Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

TIROIDEKTOMI

Oleh:
Nur Rahmadina
1102014200

Pembimbing:
dr. Aflah Eddin, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


PERIODE 8 April 2019-7 Mei 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI - RSUD PASAR REBO
Deskripsi
Tiroidektomi secara umum merupakan tindakan bedah yang cukup aman.
Persiapan pra operasi yang baik akan mencegah timbulnya komplikasi pada angka
yang sangat kecil, kurang dari 2-3%.1,2 Komplikasi terbanyak adalah cedera nervus
rekuren dan hipoparatiroid permanen. Meskipun hematom pasca tiroidektomi relatif
jarang terjadi, komplikasi ini sangat serius dan dapat berakibat fatal. Insiden hematom
pasca tiroidektomi dilaporkan antara 0,1-1,1%.
Benjolan pada kelenjar tiroid merupakan gejala yang sering ditemukan pada
kelainan kelenjar tiroid, secara klinis mudah dikenal, dan sebagian besar penderira
datang di poloklinik dengan keluhan benjolan di leher bagian depan. Pada dasarnya
pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh berbagai penyakit yang tidak
memerlukan tindakan pembedahan. Pembesaran kelenjar tiroid secara umum dikenal
sebagai goiter.
Tindakan bedah terutama dilakukan pada kanker tiroid, dapat juga
diindikasikan pada pembesaran jinak kelejar tiroid bila sudah menyebabkan
penekanan pada trakea, esophagus dengan keluhan sesak nafas, rasa tercekik dan
gangguan menelan. Indikasi pembedahan pada penderita hipertiroid adalah:
1. Kekambuhan setelah terapi yang adekuat
2. Hypertiroid yang hebat dengan kelenjar tiroid sangat besar
3. Hypertiroid yang sulit dikontrol dengan obat anti tiroid
4. Bila kadar T4 > 70 p mol/L
Tiroidektomi parsial atau total dilakukan untuk kondisi jinak dan ganas.
Dengan melakukan insisi transversal Kocher collar, kelenjar tiroid dapat terlihat
dengan memisah-misahkan ikatan otot di leher. Lobus tiroid terbebaskan dari ikatan
otot dengan deseksi tajam atau tumpul, yang akan memperlihatkan pembuluh tiroid
superior, yang terakhir dijepit, dipotong dan diikat dengan hati-hati agar tidak melukai
saraf laringeus superior. Setelah pembelahan vena tiroid tengah dan pembuluh tiroid
inferior, kelenjar tiroid ditarik ke medial dan jaringan yang tersisa terputus. Sekali
lagi, perawatan diambil untuk tidak melukai saraf laring atau kelenjar paratiroid.
kelenjar getah bening yang membesar atau mencurigakan harus dikeluarkan untuk
biopsi.
Bila dilakukan tiroidektomi total, isthmus dan lobus bersebrangan diangkat
seperti deskripsi diatas. Sekali lagi, penting untuk menjaga kelenjar paratiroid.
Hemostasis dicapai sebelum penjahitan otot-otot leher dan penutupan luka. Bisa
dilakukan drainase, namun bukan hal yang sering dilakukan.
Bila dilakukan tiroidektomi subtotal, tepi kelenjar tiroid yang terletak di
posterior dipertahankan. Klem diletakan pada seberang dari kelenjar pada jarak yang
aman dari daerah saraf laringeus rekuren. Pembuluh tiroid superior dapat bergerak
dan terligasi, dengan hati-hati diambil dengan tidak melukai saraf laringeus superior.
Dengan pemisahan vena tiroid tengah dan pembuluh tiroid inferior, kelenjar tiroid
diambil secara subtotal atau total, dengan hati-hati, diambil dengan tidak melukai
saraf laringeus superior atau kelenjar paratiroid. Dilakukan hemostasis dicapai
sebelum penjahitan otot-otot leher dan penutupan luka.
Kunci untuk meningkatkan keberhasilan dari penanganan tiroid sampai saat
ini adalah pemahaman yang seksama terhadap fisiologi dan anatomi dari kelenjar
tiroid. Perkembangan besar dalam teknik dan instrumentasi pembedahan serta
kemajuan antisepsis dan teknik anestesi juga penting. Ketika tiroidektomi aman untuk
dikerjakan, komplikasi spesifik dari tindakan ini harus dapat diketahui, termasuk
mencegah perlukaan nervus rekuren laringeus dan menghindari kecelakaan atau
pengangkatan kelenjar 2 paratiroid. Teknik pembedahan yang berkembang saat ini
berdasar pada prinsip sama, yakni melakukan diseksi kapsul cukup luas dengan
meminimalkan diseksi terhadap nervus rekuren laringeus dan preservasi suplai darah
ke kelenjar paratiroid.

Pertimbangan Anestesi
Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi kelenjar tiroid, dan kelenjar
limpa yang mengalami pembesaran, deseksi leher radikal, dan operasi laringeoktomi.
Manajemen pada pasien dengan pembedahan kepala dan leher berkaitan erat dengan
meningkatnya angka morbiditas, dan mortalitas sehingga antisipasi terjadinya
sumbatan jalan nafas merupakan hal yang penting. Pembedahan pada kepala dan leher
merupakan pembedahan berisiko tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan otak, dan
berakhir meninggal. Kesulitan intubasi berhubungan dengan peningkatan morbiditas,
dan komplikasi pembedahan. Prosedur manajemen pada jalan nafas, pipa endotrakeal
tidak lebih dari 6mm untuk mengurangi edema pada jalan nafas pasca bedah. Intubasi
melalui endotrakeal dapat dijadikan sebagai pilihan alternatif

Masalah anestesi
1. Ancaman sumbatan jalan nafas.
2. Kemungkinan sulit intubasi
3. Ancaman refleks vagal.
4. Perdarahan luka operasi.
5. Operasi berlangsung lama.
6. Kemungkinan terjadi “badai tiroid” pada tirotoksikosis.
7. Kelumpuhan pita suara pada operasi kelenjar tiroid.
8. Trakeomalase bisa terjadi pada keganasan kelenjar tiroid.

Evaluasi Praoperatif
Evaluasi terlebih dahulu status pasien termasuk riwayat medis sebelum melakukan
pembedahan, dan pemeriksaan generalis dengan pemantauan khusus untuk gangguan
pada jalan nafas sebelum dilakukan rencana anestesi pada operasi di daerah leher.
Beberapa evaluasi praoperatif yang dapat dilakukan, meliputi:
1. Penilaian status pasien, yaitu penilaian kesadaran, frekuensi nafas, tekanan
darah, nadi, suhu tubuh, berat, dan tinggi badan untuk menilai status
gizi/indeks massa tubuh.
2. Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik, dan penunjang yang lain
sesuai dengan indikasi
3. Pemeriksaan Penunjang
Tiroidektomi biasa dilakukan pada pasien dengan berbagai penyakit, dengan
gejala pada umumnya berupa hipertiroid dan hipotiroid. Hipertiroid dapat berupa
Graves disease, toxic multinodular goiter, adenoma tiroid, dan tiroiditis atau overdosis
tiroid hormon. Gejala yang sering ditemukan berupa berkeringat, intoleransi terhadap
panas, peningkatan nafsu makan, peningkatan frekuensi nadi, berat badan meningkat
atau menurun, tiroid gioter dan eksoftalmus.
Hipotiroid dapat berupa autoimun tiroiditis. Gejala yang biasa ditemukan adalah
intoleransi dengan suhu dingin, anoreksia, fatigue, berat badan meningkat atau
menurun, kontipasi, penurunan frekuensi nadi.
Pasien yang mengalami tiroidektomi biasanya dibuat eutiroid sebelum operasi dan
mungkin menggunakan satu atau lebih dari obat berikut: Propylthiouracil,
methimazole, potassium iodide, glucocorticoids atau B-Blockers. Aspek yang penting
dalam kunjungan preoperasi adalah untuk memastikan bahwa pasien dalam keadaan
fisiologis euthiroid.
Pasien yang menjalani pembedahan pada daerah leher memiliki masalah lain yang
dapat menyebabkan tersumbatnya jalan nafas, misal ukuran dan lokasi tumor. Pasien
dengan tumor faringolaringeal sering terdapat residu sisa-sisa makanan pada
laringoskopi yang dapat mengganggu visual. Pada umumnya pasien dengan kanker
pada daerah kepala dan leher dapat menyebabkan kontraktur yang dihasilkan dari
pengobatan sebelumnya, terdapat kecacatan eksternal yang jelas dan memiliki
gerakan yang terbatas, seperti ekstensi leher terbatas. Kekakuan, dan distorsi pada
jaringan orofaringeal dapat mengganggu ventilasi sungkup muka. Pasien dengan
pembedahan pada daerah leher harus memperhatikan jalan nafas dengan melakukan
pemeriksaan jalan nafas diantaranya penilaian gerakan leher di semua bagian
(terutama antlanto-aksial fleksi, dan ekstensi), estimasi jarak tiromental, dan tingkat
mallampati. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal, dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi, diantaranya:
1. Mallampati gradasi I : tampak adanya pilar faring, uvula, dan palatum molle.
2. Mallampati gradasi II : tampak adanya uvula, dan palatum molle.
3. Mallampati gradasi III: hanya tampak palatum molle.
4. Mallampati gradasi IV: tidak tampak adanya pilar faring, uvula, dan palatum
molle.

Respirasi
Hati-hati kompresi pada trakea dengan goiter yang besar, kompresi pada
trakea dapat menyebabkan deviasi trakea dan stridor. Kompresi trakea, yang mungkin
bersifat posisional, dapat terjadi dengan gondok nodular dan kanker tiroid, dan yang
terakhir dapat bermetastasis ke paru-paru.
Pada hipertiroid, laju merabolisme basal meningkat, hal ini menyebabkan
konsumsi O2 meningkat, dan dapat menyebabkan desaturasi cepat saat induksi.
Sementara pada hipotiroid, dapat terjadi kejadian hipoksia dengan menurunnya
respon ventilasi sehingga menyebabkan meningkatnya CO2 dan menurunnya O2.
Hipertiroid dan hipotiroid sama-sama dapat menyebabkan melemahnya otot
respirasi dan menurunnya fungsi paru-paru. Hipotiroid menurunkan pergerakan
respirasi dan dapat menyebabkan obstructive sleep apnea atau efusi pleura. Sementara
hipertiroid dapat meningkatkan pergerakan respirasi dan dapat menyebabkan dispnea
saat aktivitas.
Dapat dilakukan pemeriksaan tambahan berupa CT Scan leher untuk
mengevaluasi kemungkinan keterlibatan trakea, terutama pada pasien dengan goiter
yang besar.
Kardiovaskular
Pada hipertiroid dapat ditemukan atrial fibrilasi, palpitasi atau CHF. Frekuensi
nadi dalam keadaan istirahat sangat membantu dalam menetapkan apakah pasien siap
untuk dioperasi atau tidak. Dalam keadaan emergensi, bila frekuensi nadi meningkat,
dapat diberikan beta-blockers untuk menyamarkan efek simpatomimetik pada
hipertiroid. Penggunaan beta-blocke dapat bermasalah pada pasien dengan CHF,
lakukan titrasi dengan monitoring O2 dan CO.
Pada hipotiroid dapat terjadi bradidisaritmia, diastolik hipertensi, efusi
perikardial, menurunnya voltase pada EKG. penggantian tiroid harus
dipertimbangkan terhadap risiko pemicu iskemia miokard.

Hormonal
Gejala T4 T3 TSH
Hipertiroid tinggi tinggi Normal atau rendah
Hipotiroid rendah rendah tinggi

Thyroid Storm
Eksaserbasi yang mengancam jiwa pada hipertiroid terjadi pada periode stress,
dengan manifestasi hipertermia, ketidakstabilan kardio, cemas, perubahan status
mental, dan takikardia. Hal ini dapat ditangani dengan meningkatkan fraksi O2,
sodium iodide (1-2,5 gr iv), hidrokortison (100 mg iv) dan beta-blocker. Pantau
keseimbangan cairan dan elektrolit. Kondisi ini biasa terjadi pada graves disease yang
tidak diobati sebelum operasi.

Neurologikal
Hipertiroid: hangat, kulit lembab, pasien terlihat nervous, ansietas (dibutuhkan
sedatif), tremor
Hipotiroid: menurunan laju metabolisme basal, lambat dalam pergerakan dan
menyebabkan intoleransi terhadap dingin
Pramedikasi
Pada pembedahan tiroid, pasien dapat diberikan short-acting opioid sebagai
analgesik, seperti fentanil, remifentanil, dan sufentanil dapat digunakan, namun
ketersediaan obat ini sangat terbatas, kecuali fentanil. Teknik anestesi menggunakan
opioid terutama dapat menurunkan minimum alveolar concentration (MAC) secara
signifikan memberikan respon tumpul pada trakea, dan pipa endotrakeal (PET).
Opioid diberikan dengan dosis tinggi, yaitu fentanil loading dose 3-10 mcg/kg iv,
sunfentanil loading dose 0,5-1,5 mcg/kg iv, diikuti dengan bolus intermiten atau infus
secara kontiyu. Untuk prosedur yang memberikan stimulasi tinggi, tetapi dengan
ketidaknyamanan yang minimal pasca operasi, seperti operasi laser pada jalan nafas,
opioid short-acting lebih direkomendasikan. Remifentanil dengan loading dose 0,5-
1,0 mcg/kg BB secara intravena, infus 0,1-0,3 mcg/kg BB/menit melalui intravena.
Pada pembedahan tiroid, penggunaan rutin glikopirolat, dan atropin dapat diberikan
sebagai bagian dari premedikasi karena dapat menghambat sekresi mukosa jalan nafas
sehingga menyebabkan sulit menelan, dan kulit terasa kering.
Pemeliharaan pada pasien dengan hipotensi terkendali sedang (60-70 mmHg)
bertujuan untuk menjaga kondisi pasien tetap optimal saat operasi. Berbagai
pendekatan farmakologis telah berhasil digunakan untuk pemeliharaan pada pasien
hipotensi. Penggunaan remifentanil sangat efektif pada pasien hipotensi, dan berguna
baik untuk teknik inhalasi, dan total intravena anestesi (TIVA). TIVA, dan
penggunaan propofol sebagai induksi anestesi telah dikenal secara luas untuk
prosedur pembedahan tiroid. Hal itu menunjukkan karakteristik klinis yang sangat
baik, dan tindakan farmakologis seperti sebagai anti-muntah, onset, dan pemulihan
yang cepat. Propofol sebagai obat pilihan induksi anestesi dalam dosis 2 mg/kg BB.
Pada pasien dengan kesulitan jalan nafas dapat menggunakan suksinilkolin sebagai
pilihan obat relaksasi otot, namun umumnya penggunaan vekuronium yang paling
sering digunakan untuk pembedahan karena dapat menstabilkan fungsi
kardiovaskuler. Aksi sinergis dari penggunaan opioid sebagai analgesik, dengan
kombinasi fentanil, dan propofol sebagai komponen TIVA.
Midazolam 0,025-0,05 mg/kg IV. Lanjutkan mengobatan antitiroid preoperasi.
Pasien hipertiroid harus dalam keadaan eutiroid sebelum pembedahan dan obat yang
dapat digunakan adalah propylthiouracil, methimazole, potasium iodida, beta-blocker
dan glukokortikoid.
Pada pasien hipotiroid, dapat dilakukan pembedahan apabila penyakitnya
ringan sampai sedang. Pasien hipotiroid berat harus diberikan penggantian tiroid
sebelum operasi elektif.

Pilihan Anestesi
Prosedur anestesi yang paling aman digunakan pada operasi daerah leher yaitu
anestesi umum dengan intubasi endotrakeal, dan preoksigenasi 100% dapat
meningkatkan fungsional volume residu.
Pada pasien yang hipertiroid diobati dengan tidak adekuat, penting untuk
membangun kedalaman anestesi yang memadai untuk mencegah respons simpatis
yang berlebihan terhadap stimulasi bedah. Hindari obat-obatan yang dapat
menstimulasi sistem nervus simpatis (contoh: ketamin, pancuronium, meperidine).
Hipotiroid dapat dihubungkan dengan peningkatan sensitifitas agen anestesia dan
relaksan otot.
Induksi standar dilakukan pada pasien dengan eutiroid. Bila pasien memiliki
kompromi jalan nafas karena goiter yang besar, dipertimbangkan untuk melakukan
awake fiber optic intubation.
Posisi head-up dengan hiperekstensi, dapat membantu proses operasi dengan
sedikit perdarahan secara substansial tanpa meningkatkan resiko terjadinya VAE.
Komplikasi operasi yang dapat terjadi dengan cepat ditemukan pada pasien dengan
hipotiroid adalah penurunan tekanan darah dan laju respirasi. Hal tersebut diakibatkan
karena hipotiroid sensitif dengan obat analgesia dan pelemas otot.

POSTOPERATIF
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kerusakan saraf laringeus rekuren. Bila
kerusakan bilateral, pasien tidak dapat berbicara dan diperlukan intubasi ulang. Bila
unilateral, pasien akan berubah suaranya, menjadi lebih kasar.
Selain itu juga dapat terjadi komplikasi berupa trakeomalasia atau hematoma.
Obstruksi jalan nafas dapat terjadi setelah operasi dan pemasangan intubasi ulang
dapat menyelamatkan nyawa. Apabila terjadi hematoma, dapat dilakukan insisi ulang
dan drainase sisa perdarahan.
Dapat juga terjadi komplikasi berupa hipoparatiroid akut (hipokalsemia).
Hipokalsemia akut dapat merupakan stridor laringeal. Bila tidak diobati dengan
segera dapat menyebabkan tetanus dan kejang.
Eksaserbasi yang mengancam jiwa pada hipertiroid terjadi pada periode stress,
dengan manifestasi hipertermia, ketidakstabilan kardio, cemas, perubahan status
mental, dan takikardia. Hal ini dapat ditangani dengan meningkatkan fraksi O2,
sodium iodide (1-2,5 gr iv), hidrokortison (100 mg iv) dan beta-blocker. Pantau
keseimbangan cairan dan elektrolit. Kondisi ini biasa terjadi pada graves disease yang
tidak diobati sebelum operasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai