Eklamsia adalah kondisi serius akibat preeklamsia pada ibu hamil, yang ditandai
adanya kejang. Dengan kata lain, preeklamsia yang disertai kejang disebut
eklamsia.
Eklamsia merupakan kondisi jarang terjadi, namun harus segera ditangani apabila
muncul karena dapat membahayakan nyawa sang ibu dan bayi yang
dikandungnyanya. Eklamsia bisa terjadi pada saat ibu hamil mengalami hipertensi
berat atau preeklamsia, di mana sudah muncul kejang-kejang. Kejang dapat diikuti
dengan penurunan kesadaran atau tatapan yang kosong.
Gejala Eklamsia
Munculnya eklamsia pada ibu hamil selalu didahului dengan preeklamsia. Seringkali
ibu hamil yang mengalami preeklamsia tidak menunjukkan gejala. Akan tetapi,
preeklamsia dapat diketahui pada waktu pemeriksaan dengan tanda-tanda klinis
seperti:
Hipertensi. Preeklamsia dapat terjadi akibat tekanan darah tinggi yang dapat
merusak pembuluh darah baik arteri, vena, dan kapiler. Kerusakan pembuluh
darah arteri akan menyebabkan aliran darah terganggu sehingga
mengganggu kinerja otak dan dapat menghambat pertumbuhan bayi.
Proteinuria. Proteinuria adalah keberadaan protein di dalam urine yang
diakibatkan oleh gangguan fungsi ginjal. Kondisi ini dapat muncul jika
glomerulus, bagian ginjal yang berfungsi menyaring darah, mengalami
kerusakan sehingga protein dapat lolos dari penyaringan. Ditemukannya
protein dalam urine merupakan tanda klinis yang penting dalam mendiagnosis
preeklamsia pada ibu hamil, meskipun tidak menunjukkan gejala.
Gejala preeklamsia lainnya juga dapat muncul seperti pembengkakan pada lengan
dan kaki dan kenaikan berat badan tiba-tiba selama 1-2 hari kehamilan. Meskipun
demikian, ibu hamil yang tidak mengalami preeklamsia juga dapat mengalami gejala
tersebut dan hal itu normal dalam kehamilan.
Jika preeklamsia sudah masuk tahapan berat, gejala-gejala yang dapat muncul pada
ibu hamil antara lain:
Pusing.
Sakit kepala.
Mual.
Muntah.
Nyeri perut.
Gangguan penglihatan.
Perubahan refleks badan.
Gangguan kondisi mental.
Adanya cairan dalam paru-paru (pulmonari edema).
Apabila preeklamsia berat pada ibu hamil sudah disertai kejang-kejang, maka
kondisi ini disebut dengan eklamsia. Sebelum kejang terjadi, biasanya terdapat
gejala gangguan saraf, seperti sakit kepala dan penglihatan menurun. Gejala
preeklamsia umumnya akan hilang sekitar 1-6 minggu setelah persalinan.
Penyebab Eklamsia
Hingga saat ini, penyebab terjadinya preeklamsia dan eklamsia belum diketahui
dengan pasti. Namun, sejumlah dugaan menyebutkan bahwa kondisi ini diakibatkan
oleh kelainan pada pembuluh darah dan kelainan pada plasenta.
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko preeklamsia dan eklamsia
pada ibu hamil adalah:
Diagnosis Eklamsia
Pada wanita hamil yang mengalami kejang, dokter akan menentukan apakah kejang
tersebut diakibatkan oleh preeklamsia, terutama apabila pasien sudah pernah
mengalami preeklamsia di kehamilan sebelumnya, ataukah karena penyebab lain.
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
Pengobatan Eklamsia
Pengobatan eklamsia harus memperhatikan kondisi ibu hamil pada saat itu. Ketika
preeklamsia yang muncul sudah memasuki tahapan eklamsia, pengobatan paling
utama adalah persalinan, apabila kehamilan sudah cukup bulan. Selain itu, eklamsia
juga dapat terjadi pada jangka waktu 24 jam setelah persalinan. Beberapa obat-
obatan yang berfungsi untuk menurunkan tekanan darah hingga di bawah 160
mmHg, di antaranya hydralazine, labetalol, dan nifedipine.
Untuk mengobati kejang-kejang yang terjadi selama eklamsia pada ibu hamil, dokter
kemungkinan akan memberikan obat seperti:
Komplikasi Eklamsia
Tanpa penanganan yang baik, eklamsia dapat menimbulkan kompikasi serius,
termasuk kematian ibu dan janin. Beberapa komplikasi yang masih dapat terjadi
pasca persalinan dan pengobatan eklamsia, antara lain adalah:
Kerusakan sistem saraf pusat dan pendarahan intrakranial akibat kejang yang
muncul berulang. Gejala lain dari kerusakan sistem saraf pusat adalah
kebutaan kortikal, akibat kerusakan pada korteks oksipital otak.
Gagal ginjal akut dan gangguan ginjal lainnya.
Gangguan kehamilan dan janin.
Gangguan dan kerusakan hati (sindrom HELLP)
Gangguan sistem peredaran darah, seperti koagulasi intravena terdiseminasi
(DIC).
Penyakit jantung koroner dan stroke.
Kemunculan kembali preeklamsia dan eklamsia pada kehamilan berikutnya.
Pencegahan Eklamsia
Karena penyebab preeklamsia dan eklamsia tidak diketahui secara pasti, maka
langkah pencegahan cukup sulit dilakukan. Namun, dokter dapat menyarankan
sejumlah hal kepada ibu hamil untuk meminimalisasi risiko terjadinya kedua kondisi
tersebut beserta komplikasinya. Di antaranya adalah:
Prosedur :
1. Data subjektif
2. Graviditas/ paritas
3. Usia kehamilan
4. HPHT dan TP
5. Klien mengeluh nyeri kepala hebat, nyeri epigastrik dan gangguan penglihatan
6. Pergerakan anak kadang dirasakan/ kadang berkurang/ tidak ada
7. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu normal ( jumlah, cara, dan hasil akhir
persalinan sebelumnya) apakah ada peningkatan tekanan darah, pemberian obat hipertensi
dan komplikasi antepartum terkait dengan preeklamsia pada kehamilan sebelumnya
8. Riwayat penyakit yang lalu, apakah ada hipertensi, kerusakan ginjal, DM
9. Riwayat perkawinan
10. kejang
11. Data objektif
12. Kesadaran umum
13. Tanda vital, apakah TD ≥140/90 mmhg
14. Pemeriksaan fisik : pada ibu hamil ( konjungtiva, TFU, His, apakah ada udem pada kedua
kaki )
15. Analisa data
Berdasarkan data subjektif dan data objektif dapat ditentukan analisa apakah ibu hamil
tersebut mengalami eklamsia atau tidak.
4. Planning
5. Membina hubungan baik dengan ibu dan keluarga
6. Menjelaskan hasil pemeriksaan
7. Melakukan inform consent
8. Memasang infus RL dengan canul IV ( UK 16/18)
9. Memasang foley kateter untuk memantau produksi un=rin setiap 4 jam, normalnya ≥100 cc
10. Kolaborasi dengan SPOG untuk pemberian terapi dan tindakan sesuai protap
Terapi MgSo4 40 % 10 cc IV pelan ( selama 5-10 menit) sambil infus RL di guyur,
disambung dengan dosis pemeliharaan yaitu infus ( RL + 15cc MgSo4 40 % ), respirasi
minimal 16 kali /menit, urin lebih 100cc /jam
Lindungi pasien dari kecelakaan selama perjalanan dan jangan tinggalkan pasien sendiri
Bersihkan dan lancarkan jalan nafas dengan pengisapan dan pasien tetap menggunakan
penahan mulut dan selang pernafasan
Pasang masker oksigen setelah kejang berhenti untuk mengoreksi hipoksia
Terminasi (pervaginam / SC )
Observasi ketat :
Setiap 30 menit periksa denyut nadi, TD dan pernafasan
Buat status cairan yang memantau cairan output melalui cateter setiap 24 jam periksa darah
perifer lengkap, termasuk trombosit, urea darah, kreatinin, dan enzin hati.
Pada kasus resisten ketika kejang eklamsia tidak berhenti meskipun diberikan
penatalaksanaan, beri MgSo4 40% 5 cc melalui IV lambat (bolus)
Dosis tambahan 5cc MgSo4 40 % dapat ditambah pada dosis pemeliharaan jika kejang terjadi
meskipun pasien telah menerima dosis pemeliharaan
Diazwpam( 10 mg IV) Dapat digunakan 1x atau fenobarbital ( 125 mg IV) dapat digunksn
satu kali
Jika kejang terjadi meskipun telah diberi dosis pemeliharaan MgSO4, CT scan dilakukan.
Jika penurunan pernapasan terjadi, pasien harus dimasukkan ke ICU dan diventilasi setelah
gas darah pasien dan kadar PH dapat diukur
Kolaborasi dengan petugas laboratorium untuk pemeriksaan darah dan urin
Memberikan terapi sesuai dengan advis dokter
Mengobserasi keadaan umum, tanda ital, his dan BJF
Kolaborasi dengan dokter internist dan neirolog
Mengobservasi intake dan output.
1. PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PADA EKLAMSIA (STANDAR 17)
TUJUAN
Mengenali secara dini tanda-tanda dan gejala-gejala preeklamsia berat dan memberikan
perawatan yang tepat dan memadai. Mengambil tindakan yang tepat dan segera dalam
penenganan kegawtdaruratan bila eklamsia terjadi
PERNYATAAN STANDAR
Bidan mengenali secara tepat dan dini tanda dan gejala preeklamsia ringan, preeklamsia
berat, dan eklamsia. Bidan akan mengambil tindakan yang tepat, memulai perawatan,
merujuk ibu dan / melaksanakan penanganan kegawatdaruratan yang tepat
HASIL
1. Kebijakan protokol nasional/ setempat yang mendukung bidan memberikan pengobatan awal
untuk penatalaksanaan kegawtdaruratan preeklamsia berat dan eklamsia.
2. Bidan melakukan perawatan antenatal rutin kepada ibu hamil termasuk pemantauan rutin
tekanan darah
3. Bidan secara rutin memantau ibu dalam proses persalinan dan selama periode postpartum
terhadap tanda dan gejala preeklamsia termasuk pengukuran tekanan darah
4. Bidan terlatih dan terampil untuk :
5. mengenal tanda dan gejala preeklamsia ringan, peeklamsia berat, dan eklamsia.
6. mendeteksi dan memberikan pertolongan pertama pada preeklamsia ringan, preeklamsia
berat, dan eklamsia
7. tersedia perlengkapan penting untuk memantau tekanan darah dan memberikan cairan IV (
termasuk thermometer air raksa, stetoskop, set infus dengan jarum berukuran 16 dan 18 , RL
atau NaCli 0,9%, alat suntik sekali pakai. Jika mungkin peralatan untuk memantau protein
dalam urine
8. terseida obat antihipertensi yang dibutuhkan untuk kegawatdaruratan misalnya Magnesium
Sulfat, kalsium glukonas
9. adanya sarana pencatatan : KMS Ibu Hamil, buku KIA, dan partograf
PROSES
Bidan harus :
1. selalu waspada terhadap gejala dan tanda preeklamsia ringan ( tekanan darah dengan tekanan
diastolic 90-110 mmHg dalam 2 pengukuran berjarak 1 jam ). Pantau tekanan darah ibu
hamil pada setiap pemeriksaan antenatal, selama proses persalinan, dan masa nifas. Pantau
tekanan darah, urine ( untuk mengetaui proteinuria ), ibu hamil dan kondisi janin setiap
minggu
2. selalu waspada terhadap tanda dan gejala preeklamsia berat ( tekanan diastolic >110mmHg)
yaitu : protein dalam air seni, nyeri kepala hebat, gangguan penglihtan, mengantuk, tidak
enak, nyeri epigastrik .
3. catat tekanan darah ibu, segera periksa adanya gejala dan tanda preeklamsia berat atau
eklamsia. Gejala dan tanda preeklamsia berta yaitu peningkatan tekanan darah tiba-tiba,
tekanan darah yang sangat tinggi, protein dalam air seni, penurunan jumlah air seni dengan
warna yang menjadi gelap, edema berat atau edema mendadak pada wajah atau panggul
belakang) memerlukan penanganan yang cepat karena kemungkinan terjadi eklamsia.
Kecepatan bertindak sangat penting.
4. penanaganan preekalamsia berat dan eklamsia sama :
cari pertolongan segera untuk mengatur rujukan gau ke rumah sakit. Jelaskan dengan tenang
dan secepatnya kepada ibu, suami dan keluarga tentang apa yang terjadi.
baringkan ibu pada posisi miring kekiri, berikan oksigen ( 4-6 L/menit ) jika ada.
berikan IV RL 500cc dengn jarum berlubang besar ( 16 dan 18 G )
jika tersedia berikan MgSO4 40% IM 10 gr ( 5g IM pada seiap bokong ) sebelum merujuk.
Ulangi MgSO4 40% IM, 5gr setiap 4 jam, bergantian di tiap bokong
MgSO4 untuk pemberian IM bisa dikombinasi dengan 1cc lidokain 2%
Jika mungkin, mulai berikn dosis awal larutan MgSO4 20%, 4gr IV 20 menit sebelum
pemberian MgSO4 IM.
ika terjadi kejang, baringkan ibu pada posisi miring ke kiri, di bagian tempat tidur atau lantai
yang aman, mencegah ibu terjatuh, tapi jangan mengikat ibu. Jika ada kesempatan, letakkan
benda yang dibungkus dengan kain lembut diantara gigi ibu. Janagan memaksakan membuka
mulut ibu ketika kejang terjadi. Setelah kejang berlalu, hisap lendir pada mulut dan
tenggorokan ibu bila perlu
8. Pantau dengan cermat tanda dan gejala keracunan MgSO4 sebagai berikut :
Frekunesi pernafasan < 16 kali / menit
Pengeluaran urine < 30 cc/ jam selama 4 jam terakhir
9. Jangan berikan MgSO4 selanjutnya jika ditemukan tanda-tanda dan gejala keracunan tersebut
di atas
10. Jika terjadi henti napas ( apnue )setelah pemberian MgSO4, berikan kalsium glukonas 1 gr (
10 cc dalam larutan 10% ) IV perlahan-lahan sampai pernafasan mulai lagi. Lakukan ventilasi
ibu dengan menggunakan ambu bag dan masker
11. Bila ibu mengalami koma, pastikan posisi ibu dibaringkan miring ke kiri, dengan kepala
sedikit ditengadahkan agar jalan nafas tetap terbuka
12. Catat semua obat yang diberikan, keadaan ibu termasuk tekanan darahnya setiap 15 menit
13. Bawa ibu segera ke rumah sakit setelah serangan kejang berhenti. Damping ibu dalam
perjalanan dan berikan obat-obatan lagi jika perlu. ( jika terjadi kejang lagi, berikan 2 gr
MgSO4 IV secara perlahan dlama 5 menit, tetap perhatikan jik ada tanda-tadna keracunan
MgSO4 )