Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH KELOMPOK

ASUHAN KEPERAWATAN KEBUTUHAN ELIMINASI

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Dasar
Semester II Tahun Ajaran 2019/2020

OLEH:
KELOMPOK 2

AYU ARTIKA SARI


JUMANDALIAH
NIA WAHYUNI
RINA APRIANDINI
ST SAFNAH AMALIAH
SAHRANI
SRI AYU WAHYUNI

AKADEMIK KEPERAWATAN LAPATAU BONE


2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufik, dan

inayah-Nya kepada kita semua. Sehingga kami bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan

ridho-Nya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan

rencana. Makalah ini berjudul “Transplantasi Organ Tubuh” dengan tujuan untuk

mengetahui definisi dan hukum tersebut.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Revolusi

Akbar Nabi Muhammad SAW. Karena beliau adalah salah satu figur umat yang mampu

memberikan syafa’at kelak di hari kiamat.

Selanjutnya kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bsemua pihak yang telah

turut serta membantu dalam segi apapun dalam pembuatanmakalah ini hingga selesai.Kami

mohon ma’af yang sebesar -besarnya apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak

kesalahan didalamnya.

Kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi tercapainya

kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis

khususnya dan bagi pembacau mumnya. Amiiin...

Watampone, 07 Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 anatomi fisiologi dan pengertian urin dan fekal ...................................... 3
2.2 tanda dan gejala...................................................................................... 9
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi ..................................................... 11
2.4 Perubahan dalam eliminasi urine............................................................. 13
2.5 Proses keperawatan eliminasi urin........................................................... 15
2.6 Menjelaskan Konsep Pencernaan Normal Dan Eliminasi Fekal ............. 24
2.7 Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal .......................................... 27
2.8 Masalah – Masalah Defekasi Yang Umum ............................................. 32
2.9 Proses Keperawatan Eliminasi Fekal...................................................... 35

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan.............................................................................................. 42
3.2 Saran........................................................................................................ 42

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine atau bowel
(feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Sistem
tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung
kemih dan uretra. Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu: kandung kemih secara
progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai ambang, yang
kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi
(refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-
tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi
adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan
oleh pusat korteks serebri atau batang otak.
Pada eliminasi urine normal sangat tergantung pada individu, biasanya miksi setelah bekerja,
makan atau bangun tidur. Normal miksi sehari adalah 5 kali.
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel
movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari
sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris
dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang normal.
Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian
tubuh yang lain. Karena fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola
eliminasi dan kebiasaan masing-masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan
dari perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit dapat
menghindari mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka menjadi tidak mempunyai
kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas toilet yang normal. Untuk menangani masalah
eliminasi klien, perawat harus mengerti proses eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang
mempengaruhi eliminasi. Asuhan kaperawatan yang mendukung akan menghormati privasi
dan kebutuhan emosional klien. Tindakan yang dirancang untuk meningkatkan eliminasi
normal juga harus meminimalkan rasa ketidaknyamanan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan eliminasi?
2. Masalah apa saja yang dapat mempengaruhi proses eliminasi?
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi eliminasi?
4. Bagaimana cara membantu pasien eliminasi?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui masalah dan faktor apa saja yang
mempengaruhi proses eliminasi seseorang terutama pada pasien, serta mengetahui bagaimana
cara membantu pasien untuk eliminasi baik di tempat tidur maupun di toilet.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 anatomi dan fisiologi eliminasi urin


Anatomi fisiologi Sistem Perkemihan
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya proses penyaringan darah
sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap
zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh
larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).
Susunan Sistem Perkemihan
Sistem perkemihan terdiri dari:
a) dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin,
b) dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih),
c) satu vesika urinaria (VU), tempat urin dikumpulkan, dan
d) satu uretra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria.

Ginjal (Ren)

Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang perut atau abdomen. Ginjal ini
terletak di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior)
ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Ginjal kanan biasanya
terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat untuk hati.
Sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan duabelas. Kedua ginjal
dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu
meredam goncangan.

Fungsi ginjal

a. Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun,


b. Mempertahankan suasana keseimbangan cairan,
c. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh
d. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.

Struktur Ginjal

Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex
renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang
berwarna cokelat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang
disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-
lubang kecil disebut papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh
darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima
urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis majores yang
masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis minores.
Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit fungsional ginjal.
Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari : Glomerulus, tubulus
proximal, angsa henle, tubulus distal dan tubulus urinarius.
Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria.
Panjangnya ± 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga
abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
1. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
2. Lapisan tengah lapisan otot polos
3. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik yang mendorong urin
masuk ke dalam kandung kemih.
Vesika Urinaria (Kandung Kemih)
Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir
(kendi). Letaknya di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat
mengembang dan mengempis seperti balon karet.
Dinding kandung kemih terdiri dari:
1. Lapisan sebelah luar (peritoneum).
2. Tunika muskularis (lapisan berotot).
3. Tunika submukosa.
4. Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).
Uretra
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi menyalurkan
air kemih ke luar.
Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari :
1. Urethra pars Prostatica
2. Urethra pars membranosa ( terdapat spinchter urethra externa)
3. Urethra pars spongiosa.
Urethra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm (Lewis). Sphincter
uretra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan uretra disini hanya
sebagai saluran ekskresi.
Dinding uretra terdiri dari 3 lapisan:
1. Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari Vesika urinaria.
Mengandung jaringan elastis dan otot polos. Sphincter uretra menjaga agar uretra tetap
tertutup.
2. Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung pembuluh darah dan saraf.
3. Lapisan mukosa.
Urin (Air Kemih)
Sifat fisis air kemih, terdiri dari:
1. Jumlah ekskresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari pemasukan (intake) cairan
dan faktor lainnya.
2. Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
3. Warna, kuning tergantung dari kepekatan, diet obat-obatan dan sebagainya.
4. Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak.
5. Berat jenis 1,015-1,020.
6. Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung dari pada diet (sayur
menyebabkan reaksi alkalis dan protein memberi reaksi asam).
Komposisi air kemih, terdiri dari:
1. Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air.
2. Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea, amoniak dan kreatinin.
3. Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fospat dan sulfat.
4. Pagmen (bilirubin dan urobilin).
5. Toksin.
6. Hormon.
Mikturisi
Mikturisi ialah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan urin. Mikturisi
melibatkan 2 tahap utama, yaitu:
1. Kandung kemih terisi secara progresif hingga tegangan pada dindingnya meningkat
melampaui nilai ambang batas (Hal ini terjadi bila telah tertimbun 170-230 ml urin), keadaan
ini akan mencetuskan tahap ke 2).
2. Adanya refleks saraf (disebut refleks mikturisi) yang akan mengosongkan kandung
kemih.
Pusat saraf miksi berada pada otak dan spinal cord (tulang belakang) Sebagian besar
pengosongan di luar kendali tetapi pengontrolan dapat di pelajari “latih”. Sistem saraf
simpatis : impuls menghambat Vesika Urinaria dan gerak spinchter interna, sehingga otot
detrusor relax dan spinchter interna konstriksi. Sistem saraf parasimpatis: impuls
menyebabkan otot detrusor berkontriksi, sebaliknya spinchter relaksasi terjadi MIKTURISI
(normal: tidak nyeri).
Ciri-Ciri Urin Normal
1. Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tapi berbeda-beda sesuai dengan jumlah cairan yang
masuk.
2. Warnanya bening oranye tanpa ada endapan.
3. Baunya tajam.
4. Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.
2.1.2 Proses Berkemih
1. Proses Filtrasi ,di glomerulus
Terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan
yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida,
sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus ginjal. Cairan yang disaring disebut filtrate
glomerulus.
2. Proses Reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida,
fospat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di
tubulus proximal.
Sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila
diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya dialirkan
pada papilla renalis.
3. Proses sekresi.
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke papilla renalis
selanjutnya diteruskan ke luar.
Gangguan eliminasi urine adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko
mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami gangguan eliminasi
urine akan dilakukan katerisasi urine, yaitu tindakan memasukkan selang kateter ke dalam
kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.
Masalah-masalah dalam eliminasi urine yaitu:
a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih
danketidaksanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri. Retensi urine dapat
disebabkan oleh hal-hal seperti: obstruksi (misalnya hipertrofi prostat), pembedahan pada
daerah abdomen bawah, pelvis, atau kandung kemih.
b. Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau permanen otot
sfingter ekstema untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih. Inkontinensia urine
dapat dibagi menjadi lima jenis, yaitu: inkontinensia fungsional, inkontinensia refleks,
inkontinensia stres, inkontinensia urgensi (dorongan) dan inkontinensia total.
c. Enuresis, yaitu peristiwa berkemih yang tidak disadari. Sering terjadi pada
anak-anak, umumnya terjadi pada malam hari (nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau
lebih dalam semalam.
d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.
e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.
f. Polyuria, produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti
2500 ml/hari tanpa adanya peningkatan intake cairan.
g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine.

Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko
tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses
kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah
tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon
desenden dengan menggunakan kanul rekti.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik. Ketika
feses masuk ke dalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang
menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon
desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus.
Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal internal tidak menutup dan bila
spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika saraf dalam rektum dirangsang, signal
diteruskan ke spinal cord (sakral 2-4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon
sigmoid dan rektum. Sinyal-sinyal parasimpatis ini meningkatkan geombang peristaltik,
melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter
anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan, yaitu:
a. Konstipasi, merupakan gejala bukan penyakit. Yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai
dengan pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan. BAB yang keras dapat
menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama,
sehingga banyak air diserap.
b. Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga
tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid.
c. Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak terbentuk. Isi intestinal
melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor
tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer
sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
d. Inkotinensia fekal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB
dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan
fungsi spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan
kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien sangat tergantung pada
perawat.
e. Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan
distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar dari mulut (sendawa) atau
anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan
makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan
f. Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum
(bisainternal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal
jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding
pembuluh darah teregang. Jika terjadi inflamasi dan pengerasan, maka pasien merasa panas
dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri.
Akibatnya pasien mengalami konstipasi.
2.2 Tanda dan Gejala
Tanda gangguan eliminasi urine:
a. Retensi urine
1. Ketidak nyamanan daerah pubis
2. Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih
3. Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang
4. Meningkatnya keinginan untuk berkemih dan resah
5. Ketidaksanggupan untuk berkemih

b. Inkontinensia urine
1. Pasien tidak dapat menahan keinginan untuk BAK sebelum sampai di
WC
2. Pasien sering mengompol
Tanda gangguan eliminasi fekal:
A. Konstipasi

1. Menurunnya frekuensi BAB


2. Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3. Nyeri rektum

B. Impaction

1. Tidak BAB
2. Anoreksia
3. Kembung/kram
4. Nyeri rektum
C. Diare
1. BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak terbentuk
2. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa
4. Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan
D. Inkontinensia Fekal
1. Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus
2. BAB encer dan jumlahnya banyak
E. Flatulens
1. Menumpuknya gas pada lumen intestinal
2. Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram
3. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
F. Hemoroid
1. Pembengkakan vena pada dinding rektum
2. Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3. Merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
4. Nyeri

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi


1. Faktor yang mempengaruhi eliminasi urine:
a. Diet dan Asupan (Intake)
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output urine (jumlah
urine). Protein dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk Selain itu, juga dapat
meningkatkan pembentukan urine.
b. Respons Keinginan Awal untuk Berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat Menyebabkan urine banyak
tertahan didalam urinaria sehingga mempengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah urine.
c. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi dalam kaitannya
terhadap tersedianya fasilitas toilet.
d. Stres Psikologis
Meningkatnya stres dapat mengkibatkan meningkatnya frekuensi keinginan
untuk berkemih dan jumlah urine yang diproduksi.
e. Tingkat Aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi sfingter.
Hilangnya tonus otot vesika urinaria menyebabkan kemampuan pengontrolan berkemih
menurun dan kemampuan tonus otot didapatkan dengan beraktivitas.
f.Tingkat Perkembangan
Tingkat perkembangan dan pertumbuhan juga dapat mempengaruhi pola berkemih. Hal
tersebut dapat ditemukan pada anak yang lebih memiliki kesulitan untuk mengontrol buang
air kecil. Namun dengan usia kemampuan dalam mengontrol buang air kecil.
g. Kondisi Penyakit
Kondisi penyakit dapat mempengaruhi produksi urine, seperti diabetes melitus.
h. Sosiokultural
Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti adanya kultur
pada masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air kecil di tempat tertentu.
i. Kebiasaan Seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih mengalami kesulitan untuk berkemih dengan
melalui urineal/pot urine bila dalam keadaan sakit.
j. Tonus Otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalam membantu proses berkemih adalah otot
kandung kemih, otot abdomen dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam kontraksi
pengontrolan pengeluaran urine.
k. Pembedahan
Efek pembedahan dapat menyebabkan penurunan pemberian obat anestesi menurunkan
filtrasi glomelurus yang dapat jumlah urine karena dampak dari

l. Pengobatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya peningkatan atau
penurunan proses perkemihan. Misalnya pemberian diuretik dapat meningkatkan jumlah
urine, sedangkan pemberian obat antikolinergik dan antihipertensi dapat menyebabkan retensi
urine.

m. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik ini juga dapat mempengaruhi kebutuhan eliminasi urine, khususnya
prosedur-prosedur yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan saluran kemih seperti
IVY (intra uenus pyelogram), yang dapat membatasi jumlah asupan sehingga mengurangi
produksi urine. Selain itu tindakan sistoskopi dapat menimbulkan edema lokal pada uretra
yang dapat menganggu pengeluaran urine
2. Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal:
1. Usia dan perkembangan: mempengaruhi karakter feses, control
2. Diet
3. Pemasukan cairan. Normalnya: 2000-3000 ml/hari
4. Aktifitas fisik: merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus meningkat
5. Faktor psikologik
6. Kebiasaan
7. Posisi
8. Nyeri
9. Kehamilan: menekan rektum
10. Operasi dan anestesi
11. Obat-obatan
12. Test diagnostik: barium enema dapat menyebabkan konstipasi
13. Kondisi patologis
14. Iritan
2.4 Perubahan dalam eliminasi urine
1. Kebiasaan berkemih
Pengkajian ini meliputi bagaimana kebisaan berkemih serta hambatannya. Frekuensi
berkemih tergatung pada kebiasaan dan kesempatan. Banyak orang berkemih setiap hari pada
waktu bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada waktu malam hari.
2. Pola berkemih
• Frekuensi Berkemih
frekuesi berkemih menentukan berapa kali individu berkemih dalam waktu 24 jam.
• Urgensi
Perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang ke toilet karena takut mengalami
inkotinensia jika tidak berkemih.
• Disuria
Keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih. Keadaan ini ditemukan pada struktur uretra,
infeksi saluran kemih, trauma pada vesika urinaria.
• Poliuria
Keadaan produksi urine yang abnormal yang jumlahnya lebih besar tanpa adanya
peningkatan asupan cairan. Keadaan ini dapat terjadi pada penyakit diabetes, defisiensi ADH,
dan penyakit kronis ginjal.
• Urinaria supresi
Keadaan produksi urine yang berhenti secara mendadak. Bila produksi urine kurang dari 100
ml/hari dapat dikatakan anuria, tetapi bila produksinya antara 100 – 500 ml/hari dapat
dikatakan sebagai oliguria.
3. Volume urine
Volume urine menentukan berapa jumlah urine yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam.
4. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih
• Diet dan asupan (diet tinggi protein dan natrium) dapat mempengaruhi jumlah urine
yang dibentuk, sedangkan kopi dapat meningkatkan jumlah urine.
• Gaya hidup
• Stress psikologi dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih
• Tingkat aktivitas
5. Keadaan urine
Keadaan urine meliputi : warna, bau, berat jenis, kejernihan, pH, protein, darah, glukosa.
6. Tanda klinis gangguan eliminasi urine seperti retensi urine, inkontinensia urine.

2.5 Proses keperawatan eliminasi urin


2.1 PENGKAJIAN
1. Riwayat Keperawatan
a. Pola Berkemih
b. Gejala dari perubahan berkemih
c. Faktor yang mempengaruhi berkemih
2. Pemeriksa Fisik
a. Abdomen
Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi kandungan kemih, pembesaran ginjal,
nyeri tekan, tenderness, bising usus.
b. Genitalia Wanita
Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, dan keadaan atrofi jaringan vagina.
c. Genitalia Laki-laki
Kebersihan, adanya lesi, tenderness, dan adanya pembesaran skrotum.
3. Intake dan output cairan
a. Kaji intake dan output cairan dalam sehari (24 jam)
b. Kebiasaan minum di rumah
c. Intake: cairan infus, oral, makanan, NGT
d. Kaji perubahan volume urine untuk mengetahui ketidakseimbangan cairan
e. Output urine dari urinal, kantong urine, drainase ureterostomi, dan sistostomi
f. Karakteristik urine: warna, kejernihan, bau, dan kepekatan
4. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan urine (urinalisis):
Warna (N: jernih kekuningan)
Penampilan (N: jernih)
Bau (N: beraroma)
pH (N: 4,5-8,0)
Berat jenis (N: 1,005-1,030)
Glukosa (N: negatif)
Keton (N: kuman pentagon negatif)
b. Kultur urine (N: kuman pantogrn negatif)

2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Gangguan pola eliminasi urine: inkontinensia
Defisini: Kondisi di mana seseorang tidak mampu mengendalikan pengeluaran urine.
Kemungkinan berhubungan dengan:
a. Gangguan neuromuskular
b. Spasme kandung kemih
c. Trauma pelvis
d. Infeksi saluran kemih
e. Trauma medulla spinalis
Kemungkinan data yang ditemukan:
a. Inkontinensia
b. Keinginan berkemih yang segera
c. Sering ke toilet
d. Menghindari minum
e. Spasme kandung kemih
f. Setiap berkemih kurang dari 100 ml atau lebih dari 550 ml
Tujuan yang diharapkan:
a. Klien dapat mengontrol pengeluaran urine setiap 4 jam
b. Tidak ada tanda-tanda retensi dan inkontinensia urine
c. Klien berkemih dalam keadaan rileks
2. Retensi urine
Definisi: kondisi di mana seseorang tidak mampu mengosongkan kandung kemih secara
tuntas.
Kemungkinan yang berhubungan dengan:
a. Obstruksi mekanik
b. Pembesaran prostat
c. Kanker
d. Pembedahan
e. Kehamilan
Kemungkinan data yang ditemukan:
a. Tidak tuntasnya pengeluaran urine
b. Distensi kandung kemih
c. Hipertrofi prostat
d. Kanker
e. Infeksi saluran kemih
f. Pembedahan besar abdomen
Tujuan yang diharapkan:
a. Pasien dapat mengontrol pengeluaran kandung kemih setiap 4 jam
b. Tanja dan gejala retensi urine tidak ada
2.3 PERENCANAA KEPERAWATAN
1. Memberikan intake cairan secara tepat, Intake cairan secara tepat, pasien
dengan masalah perkemihan yang sering intake jumlah cairan setiap hari ditentukan dokter.
Pasien dengan infeksi perkemihan, cairannya sering ditingkatkan. Pasien dengan edema
cairannya dibatasi.
2. Memastikan keseimbangan intake dan output cairan, mengukur intake dan
output cairan. Jumlah caiaran yang masuk dan keluar dalam setiap hari harus diukur, untuk
mengetahui kesimbangan cairan.
3. Mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
4. Membantu mempertahankan secara normal berkemih.
5. Mencegah kerusakan kulit.
6. Membantu pasien mempertahankan posisi normal untuk berkemih.
7. Memberikan kebebasan untuk pasien.
8. Mencegah infeksi saluran kemih.
9. Memberikan bantuan pada saat pasien pertama kali merasa ingin buang air kecil
Jika menggunakan bedpan atau urinal yakin itu dalam keadaan hangat.
10. Memulihkan self esteem atau mencegah tekanan emosional.
11. Bila pasien menggunakan bedpan, tinggikan bagian kepala tempat tidur dengan
posisi fowler dan letakkan bantal kecil dibawah leher untuk meningkatkan support dan
kenyamanan fisik (prosedur membantu memberi pispot/urinal).
12. Untuk anak kecil meningkatkan kontrol berkemih dan self esteem.

2.4 IMPLEMENTASI KEPERAWAT


2.4 Rencana Tindakan
1. Monitor/observasi perubahan faktor, tanda dan gejala terhadap masalah perubahan
eliminasi urine, retensi dan urgensia
2. Kurangi faktor yang mempengaruhi/penyebab masalah
3. Monitor terus perubahan retensi urine
4. Lakukan kateterisasi urine
Inkontinensia dorongan
1. Pertahankan hidrasi secara optimal
2. Ajarkan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dengan
3. Ajarkan pola berkemih terencana (untuk mengatasi kontraksi kandung kemih yang tidak
biasa)
4. Anjurkan berkemih pada saat terjaga seperti setelah makan, latihan fisik, mandi
5. Anjurkan untuk menahan sampai waktu berkemih
6. Lakukan kolaborasi dengan tim dokter dalam mengatasi iritasi kandung kemih
Inkontinensia total
1. Pertahankan jumlah cairan dan berkemih
2. Rencanakan program kateterisasi intermiten apabila ada indikasi
3. Apabila terjadi kegagalan pada latihan kandung kemih pertimbangan untuk pemasangan
kateter indweeling
Inkontinensia stress
Kurangi faktor penyebab seperti :
1. Kehilangan jaringan atau tonus otot, dengan cara :
• Ajarkan untuk mengidentifikasi otot dasar pelviks dan kekuatan dan kelemahannya saat
melakukan latihan
• Untuk otot dasar pelviks anterior bayangkan anda mencoba menghentikan aliran urine,
kencangkan otot-otot belakang dan depan dalam waktu 10 detik, kemudian lepaskan atau
rileks, ulangi hingga 10 kali dan lakukan 4 kali sehari
2. Meningkatkan tekanan abdomen dengan cara :
• Latih untuk menghindari duduk lama
• Latih untuk sering berkemih sedikitnya tiap 2 jam
Inkontinensia fungsional
Ajarkan teknik merangsang refleks berkemih, dengan berkemih seperti :
mekanisme supra pubis kutaneus
1. Ketuk supra pubis secara dalam, tajam dan berulang
2. Anjurkan pasien untuk :
 Posisi setengah duduk
 Mengetuk kandung kemih secara langsug denga rata-rata 7 – 8 kali setiap detik
 Gunakan sarung tangan
 Pindahkan sisi rangsangan di atas kandung kemih untuk menentukan posisi saling
berhasil
 Lakukan hingga aliran baik
 Tunggu kurang lebih 1 menit dan ulangi hingga kandung kemih kosong
 Apabila rangsangan dua kali lebih dan tidak ada respon, berarti sudah tidak ada lagi
yang dikeluarkan
3. Apabila belum berhasil, lakukan hal berikut ini selama 2- 3 menit dan berikan jeda waktu
1 menit di antara setiap kegiatan
 Tekan gland penis
 Pukul perut di atas ligamen inguinalis
 Tekan paha bagian dalam
4. Catat jumlah asupan dan pengeluaran
5. Jadwalkan program kateterisasi pada saat tertentu
Inkontinensia Fungsional
1. Tingkatkan faktor yang berperan dalam kontinen, seperti :
a. Pertahakan hidrasi optimal dengan cara
b. Pertahankan nutrisi yang adekuat
c. Tingkatkan intergritas diri dan berikan motivasi kemampuan mengontrol kandung
kemih, dengan cara menghindari penggunaan bedpan (pispot).
d. Tingkatkan integritas kulit
e. Tingkatkan higiene perseorangan
2. Jelaskan cara mengenali perubahan urine yang abnormal seperti adanya peningkatan
mukosa, darah dalam urine dan perubahan warna
3. Ajarkan cara memantau adanya tanda dan ISK, seperti peningkatan suhu, perubahan
keadaan urine, nyeri supra pubis bagian atas, nyeri saat berkemih, mual, muntah

2.5 Pelaksanaan (Tindakan Keperawatan)


Pengumpulan Urine untuk Bahan Pemeriksaan
Mengingat tujuan pemeriksaan berbeda-beda, maka pengambilan sampel urine juga dibeda-
bedakan sesuai dengan tujuannya. Cara pengambilan urine tersebut antara lain : pengambilan
urine biasa, pengambilan urine steril dan pengumpulan selama 24 jam.
1. Pengambilan urine biasa merupakan pengambilan urine dengan cara mengeluarkan
urine seperti biasa, yaitu buang air kecil. Biasanya untuk memeriksa gula atau kehamilan.
2. Pengambilan urine steril merupakan pengambilan urine dengan cara dengan
menggunakan alat steril, dilakukan dengan menggunakan alat steril, dilakukan dengan
keteterisasi atau pungsi supra pubis. Pengambilan urine steril bertujuan mengetahui adanya
infeksi pada uretra, ginjal atau saluran kemih lainnya.
3. Pengambilan urine selama 24 jam merupakan pengambilan urine yang dikumpulkan
dalam 24 jam, bertujuan untuk mengeetahui jumlah urine selama 24 jam dan mengukur berat
jenis urine, asupan dan pengeluaran serta mengetahui fungsi ginjal.
Alat :
1. botol penampung beserta penutup
2. etiket khusus
Prosedur Kerja
1. Mencuci tangan
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
3. Bagi pasien yang tidak mampu buang air kecil sendiri, bantu untuk BAK, keluarkan
urine setelah itu tampung dengan meggunakan botol
4. Bagi pasien yang mampu BAK sendiri, anjurkan pasien untuk BAK dan anjurkan untuk
menampung urine ke dalam botol
5. Catat nama dan tanggal pengambilan pemeriksaan
6. Cuci tangan
Menolong pasien untuk buang air kecil dengan menggunakan urinal
Menolong BAK dengan menggunakan urinal merupakan tindakan keperawatan dengan
membantu pasien yang tidak mampu BAK sendiri di kamar kecil dengan menggunakan alat
penampung dengan tujuan menampung urine dan mengetahui kelainan urine (warna dan
jumlah).
Alat dan bahan :
1. urinal
2. pengalas
3. tisu
Prosedur Kerja
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur pada pasien
3. Pasang alas urinal di bawah glutea
4. Lepas pakaian bawah pasien
5. Pasang urinal di bawah glutea/pinggul atau diantara kedua paha
6. Anjurkan pasien untuk berkemih
7. Setelah selesai, rapikan alat
8. Cuci tangan dan catat warna serta jumlah produksi urine
Melakukan kateterisasi
Indikasi :
Tipe Intermitten
 Tidak mampu berkemih 8 – 12 jam setelah operasi
 Retensi akut setelah trauma uretra
 Tidak mampu berkemih akibat obat sedatif atau analgesic
 Cedera pada tulang belakang
 Degenerasi neuromuskular secara progresif
 Pengeluaran urine residual
Tipe Indwelling
 Obstruksi aliran urine
 Pasca operasi saluran uretra dan struktur disekitarnya
 Obstruksi uretra
 Inkontinensia dan disorientasi berat
Alat dan bahan
1. Sarung tangan steril
2. Kateter steril (sesuai dengan ukurannya dan jenis)
3. Duk steril
4. Minyak pelumas/ gel
5. Larutan pembersih antiseptic
6. Spuit yang berisi cairan
7. Perlak dan alasnya
8. Pinset anatomi
9. Bengkok
10. Urinal bag
11. Sampiran
Prosedur Kerja
Untuk pasien pria :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur
3. Atur ruangan/pasang sampiran
4. Pasang perlak/alas
5. Gunakan sarung steril
6. Pasang duk steril
7. Pegang penis dengan tangan sebelah kiri, lalu preputium ditarik sedikt
ke pangkalnya dan bersihkan dengan kapas savlon
8. Beri gel pada ujung kateter, lalu masukkan pelan-pelan sambil anjurkan
untuk tarik napas
9. Jika tertahan, jangan dipaksa
10. Setelah kateter masuk, isi balon dengan cairan aquades
11. Sambung kateter dengan urobag dan fiksasi ke arah paha
12. Rapikan alat
13. Cuci tangan
Untuk pasien wanita :
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur
3. Atur ruangan
4. Pasang perlak/alas
5. Gunakan sarung tangan steril
6. Pasang duk steril
7. Bersihkan vulva kapas savlon dari atas ke bawah
8. Buka labia mayor dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri lalu bersihkan bagian dalam
9. Beri gel pada ujung kateter lalu masukkan pelan-pelan sambil anjurkan tarik napas,
hingga urine keluar
10. Setelah selesai, isi balon dengan cairan aquades atau sejenisnya menggunakan spoit
11. Sambung kateter dengan urine bag dan fiksasi ke arah samping
12. Rapikan alat
13. Cuci tangan
- Menggunakan kondom kateter
Menggunakan kondom kateter merupakan tindakan keperawatan dengan cara memberikan
kondom kateter pada pasien yang tidak mampu mengontrol berkemih. Cara ini bertujuan agar
pasien dapat berkemih dan mempertahankannya.
1. Alat dan bahan :
1. Sarung tangan
2. Air sabun
3. Pengalas
4. Kondom kateter
5. Urinal bag
6. Sampiran
2. Prosedur kerja
1. Cuci tangan
2. Jelaskan prosedur pada klien
3. Atur ruangan/pasang sampiran
4. Pasang perlak/alas
5. Gunakan sarung tangan
6. Atur posisi klien dengan terlentang
7. Bersihkan area genitalia dengan sabun dan bilas dengan air hangat bersih kemudian
keringkan
8. Lakukan pemasangan kondom dengan menyisakan 2,5 – 5 cm ruang antara glans penis
dengan ujung kondom
9. Letakkan batang penis dengan perekat elastis, tapi jangan terlalu ketat
10. Hubungkan ujung kondom kateter dengan saluran urobag
11. Rapikan alat
12. Cuci tangan

2.6 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan terhadap gangguan kebutuhan eliminasi urine secara umum dapat
dinilai dari adanya kemampuan dalam :
1. Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai dengan
asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan obat, kompresi pada kandung
kemih atau kateter
2. Mengosongkan kandung kemih, ditunjukkan dengan berkurangnya
distensi, volume urine residu, dan lancarnya kepatenan drainase
3. Mencegah infeksi/ bebas dari infeksi, ditunjukkan dengan tidak adanya infeksi,
tidak ditemukan adanya disuria, urgensi, frekuensi, dan rasa terbakar.
4. Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal kering
tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering
5. Memberikan pasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria
tidak ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang
6. Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi
inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih
2.6 Menjelaskan Konsep Pencernaan Normal Dan Eliminasi Fekal
Saluran gastrointestiral ( GI ) merupakan serangkaian organ muscular berongga yang dilapisi
oleh membrane mukosa ( selaput lendir ). Tujuan kerja organ ini ialah mengabsorpsi cairan
dan nutrisi, menyiapkan makanan untuk diabsorpsi dan digunakan oleh sel – sel tubuh, serta
menyediakan tempat penyimpanan fese sementara. Fungsi utama system GI adalah membuat
keseimbangan cairan. GI juga menerima banyak sekresi dari organ – organ, seperti kandung
empedu dan pancreas. Setiap kondisi yang secara serius mengganggu absorpsi atau sekresi
normal cairan GI, dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan.
Organ – organ saluran gastrointestinal :
Anatomi fisiologi saluran pencernaan terdiri dari :
1.Mulut
Saluran GI secara mekanis dan kimiawi memecah nutrisi ke ukuran dan bentuk yang sesuai.
Semua organ pencernaan bekerja sama untuk memastikan bahwa masa atau bolus makanan
mencapai daerah absorpsi nutrisi dengan aman dan efektif. Gigi mengunyah makanan,
memecahkan menjadi berukuran yang dapat di telan. Sekresi saliva mengandung enzim,
seperti ptyalin, yang mengawali pencernaan unsure – unsure makanan tertentu. Saliva
mencairkan dan melunakkan bolus makanan di dalam mulut sehingga lebih mudah ditelan.

2.Esophagus
Begitu makanan memasuki bagian atas esophagus, makanan berjalan melalui otot sirkular,
yang mencegah udara memasuki esophagus dan makanan mengalami refluks ( bergerak ke
belakang ) kembali ke tenggorokan. Bolus makanan menelusuri esophagus yang panjangnya
kira – kira 25 cm. makanan didorong oleh gerakan peristaltic lambat yang dihasilkan oleh
kontraksi involunter dan relaksasi otot halus secara bergantian. Pada saat bagian esophagus
berkontraksi di atas bolus makanan, otot sirkular di bawah ( atau di depan ) bolus berelaksasi.
Kontraksi – kontraksi otot halus yang saling bergantian ini mendorong makanan menuju
gelombang berikutnya.
Dalam 15 detik, bolus makanan bergerak menuruni esophagus dan mencapai sfingter
esophagus bagian bawah. Sfingter esophagus bagian bawah terletak di antara esophagus dan
lambung. Factor – factor yang mempengaruhi tekanan sfingter esophagus bagian bawah
meliputi antacid, yang meminimalkan refluks, dan nikotin serta makanan berlemak, yang
meningkatkan refluks.
3.Lambung
Di dalam lambung, makanan disimpan untuk sementara dan secara mekanis dan kimiawi
dipecahkan untuk dicerna dan diabsorpsi. Lambung menyekresi asam hidroklorida ( HCL ),
lendir, enzim pepsin, dan factor intrinsic. Konsentrasi HCL mempengaruhi keasaman
lambung dan keseimbangan asam – basa tubuh. HCL membantu mencampur dan
memecahkan makanan di lambung. Lendir melindungi mukosa lambung dari keasaman dan
aktivitasenzim. Pepsin mencerna protein, walaupun tidak banyak pencernaan yang
berlangsung di lambung. Factor intrinsik adalah komponen penting yang dibutuhkan untuk
absopsi viatamin B12 di dalam usus dan selanjutnya untuk pembentukan sel darah merah
normal. Kekurangan factor intrinsic ini mengakibatkan anemia dan pernisiosa.
Sebelum makan meninggalkan lambung, makanan diubah menjadi materi semicair yang
disebut kimus. Kimus lebih mudah dicerna dan diabsorpsi daripada makanan padat. Klien
yang sebagian lambungnya diangkat atau yang memiliki pengosongan lambung yang cepat (
seperti pada gastritis ) dapat mengalami masalah pencernaan yang serius karena makanan
tidak dipecah menjadi kimus.
4.UsusHalus
Selama proses pencernaan normal. Kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus. Usus
halus merupakan sebuah saluran dengan diameter sekitar 2.5 cm dan panjang 6 m. Usus halus
dibagi mkenjadi 3 bagian : duodenum, jejunum, dan ileum. Kimus bercampur dengan enzim
– enzim pencernaan ( missal : empedu dan amylase ) saat berjalan memalui usus halus.
Segmentasi ( kontrasi dan relaksasi otot halus secara bergantian ) mengaduk kimus,
memecahkan makanan lebih lanjut untuk dicerna. Pada saat kimus bercampur, gerakan
peristaltic berikutnya sementara berhenti sehingga memungkinkan absorpsi. Kimus berjalan
perlahan melalui usus halus untuk memungkinkan absorpsi.
Kebanyakan nutrisi dan elektrolit diabsorbsi di dalam usus halus. Enzim dari pancreas (
missal : amylase ) dan empedu dari kandungan empedu dilepaskan ke dalam duodenum.
Enzim di dalam usus halus memecahkan lemak, protein, dan karbohidrat menjadi unsure –
unsur dasar. Nutrisi hampir seluruhnya diabsorbsioleh duodenum dan jejunum. Ileum
mengabsorpsi vitamin – vitamin tertentu, zat besi, dan garam empedu. Apabila fungsi ileum
terganggu, proses pencernaan akan mengalami perubahan besar. Inflamasi, reseksi bedah,
atau obstruksi dapat mengganggu peristaltic, mengurangi area absorpsi, atau menghambat
aliran kimus.
5.UsusBesar
Saluran GL bagian bawah disebut usus besar ( kolon ) karena ukuran diameternya lebih besar
daripada usus halus. Namun, panjangnya, yakni 1,5 sampai 1,8 m jauh lebih pendek. Usus
besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rectum. Usus besar merupakan utama dalam
eliminasi fekal.
a.Sekum
Kimus yang tidak diabsorpsi memasuki sekum melalui katup ileosekal. Katup ini merupakan
lapisan otot sirkulat yang mencegah regurgitasi dan kembalinya isi kolon ke usus halus.
b.Kolon
Walaupun kimus yang berair memasuki kolon, volume air menurum saat kimus bergerak di
sepanjang kolon. Kolon dibagi menjadi kolon asendens, kolon transversal, kolon desenden,
kolon sigmoid. Kolon dibangun oleh jaringan otot, yang memungkinkannya menampung dan
mengeliminasi produk buangan dalam jumlah besar.
Kolon memiliki empat fungsi yang saling berkaitan : absorpsi, proteksi, sekresi, dan
eliminasi.
c.Rectum
Produk buangan yang mencapai bagian kolon sigmoid, disebut feses. Sigmoid menyimpan
feses sampai beberapa saat sebelum defekasi. Rectum merupakan bagian akhir pada saluran
GL. Panjang rectum bervariasi menurut usia :
Bayi 2,5 sampai 3,8 cm
Toddler 5 cm
Prasekolah 7,5 cm
Anak usia sekolah 10 cm
Dewasa 15 sampai 20 cm
Dalam kondisi normal, rectum tidak berisi feses sampai defekasi. Rectum dibangun oleh
lipatan – lipatan jaringan vertical dan transversal. Setiap lipatan vertical berisi sebuah arteri
dan lebih dari satu vena. Apabila vena menjadi distensi akibat tekanan selama mengedan,
maka terbentuk hemoroid. Hemoroid dapat membuat proses defekasi terasa nyeri. Apabila
masa feses atau gas bergerak kedalam rectum untuk membuat dindingnya berdisensi, maka
proses defekasi dimulai. Proses ini melibatkan control voluntary dan control involunter.
Sfingter interna adalah sebuah otot polos ynag di persarafi oleh system saraf otonom.
Saat sfingter interna relaksasi sfingter eksterna juga relaksasi. Orang dewasa dan anak – anak
yang sudah menjalani toilet training ( latihan defekasi ) dapat mengontrol sfingter eksterna
secara volunteer ( sadar ). Tekanan untuk mengeluarkan feses dapat dilakukan dengan
meningkatkan tekanan intraabdomen atau melakukan valsava maneuver. Maneuver valsava
ialah kontraksi volunter otot – otot abdomen saat indivudu mengeluarkan nafas secara paksa,
sementara glottis menutup (menahan napas saat mengedan).
2.7 Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal
1.Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan dalam mempengaruhi status eliminasi terjadi
disepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit
menyekresi enzim pencernaan. Beberapa makanan, seperti zat pati yang kompleks,
ditoleransi dengan buruk. Bayi tidak mampu mengontrol defekasi karana kurangnya
perkembangan neuromuskolar. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai 2 sampai 3
tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCL
meningkat khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengkonsumsi makana
dalam jumlah lebih besar. Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga
merusak proses pencernaan dan eliminasi. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi
sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang memasuki
saluran GI hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan
didalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring dengan proseas penuaan.
Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung lemak mencerminkan
terjadinya kehilangan enzim limpase.

2.Diet
Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu mempertahankan pola peristaltic yang
teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat,
residu makanan yang tidak dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi
feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa feses.
Dinding usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi.
Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makanan berserat sampai
usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan
dengan cepat melalui usus, mempertahankan feses tetap lunak.

Makanan-makanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi (masa).


i.Buah-buahan mentah (apel,jeruk)
ii. Buah-buahan yang diolah (prum,apricot)
iii. Sayur-sayuran (bayam,kangkung,kubis)
iv. Sayur-sayuran mentah (seledri,mentimun)
v. Gandum utuh (sereal, roti)
Mengkonsumsi makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola eliminasi
jika factor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang kol,
dan buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat dinding usus
berdistensi , meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan pedas dapat meningkatkan
peristaltic , tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak berlangsung dan feses menjadi
encer.
Beberapa jenis makanan, seperti susu dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin
dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa. Laktosa, suatu
bentuk karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu, secara normal dipecah oleh
enzim lactase. Intoleransi terhadap makana tertentu dapat mengakibatkan diare, distensi gas,
dank ram.

3.AsupanCairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan
(seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus,
memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang menurun memperlambat
pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400
sampai 2000ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak
feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat
peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan konstipasi.
4.AktivitasFisik
Aktivitas fisik meninkatkan peristaltic, sementara imobilisasi menekan motilitas kolon.
Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan
dipertahankannya eliminasi normal
Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi,
merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak
kemampuan individu untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol
sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung
dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.
5.FaktorPsikologis
Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional
yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respons
stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang
dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic
meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan distensi gas.
Apabila individu mengalami depresi, sistem saraf otonom memperlambat impuls saraf dan
peristaltic dapat menurun. Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress.
Penyakit ini meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian
berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa penyebab klien
mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis. Namu, ansietas
dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut (cooke,1991)
6.kebiasaanPribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu merasa lebih
mudah melakukan defekasi dikamar mandi mereka sendiri pada waktu yang paling efektif
dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan
mengakibatkan perubahan seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk
melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah reflex yang paling mudah distimulasi
untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.
7. Posisi Selama Defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet modern
dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk duduk
tegak ke arah depan, mengeluarkan tekanan intraabdomen dan mengontraksi otot-otot
pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti artritis,
mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk tpilet memampukan klienuntuk bangun dari
posisi duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang mengguanakan alat tersebut dan individu
yang berposter pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia
menekluk pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi telentang
tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama defekasi.
Membantu klien ke posisi duduk yang lebih normal pada pispot. Akan meningkatkan
kemampuan defekasi.
8.Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah
kondisi, termasukhemoroid, bedah rectum, fistula rectum, bedah abdomen, dan melahirkan
anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini,
klien seringkali mensupresi keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari rasa nyeri yang
mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri
selama defekasi.
9.Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada
rectum. Obsetruksi semenmtara akibat keberadaan fectus mengganggu pengeluaran feses.
Konstipasi adalah masalah umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamilselama
defekasi dapat menyebabkan terbentukannya hemoroid yang permanen.
10.PembedahandanAnestesia
Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan peristaltic
berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang dihirup menghambat impuls saraf
parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan
gelombang peristaltic. Klien yang menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil
untuk mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikitt atau
bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan
menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya
berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan
setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat terhambat lebih lanjut.

11.Obat-obatan
Obat-obatan untuk meningkatkan defekasi telah tersedia . laksatif dan katartik melunakkan
feses dan meningkatkan peristaltic. Obat-obatan seperti disiklomin HCL (Bentyl) menekan
gerakan peristaltic dan mengobati diare. Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat
mengganggu eliminasi. Obat analgesic narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya
menyebabkan konstipasi.
Obat-obatan antikolinergik, seperti atropin, atau glikopirolat (robinul), menghambat sekresi
asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walupun bermanfaat dalam mengobati
gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat menyebabkan konstipasi,
banyak antibiotik menyebabkan diare dengan menggangu flora bakteri normal didalam
saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait dengan diare semakin parah, obat-
obatan yang diberikan kepada klien mungkin perlu diubah. Intervensi keperawatan dapat
digunakan untuk diare osmotic, yang disebabkan oleh obat-obatan hiperosmolar telah
diuraikan oleh Fruto(1994)
12.PemeriksaanDiagnostik
Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan
dikosongkannya isi dibagian usus. Klien tidak diizinkan untuk makan atau minum setelah
tengah malam jika esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang
menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah atau serangkaian
pemereksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi,
klien biasanya meneri,ma katartik dan enema. Pengosongan usus dapat mengganggu
eliminasi sampai klien dapat makan dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium
mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau
impaksi usus. Seorang klien harus menerima katartik untuk meningkatkan eliminasi barium
setelah prosedur dilakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua
barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.

endoskopi saluran GI bagian bawah atau serangkaian pemereksaan saluran GI bagian atas.
Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi, klien biasanya meneri,ma katartik dan
enema. Pengosongan usus dapat mengganggu eliminasi sampai klien dapat makan dengan
normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium
mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau
impaksi usus. Seorang klien harus menerima katartik untuk meningkatkan eliminasi barium
setelah prosedur dilakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua
barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.

2.8 Masalah – Masalah Defekasi Yang Umum


Perawat mungkin merawat klien yang mengalami atau beresiko mengalami masalah eliminasi
akibat stress emosional ( ansietas atau depresi ), berubahan fisiologis pada saluran GI,
perubahan truktur usus melalui pembedahan, program terapi lain, atau gangguan yang
mengganggu defekasi.
1.Konstipasi
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai
dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras dapat
menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama,
sehingga banyak air diserap.
Penyebabnya :
a. Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti sibuk, bermain, pindah tempat, dan lain
lain
b. Diet tidak sempurna/adekuat : kurang serat (daging, telur), tidak ada gigi,
makanan lemak dan cairan kurang
c. Meningkatnya stress psikologik
d. Kurang olahraga / aktifitas : berbaring lama.
e. Obat-obatan: kodein, morfin, anti kolinergik, zat besi. Penggunaan obat
pencahar/laksatif menyebabkan tonus otot intestinal kurang sehingga refleks
BAB hilang.
f. Usia, peristaltik menurun dan otot-otot elastisitas perut menurun sehingga
menimbulkan konstipasi.
g. Penyakit-penyakit : Obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord
dan tumor.
2. Impaction
Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga tumpukan feses yang
keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon
sigmoid. Penyebabnya pasien dalam keadaan lemah, bingung, tidak sadar, konstipasi
berulang dan pemeriksaan yang dapat menimbulkan konstipasi. Tandanya : tidak BAB,
anoreksia, kembung/kram dan nyeri rektum.

3.Diare
Diare merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal
melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor
tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer
sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
4.Inkontinensiafecal
Yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan
jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit
neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu
secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan
dasar pasien tergantung pada perawat.
5.Flatulens
Yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended,
merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus
(flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh
bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2.
Makanan penghasil gas seperti bawang dan kembang kol.
6.Hemoroid
Yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini
terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun.
Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi
infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB
dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami
konstipasi.
7 Diversi Usus
Penyakit tertentu menyebebkan kondisi-kondisi yang mencegah pengeluaran feses secara
normal dari rectum. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk membentuk suatu lubang (stoma)
buatan yang permanen atau sementara. Lubang uyang dibuat melalui upaya bedah(ostomi )
paling sering di bentuk di Ileum (ileostomi) atau di kolom (kolostomi)(Mc. Garity,1992).
Ujung usus kemudian ditarik kesebuah lubang di dinding abdomen untuk membentuk stoma.
Ada dua jenis ostomi yaitu:
1. Ostomi Kontinen : klien memiliki control terhadap pengeluaran feses.
Dimana dalam ostomi kontingen tipe pembedahan tertentu memungkinkan kontinensia pada
klien tertentu yang mengalami kolektomi (pengangkatan kolon). Ostomi Kontinen ini juga
disebut Disversi kontinen atau reservoir kontinen. Pada sebuah prosedur yang disebut dengan
ileoanal pull-through, kolon diangkat dan ileum dianastomosis atau disambungkan ke sfingter
anus yang utuh.
Di beberapa prosedur bedah terbaru yang didasarkan pada upaya ileoanal pull-through adalah
reservoar ileoanal .Reservoar ileoanal juga disebut protokolektomi restorasi, anastomosis
kantong ileum anus, atau kantong pelvis. Pada prosedur ini klien tak memiliki stoma eksterna
yang permanen dan dengan demikian tidak perlu mengenakan kantong ostomi.klien
mengenakan kantung interna yang berasal dari ileumnya.Kantong ileum ini dapat di bentuk
dalam berbagai bentuk seperti bentuk lateral, S,J,atau W. Ujung kantong kemudian dijahit
atau di anastomosis ke anus.pembedahan dilakukan dalam berbagai tahapandan klien dapat
mempunyai ostomi yang bersifat sementara sampai kantung ileum yang dibentuk melalui
upaya bedah telah sembuh.

2. Ostomi Inkintingen: klien tidak mempunyai control terhadap pengeluaran Feses.


Pada hal ini lokasi ostomi menentukan kosistensi feses. Sebuah ileostomi merupakan jalan
pintas keluarnya feses sehingga feses tidak melalui seluruh bagian usus besar. Akibatnya
feses akan keluar lebih sering dan dalam bentuk cair. Kejadian serupa juga terjadi pada
kolostomi di kolon asenden. Kolostomi pada kolon transversal umumnya akan menghasilkan
feses yang lebih padat dan berbentuk, sedangkan kolostomi sigmoid menghasilkan feses yang
sudah mendekati feses normal. Dalam hal ini kolostm dibagi menjadi 3 yaitu:
a.Loop Colostomy
Loop colostomy biasanya di lakukan dalam kondisi kedaruratan medis yang nantinya
colostomy tersebut akan ditutup. Jenis colostomy ini biasanya mempunyai stoma yang
berukuran besar, dibentuk di kolon transversal dan sifatnya sementara.
b. End Colostomy
End Coostomy terdiri dari satu stoma, yang dibentuk dari ujung proksimal usus dengan
bagian distal saluran GI dapat dibuang atau dijahit tertutup (disebut kantong Hartmann) dan
dibiarkan di dalam rongga abdomen.
c. Double Barrel colostomy
Tidak seperti loop colostomy , usus dipotong melalui pembedahan kedalam bentuk double
barrel colostomy dan kedua ujungnya ditarik keatas abdomen . Double-barrel colostomy
terdiri dari dua stoma yang berbeda yaitu stoma proksimal yang berfungsi dan stoma distal
yang tak berfungsi.
Pertimbangan Psikologi
Sebuah ostomi dapat menimbulkan perubahan citra tubuh yang serius, terutama apabila
ostomi tersebut bersifst permanen. Klien yang memiliki riwayat penyakit usus kronik dalam
jangka waktu yang lama seperti penyakit Crohn atau Kolitis ulseratif telah meningkatkan
kualitas hidupnya, tetapi memiliki citra tubuh yang lebih rendah. Sebaliknya, Klien yang
membutuhkan ostomi akibat kanker memiliki citra tubuh yang lebih tinggi, tetapi kualitas
hidupnya berkurang.
Klien sering mempersepsikan stoma sebagai bentuk pemotongan/perusakan. Walaupun
pakaian menutupi ostomi, klien merasa berbeda. Banyak klien memiliki kesulitan untuk
mempertahankan/memulai hubungan seksual yang normal. Faktor penting yang
mempengaruhi reaksi klien adalah karakter sekresi feses dan kemampuan untuk
mengontrolnya. Bau busuk kebocoran atau tumpahan feses tang encer dan ketidakmempuan
mengatur defekasi membuat klien kehilangan harga dirinya.

2.9 Proses Keperawatan Eliminasi Fekal


1. Pengkajian
a. Frekwensi buang air besar pada bayi sebanyak 4 – 6 kali sehari , sedangkan orang dewasa
adalah 2 – 3 kali per hari dengan jumlah rata-rata pembuangan per hari adalah 150 gr
b. Keadaan feses :
• warna hitam atau merah
• berbau tidak sedap
• konsistensi cair
• bentuk kecil seperti pensil
• terdapat darah
2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan:
• defek persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas akibat cedera akibat medulla spinalis, dan
CVA
• nyeri akibat hemoroid
• menurunya peristaltic akibat stress
b. Diare berhubungan dengan:
• melabsorpsi atau inflamasi akibat penyakit infeksi atau gastritis, kulkus, dll
• peningkatan peristaltic akibat peningkatan metabolism
• stress psikololgis
c. Inkontinensia usus berhubungan dengan:
• gangguan sfingter rectal akibat cedera rectum atau tindakan pembedahan
• distensi rectum akiibat konstipasi kronis
• ketidak mampuan mengenal atau merespon proses defekasi akibat depresi atau kerusakan
kognitif
d. Kurangnya volume cairan berhubungan dengan:
• pengluaran cairan yang berlebihan (diare)
3. Perencanaan
Tujuan :
• Mempertahankan asupan makanan dan minuman cukup
• Mempertahankan kebiasaan defikasi secara teratur
• Mempertahankan defikasi secara normal
• Mencegah gangguan integritas kulit
Rencana tindakan :
1. Kaji perubahan faktor yang mempengaruhi masalah eliminasi
2. Kurangi faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah seperti konstipasi akibat nyeri dan
inkontenensia usus
3. Jeleskan mengenai eliminasi yang normal kepada pasien
4. Bantu defikasi secara manual
5. Bantu latihan buang air besar
6. Pertahankan asupan makanan dan minuman
4. Pelaksanaan
1. Menyiapkan feses untuk bahan pemeriksaan
2. Menolong buang air besar dengan menggunakan pispot
3. Memberikan gliserin untuk merangsang peristaltic usus sehingga pasien dapat buang air
besar
4. Mengeluarkan feses dengan jari
5. Kolaborasi dengan ahli gizi
5. Evaluasi
Evaluasi terhadap kebutuhan eliminasi dapat dinilai dengan adanya kemampuan dalam :
1. Memahami cara eliminasi yang normal
2. Mempertahankan defektasi secara normal yang ditunjukan dengan kemampuan pasien
dalam mengontrol defektasi tanpa bantuan obat atau enema , berpartisipasi dalam program
latihan secara teratur , defikasi tanpa mengedan
3. Mempertahankan rasa nyaman yang ditunjukan dengan kenyamanan dalam kemampuan
defikasi , tidak terjadi bleeding , tidak terjadi inflamasi dan lain-lain
4. Mempertahankan integritas kulit yang ditunjukan dengan keringnya area perianal , tidak
ada inflamasi atau ekskoriasi , keringnya kulit sekitar stoma dan lain-lain
5. Melakukan latihan secara teratur , seperti rentang gerak atau aktifitas lain (jalan , berdiri ,
dll)
6. Mempertahankan asupan makanan dan minuman yang cukup dapat ditunjukan dengan
adanya kemampuan dalam merencanakan pola makan , seperti makan dengan tinggi atau
rendah serat (tergantung dari tendensi diare / konstipasi serta mampu minum 2000 – 3000 ml)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urine atau bowel
(feses). Masalah eliminasi urine yaitu: retensi, inkotinensia urine, eneuresis, urgency, dysuria,
polyuria, urinari suppresi sedangkan masalah eliminasi fekal yaitu: konstipasi, impaction,
diare, inkotinensia fekal, flatulens dan hemoroid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urine dan fekal yaitu: usia dan perkembangan,
diet, pemasukan cairan, aktifitas fisik, faktor psikologis, kebiasaan, kondisi patologis,
pengobatan, dll. Membantu pasien eliminasi dapat dilakukan oleh satu orang perawat (bila
pasien gemuk dapat dua atau tiga perawat), saat tindakan akan dilakukan pastikan privasi
pasien tetap terjaga. Gunakan pispot yang kering dan bersih dan pastikan hygiene sebelum
dan sesudah prosedur dilaksanakan.

3.2 Saran
Saran kami agar dengan penulisan makalah ini adalah perawat dapat menerapkan cara
membantu pasien untuk eliminasi dengan tetap menjaga kenyamanan dan privasi pasien,
sehingga pasien akan tetap terjaga pola eliminasinya.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. Azis Alimul & Musrifatul Uliyah. 2004. Kebutuhan Dasar Manusia.Jakarta:
EGC.

Suparmi, Yulia dkk. 2008. Panduan Praktik Keperawatan. Yogyakarta: PT Citra Aji Parama.

Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta III. 2009. Panduan Praktik Kebutuhan Dasar Manusia
I. Jakarta: Salemba Medika.

http://nsyadi.blogspot.com/2011/12/kebutuhan-dasar-manusia-eliminasi-bab.html, Rabu, 20
Maret 2013, 13.00.

Anda mungkin juga menyukai