Anda di halaman 1dari 24

SEMIOTIKA LEGENDA ‘LABA HADUNG, RAJA KERAJAAN WATOBELEN

PAREKONE’

MASYARAKAT LAMAHORA LEMBATA

Romanus Sole Lasar, SPd.Ind


SMP N 2 Nubatukan
e-mail : romanussole.lasar@gamail.com
Abstrak

Artikel ini mengkaji Legenda Laba Hadung Raja Watobelen Parakone. Sejarah Asal Usul
Laba Hadung ini masih tersimpan utuh dalam tulisan lepas yang ditulis oleh J.A.Hadung
Boleng, keturunan Laba Hadung di Lewoleba pada tanggal 15 November 1971, yang
disyahkan oleh raja Larantuka Don Lorenzo DVG, pada 17 November 1971 di Larantuka
sebagai penguasa adat tertinggi kerajaan Larantuka. Peneliti menganggap Sejarah Asal
Usul Laba Hadung sebagai sebuah karya sastra yang dututurkan dan ditulis dalam bentuk
prosa. Karya sastra ini memiliki struktur, karena itu, untuk memahami karya sastra ini
lebih komprehensif perlu dibuatkan suatu kajian ilmiah. Salah satu caranya yakni dengan
menggunakan kajian semiotik. Penelitian ini akan mendeskripsikan simbol-simbol dan
maknanya yang ditemukan dalam Legenda Laba Hadung Raja Kerajaan Watobelen
Parekone pada masyarakat Lamahora Lembata. Penelitian ini menggunakan pendekatan
struktural semiotik dengan metode kualitatif, kemudian diinterpretasikan berupa makna-
makna. Data penelitian ini berupa simbol-simbol yang terdapat dalam Legenda Laba
Hadung Raja Karajaan Watobelen Parekona. Sebagai hasilnya terdapat tiga simbol dalam
cerita Legenda Laba Hadung raja kerjaan Watobelen Parekona. Sebagai contoh, seekor
anjing masuk ke dalam lingkaran permainan tandak dan mengangkat pantun yang
berbunyi: ‘No pito no pito tahi gere, no pito no pito blebo lebo; yang artinya tujuh hari lagi
tujuh hari lagi air laut naik, tujuh hari lagi tujuh hari lagi air laut akan naik menggenangi
seluruh daratan ini. Anjing merupakan simbol reinkarnasi dewa pemilik (Nitun Loren) roh
darat (penguasa daratan) Awulolong yang perlu dihormati.
Kata Kunci :Legenda, Laba Hadung,
Abstrak

This article review concerning to History of Parentage of Laba Hadung the King of
Watobelen Parekona. The History of Parentage Laba Hadung still well kept in release
scribal that made by J.A. Hadung Boleng, the descendant of Laba Hadung in Lewoleba on
November 15, 1971, endorsed by king of Larantuka Don Lorenzo DVG on November 17,
1971 in Larantuka as the highest ruler of Larantuka. Researchers consider the History of
Laba Hadung as a belleslettres that is spoken and written in prose. This belleslettres has a
structure, therefore, to understand this belleslettres needs to be made a study. One of
method is by using semiotic study. This research will describe the symbols and their
meanings found in the History of Parentage of Laba Hadung to the inhabitan of Lamahora
Lembata. This research uses semiotic structural approach with qualitative method. then
interpreted in the form of meanings. This research data is in the form of symbols contained
in the story of Laba Hadung the King Watobelen Parekona. As a result there are three
symbols in the story of the history of Laba Hadung the king of Watobelen Parekona's
work. For example, a dog enters a tandem game circle and raises a rhyme that reads: No
pito no pito tahi gere, no pito no pito blebo lebo; which means seven more days, seven
days of rising sea waters, another seven days seven days of seawater will rise all over this
land. The dog is a symbol of the reincarnation of the landlord (Nitun Loren) landlord (ruler
of the land) Awololong that needs to be respected.

Keywords: Legenda, Laba Hadung,


I. Pendahuluan

Karya sastra atau pun tradisi lisan merupakan cerminan, gambaran atau refleksi
kehidupan masyarakat atas perjalanan hidupnya. Karya sastra menyuguhkan sebuah
potret kehidupan sosial dalam masyarakat yang mungkin saja terlupakan. Menurut
Warren (2014) Karya Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, yang menghasilkan
sederetan karya seni. Oleh karena itu, cerita- cerita lokal yang merupakan hasil imaji
masyarakat setempat bisa juga dikategorikan sebagai sebuah karya sastra.

Masyarakat Lembata memiliki berbagai cerita-cerita lokal yang diyakini


mengandung banyak nilai kearifan lokal. Cerita tersebut, sampai kini hanya sebagian
yang telah dibukukan, sedangkan yang lainnya masih dalam catatan lepas. Umumnya,
cerita masyarakat Lembata didukung dengan bukti-bukti fisik sebagai legitimasi
kebenaran cerita. Sebagai contoh misalnya, cerita tumbuhnya gunung batu di tengah
kerajaan Peda Lewun (Perkampungan Parang) yang diberi nama Adowajo (nama
gunung). Cerita ini mengisahkan tentang meletusnya gunung Hobal sebuah gunung api
di dalam laut, dan dalam waktu yang bersamaan tumbuhlah gunung batu di tengah
kerajaan PedaLewun kala itu. Demikian juga cerita, Asal Usul Laba Hadung Raja
Watobelen Parekone yang bukti fisiknya berupa Da Awololong Pea Golomengi, yang
kala itu didiami oleh Sembilan marga yang kini menempati Lamahora kelurahan
Lewoleba Timur Lembata.

Kesembilan marga tersebut yakni marga Hadung Boleng, Leban, Lama


Rongan, Kewe Daten, Lemanuk, Lewokoba, Atakowa, Lewo Kedanga, dan Lemora.
Da Awololong Pea Golomengi yang tenggelam kala itu sampai kini akan selalu
muncul ke permukaan laut setiap pasang surutnya air laut, selalu menjadi daya tarik
bagi penduduk Lewoleba dan sekitarnya untuk bekarang mencari berbagai bentuk dan
jenis siput laut, yang terletak di sebelah utara Lewoleba,ibu kota kabupaten Lembata.
Kini orang Lembata menyebutnya pulau Awololong atau pulau siput.

Sebuah cerita legenda baru dapat dipahami secara utuh dengan menggunakan
pendekatan tertentu, baik dilihat dari unsur kesejarahannya, isinya, strukturnya, gaya
bahasanya, maupun simbol-simbol yang terkadung di dalamnya. Salah satu piranti
analisis sastra yang digunakan untuk mengungkapkan karya sastra adalah semiotik.
Telaah sastra dengan menggunakan pendekatan semiotik tidak dapat dipisahkan
dengan analisis struktural karena kedua telaah ini sama-sama beranggapan bahwa
karya satra sebagai sebuah struktur atau sistem tanda-tanda yang bermakna (Pradopo,
1987:117-124). Karya sastra pun merupakan struktur yang kompleks, karena itu untuk
memahaminya, karya sastra tersebut harus dianalisis (Hill, 1966:6). Selain itu, kegiatan
mengapresiasi dan mengkreasikan prosa perlu memperhatikan fungsi, struktur, dan
kaidah-kaidah kebahasaan yang berlaku pada bentuk karya sastra itu (Sarif, 2017: 17)

Untuk menganalisis, perlu diuraikan secara lengkap unsur-usur pembentuknya,


karena dengan cara inilah karya sastra dapat diungkapkan dan dimaknai. Unsur-unsur
atau bagian-bagian karya sastra sebagai bagian dari struktur tidak mempunyai makna
sendiri, tetapi makna ditentukan oleh hubungannya unsur-unsur atau bagian-bagian
lainnya dengan keseluruhannya (Hawkes, 1978:17-18). Penelitian ini didasarkan pada
anggapan bahwa karya sastra adalah artefak (benda mati) yang akan bermakna dan
menjadi objek bernilai estetik jika diberi arti oleh pembaca seperti artefak peninggalan
manusia purba yang mempunyai arti bila diberi makna oleh seorang arkeolog (Teuw,
1984:191). Dengan demikian, sebuah karya sastra hanya akan bermakna atau bernilai
jika diungkapkan oleh pembaca.

Salah satu Cerita rakyat Lembata yang menarik untuk dikaji secara semiotik
adalah, cerita Asal Usul Laba Hadung Raja Watobelen Parekona. Pemahaman terhadap
karya sastra masuk dalam lingkup makna yang merupakan bidang semiotik. Yang
menjadi masalah dalam penelitian ini adalah; apa makna simbol-simbol yang terdapat
dalam cerita Lagenda Asal Usul Laba Hadung Raja Kerajaan Watobelen Parekona?

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan makna atau arti
simbol-simbol dalam kisah cerita Sejarah Asal Usul Laba Hadung Raja Watobelen
Parekona. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pembinaan dan pengembangan sastra serta peningkatan pengajaran apresiasi
sastra, maupun sebagai pemicu bagi peneliti lainnya. Sepanjang pengetahuan peneliti,
analisis semiotik terhadap cerita Sejarah Asal Usul Laba Hadung ini belum pernah
dilakukan. Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk menganalisis cerita
tersebut.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan pendekatan struktural semiotik. Metode kualitatif memberikan ruang kepada
peneliti untuk terlibat langsung dengan objek yang diteliti sebagai pengamat dan
pemberi interpretasi. Metode kualitatif mengutamakan kedalaman penghayatan
terhadap hal-hal yang sedang diteliti. Melalui metode kualitatif, unsur makna yang
terkandung dalam simbol-simbol di dalam cerita Asal Usul Laba Hadung, diuraikan
dengan kata-kata, dengan memanfaatkan berbagai kutipan dari cerita yang dijadikan
objek serta buku-buku penunjang yang berkaitan dengan pengungkapan makna.

Pendekatan struktural semiotik digunakan untuk menginterpretasi simbol-


simbol (signs) yang ada di dalam cerita yang dianalisis untuk memperoleh maknanya
(meaning), kemudian dilanjutkan dengan analisis dari segi strukturnya. Analisis
dimulai dengan menentukan urutan tekstual, urutan kronologis, urutan logis, tokoh dan
penokohan, latar, tema dan amanat. Sesudah mengkaji struktur cerita, dilanjutkan
dengan pengkajian cerita secara semiotik dengan menceritakan kembali jalan cerita
untuk menemukan simbbol-simbol yang dikutip dalam cerita yang dijadikan sebagai
objek dan buku-buku penunjang yang berkaitan dengan pengungkapan makna. Data
penelitian ini adalah simbol-simbol yang terdapat dalam cerita Sejarah Asal Usul Laba
Hadung Raja Kerajaan Watobelen Parekona.

2.PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Asal Usul Laba Hadung Raja Watobelen Parekona

Pada Zaman dahulu, di sebelah utara Lewoleba terdapat suatu daratan yang luas.
Daratan ini, bernama ‘Watobelen Parekone’. Tempat ini merupakan tempat di mana
keluarnya dari dalam tanah tiga oarang bersaudara, yaitu, Laba Hadung, Samung Hadung,
dan Igo Hadung. Bapak mereka bernama ‘Raja Payong’ dan ibu bernama Ina Boleng (dewi
pemilik Gunung Boleng). Mereka hidup bersama masyarakat yang sudah ada, dan yang
menjadi raja dan memerintah di situ adalah Laba Hadung karena ia sulung dari kedua
saudaranya.

Suatu ketika datanglah seorang raja dari kerajaan tetangga bernama ‘Sira Demong’.
Beliau adalah raja dari Kerajaan ‘Ile Mendiri’. Kedatangannya bermaksud untuk mengajak
raja Laba Hadung untuk bergabung dan tunduk dibawah kekuasaan kerajaan Ile Mendiri.
Raja Laba Hadung menolak keinginan raja Sira Demong. Mendengar pernyataan
penolakan itu, Raja Sira Demong mengatakan bahwa jika Laba Hadung tetap pada
pendiriannya maka delapan hari lagi akan ada suatu kejadian yang mengherankan. Dengan
tegas Sira Demong mengatakan “Saya akan menari dengan segala kekuatan dan menikam
tombak di tanah, maka tanah ini akan bergoyang yang menyebabkan air akan naik yang
akibatnya akan dialami dan dirasakan sampai di Watobelen Parekone”.

Usai pertemuan tersebut, raja Sira Demong bersama rombongan kembali ke Ile
Mendiri dengan meninggalkan suatu pesan ajaib. Sementara raja Laba Hadung mulai
menghitung hari seperti yang disampaikan. Tibalah hari yang ke delapan, raja Sira
Demong pun melaksanakan apa yang dikatakannya. Dan benarlah. Raja Sira Demong
menari dan menikam tombak dan terjadilah gempa tektonik hingga menggenangi wilayah
Watobelen Parekone. Lubang tempat tombak terpancung kini menjadi sebuah sumur, yang
dinamakan ‘Sumur Sira Demong’yang kini berada di Larantuka.

Melihat peristiwa ini, raja Laba Hadung tanpa kompromi langsung mengakui dan
menyetujui keinginan raja Sira Demong. Beliau mengajak kedua saudaranya, yakni
Samung Hadung dan Igo Hadung bergegas ke Kerajaan Ile Mendiri, menemui raja Sira
Demong dan menyampaikan keinginan mereka untuk bergabung. Dalam pertemuan itu,
raja Sira Demong sempat menanyakan dampak saat beliau menikam tombak. Raja Laba
Hadung pun mengiakan dengan mengatakan “Kami rasakan pada hari yang ke delapan
sesuai yang dikatakan oleh Raja Sira Demong. Karena itu, kami datang mau
menyampaikan kepada raja bahwa kami mau bergabung dengan kerajaan Ile Mendri”.

Mendengar pernyataan yang disampaikan Laba Hadung, raja Sira Demong


menyuruh Laba Hadung dan kedua saudaranya kembali ke Watobelen Parekone, untuk
segera mengumpulkan Kapitan, Kabelen, Kelake, dan Kebu Reperi guna menyepakati
tempat dan menyiapkan seekor hewan korban. Upacara ritual penyatuan kedua kerajaan ini
akan berlangsung delapan hari kemudian. Setelah itu, Laba Hadung beserta kedua
sudaranya kembali ke Watobelen Parekone.

Sebelum sampai pada hari yang ke delapan, terjadilah perselisihan antara Samung
Hadung dan Igo Hadung. Karena perselisian itu dianggap tidak baik, maka Laba Hadung
langsung memutuskan dan menugaskan Samung Hadung untuk memerintah sebagai
Kakang di Tanah Boleng Adonara dan tinggal di sana, sementara Igo Hadung ditugaskan
menjadi Kakang di Nuhalela Lamalera dan tinggal di sana.
Pada hari yang ke delapan sesuai kesepakatan, Laba Hadung bersama Samung
Hadung, Kapitan, Kabelen, Kelake, Kebu Reperi melangsungkan ritual penyatuan kerajaan
Watobelen Parekone ke Kerajaan Ile Mandiri bersama raja Sira Demong beserta seluruh
bawahannya di suatu tempat bernama Lewo Resing dengan membunuh seekor kerbau yang
disiapkan oleh Laba Hadung. Dalam pertemuan atau permufakatan tersebut mereka
mengadakan ikrar atau sumpah yang diucapkan oleh Laba Hadung dan Sira Demong, yang
masing-masingnya berbunyi sebagai berikut! “Megung matan kleng kenape”, Koten
Keleng huri marang”. Sesudah mengucapkan ikrar, dilanjutkan dengan acara makan
bersama.

Setelah selesai makan bersama, Igo Hadung baru tiba dari Nuhalela. Kehadiran Igo
Hadung disampaikan oleh Laba Hadung kepada raja Sira Demong berserta rombongan dari
kerajaan Ile Mendiri. Mendengar penyampaian itu, raja Sira Demong mengatakan kepada
mereka yang hadir agar segera memberi makanan dan minuman yang sisa untuk dimakan
oleh Igo Hadung. Laba Hadung pun menyambung ajakan raja Sira Demong dalam bahasa
Uken (bahasa daerah kerajaan Watobelen Parekone) “Kluok knamar ne nae gang, waing
peret nenae sebu, tua kuseren ne nae nenu” yang artinya ‘kerak nasi beri dia makan. Kua
sisa beri dia siram nasi, dan tuak yang sisa beri dia minum. Laba Hadung pun
mengeluarkan sebutan atau panggilan untuk Igo Hadung yang berbunyi: ‘Lele Tuho Wutu
Wai Aren”. Sesudah itu, mereka meninggalkan tempat itu menuju ke tempat tinggalnya
masing-masing.

Sekembalinya Laba Hadung, Watobelen Parekone merupakan tempat tinggalnya.


Namun beberapa lama kemudian daerah itu digenangi air laut dan terhanyut, maka Laba
Hadung berserta rakyatnya lari menyelamatkan diri ke suatu tempat bernama ‘Da
Awololong, Pea Golomengi”. Laba Hadung beserta seluruh rakyatnya pun tidak terlalu
lama tinggal di Awololong Pea Golomengi, karena mereka mengalami peristiwa atau
kejadian yang sama seperti yang dialami di Watobelen Parekone.

Menurut cerita, suatu malam penduduk Awololong mengadakan malam hiburan


dengan bermain tandak.Ketika orang sedang bermain tandak muncullah seekor anjing
sambil menonton. Karena anjing itu menghalangi pandangan ibu-ibu maka seorang ibu
menggerutu katanya “dari pada berdiri menonton lebih baik masuk ke dalam lingkaran
untuk ikut bermain tandak”. Mendengar ucapan itu, anjing itu menghilang. Beberapa saat
kemudian anjing itu muncul dengan kepala terikat daun lontar lalu masuk dalam lingkaran
sambil berpantun yang berbunyi sebagai berikut! “No pito no pito tahi gere, no pito no pito
belebo-lebo” yang artinya “tujuh hari lagi tujuh hari lagi air laut naik, tujuh hari lagi air
laut akan menenggelamkan semua”.

Pada hari yang ke tujuh sesudah malam keramaian itu, terjadilah apa yang
disampaikan anjing lewat pantunnya itu. Air laut sungguh naik memporak-porandakan dan
menghanyutkan rumah-rumah serta harta milik penduduk Awololong. Penduduk Awolong
beserta Laba Hadung berjuang menyelamatkan diri dengan mengungsi ke arah selatan
Awololong.

Setelah ‘Da Awololong Pea Golomengi’ berubah menjadi lautan, maka Laba
Hadung mengungsi dan tinggal di ‘Eberbelboto’ (nama tempat di antara Wangatoa dan
Lamahora). Selama Laba Hadung tinggal di Eberbelbuto, dia menanam siri dan pinang di
suatu tempat bernama‘Bluwa’ sebelah barat ‘Lewoleba’ serta menanam kelapa ditempat
bernama ‘Manukawa’ sebelah selatan ‘Eberbelbuto’. Walaupun semua tanaman yang
ditanam Laba Hadung itu telah mati namun buahnya yang jatuh tumbuh kembali secara
berkesinambungan sampai hari ini, kecuali tanaman siri telah mati semuanya.

Dari Eberbelbuto, Laba Hadung pindah lagi ke tempat yang baru bernama
‘Wawatu’ sebelah selatan Wangatoa pedalaman atau arah utara Eberbelbuto. Di’ Wawatu’,
Laba Hadung menanam kelapa di satu tempat bernama ‘Nara’. Sekarang kelapa-kelapa
yang ditanam itu telah mati semuanya. Kampung Nara terletak di lembah antara dua buah
bukit. Pada suatu hari, Laba Hadung mendaki dan berdiri di sebuah bukit dan melihat
daratan (Lewoleba sekarang), tempat mana yang telah ia tinggalkan. Ia terharu dan merasa
tertarik melihat pohon-pohon kelapa di ‘Manukawa’, dan pohon pinang di ‘Bluwa’,
kemudian ia lalu meninggalkan ‘Wawatu’ dan kembali lagi bersama penghuni lainnya ke
‘Eberbelbuto’.

Suatu hari Laba Hadung memerintahkan semua lelaki penduduk ‘Eberbelbuto’


untuk berburu mencari dan menangkap binatang hutan. Pada waktu perburuan itu, mereka
menemukan seorang anak lelaki di lereng sebuah bukit. Sekembalinya para pemburu
mereka menyerahkan anak lelaki yang ditemukan tersebut kepada Laba Hadung. Anak
tersebut dipelihara oleh Laba Hadung dan diberi nama ‘Lamalerek’ dan sekaligus nama
suku untuk anak tersebut. Lamalerek artinya di tempat yang rendah atau lereng.
Selanjutnya masyarakat pun gemar berburu seperti kegemaran Laba Hadung. Dalam
perburuan tersebut para pemburu ‘Eberbelbuto’ menemukan lagi seorang anak lelaki
sedang duduk di bawah pohon pahlawan. Seperti biasa, anak tersebut pun diserahkan
kepada Laba Hadung untuk memeliharanya. Anak tersebut diberi nama ‘Pukalolo’ dan
nama ini selanjutnya dijadikan sebagai nama suku anak tersebut. Pukalolo artinya di
bawah pohon pahlawan. Kedua anak yang dipungut tersebut, hingga sekarang
keturunannya masih hidup dan bergabung di dalam suku ‘Hadung Boleng’.

Demikian sejarah asal usul Laba Hadung, sebagai pemimpin atau raja pada waktu
itu mulai dari Watubelen Parakona sampai di Eberbelbuto, dan di atas tanah yang ditanami
tanaman antara lain: kelapa, sirih pinang, tempat-tempat yang dinyatakan dalam sejarah
atau tanah yang sekarang disebut tanah Lewoleba adalah tanah milik dari Laba Hadung
yang diwariskan kepada anak cucunya hingga saat ini. Raja Laba Hadung adalah raja yang
kemudian karena bergabung dengan kerajaan Ile Mandiri pada masa pemerintahan raja
Sira Demong, maka kerajaan Laba Hadung bukan lagi sebagai suatu kerajaan namun
sebagai suatu daerah atau bagian dari kerajaan Ile Mandiri.

2.1.1 Struktur Cerita

Bagian Orientasi berupa perkenalan tokoh, latar ataupun peristiwa dalam cerita ini terdapat
pada paragraf 1, bagian komplikasi terdapat pada paragraf ke 2-13, dan bagian resolusi
terdapat pada paragraf 14.

2.1.1.1 Urutan Tekstual

Prosa yang berbasis fiksi (teks sastra) pada umumnya bersitat naratif. Prosa narasi
memiliki struktur cerita sebagai berikut: (a) orientasi, yakni pengenalan tokoh, latar
ataupun peristiwa (2) komplikasi, berupa adanya serangkaian konflik yang dialami para
tokoh (3) resolusi, berupa penyelesaian konflik (Sarief, 2017)

Agar dapat menyampaikan fakta-fakta yang disampaikan dalam teks, perlu dibuat urutan
tekstual untuk mendapatkan susunan teks yang terdiri atas sekuen-sekuen. Sekuen adalah
satuan peristiwa dalam cerita.

Laba Hadung,Samung Hadung, dan Igo Hadung adalah tiga bersaudara yang lahir dari
orangtua Raja Payong yang kawin dengan Ina Boleng ( Ile Jadi ) dewi pemilik Gunung
Boleng. Laba Hadung raja di Kerajaan Watobelen Parekona. Raja Sira Demong mengajak
raja Laba Hadung dan seluruh rakyatnya bergabung dengan kerajaan Ile Mandiri serta
tunduk dan taat dibawa kekuasaan raja Sira Demong.Permintaan raja Sira Demong ditolak
oleh raja Laba Hadung.

Raja Sira Demong kembali ke kerajaan Ile Mandiri dengan ancaman delapan hari lagi akan
ada kejadian yang mengherankan.Pada hari yang ke delapan raja Sira Demong menari dan
menikam tombak di tanah yang menyebabkan gempa bumi yang berdampak terjadinya
tsunami sampai di kerajan Watobelen Parekona.Tanah tempat raja Sira Demong menikam
tombak, kini berubah menjadi sebuah sumur, yang diberi nama ‘Sumur Sira
Demong’berada di Larantuka.

Raja Laba Hadung mengakui kekuasaan raja Sira Demong.Raja Laba Hadung bersama
kedua saudaranya Samung Hadung dan Igo Hadung berangkat ke Kerajaan Ile Mandiri
untuk menghadap raja Sira Demong.Raja Laba Hadung dengan seluruh rakyatnya
bergabung dengan kerajaan Ile Mandri dibawah kekuasaan raja Sira Demong.Raja Sira
Demong memerintahkan raja Laba Hadung dan kedua saudaranya untuk kembali ke
Watobelen Parekona.Raja Sira Demong berpesan: kumpulkan Kapitan, Kabelen, Kelake,
dan Kabu Reperi agar pada hari yang ke delapan, diadakan pertemuan bersama raja Sira
Demong bersama Kapitan, Kabelen, Kelake, dan Kebu Reperinya dari kerajaan Ile
Mandiri di suatu tempat bernama ‘Lewo Resing’ dengan membawa seekor kerbau.

Sebelum sampai pada hari yang ke delapan terjadilah perselisihan antara Samung Hadung
dan Igo Hadung.Laba Hadung menganggap perselisihan itu tidak baik.Laba Hadung
menugaskan Samung Hadung Keluar dari Watobelen Parekona untuk memerintah sebagai
kakang dan tinggal di Tana Boleng Adonara.Igo Hadung ditugaskan ke Nuhalela
(Lamalera)untuk memerintah sebagai kakang dan tinggal di sana.

Pada hari yang ke delapan, Laba Hadung, Samung Hadung Kapitan, Kabelen, Kelake, dan
Kabu Reperi beserta rombongan raja Sira Demong mengadakan ikrar atau sumpah di suatu
tempat bernama Lewo Resing di Watobelen Parekona.Laba Hadung beserta rombongan
membawa seekor kerbau untuk disembeli dan darah hewan korban tersebut direciki di atas
tanah tersebut.Sumpah yang diucapkan Laba Hadung berbunyi sebagai barikut! “Megung
matan kleng knape.Bunyi sumpah raja Sira Demong “Koten keleng huri marang”.Seusai
upacara pengangkatan sumpah dilanjutkan dengan makan bersama.Usai makan bersama,
Igo Hadung kakang Nuhalela pun tiba di lokasi.
Laba Hadung menyampaikan ihwal keterlambatan adiknya kepada raja Sira Demong.Sira
Demong mengatakan kepada Laba Hadung untuk memberikan sisa makanan untuk
dimakan oleh Igo Hadung.Laba Hadung pun menyambung penyampaian itu dengan
mengatakan ‘kluok knamar ne nae gang, waing peret ne nae sebu, tuak kuseren ne nae
nenu’.Bersamaan dengan itu, Laba Hadung menyebut atau memanggil Igo Hadung dengan
sebutan “Lele tuho wutu wai aren”.Beberapa waktu kemudian Watobelen Parekona
digengangi air laut, Laba Hadung bersama seluruh rakyatnya pindah ke Da Awololong Pea
Golomengi.

Suatu malam penduduk mengadakan malam hiburan berupa permainan Tandak. Beberapa
ibu membuat api untuk berdiang sambil menonton permainan Tandak.Datanglah seekor
anjing, turut berdiang dan menonton permainan Tandak.Anjing itu berdiri di depan
menghalangi ibu-ibu yang sedang menonton permainan Tandak. Seorang ibu berkatata
kepada anjing, “lebih baik kau masuk dan ikut bermain tandak”.

Anjing menghilang kemudian muncul kembali dengan memakai topi (knobo) yang terbuat
dari daun lontar dan turut bermain tandak.Anjing mengangkat pantun yang berbunyi, “No
Pito No Pito Tahi Gere, No Pito Blebo Lebo No Pito”.

Pada hari ketuju air laut naik menggenangi penduduk di Awololong.Laba hadung bersama
penduduk Awololong mengungsi ke arah selatan. Dengan kejadian itu, anjing dianggap
sebagai binatang yang haram untuk dipermainkan.Laba Hadung mengungsi dan tinggal di
“Eberbelbuto” (tempat diantara wangatoa dan lamahora).

Laba Hadung menanam siri dan pinang di tempat bernama “Bluwa” (sebelah barat dari
Lewoleba) dan menanam kelapa di tempat bernama “Manukawa” (sebelah selatan
Eberbelbuto). Dari“Eberbelbuto”, Laba Hadung pindah dan tinggal di tempat baru
bernama “Wawatu” (sebelah utara Wangatoa). Di“Wawatu” Laba Hadung menanam
kelapa di tempat yang bernama “Nara”. Kampung“Wawatu” berada di bawah apitan dua
buah bukit.

Pada suatu hari, Laba Hadung mendaki dan berdiri di atas sebuah bukit dan melihat
daratan yang sekarang dinamakan “Lewoleba”.Laba Hadung terharu melihat pohon-pohon
kelapanya yang ditanam di “Manukawa” dan pohon pinang serta siri di “Bluwa”.Laba
Hadung meninggalkan “Wawatu” dan kembali lagi ke “Eberbelbuto”. Laba Hadung gemar
berburu menangkap binatang hutan (babi dan rusa).
Laba Hadung memerintahkan penduduk laki-laki untuk berburu mencari dan mengangkat
binatang hutan.Dalam perburuan itu mereka menumkan seorang anak laki-laki di lereng
sebuah bukit.Pemburu menyerahkan anak lelaki itu, kepada Laba Hadung selaku
pemimpin mereka.Anak itu dipelihara oleh Laba Hadung dan diberi nama “Lamalerek”
dan nama tersebut sekaligus dijadikan sebagai marga atau suku dari anak tersebut.

Laba Hadung memerintahkan penduduk untuk berburu lagi dan pada perburuan tersebut
mereka menemukan seorang anak laki-laki sedang duduk di bawah pohon pahlawan.Anak
tersebut diserahkan kepada Laba Hadung dan diberi nama “Pukalolon” sekaligus sebagai
nama marga atau suku. Kedua anak pungutan tersebut hingga kini keturunannya masih ada
dan bergabung di dalam suku “Hadung Boleng”.

Penyerahan kekuasaan raja Laba Hadung tidak melalui pertumpahan darah, melainkan
melalui suatu kejadian yang benar-benar ajaib.Raja Sira Demong menganggap Raja Laba
Hadung bukan sebagai raja yang kalah perang melainkan raja yang harus dihargakan dan
dihormati.Acara resmi dalam istana kerajaan “Ile Mandiri” belum dapat dilangsungkan
jika Laba Hadung belum hadir di tempat.Daerah kekuasaan Laba Hadung ditandai dengan
ditanamnya tanaman umur panjang. Pada zaman penjajahan, untuk menghindari
perselisihan batas-batas tanah maka Letnan Muller memberi tanda batas dengan membuat
tanda silang pada pohon yang sekarang sudah hilang semuanya.

2.1.1.2 Urutan Kronologis

Dalam cerita sejarah asal-usul Laba Hadung, raja Kerajaan Watobelen Parekone
ditemukan beberapa petunjuk waktu yang secara eksplisit menunjukkan urutan kronologis.
Petunjuk waktu itu adalah “pada zaman dahulu, delapan hari lagi, setelah pertemuan,
hari yang ke delapan, pada hari yang kedelapan, setelah itu, sebelum sampai pada hari
yang ke delapan, setelah acara makan, sesudah itu,beberapa lama kemudian, beberapa
saat kemudian, pada saat itu, pada hari yang ketujuh, pada suatu hari, pada waktu
perburuan itu,pada zaman penjajahan”.

Petunjuk waktu pada zaman dahulu terdapat pada awal cerita yang menunjukkan
tempat tinggal raja Laba Hadung bersama kedua saudaranya. Hal itu terlihat dalam kutipan
berikut: “
Pada zaman dahulu, di sebelah utara Lewoleba ada suatu daratan yang luas. Di atas
daratan ini terdapat suatu tempat bernama’ Watobelen Parekone’. Tempat ini merupakan
tempat tingalnya Laba Hadung bersama dengan 2 (dua) orang saudaranya yakni Samung
Hadung dan Igo Hadung. Ketiganya merupakan buah kasih raja Payong yang menikah
dengan Ina Boleng (Ile jadi) dewi pemilik gunung Boleng. Mereka berdiam dan
memerintah di Watobelen Parekona, dan yang menjadi raja adalah Laba Hadung karena
sebagai yang sulung dari kedua saudaranya. Laba Hadung memerintah kerajaan ‘Wato
belen Parak Ona’ dengan aman dan damai (SAULH :1)
1. Petunjuk waktu delapan hari lagi terdapat dalam cerita dimana raja Sira Demong
menanggapi penolakan raja Laba Hadung atas permintaannya untuk bergabung
dengan kerajaan Ile Mandiri. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

Jika raja Laba Hadung tetap pada pendiriannya, maka sekembalinyadia ke Ile Mandiri,
delapan hari lagi akan terjadi suatu kejadian yang mengherankan, yakni saya akan
menari dengan segala kekuatandan akan menikam tombak di tanah, maka tanah akan
bergoyang dan air laut akan naik yang akan dirasakan sampai di Watobelen
Parekona(SAULH:1)
2. Petunjuk waktu setelah pertemuan danmaka tibalah hari yang ke delapan terdapat dalam
cerita tentang pertemuan raja Sira Demong dengan raja Laba Hadung. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut.

Setelah pertemuan tersebut, raja Sira Demong kembali ke Ile Mandiri


tanpa membawa hasil dan hanya meninggalkan satu pesan ajaib.
Sementara itu, raja Laba Hadung mulai menghitung hari seperti yang
disampaikan oleh raja Sira Demong. Maka tibalah hari yang ke delapan,
raja Sira Demong pun melaksanakan apa yang dikatakannya dan benar
terjadi apa yang dikatan raja Sira Demong yang dampaknya dirasakan
oleh Laba Hadung dan seluruh rakyatnya di Watobelen Parekona
(SAULH: 1)
3. Petunjuk waktu pada hari yang ke delapan, setelah itu, serta sebelum sampai pada hari ke
delapan. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

Melihat peristiwa ini, raja Laba Hadung tanpa berpikir panjang langsung
mengakui / menyetujui keinginan raja Sira Demong. Untuk itu, raja Laba
Hadung bersama kedua saudaranya berangkat menuju Ile Mandiri untuk
menemui raja Sira Demong. Dalam pertemuan itu raja Sira Demong sempat
bertanya ‘apakah tanah yang bergoyang itu dirasakan juga oleh Laba
Hadung bersama rakyatnya di Watobelen Parekona atau tidak’. Raja Laba
Hadung menjawab benar. ‘Kami rasakan pada hari yang ke delapan sesuai
yang dikatakan oleh raja Sira Demong. Karena itu, raja Laba Hadung
mengakui kekuasaan raja Sira Demong, dengan demikian raja Laba Hadung
bersama seluruh rakyat mulau saat itu bergabung menjadi satu kerajaan di
bawah kerajaan Ile Mandiri yang diperintah oleh raja Sira Demong. Setelah
itu, raja Sira Demong menyuruh raja Laba Hadung kembali bersama kedua
saudaranya ke Watobelen Parekone dan segera mengumpulkan Kapitan,
Kabelen, Kelake, dan Kabu Reperi. Mereka bertemu di suatu tempat
bernama Lero Resing dengan membawa seekor kerbau untuk disembelih.
Sebelum sampai pada hari yang ke delapan, terjadilah perselisihan antara
Samung Hadung dan Igo Hadung. Karena perselisihan itu dianggap kurang
baik oleh Raja Laba Hadung, maka Laba Hadung lalu memutuskan untuk
menugaskan Samung Hadung untuk memerintah dan tinggal di Tanah
Boleng (sebagai kakang) di Tanah Boleng Adonara, sementara Igo Hadung
ditugaskan ke Nuhalela untuk tinggal dan memerintah (sebagai kakang
Nuhalela) di Lamalera (SAULH:2)

4. Petunjuk waktu pada hari yang ke delapan terdapat dalam cerita berlangsungnya
ikrar atau sumpah. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

Pada hari yang ke delapan, raja Laba Hadung bersama Samung


Hadung,Kapitan,Kabelen, Kelake, Kabu Reperi mengadakan pertemuan
dengan raja Sira Demong beserta seluruh bawahannya dengan membunuh
seekor kerbau yang dibawah oleh raja Laba Hadung. Dalam pertemuan
tersebut mereka bersepakat mengadakan ikrar atau sumpah, yang diucapakan
oleh raja Laba Hadung dan raja Sira Demong yang berbunyi sebagai berikut
“megung matan kleng knape”, “koten keleng huri marang”. Sesudah
mengucapkan ikrar atau sumpah, acara dilanjutkan dengan makan bersama
(SAULH: 2)
5. Petunjuk waktu setelah acara makan bersama, dan sesudah itu, terdapat dalam cerita
tentang Igo Hadung yang terlambat menghadiri ikrar atau sumpah di Lewo Resing. Hal itu
terlihat dalam kutipan berikut.

Setelah acara makan bersama, Igo Hadung pun tiba dari Nuha Lela.
Kehadiran Igo Hadung pun disamapaikan oleh raja Laba Hadung kepada raja
Sira Demong beserta rombongan dari kerajaan Ile Mandiri. Mendengar
penyampaian tersebut, raja Sira Demong mengatakan kepada mereka yang
hadir agar segera memberikan makanan dan minuman yang sisa itu untuk
dimakan oleh Igo Hadung. Raja Laba Hadung pun menyambung ajakan raja
Sira Demong dalam bahasa daerah kerajaan Wato Belen Parak One “kluok
knamar ne nae gang, waing peret ne nae sebu, tuak kuseren ne nae nenu”.
Yang artinya nasi yang sisa beri dia makan, kuah yang sisa beri dia siram
nasi, serta tuak yang sisa beri dia minum. Bersamaan dengan itu, raja Laba
Hadung mengeluarkan sebutan atau panggilan untuk Igo Hadung yakni “Lele
tuha wutu wai aren”. Sesudah itu, raja Sira Demong bersama kapitan, kabelen,
kelake, kabu keperi, dan raja Laba Hadung bersama kedua saudaranya serta
kapitan, kabelen, kelake, kabu reperi meninggalkan tempat tersebut untuk
kembali ke tempat tinggalnya masing-masing (SAULH : 3)
6. Petunjuk waktu beberapa lama kemudian dan tidak terlalu lama terdapat dalam cerita
tentang kerajaan Watobelen Parakone digenangi air laut dan terhanyut. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut.

Sekembalinya Laba Hadung dari pertemuan tersebut, Watobelen Parekona


masih merupakan tempat tinggalnya. Beberapa lama kemudian Watobelen
Parekone digenangi air laut dan terhanyut, maka Laba Hadung beserta seluruh
rakyatnya pindah ke suatu tempat bernama ‘Da Awololong Pea Golomengi’.
Raja Laba Hadung beserta seluruh rakyatnya tidak terlalu lama tinggal di Awo
lolong karena mereka mengalami kejadian yang sama seperti yang dialami di
Watobelen Parekona, namun kali ini air pasang naik begitu dasyat yang
mengakibat rumah-rumah penduduk hanyut oleh ganasnya gelombang
(SAULH : 3)
7. Petunjuk waktu pada suatu malam, beberapa saat kemudian, dan pada saat itu terdapat
dalam cerita penduduk Awololong mengadakan malam hiburan dengan bermain tandak.
Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

Menurut cerita, pada suatu malam penduduk Awololong mengadakan malam


hiburan dengan bermain tandak. Banyak penduduk yang terlibat dalam
permainan tandak; dan ada juga yang menonton. Orang-orang yang menonton
permainan tandak itu, diantaranya terdapat beberapa ibu yang sedang membuat
api unggun untuk berdiang menghangatkan badannya sambil menonton.
Sementara berdiang sambil menonton permainan tandak yang semakin
menghangat , muncullah seekor anjing dan mendekatkan badannya berdiang
bersama ibu-ibu sambil menonton. Karena anjing itu berdiri agak di depan dan
menghalangi pandangan ibu-ibu, maka seorang ibu menggerutu dengan berkata
‘dari pada berdiri di depan menghalangi pandangan kami, lebih baik engkau
masuk dalam lingkaran dan ikut bertandak. Mendengar ucapan ibu tersebut,
anjing itu menghilang. Beberapa saat kemudian anjing itu muncul kembali
dengan kepala yang sudah terikat dengan daun lontar, lalu masuk dalam
lingkaran ikut bermain tandak. Pada saat itu anjing tersebut mengangkat pantun
yang berbunyi “No pito no pito tahik gere, no pito blebo lebo no pito” yang
artinya tujuh hari lagi, tujuh hari lagi air laut naik, tujuh hari lagi air laut akan
menenggelamkan semua. Dan benarlah apa yang dikatakan anjing dalam
pantunnya itu (SAULH : 3)
8. Petunjuk waktu pada hari yang ketujuh terdapat dalam cerita tentang terwujudnya pantun
yang disampaikan oleh anjing pada saat bermain tandak. Hal itu terlihat dalam kutipan
berikut.

Pada hari yang ke tujuh sesudah malam keramaian itu, terjadilah apa yang
disampaikan anjing lewat pantunnya itu. Air laut sungguh naik memporak-
porandakan dan menghanyutkan rumah-rumah serta harta milik penduduk
Awololong. Penduduk Awolong beserta Laba Hadung berjuang
menyelamatkan diri dengan mengungsi ke arah selatan Awololong (yang
sekarang ini pulau pasir putih). Setibanya Penduduk Awololong, ada yang
meneruskan perjalanannya ke pedalaman. Atas kejadian yang maha dasyat itu,
orang-orang penghuni Lewoleba sekarang yang asli mengganggap anjing
sebagai binatang yang haram untuk dipermainkan (SAULH : 4)
9. Petunjuk waktu setelah terdapat dalam cerita tentang Da Awololong Pea Golomengi
berubah menjadi lautan. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

Setelah ‘Da Awololong Pea Golomengi’ berubah menjadi lautan, maka Laba
Hadung mengungsi dan tinggal di ‘Eberbelboto’ (nama tempat di antara
Wangatoa dan Lamahora). Selama Laba Hadung tinggal di Eberbelbuto, dia
menanam siri dan pinang di suatu tempat bernama‘Bluwa’ sebelah barat
‘Lewoleba’ serta menanam kelapa ditempat bernama ‘Manukawa’ sebelah
selatan ‘Eberbelbuto’. Walaupun semua tanaman yang ditanam Laba Hadung
itu telah mati namun buahnya yang jatuh tumbuh kembali secara
berkesinambungan sampai hari ini, kecuali tanaman siri telah mati semuanya
(SAULH : 4)
10. Petunjuk waktu pada suatu hari terdapat dalam cerita perpindahan Laba Hadung
dari Eberbelbuto ke tempat yang baru bernama Wawatu. Hal itu terlihat dalam
kutipan berikut.

Dari Eberbelbuto, Laba Hadung pindah lagi ke tempat yang baru bernama
‘Wawatu’ sebelah selatan Wangatoa pedalaman atau arah utara Eberbelbuto.
Di’ Wawatu’, Laba Hadung menanam kelapa di satu tempat bernama ‘Nara’.
Sekarang kelapa-kelapa yang ditanam itu telah mati semuanya. Kampung Nara
terletak di lembah antara dua buah bukit. Pada suatu hari, Laba Hadung
mendaki dan berdiri di sebuah bukit dan melihat daratan (Lewoleba sekarang),
tempat mana yang telah ia tinggalkan. Ia terharu dan merasa tertarik melihat
pohon-pohon kelapa di ‘Manukawa’, dan pohon pinang di ‘Bluwa’, kemudian
ia lalu meninggalkan ‘Wawatu’ dan kembali lagi bersama penghuni lainnya ke
‘Eberbelbuto’(SAULH: 4)
11. Petunjuk waktu pada waktu perburuan terdapat dalam cerita Raja Laba Hadung
memerintah semua laki-laki penduduk Eberbelbuto untuk pergi berburu. Hal itu
terlihat dalam kutipan berikut.

Kegemaran Laba Hadung adalah berburu menangkap binatang hutan, antara


lain babi, dan rusa. Suatu hari Laba Hadung memerintahkan semua lelaki
penduduk ‘Eberbelbuto’ untuk berburu mencari dan menangkap binatang
hutan. Pada waktu perburuan itu, mereka menemukan seorang anak lelaki di
lereng sebuah bukit. Sekembalinya para pemburu mereka menyerahkan anak
lelaki yang ditemukan tersubut kepada Laba Hadung sebagai pemimpin
mereka. Anak tersebut dipelihara oleh Laba Hadung dan diberi nama
‘Lamalerek’ dan sekaligus nama suku untuk anak tersebut. Lamalerek artinya
di tempat yang rendah atau lereng (SAULH: 4)
12. Petunjuk waktu pada zaman penjajahan terdapat dalam cerita untuk menghindari
perselisihan batas-batas tanah. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

Pada zaman penjajahan, untuk menghindari perselisihan batas-batas tanah,


maka oleh Letnan Muller telah diberi tanda batas dengan membuat tanda-tanda
silang pada pohon yang sekarang sudah hilang tanda-tanda itu. Pada waktu itu,
pohon yang diberi tanda adalah daerah perbatasan dengan Hamente Ile Ape dan
Kawela sedangkan yang lain tidak diberi tanda karena justru dalam lingkaran
daerah kerajaan Larantuka. Bukti-bukti yang nyata menunjukan bahwa Laba
Hadung dan keturunannya hingga kini tanah tersebut adalah milik Laba
Hadung dan keturunannya. Andaikata ada penduduk dalam daerah Lewoleba
dan sekitarnya yang membunuh kerbau atau sapi maka kebiasaannya kepala
dari hewan tersebut diberikan kepada suku Hadung Boleng. Begitu pula
dengan ikan-ikan di laut khusunya ikan besar seperti penyu, ikan paus (temu)
kepalanya harus diserahkan kepada pemilik daerah Lewoleba, yakni suku
Hadung Boleng.
2.1.1.3 Urutan Logis

Analisis urutan logis dalam cerita sejarah asal-usul Laba Hadung dapat diketahui
berdasarkan logika cerita. Berdasarkan urutan tekstual/sekuen diketahui bahwa sekuen
pertama adalah Laba Hadung,Samung Hadung, dan Igo Hadung adalah tiga bersaudara
yang lahir dari orang tua Raja Payong yang kawin dengan Ina Boleng ( Ile Jadi ) dewi
pemilik Gunung Boleng. Laba Hadung raja di kerajaan Watobelen Parekone. Raja Sira
Demong mengajak raja Laba Hadung dan seluruh rakyatnya bergabung dengan kerajaan
Ile Mandiri serta tunduk dan taat dibawa kekuasaan raja Sira Demong. Pada sekuen ke-6,
pada hari yang ke delapan raja Sira Demong menari dan menikam tombak di tanah yang
menyebabkan gempa bumi yang berdampak terjadinya tsunami sampai di kerajan
Watobelen Parekona. Raja Laba Hadung bersama kedua saudaranya Samung Hadung dan
Igo Hadung berangkat ke Kerajaan Ile Mandiri untuk menghadap raja Sira Demong.

Pada sekuen ke-13 terjadi perselihan antara Samung Hadung dan Igo Hadung. Pada
sekuen ke 15-16 dijelaskan Laba Hadung menugaskan Samung Hadung Keluar dari
Watobelen Parekona untuk memerintah sebagai Kakang dan tinggal di Tana Boleng
Adonara. Igo Hadung ditugaskan ke Nuhalela (Lamalera) untuk memerintah sebagai
kakang dan tinggal di sana. Pada hari yang ke delapan, Laba Hadung, Samung Hadung
Kapitan, Kabelen, Kelake, dan Kabu Reperi beserta rombongan raja Sira Demong
mengadakan ikrar atau sumpah di suatu tempat bernama Lewo Resing di Watobelen
Parekona. Laba Hadung beserta rombongan membawa seekor kerbau untuk disembeli dan
darah hewan korban tersebut direciki di atas tanah tersebut.

2.1.1.4 Analisis Tokoh dan Penokohan

Laba Hadung raja kerajaan Watobelen Parekona, merupakan tokoh sentral yang
memerintah kerajaannya dengan aman dan penuh damai. Beliau boleh dikatakan sebagai
seorang raja yang bijak dalam mengambil sebuah keputusan. Selain itu, pada saat-saat
terakhir menjelang pertemuan Laba Hadung dan raja Sira Demong, beberapa hari sebelum
berlangsungnya kegiatan tersebut kedua adiknya bertengkar. Untuk menenangkan situasi
menjelang pertemuan tersebut beliau memerintahkan Samung Hadung sebagai kakang di
tanah Boleng dan adiknya Igo Hadung sebagai kakang di Nuhalela (Lamalera). Hal itu
terlihat dalam kutipan berikut.
“Dalam situasi yang demikian aman dan damai, datanglah seorang
raja dari kerajaan tetangga bernama Sira Demong. Dia adalah raja dari
kerajaan ‘Ile Mandiri’. Maksud kedatangan raja Sira Demong yakni
ingin mengajak raja Laba Hadung agar kedua kerajaan itu dijadikan
satu kerajaan saja, dimana raja Laba Hadung bersama seluruh
rakyatnya harus bergabung dengan kerajaan Ile Mandiri dan tunduk di
bawah kekuasaan raja Sira Demong. Mendengar permintaan itu, raja
Laba Hadung menolak keinginan raja Sira Demong dengan
mengatakan bahwa raja Sira Demong tetap menjadi raja di Ile Mandiri
dan saya juga tetap menjadi raja di sini; kemudian raja Sira Demong
menanggapi jawaban yang disampaikan dengan mengatakan bahwa
jika raja Laba Hadung tetap pada pendiriannya, maka sekembalinya
dia ke Ile Mandiri.”

“Sebelum sampai pada hari yang ke delapan, terjadilah perselisihan


antara Samung Hadung dan Igo Hadung. Karena perselisihan itu
dianggap kurang baik oleh Raja Laba Hadung, maka Laba Hadung
lalu memutuskan untuk menugaskan Samung Hadung untuk
memerintah dan tinggal di Tanah Boleng (sebagai kakang) di Tanah
Boleng Adonara, sementara Igo Hadung ditugaskan ke Nuhalela untuk
tinggal dan memerintah (sebagai kakang Nuhalela) di Lamalera.”

Raja Laba Hadung adalah seorang raja yang cakap dalam memilih dan menempatkan
orang sesuai kemampuan yang dimiliki dalam menyelesaikan suatu tugas. Hal itu terlihat
dalam kutipan berikut.

Laba Hadung lalu memutuskan untuk menugaskan Samung Hadung


untuk memerintah dan tinggal di Tanah Boleng (sebagai kakang) di
Tanah Boleng Adonara, sementara Igo Hadung ditugaskan ke
Nuhalela untuk tinggal dan memerintah (sebagai kakang Nuhalela) di
Lamalera.”

Raja Laba Hadung seorang raja yang bijaksana saat terjadi perselihan. Untuk meredam
emosi kedua adiknya yang berselisihan, diberikan tugas pengabdian pada lokasi/tempat
yang berjauhan dan jauh dari kerajan. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.
Sebelum sampai pada hari yang ke delapan, terjadilah perselisihan
antara Samung Hadung dan Igo Hadung. Karena perselisihan itu
dianggap kurang baik oleh Raja Laba Hadung, maka Laba Hadung
lalu memutuskan untuk menugaskan Samung Hadung untuk
memerintah dan tinggal di Tanah Boleng (sebagai kakang) di Tanah
Boleng Adonara, sementara Igo Hadung ditugaskan ke Nuhalela untuk
tinggal dan memerintah (sebagai kakang Nuhalela) di Lamalera.

Raja Laba Hadung tidak menghendaki kerajaannya dikuasai oleh Raja Sira
Demong raja kerajaan Ile Mandiri melainkan melalui suatu tanda atau kejadian
yang ajaib. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

Setelah pertemuan tersebut, raja Sira Demong kembali ke Ile Mandiri


tanpa membawa hasil, dan meninggalkan satu perjanjiana atau pesan
ajaib. Sementara itu, raja Laba Hadung mulai menghitung hari seperti
yang disampaikan oleh raja Sira Demong. Maka tibalah hari yang ke
delapan, raja Sira Demong pun melaksanakan apa yang dikatakannya.
Dan benar tarjadi apa yang dikatakan raja Sira Demong yang
dampaknya dirasakan oleh raja Laba Hadung dan seluruh rakyatnya di
Watobelen Parekone. Dan Melihat peristiwa ini, raja Laba Hadung
tanpa berpikir panjang langsung mengakui / menyetujui keinginan raja
Sira Demong. Untuk itu, raja Laba Hadung bersama kedua saudaranya
berangkat menuju Ile Mandiri untuk menemui raja Sira Demong.
Dalam pertemuan itu raja Sira Demong sempat bertanya ‘apakah tanah
yang bergoyang itu dirasakan juga oleh Laba Hadung bersama
rakyatnya di Watobelen Parekona atau tidak’. Raja Laba Hadung
menjawab benar. ‘Kami rasakan pada hari yang ke delapan sesuai
yang dikatakan oleh raja Sira Demong. Karena itu, raja Laba Hadung
mengakui kekuasaan raja Sira Demong, dengan demikian raja Laba
Hadung bersama seluruh rakyat mulau saat itu bergabung menjadi
satu kerajaan di bawah kerajaan Ile Mandiri yang diperintah oleh raja
Sira Demong.
Raja Laba Hadung selalu memberi tanda sebagai batas ulayat setiap suku dengan menanam
pohon umur panjang. Ia berpikir ke depan tentang akan terjadinya perselisihan antar suku
jika tanah-tanah tidak diberi batas. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut.

Raja Laba Hadung sengaja menanam tanaman-tanaman umur panjang


untuk menandai tempat tersebut sebagai miliknya. Selain itu, karena
Laba Hadung mempunyai dua orang anak, maka ada beberapa tempat
oleh Laba Hadung dianugrakan kepada anak Lama lerek dan Pukai
lolon.

2.1.1.5 Analisis Ruang

Menurut Zaimar (1991:65) pada umumnya cerita selalu menunjukan kepada pembaca
tempat dan waktu terjadinya tindakan yang di ceritakan. Terkadang penulis membatasi diri
dengan petunjuk waktu, tetapi tidak jarang pula mendeskripsikannya secara panjang lebar.
Petunjuk ruang dan waktu dapat memberikan keadaan dunia nyata. Dari segi letaknya
dapat diamati bahwa ada kategori ruang dalam karya sastra yaitu ruang terbuka dan ruang
tertutup. Ruang terbuka adalah ruang yang tidak terbatasi oleh sesuatu seperti di jalan,
pantai, bahkan alam semesta, sedangkan ruang tertutup adalah ruang yang terbatasi atau
mempunyai batas-batas tertentu.

Raja Laba Hadung bersama Samung Hadung,Kapitan,Kabelen, Kelake, Kabu Reperi


mengadakan pertemuan dengan raja Sira Demong beserta seluruh bawahannya dengan
membunuh seekor kerbau yang dibawah oleh raja Laba Hadung. Dalam pertemuan
tersebut mereka bersepakat mengadakan ikrar atau sumpah, yang diucapakan oleh raja
Laba Hadung dan raja Sira Demong yang berbunyi sebagai berikut “megung matan kleng
knape”, “koten keleng huri marang”. Sesudah mengucapkan ikrar atau sumpah, acara
dilanjutkan dengan makan bersama merupakan ruang terbuka yang ada dalam cerita.

2.1.1.6 Tema dan Amanat

Tema adalah gagasan yang menjadi struktur isi cerita. Tema suatu cerita menyangkut
segala persoalan baik berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang,
kecemburuan, dan sebagainya. Untuk mengetahui tema suatu cerita diperlukan apresiasi
menyeluruh terhadap berbagai unsur karangan itu. Bisa saja temanya itu dititipkan pada
unsur penokohan, alur, ataupun pada latar (Syarief, 2017:14).

Kisah ini menceritakan tentang asal-usul Laba Hadung, raja Kerajaan Watobelen Parekone
yang memerintah kerajaan tersebut dengan aman dan damai. Lebih lanjut diceritakan
bahwa raja Laba Hadung tidak serta merta menerima ajakan Raja Sira Demong untuk
tunduk dan bergabung dengan raja Kerajaan Ile Mandiri itu. Sekalipun diancam dengan
satu pesan yang aneh namun berujung nyata.

Lebih lanjut diceritakan pula bahwa setelah peristiwa naiknya air laut yang
menutupi Kerajaan Watobelen Parekone, raja Laba Hadung bersama kedua saudaranya
yakni Igo Hadung dan Samung Hadung berangkat menuju ke Kerajaan Ile Mandiri untuk
menemui Raja Sira Demong untuk menyampaikan keinginannya untuk bergabung menjadi
satu kerajaan di bawah kerajaan Ile Mandiri yang diperintahi oleh raja Sira Demong.

Lebih lanjut diceritakan bahwa pernyataan untuk tunduk dan masuk dilakukan
dalam suatu ritual bersama di Lewo Resing yang akan dihadiri pula oleh bawahan raja Sira
Demong dan Laba Hadung dengan sebuah ritual berupa pembunuhan seekor kerbau
sebagai suatu peristiwa penyatuan secara resmi keinginan raja Larantuka seperti
diceritakan di atas. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tema cerita tersebut adalah
pentingnya kebijaksanaan dalam kehidupan. Amanat yang terdapat dalam cerita ini adalah
jangan terburu-buru dalam mengambil sebuah keputusan.

3.2 Pembacaan Semiotik

Eco (1979:7) mengatakan bahwa semiotik berkenaan dengan segala sesuatu yang dapat
dipandang sebagai tanda. Lebih lanjut beliau mengatakan semiotik adalah kajian tentang
sistem tanda dan penggunaannya. Representasi atau penafsiran makna tanda bergantung
pada konteks sosial pemakaian tanda itu.

Cerita ini merupakan cerita legenda yang berjenis legenda setempat (local legend) yang
menceritakan tentang asal-usul Laba Hadung dari Watobelen Parekone sampai
Eberbelbuto.

Kisah ini bukan sekedar cerita legenda biasa. Hal itu disebabkan karena kisah yang ada
dalam cerita ini benar-benar terjadi dan tempat-tempatnya ada. Tempat-tempat itu antara
lain di Kerajaan Watubelen Parekona yang tenggelam dan tak pernah muncul ke
permukaan.

Maka tibalah hari yang ke delapan, raja Sira Demong pun melaksanakan apa yang dikatakannya. Dan benar tarjadi
apa yang dikatakan raja Sira Demong yang dampaknya dirasakan oleh raja Laba Hadung dan seluruh rakyatnya di
Watobelen Parekone.

Daa Owololong Pea Golomengi yang sampai sekarang disebut Awololong atau pulau
siput yang muncul saat air surut dan orang selalu berkunjung ke pulau siput baik dalam
tujuan untuk mencari siput atau sekedar menikmati alam di atas pulau siput tersebut.

Sementara berdiang sambil menonton permainan tandak yang semakin menghangat , muncullah seekor
anjing dan mendekatkan badannya berdiang bersama ibu-ibu sambil menonton. Karena anjing itu
berdiri agak di depan dan menghalangi pandangan ibu-ibu, maka seorang ibu menggerutu dengan
berkata ‘dari pada berdiri di depan menghalangi pandangan kami, lebih baik engkau masuk dalam
lingkaran dan ikut bertandak. Mendengar ucapan ibu tersebut, anjing itu menghilang. Beberapa saat
kemudian anjing itu muncul kembali dengan kepala yang sudah terikat dengan daun lontar, lalu masuk
dalam lingkaran ikut bermain tandak. Pada saat itu anjing tersebut mengangkat pantun yang berbunyi
“No pito no pito tahik gere, no pito blebo lebo no pito” yang artinya tujuh hari lagi, tujuh hari lagi air
laut naik, tujuh hari lagi air laut akan menenggelamkan semua. Dan benarlah apa yang dikatakan anjing
dalam pantunnya itu.

Pada hari yang ke tujuh sesudah malam keramaian itu, terjadilah apa yang disampaikan anjing lewat
pantunnya itu. Air laut sungguh naik memporak-porandakan dan menghanyutkan rumah-rumah serta
harta milik penduduk Awololong. Penduduk Awolong beserta Laba Hadung berjuang menyelamatkan
diri dengan mengungsi ke arah selatan Awololong (yang sekarang ini pulau pasir putih). Setibanya
Penduduk Awololong, ada yang meneruskan perjalanannya ke pedalaman. Atas kejadian yang maha
dasyat itu, orang-orang penghuni Lewoleba sekarang yang asli mengganggap anjing sebagai binatang
yang haram untuk dipermainkan.

Lebih lanjut fakta lain yaitu tempat yang bernama Eberbelbuto yang sekarang berada
disebelah selatan Wangatoa arah ke bukit, sementara tempat yang bernama ‘Wawatu’ yang
terletak disebelah barat berbatasan dengan ‘Bandara Wonopito’ Lewoleba. Bukti lain di
Bluwa tempat dimana Laba Hadung menanam siri dan pinang kini masuk dalam wilayah
kelurahan Lewoleba Barat.

Dari Eberbelbuto, Laba Hadung pindah lagi ke tempat yang baru bernama ‘Wawatu’ sebelah selatan Wangatoa
pedalaman atau arah utara Eberbelbuto. Di’ Wawatu’, Laba Hadung menanam kelapa di satu tempat bernama ‘Nara’.
Sekarang kelapa-kelapa yang ditanam itu telah mati semuanya. Kampung Nara terletak di lembah antara dua buah
bukit. Pada suatu hari, Laba Hadung mendaki dan berdiri di sebuah bukit dan melihat daratan (Lewoleba sekarang),
tempat mana yang telah ia tinggalkan. Ia terharu dan merasa tertarik melihat pohon-pohon kelapa di ‘Manukawa’,
dan pohon pinang di ‘Bluwa’, kemudian ia lalu meninggalkan ‘Wawatu’ dan kembali lagi bersama penghuni lainnya
ke ‘Eberbelbuto’.
Penutup

Berdasarkan hasil analisis legenda masyarakat Lamahora yang berjudul Cerita


asal-usul Laba Hadung Raja kerajaan Watobelen Parakone dapat ditarik beberapa
kesimpulan antara lain sebagai berikut:

1. Laba Hadung tidak serta merta mengiyakan ajakan raja Sira Demong untuk
bersatu. Secara semiotik merupakan simbol yang mengandung makna adanya
kesadaran bahwa dalam menghadapi setiap persoalan kehidupan harus dipikirkan
secara matang sebelum mengambil keputusan.
2. Hewan korban yang biasa dibunuh (kecuali anjing) pada peristiwa-peristiwa yang
bersifat sakral tidak dimakan oleh semua orang. Ada bagian-bagian tertentu dari
hewan kurban tersebut yakni kepala, kaki tangan, paha, dan ekor dari hewan
bermakna ‘bagian-bagian ini hanya akan dimakan oleh orang-orang yang berhak
atau mempunyai kedudukan di dalam organisasi kemasyarakatan tersebut’.
3. Keterlambatan Igo Hadung dalam mengikuti Upacara Sumpah Penyatuan Kerajaan
Watobelen Parekona di bawah kekuasaan kerjaan Ile Mandiri di Lewo Resing
seolah merupakan bagian yang harus terjadi dalam peristiwa tersebut karena Igo
Hadung merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara yang selalu disebut oleh
kakaknya ‘Igo lele Tuho Wutu Wai Aren’ yang artinya Igo dibentuk oleh sisa-sisa
air susu mama.
4. Raja Laba Hadung tidak lupa menanam tanaman umur panjang untuk menandai
tanah-tanah miliknya karena beliau mempunyai dua orang anak yaitu Lamalerek
dan Pukalolon. Karena itu, tanaman umur panjang yang ditanam bermakna sebagai
batas tanah yang nantinya akan diberikan kepada kedua anaknya.
5. Letnan Muller juga memberikan tanda silang pada pohon yang sekarang sudah
hilang. Tanda-tanda tersebut sebagai penanda batas antar wilayah yang diberikan
Laba Hadung kepada kedua anaknya yakni Lamalerek dan Pukalolon.
DAFTAR PUSTAKA

Dua, Witin Patrisius.2014. Orang Ataili “Rekonstruksi Jejak-Jejak yang


Tercecer.Kandil Semesta. Bekasi.

Hill, Knox C. 1966. Interpreting Liberature. Chicago: The University Press Of Chicago

Howkens, Terence. 1978. Structuralism and Simiotics. London: Mtheuen & Co.Ltd.

Kosasih.2013. Apresiasi Sastra Indonesia.Bandung.Yrama Widya.

Nurgiyantoro, Burhan.2005. Memahami Apresiasi Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gajah


Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.1992. Dewa Telah Mati: Kajian Strukturalisme Semiotik.


Makalah yang dibentangkan dalam Temu Ilmiah Ilmu-Ilmu Sastra
Pascasarjana se-Indonesia di Bandung pada tanggal 21-22 Oktober 1991

Saragih, Amrin.2011. Semiotik Bahasa: Tanda, Penanda dan Petanda dalam


Bahasa.Universitas Negeri Medan.

Syarief,Elina.2017. Apresiasi dan Kreasi Sastra. Kemendikbud.

Teew, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Zaimar, Okke KS.1991. Menelusuri makna Ziarah Karya Iwan Simatupang.Jakarta:


Intermesa.

Anda mungkin juga menyukai