Ranah Pengembangan Keprofesian

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

Ranah Pengembangan Keprofesian Guru

oleh nufififi pada Juni 4, 2012

PENYEDIAAN GURU

Di Indonesia seperti juga banyak di banyak Negara, guru mempunyai kedudukan sebagai
tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
anak usia dini pada jalur pendidikan formal. mereka diangkat sesuai dengan peraturan
regulasi yang berlaku dilingkungan pemerintahan, penyelenggara, atau satuan pendidikan.
Mereka yang diangkat sebagai guru merupakan lulusan lembaga penyedia calon guru.

Berkaitan dengan guru, Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan
Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2008 tentang guru telah menggariskan bahwa hasil itu
menjadi kewenangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan, yang dalam buku ini disebut
sebagai penyediaan guru berbasis perguruan tinggi. Menurut dua produk hukum ini, lembaga
pendidikan tenaga kependidikan dimaksud adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh
pemerintah untuk menyelengarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengh, serta untuk
menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan non-kependidikan.

Guru dimaksud harus memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1/D-IV dan


bersertifikat pendidik. Jika seorang guru telah memiliki keduanya, statusnya diakui oleh
Negara sebagai guru professional. Pada sisi lain,baik UU No. 14 Tahun 200entang Guru dan
Dosen maupun PP No. 74 tentang Guru, telah mengamanatkan bahwa ke depan, hanya yang
berkualifikasi S1/D-IV bidang kependidikan dan non kependidikan yang memenuhi syarat
sebagai guru. Itu pun jika mereka telah menempuh dan dinyatakn lulus pendidikan profesi.
Pada sisi lain, dua produk hukum ini menggariskan bahwa peserta pendidikan profesi
ditetapkan oleh menteri, yang sangat mungkin didasari atas kuota kebutuhan formasi.

Beberapa amanat penting yang dapat disadap (diterima) dari dua produk hukum ini. Pertama,
calon peserta pendidikan profesi berkualifikasi S1/D-IV. Kedua, sertifikat pendidik bagi guru
diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi
yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh masyarakat.
Ketiga, sertifikasi pendidik bagi calon guru harus dilakukan secra objektif, transparan, dan
akuntabel.

Keempat, jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh
Menteri. Kelima, program pendidikan profesi diakhiri dengan uji kompetensi pendidik.
Keenam, uji kompetensi pendidik dilakukan melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai
dengan standar kompetensi.

Ketujuh, ujian tertulis dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup penguasaan:

(1) Wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik,


pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar;

(2) Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi mata pelajaran,
kelompok mata pelajaran dan program; dan
(3) Konsep-konsep disiplin keilmuwan, teknologi, atau seni yang secara konseptual
menaungi materi pelajaran. kedelapan, ujian kinerja dilaksanakan secara holistik dalam
bentuk ujian praktek pembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogik,
kepribadian, profesional, dan sosial pada satuan pendidikan yang relevan.

Jika regulasi ini dipatuhi secara taat asas, tidak ada alasan calon guru pada sekolah-sekolah di
Indonesia berkualitas di bawah standar. Namun demikian, ternyata setelah mereka direkrut
untuk menjadi guru, yang dalam skema kepegawaian negeri sipil (PNS) guru, mereka belum
bisa langsung bertugas penuh ketika menginjakan kaki pertama kali dikampus sekolah.
Melainkan, mereka masih harus memasuki fase prakondisi yang disebut dengan induksi.
Ketika menjalani program induksi, diidealisasikan guru akan dibimbing dan dipandu oleh
mentor terpilih untuk kurun waktu sekitar satu tahun, agar benar-benar siap menjalani tugas-
tugas profesional. Ini pun tentu tidak mudah, karena di daerah pinggiran atau pada sekolah-
sekolah yang nunjauh di sana, sangat mungkin akan menjadi tidak jelas guru seperti apa yang
tersedia dan bersedia menjadi mentor.

Jadi, dari pernyataan-pernyataan diatas dapat dipahami bahwa penyediaan guru di Indonesia
belum maksimal. Karena masih terdapat guru yang kurang memenuhi kualifikasi terutama di
sekolah-sekolah pelosok. Kalaupun ada calon guru yang sudah memenuhi sayarat akademik
itu pun juga masih ada yang belum langsung bisa bertugas penuh. Melainkan masih harus
memasuki fase prakondisi atau induksi.

INDUKSI GURU PEMULA

Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2008 seperti dimaksudkan di atas
mengisyaratkan bahwa ke depan, hanya lulusan S1/ D-IV yang memiliki sertifikat
pendidiklah yang akan direkeut menjadi guru. Namun demikian, sunggupun guru yang
direkrut telah memiliki kualifikasi minimum dan sertifikat pendidik, yang dalam produk
hukum dilegitimasi sebagai telah memiliki kewenangan penuh, ternyata masih diperlukan
program induksi untuk memposisikan mereka menjadi guru yang benar-benar professional.
Memang, pada banyak literature akademik, program induksi diyakini merupakan fase yang
harus dilalui ketika seseorang dinyatakan diangkat dan ditempatkan sebagai guru. Program
induksi merupakan masa transisi bagi guru pemula (beginning teacher) terhitung mulai dia
pertama kali menginjak kaki di sekolah atau satuan pendidikan hingga benar-benar layak
dilepas untuk menjalankan tugas pendidikan dan pembelajaran secara mandiri.

Kebijakan ini memperoleh legitimasi akademik, karena secara teoritis dan empiris lazim
dilakukan di banyak Negara. Sehebat apapun pengalaman teoritis calon guru dikampus,
ketika menghadapi realitas kehidupan dunia kerja, suasananya akan lain. Persoalan mengajar
bukan hanya berkaitan dengan materi apa yang akan di ajarkan dan bagaimana
mengajarkannya, melainkan semua subsistem yang ada di sekolah dan di masyarakat ikut
mengintervensi perilaku nyata yang harus ditampilkan oleh guru, baik didalam maupun di
luar kelas.

PROFESSIONAL GURU BERBASIS LEMBAGA


Ketika guru selesai menjalani proses induksi dan kemudian secara rutin keseharian
menjalankan tugas-tugas profesional, profesionalisasi atau proses penumbuhan dan
pengembangan profesinya tidak berhenti di situ. Diperlukan upaya yang terus menerus agar
guru tetap memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum
serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sinilah esensi pembinaan dan
pengembangan profesional guru. Kegiatan ini dapat dilakukan atas prakarsa institusi, seperti
pendidikan dan pelatihan, workshop, magang, studi banding, dan lain-lain adalah penting.
Prakarsa ini menjadi penting, karena secara umum guru pemula masih memiliki keterbatasan,
baik finansial, jaringan, waktu, akses, dan sebagainya. Namun, yang tidak kalah pentingnya
adalah prakarsa personal guru untuk menjalani profesionalisasi.

Kegiatan pembinaan dan pengembangan itu dilaksanakan secara sistematis dengan


menempuh tahapan-tahapan tertentu, seperti analisis kebutuhan, perumusan tujuan dan
sasaran, desain program, implementasi dan deliveri program, dan evaluasi program. Ini
berarti bahwa kegiatan pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional guru secara
berkelanjutan harus dilaksanakan atas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
evaluasi yang sistematis.

Aktivitas-aktivitas pengembangan guru tersebut memiliki temali satu sama lain. Pada fase
perencanaan, fokus perhatian terpusat pada kebutuhan akan kegiatan pendidikan, pelatihan,
dan pengembangan apa yang diperlukan bagi guru. Penentuan jenis kegiatan pendidikan dan
pelatihan ini didasari atas diagnosis mengenai masalah dan tantangan yang dihadapi oleh
guru dan satuan pendidikan saat ini, serta kemungkinannya di masa depan, termasuk
kemungkinan perubahan kebijakan dan strategi kerja keorganisasian.

Tujuan dan sasaran pendidikan dan pelatihan guru ditetapkan dengan mencerminkan kondisi
yang diingini, sekaligus menjadi ukuran keberhasilan program itu. Perumusan tujuan dan
sasaran ini akan menjadi acuan dalam menentukan substansi dan pelaksanaan program,
dengan titik tekan pada upaya memenuhi kebutuhan guru dan satuan pendidikan secara nyata.
Evaluasi program dimaksudkan untuk menentukan tingkat keberhasilan kegiatan-kegiatan
pembinaan dan pengembangan yang dilakukan, serta kelemahan-kelemahan selama proses
penyelenggaraan. Hal ini akan menjadi umpan balik bagi perencanaan program
pengembangan yang lebih efektif dan efisien.

Pendidikan, pelatihan, dan pengembangan merupakan proses yang ditempuh oleh guru pada
saat menjalani tugas-tugas kedinasan. Kegiatan ini diorganisasikan secara beragam dan
bersprektrum luas dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi, keterampilan, sikap,
pemahaman, dan performansi yang dibutuhkan oleh guru saat ini dan di masa mendatang. Di
banyak negara, saat ini berkembang kecenderungan-kecenderungan baru dalam pembinaan
dan pengembangan tenaga kependidikan, terutama tenaga guru. Kecenderungan-
kecenderungan baru dimaksud adalah:

1. Berbasis pada program penelitian


2. Menyiapkan guru untuk menguji dan mengases kemampuan praktis dirinya
3. Diorganisasikan dengan pendekatan kolegalitas
4. Berfokus pada partisipasi guru dalam proses pembuatan keputusan mengenai isu-isu
esensial di lingkungan sekolah

Membantu guru-guru yang dipandang masih lemah pada beberapa aspek tertentu dari
kompetensinya. Dengan demikian, kegiatan ini merujuk kepada peluang-peluang belajar
(learning opportunities) yang di desain secara sengaja untuk membantu pertumbuhan
profesional guru. Lebih spesifik, ia dimaksud untuk meningkatkan dan mengembangkan
kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial, bahkan dapat dilakukan sebagai
wahana promosi bagi guru.

PROFESSIONAL GURU BERBASIS INDIVIDU

Realitas membuktikan, hanya sebagian kecil guru memiliki peluang menjalani


profesionalisasi atas prakarsa institusi atau lembaga. Untuk indonesia, data statistik
menunjukkan bahwa setiap tahunnya hanya sekitar 5 persen guru yang berpeluang mengikuti
aneka program pengembangan yang dilembagakan sejenis penetaran atau pelatihan
dilembaga-lembaga pelatihan atau lembaga sejenisnya. Ini berarti dalam waktu sekitar 20
tahun, masing-masing guru hanya berpeluang mengikuti 1 kali mengikuti program
pengembangan profesi yang dilembagakan, bukan atas inisiatif sendiri. Itupun dengan asumsi
bahwa akses guru mengikuti program dimaksud bersifat dibagi rata.

Kenyataan dilapangan, begitu banyak guru yang sama sekali tidak memiliki akses mengikuti
program pendidikan, pelatihan, dan pengembangan secara lembaga, kecuali pada saat mereka
menempuh pelatihan prajabatan dari calon PNS ingin menjadi PNS penuh. Menghadapi
realitas ini, kalau guru mau tetap eksis pada profesi dengan derajat profesional yang layak
ditampilkan, tidak ada pilihan lain dia harus melakukan profesionalisasi secara mandiri yang
dalam buku ini disebut sebagai guru profesional madani atau guru profesional.

Untuk menjadi guru profesional, perlu perjalanan panjang. Diawali dengan penyiapan calon
guru, rekrutmen, penempatan, penugasan, pengembangan profesi dan karir, hingga menjadi
guru profesionalsebenarnya, yang menjalani profesionalisasi secara terus-menerus. Guru
semacam inilah yang kelak akan menjelma sebagai guru profesional. Edy suharto
mengemukakan masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana
anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapatr dan
mewujudkan kepentingan-kepentingannya, dimana pemerintahannya memberikan peluang
yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program
pembangunan di wilayahnya. Istilahnya masyarakat madani nesensinya merupakan lawan
dari tradisi struktur yang menekan kebebasan dan hak demokrasi warga negara.

Merujuk pada referensi berpikir di atas, guru profesional sesungguhnya adalah guru yang
didalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya bersifat otonom, menguasai kompensasi
secara khomphrensif dan daya intelektual tinggi. Kata otonom mengandung makna, bahwa
guru profesional adalah mereka yang secara profesional dapat melaksanakan tugas dengan
pendekatan bebas dari intervensi kekuasaan atau birokrasi pendidikan. Dengan demikian,
guru harus menjadi profesional sebenarnya untuk bisa tumbuh secara madani. Guru
profesional melebihi batas-batas yang dimiliki oleh guru profesional yang banyak dibahas
dalam literatur akademik.

Guru profesional adalah mereka yang memiliki kemandirian tinggi ketika berhadapan
birokrasi pendidikan dan pusat-pusat kekuasaan lainnya. Mereka memiliki ruang gerak yang
bebas sebagai wahana bagi keterlibatannya dibidang pendidikan dan pembelajaran,
pengembangan profesi, pengabdian masyarakat dean kegiatan penunjang lainnya. Guru
profesionalpun memiliki daya juang dan energi untuk mereduksi secara kuatmunculnya kuasa
birokrasi pendidikan, kepala sekolah dan pengawas sekolah atas hak dan kewajibannya.
Merekapun bebar beralifiasi kedalam organisasi sebagai wahana perjuangan, pengembangan
profesi dan penegakan independensi sebagai “pekerja” yang memiliki atasan langsung.
Dengan demikian, dari sisi kepribadian untuk tumbuh menjalani profesionalisasi, ciri-ciri
umum guru professional antara lain:

1. melakukan profesionalisasi-diri,
2. memotivasi diri,
3. memiliki disiplin diri,
4. mengevaluasi diri,
5. memiliki kesadaran diri,
6. melakukan pengembangan diri,
7. menjadi pembelajar,
8. melakukan hubungan efektif,
9. berempati tinggi, dan
10. taat asa pada kode etik

Guru profesional memiliki arena khusus untuk berbagi minat, tujuan, dan nilai-nilai
profesional serta kemanusiaan mereka. Dengan sikap dan sifat semacam itu, guru profesional
memiliki kemampuan melakukan profesionalisasi secara terus-menerus, memotivasi-diri,
mendisiplinkan dan meregulasi diri, mengevaluasi-diri, kesadaran-diri, mengembangkan-diri,
berempati, menjalin hubungan yang efektif. Guru profesionalpun adalah pembelajar sejati
dan menjunjung tinggi kode etik dalam bekerja. Sejalan dengan uraian sebelumnya, guru
profesional bercirikan sebagai berikut :

1) Mempunyai kemampuan profesional dan siap diuji atas kemampuannya,

2) Memiliki kemampuan berintegrasi antarguru dan kelompok lain yang “seprofesi”


dengan mereka melalui kontrak dan aliansi social,

3) Melepaskan diri dari belenggu kekuasaan birokrasi, tanpa menghilangkan makna etika
kerja dan tata santun berhubungan dengan atasannya,

4) Memiliki rencana dan program pribadi untuk meningkatkan kompetensi dan gemar
melibatkan diri secara individual atau kelompok seminar untuk merangsang pertumbuhan
diri,

5) Berani dan mampu memberikan masukan kepada semua pihak dalam rangka perbaikan
mutu pendidikan dan pembelajaran, termasuk dalam penyusunan kebijakan bidang
pendidikan

6) Siap bekerja secara tanpa diatur, karena sudah bisa mengatur dan mendisiplinkan diri
sendiri

7) Siap bekerja tanpa disuruh atau diancam, karena sudah bisa mengatur dan memotivasi
dirinya
8) Secara rutin melakukan evaluasi diri untuk mendapatkan umpan balik demi perbaikan
diri

9) Memiliki empati yang kuat

10) Mampu berkomunikasi secara efektif dengan siswa, kolega, komunitas,sekolah, dan
masyarakat

11) Menjunjung tinggi etika kerja dan kaedah-kaedah hubungan kerja

12) Menjunjung tinggi kode etik organisasi tempatnya bernaung

13) Memiliki kesetiaan (loyalitas), dan kepercayaan (trust), dalam makna tersebut mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri

14) Adanya kebebasan diri dalam beraktualisasi melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial
dengan berbagai ragam perspektif.

Anda mungkin juga menyukai