Anda di halaman 1dari 31

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Tenaga kerja
Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No.
13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Secara garis besar penduduk suatu negara
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk
tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja
yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun – 64 tahun. Menurut pengertian ini,
setiap orang yang mampu bekerja disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat
mengenai usia dari para tenaga kerja ini, ada yang menyebutkan di atas 17 tahun ada pula
yang menyebutkan di atas 20 tahun, bahkan ada yang menyebutkan di atas 7 tahun karena
anak-anak jalanan sudah termasuk tenaga kerja
Banyak ahli berbeda pendapat mengenai pengertian Tenaga Kerja. Hal ini disebabkan
oleh adanya perbedaan penafsiran tentang pengertian buruh, pekerja dan pembatasan usia,
serta klasifikasi sosial pekerja. Buruh lebih berkonotasi sebagai pekerja kasar, kuli dan/atau
pekerja tanpa didukung dengan latar belakang pendidikan formal yang baik sesuai dengan
standar yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan pekerja juga ditafsirkan sebagai
pegawai mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan buruh.
Menurut pasal 1 angka 2 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja
adalah :
“Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.

Sedangkan dalam pasal 1 angka 3 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,


yang dimaksud pekerja/buruh adalah :
“Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain”.

Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 ternyata juga memberikan jeda atau perbedaan
pengertian antara tenaga kerja dengan pekerja/buruh, yang itu dapat ditafsirkan
melegitimasi pandangan masyarakat yang membedakan pengertian pekerja pegawai

1
pemerintah dengan pekerja buruh. Semestinya sebagai UU terbaru dibuat dan disahkan
dalam situasi demokrasi dengan landasan supremasi hukum, jangan lagi ada diskriminasi
didalam hukum. Perwujudan persamaan hak didepan hukum dan pemerintah merupakan
salah satu faktor adanya azas demokrasi yang dilaksanakan.

Menurut Payaman Simanjuntak mengemukakan pengertian tenaga kerja adalah :


“Penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan,
atau yang melaksanakan kegiatan lain seperti mengurus rumah tangga”. “Tiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja
guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”.

Pengertian yang diberikan oleh Djumialdji dimaksudkan untuk membedakan


pengertian tenaga kerja dengan pengertian buruh. Pengertian buruh menurut Djumialdji
adalah :
“Tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan dalam hubungan kerja guna
menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.”

Pengertian tentang Tenaga Kerja sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 dengan alasan bahwa pengertian tentang Tenaga Kerja yang
dimaksud adalah merupakan dasar hukum yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan tugas
dan fungsi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jawa Tengah dan sesuai dengan
keadaan yang riil di masyarakat. Setelah mengenai istilah tenaga kerja dan angkatan kerja
lalu kita melihat istilah bekerja seperti apa yang telah dikatakan masyarakat pada umumnya.
Bekerja adalah penduduk usia kerja yang sedang melakukan pekerjaan atau proses produksi
barang atau jasa dalam memperoleh tambahan keuntungan dan tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku.
B. Sejarah Ketenagakerjaan di Indonesia

Selama tiga setengah abad sejak abad ke-16, bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda
yang ketika itu mempunyai tujuan utama untuk mencari wilayah baru yang dapat dijadikan
koloni dalam rangka memperluas kekuasaan, menambah kekayaan kerajaan, dan melakukan
penyebaran agama.
Apabila perhitungan jarak antar generasi adalah 25 tahun, maka penjajahan telah
mengubah sistem sosial, norma dan budaya bangsa Indonesia selama lebih dari 10 generasi,

2
dimana orang pribumi telah dibiarkan miskin dan bodoh sehingga dengan leluasa kaum
penjajah dapat mengeruk kekayaan alam dari wilayah jajahannya.

Sejak awal kolonialisasi, kaum penjajah telah memperlakukan orang-orang pribumi


hanya sebagai budak yang tidak memiliki status hukum dan boleh diperdagangkan. Hal ini
tergambar dalam sistem hukum yang diterapkan di wilayah jajahan dengan menetapkan
bahwa "Burgerlijk Wetboek" atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang diberlakukan
sejak tahun 1823, termasuk di dalamnya norma dan aturan mengenai perburuhan, tidak
berlaku bagi orang pribumi.

Selanjutnya, perlakuan terhadap pribumi sebagai budak belian tersebut disahkan dalam
berbagai aturan resmi kolonial yang menurut Dr. Agusmidah, antara lain dituangkan dalam
peraturan tentang Pendaftaran Budak (Stb 1819 No. 58), peraturan Pajak atas Pemilikan
Budak (Stb. 1820 No. 39a), dan berbagai peraturan (reglemen) lain yang memperkuat
kedudukan kaum penjajah di atas orang-orang pribumi dan praktek-praktek perbudakan
lainnya di wilayah Hindia Belanda.

Pada saat Inggris menguasai beberapa bagian wilayah nusantara pada tahun 1811-1814,
Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles telah melarang dan menghapuskan praktek
perbudakan dan praktek kerja paksa (rodi) di wilayah kekuasaannya dengan men-dirikan
"the Java Benevolen Institution".

Namun ketika Belanda menguasai kembali wilayah yang dahulu menjadi wilayah
jajahannya, maka ketentuan mengenai praktek perbudakan dan kerja rodi kembali berlaku
yang kemudian diikuti oleh berbagai perlawanan dari kaum pribumi di hampir seluruh
wilayah Hindia Belanda, seperti perlawanan yang dilakukan antara lain oleh Pangeran
Diponegoro, Sentot Alibasyah, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Pangeran Padri,
Sisingamangaraja, Pattimura, Dewi Sartika dan banyak pahlawan yang gugur dalam rangka
menentang praktek perbudakan di wilayah nusantara.

Setelah memperoleh banyak perlawanan di wilayah jajahan dan adanya gerakan global
yang menentang praktek perbudakan, Belanda mulai mengubah strategi dengan
memperlunak praktek perbudakan menjadi sistem "perhambaan" (bediende) dimana
seseorang harus menyerahkan jasa dan tenaganya kepada orang lain yang bertindak
sebagai tuan atau pemberi pekerjaan (bukan orang yang menggunakan jasa dan tenaga
orang lain) tanpa menggunakan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kerja dengan
upah yang ditentukan secara sepihak oleh si tuan atau pemberi pekerjaan atas

3
dasar pengabdian, kesetiaan (loyal) dan kedekatan emosi secara pribadi dengan pemberi
pekerjaan.

Dengan sistem hubungan kerja tersebut, Belanda membedakan orang-orang yang bekerja
di wilayah jajahannya menjadi:

1. pekerja atau pegawai di bidang administrasi pemerintahan(ambtenaar);


2. pekerja di perusahaan-perusahaan (perkebunan) milik Belanda; dan
3. pekerja atau buruh lepas.

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945


setelah 350 tahun dijajah, sistem kerja dan pembedaan pekerja belum sempat direformasi,
sehingga masih ada pembedaan struktur warga negara yang melaksanakan pekerjaan di
Indonesia yakni warga negara yang bekerja sebagai:

1. pegawai negeri sipil,


2. pegawai negeri militer,
3. pegawai badan usaha milik negara, dan
4. pegawai swasta murni, serta ditambah dengan
5. pekerja lepas, yakni pekerja yang melaksanakan pekerjaan berdasarkan
kebutuhan (pekerja informal).

Hingga saat ini, semua pekerja dan pegawai yang melaksanakan pekerjaan relatif tanpa
kesepakatan kerja yang dibuat antara pekerja/buruh (employee) sebagai penyedia jasa dan
tenaga dengan pengguna jasa dan tenaga (employer) dalam kedudukan yang setara (equal)
yang dituangkan dalam perjanjian kerja.

Dalam era industri saat ini, perjanjian kerja sebagai wujud dari kesepakatan kerja
merupakan hal yang sangat esensial dalam hubungan kerja karena upah/imbalan diberikan
dalam bentuk uang. Ketika masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan hubungan kerja
tanpa perjanjian kerja, maka masyarakat tidak memiliki jaminan kepastian terhadap upah
sebagai imbalan atas jasa dan tenaga yang telah diberikan.

Dengan demikian, hingga saat ini belum ada tolok ukur yang pasti untuk jasa dan tenaga
sumber daya manusia di Indonesia, sehingga pemberian upah masih tetap didasarkan pada
sistem hubungan kerja warisan jaman penjajahan yakni hubungan kerja antara pemberi kerja
yang bertindak sebagai tuan dengan kuli, kacung/pesuruh atau buruh (kkb).

4
Upah yang diberikan oleh seorang tuan kepada kuli biasanya dilakukan
secara borongan berdasarkan kesepakatan tidak tertulist erhadap volume pekerjaan tertentu
tanpa ada kejelasan tolok ukur harga untuk jasa dan tenaga manusia yang telah diberikan.

Upah yang diberikan kepada seorang kacung atau pesuruh biasanya dilakukan
berdasarkan kehadiran atau absensi dalam rangka menunggu untuk diperintah tanpa ada
kejelasan tolok ukur bobot pekerjaan.

Upah yang diberikan kepada seorang buruh atau pekerja lepasbiasanya dilakukan
berdasarkan sistem upah harian, dimana satu hari dihitung 24 jam, atau sistem upah
bulanan dimana satu bulan dihitung antara 25 hingga 30 hari kerja. Pekerjaan diberikan
setiap saat, tanpa mengenal waktu, kemampuan dan keahlian dari penyedia jasa dan tenaga.

Tidak adanya perjanjian kerja dalam hubungan kerja mengakibatkan masyarakat


cenderung terbiasa dengan sistem bekerja untuk kepentingan diri sendiri, tanpa standar
upah, tanpa jaminan keselamatan, tanpa jaminan kesehatan, tanpa jaminan pensiun, tanpa
tolok ukur keahlian dan keterampilan, dan tidak ada kenaikan upah secara berkala yang
seharusnya disesuaikan dengan bertambahnya pengalaman kerja, yang dalam jangka
panjang akan menjadi beban bagi lingkungan sosial.

Di lain pihak, pengguna jasa dan tenaga pun akan merasa kesulitan dalam menentukan
upah sehingga mereka membuat pehitungan upah sendiri yang disesuaikan dengan modal
dan kelangsungan usaha, serta tidak menghargai jasa dan tenaga yang telah digunakannya.

Tidak adanya kesetaraan kedudukan hukum antara penyedia jasa dan tenaga dan
pengguna jasa dan tenaga akan mengakibatkan ketidak-adilan, ketidak-percayaan satu sama
lain, dan bahkan akan menjurus pada sering terjadinya sengketa perburuhan.

Menghadapi era perdagangan bebas tanpa tolok ukur upah yang jelas yang tertuang
dalam perjanjian kerja, justru akan membuat masyarakat semakin miskin dan tertindas,
karena sudah menjadi sifat dasar para pemodal (investor), pengusaha dan orang yang
bertindak sebagai tuan untuk membayar jasa dan tenaga pekerja/buruh dengan upah yang
serendah mungkin demi keuntungan yang sebesar-besarnya.

Mereka tidak akan segan untuk melakukan kolusi dengan otoritas ketenagakerjaan untuk
menghasilkan aturan yang menguntungkan dengan menggunakan sedikit tekanan dan
iming-iming dukungan untuk memperoleh jabatan dan kekayaan.

5
Pembedaan warga negara yang bekerja (work force) menjadi pegawai negeri sipil,
pegawai negeri militer, pegawai badan usaha milik negara, pegawai perusahaan swasta, dan
pekerja lepas (pekerja informal) dengan standar upah yang berbeda-beda yang ditentukan
secara sendiri-sendiri oleh masing-masing institusi akan menciptakan tatanan masyarakat
yang terkotak-kotak, sehingga akan mudah memicu kecemburuan sosial karena warga
masyarakat menganggap bahwa pekerjaan yang satu lebih mulia daripada pekerjaan yang
lain, dan upah atau gaji institusi kerja yang satu akan lebih terjamin daripada institusi kerja
yang lain. Dalam lingkungan masyarakat seperti ini, akan sering terjadi perilaku kolusi,
korupsi dan nepotisme dalam pelaksanaan pekerjaan.

Pembedaan upah atau gaji sebagai imbalan atas jasa dan tenaga yang tidak dituangkan
dalam perjanjian kerja, tapi hanya didasarkan pada lingkup jabatan (autonomy) yang
diuraikan dalam jenjang kepangkatan, dan pada kewenangan (authority) yang diuraikan
dalam tingkat eselon, akan membuahkan kinerja yang tidak efektif dan tidak efisien karena
tanggungjawab terhadap pelaksanaan pekerjaan akan mengerucut pada pucuk pimpinan
sebagai pejabat yang berwenang.

Masyarakat pekerja atau pegawai akan terbiasa dengan pembebanan segala urusan dan
tanggungjawab pekerjaan kepada atasan, sedangkan anak buah akan cenderung lepas
tanggungjawab. Selanjutnya, masyarakat akan mengukur kesuksesan bukan atas dasar
prestasi, namun hanya pada didasarkan atas pencapaian jabatan yang tinggi dengan gaji,
tunjangan dan fasilitas yang besar, dengan kewenangan yang seluas-luasnya.

Tidak adanya perjanjian kerja dalam hubungan kerja akan membuat Pemerintah
mengalami kesulitan dalam menghitung statistik angkatan kerja (work force) secara
nasional karena banyaknya angka pengangguran tidak kentara (disguished unemployment)
yang akan berdampak pada terjadinya kesenjangan sosial antara kelompok yang secara
nyata telah memberikan jasa dan tenaga tetapi mendapat upah yang tidak sesuai, dengan
kelompok yang tidak memberikan jasa dan tenaga namun tetap mendapat upah sesuai
peraturan yang berlaku.

Dalam masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan menggunakan perjanjian kerja yang
tertulis dalam rangka melaksanakan pekerjaan, maka tidak terhindarkan
terjadinya eksploitasi terhadap pekerja anak, sulitnya kesempatan kerja, tidak ada standar
kometensi dan profisiensi, dan tidak ada jaminan untuk hari tua.

6
Tidak adanya standar upah yang ditetapkan secara nasional justru akan memicu
persaingan yang tidak sehat karena akan terjadi kolusi, korupsi dan nepotisme dalam
melaksanakan pekerjaan ditambah dengan tidak adanya hubungan kerja yang harmonis yang
didasarkan pada rasa saling menghargai dan saling menghormati antara pekerja yunior dan
senior.

Perjanjian kerja tertulis yang didasarkan pada pesan Rasulullah yakni kepastian
pemberian upah, kejelasan tolok ukur kerjadan kesepakatan kerja yang didasarkan pada
kesetaraanakan melindungi pekerja antar negaradari eksploitasi jasa dan tenaga oleh
pengguna jasa dan tenaga pekerja di negara lain, dengan syarat bahwa perjanjian kerja wajib
ditandatangani sendiri oleh pekerja dan pengguna jasa dan tenaga di negara lain tanpa
perantara.

Dokumen perjanjian dibuat dalam sekurang-kurangnya 4 (empat) rangkap, yang


selanjutnya 1 (satu) salinan perjanjian kerja disimpan oleh pekerja, 1 (satu) salinan disimpan
oleh pengguna jasa dan tenaga, 1 (satu) salinan dikirimkan kepada kantor perwakilan negara
di luar negeri dimana pekerja melaksanakan perjanjian kerja, dan 1 (satu) salinan
disampaikan kepada otoritas ketenagakerjaan negara setempat.

Dalam upaya melindungi tenaga kerja nasional di luar negeri, maka otoritas
ketenagakerjaan nasional wajib membuat nota kesepahaman(memorandum of
understanding) dengan otoritas ketenagakerjaan di negara lain yang pada prinsipnya berisi
substansi dari pesan Rasulullah SAW, yakni jaminan kepastian pemberian upah, jaminan
tolok ukur kerja, dan jaminan kesetaraan kedudukan antara pekerja dengan pengguna jasa
dan tenaga sesuai peraturan perundang-undangan di negara tempat perjanjian kerja
dilaksanakan.

Sebaliknya, untuk melindungi tenaga kerja di dalam negeri, maka otoritas


ketenagakerjaan nasional wajib meminta kepada pengguna jasa dan tenaga kerja
asing untuk menyerahkan salinan perjanjian kerja yang telah disepakati.

C. Klasifikasi Tenaga Kerja


1. Berdasarkan penduduknya
a. Tenaga kerja
Tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat bekerja dan
sanggup bekerja jika tidak ada permintaan kerja. Menurut Undang-Undang Tenaga

7
Kerja, mereka yang dikelompokkan sebagai tenaga kerja yaitu mereka yang berusia
antara 15 tahun sampai dengan 64 tahun.

b. Bukan tenaga kerja

Bukan tenaga kerja adalah mereka yang dianggap tidak mampu dan tidak mau
bekerja, meskipun ada permintaan bekerja. Menurut Undang-Undang Tenaga Kerja No.
13 Tahun 2003, mereka adalah penduduk di luar usia, yaitu mereka yang berusia di
bawah 15 tahun dan berusia di atas 64 tahun. Contoh kelompok ini adalah para pensiunan,
para lansia (lanjut usia) dan anak-anak.

2. Berdasarkan batas kerja


a. Angkatan kerja

Angkatan kerja adalah penduduk usia produktif yang berusia 15-64 tahun yang
sudah mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja, maupun yang sedang aktif
mencari pekerjaan.

b. Bukan angkatan kerja

Bukan angkatan kerja adalah mereka yang berumur 10 tahun ke atas yang
kegiatannya hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan sebagainya. Contoh
kelompok ini adalah:

 anak sekolah dan mahasiswa


 para ibu rumah tangga dan orang cacat, dan
 para pengangguran sukarela
3. Berdasarkan kualitasnya
a. Tenaga kerja terdidik

Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki suatu keahlian atau
kemahiran dalam bidang tertentu dengan cara sekolah atau pendidikan formal dan
nonformal. Contohnya: pengacara, dokter, guru, dan lain-lain.

b. Tenaga kerja terlatih

Tenaga kerja terlatih adalah tenaga kerjayang memiliki keahlian dalam bidang
tertentudengan melalui pengalaman kerja. Tenaga kerja terampil ini dibutuhkan latihan
secara berulang-ulang sehingga mampu menguasai pekerjaan tersebut.
Contohnya: apoteker, ahli bedah, mekanik, dan lain-lain.

8
c. Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih

Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja kasar yang hanya
mengandalkan tenaga saja. Contoh: kuli, buruh angkut, pembantu rumah tangga, dan
sebagainya

D. Kesempatan Kerja

Secara umum, kesempatan kerja adalah suatu keadaan yang mencerminkan seberapa
jumlah dari total angkatan kerja yang dapat diserap atau ikut serta secara aktif dalam
kegiatan perekonomian. Selain itu kesempatan kerja juga dapat diartikan sebagai jumlah
penduduk yang bekerja atau orang yang sudah memperoleh pekerjaan, semakin banyak
orang yang bekerja semakin luas kesempatan kerja.

Kesempatan kerja dimaknai sebagai lapangan pekerjaan atau kesempatan yang


tersedia untuk bekerja akibat dari suatu kegiatan ekonomi atau produksi. Dengan demikian
pengertian kesempatan kerja nyata mencakup lapangan pekerjaan yang masih lowong.
Kesempatan kerja nyata bisa juga dilihat dari jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia,
yang tercermin dari jumlah penduduk usia kerja (15 tahun) ke atas yang bekerja (Sapsuha,
2009).

Kesempatan kerja merupakan partisipasi seseorang dalam pembangunan baik dalam


arti memikul beban pembangunan maupun dalam menerima kembali hasil pembangunan.
Dari definisi tersebut, maka kesempatan kerja dapat dibedakan menjadi dua golongan,
yaitu :

1. Kesempatan kerja permanen, yaitu kesempatan kerja yang memungkinkan orang


bekerja secara terus menerus sampai mereka pensiun atau tidak mampu lagi untuk
bekerja. Dimisalkan orang yang bekerja pada instansi pemerintah atau swasta yang
mempunyai jaminan sosial hingga tua dan tidak bekerja di tempat lain.
2. Kesempatan kerja temporer, adalah kesempatan kerja yang memungkinkan orang
bekerja dalam waktu yang relatif singkat, kemudian menganggur untuk menunggu
kesempatan kerja yang baru. Dalam hal ini dimisalkan pegawai lepas pada perusahaan
swasta di mana pekerjaan mereka tergantung pesanan.

Pendidikan dan Latihan

9
Pendidikan dan latihan dipandang sebagai suatu investasi di bidang sumber daya
manusia yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja. Oleh karena
itu pendidikan dan latihan merupakan salah satu faktor penting dalam organisasi
perusahaan. Pentingnya pendidikan dan latihan disamping berkaitan dengan berbagai
dinamika (perubahan) yang terjadi dalam lingkungan perusahaan, seperti perubahan
produksi, teknologi, dan tenaga kerja, juga berkaitan dengan manfaat yang dapat
dirasakannya. Manfaat tersebut antara lain: meningkatnya produktivitas perusahaan, moral
dan disiplin kerja, memudahkan pengawasan, dan menstabilkan tenaga kerja.

Agar penyelenggaraan pendidikan dan latihan berhasil secara efektif dan efisien, maka
ada 5 (lima) hal yang harus di pahami, yaitu 1) adanya perbedaan individual, 2)
berhubungan dengan analisa pekerjaan, 3) motivasi, 4) pemilihan peserta didik, dan 5)
pemilihan metode yang tepat.

Pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja dapat diklasifikasikan kepada dua kelompok,
pertama, yakni pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja yang termasuk kepada kelompok
tenaga kerja operasional, kedua, pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja yang termasuk
kepada kelompok tenaga kerja yang menduduki jabatan manajerial. Untuk masing-masing
kelompok tenaga kerja tersebut diperlukan metode pendidikan yang berbeda satu sama
lain.

E. Sistem Upah

Upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

1. Teori upah tenaga kerja


a. Teori upah wajar (alami) dari pendapat David Ricardo, menerangkan:

Upah menurut kodrat adalah upah yang cukup untuk pemeliharan hidup pekerja
dengan keluarganya.Di pasar akan terdapat upah menurut harga pasar adalah upah
yang terjadi di pasar dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Upah harga pasar
akan berubah di sekitar upah menurut kodrat. Oleh ahli ekonomi modern, upah kodrat
dijadikan batas minimum dari upah pekerja.

10
b. Teori Upah Besi dari Ferdinand Lassalle, penerapan sistem upah kodrat
menimbulkan tekanan terhadap kaum buruh, karena posisi buruh dalam posisi yang
sulit untuk menembus kebijakan upah yang telah ditetapkan oleh produsen.
Berhubungan dengan kondisi tersebut maka teori ini dikenal “Teori Upah Besi”.
Lassalle menganjurkan untuk menghadapi kebijakan produsen terhadap upah agar
dibentuk serikat pekerja.
c. Teori dana upah dari John Stuart Mill, tinggi upah bergantung kepada permintaan
dan penawaran tenaga kerja sedangkan penawaran tenaga kerja tergantung pada
jumlah dana upah, yaitu jumlah modal yang disediakan perusahaan untuk
pembayaran upah. Peningkatan jumlah penduduk akan mendorong tingkat upah yang
cenderung turun, karena tidak sebanding antara jumlah tenaga kerja dan penawaran
tenaga kerja.
d. Teori upah etika, menurut kaum utopis (kaum yang memiliki idealis masyarakat yang
ideal) tindakan para pengusaha yang memberikan upah hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan minimum, merupakan suatu tindakan yang tidak etis. Oleh
karena itu, sebaiknya para pengusaha selain dapat memberikan upah yang layak
kepada pekerja dan keluarganya, juga harus memberikan tunjangan keluarga.
2. Faktor yang mempengaruhi Upah
a. Biaya keperluan hidup minimum pekerja dan keluarganya
b. Peraturan undang-undang yang mengikat tentang upah minimum pekerja (umr)
c. Produktivitas marginal tenaga kerja
d. Tekanan yang dapat diberikan oleh serikat buruh dan serikat pengusaha
e. Perbedaan jenis pekerjaan
f. Tingkat kebersaingan
3. Syarat dan tujuan Pemberian Upah

Syarat dan tujuan Pemberian Upahadalah mampu memuaskan kebutuhan dasar pekerja,
menyediakan sistem pemberian upah yang sebanding dengan perusahaan lain di bidang
yang sama, memiliki sifat adil, dan menyadari fakta bahwa setiap orang memiliki
kebutuhan yang berbeda. Tujuan pemberian upah kepada tenaga kerja adalah memberikan
rasa ketertarikan para tenaga kerja berbakat untuk masuk ke perusahaan, membangun
loyalitas dan mempertahankan karyawan terbaik agar tidak berpindah ke perusahaan lain,
dan memberikan motivasi kepada karyawan agar bekerja lebih aktif.

Sistem upah di indonesia

11
a. Sistem upah didasarkan pada fungsi, yakni:
1) Menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarga
2) Mencermunkan imbalan atas hasil kerja seseorang
3) Menyediakan insentif untuk mendorong meningkatkan produktifivitas kerja.

Sistem pemberian upah di Indonesia digolongkan sebagai berikut:

a. Sistem Upah Menurut Waktu

Mendasarkan pembayaran upahnya menurut waktu kerja seorang pekerja.


Satuan waktunya dapat ditentukan per jam, per hari, per minggu atau per bulan.
Contohnya perusahaan Viave menetapkan pembayaran upahnya per hari sebesar Rp
50,000.00, maka jika seorang pekerja bekerja selama 10 hari, upah yang akan dia
terima sebesar 10 hari X Rp 50,000.00 adalah Rp 500,000.00. kebaikan sistem upah
menurut waktu adalah pekerja tidak perlu bekerja terburu-buru dan pekerja tahu
dengan pasti jumlah upah yang akan diterima. Keburukan sistem upah menurut waktu
adalah pekerja biasanya kurang giat dan kurang teliti, karena besarnya upah tidak
didasarkan atas prestasi kerja.

b. Sistem Upah Borongan

Mendasarkan pemberian upah berdasarkan balas jasa atau suatu pekerja yang
dipaketkan atau diborongkan. Contohnya, upah untuk membangun tower sebuah
operator TV, pembuatannya diborongkan kepada perusahaan yang bergerak di
bidangnya. Kebaikan sistem upah borongan sebagai berikut: pertama, pekerja
mengetahui dengan pasti jumlah yang akan diterima; kedua, bagi majikan, tidak perlu
berhubungan langsung dengan pekerja dan mengetahui dengan pasti berapa jumlah
upah yang harus diberikan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Keburukannya yakni
salah perhitungan, pekerja tidak dapat diselesaikan dan terhenti di tengah jalan (tunda
atau batal).

c. Sistem Co-Partnership

Memberikan upah kepada pekerjanya berupa saham atau obligasi perusahaan.


Dengan obligasi atau saham tersebut, para pekerja merasa memiliki sendiri perusahaan
tersebut. Dalam sistem ini, pengusaha dan pekerja merupakan partner atau mitra usaha.
Kebaikan sistem co-partnership adalah apabila mendapatkan keuntungan besar, maka
pekerja menerima upah yang besar pula sedangkan keburukan sistem co-partnership

12
adalah pada saat perusahaan mendapatkan kerugian, maka masing-masing uang yang
ditanamkan dalam saham tidak memberikan keuntungan.

d. Sistem upah bagi hasil

Memberikan upah kepada pekerjanya dengan sistem bagi hasil, digunakan dalam
penggarapan lahan pertanian di mana pemilik lahan dan penggarap lahan membagi hasil
pertaniannya dengan presentase tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama.

e. Sistem Upah Menurut Prestasi

Berdasarkan prestasi kerja yang diperoleh para pekerja, besarnya upah yang
diperoleh seseorang oleh seorang pekerja bergantung banyak sedikitnya hasil yang
dicapai dalam waktu tertentu oleh para pekerja tersebut.

f. Sistem Upah Skala

Berdasarkan tingkat kemajuan dan kemunduran hasil penjualan. Jika hasil


penjualan meningkat, maka upah bertambah, dan sebaliknya. Kebaikan sistem ini
adalah pekerja giat bekerja dan produktivitasnya tinggi sedangkan keburukan sistem ini
adalah kualitas kerja kadang kurang diperhatikan sebagai akibat pekerja bekerja
terlampau keras dan jumlah upah tidak tetap.

g. Sistem Upah Premi

Kombinasi sistem upah prestasi yang ditambah dengan sejumlah premi tertentu .
contohnya, jika Elya sebagai pekerja menyelesaikan 200 potong pakaian dalam 1 jam,
maka dibayar Rp 5,000.00 dan jika terdapat kelebihan dari 200 potong, maka diberikan
premi misalnya prestasi kerjanya 210 potong per jam, maka Elya akan mendapatkan Rp
5,000.00 ditambah (10/200X Rp 5,000.00) = Rp 5,250.00.

h. Sistem Bonus

Memberikan upah kepada pekerja dari sebagian keuntungan pada akhir tahun buku.
Jadi selain upah tetap bulanan, pekerja mendapatkan upah tambahan sebagai bonus atas
partisipasinya dalam membangun perusahaan sehingga mendapatkan keuntungan.
Kebaikan sistem ini adalah pekerja ikut bertanggung jawab bahkan berkepentingan atas
kemajuan perusahaan. Sedangkan keburukan sistem ini adalah tidak semua pekerja
mampu menunjukkan hasil yang dicapai atas kemajuan perusahaan.

13
i. Sistem Upah Indeks Biaya Hidup

Mengaitkan pemberian upah dengan turun naiknya biaya hidup, jika biaya hidup
meningkat, maka upah pekerja dinaikkan, dan sebaliknya. Upah dibayarkan dalam
bentuk barang, seperti sembako

F. Pengangguran

Pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang
mencari pekerjaan (baggi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali atau sudah pernah
bekerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan
karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki
pekerjaan tetapi belum pernah bekerja. Seseorang dikatakan sebagai pengangguran apabila
memenuhi salah satu unsure, sebagai berikut: tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan,
sedang mempersiapkan usaha baru, tidak mempunyai pekerjaan, sudah mendapat pekerjaan
tetapi belum mulai tetapi belum mulai bekerja.

1. Penyebab Pengangguran
 Menurunnya permintaan tenaga kerja
 Adanya kemajuan teknologi
 Kelemahan dalam pasar tenaga kerja
 Jumlah lapangan pekerjaan yang terbatas
 Fenomena PHK
 Kualitas tenaga kerja yang relative rendah
 Kurang sesuai kemampuan tenaga kerja dengan pekerjaan
 Persebaran tenaga kerja tidak merata
 Serangan tenaga kerja asing
 Rendahnya upah yang diterima oleh tenaga kerja
2. Jenis-jenis pengangguran
a. Menurut ciri-cirinya
1) Pengangguran terbuka (Open Unemployment), adalah pengangguran yang terjadi
karena pertambahan pekerjaan lebih rendah daripada pertambahan tenaga
kerja.dikarenakan kegiatan ekonomi yang menurun, kemajuan teknologi yang
mengurangi penggunaan tenaga manusia atau kemunduran perkembangan suatu
industry.

14
2) Pengangguran tersembunyi (Disguised Unempluyment), adalah pengangguran
yang terjadi karena terlalu banyaknya tenaga kerja untuk satu unut pekerjaan,
padahal dengan mengurangi tenaga kerja sampai jumlah tertentu tidak
akan mengurangi jumlah produksi. Terjadi disektor pertanian atau jasa.
Contohnya: anggota keluarga yang besar mengerjakan luas tanah yang sangat
sempit.
3) Pengangguran musiman,adalah pengangguran yang terjadi pada waktu tertentu di
dalam satu tahun, terjadi di sector pertanian dan perikanan. Pengangguran
musiman berlaku pada waktu dimana kegiatan bercocok tanam sedang menurun
kesibukannya, pada periode tersebut petani dan tenaga kerja di sector pertanian
tidak melakukan pekerjaan. Jenis pengangguran ini hanya sementara. Cara
mengatasi pengangguran musiman adalah: pemberian informasi yang cepat jika
lowongan kerja di sector lain dan melakukan pelatihan di bidang keterampilan
untuk memanfaatkan waktu ketiga menunggu musim tertentu.
4) Setengah menganggur (Under Employment), pertambahan penduduknya yang
cepat telah menimbulkan percepatan dalam proses urbanisasi. Banyak di antara
mereka yang menganggur sepenuh waktu dan ada pula yang mereka tidak yang
menganggur, tetapi pula bekerja tidak sepenuh waktu, dan jam kerja mereka
lebih rendah dari jam kerja normal.
b. Menurut faktor penyebabnya
1) Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment),adalah pengangguran yang
sifatnya sementara disebabkan adanya kendala waktu, informasi, dan kondisi
antara pencari kerja dan pembuka lamaran pekerjaan. Pengangguran tidak ada
pekerjaan bukan karena tidak memperoleh pekerjaan, melainkan karena sedang
mencari pekerjaan lain yang lebih tinggi. Dalam proses mencari pekerjaan baru
ini sementara pekerja tersebut tergolong sebagai penganggur. Cara mengatasi
pengangguran Friksional adalah: perluasan kesempatan kerja dengan cara
mendirikan industry baru yang bersifat padat karya; deregulasi (penyederhanaan
administrasi) dan debirokratisasi (penyederhanaan peraturan) di berbagai bidang
industry; menggalakkan pengembangan sector informal; menggalakan program
transmigrasi; pembukaan proyek umum oleh pemerintah.
2) Pengangguran Siklikal (Cyclical Unemployment),diakibatkan oleh perubahan
dalam tingkat kegiatan perekonomian. Perekonomian tidak selalu berkembang
dengan pesat. Adakalanya permintaan agregat lebih tinggi dan hal ini mendorong

15
pengusaha menaikkan produksi untuk itu lebih banyak pekerja baru digunakan
dan pengangguran berkurang. Akan tetapi, pada masa lainnya permintaan
agregat (menyeluruh) mengalami penurunan. Kemunduran ini menimbulkan
efek pada perusahan lain yang mempunyai hubungan juga akan mengalami
kemerosotan dalam permintaan terhadap produksinya. Kemerosotan permintaan
agregat ini mengakibatkan perusahan mengurangi pekerja atau menutup
perusahaannya. Cara mengatasi pengangguran siklikal adalah mengarahkan
permintaan terhadap barang dan jasa; meningkatkan daya beli masyarakat.
3) Pengangguran structural (Structural Unemployment), adalah pengangguran yang
diakibatkan oleh perubahan struktur kegiatan ekonomi. Tidak semua industry
dan perusahaan dalam perekonomian akan terus berkembang maju sebagian akan
mengalami kemunduran. Kemorosotan itu akan menyebabkan kegiatan produksi
dalam industry tersebut menurun, dan sebagian pekerja terpaksa diberhentikan
dan menjadi pengangguran. Cara mengatasi pengangguran struktural adalah:
peningkatan mobilitas modal dan tenaga kerja; segera memindahkan kelebihan
tenaga kerjadari tempat dan sector yang kelebihan ke tempat dan sector ekonomi
yang kekurangan; mengadakan pelatihan kerja untuk mengisi formasi
kesempatan (lowongan) kerja yang kosong; segera mendirikan industry padat
karya.
4) Pengangguran teknologi, adalah pengurangan yang ditimbulkan oleh
penggunaan mesin dan kemajuan teknologi lainnya. Contohnya: racun rumput
telah mengurangi penggunaan tenaga kerja untuk membersihkan perkebunan.
Cara mengatasi pengangguran teknologi adalah memberikan pelatihan kepada
para pendidik agar dapat menguasai teknologi; mengenalkan teknologi kepada
anak sejak usia dini; memasukkan materi kurikulum mengenai teknologi.
5) Pengangguran Konjungtural (sama dengan Siklikal), adalah pengangguran yang
diakibatkan oleh perubahan dalam tingkat kegiatan, biasanya terjadi karena
berkurangnya permintaan barang dan jasa terutama pada saat resesi atau depresi.
Cara mengatasi pengangguran dengan meningkatkan daya beli masyarakat.
6) Pengangguran Deflasioner, adalah pengangguran yang disebabkan oleh
lowongan pekerjaan tidak cukup menampung pencari kerja. Cara mengatasi
pengangguran deflasioner adalah: menarik investor baru melalui pendirian
berbagai perusahan untuk menyerap tenaga kerja.
3. Mengatasi Masalah Pengangguran di Indonesia

16
a. Memperluas lapangan kerja, Menurut Soemitro Djojohadikoesoemo, melalui:
industry padat karya dan penyelenggaraan proyek pekerjaan umum.
b. Mengurangi tingkat pengangguran
 Pemberdayaan angkatan kerja dengan mengirimkan tenaga kerja ke Negara atau
daerah yang memerlukan.
 Pengembangan usaha sector informal dan usaha kecil
 Pembinaan generasi muda melalui kursus dan pembinaan home industry.
 Mengadakan program transmigrasi
 Mendorong badan usaha untuk proaktif dengan lembaga pendidikan
 Mendirikan Balai Latihan Kerja (BLK)
 Mendorong lembaga untuk meningkatkan skill
 Mengefektifkan pemberian informasi ketenaga kerjaan melalui lembaga terkait.
c. Meningkatkan kualitas angkatan kerja dan tenaga kerja
 Menetapkan upah minimum regional
 Mengikuti setiap pekerja dalam asuransi jaminan social tenaga kerja
 Menganjurkan kepada setiap perusahaan untuk meningkatkan kesehatan dan
keselamatan kerja
d. Mewajibkan kepada setiap perusahaan uuntuk memenuhi hak tenaga kerja selain gaji,
seperti cuti, istirahat, dan sebagainya.
4. Upaya Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja di Indonesia

Manusia adalah faktor produksi yang sangat penting selain tanah, teknologi dan
modal. Ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kualitas
tenaga kerja Indonesia yaitu :

a. Mengadakan latihan-latihan kerja bagitenaga kerja agar memiliki kemampuan


kerjayang baik
b. Menyiapkan tenaga kerja terampil dengan meningkatkan pendidikan formal
bagipenduduk usia sekolah
c. Mengadakan pelatihan-pelatihan untukmemberikan ketrampilan kepada tenaga
kerjayg sedang mencari kerja agar dapat mengisi lowongan sesuai dgn kebutuhan
pasar tenaga kerja

17
d. Menyiapkan tenaga kerja yg mampu bekerjakeras dan produktif dengan
meningkatkankesehatan melalui perbaikan gizi penduduk

G. Hukum Ketenagakerjaan

Menurut Molenaar dalam Asikin (1993: 2) “Hukum Perburuhan adalah bagian hukum
yang berlaku, yang pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara
tenaga kerja dan tenaga kerja serta antara pengusaha dan tenaga kerja.”

Menurut Syahrani (1999: 86) “Hukum Perburuhan adalah keseluruhan peraturan


hukum yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu hubungan antara buruh
dengan majikan, dan hubungan antara buruh dan majikan dengan pemerintah (pengusaha).”

 Berdasarkan uraian diatas hukum ketenagakerjaan memiliki unsur:


 Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis.
 Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha.
 Adanya orang bekerja pada dan dibawah orang lain dengan mendapat upah sebagai
balas jasa.
 Mengatur perlindungan pekerja/buruh, meliputi masalah keadaan sakit, haid, hamil,
melahirkan, keberadaan organisasi pekerja, dan sebagainya.
1. Asas Dan Tujuan Hukum Ketenagakerjaan
a. Asas Hukum Ketenagakerjaan

Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan bahwa:


“Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Selanjutnya dalam pasal tersebut di tegaskan bahwa:“Pembangunan


ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk
mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil makmur, daan
merata, baik materiil maupun spritiual.”

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menegaskan bahwa:


“Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas keterpaduan melalui koordinasi
fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.”

18
b. Tujuan Ketenagakerjaan

Menurut Manulang (1995) tujuan hukum ketenagakerjaan adalah:

 Untuk mencapai keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan.


 Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari
pengusaha.

Berdasarkan ketentuan pasal 4 UU Nomor 13 tahun 2003 pembangunan


ketenagakerjaan bertujuan:

 Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secaraoptimal dan


manusiawi.
 Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.
 Memberika perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan.
 Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
H. Gambaran masyarakat indonesia 2020
Kita menyadari akan keterbatasan pengetahuan kita, dan juga umat manusia pada
umumnya, mengenai apa yang akan terjadi di masa depan. Salah satu faktor yang amat
menentukan, dan justru menjadi salah satu penyebab ketidakpastian adalah perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Banyak hal yang sekarang sudah
diterima secara luas, sepuluh tahun yang lalu belum terpikirkan atau baru jadi angan-angan.
Betapa pun kita sadari banyak variabel yang berada di luar kekuasaan kita dan perke
mbangannya seringkali tidak dapat diduga, namun tidak berarti bahwa bangsa Indonesia
tidak memiliki visi masa depan. Artinya, kita tidak hanya menyerah kepada nasib atau
perkembangan keadaan.
Paling tidak untuk 25 tahun ke depan kita sudah mempunyai gambaran tentang
wujud masa depan yang kita harapkan atas dasar perkiraan-perkiraan berdasarkan
pengetahuan yang ada pada kita sekarang. Dalam upaya mewujudkan masyarakat baru
masa depan itu, seperti negara-negara lain yang telah lebih dahulu maju, kita menempatkan
industrialisasi sebagai porosnya pembangunan. Industrialisasi bukanlah hanya
memperbanyak jumlah pabrik, tetapi menyangkut proses pergeseran struktural dan kultural
yang amat mendasar dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, dari masyarakat

19
tradisional menjadi masyarakat modern, dari masyarakat perdesaan ke masyarakat
perkotaan, dan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat terbuka.
Dengan latar belakang pemikiran tersebut kita telah menyusun sasaran-sasaran PJP
II yang menunjukkan gambaran mengenai masa depan kita di sekitar tahun 2020. Beberapa
pokoknya adalah sebagai berikut.
Pertama, kesejahteraan masyarakat akan meningkat dengan nyata dan cukup
berarti. Laju pertumbuhan ekonomi diusahakan untuk tercapai dan terpelihara pada tingkat
yang cukup tinggi. Selama PJP II kita perkirakan rata -rata di atas 7 persen pertahun. Laju
pertumbuhan penduduk akan ditekan menjadi di bawah 1 persen. Dengan demikian, dalam
25 tahun pendapatan per kapita bangsa Indonesia akan meningkat empat kali dalam nilai
riil atau sekitar US$3.800 berdasarkan harga konstan tahun 1993.4 Dengan tingkat
pertumbuhan yang demikian, ekonomi Indonesia pada waktu itu sudah akan berkembang
menjadi ekonomi yang besar (sekitar US$980 miliar dengan harga tahun 1993). Bahkan
apabila disesuaikan daya beli relatifnya (purchasing power parity) akan menjadi sekitar
US$2,0 triliun. Volume ekonomi yang meningkat demikian besar akan menghasilkan pasar
yang dinamis, dan dengan demikian menjadi pendorong bagi pertumbuhan produksi dalam
negeri. Pasar ekspor yang diperkirakan juga akan berkembang, dengan perdagangan dunia
yang makin tanpa hambatan dimulai dengan kawasan kita sendiri (AFTA dan APEC),
masih tetap akan merupa kan penunjang pertumbuhan industri.
Kedua, dengan dinamika ekonomi yang demikian, proses transformasi struktural
akan terus berlangsung. Peran sektor in dustri dalam perekonomian akan makin meningkat
menjadi sekitar sepertiga pada akhir PJP II dari sekitar seperlima pada akhir PJP I. Dengan
besaran produksi dan sifat-sifat struktural yang demikian, ekonomi Indonesia pada akhir
PJP II sudah akan tergolong ekonomi industri (industrialized economy). Dalam pengertian
itu, tidak berarti sektor pertanian menjadi tidak penting. Sektor ini akan tetap penting, tetapi
ditangani dengan cara yang lebih efisien dalam penggunaan sumber daya, dengan
penerapan teknologi, dengan sumber daya manusia pertanian yang lebih berkualitas
sehingga menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Dalam pengertian itu, bidang pertanian sesungguhnya telah ditangani secara
industri, atau kita sebut dengan pertanian yang berkebudayaan industri. Perubahan juga
akan terjadi pada struktur ketenaga kerjaan. Perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian
ke sektor nonpertanian, khususnya industri dan jasa akan makin cepat. Angkatan kerja
akan makin terdidik, sekurang-kurangnya sudah berpendidikan sembilan tahun dan
sebagian besar 12 tahun dengan keterampilan yang lebih baik.

20
Ketiga, proses tersebut di atas akan mendorong terbentuknya lapisan menengah
yang makin kuat, yang akan menjadi tulang punggung perekonomian yang makin andal.
Lapisan menengah ini terdiri atas tenaga kerja profesional dan para pengusaha menengah
yang mandiri. Hal itu berkaitan erat dengan perbaikan dalam struktur dunia usaha. Dalam
PJP II diharapkan berkembang lapisan usaha me nengah yang kukuh, yang akan saling
mendukung dengan lapisan usaha kecil yang makin kuat, dan dengan usaha besar yang
diharapkan juga makin luas basisnya. Kita akan dan harus mengusahakan agar dalam dunia
usaha tercipta keseimbangan yang adil antara usaha besar, menengah, dan kecil.
Konsentrasi kekuatan pasar pada usaha besar harus makin berkurang, yakni dengan cara
mendorong lapisan usaha menengah dan kecil agar tumbuh lebih cepat. Pada akhir PJP II
koperasi telah berkembang dan berperan cukup besar dalam perekonomian. Dengan
demikian, demokrasi ekonomi seperti yang didambakan para pendiri republik ini telah
menampakkan wujud yang makin nyata.
Keempat, dengan tingkat perkembangan yang demikian, sebagaimana halnya
negara industri lainnya, Indonesia sudah akan makin kuat ketahanan ekonominya.
Lembaga-lembaga ekonomi yang penting bagi masyarakat sudah berfungsi dengan mantap
dan bekerja dengan efisien. Tata niaga sudah berjalan sesuai prinsip- prinsip pasar dan
bersifat transparan. Ketergantungan pada alam sudah sangat berkurang.
Kelima, kemandirian dalam pembiayaan pembangunan telah tercapai. Pada akhir
PJP II Indonesia sudah bukan lagi negara yang menerima pinjaman lunak. Neraca
pembayaran sudah akan mantap. Kita akan makin mengandalkan perolehan devisa, dan
kesehatan neraca pembayaran luar negeri dari perdagangan barang dan jasa, terutama
pariwisata dan termasuk jasa tenaga kerja, dan tidak lagi dari bantuan luar negeri. Hal ini
sejalan dengan kemampuan pembangunan yang makin mandiri.
Keenam, masalah kemiskinan telah terselesaikan. Bagaimana pun, kemajuan
ekonomi hanya akan ada artinya bagi kesejahteraan rakyat, apabila rakyat dapat menikmati
dan merasakannya sebagai perbaikan hidup yang nyata. Oleh karena itu, dalam PJP II, salah
satu program yang terpenting adalah penanggulangan kemiskinan. Kita mengharapkan,
pada akhir Repelita VII masalah kemiskinan absolut, artinya masalah penduduk yang hidup
di bawah garis kemiskinan, sebagian besar sudah akan terselesaikan. Mungkin hanya tersisa
di kantung-kantung kemiskinan yang sulit terjangkau, yang upaya penanggulangannya
akan dilanjutkan sehingga sebelum PJP II berakhir masalah ini telah tuntas terselesaikan.
Setelah masalah kemiskinan terselesaikan dengan tuntas, upaya mengurangi kesenjangan

21
antargolongan pendapatan, menuju ke arah terpenuhinya cita-cita keadilan sosial akan terus
berlanjut.
Ketujuh, kesenjangan pembangunan antardaerah secara sistematis dan konsisten
akan makin berkurang. Meskipun dalam 25 tahun belum mungkin dapat dihilangkan sama
sekali, yang dapat diupayakan adalah mencegah agar jurang kesenjangan tidak makin
melebar. Kawasan tertinggal akan memperoleh perhatian khusus agar dapat melepaskan
diri dari perangkap ketertinggalan, dan dapat turut melaju dalam arus kemajuan ekonomi
bersama kawasan lainnya yang telah lebih dulu berkembang. Misalnya, ka wasan Indonesia
sebelah timur akan dipercepat laju pertumbuhannya dengan berbagai inisiatif agar dapat
mencapai di atas rata-rata pertumbuhan kawasan sebelah barat.
Kedelapan, kesejahteraan rakyat yang makin meningkat juga akan tercermin pada
tingkat pendidikan yang makin baik, makin luas jangkauannya, dan makin tinggi
kualitasnya. Selambatlambatnya pada Repelita VIII, pendidikan dasar sembilan tahun telah
dituntaskan dan telah mulai dilanjutkan dengan pendidikan universal 12 tahun, seperti
halnya yang berlaku di negara-negara industri pada umumnya. Pada akhir PJP II, 80 persen
anak usia pendidikan menengah atas mengikuti SLTA dan 25 persen usia mahasiswa
mengikuti pendidikan tinggi. Selain itu, kesejahteraan rakyat yang meningkat akan
tercermin pula pada derajat kesehatan dan gizi masyarakat yang makin baik. Dalam PJP II,
umur harapan hidup diharapkan dapat meningkat menjadi 71 tahun. Dengan tingkat
pendidikan dan derajat kesehatan yang makin baik tersebut.
Kesembilan, pada akhir PJP II penduduk Indonesia sudah menjadi penduduk
perkotaan. Artinya, penduduk perkotaan yang pada tahun 1995 berjumlah sekitar 69,9 juta
atau 35,9 persen dari total penduduk, akan meningkat menjadi sekitar 155 juta atau sekitar
60 persen dari total penduduk. Perkembangan tersebut sejalan dengan transformasi
ekonomi yang berkaitan erat dengan proses urbanisasi. Urbanisasi tidak hanya diartikan
sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota, tetapi adalah juga proses pembangunan
wilayah perdesaan menjadi wilayah perkotaan yang maju berkembang, dalam kehidupan
modern.
Kesepuluh, secara keseluruhan proses transformasi ekonomi, akan berjalan
bergandengan dengan transformasi budaya. Bangsa Indonesia, dengan tingkat pendidikan
yang makin tinggi, dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin
canggih, dan dengan interaksi yang makin intensif dengan dunia internasional, akan cepat
tumbuh menjadi bangsa yang modern. Manusia Indonesia pada akhir PJP II akan
berpendidikan lebih tinggi, lebih sehat, pengetahuan umumnya lebih luas, sehingga dengan

22
demikian makin cerdas dan pekerjaannya makin terspesialisasi. Ia akan senantiasa
membandingkan dirinya dengan bangsa lain. Ia tidak ingin jauh tertinggal, dan dirangsang
untuk terus mengejar ketertinggalan.
Kesebelas, pada akhir PJP II, kualitas demokrasi akan makin meningkat, sebagai
hasil dari peningkatan kualitas lembaga-lembaga sosial politik dan kualitas para pelakunya.
Kehidupan masyarakat yang makin transparan, akan tercermin bukan hanya di bidang
ekonomi, melainkan juga dalam kehidupan masyarakat pada umumnya termasuk di bidang
politik. Semangat pembaharuan dan sikap kritis yang sekarang sedang berkembang, antara
lain berkat keterbukaan, akan meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam
kehidupan politik. Berkembangnya lapisan mene ngah yang makin kuat juga akan memberi
warna kepada kehidupan demokrasi, dan mempengaruhi proses perubahan yang terus-
menerus akan berlangsung. Bersamaan dengan itu, pada akhir PJP II, hukum telah makin
mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum, yang
berintikan keadilan dan kebenaran.
Keduabelas, kita ditantang untuk menyerasikan kebutuhan akan ruang dan sumber
daya alam dengan pelestarian lingkungan, agar pembangunan kita berkelanjutan. Dengan
pengalaman yang panjang, dan kesadaran yang kuat akan artinya memelihara lingkungan,
dalam 25 tahun mendatang ini bangsa Indonesia akan menemukan formula keseimbangan
antara kebutuhan pemakaian dan pelestarian sumber alamnya. Semuanya itu menjurus pada
peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia.
Demikianlah secara sangat ringkas gambaran masa depan yang ingin kita tuju dalam
beberapa segi pokoknya. Dengan wujud masa depan yang demikian, Indonesia sudah akan
menjadi bangsa industri yang maju dan modern, dan berdiri di atas landasan kemandirian
pada sekitar akhir PJP II. Kita akan mencapai tahap yang memungkinkan bangsa ini untuk
tumbuh selanjutnya dengan kekuatannya sendiri, dengan memanfaatkan dinamika
perkembangan ekonomi internasional yang terus didorong oleh keterbukaan dan integrasi
ekonomi secara global dan regional, serta kemajuan teknologi. Semuanya itu jelas tidak
akan terjadi dengan sendirinya. Kita menyadari betapa banyaknya tantangan yang dihadapi
dan rintangan yang harus diatasi, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam, untuk
mewujudkan kemajuan yang kita inginkan itu. Bahkan tanpa usaha yang sungguh-sungguh,
tidak mungkin akan terjadi, malahan kita dapat makin menjauh dari padanya. Untuk
mewujudkannya, diperlukan kombinasi komitmen politik yang kuat serta disiplin, dan kerja
keras seluruh lapisan masyarakat. Dan yang penting pula adalah kebijaksanaan

23
pembangunan yang tepat. Salah satu aspek yang pokok dalam kebijaksanaan pembangunan
adalah pembangunan sumber daya manusia.
I. Pembangunan sumber daya manusia
Dalam teori pembangunan konvensional, masalah sumber daya manusia masih
belum mendapat perhatian secara proporsional. Pandangan ini masih meyakini bahwa
sumber pertumbuhan ekonomi itu terletak pada konsentrasi modal yang diinvestasikan
dalam suatu proses produksi. Namun akhir-akhir ini pandangan tersebut mulai berubah,
bahwa yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi justru faktor kualitas sumber daya
manusia. Berbagai studi menunjukkan bahwa investasi modal ma nusia, utamanya di
bidang pendidikan, pelatihan, dan kesehatan telah menghasilkan sumber pertumbuhan yang
tidak kalah pentingnya dari investasi modal fisik.
Pergeseran pandangan ini terjadi bersamaan dengan pergeseran paradigma
pembangunan, yang semula bertumpu pada kekuatan sumber daya alam (natural resource
based), kemudian bertumpu pada kekuatan sumber daya manusia (human resource based)
atau lazim pula disebut knowledge based economy. Pergeseran paradigma ini semakin
menegaskan betapa aspek sumber daya manusia bernilai sangat strategis dalam
pembangunan. Menyadari akan arti penting kualitas sumber daya manusia, banyak negara
kemudian mengalihkan investasi ke sektor ini. Pilihan kebijakan pembangunan yang
berwawasan masa depan, memang tidak bisa lain kecuali harus memberikan porsi yang
lebih besar di bidang peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Pilihan kebijakan inilah yang dilakukan oleh negaranegara yang menjadi simbol
“kebangkitan macan Asia” seperti Korea Selatan, Hongkong, Singapura, Taiwan, dan Cina.
Bahkan Malaysia dan Thailand karena mengambil kebijakan yang sama akan segera
menyusul menjadi the newly industrializing economies (NIEs) . Untuk membangun sumber
daya manusia berkualitas, yang bisa menjadi sumber energi bagi pembangunan dan
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi, peran pendidikan sangatlah penting dan
strategis. Kita menyadari bahwa ada hubungan signifikan antara pendidikan dan
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Laporan Bank Dunia menegaskan hal ini.
Selain pendidikan, komponen penting yang menentukan kualitas sumberdaya
manusia adalah kesehatan. Investasi di bidang kesehatan dalam bentuk pelayanan
kesehatan serta upaya-upaya untuk meningkatkan status gizi, akan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa makin tinggi derajat kesehatan makin
tinggi produktivitas tenaga kerja dan masyarakat pada umumnya. Dengan bukti-bukti

24
empiris tersebut, tampak jelas bahwa selain merupakan hasil akhir (end product) yang
dinikmati oleh masyarakat sebagai bagian dari kesejahteraan hidup, derajat kesehatan juga
merupakan faktor penentu dalam proses perekonomian nasional. Dengan demikian, dalam
upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pembangunan di bidang pendidikan
dan kesehatan mempunyai peranan yang sangat penting.
J. Pelaksanaan outsoucing dalam kaitannya dengan perlindungan hak pekerja
Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang begitu cepat telah
membawa banyak perubahan di berbagai sektor, sehingga menimbulkan persaingan usaha
yang begitu ketat disemua sektor usaha. Kondisi yang sangat kompetitif ini menuntut dunia
usaha untuk menyesuaikan dirinya dengan tuntutan pasar yang memerlukan respon yang
cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan kepada pelanggan.
Perubahan di berbagai sektor tersebut juga menjadi sebagai salah satu penyebab
terjadinya perubahan sosial, termasuk di bidang hukum ketenagakerjaan. Menurut Robert
A. Nisbet dalam bukunya: Social Change and History., bahwa timbul perubahan di dalam
susunan masyarakat salah satu disebabkan oleh munculnya golongan buruh. Pengertian hak
milik yang semula mengatur hubungan yang langsung dan nyata antara pemilik dan barang
juga mengalami perubahan karenanya. Sifat-sifat kepemilikan menjadi berubah, oleh
karena sekarang “ barang siapa yang memiliki alat-alat produksi” bukan lagi hanya
menguasai barang, tetapi juga menguasai nasib ribuan manusia yang hidup sebagai buruh.
Dalam perspektif hukum, menurut Satjipto Rahardjo, bahwa: Pemilik barang hanya
terikat kepada barangnya saja. Ia hanya mempunyai kekuasaan atas barang yang
dimilikinya, tetapi apa yang semula merupakan penguasaan serta kontrol atas barang, atas
pekerja upahan. Perubahan ini terjadi setelah barang itu berubah fungsinya menjadi kapital.
Orang yang disebut sebagai pemilik, membebani orang lain dengan tugas-tugas,
menjadikan orang itu sebagai sasaran dari perintah-perintahnya dan setidak-tidaknya pada
masa awal-awal kapitalisme mengawasi sendiri pelaksanaan dari perintah-perintahnya,
sekarang bisa “memaksakan” kehendaknya kepada personae.
Dari dua pernyataan di atas, akan mengingatkan kita kepada: pertama, jiwa dari
Pembukaan UUD 1945 dan pasal 27 (2) UUD 1945. Kedua, UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan (UUK). Dalam Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa:
Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.

25
Kemudian dalam pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “. Dari amanat para
pendiri Republik dapat kita pahami bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah
menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang
layak. Kedua, UUK sebagai penjabaran dari UUD 1945 dan TAP MPR, telah mengatur
perlindungan terhadap hak-hak pekerja, antara lain: 1. perlindungan PHK; 2. jamsostek; 3.
upah yang layak dan tabungan pensiun. Dalam praktek outsourcing, hak-hak tersebut
merupakan sesuatu sangatlah mahal untuk didapat oleh para pekerja outsourcing. Karena
status pekerja outsourcing adalah pekerja pada PT.A, tapi harus bekerja pada PT.B dengan
waktu kerja: 6 bulan, 1 tahun atau 2 tahun.
Sementara itu, Undang – undang Ketenagakerjaan belum menyebutkan secara tegas
mengenai istilah dari outsourcing. Tetapi pengertian dari outsourcing ini sendiri dapat
dilihat dalam ketentuan pasal 64 UUK ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing
adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana
perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, outsourcing disamakan dengan perjanjian
pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana
pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang
memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang
memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak
pemborong dengan bayaran tertentu.
Outsourcing berasal dari kata out yang berarti keluar dan source yang berarti
sumber. Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional
mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan A sebagai
pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta
kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di
perusahaan A dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh
perusahaan B.
Outsourcing adalah alternatif dalam melakukan pekerjaan sendiri. Tetapi
outsourcing tidak sekedar mengontrakkan secara biasa, tetapi jauh melebihi itu. Maurice F.
Greaver II memberikan definisi outsourcing sebagai berikut :

26
“Outsourcing is the act of transferring some of a company’s recurring internal
activities and decision rights to outside provider, as set forth in a contract.
Because the activities are recurring and a contract is used, outsourcing goes
beyond the use of consultants. As a matter of practise, not only are the
activities transferred, but the factor of production and decision rights often
are, too. Factors of production are the resources that make the activities occur
and include people, facilities, equipment, technology, and the other asset.
Decision rights are the responsibility for making decisions over certain
elements of the activities transferred.”

Menurut Shreeveport Management Consultancy, outsourcing adalah “ The transfer


to a third party of the continuous management responsibility for the provision of a service
governed by a service level agreement “. Patut juga dikutip pendapat Rohi Senangun,
bahwa pola perjanjian kerja dalam bentuk outsourcing secara umum adalah ada beberapa
pekerjaan kemudian diserahkan ke perusahaan lain yang telah berbadan hukum, dimana
perusahaan yang satu tidak berhubungan secara langsung dengan pekerja tetapi hanya
kepada perusahaan penyalur atau pengerah tenaga kerja. Pendapat lain menyebutkan bahwa
outsourcing adalah pemberian pekerjaan dari satu pihak kepada pihak lainnya dalam 2
(dua) bentuk,yaitu :
1. Mengerahkan dalam bentuk pekerjaan.
Misalnya : PT. Pusri sebagai pemberi kerja, menyerahkan pekerjaanya kepada PT.
HAR untuk melaksanakan pekerjaan pengantongan pupuk.
2. Pemberian pekerjaan oleh pihak I dalam bentuk jasa tenaga kerja.
Misalnya : PT. Jimmigo yang menyediakan jasa tenaga kerja yang ahli untuk dapat
bekerja di PT. Conocophilips.
Model outsourcing dapat dibandingkan dengan bentuk perjanjian pemborongan
bangunan walaupun sesungguhnya tidak sama. Perjanjian pemborongan bangunan dapat
disamakan dengan sistem kontrak biasa sedangkan outsourcing sendiri bukanlah suatu
kontrak. Pekerja/buruh dalam perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan
pekerja harian lepas seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja NR : PER
. 06 / MEN / 1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas PHL). PHL adalah pekerja
yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan dapat berubah-
ubah dalam hal waktu maupun volume pekerjaan dengan menerima upah yang didasarkan

27
atas kehadiran pekerja secara harian. Sebagai contoh adalah kuli panggul yang mengangkat
barang di pelabuhan Tanjung Priok.
Perjanjian pemborongan bangunan akan berakhir antara pengusaha dengan pekerja
apabila obyek perjanjian telah selesai dikerjakan. Misalnya pembangunan jembatan, dalam
hal jembatan telah selesai maka masa bekerjanya pun menjadi berakhir kecuali jembatan
tersebut belum selesai dikerjakan. Sedangkan dalam outsourcing masa bekerja akan
berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati antara pengusaha dengan perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja.
Ditinjau dari segi pengusaha adanya pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa
tenaga kerja, menguntungkan karena pengusaha dapat mengkonsentrasikan pemikirannya
untuk menangani core bisnisnya sedangkan pekerjaan-pekerjaan penunjang dapat
diserahkan kepada pemborong. Dengan demikian pengusaha tidak perlu memiliki
organisasi yang besar dengan jumlah tenaga kerja yang banyak. Demikian juga
permasalahan ketenagakerjaan dapat dieliminir dengan adanya perusahaan lain yang
menangani pekerjaan penunjang, dimana hubungan kerja pekerja langsung ditangani
pemborong atau penyedia jasa tenaga kerja.
Ditinjau dari segi kepentingan pekerja, adanya pekerjaan pemborongan atau
penyedia jasa tenaga kerja perlu adanya ketegasan hubungan kerja yang jelas sehingga
pemenuhan hak-hak pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
jelas penanggungjawabnya. Untuk itu pekerja harus diikat dengan perjanjian kerja dengan
perusahaan yang memperkerjakannya. Hal ini penting karena dalam beberapa tahun
terakhir ini pelaksanaan outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan
biaya pekerja (labor cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh
dibawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja.
Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan pekerja dan
tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga maksud diadakannya
outsourcing seperti apa yang disebutkan diatas menjadi tidak tercapai, oleh karena
terganggunya proses produksi barang dan jasa. Oleh karena itu, baik perusahaan maupun
pekerja agar senantiasa dapat hidup bersama tanpa terjadi pertentangan kepentingan
sebagai akibat dari pendapat ataupun pemikiran yang berbeda-beda, diperlukan
pelaksanaan outsourcing yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sebagai pedoman untuk berperilaku secara formal.
Pedoman tersebut yang dikenal sebagai kaidah hukum bertujuan untuk agar tercapai
kedamaian didalam kehidupan bersama, dimana kedamaian berarti keserasian antara

28
ketertiban dan ketentraman, atau keserasian antara keterikatan dan kebebasan. Itulah yang
menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak lain daripada mencapai suatu
keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Pelaksanaan hukum
sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut
membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi
mempunyai unsur penilaian pribadi. Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka
LaFavre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral
(etika dalam arti sempit).
Atas dasar tersebut diatas, bahwa gangguan pelaksanaan outsourcing yang
melindungi hak pekerja mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah
dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila ketidakserasian antara nilai-nilai yang
berpasangan, yang menjelma didalam kaidah-kaidah bersimpang siur, dan pola perilaku
tidak terarah yang mengganggu pelaksanaan tersebut diatas. Oleh karena itu, apakah
pelaksanaan outsourcing melindungi hak pekerja bukan semata-mata pelaksanaan
perundang-undangan (law enforcement), namun juga ada faktor-faktor lain yang
mempengaruhi, antara lain:
a. Faktor hukumnya sendiri;
b. Faktor pelaksana atau yang menerapkan hukum; yaitu perusahaan dan pekerja
c. Faktor kebudayaan, sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia didalam pergaulan hidup.
Ketiga faktor di atas perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan outsourcing.
Hal ini dimaksudkan agar pekerja benar – benar mendapatkan perlindungan yang layak
sesuai dengan hak yang mereka miliki. Disamping itu perlindungan bagi pekerja
merupakan faktor yang sangat penting di dalam rangka menciptakan keseimbangan dalam
hubungan kerja, sehingga terwujudlah keadilan sosial yang merata di bidang
ketenagakerjaan sesuai dengan landasan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Salah satu bentuk perlindungan dan kepastian hukum terutama bagi pekerja tersebut
adalah melalui pelaksanaan dan penerapan perjanjian kerja. Perjanjian Kerja adalah
perjanjian yang dibuat antara pengusaha dan pekerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja, termasuk syarat-syarat kerja, pengupahan, dan cara pembayaran.
Dengan adanya perjanjian kerja diharapkan para pihak yang sepakat melakukan hubungan
kerja lebih mengetahui hak dan kewajiban masing-masing pihak dan mengetahui sendiri
apakah ia sudah melaksanakan perjanjian tersebut dengan baik atau ia melanggar perjanjian

29
tersebut. Perjanjian dibuat berdasarkan Pasal 1320 KUHP perdata yaitu mengenai syarat
sahnya perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja selain tetap berpedoman
pada ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, ternyata masih ada unsur-unsur lain yang harus
mereka penuhi, menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari negri Belanda, yaitu Prof,
Mr. M.G. Rood, beliau menyebutkan bahwa suatu perjanjian kerja baru ada, manakala di
dalam perjanjian kerja tersebut memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu berupa unsur-unsur yang
terdiri dari:
1. Ada unsur work atau pekerjaan;
2. Adanya unsur service atau pelayanan;
3. Adanya unsur time atau waktu tertentu;
4. Adanya unsur pay atau upah.
Hal tersebut semuanya dipersiapkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
wewenang para pihak. Pada saat ini telah banyak perusahaan di Indonesia menggunakan
pekerja outsourcing dalam menjalankan aktivitas-aktivitas perusahaan, dan dalam
hubungan kerjanya juga menggunakan perjanjian kerja.

30
31

Anda mungkin juga menyukai