BAB III
TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
Dilakukan : KELOMPOK
Tanggal Pengkajian : 12 Juli 2017, pukul 08.00 WIB.
Ruang Perinatologi RSUD Banyumas
1. Identitas
Nama : By Ny. D
Jenis kelamin : Perempuan
TTL/Usia : 18 Mei 2018
Nama ayah/ibu : Tn. R/ Ny. D
Pekerjaan ayah/ibu : Belum bekerja/ IRT
Pendidikan ayah/ibu : SMK/ SMA
Agama : Islam/ Islam
Alarnat : Karang tawang
Suku/Bangsa : Jawa/ Indonesia
2. Keluhan Utama
Ny. D mengatakan bayinya gumoh setelah diberikan ASI melalui selang
makan.
3. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
a. Prenatal
1) Jumlah kunjungan : 4 kali
2) Periksa di bidan/dokter : dokter
3) Penkes yang didapat : Gizi ibu hamil, tanda bahaya persalinan
4) HPHT : 12-11-2016, Usia kehamilan :31+6 minggu, G1P0A0
5) Kenaikan BB selama hamil : 11 kg
6) Komplikasi kehamilan : tidak ada
7) Komplikasi obat : tidak ada
8) Obat-obatan yang didapat : Sulfas Ferrous 1 x 1 tablet.
9) Riwayat hospitalisasi : tidak pernah
10) Golongan darah ibu :O
2
Keterangan :
: Laki-laki meninggal :Laki-laki hidup : Pasien
: Perempuan meninggal : : Perempuan hidup ---- : Satu rumah
: Garis pernikahan : Garis keturunan
3
5. Riwayat Sosial
a. Sistem pendukung yang dapat dihubungi : Orang tua bayi Ny. S
b. Hubungan orang tua dan bayi : ibu tinggal di RS menunggui bayinya,
ibu selalu mengajak bicara bayinya, mengelus, menggendong bayinya.
Data tambahan : Ny. S mengatakan bayinya merupakan anak pertama.
c. Anak yang lain :
Jenis kelamin Riwayat Persalinan Riwayat Usia
anak Imunisasi
Tidak ada
ANALISIS DATA
Tanggal/jam Data Klien Masalah Penyebab
12/7/2017 DS: Ny.S mengatakan Ketidakefektifan Prematuritas
bayinya belum bisa pola makan bayi
menetek dengan baik
A. RENCANA KEPERAWATAN
No Hari/ Diagnosa Nursing Outcomes Classification Nursing Intervention Classification Rasional
Tanggal Keperawatan (NOC) (NIC)
Keterangan 2 :
1. Sangat terganggu (hipotermi tingkat 4
saat disapih pada boks bayi)
2. Banyak terganggu (hipotermi tingkat 3
11
B. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No Hari/ Dx Jam Tindakan Respon klien Ttd
tanggal/jam
1. Rabu, 12 I 06.00 1,3,4,5 Menimbang berat badan antropometri. O : BBS : 1635 gr, BBK 1610 gr, BB naik 25 gram/
2. Juli 2017 I 08.00 3. Mengukur antropometri. hari (normal : 30 gr/ hari), LK 29 cm, LD 225 cm,
LP 25 cm, PB 42 cm, LILA 9 cm.
3. II/III 10/1,2 Mengukur vital sign dan memeriksa O : N : 140 x/ menit, S : 36,5˚C, RR : 42 x/menit,
warna kulit, SPO2 SPO2 95%, , bayi tenang, akral dingin, agak sianosis
pada ekstrimitas dan mulut, SPO2 95%.
4. II 2,5,6 Memberikan posisi head up 30˚ dengan O : Posisi head up (+), bayi tampak tenang.
memiringkan inkubator pada bagian kaki lebih
rendah dari kepala.
5. I/II/III 9/4/3 Menghitung kebutuhan cairan perhari O : Kebutuhan cairan /24 jam = 294 cc, ASI 28 cc/
2jam
6. I/II 09.00 7/7,9 Memeriksa OGT, memeriksa residu O : Residu 1 cc, kemudian dimasukkan kembali, dan
dengan menarik isi lambung menggunakan spuit, memberikan ASI baru ke dalam OGT, respon gumoh
dan memberikan feeding OGT 28 cc dengan ASI (+), kepala pasien dimiringkan.
perah
7. II 9. Melakukan oral higiene O : Mulut tampak bersih setelah dibersihkan
menggunakan kasa yang dibasahi air hangat, baju
diganti yang bersih.
8. III 3. Memberikan obat oral Ferris 7 mg dan Apialis O : Obat masuk, tidak ada reaksi alergi.
0,3 mg diteteskan pada mulut bayi.
9. I 6. Melakukan alih baring tubuh bayi dari posisi O : Bayi berubah posisi ke miring kanan, respon
miring kiri ke posisi miring kanan, dengan tenang.
menempatkan kepala pada bantalan nesting yang
lebih tinggi
10. I/II 10.00 7,8/4,5,6,7,8 Memberikan feeding OGT ASI O : Gumoh tidak ada, bayi tenang, respon menelan
perah sebanyak 28 cc. (+), bayi membuka mata (+).
11. III 11.00 7,3 Mengganti pampers kotor berisi feses dan O : Anus dibersihkan menggunakan tisue basah dan
urine dengan yang bersih dan melakukan anus mengangkat kedua kaki agar feses dapat
13
O : Toleransi bayi terhadap ASI sudah mulai baik, tidak tampak residu
pada OGT, gumoh (-), BBS naik 1,4% dari BBK, px fisik : sianosis (-),
akral masih dingin, perut kembung (-), mulut bersih, SPO2 96%, TTV
: S : 37,1˚C, N : 144x/mnt, RR : 44x/mnt, bayi sudah turun boks dari
inkubator ke boks bayi biasa.
P : Lanjutkan intervensi
Nutritional monitoring
Nutritional management
17
P : Pertahankan intervensi
Aspiration precaution
Vital sign monitoring
P : Pertahankan intervensi
Temperature regulation
Baby care : new born
18
BAB IV
PEMBAHASAN
gizi. Berat badan bayi baru lahir dapat turun hingga 10% dibawah berat badan
lahir pada minggu pertama, disebabkan oleh ekskresi cairan ekstravaskular yang
berlebihan dan kemungkinan masukan makanan kurang. Berat bayi harus
bertambah lagi atau melebihi berat badan lagi pada saat berumur 2 minggu dan
harus bertumbuh kira kira 30 g/hari selama bulan pertama. Besarnya energi
tambahan yang dibutuhkan untuk mengejar pertumbuhan adalah 90-100
kkal/kg/hari. Asupan parenteral yang dibutuhkan dihitung dari rasio tambahan
setelah menghitung tambahan pengeluaran energi yang tidak dapat dihindarkan
(inevitable losses) dari konversi diet protein untuk protein tubuh. Inevitable losses
dari nitrogen diperkirakan sebesar 160 mg/kg/hari, setara dengan protein sebesar 1
g/kg/hari. Pengeluaran energi dari istirahat diperkirakan sebesar 45 kkal/kg/hari
pada bayi, dan pengeluaran energi untuk paparan dingin dan aktivitas fisik
diperkirakan sebesar 15 kkal/kg/hari (Behrman, Notoatmodjo, dan Ziegler dalam
Anggraini &Septira, 2016).
Intervensi keperawatan pada bayi Ny. S dengan BBLR antara lain nutritional
monitoring dengan aktivitas menimbang berat badan tiap pagi, memonitor
pertumbuhan dan perkembangan bayi terutama terkait dengan berat badan,
melakukan pemantauan antropometri, mengevaluasi kemampuan menelan dan
menghisap, menghitung kebutuhan cairan/ hari, memasang selang orogastric tube
(OGT) yang bertujuan untuk mensuplai makanan berupa ASI karena reflek hisap
dan menelan pada bayi Ny.S belum berkembang dengan baik (Bulechek et al.,
2013). Kriteria hasil yang diharapkan adalah bayi dapat mentoleransi makanan
dan adanya perbandingan berat badan yang meningkat (Moorhead et al., 2013).
Selain memasang selang OGT, pemberian makan secara terjadwal juga dilakukan.
Pada bayi Ny.S, pemberian makan melalui OGT dilakukan sebanyak 12 kali
dalam sehari atau dilakukan setiap 2 jam. Jumlah pemberian ASI disesuaikan
dengan kebutuhan cairan bayi. Kebutuhan cairan total pada bayi Ny. S adalah
sebanyak 180 cc/ kgBB, yaitu 180x1,635= 294,3 cc/24 jam. Adapun pemberian
nutrisi enteral pada bayi Ny. S yang berusia 21 hari adalah 28 ccx12 kali
pemberian = 336 cc/24 jam. Hal tersebut menunjukkan pemberian nutrisi pada
bayi melebihi kebutuhan. Pemberian tersebut untuk mengantisipasi kehilangan
cairan yang tak terlihat. Namun kelebihan pemberian ASI yang pada bayi Ny. S
dapat menjadi sebab terjadinya refluks gastroesofageal pada bayi Ny. S. Dengan
21
demikian, perhitungan kebutuhan cairan atau nutrisi yang tepat pada bayi BBLR
harus diperhatikan.
Setelah dilakukan evaluasi, kebutuhan cairan bayi Ny. S dengan rentang
pemberian ASI sejumlah 28 cc/ hari dan dipertahankan dari tanggal 12-15 Juli
2017, didapatkan hasil bayi Ny. S tidak mengalami gumoh, sehingga intervensi
pemberian ASI ini cukup memenuhi kebutuhan tubuh bayi, yang ditandai dengan
tidak ada penolakan makan/ asupan oleh lambug/ gumoh (indikator tercapai
penuh) dan BB pasien meningkat sebanyak 1% dari BB satu hari sebelumnya
(indikator tercapai sebagian). Untuk selanjutnya intervensi dilanjutkan dengan
nutritional monitoring dan nutritional management untuk meningkatkan BB bayi.
Diagnosis keperawatan yang kedua yang muncul pada bayi Ny. S adalah
risiko aspirasi. Menurut NANDA (2015), yang dimaksud dengan risiko aspirasi
adalah rentan mengalami masuknya sekresi gastrointestinal, sekresi orofaring,
benda cair atau padat ke dalam saluran trakeobronkial, yang dapat mengganggu
kesehatan. Adapun faktor risiko yang ditemukan pada pasien ini adalah adanya
selang oral/ OGT, peningkatan residu lambung, peningkatan tekanan intragastrik,
dan pengosongan lambung yang lambat. Pada kasus ini ditemukan adanya gumoh/
refluks dan rsidu lambung 1 cc ketika akan diberikan nutrisi ASI. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi abdomen, bagian mulut dan
ekstrimitas bayi tampak agak sianosis, serta pengukuran SPO2 95%.
Risiko aspirasi ditegakkan untuk mencegah aktual terjadinya aspirasi. Hal ini
berkaitan dengan imaturitas saluran cerna bayi. Selain perkembangan fungsi dan
anatomi usus sebagai salah satu organ pencernaan pada sistem gastrointestinal,
perkembangan lainnya yang juga sangat penting adalah perkembangan fungsi
mekanis saluran cerna. Perkembangan fungsi mekanis tersebut meliputi
koordinasi menghisap dan menelan, fungsi motilitas esofagus dan sfingter
esofagus bawah, pengosongan lambung, dan motilitas usus halus (Kenner &
McGrath, 2004; Neu & Douglas-Escobar, 2008).
Pada bayi berat lahir rendah dan sangat prematur, koordinasi antara aktivitas
menghisap dan menelan belum berkembang dengan baik. Belum adekuatnya
koordinasi antara menghisap dan menelan ini menyebabkan bayi memiliki risiko
tinggi untuk mengalami aspirasi (Wong et al., 2009; Neu & Douglas-Escobar,
2008). Perkembangan kemampuan menelan terjadi pada kisaran usia gestasi 32
minggu, adapun kemampuan menghisap berkembang pada usia gestasi 34 minggu
22
lapisan otot lebih luar pada usia gestasi 8 minggu. Kedua lapisan otot ini
mengalami penebalan seiring dengan pertambahan usia gestasi dan turut
bertanggung jawab terhadap gerakan atau motilitas usus halus melalui bantuan
persarafan (Kenner & McGrath, 2004). Berseth (1996) mengemukakan dalam
penelitiannya bahwa pada usia gestasi 27 sampai 30 minggu, pola motilitas usus
halus masih mengalami disorganisasi. Perkembangan maturasi pola motilitas usus
halus tersebut akan dicapai melalui adanya migrasi mieolelektrik kompleks pada
lapisan otot usus halus antara usia gestasi 33 sampai 34 minggu. Adapun pada
usia gestasi 36 minggu, pola motilitas usus janin sudah mulai menyerupai pola
motilitas usus pada bayi cukup bulan.
Intervensi yang dilakukan untuk mencegah terjadinya aspirasi adalah
aspiration precaution, dan vital sign monitoring ( Bulechek et al., 2013). Kriteria
hasil yang diharapkan adalah respiration status tercapai, dengan indikator sianosis
tidak ada dan saturasi oksigen > 95% (Moorhead et al., 2013). Adapun aktivitas
yang dilakukan yaitu positioning untuk memaksimalkan ventilasi dan mencegah
aspirasi dengan cara menaikan inkubator dalam kemiringan 30˚, dimana kaki lebih
rendah dari kepala, serta posisi kepala lebih tinggi dari badan pada saat dilakukan
pemasangan nesting bayi. Pemberian makan ASI didahului dengan pengecekan
residu lambung minimal 6 jam sekali. Tindakan keperawatan yang lain adalah
memiringkan kepala pasien ketika terjadi refluks/ gumoh, dan dilakukan
perawatan mulut untuk membersihkan sisa ASI dalam mulut, serta memonitor
vital sign sebelum dan setelah pemberian asuhan keperawatan. Pada hari pertama
sampai dengan hari kedua, pasien masih aktif gumoh, selanjutnya pada akhir
perawatan hari ketiga, gumoh sudah tidak ada.
Setelah dilakukan evaluasi pada hari ketiga, didapatkan hasil data subjektif
berupa ibu pasien mengatakan bayinya sudah tidak gumoh, dan data objektif
menunjukkan bahwa toleransi bayi mulai baik, tidak tampak residu pada lambung,
dan dari pemeriksaan fisik bayi distensi abdomen (-), sianosis (-), dan SPO2 96%.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa semua indikator tercapai penuh, sehingga
intervensi selanjutnya adalah mempertahankan intervensi.
Diagnosis ketiga yang diambil berdasarkan respon pasien adalah risiko
hipotermi. Menurut NANDA (2015), yang dimaksud dengan risiko hipotermi
adalah rentan terhadap kegagalan termoregulasi yang dapat mengakibatkan suhu
tubuh di bawah rentang diurnal, yang dapat mengganggu kesehatan. Faktor risiko
24
yang mungkin pada kasus ini adalah faktor neonatus, dimana pada pasien ini
memiliki risiko hipotermi tingkat 1, dengan suhu inti mendekati 36,5˚C (NANDA,
2015).
Masalah keperawatan berupa risiko hipotermia memerlukan intervensi karena
bayi dengan BBLR sering mengalami temperatur yang tidak stabil, yang
disebabkan antara lain kehilangan panas karena perbandingan luas permukaan
kulit dengan berat badan lebih besar (permukaan tubuh bayi relatif luas),
kurangnya lemak subkutan (brown fat/ lemak cokelat), jaringan lemak di bawah
kulit lebih sedikit, dan tidak adanya refleks kontrol dari pembuluh darah kapiler
kulit (Maryunani, 2009). Bayi dengan suhu tubuh yang rendah (kedinginan) akan
berusaha memproduksi panas tambahan dengan meningkatkan konsumsi kalori
dan oksigen (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2005). Oleh karenanya kondisi ini
pada akhirnya akan menghambat pencapaian konservasi energi sebab terjadi
peningkatan ambilan kalori seiring dengan terjadinya kehilangan panas tubuh,
sehingga bayi dapat mengalami penurunan berat badan (Bobak, Lowdermilk, &
Jensen, 2005).
Adapun intervensi keperawatan yang dilakukan pada bayi Ny. S untuk
mencegah terjadinya hipotermi adalah dengan temperature regulation dan baby
care new born (Bulechek et al., 2013). Kriteria hasil yang diharapkan adalah
therrmoregulation new born baik, yang terdiri dari indikator suhu tidak stabil
tidak terjadi dan penyapihan dari inkubator ke boks bayi dapat dilakukan
(Moorhead et al., 2013). Implementasi/ aktivitas yang dilakukan adalah
memonitor suhu pasien, dan warna kulit, dan memberikan selimut bayi.
Menyelimuti bayi untuk mencegah kehilangan panas tubuh. Tindakan yang lain
adalah memandikan pasien untuk memberikan kenyamanan bayi, mendukung
perlekatan bayi dengan melakukan metode kanguru, serta menciptakan
lingkungan bayi yang nyaman, dengan membersihkan perianal ketika BAK/ BAK,
dan mengganti baju kotor dengan baju bersih. Setelah hari ketiga perawatan, bayi
sudah bisa turun boks dari inkubator ke boks bayi, karena pada berat badan bayi
Ny. S yaitu 1720 gram, dan dianggap mampu mempertahankan panas tubuhnya
dibandingkan pada bayi dengan berat badan di bawah berat badan tersebut. Hal
tersebut dapat dilihat dari hasil evaluasi yang ada, yakni suhu bayi dalam rentang
37,1˚C, N: 144 x/mnt, dan bayi sudah turun boks dengan vital sign stabil. Untuk
25
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. BBLR merupakan kondisi yang memerlukan perawatan intensif karena
dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas bayi.
2. Masalah keperawatan yang muncul pada kasus BBLR ini adalah
ketidakefektifan pola makan bayi, risiko aspirasi, dan risiko hipotermi,
dimana semua tanda gejala muncul saat dilakukan pengkajian pada pasien
By. Ny. S.
3. Implementasi yang dilakukan pada pasien By. Ny. S berdasarkan
intervensi adalah nutritional monitoring, aspitration regulation, vital sign
monitoring, temperature regulation, dan bay care new born.
4. Hasil dari evaluasi keperawatan didapatkan diagnosis pertama indikator
tercapai sebagian, diagnosis kedua tercapai penuh, dan diagnoosis ketiga
tercapai penuh.
5. Penulis mampu melakukan asuhan keperawatan pada bayi Ny. S dengan
BBLR di ruang Perinatologi RSUD Banyumas denganmemberikan
beberapa intervensi yang telah disesuaikan dengan konsep dan kondisi
pasien, dan tentunya dengan kerjasama dari pihak Perinatologi RSUD
Banyumas.
B. Saran
Beberapa tindakan yang perlu dilakukan untuk memajukan pelayanan
keperawatan yang bermutu pada pasien dengan BBLR antara lain :
1. Bagi instalasi pelayanan kesehatan diharapkan dapat meningkatkan
kinerja, motivasi, pengembangan pendidikan dan pelatihan pada
penatalaksanaan BBLR, dan pengawasan pada bayi baru lahir dengan
BBLR, sehingga pelayanan menjadi semakin baik.
2. Bagi penulis menjadi salah satu bahan informasi dan pengetahuan tentang
asuhan keperawatan pada bayi baru lahir dengan BBLR, sehingga dapat
melakukan asuhan keperawatan dengan baik dan benar.
3. Bagi institusi pendidikan diharapkan lebih menyediakan fasilitas dan
sarana prasarana, agar dapat memunculkan inovasi - inovasi baru yang
27
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, D.A., & Septira, S. (2016) Nutrisi bagi Bayi Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) untuk Mengoptimalkan Tumbuh Kembang, Majority, 5(3) :
151.
Arizona Health Matters. (2015). Babies with Low Birth Weight. Diakses pada
http://www.arizonahealthmatters.org/modules.php?op=modload&name=NS-
Indicator&file=indicator&iid=17275074.
Berglund, S.K., Westrup, B., Hägglöf, B., Hernell, O., dan Domellöf, M. (2013).
Effects of iron supplementation of LBW infants on cognition and behavior at
3 years, Pediatrics, 131(1) : 47–55.
Berseth, C.L. (1992). Effect of early feeding on maturation of the preterm infants’
small intestine. J Pediatric, 120, 947-953.
Betz, LC dan Sowden, LA. 2002. Keperawatan Pediatrik - Edisi 3. Jakarta : EGC.
Bobak, I.M., Lowdermilk, D.L., & Jensen, M.D. (2005). Buku ajar keperawatan
maternitas. (edisi 4). Jakarta: EGC.
Kenner, C., & McGrath, J.M. (2004). Developmental care of newborns & infants:
A guide for health proffessionals. St. Louis: Mosby.
Muthayya, S. (2009). Maternal nutrition and low birth weight – what is really
important? Indian J Med Res 130: 600-608.
29
United Nations Children’s Fund and World Health Organization, 2004, Low
Birthweight: country, regional and global estimates, New York: UNICEF.
Wong, D.L., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L, & Schawrtz,
P. (2009). Wong: Buku ajar keperawatan pediatrik. (edisi 6). Alih bahasa:
Sutarna, A., Juniarti, N., & Kuncara, Y. Jakarta: EGC.