Anda di halaman 1dari 9

TENTANG KRITIK SASTRA

Sapardi Djoko Damono

/1/

Sastra adalah karya tulis, berbagai-bagai jenisnya, terutama yang dianggap unggul
karena memiliki nilai artistik yang tinggi dan karenanya dapat melampaui waktu dan
tempat. Menghadapi karya sastra secara langsung adalah cara terbaik, atau bahkan satu-
satunya, yang harus dilakukan pembaca. Kritik sastra adalah uraian dan penilaian tentang
anasir yang dianggap baik atau buruk dalam karya sastra – boleh dilakukan oleh siapa
saja. Dengan demikian kritik sastra bisa dianggap sebagai sejenis ‘jembatan’ yang
menghubungkan pembaca dan karya sastra, tanpa harus berhadapan dengan karyanya
secara langsung. Dalam pengertian ini kritik sastra adalah tulisan yang ditawarkan oleh
kritikus untuk membantu pembaca dalam usahanya memahami atau menghayati karya
sastra. Jenis tulisan yang bisa digolongkan sebagai kritik sastra dengan demikian berbagai-
bagai ujudnya.

Kita perlu juga mempertimbangkan kritik yang disampaikan secara lisan, misalnya
dalam acara macapatan. Meskipun sudah ada media cetak, buku sastra klasik bisa saja,
atau biasanya, dibaca (lebih tepatnya dinyanyikan) di depan khalayak yang di samping
mendengarkan keindahan tembang juga bisa mendengarkan kritik yang disampaikan oleh
baik penembang maupun pakar yang dianggap mampu menafsirkan karya. Dengan cara
demikianlah karya sastra klasik disebarluaskan dan ditafsirkan. Bisa dibayangkan, sampai
hari ini pun sejumlah besar manuskrip tidak pernah bisa mencapai pembacaya sebab
disimpan di tempat-tempat – misalnya kraton – yang hanya bisa dicapai orang-orang
tertentu. Orang Jawa, misalnya, yang hapal beberapa bait karya Ranggawarsita hampir
bisa dipastikan belum pernah berhubungan langsung dengan karyanya.

Kita juga boleh berpendapat bahwa kritik sastra memiliki peran dan fungsi
penting dalam upaya meningkatkan apresiasi dan meningkatkam minat baca sastra, boleh
juga berpendapat bahwa kritik sastra adalah salah satu cara untuk mengungkapkan
pemahaman dan penghayatan atas karya sastra. Yang disebut terakhir itu penting, kalau
kita masih berpendapat bahwa sastra ada manfaatnya – sebagai apa pun – bagi
masyarakat. Sampai hari ini kita masih meyakini hal itu dan karenanya mempertahankan
mata pelajaran sastra di sekolah. Di samping itu, masyarakat juga terus-menerus memata-
matai sastra: kalau dianggap melanggar SARA, misalnya, tentu segera muncul tuduhan

1
yang bukan-bukan. Dalam hal ini pemerintah juga jelas mengambil peranan sebab kapan
pun bisa terjadi pelarangan atau bahkan pemusnahan buku – tindakan yang sejak
munculnya Internet tampaknya menjadi sama sekali tidak efektif. Dalam fungsinya
sebagai jembatan yang menghubungkan pihak-pihak yang terlibat dalam masalah
demikian itulah kritik sastra diperlukan.

Banyak di antara kita yang berpandangan bahwa kritik sastra mutlak diperlukan
sebagai pemicu perkembangan kesusastraan. Konon, kesusastraan tidak bisa berkembang
wajar tanpa kehadiran kritik sastra. Padangan ini disampaikan oleh pihak yang percaya
bahwa kritik sastra memiliki kemampuan untuk memperbaiki kesusastraan, atau
meningkatkan mutunya. Ini tentu saja mengandaikan adanya ukuran tertentu yang bisa
diterapkan pada tinggi rendahnya nilai sastra. Namun, kalau ‘memperbaiki’ itu ditafsirkan
sebagai sekadar tradisi sebagai proses pandangan tersebut bisa saja diterima. Tradisi, yang
tidak lain adalah proses, memang menggambarkan adanya perubahan yang terus-menerus
sebagai akibat dari berbagai faktor di dalam maupun di luar kesusastraan. Dalam
pengertian seperti itu mungkin saja tradisi tidak memperhitungkan perlunya kritik sastra.

/2/

Dalam buku sastra, novel misalnya, kadang-kadang ada catatan di kulit belakang,
blurb, yang merupakan komentar atas buku itu terutama dalam rangka promosi. Penulis
blurb biasanya diminta oleh si novelis atau penerbit untuk menulis komentar beberapa
kalimat untuk membantu pembaca mengetahui buku apa yang ada di hadapannya. Novel
mungkin saja memuat hanya satu blurb, biasanya ditulis oleh orang yang dianggap penting
oleh penulis atau penerbit, mungkin juga ada beberapa blurb yang disertakan. Bahkan ada
juga novel yang memuat begitu banyak blurb sehingga harus dicetak di halaman-halaman
buku, seolah-olah menjadi bagian tak terpisahkan dari bukunya. Tidak jarang juga blurb
diambil dari berbagai jenis tulisan lain di berbagai media yang mengomentari buku itu
setelah beredar dan dibaca khalayak. Isinya tentu saja kebanyakan berupa pujian, tujuan
memuatnya terutama adalah untuk membujuk kita membaca buku itu. Setelah ada
Internet, tidak terhitung jumlah media yang bisa memuat tulisan yang merupakan
komentar semacam itu. jelas bahwa blurb dimaksudkan untuk membimbing calon
pembaca ke penilaian tertentu, di samping upaya untuk menjual buku.

Blog adalah salah satu media yang bisa dimanfaatkan untuk menyiarkan kritik
sastra. Media itu merupakan situs web pribadi tempat si pemilik dengan leluasa

2
menyampaikan catatan tentang apa saja, tidak terkecuali karya sastra. Blog juga bisa
dimanfaatkan sebagai penghubung ke segala jenis situs lain di Internet sehingga secara
keseluruhan merupakan gurita yang memungkinkan adanya tentakel sebanyak mungkin
yang membimbing kita dalam mengomentari dan membaca buku. Di antara tentakel-
tentakel itu perlu disebut Facebook dan twitter, dua jaringan sosial yang mungkin paling
banyak dimanfaatkan untuk menyampaikan komentar bebas tentang apa saja. Disengaja
atau tidak, komentar-komentar yang di-posting di media serupa itu memiiki peran dan
fungsi untuk memberi informasi kepada blogger dan Facebooker lain atau membujuknya
untuk bersikap terhadap karya sastra. Media serupa itu sekarang dimanfaatkan oleh siapa
pun – pembaca, penulis, dan penerbit – untuk menyiarkan kritik sastra dengan maksud
yag berlain-lainan.

Cara mereka menulis komentar atau kritik berlain-lainan, tentu saja, dan bahkan
ada yang sama sekali tidak menyampaikan pandangan verbal tetapi hanya berupa emoticon
– emosi yang ditunjukkan lewat ikon. Yang hanya berupa emoticon mungkin dianggap
bermasalah sebab sama sekali tidak menyertakan uraian verbal, namun mungkin saja
malah yang berupa emoticon bisa berpengaruh langsung dengan cepat terhadap penilaian
kita. Yang perlu diperhatikan adalah proses sahut-menyahut yang dengan cepat dibangun
oleh komentar-komentar serupa itu, yang jika diperiksa dengan seksama akan
memberikan bukti bahwa sebenarnya proses yang dituntut oleh konsep tentang kritik
sastra terpenuhi sepenuhnya. Lepas dari posting yang ringkas, ada juga posting yang ditulis
dengan sungguh-sungguh di media sosial oleh pembaca yang mungkin tidak memiliki
niat dan pretensi untuk menjadi kritikus. Tulisan semacam itu bahkan bisa saja dipicu
oleh penerbit yang menginginkan buku-bukunya dibaca dengan baik. Tidak sulit
menemukan tulisan serupa itu yang kalau ditilik dari ukuran yang kaku mungkin tidak
bisa diterima sebagai kritik sastra. Namun, kembali pada masalah, apa ada ukuran yang
bisa mutlak diterapkan dalam penulisan kritik sastra.

Di samping berbagai jenis blog, kita juga membaca timbangan buku di koran dan
majalah yang panjang pendeknya tergantung media yang memuatnya. Timbangan buku
memiliki ciri lain atau juga sama dengan yang dimuat di blog atau aplikasi lain di Internet.
Timbangan buku menjadi semakin penting karena adanya Internet, antara lain yang
dikendalian oleh berbagai jenis komunitas seperti Goodreads, yang dibangun sejak 2017.
Yang ditulis tidak lagi dikendalikan jumlah kata atau aksara seperti yang menjadi
kebiasaan media cetak atau aplikasi seperti Twitter. Boleh dikatakan tidak ada batasan
jumlah sama sekali, semuanya tergantung pada kehendak penulis kritik. Tidak jarang

3
penerbit juga mengadakan semacam sayembara menulis kritik tentang buku yang
diterbitkannya, ditentukan terlebih dahulu judulnya atau penulis disilakan memilih sendiri
buku yang disukainya. Lewat kesempatan semacam itu bisa saja lahir kritik yang masuk
akal, yang oleh penerbit diharapkan bisa membantu pemasaran.

/3/

Di titik inilah kita boleh saja membuat semacam penggolongan: teori, kritik, dan
apresiasi sastra. Dalam proses penulisan ketiganya mau tidak mau berkaitan, namun jika
sikap kaku yang kita terapkan pada kritik sastra hubungan-hubungan itu bisa menjadi
bermasalah. Kritik sastra harus ditulis berdasarkan teori tertenu – boleh saja – sebab
nyatanya kalau kita menaiki tangga pun teori diperlukan. Tanpa teori naik tangga kita bisa
terjungkal. Orang yang naik tangga tidak perlu menimbang-nimbang teori apa yang
dianutnya sebab segala jenis teori tentang itu sudah diketahuinya sejak awal, dengan atau
tanpa bantuan orang lain. Demikian pula yang berlaku dengan wajar pada pembacaan
sastra masing-masing kita. Tanpa atau dengan bantuan orang lain kita memiliki
kemampuan untuk membaca karya sastra, mungkin dengan taraf yang berbeda-beda
kalau diukur dengan cara tertentu pula. Setiap pembaca memiliki hak untuk
mengungkapkan pandangannya tentang apa yang dibacanya, syaratnya hanya satu:
kemampuan membaca yang diikuti oleh kemampuan menulis. Dua kemampuan yang
tidak bisa dipilah dengan tegas itu memerlukan teori, yang tidak harus disampaikan secara
eksplisit dalam pembacaan dan penulisannya. Itu, pada hemat saya, yang telah mendasari
penilaian kita atas H.B. Jassin, orang yang dianggap kritikus sastra namun yang hampir
tidak pernah memamerkan pengetahuannya tentang teori.

Kita bisa membandingkannya dengan Umar Yunus, tokoh yang pernah


‘bertengkar’ dengannya tentang sikap terhadap sastra. Kita bisa menganggap tulisan H.B.
Jassin sebagai kritikus sastra, dan tentu bisa saja menganggap Umar Yunus sebagai
kritikus sastra juga. Sebagai pembaca kritik sastra, kita pun bisa menilai mereka, atau
kalau perlu menulis kritik atas karya-karya mereka. Kritik atas kritik adalah hal yang wajar
dalam dunia sastra, dan jika berada di luar proses itu kita pun bisa melancarkan kritik atas
kritik atas kritik. Ketika H.B. Jassin menulis kritiknya, kita belum mengenal dunia yang
hampir sepenuhnya dikendalikan Internet. Dia tentu akan kagum membaca berbagai jenis
tulisan tentang karya sastra, yang disampaikan dengan bebas tanpa dikendalikan oleh
aturan yang menyangkut teori – disampaikan oleh siapa pun yang menguasai maupun

4
tidak menguasai teori, sistem gagasan yang dimaksudkan untuk menjelaskan sesuatu.
Proses demikian itulah yang saya duga telah menyebabkan H.B. Jassin mampu membaca
sajak-sajak Chairil Anwar dan mengangkatnya menjadi pelopor Angkatan ’45. Bahwa
dalam tulisannya tentang penyair itu ia kemudian mengutip teori dari sana dan sini, itu
jelas. Namun, proses penemuannya terjadi begitu saja ketika ia menghadapi sajak-sajak
Chairil Anwar, yang bermula dari pembacaan yang luas dan bukan teori.

/4/

Di samping penerbit, yang alasan utamanya umumnya adalah memasarkan


bukunya, ada lembaga kesenian seperti Dewan Kesenian Jakarta yang dengan teratur
menyelenggarakan sayembara penulisan kritik sastra. Sejak lama lembaga itu mengajak
siapa pun untuk menulis kritik sastra atas semua jenis karya sastra, yang kadang-kadang
dibatasi tahunnya kadang-kadang juga tidak. Kalau hasil sayembara itu dibukukan, kita
mendapatkan sejumlah tulisan yang sudah diuji oleh juri yang dipilih berdasarkan
kemampuannya menilai, apa pun dasar pemilihannya. Dalam sayembara semacam itu
tidak jarang muncul tulisan yang disusun berdasarkan teori tertentu, tetapi banyak juga
yang ditulis berdasarkan kemampuan pemahaman yang mungkin sama sekali tidak
dilandasi penguasaan teori tetapi didasari oleh kemampuan membaca dan mengapresiasi
karya sastra. Sayembara semacam itu mungin juga diikuti oleh penulis yang kebetulan
belajar teori sastra di lembaga pendidikan, dan karenanya memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan penguasaan teorinya.

Penulis yang demikian itulah sebenarnya yang mendekatkan pendidikan tinggi ke


masyarakat luas dan tidak hanya berkutat dalam lingkungan sendiri dan berkomunikasi
dengan sesama ilmuwan. Saya suka curiga bahwa ada yang beranggapan bahwa tulisan
yang disiarkan di media massa dianggap ‘rendah,’ dan karenanta tidak selayaknya
dilakukan oleh seorang pakar. Ini sebenarnya salah satu masalah kritis dalam upaya
mendekatkan pendidikan tinggi ke masyarakat sebab sebenarnya masyarakat memerlukan
tulisan mereka agar bisa mendapatkan pandangan yang dilandasi oleh penguasaan ilmu
tertentu, yang tidak bisa dipenuhi oleh umumnya jurnalis. Tidak bisa dipungkiri bahwa
skripsi, tesis, dan disertasi dianggap sebagai jenis kritik sastra yang unggul sebab sudah
ditulis melalui penilaian ketat oleh para pakar d bidangnya. Tetapi tidak banyak karya
semacam itu yang beredar di masyarakat karena tidak pernah ‘dipasarkan’ sebagai buku.
Sangat amat banyak tesis dan disertasi yang bermutu yang hanya berhenti di sidang ujian

5
dan hanya dibaca oleh para penguji. Suatu kasus saja: ketika H.B. Jassin masih aktif
sebagai pengajar di Fakultas Sastra UI ia pernah mendorong beberapa mahasiswa yang
dibimbingnya untuk membukukan karya ilmiah mereka. J.U. Nasution, Boen S.
Oemarjati, dan Yahaya Ismail adalah tiga di antaranya. Mungkin karena buku semacam
itu tidak laku dijual, penerbit tampaknya memutuskan untuk tidak lagi mengambil skripsi
atau tesis untuk diterbitkan.

Namun, sekarang alasan itu bisa dikesampingkan sebab dengan sangat mudah
tulisan ilmiah yang dianggap tidak punya nilai jual itu diunggah ke Internet. Tindakan itu
jelas lebih praktis dan jauh lebih besar kemungkinan manfaatnya dibandingkan dengan
yang berujud buku. Kritik sastra yang yang sudah teruji di pendidikan tinggi akan bisa
dibaca oleh sapa pun di mana pun, baik dalam ujudnya sebagai e-book atau pdf kalau
memang diniatkan demikian. Kalau saja masing-masing lembaga pendidikan tinggi dan
lembaga penelitian mengembangkan web untuk maksud penyebarluasan kritik sastra, tidak
perlu lagi ada keluhan bahwa kritik sastra mengalami kemunduran atau kelangkaan. Dan
karena sekarang malah ada keharusan bagi sarjana untuk menulis di jurnal ilmiah, kritik
sastra bisa dengan teratur diikuti lewat media baru itu. E-journal bidang kesusastraan atau
humaniora sangat bermanfaat untuk mengembangkan kritik sastra, bahkan mungkin
nanti kita tidak perlu cemas lagi kalau tidak menerbitkan jurnal dalam bentuk buku sebab
di masa depan jurnal ilmiah cenderung berujud e-journal karena berbagai alasan, terutama
yang berkaitan dengan dana dan kerepotan penerbitan buku.

/5/

Pandangan atau gagasan bahwa kesusastraan tidak ada kait-mengaitnya dengan


teknologi sesudah seharusnya dianggap basi, atau malah didasarkan ada pengertian yang
keliru tentang teknologi. Konsep IPTEK yang kemudian dianggap bermasalah dan
ditambah dengan aksara S(eni), misalnya, jelas menggelikan bagi orang yang memahami
apa sebenarnya teknologi. Teknologi adalah cara kita melakukan sesuatu, alat untuk
melakukan itu disebut hasil teknologi. Ketika di zaman lampau sebelum mengenal aksara
kita menyebarkan ‘sastra lisan’, suatu istilah yang bisa saja kita anggap bermasalah sebab
sastra berarti tulisan atau buku. Memindahkan bunyi ke aksara memerlukan teknologi:
bulu angsa dan tinta, misalnya, adalah hasil teknologi, alat yang kita gunakan untuk
mengawetkan bunyi dalam ujud residu, yakni tulisan. Kita pun mengembangakan cara
melakukan sesuatu terus-menerus dengan menciptakan berbagai alat seperti mesin tik,

6
mesin cetak, mesin rekam sampai akhirnya mencapai taraf sekarang ini, yakni komputer –
yang sulit dibayangkan di masa depan seperti apa ujudnya atau pencapaiannnya.

Perubahan teknologi yang tidak akan pernah ada habisnya itu pada gilirannya
mendikte kita untuk memikirkan atau merumuskan kembali berbagai konsep yang
menyangkut kesusastraan. Tidak terkecuali pandangan kita tentang kritik sastra.
Perjalanan panjang dari penyeleggaraan macapatan sampai ke berbagai aplikasi di Internet
telah mengubah pengertian yang mendasar tentang kritik sastra, baik yang menyangkut
penulisnya, cara menulisnya, media yang dimanfaatkan menyebarkannya, serta pendengar
atau pembacanya. Yang duduk baik-baik mengelilingi pembacaan macapat tentu memiliki
ciri berbeda dengan yang setiap harinya berselancar di Internet, yang boleh dikatakan
menyediakan informasi dan pengertian apa saja yang kita perlukan untuk menulis.
Tuntutan kita selama ini untuk berpegang teguh pada buku (dan tahun penerbitannya,
misalnya) bisa terdengar konyol bagi yang dengan leluasa menulis apa pun tanpa
berkonsultasi dengan buku – antara lain sebab bahkan buku pun sudah menjadi bagian
dari tampilan di layar monitor komputer.

Berkaitan dengan apa yang sudah disampaikan itu, mereka yang menyatakan ingin
mengembangkan apa yang disebut sastra siber menghadapi semacam langkah mundur
ketika memutuskan untuk membukukan karya yang sudah dimuat di Internet. Bagi saya,
kalau kita memutuskan utuk beriman pada sastra siber, apa yang kita tulis seharusnya
dikembangkan dengan memanfaatkan segala macam aplikasi yang tersedia. Sebuah sajak,
misalnya, kalau sudah dicetak di atas halaman buku, menjadi gambar mati yang tidak bisa
diapa-apakan lagi, kecuali kalau dicetak baru lagi. Di layar komputer, kita bisa dengan
sangat leluasa bermain-main font, misalnya – jenis, ukuran, dan pengaturannya di ruang
yang juga selalu bisa diubah-ubah tidak terkecuali mengganti warnanya. Buku masih ada,
dan berhak tetap ada entah sampai kapan, sebagai benda mati yang memberi kenikmatan
tersendiri ketika kita membacanya, antara lain karena kita bisa merabanya. Namun, layar
komputer mampu memberikan keleluasan yang lebih berkat adanya berjenis-jenis
aplikasi.

Kalau sekarang kita membicarakan sastra, yang terbayang adalah deretan aksara di
lembaran kertas, dan bukan rangkaian bunyi seperti di zaman ketika nenek moyang
belum menciptakan aksara. Perubahan dari sastra sebagai bunyi dan sastra sebagai
gambar telah menuntun kita untuk mengembangkan cara mengritik yang berbeda sama
sekali. Juga ketika kita megembalikan deretan huruf di halaman buku menjadi bunyi lagi –

7
aksara memiliki ruang, bunyi tidak. Dan kehadiran komputer mau tidak mau akan juga
menuntut kita untuk meninjau kembali cara menyusun kritik sebab proses ulang-alik
gambar-bunyi bisa kapan saja terjadi. Saya mempunyai pengalaman ‘membaca’ yang
berbeda ketika mendengar di YuTube sajak-sajak T.S. Eliot yang dibacakan oleh beberapa
orang, termasuk si penyair sendiri. Beberapa sajaknya memberikan pengalaman dan
penghayatan yang berbeda ketika diubah menjadi bunyi.

/6/

Alih wahana adalah proses memindahkan sesuatu atau ‘dongeng’ dari satu
kendaraan ke kendaraan lain. Dongeng yang ada dalam novel atau puisi bisa dipindah ke
panggung, bisa juga dipindah ke film atau komik. Masing-masing wahana itu memiliki ciri
dan tuntutan yang berlain-lainan. Proses tersebut menuntut penyesuaian atau perubahan,
yang mau tidak mau menggeser ‘pesan’ yang ada dalam dongeng yang dipindah-pindah ke
sana ke mari. Ketika novel Ayat-ayat Cinta diangkat ke film pengubahan tidak bisa
dihindarkan. Khalayak dan cara membaca buku berlainan dengan khalayak dan cara
menonton film. Menurut pandangan saya, alih wahana pun harus dipertimbangan sebagai
cara untuk membuat atau ‘menulis’ kritik sastra. Jenis kritik semacam itu juga bisa kita
tonton ketika menyaksikan film Run karya sutradara Jepang Akira Kurosawa yang
dialihwahanakan dari drama Shakespeare King Lear. Film berhdapan langsung dengan
khalayak yang memiliki kebudayaan tertentu di suatu waktu tertentu pula, dan karena Run
dihadapkan pada penonton Jepang abad ke-20, yang tentu saja berbeda dengan
penonton King Lear di Inggris pada beberapa abad sebelumnya, terjadilah semacam 'kritik’
atas teks drama itu. Film Kurosawa itu bisa saja kita anggap sebagai sejenis kritik atas
naskah Shakespeare.

Akhirnya perlu disampaikan bahwa Internet telah mengbah status kita sebagai
manusia: kita tidak lagi hanya menjadi citizen tetapi juga sekaligus menjadi netizen –
gabungan dari citizen dan Internet. Sebagai netizen kita tidak perlu memiliki KTP atau
Paspor, dan bisa dengan leluasa berselancar ke sana ke mari mancari apa pun yang kita
perlukan, di samping memiliki kesempatan untuk juga menawarkan apa pun kepada
netizen lain atau berkelompok menciptakan komunitas yang tidak terbatas ciri dan
jenisnya. Kritik sastra, dengan demikian, juga ikut bergeser ciri dan status yang kita
tetapkan sebelumnya. Menulis di Internet berarti siap menghadapi siapa saja dari mana
saja, yan dibekali pengetahuan, kecerdasan, dan perangai yang berbeda-beda pula. Kalau

8
mempercayai Internet sebagai cara sekaligus wadah untuk menulis kritik sastra, tentunya
akan hapus dengan sendirinya batas-batas kesastraan dan kewarganegaraan. Dengan lebih
tegas akan muncul kegiatan kritik sastra yang tidak lagi mengenal perbedaan ‘ini
Indonesia dan itu bukan Indonesia’ – suatu situasi yang mampu merangkum tulisan dari
mana pun dalam dalam bahasa apa pun ke dalam kritik sastra kita.

Penemuan Internet di tahun 1960-an abad lalu menjelaskan bahwa kita harus siap
mengubah sikap dan tuntutan yang berkaitan dengan penulisan kritik sastra. Dan untuk
selanjutnya harus siap pula untuk terus-menerus berubah tanpa perlu tahu sampai kapan
dan untuk apa.*

Ciputat, 12 Agustus 2017.

Anda mungkin juga menyukai