oleh sebab itu upaya yang
terpenting adalah merintis upaya menuju penguatan konstitusi
agar fungsi-fungsi, tugas dan kewenangan DPD RI sebagai
lembaga perwakilan yang setara dan sederajat dengan DPR RI
dapat dicapai. Upaya yang dapat ditempuh DPD RI berkenaan
dengan konstitusi ini adalah melalui:

1. Perubahan UUD 1945


Dalam rangka menyempurnakan aturan dasar mengenai
tatanan negara dan jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat agar
sesuai dengan perkembangan paham demokrasi yang mengatur

70
Untuk Apa DPD RI

pembagian kekuasaan yang lebih tegas dengan


membangun sistem checks and balances, maka perlu
peninjauan kembali terhadap Perubahan UUD 1945.
Konstitusi adalah hukum dasar bernegara yang memerlukan
perbaikan-perbaikan agar sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, demikian
pula halnya dengan UUD 1945. Sesungguhnya UUD 1945
bukanlah merupakan konstitusi yang bersifat abadi (immortal
constitution), melainkan konstitusi itu sendiri memungkinkan
untuk diubah berdasarkan pasal 37 UUD 1945. Karenanya
perubahan lanjutan demi penyempurnaan perlu dilakukan,
mengingat UUD 1945 harus terus menjadi sebuah konstitusi
yang hidup (the living and working constitution).
Seiring dengan dinamisnya praktek sistem ketatanegaraan, tentu
konstitusi kita harus dapat menyesuaikan dengan kekinian dan masa
depan bangsa dengan tetap berpijak pada hal-hal dan ciri Indonesia
sebagai negara dengan paham pokok Pancasila, UUD 1945, NKRI,
Bhinneka Tunggal Ika, wawasan nusantara, dan prinsip musyawarah
mufakat. Oleh karenanya amandemen konstitusi dipandang tidak
cukup hanya dengan perubahan yang parsial, namun hendaknya
merupakan sebuah konsep perbaikan yang lebih komprehensif-
menyeluruh dan berorientasi pada masa depan.
Amandemen V UUD 1945 telah dirintis oleh DPD RI
pada Juni 2006 dengan mengajukan usul amandemen UUD
1945 walaupun belum memenuhi persyaratan dalam
konstitusi. Baru pada Mei 2007 DPD RI kembali mengajukan
usul perubahan UUD 1945 khususnya Pasal 22D sesuai
prosedur yang diamanatkan Pasal 37 UUD 1945 yang
ditandatangani oleh para pengusul anggota MPR RI, dan
telah disampaikan kepada Pimpinan MPR RI.
Upaya DPR RI dimaksud telah mendapatkan dukungan secara
tertulis dari berbagai stakeholders yang meliputi Gubernur, Bupati,

71
Untuk Apa DPD RI

Walikota, DPRD, Perguruan Tinggi, LSM, dan elemen


masyarakat dari seluruh wilayah di Indonesia. Dukungan
publik secara nasional terhadap penguatan wewenang
DPR RI melalui amandemen tercermin pula dari hasil
survei beberapa lembaga independen yang mencerminkan
dukungan absolut (73,4%) atas amandemen konstitusi.
Mencermati dinamika politik yang berkembang, saat itu
para pengusul bersepakat untuk belum meneruskan proses
usul Perubahan Pasal 22D UUD 1945. Hal itu
dimaksudkan untuk dapat melakukan pembahasan secara
komprehensif mengenai materi Perubahan UUD 1945
dengan mengakomodasi berbagai pandangan dan pendapat
yang berkembang, guna memperoleh dukungan yang luas
dari para Anggota MPR RI dan fraksi-fraksi partai politik.
DPD RI melalui Kelompok DPD di MPR berupaya melakukan
kajian secara komprehensif UUD 1945 dengan dukungan
pakar/akademisi dari berbagai perguruan tinggi melalui rangkaian
kegiatan expert meeting dan seminar. Dalam kerangka itu
dipersiapkan desain sistem ketatanegaraan Indonesia (grand
design) dan membahas berbagai isu strategis serta penormaan
pasal-pasal amandemen UUD 1945 yang komprehensif.
Secara substansi, perubahan lanjutan akan menyempurnakan
mekanisme saling kontrol dan saling imbang pada cabang-cabang
kekuasaan. Di bidang eksekutif, pemilihan presiden secara langsung
sebaiknya membuka peluang adanya calon independen, yang akan
mengubah dominasi partai politik yang saat ini memonopoli
pencalonan presiden. Sedangkan untuk menguatkan sistem
presidensial yang efektif, perlu desain konstitusi yang membangkitkan
stimulasi untuk hadirnya sistem kepartaian yang sederhana.
Di bidang legislativ, MPR RI ditegaskan sebagai joint session
yakni, forum gabungan saat DPR RI dan DPD RI melakukan
sidang bersama. Selanjutnya kewenangan DPD RI harus dikuatkan
agar fungsinya sebagai penyeimbang DPR RI dapat dilaksanakan

72
Untuk Apa DPD RI

dengan lebih efektif. Pemilihan anggota DPD RI yang secara


langsung melalui sistem perwakilan provinsi, harus disinkronkan
dengan kewenangan yang lebih kuat. Fungsi pertimbangan yang
saat ini melekat kepada DPD RI, dalam hal-hal yang berkaitan
dengan daerah ditingkatkan. Misalnya, dalam proses legislasi,
DPD RI tidak hanya terbatas memberikan pertimbangan, tetapi
turut mempunyai hak suara untuk menentukan lolos tidaknya
sebuah RUU perubahan tersebut. Selain penguatan fungsional,
perlu juga dilakukan penguatan struktural, terutama berhubungan
dengan personal DPD RI, yang saat ini ada di tingkat UU ke
tingkat konstitusi. Sehingga, sistem parlemen Indonesia kedepan
akan mengarah kepada sistem parlemen bikameral yang efektif,
meski tidak mengarah kepada bikameral yang sama kuat (perfect
bicameralism). Karena, perfect bicameralism berpotensi mengarah
kepada kebuntuan proses politik.
Di bidang yudikatif, sebaiknya ditegaskan konsep MK
sebagai court of law dan MA sebagai court of justice. MK
sebaiknya diberikan kewenangan untuk menguji semua
peraturan perundangan. Sedangkan MA diberikan kewenangan
forum previlegiatum untuk memutus kasus kejahatan pada
tingkat pertama dan terakhir pada pejabat negara. Kewenangan
MK juga perlu ditambah untuk memeriksa permohonan
constitutional complaint. Kewenangan demikian adalah penting
untuk menjamin aturan HAM di dalam konstitusi tidak hanya
menjadi aturan kosong, tanpa perlindungan konkrit kepada
semua warga negara. Masih di bidang HAM, secara legal
drafting masih ada aturan yang tumpang tindih dan repetisi.
Lebih substantif, masih diperlukan perubahan lanjutan untuk
menegaskan terwujudnya perlindungan HAM, misalnya terkait
dengan jaminan kebebasan pers dan hak mogok.
Kita juga perlu membangun pemisahan kekuasaan di dalam
konstitusi, yang harus menampung lahirnya independent agencies,
yang memperkuat bangunan negara hukum. Artinya, Komnas

73
Untuk Apa DPD RI

HAM, KPK, Komisi Kebebasan Pers, KPU harus diangkat


menjadi organ konstitusi, untuk melakukan fungsi kontrol
penegakan HAM, pemberantasan korupsi, menjamin
kebebasan pers dan pemilu yang luber dan jurdil.
Peletakan independent agencies ke dalam konstitusi
tersebut, disamping untuk memperkokoh bangunan negara
demokrasi kostitusional Indone-sia juga untuk menjawab
makin kompleksnya permasalahan ketatanegaraan modern
Sementara itu, reformasi hubungan pusat dan daerah, juga harus
diagendakan dalam perubahan konstitusi kita. Dengan kuatnya
tuntunan otonomi daerah, harus diberikan jaminan konstitusi yang
tegas agar sejalan dengan bentuk negara kesatuan. Desain
konstitusi, harus menemukan formula yang tepat untuk terus
mendorong desentralisasi, yang tidak menumbuhkan potensi
disintegrasi. Masih dalam konteks otonomi daerah, konstitusi juga
mesti mempunyai norma yang berpihak kepada keberagaman dan
kekhususan daerah, ataupun masyarakat adat setempat.

2.Perubahan terhadap UU no 22/2003


a. Sebagai konsekuensi dari perubahan UUD 1945 diatas.
b. Mengatur hal-hal yang belum diatur antara lain mengenai
hak untuk meminta keterangan, seperti hak yang
diberikan kepada DPR pada UU no 22/2003 pasal 30
yang menyebut “ DPR dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat
pemerintah, badan hukum atau warga masyarakat untuk
memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu
ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.”

3.Membentuk Alat Kelengkapan di DPD RI


Menambahkan “komisi” sebagai alat kelengkapan DPD RI.
UU no 22/2003 pasal 98 ayat (3) sesuai dengan ketentuan UU

74
Untuk Apa DPD RI

No 10/2004 tentang pembentukan peraturan perundang-


undangan pasal 32 ayat (4) menyatakan: “keikutsertaan DPD RI
dalam pembahasan RUU sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan (3) diwakili oleh komisi yang membidangi materi
muatan RUU yang dibahas.”

4. Perubahan terhadap UU Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan
Pasal 16 ayat (1) menyebut “penyusunan program
legislasi nasional antara DPR dan Pemerintah
dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani bidang legislasi”.
Usulan perubahan adalah “penyusunan program legislasi
nasional antara DPR, DPD RI dan Pemerintah dikoordinasikan
oleh DPR dan DPD RI melalui alat kelengkapan DPR dan DPD
RI yang khusus menangani bidang legislasi.

5. Peninjauan Kembali terhadap UU no. 32/2004


tentang Pemerintah Daerah dan UU no. 33/2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Dasar acuannya adalah berkaitan dengan hubungan
DPD RI dengan Pemerintah Daerah dalam rangka fungsi
pengawasan dan menyerap aspirasi masyarakat.

Usulan Jangka Panjang

Agar DPD RI dapat berfungsi efektif sebagai wakil daerah


maka ada dua strategi untuk mendisain DPD RI agar kuat
yaitu melakukan upaya langsung mengamandemen UUD dan
memanfaatkan ruang gerak yang sempit untuk membuka
jalan menuju amandemen UUD.

75
Untuk Apa DPD RI

Sementara terkait fungsi dan kedudukan DPD RI perlu


diadakan penguatan yang substansial dan perubahan yang
besar agar tugas, fungsi, dan wewenang DPD RI di masa
depan berjalan secara lebih efektif.

Hubungan Eksternal DPD RI

Hubungan DPD RI dengan Presiden dan


Kabinet Indonesia Bersatu
Untuk mengefektifkan kinerja, membangun bargaining
position yang baik, serta mengembangkan eksistensinya, DPD
RI telah melakukan sejumlah upaya politik. Di antara upaya
politik tersebut yang paling penting adalah membangun
komunikasi politik. Langkah komunikasi politik yang harus
terus dipelihara intensitasnya adalah komunikasi dengan
eksekutif perihal kebijakan-kebijakan yang dibuatnya.
Komunikasi politik ini—sebagaimana halnya DPR RI— dapat
dilakukan melalui menaknisme rapat konsultasi.
Dalam pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang
Yudoyono (2 November 2004) telah disepakati adanya
mekanisme konsultasi reguler antara Pemerintah–DPD RI
yang dilaksanakan minimal 6 bulan sekali dan dapat
dipercepat sesuai kebutuhan. Setelah itu secara berkala
DPD RI kemudian melakukan sejumlah rapat konsultasi
dan rapat kerja dengan para Menteri dan Kabinet untuk
membahas berbagai aspirasi daerah yang berkembang.
Aspirasi-aspirasi daerah yang telah dibahas DPD RI
dengan para Menteri selama satu tahun masa sidang antara
lain adalah:

76
Untuk Apa DPD RI

1. Pembahasan mengenai anggaran negara, perimbangan


keuangan pusat dan daerah, obligasi daerah, pajak daerah,
bea cukai, dan lain-lain, bersama dengan Menteri Keuangan.
2. Program pembangunan nasional dan arah pembangunan daerah,
serta masalah-masalah kesenjangan pembangunan antar-daerah,
terutama antara kawasan Barat dan kawasan Timur serta
daerah-daerah terpencil dan perbatasan dengan Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
3. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan Otonomi
Daerah termasuk pemekaran wilayah, dan Pemilihan
Langsung Kepala Daerah bersama Menteri Dalam Negeri.
4. Berbagai masalah pendidikan nasional juga menjadi agenda
pembahasan dengan Menteri Pendidikan Nasional. Secara
khusus dalam rapat konsultasi ini dibahas mengenai rehabilitasi
pendidikan di Aceh pascabencana alam, dan penerimaan Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sebagai guru.
5. Penyelenggaraan ibadah haji, kerukunan umat
beragama, RUU Pornografi dan Pornoaksi, rehabilitasi
sarana dan prasarana bidang keagamaan pasca bencana
di Aceh juga merupakan perhatian yang telah dibahas
DPD RI bersama Menteri Agama.
6. Terkait dengan penegakan hukum dalam kasus-kasus
illegal logging dan illegal fishing, DPD RI telah meminta
penanganan secara serius kepada Menteri Kehutanan,
pihak Kepolisian RI dan Kejaksaaan Agung.
7. Rapat kerja dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara, antara lain membahas mengenai desakan
daerah yang keberatan dengan sistem penerimaan
CPNS yang dilaksanakan secara terpusat.

77
Untuk Apa DPD RI

8. Mengenai rencana pemerintah mengurangi subsidi bahan


bakar minyak (BBM) hal ini telah dibahas DPD RI bersama
dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
9. Sedangkan mengenai pembahasan wilayah perbatasan
negara secara khusus telah diadakan rapat kerja dengan
Menteri Pertahanan, Panglima TNI dan Kapolri.

Pada tanggal 28 Februari 2005, bertempat di Gedung


Nusantara IV, Kompleks DPD RI/MPR dilaksanakan rapat
konsultasi antara DPD RI dengan Presiden berikut
jajarannya. Dalam rapat tersebut sejumlah isu penting
yang merupakan aspirasi daerah dibahas.
Isu pertama adalah mengenai arah dan keberpihakan
perencanaan pembangunan nasional. DPD RI meminta agar
perencanaan pembangunan nasional lebih berorientasi, berpijak,
dan berwawasan kedaerahan. Dengan demikian, semua aspirasi
masyarakat daerah yang terus berkembang secara dinamis dapat
terakomodasi dalam perencanaan pembangunan nasional.
Isu kedua adalah DPD RI juga menanyakan tentang blue
print pembangunan infrastruktur nasional. DPD RI meminta
agar pembangunan infrastruktur kali ini mendapat jaminan
pemerintah dalam hal rasa keadilan sosial-ekonomi dan
percepatan proses pemerataan pembangunan. Terutama
untuk daerah tertinggal yang miskin sumber daya alam dan
sumber daya manusia, perbaikan infrastruktur ini akan sangat
berpengaruh dalam mendorong perekonomian dan
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat daerah.
Isu ketiga adalah tentang persoalan pengolahan sumber daya
alam dan lingkungan hidup. Hingga saat ini pengelolaan
sumber daya alam di berbagai daerah masih tumpang tindih

78
Untuk Apa DPD RI

antara pemerintah pusat dan daerah. Belum lagi kerusakan


lingkungan yang mengkuatirkan di sejumlah daerah,
seperti kasus pencemaran Teluk Buyat dan Limbah Bahan
Beracun dan Berbahaya (B3) dari Singapura di Pulau
Galang Baru, Batam. Selain itu juga dibahas mengenai
illegal logging dan illegal fishing yang telah
mengakibatkan kerugian negara mencapai triliunan rupiah.
Sedangkan isu lainnya adalah mengenai penanganan pasca
gempa dan Tsunami di NAD dan Sumut, DPD RI meminta
penjelasan kepada Presiden seputar isu yang berkembang dan
menggelisahkan masyarakat setelah Aceh memasuki tahap
rekonstruksi. Kemudian DPD RI meminta agar dana
kompensasi dapat dikelola secara transparan, akuntabel, serta
disertai pengawasan yang efektif dengan melibatkan pemerintah
daerah. Di samping itu dibahas pula sejumlah masalah yang
terkait dengan pemekaran daerah, korupsi di daerah,
pembangunan bidang pendidikan, penanganan daerah konflik
dan dampak konflik, serta masalah penerimaan CPNS.
Rapat Paripurna DPD RI dengan Presiden yang
diselenggarakan pada tanggal 23 Agustus 2005 adalah langkah
strategis yang memperkukuh eksistensi DPD RI. Rapat Paripurna
DPD RI-Presiden ini merupakan bagian dari konvensi baru dan
pertama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Meski tidak serta
merta menjadikan DPD RI sebagai lembaga Negara yang setara
dengan DPR, rapat tersebut telah memberikan pengaruh dan
keuntungan politik bagi upaya penguatan DPD RI dalam sistem
parlemen Indonesia. Hanya saja, upaya check and balances yang
dijalankan oleh DPD RI itu belum cukup jika tidak ditopang
penegasan di dalam konstitusi.

79
Untuk Apa DPD RI

Hal positif lain dari adanya Sidang Pleno DPD RI-Presiden


ini adalah diangkatnya wakil sekretariat jenderal MPR sebagai
representasi DPD RI sehingga pada Sidang Pleno tahun depan
dapat dipastikan DPD RI akan memiliki kesekretariatan jenderal
sendiri. Semoga saja pola konvensi ketatanegaraan baru ini
tidak sebatas stimulasi politik tapi juga dapat menjawab
kebutuhan politik masyarakat Indonesia.

Hubungan DPD RI dan DPR RI


Dengan kehadiran DPD RI sebagai lembaga yang menyalurkan
keanekaragaman aspirasi daerah maka keterwakilan rakyat yang
dianut dalam sistem politik kita menjadi lengkap. DPR RI (dan
DPRD) yang menjelmakan keterwakilan rakyat melalui partai
politik, posisinya akan lebih diperkuat oleh DPD RI yang
membawakan keterwakilan geopolitik dan teritorial. Dalam buku
Panduan Dalam Memasyarakatkan UUD 194527 disebutkan bahwa
sistem ini merupakan ’sistem khas Indonesia’ karena di bentuk
sebagai perwujudan kebutuhan, kepentingan, dan tantangan bangsa
dan negara Indonesia.
UU Susunan dan Kedudukan tidak memberikan pengaturan
mengenai kewajiban pertemuan antara DPD RI dan DPR RI.
Walaupun demikian, dalam tugas kesehariannya kedua lembaga
ini akan bertemu apabila DPD RI mengajukan RUU tertentu,
atau jika ada pembahasan RUU yang perlu melibatkan DPD RI
serta terkait dengan fungsi anggaran dan pengawasan yang
beririsan dengan ruang lingkup kerja masing-masing. Hanya
saja biasanya pertemuan itu bersifat ad hoc dan hanya diwakili
oleh Komisi tertentu saja.
Di negara lain yang mengadopsi sistem parlemen dua kamar,
pertemuan antar kamar biasanya dilakukan setahun sekali, dan

80
Untuk Apa DPD RI

dilakukan di awal masa sidang. Di Indonesia karena


kewenangan DPD RI masih dibatasi maka yang menentukan
masa sidang adalah DPR RI. Demikian juga halnya dengan
prioritas penyusunan undang-undang, di akhir masa sidang
hanya DPR RI dan Pemerintah saja yang akan menentukan
susunan prioritas undang-undang untuk masa sidang
berikutnya. Padahal, DPD RI sebenarnya wajib dikutsertakan
karena DPD RI juga memiliki kepentingan untuk
menunjukkan UU mana saja yang berkaitan dengan
kewenangannya yang perlu diprioritaskan. Meskipun UU
Susduk belum mengaturnya, bagaimanapun hal ini sudah
menjadi implikasi logis dari keberadaan DPD RI yang
bermitra dengan DPR RI dalam fungsi legislasi.

Hubungan dengan Pemerintah Daerah dan DPRD


Dari segi regulasi, konsep besar DPD RI sesungguhnya
belum terintegasi secara langsung dengan konsep otonomi
daerah. Jika otonomi daerah dipahami sebagai konsep
pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah (sebagaimana
UU no 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 10) maka
DPD RI sebenarnya hanya mengurusi enam masalah yang
bukan kewenangan Pemerintah daerah, yaitu politik, luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, monoter dan fiskal
nasional serta agama. Namun demikian, tuntutan riil di
lapangan tak dapat dielakkan. Banyak sekali masalah-
masalah yang berada di luar wewenang DPD RI ini sangat
penting untuk dikomunikasikan di Senayan. Sebagai lembaga
perwakilan, DPD RI memiliki tugas dan peran untuk
menjembatani berbagai kepentingan yang ada di masyarakat
daerah ke tingkat nasional.

81
Untuk Apa DPD RI

Sementara itu, meski belum diatur secara formal dalam


peraturan perundang-undangan, pola koordinasi dan kerja
sama antara DPD RI dan pemerintahan di tingkat lokal harus
sudah dibangun. Dalam hal ini DPD RI membutuhkan
mekanisme resmi konsultasi daerah agar terbangun
komunikasi yang lancar. Dengan informasi yang cukup dan
akurat dari DPRD dan Pemda maka DPD RI akan lebih
mudah menjalankan tugasnya sehingga prioritas aspirasi
daerah yang diperjuangkan di Pusat, akan mengenai
sasarannya. DPD RI dalam menjalankan fungsinya sangat
memerlukan informasi, data, serta masukan rutin tentang isu
dan perkembangan masalah-masalah sosial-politik yang
aktual di daerah karena DPD RI perlu mengetahui tentang
bagaimana kebijakan-kebijakan nasional berimplikasi
terhadap daerah yang diwakilinya.
Dalam rangka membahas skema kerja sama yang akan
dijalankan antara DPD RI dan Pemerintah Daerah pada tanggal
29 April-1 Mei 2005 PAH II DPD RI menggelar lokakarya
dengan mengundang gubernur-gubernur dan DPRD Povinsi.
Melalui lokakarya ini dicapai kesepakatan-kesepakatan tentang
mekanisme resmi tentang konsultasi daerah. Demikian pula
mengenai pola dukungan DPD RI terhadap Pemprov juga telah
berhasil disepakati. Dengan terbukanya ruang ini, maka setiap
kali reses, masing-masing anggota telah membawa kesepakatan-
kesepakatan bersama yang kemudian akan ditindaklanjuti dalam
bentuk dukungan dan program DPD RI. Hingga saat ini DPD RI
telah menjalankan konsultasi dengan daerah ini secara kontinyu
dan hubungan yang serasi, bermanfaat, dan saling
menguntungkan sudah mulai terbina.

82
Untuk Apa DPD RI

Di sisi lain, karena basis pemilih DPD RI berbeda dengan


DPRD dan Pemda, maka tentunya akan muncul kepentingan yang
berbeda-beda di antara ketiga lembaga tersebut. Dalam konteks ini
DPD RI harus bisa menempatkan diri sebagai sebuah lembaga
yang memoderasi kepetingan-kepentingan tersebut dan atau
menjadi fasilitator lembaga-lembaga politik di daerah.

Hubungan DPD RI dengan Organisasi Non Pemerintah


Organisasi non-pemerintah (Ornop) melihat DPD RI
sebagai ’pintu masuk’ baru dalam advokasi kebijakan di
parlemen. Hal ini antara lain terlihat dari antusiasme yang
ditunjukkan oleh sejumlah Ornop ketika DPD RI
mengundang mereka memberikan masukan-masukan
mengenai Prolegnas. Sebagai lembaga resmi, DPD RI
diharapkan dapat membawa perdebatan ke ruang publik

Hubungan DPD RI dan Masyarakat Daerah


Kehadiran DPD RI telah membangkitkan harapan masyarakat
di daerah bahwa kepentingan daerah dan masalah-masalah yang
dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat
nasional. Dengan adanya DPD RI maka kebijakan-kebijakan
publik baik di tingkat nasional maupun daerah diharapkan tidak
lagi merugikan dan bahkan lebih berpihak kepada kepentingan
daerah dan kepentingan rakyat di seluruh Indonesia.
DPD RI sendiri menjamin hal ini dengan pernyataan bahwa
kepentingan daerah harus menjadi bagian yang serasi dengan
kepentingan nasional, dan kepentingan nasional secara serasi
merangkum kepentingan daerah. Di samping itu DPD RI dapat
mengefektifkan fungsinya sebagai pemberi masukan atas produk-
produk parlemen sehingga produk parlemen dapat terhindar dari

83
Untuk Apa DPD RI

kecerobohan dan mencerminkan beragam aspirasi di


masyarakat.
Saat ini DPD RI dituntut untuk tampil sebagai kekuatan
penyeimbang (check & balanches) karena karakteristik
DPD RI sebagai lembaga perwakilan yang terdiri dari
anggota-anggota yang independen, lepas dari partai politik
dan dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerahnya.
Di samping itu DPD RI tampil lebih mandiri karena tidak
dibentuk fraksi sehingga suara anggota DPD RI dituntut
mengusung aspirasi pemilih di daerahnya. Demikian pula dengan
ketiadaan mekanisme recall sebagaimana terjadi pada anggota
DPR akan menambah nilai tersendiri sehingga anggota DPD RI
lebih leluasa untuk bersikap kritis. Dengan kata lain DPD RI
memiliki potensi yang memadai sebagai kekuatan alternatif jika
terjadi stagnasi oposisi dalam konstelasi politik di Indonesia.

Penyerapan Aspirasi

Sebagai alat artikulasi kepentingan daerah maka penyerapan


aspirasi merupakan kegiatan anggota DPD RI yang paling penting.
Dalam operasionalisasi pelaksanaannya, penyerapan aspirasi
masyarakat ini bisa dilakukan dalam dua bentuk, yaitu secara
langsung maupun tak langsung. Secara langsung biasanya
dilakukan dalam berbagai kegiatan di daerah melalui dialog tatap
muka, seminar, atau lokakarya. Kegiatan yang dilakukan pada saat
kunjungan kerja baik pada masa sidang maupun ketika anggota
DPD RI memasuki masa reses ini intinya bertujuan untuk
menyerap, menghimpun, dan menampung aspirasi masyarakat.
Aspirasi masyarakat daerah harus diserap sebanyak-banyaknya,
setelah itu kemudian dipilah ke dalam tingkat prioritas

84
Untuk Apa DPD RI

persoalan, mulai dari persoalan yang paling urgen, yang


harus segera ditindaklanjuti melalui mekanisme
konstitusional sampai hal-hal yang kurang urgen. Persoalan-
persoalan tersebut juga dikategorikan berdasarkan tugas dan
wewenang apakah di tingkatan legislatif ataukah eksekutif.
Aspirasi masyarakat dari setiap daerah ini biasanya sangat
beragam. Dari keberagaman inilah para wakil rakyat bisa
melihat kebutuhan-kebutuhan yang sinergis. Sinergisitas ini
bukan saja antar daerah, tetapi juga provinsi, dan pusat. Oleh
sebab itu keberagaman inilah yang dijadikan pokok penentu
sebuah kebijakan. Bagaimanapun, pemerintah pusat tidak
boleh menentukan kebijakan-kebijakan yang sama terhadap
daerah/provinsi atau asal pukul rata.
Sementara itu, mekanisme penyerapan aspirasi secara tidak
langsung dilakukan melalui konsultasi dengan lembaga
pemerintahan lokal (DPRD/Pemda). Dalam hal ini, DPD RI
menampung aspirasi-aspirasi yang sudah disalurkan ke DPRD/
Pemda. Mekanisme ini sebenarnya bisa dilakukan setiap saat
dan tidak perlu menunggu reses ataupun kunjungan kerja.
Model penyerapan tak langsung ini di samping bisa lebih
efisien juga bisa menguatkan kemitraan di daerah.
Dalam kaitannya dengan penyerapan aspirasi ini peran
seorang wakil daerah bisa kita analogikan ke dalam tiga
bentuk, yaitu sebagai ujung tombak, pembuka kran, dan
sebagai jembatan penghubung.
Pertama, sebagai ujung tombak, anggota DPD RI dituntut
selalu terdepan dalam memperjuangkan kepentingan daerah di
pusat. Akses yang lebih dekat dengan pemerintahan pusat telah
mengkondisikan mereka untuk menjadi ujung-ujung tombak.
Dengan kata lain DPD RI dapat diibaratkan panglima atau

85
Untuk Apa DPD RI

komandan perang yang posisinya selalu berada pada garda


terdepan pasukan.
Kedua, sebagai pembuka kran, anggota DPD RI harus
membuka sumbatan-sumbatan aspirasi daerah. Jika aspirasi
tersebut macet di tingkat pemerintahan daerah atau mogok di
tingkat propinsi maka katup-katup aspirasi ini harus segera
dibuka agar mengalir ke tempat semestinya. Meskipun tindak
lanjut atas aspirasi ini mungkin berjalan lambat, tetapi
sekurang-kurangnya aspirasi itu tidak mengendap sehingga
nantinya berpotensi menimbulkan erupsi atau ledakan yang
berbahaya di daerah.
Ketiga, anggota DPD RI adalah jembatan penghubung
antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintahan
provinsi, serta masyarakat lokal. Jika aspirasi terhadang
birokrasi atau ada jurang komunikasi memisahkan antar
lembaga-lembaga tersebut maka DPD RI adalah jembatan
yang menghubungkan satu sama lain. Bagaimanapun jalinan
kerja sama yang lancar antara berbagai institusi (Pemerintah
Provinsi/ Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota
dan DPD RI) dalam memperjuangkan kepentingan
masyarakat lokal adalah prasyarat awal dari kesamaan
persepsi yang akan menciptakan sebuah sinergi yang nyata.
Kegiatan dialog, seminar, atau lokakarya yang dilakukan oleh
DPD RI khususnya oleh anggota Kelompok DPD di MPR RI di
samping untuk menyerap aspirasi juga dimaksudkan untuk
menyosialisasikan berbagai kegiatan yang telah dilakukan dan
hasil-hasil yang telah dicapai oleh DPD RI serta untuk
mendapatkan masukan dari berbagai kalangan masyarakat
mengenai efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenang DPD RI
sekarang dan peran ideal DPD RI di masa yang akan datang;

86
Untuk Apa DPD RI

masyarakat dapat memahami peran dan posisi DPD RI dalam


peraturan perundang-undangan; dan peningkatan peran DPD
RI dalam menjembatani hubungan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah yang konstruktif dan sinergis.
Pada tahap awal, Kelompok DPD di MPR telah
menyelenggarakan Seminar Nasional pertama yang dibuka
secara resmi oleh Wakil Presiden pada tanggal 2 Maret 2006 di
Gedung Nusantara IV, Jakarta. Selanjutnya telah pula
dilaksanakan seminar di daerah yaitu di Provinsi Riau,
Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau, serta Irian Jaya Barat.
Rangkaian seminar yang dilakukan melalui kerjasama
Kelompok DPD di MPR RI dengan perguruan tinggi setempat
atau organisasi yang profesional menangani seminar tersebut
akan terus berlanjut ke daerah-daerah lainnya.
Peserta seminar yang diselenggarakan di Provinsi DKI
Jakarta, Riau, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau,
serta Irian Jaya Barat rata-rata berjumlah 200 orang setiap
penyelenggaraannya yang terdiri dari unsur Pemerintah
Daerah, akademisi, tokoh masyarakat, LSM, ormas,
orsospol, mahasiswa, dan lain-lain.
Dari beberapa kali penyelenggaraan seminar, secara
umum terdapat kesamaan pandangan dan pendapat peserta
mengenai perlunya penguatan peran dan fungsi DPD RI
sebagaimana hasil seminar yang telah dilaksanakan
dengan rangkuman sebagai berikut:

Rangkuman Hasil Seminar

a. Senapas dengan semangat otonomi daerah diperlukan adanya


lembaga negara yang dapat menjembatani kepentingan pusat dan

87
Untuk Apa DPD RI

daerah, serta mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus


memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses
pengambilan keputusan politik untuk soal-soal yang terutama
berkaitan langsung dengan daerah.

b. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai lembaga


perwakilan yang terdiri atas wakil-wakil rakyat dari seluruh daerah
yang dipilih secara langsung oleh rakyat sesungguhnya memiliki
fungsi dan peran yang sangat penting dan strategis untuk
mendorong proses demokratisasi dan kemajuan di seluruh wilayah
Indonesia.

c. Dengan keterbatasan kewenangan yang dimiliki, DPD tetap dituntut


untuk terus memaksimalkan peran dan fungsinya dalam
memperjuangkan aspirasi masyarakat dan daerah sebagai
tanggung jawab yang diemban sesuai dengan amanat undang-
undang, melalui pembuatan kebijakan yang berkualitas dan
sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi masyarakat dan

daerah.

d. Sistem bikameral yang diterapkan di Indonesia sebagai negara


demokratis termasuk kategori lemah, walaupun legitimasi DPD RI
kuat namun DPD RI memiliki fungsi dan peran yang sangat

terbatas. Seharusnya DPD RI diberi peran yang lebih besar di


bidang legislasi dan Indonesia masuk dalam kategori sistem
bikameral yang kuat.
e. DPD RI dalam perannya menjembatani kepentingan pusat dan daerah,

perlu memperkuat jaring kemitraan baik dengan pemerintah pusat

maupun dengan pemerintah daerah dan berbagai kalangan

masyarakat dalam merumuskan kebijakan nasional.

f. Pemberdayaan DPD RI dan diikuti dengan terbangunnya hubungan


yang harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

88
Untuk Apa DPD RI

akan mendorong sistem bikameral yang kuat di masa yang akan

datang, sehingga kepentingan dan aspirasi masyarakat dan daerah


dapat terjembatani secara efektif oleh DPD dan mitranya menuju
demokrasi dan kesejahteraan yang merata di seluruh daerah dalam
bingkai negara kesatuan Republik Indonesia.

g. Dalam perkembangan diskusi dan dialog selama seminar, peserta


seminar memahami betapa DPD RI memerlukan penguatan dalam
peran, tugas, dan kewenangannya terutama untuk
memperjuangkan kepentingan daerah dalam rangka perumusan
kebijakan nasional. Karena itu, seluruh peserta seminar
mendukung dan setuju terhadap upaya penguatan kewenangan
peran dan tugas DPD RI dalam pelaksanaan otonomi daerah, tata

pemerintahan yang baik dan pemberdayaan daerah.

h. Mengharapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indo-


nesia untuk segera meninjau kembali pasal-pasal dalam Undang-
Undang Dasar 1945, khususnya yang terkait dengan keberadaan
DPD RI.

Proses Penyaluran Aspirasi

Setelah wakil daerah melakukan proses penyerapan


aspirasi, tentunya realisasi konkrit atau tindaklanjutnya
ditunggu masyarakat. Aspirasi-aspirasi yang masuk harus
diperhatikan dan diproses pada jalur semestinya. Dalam
hal ini ada tahapan-tahapan yang mesti dilakukan oleh
seorang wakil daerah, yaitu antara lain:
a. Menyusun laporan hasil kunjungan kerja dalam bentuk
resume aspirasi masyarakat yang telah dipisahkan
berdasarkan persoalan masing-masing.

89
Untuk Apa DPD RI

b. Melakukan identifikasi persoalan-persoalan tersebut


sehingga menjadi jelas dan spesifik.
c. Melakukan pemilahan atau kategorisasi berdasarkan tugas,
kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif, seperti:
a. Persoalan yang menjadi kewenangan DPD RI sendiri
b. Persoalan yang menjadi kewenangan DPRD dan Pemda Provinsi
c. Persoalan yang menjadi kewenangan DPRD kabupaten/
kota, atau Pemda kabupaten/kota.
d. Persoalan yang di luar kewenangan DPD RI selanjutnya
disampaikan melalui mekanisme rapat kerja di daerah
yang didasarkan atas skala prioritas persoalan.
e. Persoalan yang menjadi kewenangan DPD RI kemudian
dibawa ke Pusat untuk disusun bersama-sama anggota DPD
RI provinsi masing-masing dan dipilah berdasarkan wilayah
kerja PAH untuk diparipurnakan. Laporan yang disampaikan
pada paripurna kemudian disalurkan kepada PAH
berdasarkan wilayah kerja masing-masing untuk dibahas
bersama dengan pemerintah, dalam hal ini menteri terkait.
f. Terkait dengan masukan dari berbagai kalangan masyarakat
mengenai peran ideal DPD ke depan dan peningkatan peran
DPD RI dalam menjembatani hubungan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah yang konstruktif dan sinergis, maka
Kelompok DPD di MPR akan menyampaikan masukan tersebut
kepada Pimpinan MPR RI untuk dapat diproses lebih lanjut.

Kunjungan Intra-Parlemen

Mendapati kenyataan bahwa DPD RI ini ibarat benih


yang baru tumbuh maka ia harus rajin disirami dan
dipupuk. Atau, ibarat bayi yang baru lahir maka DPD RI

90
Untuk Apa DPD RI

patut belajar dari lembaga-lembaga lain yang lebih dewasa


dan berpengalaman.
Untuk menjadi sebuah institusi yang kuat, DPD RI tentunya
perlu belajar dari pengalaman lembaga-lembaga lain yang
sejenis. DPD RI secara perlahan, setapak demi setapak, sudah
mulai menata dan membangun dirinya. Pelajaran berharga
biasanya bisa didapatkan dari lembaga-lembaga yang telah
berhasil memosisikan dirinya. Lembaga-lembaga yang hingga
kini bukan saja masih bisa bertahan dan mengambil perannya
dengan baik, tapi juga telah menunjukkan kinerja serta dampak
yang nyata atas perubahan.
Di dalam negeri sendiri, DPD RI tidak bisa begitu saja
meniru DPR RI. DPD RI bisa bercermin dari DPR RI, tetapi ia
bukan duplikasi DPR RI. Meskipun sama-sama sebagai
lembaga negara, tetapi masing-masing bergerak dari basis dan
latar belakang yang berbeda. Di samping sudah diatur perannya,
ada juga karakteristik khusus yang membedakan keduanya.
Bagaimanapun DPD RI tidak boleh terlambat dalam
memanfaatkan mandat konstitusionalnya. Di samping itu,
mengingat tantangan ke depan, DPD RI perlu segera
meninjau ulang kelemahan-kelemahan yang ada dalam
dirinya dan mengidentifikasi kebutuhannya di masa depan.
Berkaitan dengan hal tersebut DPD RI kemudian berinisiatif
untuk mengambil pelajaran serta menimba ilmu dari institusi
sejenis di negara lain atau semacam studi banding sehingga
memiliki model guna diterapkan dalam konteks negara kita.
Dalam hal ini dua negara dipilih sebagai model, yaitu National
Assembly, khususnya National Counci1 of Provinces (NCOP)
Afrika Selatan dan Commonwealth Parliament (CP), khususnya
Senate of Australia (SA).

91
Untuk Apa DPD RI

NCOP Afrika Selatan


NCOP adalah lembaga sejenis DPD RI yang dibentuk
sebagai kamar kedua dalam konstitusi baru negara Afrika
Selatan. Lembaga perwakilan provinsi ini mendapat mandat
konstitusional dengan tujuan untuk menjamin agar kepentingan
provinsi tidak terabaikan oleh pemerintah pusat. Institusi yang
sudah berjalan selama satu tahun memiliki tantangan-tantangan
yang hampir serupa dengan konteks Indonesia.
Dalam laporan studi banding terungkap bahwa meski
memiliki kesamaan dengan DPD RI, NCOP ternyata memiliki
kewenangan yang berbeda secara mencolok. Jika DPD RI tidak
memiliki wewenang membuat keputusan, maka NCOP
memiliki wewenang untuk membuat keputusan mengenai UU
yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Di samping itu,
NCOP juga memiliki hak berbicara di lembaga legislatif
provinsi (DPRD I) yang diwakilinya, namun tidak memiliki hak
suara dalam voting. Dengan demikian, anggota NCOP memiliki
kesempatan untuk berpartisipasi secara langsung dalam
perdebatan penting yang terjadi di lembaga legislatif provinsi.

Commonwealth Parliament-Australia
Sedangkan Australia, meski memiliki tradisi parlemen
yang berbeda, DPD RI bisa belajar dari sistem organisasinya
yang kuat dan institusi yang mapan. Melalui kunjungan
intra-parlemen ini, DPD RI sekaligus telah ikut menjalankan
misi untuk membina hubungan bilateral dengan negara lain.
Pada Tanggal 21 hingga 28 Mei 2005, delegasi DPD RI yang
diwakili oleh Irman Gusman SE, MBA (Wakil Ketua DPD RI),
Intsiawati Ayus SH, MH (Wakil Ketua Panitia Perancang

92
Untuk Apa DPD RI

Undang-Undang), Nyoman Rudana (Wakil Ketua Panitia


Kerja Antar Lembaga), Drs. H. Syahdan Ilyas (Panitia
Urusan Rumah Tangga), melakukan Kunjungan Kerja ke
Common-wealth Parliament Australia.
Sejumlah hasil dan kesimpulan telah didapat melalui
kunjungan ini. Dari hasil kunjungan tersebut dirumuskan
sejumlah saran dan rekomendasi, antara lain:
1. Perlunya meningkatkan fungsi pengawasan lembaga DPD-RI
terhadap pelaksanaan berbagai aktivitas kelembagaan, baik
secara internal maupun eksternal. Fungsi pengawasan internal
dalam rangka meningkatkan kinerja anggota dan alat-alat
kelengkapan DPD-RI. Fungsi pengawasan eksternal, sesuai
dengan amanat konstitusi, adalah pengawasan atas pelaksanaan
UU yang terkait dengan masyarakat dan pemerintah daerah,
serta pelaksanaan otonomi daerah.
2. Perlu segera dibentuk dan diaktifkan Kantor Daerah DPD-RI
di setiap provinsi untuk mendukung operasionalisasi
program kerja dan hubungan antara Anggota DPD-RI
dengan masing-masing konstituen. Kantor tersebut didukung
oleh tenaga ahli yang profesional dan bekerja penuh waktu,
sehingga komunikasi dan aspirasi masyarakat daerah dapat
dikelola secara terpadu dan berkesinambungan dan
mengoptimalkan kinerja para anggota DPD-RI, sebagaimana
layaknya seorang Senator di Australia.
3. Perlu segera diupayakan peningkatan kemandirian anggaran
anggota DPD-RI, agar kinerja, kewibawaan lembaga di mata
konstituen, dan kesetaraan kewenangan sebagai lembaga negara
atau pejabat negara lainnya, sebagaimana yang juga berlaku di
negara-negara demokrasi lainnya, dapat diterapkan bagi DPD-RI.

93
Untuk Apa DPD RI

4. Perlu segera dikembangkan hubungan kerjasama yang lebih


terarah, sinergis dan berkesinambungan antara DPD-RI
dengan Senat Australia, dalam rangka peningkatan kapasitas
kelembagaan dan kontribusi masing-masing lembaga dalam
peningkatan hubungan baik dan kerjasama kedua negara,
baik antar-pemerintah maupun antar-warga masyarakat.
5. Perlunya pembentukan kelompok parlemen (Parliament
Group) DPD-RI dengan Senat Australia, sebagai mitra
kerja lembaga serupa di Australia yang bernama
“Parliament Group on Indonesia”, yang bertujuan
meningkatkan dan memfasilitasi kerja sama antar
“state” dengan berbagai provinsi di Indonesia.
6. Para anggota DPD-RI perlu melakukan inventarisasi
berbagai peluang dan potensi kerja sama yang dapat
dimitrakerjakan dengan para anggota Senat Australia.
7. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan anggota
serta memperluas jaringan kerja sama internasional
DPD-RI di masa yang akan datang, perlu terus
diupayakan kegiatan studi banding ke negara-negara
lain yang mempunyai Lembaga Senat atau yang setara
dengan DPD-RI, dalam suatu paket kerja sama
kemitraan yang berkualitas dan berkesinambungan.
8. Dengan menyadari keterbatasan anggaran DPD-RI
dalam rangka mengadakan studi banding dengan
negara-negara lain, perlu menggalang kegiatan dengan
pihak lain (donor internasional) untuk mendukung dana
studi banding DPD-RI yang sekaligus
menyosialisasikan DPD-RI di dunia internasional.

94
Untuk Apa DPD RI

9. Perlunya meningkatkan kemampuan, keahlian dan


kualitas kerja personalia/sumber daya manusia
Sekretariat Jenderal DPD-RI dalam rangka memberikan
dukungan administra-tif dan manajemen kepada DPD-
RI, salah satunya misalnya dengan mengirimkan staf
untuk mengikuti pelatihan singkat yang diadakan oleh
pemerintah/lembaga resmi Australia.

Penutup

Uraian di atas menunjukkan persoalan-persoalan yang


melingkupi DPD RI dan capaian-capaian kegiatan yang
sudah dilakukan, sekalipun masih dalam keterbatasan. Hal
ini menunjukkan betapa DPD RI belumlah ideal,
sebagaimana anggapan banyak orang. Inovasi dan
kreativitas menjadi kebutuhan, sekalipun hal ini sangat
tergantung kepada pelaksanaan fungsi, tugas dan
wewenang pokoknya yang sebagian masih menyisakan
kevakuman hukum dan perundang-undangan.
DPD RI juga tidak bisa bergerak selincah kijang. Persoalan
kedaerahan memang banyak, namun hampir semua institusi
atau lembaga nasional juga bergerak di daerah. Belum lagi
pemerintahan daerah. Sehingga, tumpang tindihnya persoalan
institusi yang mengurus daerah langsung menjadi beban kerja
DPD RI. Padahal, mandat konstitusional DPD RI sudah
didapatkan, hanya saja dibutuhkan lebih banyak waktu dan
pengalaman untuk memaksimalkan mandat itu.
Jejak langkah DPD RI selama satu tahun belakangan ini
sudah mulai terlihat, sekalipun tapak demi tapak itu tidak

95
Untuk Apa DPD RI

sepenuhnya jelas. Sebagian malah kabur, akibat masih


munculnya ketidakpercayaan diri, miskinnya pengalaman,
sampai keharusan untuk membangun institusi DPD RI sendiri
justru ketika persoalan keindonesiaan dan kedaerahan datang
silih berganti. Lebih dari sekadar tetirah, DPD RI juga
berselimutkan duka. Dua orang anggota terbaiknya yaitu Raja
Inal Siregar dan Abdul Halim Harahap dari pemilihan Sumatera
Utara, dipanggil Tuhan Yang Maha Esa dalam kecelakaan
pesawat di Medan, Sumatera Utara Tanggal 5 September 2005.
Sampai buku ini ditulis, nama kedua orang itu masih ada,
karena dua orang penggantinya belum datang.
Di tengah kekaburan itu, harapan satu-satunya adalah
bagaimana publik terus melakukan apresiasi, apakah dengan
jalan mengeritik, memberikan masukan, menuntut, atau
langkah-langkah demokratis lainnya. Keberadaan DPD RI
akan sangat tergantung dari rasa kepemilikan publik.
Publiklah yang menjadi pemilik sah DPD RI, bukan malah
sebaliknya, DPD RI yang memiliki publik. Penguatan
kelembagaan DPD RI hanya akan menjadi harapan semata,
apabila rasa kepemilikan oleh publik itu hilang...

96

Anda mungkin juga menyukai