Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Dasar
Semester II Tahun Ajaran 2019/2020
OLEH:
KELOMPOK 2
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah, taufik, dan
inayah-Nya kepada kita semua. Sehingga kami bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan
ridho-Nya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan
rencana. Makalah ini berjudul “Transplantasi Organ Tubuh” dengan tujuan untuk
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Revolusi
Akbar Nabi Muhammad SAW. Karena beliau adalah salah satu figur umat yang mampu
Selanjutnya kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bsemua pihak yang telah
turut serta membantu dalam segi apapun dalam pembuatanmakalah ini hingga selesai.Kami
mohon ma’af yang sebesar -besarnya apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kesalahan didalamnya.
kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 anatomi fisiologi dan pengertian urin dan fekal ...................................... 3
2.2 tanda dan gejala...................................................................................... 9
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi ..................................................... 11
2.4 Perubahan dalam eliminasi urine............................................................. 13
2.5 Proses keperawatan eliminasi urin........................................................... 15
2.6 Menjelaskan Konsep Pencernaan Normal Dan Eliminasi Fekal ............. 24
2.7 Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal .......................................... 27
2.8 Masalah – Masalah Defekasi Yang Umum ............................................. 32
2.9 Proses Keperawatan Eliminasi Fekal...................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui masalah dan faktor apa saja yang
mempengaruhi proses eliminasi seseorang terutama pada pasien, serta mengetahui bagaimana
cara membantu pasien untuk eliminasi baik di tempat tidur maupun di toilet.
BAB II
PEMBAHASAN
Ginjal (Ren)
Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang perut atau abdomen. Ginjal ini
terletak di kanan dan kiri tulang belakang, di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior)
ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Ginjal kanan biasanya
terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat untuk hati.
Sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan duabelas. Kedua ginjal
dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu
meredam goncangan.
Fungsi ginjal
Struktur Ginjal
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex
renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang
berwarna cokelat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang
disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-
lubang kecil disebut papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh
darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima
urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis majores yang
masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renalis minores.
Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit fungsional ginjal.
Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari : Glomerulus, tubulus
proximal, angsa henle, tubulus distal dan tubulus urinarius.
Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria.
Panjangnya ± 25-30 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga
abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
1. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
2. Lapisan tengah lapisan otot polos
3. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik yang mendorong urin
masuk ke dalam kandung kemih.
Vesika Urinaria (Kandung Kemih)
Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir
(kendi). Letaknya di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat
mengembang dan mengempis seperti balon karet.
Dinding kandung kemih terdiri dari:
1. Lapisan sebelah luar (peritoneum).
2. Tunika muskularis (lapisan berotot).
3. Tunika submukosa.
4. Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).
Uretra
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi menyalurkan
air kemih ke luar.
Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari :
1. Urethra pars Prostatica
2. Urethra pars membranosa ( terdapat spinchter urethra externa)
3. Urethra pars spongiosa.
Urethra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm (Taylor), 3-5 cm (Lewis). Sphincter
uretra terletak di sebelah atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan uretra disini hanya
sebagai saluran ekskresi.
Dinding uretra terdiri dari 3 lapisan:
1. Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot polos dari Vesika urinaria.
Mengandung jaringan elastis dan otot polos. Sphincter uretra menjaga agar uretra tetap
tertutup.
2. Lapisan submukosa, lapisan longgar mengandung pembuluh darah dan saraf.
3. Lapisan mukosa.
Urin (Air Kemih)
Sifat fisis air kemih, terdiri dari:
1. Jumlah ekskresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari pemasukan (intake) cairan
dan faktor lainnya.
2. Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
3. Warna, kuning tergantung dari kepekatan, diet obat-obatan dan sebagainya.
4. Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak.
5. Berat jenis 1,015-1,020.
6. Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung dari pada diet (sayur
menyebabkan reaksi alkalis dan protein memberi reaksi asam).
Komposisi air kemih, terdiri dari:
1. Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air.
2. Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea, amoniak dan kreatinin.
3. Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fospat dan sulfat.
4. Pagmen (bilirubin dan urobilin).
5. Toksin.
6. Hormon.
Mikturisi
Mikturisi ialah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan urin. Mikturisi
melibatkan 2 tahap utama, yaitu:
1. Kandung kemih terisi secara progresif hingga tegangan pada dindingnya meningkat
melampaui nilai ambang batas (Hal ini terjadi bila telah tertimbun 170-230 ml urin), keadaan
ini akan mencetuskan tahap ke 2).
2. Adanya refleks saraf (disebut refleks mikturisi) yang akan mengosongkan kandung
kemih.
Pusat saraf miksi berada pada otak dan spinal cord (tulang belakang) Sebagian besar
pengosongan di luar kendali tetapi pengontrolan dapat di pelajari “latih”. Sistem saraf
simpatis : impuls menghambat Vesika Urinaria dan gerak spinchter interna, sehingga otot
detrusor relax dan spinchter interna konstriksi. Sistem saraf parasimpatis: impuls
menyebabkan otot detrusor berkontriksi, sebaliknya spinchter relaksasi terjadi MIKTURISI
(normal: tidak nyeri).
Ciri-Ciri Urin Normal
1. Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tapi berbeda-beda sesuai dengan jumlah cairan yang
masuk.
2. Warnanya bening oranye tanpa ada endapan.
3. Baunya tajam.
4. Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.
2.1.2 Proses Berkemih
1. Proses Filtrasi ,di glomerulus
Terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan
yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida,
sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus ginjal. Cairan yang disaring disebut filtrate
glomerulus.
2. Proses Reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida,
fospat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di
tubulus proximal.
Sedangkan pada tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila
diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya dialirkan
pada papilla renalis.
3. Proses sekresi.
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke papilla renalis
selanjutnya diteruskan ke luar.
Gangguan eliminasi urine adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko
mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami gangguan eliminasi
urine akan dilakukan katerisasi urine, yaitu tindakan memasukkan selang kateter ke dalam
kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.
Masalah-masalah dalam eliminasi urine yaitu:
a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih
danketidaksanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri. Retensi urine dapat
disebabkan oleh hal-hal seperti: obstruksi (misalnya hipertrofi prostat), pembedahan pada
daerah abdomen bawah, pelvis, atau kandung kemih.
b. Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau permanen otot
sfingter ekstema untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung kemih. Inkontinensia urine
dapat dibagi menjadi lima jenis, yaitu: inkontinensia fungsional, inkontinensia refleks,
inkontinensia stres, inkontinensia urgensi (dorongan) dan inkontinensia total.
c. Enuresis, yaitu peristiwa berkemih yang tidak disadari. Sering terjadi pada
anak-anak, umumnya terjadi pada malam hari (nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau
lebih dalam semalam.
d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.
e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.
f. Polyuria, produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, seperti
2500 ml/hari tanpa adanya peningkatan intake cairan.
g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine.
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko
tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses
kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah
tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon
desenden dengan menggunakan kanul rekti.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik. Ketika
feses masuk ke dalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang
menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon
desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus.
Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal internal tidak menutup dan bila
spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika saraf dalam rektum dirangsang, signal
diteruskan ke spinal cord (sakral 2-4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon
sigmoid dan rektum. Sinyal-sinyal parasimpatis ini meningkatkan geombang peristaltik,
melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter
anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan, yaitu:
a. Konstipasi, merupakan gejala bukan penyakit. Yaitu menurunnya frekuensi BAB disertai
dengan pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan. BAB yang keras dapat
menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama,
sehingga banyak air diserap.
b. Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga
tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid.
c. Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak terbentuk. Isi intestinal
melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor
tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer
sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
d. Inkotinensia fekal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB
dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan
fungsi spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan
kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien sangat tergantung pada
perawat.
e. Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan
distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar dari mulut (sendawa) atau
anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan
makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan
f. Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum
(bisainternal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal
jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding
pembuluh darah teregang. Jika terjadi inflamasi dan pengerasan, maka pasien merasa panas
dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri.
Akibatnya pasien mengalami konstipasi.
2.2 Tanda dan Gejala
Tanda gangguan eliminasi urine:
a. Retensi urine
1. Ketidak nyamanan daerah pubis
2. Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih
3. Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang
4. Meningkatnya keinginan untuk berkemih dan resah
5. Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urine
1. Pasien tidak dapat menahan keinginan untuk BAK sebelum sampai di
WC
2. Pasien sering mengompol
Tanda gangguan eliminasi fekal:
A. Konstipasi
B. Impaction
1. Tidak BAB
2. Anoreksia
3. Kembung/kram
4. Nyeri rektum
C. Diare
1. BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak terbentuk
2. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa
4. Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan
D. Inkontinensia Fekal
1. Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus
2. BAB encer dan jumlahnya banyak
E. Flatulens
1. Menumpuknya gas pada lumen intestinal
2. Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram
3. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)
F. Hemoroid
1. Pembengkakan vena pada dinding rektum
2. Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3. Merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
4. Nyeri
l. Pengobatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya peningkatan atau
penurunan proses perkemihan. Misalnya pemberian diuretik dapat meningkatkan jumlah
urine, sedangkan pemberian obat antikolinergik dan antihipertensi dapat menyebabkan retensi
urine.
m. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik ini juga dapat mempengaruhi kebutuhan eliminasi urine, khususnya
prosedur-prosedur yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan saluran kemih seperti
IVY (intra uenus pyelogram), yang dapat membatasi jumlah asupan sehingga mengurangi
produksi urine. Selain itu tindakan sistoskopi dapat menimbulkan edema lokal pada uretra
yang dapat menganggu pengeluaran urine
2. Faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal:
1. Usia dan perkembangan: mempengaruhi karakter feses, control
2. Diet
3. Pemasukan cairan. Normalnya: 2000-3000 ml/hari
4. Aktifitas fisik: merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus meningkat
5. Faktor psikologik
6. Kebiasaan
7. Posisi
8. Nyeri
9. Kehamilan: menekan rektum
10. Operasi dan anestesi
11. Obat-obatan
12. Test diagnostik: barium enema dapat menyebabkan konstipasi
13. Kondisi patologis
14. Iritan
2.4 Perubahan dalam eliminasi urine
1. Kebiasaan berkemih
Pengkajian ini meliputi bagaimana kebisaan berkemih serta hambatannya. Frekuensi
berkemih tergatung pada kebiasaan dan kesempatan. Banyak orang berkemih setiap hari pada
waktu bangun tidur dan tidak memerlukan waktu untuk berkemih pada waktu malam hari.
2. Pola berkemih
• Frekuensi Berkemih
frekuesi berkemih menentukan berapa kali individu berkemih dalam waktu 24 jam.
• Urgensi
Perasaan seseorang untuk berkemih seperti seseorang ke toilet karena takut mengalami
inkotinensia jika tidak berkemih.
• Disuria
Keadaan rasa sakit atau kesulitan saat berkemih. Keadaan ini ditemukan pada struktur uretra,
infeksi saluran kemih, trauma pada vesika urinaria.
• Poliuria
Keadaan produksi urine yang abnormal yang jumlahnya lebih besar tanpa adanya
peningkatan asupan cairan. Keadaan ini dapat terjadi pada penyakit diabetes, defisiensi ADH,
dan penyakit kronis ginjal.
• Urinaria supresi
Keadaan produksi urine yang berhenti secara mendadak. Bila produksi urine kurang dari 100
ml/hari dapat dikatakan anuria, tetapi bila produksinya antara 100 – 500 ml/hari dapat
dikatakan sebagai oliguria.
3. Volume urine
Volume urine menentukan berapa jumlah urine yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam.
4. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan berkemih
• Diet dan asupan (diet tinggi protein dan natrium) dapat mempengaruhi jumlah urine
yang dibentuk, sedangkan kopi dapat meningkatkan jumlah urine.
• Gaya hidup
• Stress psikologi dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih
• Tingkat aktivitas
5. Keadaan urine
Keadaan urine meliputi : warna, bau, berat jenis, kejernihan, pH, protein, darah, glukosa.
6. Tanda klinis gangguan eliminasi urine seperti retensi urine, inkontinensia urine.
2.Esophagus
Begitu makanan memasuki bagian atas esophagus, makanan berjalan melalui otot sirkular,
yang mencegah udara memasuki esophagus dan makanan mengalami refluks ( bergerak ke
belakang ) kembali ke tenggorokan. Bolus makanan menelusuri esophagus yang panjangnya
kira – kira 25 cm. makanan didorong oleh gerakan peristaltic lambat yang dihasilkan oleh
kontraksi involunter dan relaksasi otot halus secara bergantian. Pada saat bagian esophagus
berkontraksi di atas bolus makanan, otot sirkular di bawah ( atau di depan ) bolus berelaksasi.
Kontraksi – kontraksi otot halus yang saling bergantian ini mendorong makanan menuju
gelombang berikutnya.
Dalam 15 detik, bolus makanan bergerak menuruni esophagus dan mencapai sfingter
esophagus bagian bawah. Sfingter esophagus bagian bawah terletak di antara esophagus dan
lambung. Factor – factor yang mempengaruhi tekanan sfingter esophagus bagian bawah
meliputi antacid, yang meminimalkan refluks, dan nikotin serta makanan berlemak, yang
meningkatkan refluks.
3.Lambung
Di dalam lambung, makanan disimpan untuk sementara dan secara mekanis dan kimiawi
dipecahkan untuk dicerna dan diabsorpsi. Lambung menyekresi asam hidroklorida ( HCL ),
lendir, enzim pepsin, dan factor intrinsic. Konsentrasi HCL mempengaruhi keasaman
lambung dan keseimbangan asam – basa tubuh. HCL membantu mencampur dan
memecahkan makanan di lambung. Lendir melindungi mukosa lambung dari keasaman dan
aktivitasenzim. Pepsin mencerna protein, walaupun tidak banyak pencernaan yang
berlangsung di lambung. Factor intrinsik adalah komponen penting yang dibutuhkan untuk
absopsi viatamin B12 di dalam usus dan selanjutnya untuk pembentukan sel darah merah
normal. Kekurangan factor intrinsic ini mengakibatkan anemia dan pernisiosa.
Sebelum makan meninggalkan lambung, makanan diubah menjadi materi semicair yang
disebut kimus. Kimus lebih mudah dicerna dan diabsorpsi daripada makanan padat. Klien
yang sebagian lambungnya diangkat atau yang memiliki pengosongan lambung yang cepat (
seperti pada gastritis ) dapat mengalami masalah pencernaan yang serius karena makanan
tidak dipecah menjadi kimus.
4.UsusHalus
Selama proses pencernaan normal. Kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus. Usus
halus merupakan sebuah saluran dengan diameter sekitar 2.5 cm dan panjang 6 m. Usus halus
dibagi mkenjadi 3 bagian : duodenum, jejunum, dan ileum. Kimus bercampur dengan enzim
– enzim pencernaan ( missal : empedu dan amylase ) saat berjalan memalui usus halus.
Segmentasi ( kontrasi dan relaksasi otot halus secara bergantian ) mengaduk kimus,
memecahkan makanan lebih lanjut untuk dicerna. Pada saat kimus bercampur, gerakan
peristaltic berikutnya sementara berhenti sehingga memungkinkan absorpsi. Kimus berjalan
perlahan melalui usus halus untuk memungkinkan absorpsi.
Kebanyakan nutrisi dan elektrolit diabsorbsi di dalam usus halus. Enzim dari pancreas (
missal : amylase ) dan empedu dari kandungan empedu dilepaskan ke dalam duodenum.
Enzim di dalam usus halus memecahkan lemak, protein, dan karbohidrat menjadi unsure –
unsur dasar. Nutrisi hampir seluruhnya diabsorbsioleh duodenum dan jejunum. Ileum
mengabsorpsi vitamin – vitamin tertentu, zat besi, dan garam empedu. Apabila fungsi ileum
terganggu, proses pencernaan akan mengalami perubahan besar. Inflamasi, reseksi bedah,
atau obstruksi dapat mengganggu peristaltic, mengurangi area absorpsi, atau menghambat
aliran kimus.
5.UsusBesar
Saluran GL bagian bawah disebut usus besar ( kolon ) karena ukuran diameternya lebih besar
daripada usus halus. Namun, panjangnya, yakni 1,5 sampai 1,8 m jauh lebih pendek. Usus
besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rectum. Usus besar merupakan utama dalam
eliminasi fekal.
a.Sekum
Kimus yang tidak diabsorpsi memasuki sekum melalui katup ileosekal. Katup ini merupakan
lapisan otot sirkulat yang mencegah regurgitasi dan kembalinya isi kolon ke usus halus.
b.Kolon
Walaupun kimus yang berair memasuki kolon, volume air menurum saat kimus bergerak di
sepanjang kolon. Kolon dibagi menjadi kolon asendens, kolon transversal, kolon desenden,
kolon sigmoid. Kolon dibangun oleh jaringan otot, yang memungkinkannya menampung dan
mengeliminasi produk buangan dalam jumlah besar.
Kolon memiliki empat fungsi yang saling berkaitan : absorpsi, proteksi, sekresi, dan
eliminasi.
c.Rectum
Produk buangan yang mencapai bagian kolon sigmoid, disebut feses. Sigmoid menyimpan
feses sampai beberapa saat sebelum defekasi. Rectum merupakan bagian akhir pada saluran
GL. Panjang rectum bervariasi menurut usia :
Bayi 2,5 sampai 3,8 cm
Toddler 5 cm
Prasekolah 7,5 cm
Anak usia sekolah 10 cm
Dewasa 15 sampai 20 cm
Dalam kondisi normal, rectum tidak berisi feses sampai defekasi. Rectum dibangun oleh
lipatan – lipatan jaringan vertical dan transversal. Setiap lipatan vertical berisi sebuah arteri
dan lebih dari satu vena. Apabila vena menjadi distensi akibat tekanan selama mengedan,
maka terbentuk hemoroid. Hemoroid dapat membuat proses defekasi terasa nyeri. Apabila
masa feses atau gas bergerak kedalam rectum untuk membuat dindingnya berdisensi, maka
proses defekasi dimulai. Proses ini melibatkan control voluntary dan control involunter.
Sfingter interna adalah sebuah otot polos ynag di persarafi oleh system saraf otonom.
Saat sfingter interna relaksasi sfingter eksterna juga relaksasi. Orang dewasa dan anak – anak
yang sudah menjalani toilet training ( latihan defekasi ) dapat mengontrol sfingter eksterna
secara volunteer ( sadar ). Tekanan untuk mengeluarkan feses dapat dilakukan dengan
meningkatkan tekanan intraabdomen atau melakukan valsava maneuver. Maneuver valsava
ialah kontraksi volunter otot – otot abdomen saat indivudu mengeluarkan nafas secara paksa,
sementara glottis menutup (menahan napas saat mengedan).
2.7 Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal
1.Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan dalam mempengaruhi status eliminasi terjadi
disepanjang kehidupan. Seorang bayi memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit
menyekresi enzim pencernaan. Beberapa makanan, seperti zat pati yang kompleks,
ditoleransi dengan buruk. Bayi tidak mampu mengontrol defekasi karana kurangnya
perkembangan neuromuskolar. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai 2 sampai 3
tahun. Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCL
meningkat khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengkonsumsi makana
dalam jumlah lebih besar. Sistem GI pada lansia sering mengalami perubahan sehingga
merusak proses pencernaan dan eliminasi. Beberapa lansia mungkin tidak lagi memiliki gigi
sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan dengan baik. Makanan yang memasuki
saluran GI hanya dikunyah sebagian dan tidak dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan
didalam saliva dan volume asam lambung menurun seiring dengan proseas penuaan.
Ketidakmampuan untuk mencerna makanan yang mengandung lemak mencerminkan
terjadinya kehilangan enzim limpase.
2.Diet
Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu mempertahankan pola peristaltic yang
teratur di dalam kolon. Makanan yang dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat,
residu makanan yang tidak dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi
feses. Makanan pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa feses.
Dinding usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi.
Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makanan berserat sampai
usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa makanan berjalan
dengan cepat melalui usus, mempertahankan feses tetap lunak.
3.AsupanCairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan kehilangan cairan
(seperti muntah) mempengaruhi karakter feses. Cairan mengencerkan isi usus,
memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan cairan yang menurun memperlambat
pergerakan makanan yang melalui usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400
sampai 2000ml) cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak
feses dan meningkatkan peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat
peristaltic pada beberapa individu dan menyebabkan konstipasi.
4.AktivitasFisik
Aktivitas fisik meninkatkan peristaltic, sementara imobilisasi menekan motilitas kolon.
Ambulasi dini setelah klien menderita suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan
dipertahankannya eliminasi normal
Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi,
merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak
kemampuan individu untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol
sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung
dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.
5.FaktorPsikologis
Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami gangguan akibat stress emosional
yang lama. Apabila individu mengalami kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respons
stress, yang memungkinkan tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang
dibutuhkan dalam upaya pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic
meningkat. Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan distensi gas.
Apabila individu mengalami depresi, sistem saraf otonom memperlambat impuls saraf dan
peristaltic dapat menurun. Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat dikaitkan dengan stress.
Penyakit ini meliputi colitis ulseratif, ulkus lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian
berulang yang dilakukan sejak lama telah gagal membuktikan mitos bahwa penyebab klien
mengalami penyakit tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis. Namu, ansietas
dan depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut (cooke,1991)
6.kebiasaanPribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus. Kebanyakan individu merasa lebih
mudah melakukan defekasi dikamar mandi mereka sendiri pada waktu yang paling efektif
dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan
mengakibatkan perubahan seperti konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk
melaksanakan eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah reflex yang paling mudah distimulasi
untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.
7. Posisi Selama Defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat melakukan defekasi. Toilet modern
dirancang untuk memfasilitasi posisi ini, sehingga memungkinkan individu untuk duduk
tegak ke arah depan, mengeluarkan tekanan intraabdomen dan mengontraksi otot-otot
pahanya. Namun, klien lansia atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti artritis,
mungkin tidak mampu bangkit dari tempat duduk tpilet memampukan klienuntuk bangun dari
posisi duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang mengguanakan alat tersebut dan individu
yang berposter pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang memungkinkan ia
menekluk pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi telentang
tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama defekasi.
Membantu klien ke posisi duduk yang lebih normal pada pispot. Akan meningkatkan
kemampuan defekasi.
8.Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah
kondisi, termasukhemoroid, bedah rectum, fistula rectum, bedah abdomen, dan melahirkan
anak dapat menimbulkan rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini,
klien seringkali mensupresi keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari rasa nyeri yang
mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa nyeri
selama defekasi.
9.Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran fetus, tekanan diberikan pada
rectum. Obsetruksi semenmtara akibat keberadaan fectus mengganggu pengeluaran feses.
Konstipasi adalah masalah umum yang muncul pada trimester terakhir. Wanita hamilselama
defekasi dapat menyebabkan terbentukannya hemoroid yang permanen.
10.PembedahandanAnestesia
Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan, membuat gerakan peristaltic
berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang dihirup menghambat impuls saraf
parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi tersebut memperlambat atau menghentikan
gelombang peristaltic. Klien yang menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil
untuk mengalami perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikitt atau
bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara langsung, sementara akan
menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut ileus paralitik yang biasanya
berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan
setelah pembedahan, kembalinya fungsi normal usus dapat terhambat lebih lanjut.
11.Obat-obatan
Obat-obatan untuk meningkatkan defekasi telah tersedia . laksatif dan katartik melunakkan
feses dan meningkatkan peristaltic. Obat-obatan seperti disiklomin HCL (Bentyl) menekan
gerakan peristaltic dan mengobati diare. Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat
mengganggu eliminasi. Obat analgesic narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya
menyebabkan konstipasi.
Obat-obatan antikolinergik, seperti atropin, atau glikopirolat (robinul), menghambat sekresi
asam lambung dan menekan motilitas saluran GI. Walupun bermanfaat dalam mengobati
gangguan usus, yakni hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat menyebabkan konstipasi,
banyak antibiotik menyebabkan diare dengan menggangu flora bakteri normal didalam
saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait dengan diare semakin parah, obat-
obatan yang diberikan kepada klien mungkin perlu diubah. Intervensi keperawatan dapat
digunakan untuk diare osmotic, yang disebabkan oleh obat-obatan hiperosmolar telah
diuraikan oleh Fruto(1994)
12.PemeriksaanDiagnostik
Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi struktur saluran GI, sering memerlukan
dikosongkannya isi dibagian usus. Klien tidak diizinkan untuk makan atau minum setelah
tengah malam jika esoknya akan dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang
menggunakan barium enema, endoskopi saluran GI bagian bawah atau serangkaian
pemereksaan saluran GI bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi,
klien biasanya meneri,ma katartik dan enema. Pengosongan usus dapat mengganggu
eliminasi sampai klien dapat makan dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium
mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau
impaksi usus. Seorang klien harus menerima katartik untuk meningkatkan eliminasi barium
setelah prosedur dilakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua
barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.
endoskopi saluran GI bagian bawah atau serangkaian pemereksaan saluran GI bagian atas.
Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi, klien biasanya meneri,ma katartik dan
enema. Pengosongan usus dapat mengganggu eliminasi sampai klien dapat makan dengan
normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan masalah tambahan. Barium
mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini dapat menyebabkan konstipasi atau
impaksi usus. Seorang klien harus menerima katartik untuk meningkatkan eliminasi barium
setelah prosedur dilakukan. Klien yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua
barium, mungkin usus klien perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.
3.Diare
Diare merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk. Isi intestinal
melewati usus halus dan kolon sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor
tambahan yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer
sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
4.Inkontinensiafecal
Yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan
jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit
neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu
secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan
dasar pasien tergantung pada perawat.
5.Flatulens
Yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus meregang dan distended,
merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus
(flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh
bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2.
Makanan penghasil gas seperti bawang dan kembang kol.
6.Hemoroid
Yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini
terjadi pada defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun.
Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi
infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB
dilupakan oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami
konstipasi.
7 Diversi Usus
Penyakit tertentu menyebebkan kondisi-kondisi yang mencegah pengeluaran feses secara
normal dari rectum. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk membentuk suatu lubang (stoma)
buatan yang permanen atau sementara. Lubang uyang dibuat melalui upaya bedah(ostomi )
paling sering di bentuk di Ileum (ileostomi) atau di kolom (kolostomi)(Mc. Garity,1992).
Ujung usus kemudian ditarik kesebuah lubang di dinding abdomen untuk membentuk stoma.
Ada dua jenis ostomi yaitu:
1. Ostomi Kontinen : klien memiliki control terhadap pengeluaran feses.
Dimana dalam ostomi kontingen tipe pembedahan tertentu memungkinkan kontinensia pada
klien tertentu yang mengalami kolektomi (pengangkatan kolon). Ostomi Kontinen ini juga
disebut Disversi kontinen atau reservoir kontinen. Pada sebuah prosedur yang disebut dengan
ileoanal pull-through, kolon diangkat dan ileum dianastomosis atau disambungkan ke sfingter
anus yang utuh.
Di beberapa prosedur bedah terbaru yang didasarkan pada upaya ileoanal pull-through adalah
reservoar ileoanal .Reservoar ileoanal juga disebut protokolektomi restorasi, anastomosis
kantong ileum anus, atau kantong pelvis. Pada prosedur ini klien tak memiliki stoma eksterna
yang permanen dan dengan demikian tidak perlu mengenakan kantong ostomi.klien
mengenakan kantung interna yang berasal dari ileumnya.Kantong ileum ini dapat di bentuk
dalam berbagai bentuk seperti bentuk lateral, S,J,atau W. Ujung kantong kemudian dijahit
atau di anastomosis ke anus.pembedahan dilakukan dalam berbagai tahapandan klien dapat
mempunyai ostomi yang bersifat sementara sampai kantung ileum yang dibentuk melalui
upaya bedah telah sembuh.
3.2 Saran
Saran kami agar dengan penulisan makalah ini adalah perawat dapat menerapkan cara
membantu pasien untuk eliminasi dengan tetap menjaga kenyamanan dan privasi pasien,
sehingga pasien akan tetap terjaga pola eliminasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, A. Azis Alimul & Musrifatul Uliyah. 2004. Kebutuhan Dasar Manusia.Jakarta:
EGC.
Suparmi, Yulia dkk. 2008. Panduan Praktik Keperawatan. Yogyakarta: PT Citra Aji Parama.
Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta III. 2009. Panduan Praktik Kebutuhan Dasar Manusia
I. Jakarta: Salemba Medika.
http://nsyadi.blogspot.com/2011/12/kebutuhan-dasar-manusia-eliminasi-bab.html, Rabu, 20
Maret 2013, 13.00.