PERITONITIS
Oleh:
dr. Jorghi Rezkivan
Pembimbing:
dr. Nora Ismi Afriani
1
RSUD dr. H. BOB BAZAR, SKM KALIANDA
KABUPATEN LAMPUNG SELATAN
PROVINSI LAMPUNG
TAHUN 2018
2
KATA PENGANTAR
Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Allah SWT, karena atas
rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul tepat
pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai salah
satu tugas dalam melaksanakan program dokter internsip Rumah Sakit Umum
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Nora Ismi Afriani yang telah
meluangkan waktunya untuk saya dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Saya
menyadari banyak sekali kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bukan hanya untuk saya, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 40 tahun
Status Kawin : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Umbul besar 001/003, Bandar
Nomor M.R. : 229183
Tanggal dan jam MRS : 02-10-2018
Tanggal Periksa : 02-10-2018
2.2 ANAMNESIS
(Autoanamnesis pada tanggal 2 Oktober 2018)
o Keluhan Utama:
Nyeri perut hebat mendadak di seluruh bagian perut sejak 1 jam sebelum
masuk rumah sakit.
4
lalu (pukul 16.00) dan buang air besar 5 jam yang lalu (pukul 13.00).
Buang air besar konsistensi lunak dan berwarna coklat, normal seperti
biasanya. Buang air kecil tidak nyeri, warna urin kuning, dan volum
normal seperti biasa. Pasien terakhir makan 2 jam yang lalu dan pada saat
itu belum merasakan adanya nyeri, penurunan nafsu makan, dan keluhan
apapun. Pasien merasa meriang dan panas ketika sudah hampir sampai di
rumah sakit.
5
Kepala Normosefali tanpa tanda trauma
Hidung Septum nasi tidak deviasi, tidak ada perdarahan aktif, sekret tidak
ada.
6
Paru Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris saat statis dan dinamis
Abdomen Inspeksi : dinding abdomen datar seperti papan dan tidak banyak
bergerak ketika inspirasi-ekspirasi , tidak tampak darm contour atau
darm steifung.
7
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Laboratorium : (02 – 10 2018)
TES HASIL UNIT NILAI NORMAL
Darah Rutin
Hematokrit 45 % 37 – 54
2.5 RESUME
Pasien Tn. S berusia 40 tahun, datang dengan keluhan nyeri perut
hebat di seluruh perutnya sejak 1 jam SMRS, awalnya hanya dirasakan di
ulu hati saja namun tidak lama kemudian dirasakan di seluruh perutnya,
nyeri perut dirasakan seperti ditusuk-tusuk, terus menerus, semakin lama
semakin nyeri, dan nyeri semakin bertambah parah apabia pasien berjalan,
batuk atau mengedan, berdiri atau berjalan. Mual muncul setelah dirasakan
muncul nyeri dan pasien tidak muntah. Pasien merasa badannya meriang
dan demam ketika dibawa menuju rumah sakit.
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan, alergi obat, penyakit
jantung, kencing manis, tekanan darah tinggi, asma.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien sakit berat,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, pernafasan
8
18x/menit, nadi 72x/menit, dan suhu 37,5oC. Pada pemeriksaan abdomen
ditemukan perut datar dengan hampir tidak pergerakan ketika inspirasi-
ekspirasi, bising usus menurun, nyeri tekan dan nyeri lepas positif pada
seluruh lapang abdomen, dan defense muscular positif. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan leukositosis yakni 14.000/µL.
2.6 DIAGNOSIS
- Diagnosis Kerja
Peritonitis akut generalisata
- Diagnosis Banding
Appendicitis perforasi
2.7 PENATALAKSANAAN
Umum :
- Ketorolac 3 x 30 mg (IV)
- Raniditine 2 x 50 mg (IV)
2.8 PROGNOSIS
- ad vitam : bonam
- ad fungsionam : bonam
- ad sanationam : bonam
9
BAB III
ANALISIS KASUS
Pasien yang dibahas dalam laporan kasus ini adalah seorang pria
berusia 40 tahun mengeluhkan adanya nyeri perut hebat yang muncul mendadak
di seluruh perutnya sejak 1 jam yang lalu. Akut abdomen merupakan istilah yang
umum digunakan untuk kondisi pasien ini, yaitu adanya nyeri perut mendadak
yang tidak diketahui penyebabnya (namun berasal dari gangguan intra-abdomen)
yang hebat yang muncul kurang dari 24 jam dan umumnya membutuhkan
diagnosis dini dan penanganan pembedahan emergency.14 Akut abdomen
memiliki variasi diagnosis banding yang cukup banyak sehingga membutuhkan
evaluasi lebih lanjut. Evaluasi awal yang memudahkan klinisi untuk mengetahui
etiologi dari akut abdomen adalah lokasi nyeri.14 Keluhan nyeri beserta seluruh
karakteristik nyeri pada pasien ini sebenarnya sugestif sudah terjadi peritonitis
akut (karena nyeri dirasakan di seluruh lapang abdomen), namun hal penting yang
perlu diketahui adalah awalnya nyeri hanya dirasakan di ulu hati saja (regio
epigastrium). Appendisitis perforasi sebagai salah satu diagnosis banding etiologi
dari peritonitis harus selalu dipikirkan kemungkinannya karena merupakan
penyebab utama yang paling sering menyebabkan peritonitis (walaupun nyeri
kuadran kanan bawah tidak dikeluhkan oleh pasien).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan suhu (37,5 celcius)
pada tanda-tanda vital (lainnya dalam batas normal). Pada pemeriksaan abdomen
ditemukan adanya perut datar seperti papan (hampir tidak pergerakan ketika
inspirasi-ekspirasi), bising usus (+) tetapi menurun, tidak supel, nyeri tekan dan
nyeri lepas positif pada seluruh lapang abdomen, dan defense muscular positif.
Pemeriksaan genitalia ditemukan benjolan pada skrotum sinistra tanpa tanda-
tanda peradangan, dapat dimasukan ke rongga abdomen, konsistensi lunak,
invagination dan occlusion test positif.
Pemeriksaan abdomen pada pasien ini jelas menunjukan adanya
peritonitis umum. karena ditemukan trias peritonitis yang sering digunakan secara
10
klinis adalah adanya nyeri tekan, nyeri lepas, dan defense muscular pada seluruh
lapang abdomen. Bising usus yang menurun merupakan tanda paralisis peristalsis
usus (ileus paralitik) yang umum ditemukan pada pasien peritonitis. Point of
maximal tenderness ditemukan pada Macburney’s Point disertai tes reduksi, tes
invaginasi dan oklusi yang positif, tanpa adanya nyeri tekan dan tegang pada
daerah tersebut, menunjukan hernia skrotalis sinistra masih reponibilis (bukan
strangulata) dan diagnosis etiologi peritonitis generalisata mengarah ke
appendisitis perforasi. Pemeriksaan penunjang berupa ekg tidak ditemukan
adanya kelainan dan pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis yakni
13.300/µL, namun tidak mengarahkan diagnosis secara spesifik.
Dari seluruh gejala-tanda klinis, serta pemeriksaan penunjang,
ditetapkan diagnosis kerja untuk pasien ini adalah peritonitis akut generalisata ec
suspek appendisitis perforasi (dengan diagnosis banding perforasi ulkus
peptikum) serta adanya hernia skrotalis sinistra reponibilis. Pasien direncanakan
untuk dilakukan operasi cito laparatomi (pasien datang ke UGD pada pukul 18.30
dan operasi dilaksanakan pada pukul 21.00). Pasien langsung dipuasakan makan
dan minum, diberikan infus RL sebanyak 30tpm (2000 mL/24 jam), antibiotik
(sefalosporin generasi ketiga yaitu ceftriaxone dengan dosis 1x2 gram intravena
analgetik untuk mengurangi nyeri pasien karena pasien sangat kesakitan
(ketorolac 3x30 mg), dan ranitidine 2x50 mg untuk mengurangi ekskresi asam
lambung (karena pasien dipuasakan).
11
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
12
4.2 ANATOMI & FISIOLOGI PERITONEUM
4.2.1 Anatomi Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam
tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain
peritoneum parietal yang melapisi bagian internal dari dinding abdominopelvis
dan peritoneum visceral yang melapisi organ-organ abdomen.5,6 Hubungan
peritoneum dan organ-organ dalam kavitas intra abdomen dikelompokkan
menjadi, antara lain organ intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya dengan
peritoneum, dan retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, colon desendens,
dan rectum) yang tidak terlapisi maupun terlapisi hanya sebagian peritonum.
Peritoneum visceral yang membungkus atau menunjang organ-organ bersama-
sama dengan jaringan ikat disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan
istilah ligamen peritoneum, omentum atau mesenterium.6 Mesenterium
merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat invaginasi peritoneum karena
suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan dinding posterior
abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon).5,6 Ligamen
peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan organ satu
dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang
menghubungkan liver dengan dinding abdomen anterior).5 Berbeda dengan
ligamen peritoneum dan mesenterium, greater omentum terdiri dari 4 lapisan
peritoneum (karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan
sejumlah jaringan adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic
ligament, gastrosplenic ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser
omentum terdiri dari hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.5,6
13
Gambar 3. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan
peritoneum parietal dan visceral
Gambar dikutip dari: Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring
S. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th Edition. Churchill
Livingstone El Sevier. 2008.
14
Gambar 4. Ligamen peritoneum dan omentum
Gambar dikutip dari: Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR.
Essential Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. 2007. p. 118-204
Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen
yang mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen,6 sedangkan
peritoneum visceral dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga
memberikan suplai saraf otonom pada organ visceral tersebut (Gambar 5).7
Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi
apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau
parietal. Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau
kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri
umumnya terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum
parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi
nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi
15
dari parietal peritoneum. Refleks inilah yang menyebabkan localized
hypercontractility (muscle guarding) dan perut papan (rigidity of abdominal
wall).6 Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri
dan refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf
visceral peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu
daerah dari tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium (struktur foregut),
periumbilikal (struktur midgut), dan suprapubik (struktur hindgut).6,7
16
2.2.2 Mekanisme pertahanan peritoneum
Peritoneum terdiri dari selapis sel-sel mesothelium yang berdiri dibawah
membran basalis, dan sekumpulan jaringan ikat yang dibentuk dari sel adiposa,
makrofag, fibroblast, limfosit, dan jaringan ikat elastik kollagen.4 Total luas
permukaan peritoneum sekitar 1,7 m2. Dalam kondisi normal, peritoneum sifatnya
steril dan berisi sekitar 50 mL cairan kekuningan yang berisikan makrofag, sel
mesotelium, dan limfosit. Membran peritoneum memiliki sifat difusi
semipermeabel untuk air dan zat-zat terlarut tertentu sehingga terjadi difusi secara
terus-menerus dari cairan peritoneum dengan cairan interselullar. Tidak seperti
cairan dan zat-zat terlarut lainnya, partikel yang lebih besar dieliminasi lewat
orifisum yang dibentuk oleh sel-sel mesotelium terspesialisasi yang terletak di
permukaan subdiafragma dalam rongga peritoneum menuju sirkulasi limfatik.4
Eliminasi ini difasilitasi oleh pergerakan diafragman dan tekanan thorako-
abdominal. Proses eliminasi ini merupakan salah mekanisme pertahanan tubuh
untuk menjaga peritoneum tetap steril.
Mekanisme pertahanan peritoneum lainnya adalah adanya makrofag pada
rongga peritoneum.4 Pada fase inisial hanya makrofag yang berperan terjadinya
inflamasi, namun adanya rangsangan sitokin akan memanggil neutrophil dalam 2-
4 jam dan sel-sel PMN (Polymorphonuclear) tersebut akan mendominasi dalam
48-72 jam pertama. Sel-sel PMN akan mengeluarkan sitokin, antara lain
interleukin (IL)-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor), leukotriene, platelet
activating factor, C3A, dan C5A yang akan membentuk terjadinya inflamasi lokal
pada daerah tersebut. Reaksi peradangan ini mengakibatkan pembentukan
fibrinogen pada fokus septik dan benang-benang fibrin membentuk sebuah mesh
yang secara temporer menurunkan dan menge-blok reabsorpsi cairan dari rongga
peritoneum serta menjerat bakteri dalam sebuah “perangkap”.4 Mekanisme
pertahanan inilah yang menyebabkan pembentukan sebuah abses. Selain itu,
omentum juga bermigrasi pada daerah peradangan untuk memfasilitasi
pembentukan abses lebih lanjut. Daerah yang paling umum adalah daerah
subphrenic.
17
Kedua mekanisme pertahanan ini (eliminasi mekanik dan pembentukan
eksudat) memiliki efek paradoks.4 Eliminasi mekanik pada mekanisme pertahanan
yang pertama sebenarnya menyebabkan bakteremia, dan apabila masif dapat
mengakibatkan shok septik dan berakhir dengan kematian. Pembentukan eksudat
dan reaksi peradangan yang kaya akan sel fagositik dan opsonin dapat
menyebabkan migrasi cairan dan protein pada “rongga ketiga”, hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan shok karena albumin berpindah pada
rongga abdomen.
4.3 EPIDEMIOLOGI
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas,2 namun yang
pasti diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder
merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik.2,3
Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus
gastrointestinal.4 Penyebab umum dari peritonitis sekunder, antara lain
appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi
kolon karena diverticulitis, volvulus, atau keganasan, dan strangulasi dari usus
halus.2 Terdapat perbedaan etiologi peritonitis sekunder pada negara berkembang
(berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada negara berpendapatan rendah,
etiologi peritonitis sekunder yang paling umum, antara lain appendisitis perforasi,
perforasi ulkus peptikum, dan perforasi tifoid.9 Sedangkan, di negara-negara barat
appendisitis perforasi tetap merupakan penyebab utama peritonitis sekunder,
diikuti dengan perforasi kolon akibat divertikulitis.10 Tingkat insidensi peritonitis
pascaoperatif bervariasi antara 1%-20% pada pasien yang menjalani laparatomi.
Pada era pre-antibiotik peritonitis primer mencakup sekitar 10% dari
seluruh akut abdomen, namun dewasa ini hanya mencakup kurang dari 1-2%.8
Penurunan yang bermakna diduga dikarenakan penemuan dari antibiotik.
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) ditemukan terutama pada pasien sirosis
hepatis Child-Pugh class C (Pasien yang mengalami SBP, 70% merupakan Child-
Pugh class C).2 Peritonitis tersier ditemukan umumnya pada pasien
immunocompromised.
18
4.4 ETIOLOGI, PATOFISIOLOGI & MANIFESTASI KLINIS
Sesuai dengan definisinya, peritonitis secara prinsip merupakan peradangan
yang terjadi pada peritoneum akibat adanya kerusakan pada peritoneum.
Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang berbeda
dalam patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya peritonitis tidak
berasal dari traktus gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi tidak
berhubungan langsung dengan gangguan organ gastrointestinal),3,8 sedangkan
pada sekunder ditemukan adanya kerusakan integritas traktus (perforasi) tersebut
baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi.3
Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang
steril terhadap mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal.8 Dalam
keadaan fisiologis tidak ada hubungan langsung antara lumen gastrointestinal
dengan rongga peritoneum, namun apabila terjadi kerusakan integritas dari traktus
gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan integritas dari traktus
gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti appendisitis perforasi,
perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon (sigmoid)
karena diverticulitis, sampai volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis,
femoralis, atau obturator).2 Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti
Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan
anaerobik lainnya) masuk dalam rongga peritoneum.
Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat polimikrobial
(gram negatif aerob dan anaerob). Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut
menyebabkan reaksi peradangan seperti yang mengaktifkan seluruh mekanisme
pertahanan peritoneum (dari eliminasi mekanik sampai pembentukan eksudat).
Eliminasi mekanik menjadi salah satu jalur utama bagi bakteri-bakteri masuk
dalam pembuluh darah (bakteremia) yang pada akhirnya dapat berlanjut menjadi
sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan MODS (Multiple Organ Dysfunction
Syndrome). Reaksi peradangan lokal menyebabkan peningkatan permeabilitas dari
pembuluh darah kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan ke “rongga ketiga”
yang dapat berlanjut menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut dapat
berlanjut menjadi SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), dimana
19
dapat ditemukan dua tanda berikut, antara lain suhu >38° C atau <36° C, nadi >90
kali/menit, laju nafas >20 kali/menit, or PaCO2 <32 mmHg, WBC >12,000
sel/mm3 or <4000 sel/mm3, or <10% imatur (neutrofil batang). Proses inflamasi
akut dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis dan
supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan terganggu
sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga peritoneum, tetapi juga dalam
lumen usus. Selain itu, ileus paralitik menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme
yang tidak terkontrol.
Manifestasi klinis dibagi berdasarkan manifestasi lokal dan sistemik sesuai
patofisiologi terjadinya peritonitis.11 Pada manifestasi lokal ditemukan adanya
nyeri perut hebat, nyeri tekan seluruh lapang abdomen (pada peritonitis umum),
rebound tenderness, adanya muscle guarding atau rigidity (perut papan), dan
manifestasi klinis akibat ileus paralitik (distensi abdomen, penurunan bising usus),
sedangkan pada tanda klinis sistemik dapat ditemukan adanya demam, takikardia,
takipnea, dehidrasi, oliguria, disorientasi, dan syok (manifestasi SIRS).
4.5 DIAGNOSIS
Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada anamnesis
dan pemeriksaan fisik.2,4 Gejala utama pada seluruh kasus peritonitis adalah nyeri
perut yang hebat, tajam, dirasakan terus-menerus, dan diperparah dengan adanya
pergerakan.4 Mayoritas pasien cenderung diam terlentang di tempat tidur dengan
sedikit menekuk lutut untuk mengurangi nyeri perut (karena maneuver tersebut
mengurangi tekanan pada dinding abdomen). Adanya anoreksia, mual, dan
muntah seringkali pula ditemukan, namun bervariasi tergantung etiologi dari
peritonitis. Anamnesis harus pula mencari kemungkinan sumber etiologi dari
peritonitis sekunder sehingga harus ditanyakan mengenai riwayat penyakit
sekarang (riwayat dyspepsia kronis mengarahkan ke perforasi ulkus peptikum,
riwayat inflammatory bowel disease atau divertikulum mengarahkan perforasi
kolon karena divertikulitis, riwayat demam lebih dari 1 minggu disertai pola
demam dan tanda-tanda klinis khas untuk tifoid mengarahkan ke perforasi tifoid,
adanya riwayat hernia daerah inguinal (inguinalis atau femoralis) harus disuspek
20
kemungkinan adanya strangulasi, sedangkan nyeri mendadak tanpa disertai
adanya riwayat penyakit apapun mengarahkan ke appendisitis perforasi), riwayat
operasi abdomen sebelumnya.2 Berbeda dengan peritonitis sekunder, peritonitis
primer patut dicurigai pada pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat
penyakit liver kronis (terutama sirosis hepatis).4,8
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan
temuan tanda-tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal seperti
dijelaskan pada manifestasi klinis. Pada tanda-tanda lokal dapat dicari point of
maximal tenderness (daerah dimana terjadi iritasi maksimal dari peritoneum)
untuk menentukan lokasi proses patologis awal (etiologi dari peritonitis).2
Pemeriksaan colok dubur umumnya akan menunjukan adanya nyeri pada seluruh
lokasi. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah
lengkap dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis, dengan shift to the left yaitu
peningkatan sel batang PMN), kimia darah dapat ditemukan kelainan seperti
peningkatan ureum dan kreatinin (tanda syok hipovolemik atau sepsis berat), dan
pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat menunjukan adanya asidosis
metabolik, pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan diagnosis dari traktus
urinarius. Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis seperti x-ray dapat
berguna (free air under diaphragm yang terlihat pada posisi upright pada
perforasi ulkus peptikum (Gambar 6),12 tetapi jarang pada etiologi lainnya).
Pemeriksaan CT-scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda
penanganan pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan
klinis).4Apabila diagnosis klinis tidak konklusif dapat dilaksanakan diagnostic
peritoneal lavage (DPL) untuk analisis cairan peritoneum,4 ditemukannya hasil
yang positif (>500 leukosit/mL) mengarahkan diagnosis peritonitis.2,4
21
Gambar 6. Pneumoperitoneum (free air under diaphragm)
Gambar dikutip dari: Baron MJ, Kasper DL. Chapter 127. Intraabdominal Infections and
Abscesses. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies. 2012. Accessed in:
http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?aID=9119694&searchStr=peritonitis
4.6 TATALAKSANA
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad
spectrum, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau
ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam
4x 3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal). 12 Terapi empiris
untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien dengan primary bacterial
peritonitis (PBP atau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya mengalami
perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat
diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah
yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya
22
rekurensi pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi
<20%. Regimen yang diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain
ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-
sulfamethoxazole.12
Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi
etiologi (source control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian
antibiotik sistemik, dan terapi suportif (resusitasi).2 Tidak seperti penanganan
peritonitis primer yang secara prinsip adalah tindakan non-pembedahan, sine qua
non penanganan peritonitis sekunder adalah tindakan pembedahan dan bersifat
life-saving.12 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat “early and definitive
source control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi juga dapat
mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen.13 Keterlambatan
dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk prognosis.
Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi
cairan (resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan) untuk
mencegah terjadinya syok hipovolemik (dan syok septik) yang memperparah
disfungsi organ.2,13 Pemberian antibiotik mencakup bakteri gram positif dan
negatif serta bakteri anaerob (walaupun secara umum perforasi upper GI tract
lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan colon
lebih mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob).2,4 Beberapa pilihan regimen
antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan penicillin/
β-lactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau
golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau sefalosporin
generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan metronidazole 3x500
mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care Unit dapat diberikan
imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem 3x 1gram intravena).12
Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit normal
dan hitung jenis batang < 3%.11 Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik
perlu untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial pressure >65
mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure
23
CVP antara 8-12mmHg).4 Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric
tube (NGT) pada pasien ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang
dominan.13 Pada pasien penurunan kesadaran dan adanya syok septik perlu
dipertimbangkan pemasangan intubasi.
Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari
kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan
mencegah sepsis.4,13 Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan
tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit tercapai.13
Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang mengalami
perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi ulkus).4,11 Pada
perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara sementara sebelum
dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari (beberapa minggu setelah
keadaan umum pasien membaik).11 Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan
cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan
tujuan mengurangi bacterial load dan mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan re-
akumulasi dari pus).4,11,13 Tidak direkomendasikan pembilasan dengan
menggunakan iodine atau agen kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga
abdomen ditutup kembali. Secara ideal, fascia ditutup dengan benang non-
absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kasa basah selama 48-
72 jam. Apabila tidak terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan
(delayed primary closure technique). Teknik ini merupakan teknik closed-
abdomen, pada laporan kasus ini tidak akan dibahas secara mendalam mengenai
teknik open-abdomen).
4.7 PROGNOSIS
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah
10%-40% pada perforasi kolon (Tabel 1).11 Faktor yang mempengaruhi tingkat
mortalitias yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi
penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan
keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada pasien
dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri
24
yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk
(APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan
tingkat serum albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi
yang membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka
mortalitas yang tinggi.
Tabel 1. Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi
Tabel dikutip dari: Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT
Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855. Accessed November 11, 2013.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Silen W. Chapter 300. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles
of Internal Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies. 2012. Accessed
in: http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?aID=9132908
2. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Medscape
2013. Accessed in: http://emedicine.medscape.com/article/180234-
overview#showall
3. Sartelli M. A Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg Surg
2010;5:9
4. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill
Patient. Surg Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49
5. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR.
Essential Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. 2007. p.
118-204
6. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring
S. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40th Edition.
Churchill Livingstone El Sevier. 2008.
7. Neurobiology of Visceral Pain. International Association for the Study of
Pain 2012. Accessed in: http://www.iasp-
pain.org/AM/Template.cfm?Section=Fact_Sheets5&Template=/CM/ContentDisp
lay.cfm&ContentID=16194
8. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis: Update on
Pathophysiology, Clinical Manifestations, and Management. Clin Inf Dis
1997;24:1035-47
9. Gupta S, Kaushik R. Peritonitis - the Eastern experience. World J Emerg
Surg 2006; 1:13.
10. Malangoni M, Inui T. Peritonitis - the Western experience. World J Emerg
Surg 2006; 1(1):25.
26
11. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM,
ed. CURRENT Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-
Hill; 2010. http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855.
Accessed November 11, 2013.
12. Baron MJ, Kasper DL. Chapter 127. Intraabdominal Infections and
Abscesses. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL,
Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18 edition. The McGraw
Hill Companies. 2012. Accessed in:
http://ezproxy.library.uph.edu:2076/content.aspx?aID=9119694&searchStr=perit
onitis
13. Peralta R, Geibel J. Surgical Approach to Peritonitis and Abdominal
Sepsis. Emedicine Medscape 2013. Accessed in:
http://emedicine.medscape.com/article/1952823-overview#showall
14. Siegenthaler W. Acute Abdomen. In: Siegenthaler W. Differential
Diagnosis in Internal Medicine: From Symptom to Diagnosis. Thieme. 2007. p.
257-8
15. Cartwright SL, Knudson MP. Evaluation of Acute Abdominal Pain in
Adults. Am Fam Physician 2008;77(7):971-8
27