Makalah Perpajakan Pertambangan Minerba
Makalah Perpajakan Pertambangan Minerba
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Kendati Indonesia mengalami krisis ekonomi dan keuangan yang cukup parah,industri
pertambangan tetap dapat menyumbangkan pendapatan yang berarti bagi negara. Sejak
diundangkannya Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuanPokok
Pertambangan dan selanjutnya Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, sektor pertambangan kita mengalami transformasi yang mengesankan. Pemerintah
telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki iklim investasi dengan
menyederhanakan proses perijinan, transparansi, keringanan pajak,penegakan hukum dan
pemantapan situasi keamanan dengan harapan meningkatkansumber penerimaan negara dari
sektor pajak. Namun demikian kegiatanpertambangan ilegal, peraturan pajak yang dinilai
kurang mendukung serta lemahnyakoordinasi antara pusat dan daerah merupakan kendala
yang dihadapi industry pertambangan sehingga menyebabkan arus investasi yang masuk ke
Indonesiakurang optimal.
Perbedaan penafsiran kedua ketentuan tersebut di atas yang bersumber pada Pasal
33Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke-4 menunjukkan jika ketentuan Pasal 33UUD
1945 tersebut tidak memberikan rumusan yang jelas mengenai batasanpengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam oleh Negara. Menurut Bagir Manan menyatakan apabila
pengertian hak penguasaan negaradipahami secara umum, termasuk hal-hal di luar bumi, air
dan ruang angkasa sertakekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maka unsur utama
penguasaan negaraadalah untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen). Oleh karena
negara adalah badan hukum publik dan penguasaannya dalam lingkuphukum publik, maka
sifat pengalihan hak pengusaan itu tunduk kepada kaidahkaidahhukum publik yang banyak
terkait dengan ajaran kewenangan. Sifatpengalihan hak penguasaan adalah pelaksanaan atau
penyelenggaaan dalam bentukpenguasaan pertambangan kepada pemegang Kuasa
Pertambangan. Dengan demikian bentuk pengelolaan dan pemanfaatan pertambangan
tidaksepenuhnya berada di tangan negara, namun dapat diserahkan kepada badan hukumatau
perseorangan dengan suatu kuasa pertambangan, kontrak karya atau kontrak. production
sharing ( kontrak bagi hasil ). Adapun konsekuensi dari pelimpahantersebut badan hukum
atau perseorangan yang telah mempunyai suatu kuasapertambangan, kontrak karya atau
kontrak production sharing ( kontrak bagi hasil )akan mendapatkan hak kepemilikan yang
sifatnya tidak absolut atas pengusahaanpertambangan setelah memenuhi sejumlah
persyaratan atau kewajiban sebagaimanaditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satu kewajiban dari pemilik bahan galian yang sudah ditambang
adalahmembayar sejumlah pungutan yang berhubungan dengan izin pertambangan,
yakniberupa iuran tetap pertambangan, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi, dan/
ataupembayaran-pembayaran lain yang berhubungan dengan kuasa pertambangan
yangbersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat ( 1 ) UU No. 11 Tahun 1967.
Selanjutnya pungutan tersebut merupakan salah satu komponen dari penerimaannegara.
Penerimaan negara diartikan sebagai penerimaan pemerintah dalam arti yangseluas-luasnya
yaitu yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan yang diperolehdari hasil penjualan barang
dan jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah,pinjaman pemerintah, mencetak uang
dan sebagainya.Pada hakekatnya sangatsusah untuk menarik suatu batas yang jelas dari
macam-macam sumber penerimaannegara karena belum adanya suatu pengaturan yang tegas
mengenai hal tersebutdalam beberapa literatur. Sumber-sumber penerimaan negara dapat
dikelompokkan menjadi penerimaandari sektor : pajak; kekayaan alam; bea dan cukai;
retribusi; iuran; sumbangan; labadari badan usaha milik negara, sumber-sumber lain.
Logam
Mineral Proses Dasar Industri Perhiasan
Batangan
Liquefaction Refined
Liquid Fuel
Industri Manufaktur Lainnya :
Poly-Generation
• Aluminium
• Semen
Minyak Bumi Kilang Minyak Produk Non
BBM • Kertas
• Besi Baja
Pembangkit
Listrik • Lainnya
Listrik
BBG
Pasca-
Operasi Tambang
Produksi • Penyisihan
Eksplorasi dana
• Konstruksi reklamasi
• Penyelidikan
Umum • Penambangan • Penutupan
• Pengolahan & tambang
• Eksplorasi
Pemurnian • Pelaksanaan
• Studi reklamasi dan
Kelaayakan • Pengankutan
& Penjualan rehabilitas
lingkungan
1.4 IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha
pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan
penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional
dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Pada umumnya suatu perusahaan yang
bergerak dibidang pertambangan mempunyai siklus usaha sebagai berikut :
1. Penyelidikan umum;
2. Eksplorasi;
3. Studi Kelayakan;
4. Konstruksi;
5. Pertambangan/Eksploitasi;
6. Reklamasi
Masing-masing proses tersebut terdapat kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh
perusahaan. Berikut diampaikan kewajiban perpajakan masing-masing siklus:
1. Penyelidikan Umum: Untuk menentukan potensi mineral pada suatu daerah perlu
dilakukan pengujian geologis, untuk itu dibutuhkan jasa dari pihak peneliti geologis
untuk melakukan Penelitian. Atas jasa tersebut terutang PPN dan PPh Pasal 23/26
tergantung siapa yang melaksanakan.
2. Eksplorasi: Adalah rangkaian kegiatan penelitian, pengujian kandungan mineral,
pemetaan wilayah dan kegiatan lainnya yang dibutuhkan untuk mendapatkan
informasi tentang lokasi, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya serta info
lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Diperlukan jasa dari pihak ketiga yang akan
terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung pihak yang melaksanakan.
3. Studi Kelayakan: Dilakukan untuk mendapatkan informasi kelayakan ekonomis dan
teknis pertambangan dan proses analisis mengenai dampak lingkungan dan
perencanaan pasca tambang, studi kelayakan tersebut memuat data dan keterangan
mengenai usaha tambang tersebut. Proses ini dilakukan oleh pihak ketiga yang ahli
mengenai hal tersebut. Atas jasa pengujian tersebut terutang PPN dan PPh Ps 23.
4. Konstruksi: Setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak secara ekonomis
teknis dan lingkungan, maka dilakukan pembangunan infrastruktur. Pembangunan
infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi. Jasa akan terutang PPN
dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi.
5. Pertambangan/Eksploitasi: Kegiatan ini biasanya meliputi Land clearing (proses
pembukaan lahan), Pengeboran dan penggalian, pengolahan/pemurnian,
pengangkutan dan penjualan. Atas jasa yang dilakukan oleh pihak ketiga terutang PPh
Pasal 23/26 dan PPN.
6. Reklamasi: Adalah proses rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan
penambangan. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak ketiga maka akan
terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN.
Selain jenis pajak tersebut diatas, juga terdapat kewajiban pembayaran pajak atas PPh Pasal
21 yaitu untuk pegawai tetap, pegawai tidak tetap, orang pribadi yang bukan pegawai atas
upah yang diterima. Selain hal-hal diatas, harus diperhatikan juga tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB).
5. Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999 Tentang
Penyempurnaan Tata Cara Pengenaan Pbb Sektor Pertambangan Non Migas Selain
Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C Sebagaimana Diatur Dengan Surat
Edaran Nomor : Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum produktif dan
areal tidak produktif disempurnakan dengan memperhitungkan tahapan kegiatan
penambangan sebagai berikut:
a. Penyelidikan umum, adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah Kuasa
Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
atas nama Menteri Keuangan;
b. Eksplorasi pada tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar 20% dari luas
areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah
sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
c. Eksplorasi untuk perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari luas areal
Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah
sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
d. Pembangunan Fasilitas Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan produksi adalah
luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa
tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.
Untuk batubara :
Royalti antara 3 – 7% (tergantung kualitas batubara dan jenis kontrak)
Untuk KK, tarif royalti dan dana pengelolaan lingkungan disebut dana hasil penjualan
batubara (DHPB) yang besarnya 13,5% dari hasil penjualan batubara
Untuk Tambang Umum :
Besarnya tarif berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian
penghitungan Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) = Jumlah produksi yang terjual x tarif x
harga jual (US$)
Iuran Tetap (landrent/deadrent) :
Baik tambang umum dan batubara menggunakan pola perhitungan yang sama
Perhitungan : Luas Wilayah KP/KK/PKP2B (Ha) x Tarif (Rp/US $)
Data diatas adalah penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) pada tahun 2012 tetapi masih dapat merepresentasikan pada tahun 2013. Data tersebut
menunjukkan bahwa potensi PPh pada sektor pertambangan penggalian sebesar 140,96 triliun
tetapi yang dapat direalisasikan hanya sebesar 43,48 triliun berarti 30,8% besar pajak yang
diterima negara sedangkan 70,2% hilang karena banyaknya perusahaan yang belum
membayar pajak.
Potensi dan realisasi ini berbeda besar dalam hal jumlah, salah satu penyebabnya
adalah masih banyak perusahaan yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Untuk membayar pajak diperlukan NPWP sebagai sarana untuk administrasi perpajakan.
Data Ditjen Pajak Maret 2014, ada 7.754 perusahaan pemegang IUP, 3.202 di antaranya
belum teridentifikasi NPWP-nya. Hal ini berakibat hilangnya sebagian pemasukan negara
dari pajak pertambangan.
Kesalahan ini diakibatkan oleh 2 pihak yaitu pihak pemberi izin IUP dan pihak
pengelola pajak. Di PP No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Dan Batubara diatur bahwa untuk mendapatkan IUP terdapat salah
satu persyaratan administrasi yaitu perusahaan harus memiliki NPWP. Dengan banyaknya
perusahaan yang tidak memiliki NPWP berarti terdapat kesalahan dalam sistem yang berjalan
selama ini. Seharusnya perusahaan yang belum memiliki NPWP maka tidak diperkenankan
untuk mendapatkan IUP.
Pihak pemberi izin IUP terkadang mengeluarkan izin namun tidak memiliki data
produksi dari perusahan-perusahaan yang sudah diberikan izin. Sehingga, terdapat perbedaan
antara jumlah IUP dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kita bisa menganggap
bahwa perbedaan data ini juga berpengaruh pada sistem pengawasannya terkait perpajakan.
Kita harus mengevaluasi sistem yang digunakan saat ini. Sebelum kita berpikir jangka
panjang untuk melakukan penambahan nilai akan mineral yang ada di indonesia, seharusnya
kita perbaiki dulu sistem agar pendapatan negara yang didapat itu sesuai dengan potensi
sebenarnya.
Ada beberapa hal yang harus kita benahi. Pertama, pihak pemberi IUP yaitu
Bupati/walikota, Gubernur, dan Menteri harus tegas dalam menjalankan hal-hal yang tertuang
dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 dan adanya sistem kontrol dari kementrian ESDM supaya
IUP yang keluar memenuhi semua persyaratan yang ada. Kedua, setiap pemberian izin oleh
pihak yang berwenang harus didata yang kemudian dilaporkan ke pemerintah pusat sehingga
tidak ada bias diantara kedua pihak terkait jumlah pemegang IUP yang ada di Indonesia.
Ketiga, Dirjen Pajak bersama dengan Kementerian ESDM membangun Sistem Pengelolaan
Pajak Minerba berbasis IT yang disertai dengan sistem monitoring dan evaluasinya. Sistem
berbasis IT ini terintegrasi secara real time dengan semua pihak terkait.
Kita harus mengupayakan agar pendapatan yang diterima negara sesuai dengan
potensi yang ada. Dirjen Pajak, Kementerian ESDM, dan KPK dapat bersinergis untuk
memberantas pihak-pihak yang belum membayar pajak ke pemerintah. Penerimaan negara
dari sektor pajak sangat penting dalam pemenuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) karena 70% pendapatan negara berasal dari pajak. APBN merupakan perwujudan
dari pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen bagi Pemerintah untuk
mengatur pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan
pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan
nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas
pembangunan secara umum.
Kendala dalam optimalisasi pajak pertambagan berasal dari faktor eksternal maupun
internal Dirjen Pajak. Faktor eksternal berupa modus-modus kecurangan yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan pertambangan untuk menghindari pajak. Beberapa modus
penghindaran pajak tambang, antara lain dengan penambangan di luar rencana tahunan,
transfer pricing, pengeluaran biaya perusahaan satu grup, kontrak derivative, pembayaran
bungan pinjaman, non deductable cost, dan depresiasi. Jumlah produksi tahunan mungkin
disetujui ESDM, tetapi adanya rencana percepatan pelunasan bunga dan hutang, menurut
perusahaan menambah produksi di luar rencana produksi tahunan. Modus ini mirip yang
terjadi pada perusahaan HPH yang melakukan penebangan kayu di luar jumlah tebang di
RKT (Rencana Kerja Tahunan).
Transfer pricing bisa menjadi modus lain. Dengan membuat anak perusahaan “papan
nama” di luar negeri, batu bara kalori tinggi dijual dengan harga batu bara kalori rendah.
Nantinya dari perusahaan afiliasi ini, batubara dijual ke end user dengan harga normal.
Modus paling banyak, dengan memperbesar biaya produksi kepada perusahaan afiliasi
dengan mengabaikan prinsip arm length transaction. Pelu dicermati biaya penggalian
tambang karena umumnya dialihdayakan (outsourcing) serta biaya transportasi (pengapalan)
hasil tambang kepada perusahaan pelayaran. Beberapa perusahaan tambang memiliki anak
perusahaan pelayaran dan kereta api, sehingga dari sini perlu diteliti kewajaran pembebanan
biaya.Untuk meminimalkan kerugian kurs, perusahaan membuat kontrak derivatif untuk
mengaman selisih kurs karena emisi surat utang, pembelian bahan baku, pembelian mesin
tambang dan kurs penjualan tambang. Suatu hal yang tidak lazim jika perusahaan tambang
dengan pendapatan dalam dollar atau valuta asing lainnya, banyak membuat kontrak derivatif
seperti hedging dan swap. Jika mengacu pada prinsip akuntansi perusahaan mungkin
mengalami kerugian kurs jika rupiah menguat, tetapi secara cash flow perusahaan tidak
mengalami kerugian apapun.Modus lainnya adalah penerbitan surat utang atau pengajuan
kredit menggunakan SPV (Special Purpose Vehicle) atau perusahaan papan nama di negara
yang membebaskan pajak (tax heaven country). Atas penerbitan surat utang ini, perusahaan
membayar fee kepada SPV tersebut. Padahal SPV tersebut masih ada afiliasi kepemilikkan
dengan pemegang saham perusahaan tambang. Pembayaran fee ini masih lebih
menguntungkan daripada membayar PPh Badan sebesar 25 persen. Pembayaran fee bisa juga
sebagai dividen terselubung.
Perbedaan penyusutan aset antara akuntansi dan pajak, menjadi modus pengecilan pajak.
Perusahaan yang sedang produktif bisa jadi akan membeli aktiva yang memiliki penyusutan
cukup besar seperti alat berat penambangan dan truk pengangkut. Dalam perhitungan pajak,
aktiva tersebut dapat disusutkan dalam waktu lebih cepat sehingga biaya menjadi besar dan
pajak penghasilan mengecil. Namun, dalam perhitungan akuntansi dengan penyusutan lebih
lambat, maka laba perusahaan tetap lebih besar daripada pendapatan kena pajak. Bisa juga
pembelian alat tambang itu hanya di atas kertas, tidak secara riil semata-mata memperbesar
depresiasi fiskal. Perlu disadari bahwa tidak semua biaya operasional penambangan ada bukti
pengeluarannya. Jika saja ada pengeluaran-pengeluaran tak resmi perusahaan tambang, maka
pengeluaran ini tidak bisa dibiayakan oleh perusahaan (non deductable cost) sebagai
pengurang penghasilan kena pajak.
Kenyataannya, uang tetap keluar, sehingga atas pengeluaran tak resmi tersebut kemudian
di-posting pada neraca perusahaan dengan pos biaya yang berbeda, yang penting bisa
menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Selain faktor eksternal tersebut diatas,
permasalahan-permasalahan yang dihadapi Dirjen Pajak juga menjadi kendala dalam
mengoptimalkan penerimaan pajak pertambangan, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, penggalian potensi perpajakan tidak maksimal. Penggalian potensi tidak optimal
karena wajib pajak perusahaan migas dan pertambangan tersebar di banyak KPP, dimana
pertugas pada KPP tersebut tidak memiliki pemahaman yang sama terhadap isi Kontrak
Kerjasama Migas dan terhadap isi kontrak karya ataupun isi Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) bagi perusahaan tambang. Selain itu, tingkat pemahaman
para petugas pada masing-masing KPP itu tehadap Kegiatan Bisnis Migas dan Pertambangan
tidak sama dan tidak menyeluruh.
Kedua, pengawasan dan pelayanan kewajiban perpajakan tidak seragam. Pengawasab
dan pelayanan kewajiban perpajakan tidak seragam karena masing-masing KPP tidak
memahami ketentuan perpajakan yang seharusnya berlaku sesuai Kontrak Karya / PKP2B
bagi wajib pajak perusahaan tambang dan sesuai Kontrak Kerjasama bagi waib pajak KKKS
Migas. Akibatnya, pelaporan dan pengawasan kewajiban perpajakan tidak sama antara satu
KPP dengan KPP lainnya. Kini dengan beroperasinya KPP Migas dan KPP Pertambangan
maka pengawasan kewajiban formal dan material PP Cost Recovery bagi perusahaan migas
dapat ditingkatkan, pelaksanaan pemeriksaan terhadap wajib pajak KKKS Migas dan
Pertambangan dapat lebih diintensifikasikan, dan pelayanan untuk semua wajib pajak
perusahaan migas seragam, demikian pula pelayanan perpajakan untuk semua wajib pajak
perusahaan pertambangan pun sama. Tentu bukan hanya keseragaman, tetapi juga mutu
pelayanan bagi wajib pajak perusahaan migas dan perusahaan pertambangan akan terus
ditingkatkan oleh KPP Migas dan KPP Pertambangan. Ketiga, pengawasan oleh dan antar
instansi pemerintah (DJP, DJA, BPKP, BP Migas, dan KESDM) kurang terkoordinir.