Anda di halaman 1dari 16

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

“OBAT ALERGIK”

Disusun Oleh :
1. Nur Asizah Yulianti (1711010)
2. Pristanti Wiji Yuli Astuti (1711016)
3. Rima Delavia Krisnita (1711026)
4. Resa Dwi Wahyuningtyas (1711019)

STIKES PATRIA HUSADA 2019


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan
dan pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya obat dapat
menimbulkan reaksiyang tidak diharapkan yang disebut reaksi simpang obat.
Reaksi simpang obat dapat mengenai banyak organ antara lain paru, ginjal, hati
dan sumsum tulang, tetapi reaksi kulit merupakan manifestasi yang tersering.
Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat diduga (predictable) dan yang
tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi simpang obat yang dapat diduga
(predictable) terjadi pada semua individu, biasanya berhubungan dengan dosis dan
merupakan farmakologi obat yang telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari
seluruh efek simpang obat termasuk diantaranya efek samping dan overdosis
(kelebihan dosis). Rekasi simpang yang tidak dapat diduga (unpredictable) hanya
terjadi pada orang yang rentan, tidak tergantung pada dosis dan tidak berhubungan
dengan efek farmakologis obat, termasuk diantaranya reaksi alergi obat. Reaksi
alergi obat pada kulit disebut erupsi alergi obat.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.Apa pengertian erupsi obat?
2.Jelaskan epidemiologi erupsi obat?
3.Jelaskan etiologi erupsi obat?
4.Jelaskan faktor – faktor risiko erupsi obat?
5.Jelaskan patofisiologi erupsi obat?
6.Jelaskan manifestasi klinis erupsi obat?
7.Apa saja tanda dan gejala erupsi obat?
8.Jelaskan diagnosis erupsi obat?
9.Jelaskan pemeriksaan penunjang erupsi obat?
10.Bagaimana penatalaksanaan erupsi obat?
2.3 TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
1.Menjelaskan pengertian erupsi obat.
2.Menjelaskan epidemiologi erupsi obat.
3.Menjelaskan etiologi erupsi obat.
4.Menjelaskan faktor – faktor risiko erupsi obat.
5.Menjelaskan patofisiologi erupsi obat.
6.Menjelaskan manifestasi klinis erupsi obat.
7.Menjelaskan tanda dan gejala erupsi obat.
8.Menjelaskan diagnosis erupsi obat.
9.Menjelaskan pemeriksaan penunjang erupsi obat.
10.Menjelaskan penatalaksanaan erupsi obat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya
sistemik.
Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai oleh
satu atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval dengan
ukuran lesi bervariasidari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter.
Gambaran yang khas dari EOA adalah kecenderungannya untuk berulang di
tempat lesi yang sama bila terpapar kembali dengan obat yang sama.
2.2 ETIOLOGI
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat
dan jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka kejadian alergi obat tampak
berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian obat tersebut. Diduga risiko
terjadinya reaksi alergi sekitar 1 – 3% terhadap sebagian besar jenis obat. Pada
umumnya laporan tentang obat tersering penyebab alergi adalah golongan
penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon. Obat lain yang sering pula dilaporkan
adalah analgetik lain (asam mefenamat), antikonvulsan (dilantin, mesantoin,
tridion), sedatif (terutama luminal) dan trankuilizer (fenotiazin, fenergan,
klorpromazin, meprobamat). Tetapi, alergi obat dengan gejala klinis berat paling
sering dihubungkan dengan penisilin dan sulfa.
2.3 FAKTOR RISIKO ALERGI OBAT
Adapun faktor – faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat
antara lain
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pria.
2. Sistem Imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan
sistem imun.
3.Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama anak – anak dan
orang dewasa. Pada anak – anak disebabkan perkembangan sistem imunologi
yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih
seringnya berkontak dengan bahan antigenetik.
4.Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan
timbulnya sensitisasi. Tetapi, jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat
kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi.
5. Infeksi dan Keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang
disertai dengan keganasan.
6.Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopik ini masih dalam perdebatan.
2.4 PATWAY

Sebum Allergen : Pityrosporum Ovale

Iritan Primer Sel langerhans & Makrofag

Mengiritasi Kerusakan Sel T


Kulit Integritas
Kulit
Sensifitas sel T oleh saluran limfe
Peradangan Kulit (lesi)
Reaksi hipersensifitas IV Terpajan ulang

Resiko Nyeri Gangguan


Infeksi Citra Tubuh sel efektor
mengeluarkan
limfokin

gejala klinis :
Gatal, panas,
kemerahan

Gangguan Pola tidur

2.5 PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara nonimunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada
mekanisme imunologik, erupsi alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada
pasien yang sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul
yang rendah awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat
atau metabolitnya yang berupa hapten ini harus berkonjugasi dahulu dengan
protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari membran sel untuk
membentuk antigen yaitu kompleks hapten protein. Obat dengan berat molekul
yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap. Sehingga
mengakibatkan terjadinya erupsi obat.

2.6 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau
menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell danCoombs
(tipe I sampai dengan IV).
1. Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat)
. Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen
dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan kontraksi otot polos.
Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus. a) Kejang
bronkus gejalanya berupa sesak, kadang – kadang kejang bronkus disertai kejang
laring. Bila disertai edema laring keadaan karena pasien tidak dapat atau sangat
sulit bernapas. b) Urtikaria, c) Angiodema, d) Pingsan dan hipotensi. Renjatan
anafilatik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin.
Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah
pemberian obat, karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial
membahayakan. Reaksi ini sering disebut sebgai anafilaksis. Penyebab yang
tersering adalah penisilin.
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :
a.Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE;
b.Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik.
Akibat aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk
granual yang dapat menimbulkan reaksi;
c. Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan
mediator.
2.Tipe II
Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena terbentuknya
IgM atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel – sel
yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antibodi antigen juga dapat
mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti
anemia hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia. Nefritis
interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
3.Tipe III
Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini
mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG.
Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan
komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :
a.Demam;
b.Limfadenopati;
c. Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi;
d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala
tersebut sering disertai pruritis;
e. Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom
lupus eritematosus sistemk serta vaskulitis.
Gejala tadi timbul 5 – 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya
pernah mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu 1 – 5 hari.
4.Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai
Cell Mediated Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan
antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen
tertentu.
Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain :
a.Cutaneous Basophil Hypersensitivity;
b.Hipersensivitas kontak (kontak dermatits);
c.Reaksi tuberkulin;
d.Reaksi granuloma.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti
demam, sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering
menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantion, nefritis intersyisial, ensefalomielitis
dan hepatitis. Namun, dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering.
Kadang – kadang gejala baru timbul bertahun – tahun setelah sensitasi.
Contohnya, pemakaian obat tropikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila
pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 – 24 jam setelah obat dioleskan
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab
erupsi obat alergi adalah :
a.Pemeriksaan in vivo
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu
determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non
iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena
baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia
untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro
molekul seperti insulin, antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk mikromolekul
sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Uji ini antara
lain :
1) Uji Tempel (patch test)
Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri
sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit
(biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48 – 72 jam kemudian. Uji tempel
dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang serupa
dengan reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih
ringan.
2) Uji Tusuk (prick/scratch test)
Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I, dengan
adanya deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan
memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau
metabolitnya. Bahan untuk uji kulit harus bersifat non iritatif untuk
menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif
untuk diagnosis penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat
karena pada saat ini baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah
diketahui. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap
makromolekul (insulin, antisera, ekstrak organ), sedangkan untuk mikromolekul
sejauh ini hanya dapat mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil
negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin.
3) Uji Provokasi (exposure test)
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur
diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya
anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki fasilitas
dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan kontra
indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven
Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologi, eritema vesiko bulosa. Uji
provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh
setiap obat.
b. Pemeriksaan in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan
lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan
(basofil atau lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan
rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain – lain
bukanlah untuk konfirmasi alergi obat. Tujuan dari uji ini untuk membantu
membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan
karena obat atau bukan.
2.7 PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Umum
a. Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit
harus dihentikan segera;
b. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk
mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah
berada pada fase pemulihan;
c. Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3 hari,
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura
yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena
sehari dan hemostatik;
d. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya.
Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan
nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut
dan tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus,
misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
2.Penatalaksanaan Khusus
a. Sistemik
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,
eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum
dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x
10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan
NET pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan
pemberian terapi yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan NET perawatan
gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan masih
kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberianintravenous immunoglobulin
(IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu
48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2 – 0.75 g/kg selama 4 hari
pertama.
2) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa gatal,
kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid.

b Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau
basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah
dengan obat antipruritus seperti mentol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika
dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat
1%.
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal.
Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim
kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% – 2 ½%. Pada eritroderma dengan
kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat
diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian – sebagian. Terapi topikal
untuk lesi di mulut dapat berupakenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif
dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin perak.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian
A. Data Biografi
Nama Pasien : Tn. S
Umur : 23 Tahun
Alamat : Wates
Pekerjaan : Salesman

B. Riwayat Kesehatan

1). Keluhan Utama : Badan panas, lemas, nyeri setelah minum obat
(paramex). Juga terdapat bercak-bercak di seluruh tubuh.

2).Riwayat Penyakit Sekarang : ± 1 hari yang lalu px merasa masuk


angin lalu px minum obat paramex dan minum antangin. Beberapa
jam kemudian badan terasa lebih panas, lemas dan nyeri lalu muncul
bercak-bercak di seluruh tubuh. Px mengaku baru sekali ini minum obat
paramex, namun sudah berkali-kali minum antangin.

3). Riwayat penyakit dahulu : (-)


4). Riwayat penyakit keluarga : (-)

C. .Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi : pada seluruh tubuh terdapat lesi berbentuk maculaeritematosa dan
hiperpigmentasi di tepi-tepinya. Berkonfluensi, berbatas tegas, disertai papul-
papul
.
TTV :
TD : 120/90 mmHg
RR : 20 x/mnt
N : 68 x/mnt
T : 38,7°C
D. .Pemeriksaan penunjang
Pmx Darah -> eosinofilia
E. Diagnosa : Drug Eruption

Analisa Data
No Data Etiologi Masalah Keperawatan
1 Ds : Tn.S Allergen : Kerusakan integritas
mengatakan merasa
Pityrosporum Ovale kulit
masuk
angin lalu px
minum obat Sel langerhans &
paramex dan Makrofag
minum antangin.
Beberapa jam Iritan primer
kemudian badan
terasa lebih panas, Mengiritasi kulit
lemas dan nyeri
Do : terdapat bercak- Kerusakan
bercak di seluruh integritas kulit
tubuh.

Diagnosa keperawatan dan interverensi


No Masalah Keperawatan NOC NIC
1 Kerusakan Integritas Intergritas Perawatan kulit
Kulit Jaringan: Kulit Aktivitas :
dan Membran 1. Kaji keadaan kulit
mukosa 2. Kaji keadaan umum
Indikator: dan observasi TTV
1. Suhu kulit 3. Pertahankan agar
2. Sensasi daerah yang
3. Intergritas terinfeksi tetaap
kulit bersih dan kering
Lesi pada 4. Jangan
lapisan kulit menggunakan kasur
berstekstur kasar
5. Berikan antibiotik
topikal untuk daerah
yang terkena,
dengan tepat periksa
kulit setiap hari bagi
pasien yang berisiko
mengalami
kerusakan kulit
6. Dokumentasikan
derajat kerusakan
kulit
7. Jaga agar kuku bayi
atau anak tetap
pendek dan selalu
terpangkas
BAB IV
PENUTUP
1V. KESIMPULAN
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya
sistemik dan diperkirakan kejadiannya 2% dari total pemakaian obat – obatan atau
sebesar 15 – 20% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat – obatan.
Penyebab alergi obat yang tersering adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat dan
pirazolon.
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Volume 2 Edisi 5. Jakarta :
EGC.
Wilkinson, Judith. 2006. Buku Saku Diagnosis keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.
http://wikimed.blogbeken.com/erupsi-alergi-obat
http://kesehatanvegan.com/2010/07/14/erupsi-alergi-obat
http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/08/drug-eruption/
http://www.scrib.com/doc/5571797/ERUPSI-OBAT-ALERGIK

Anda mungkin juga menyukai