Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai potensi sumber daya alamyang


menjanjikan yakni berupa mineral dan bahan tambang sebagai penopangkelanjutan
kehidupan bangsa. Indonesia telah menjadi produsen timah kedua terbesar di dunia, eksportir
batubarathermal ketiga terbesar di dunia, penghasil tembaga ketiga terbesar di dunia dan
berada pada urutan kelima dan ketujuh untuk masing masing produksi nikel dan emas.
Indonesia menjadi tuan rumah bagi pertambangan kelas dunia, termasuk tambangtembaga
dan emas Grasberg di Irian Jaya, tambang tembaga Batu Hijau di Sumbawa, tambang Nikel
di Inco Soroako, Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur danpenambangan Timah dari PT
Timah di Bangka.2Sektor pertambangan sebagai salah satu primadona dari sumber
penerimaan negara memainkan peran yang penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

Kendati Indonesia mengalami krisis ekonomi dan keuangan yang cukup parah,industri
pertambangan tetap dapat menyumbangkan pendapatan yang berarti bagi negara. Sejak
diundangkannya Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuanPokok
Pertambangan dan selanjutnya Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, sektor pertambangan kita mengalami transformasi yang mengesankan. Pemerintah
telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki iklim investasi dengan
menyederhanakan proses perijinan, transparansi, keringanan pajak,penegakan hukum dan
pemantapan situasi keamanan dengan harapan meningkatkansumber penerimaan negara dari
sektor pajak. Namun demikian kegiatanpertambangan ilegal, peraturan pajak yang dinilai
kurang mendukung serta lemahnyakoordinasi antara pusat dan daerah merupakan kendala
yang dihadapi industry pertambangan sehingga menyebabkan arus investasi yang masuk ke
Indonesiakurang optimal.

Negara telah menjamin pengelolaan sumber daya alam tersebut sebagaimanadiatur


dalam Pasal 33 UUD 1945 Amandemen keempat, yang dinyatakan bahwa :
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Atas hal tersebut negara mempunyai hak menguasai atas sumber daya alamsebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pokok AgrariaNo. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Namun demikian ketentuan dalam Undang-
undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ( selanjutnya
disebut UU No. 11 Tahun1967 ) mempunyai penafsiran yang berbeda mengenai hak
menguasai. Hal inisebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum pada bagian penjelasan
pokokpersoalan yang dinyatakan bahwa :
“....Negara menguasai semua bahan-bahan galian dengan sepenuh-penuhnya untuk
kepentingan negara serta kemakmuran rakyat, karena bahan-bahan galian tersebut adalah
merupakan kekayaan nasional.”

Perbedaan penafsiran kedua ketentuan tersebut di atas yang bersumber pada Pasal
33Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke-4 menunjukkan jika ketentuan Pasal 33UUD
1945 tersebut tidak memberikan rumusan yang jelas mengenai batasanpengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam oleh Negara. Menurut Bagir Manan menyatakan apabila
pengertian hak penguasaan negaradipahami secara umum, termasuk hal-hal di luar bumi, air
dan ruang angkasa sertakekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maka unsur utama
penguasaan negaraadalah untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen). Oleh karena
negara adalah badan hukum publik dan penguasaannya dalam lingkuphukum publik, maka
sifat pengalihan hak pengusaan itu tunduk kepada kaidahkaidahhukum publik yang banyak
terkait dengan ajaran kewenangan. Sifatpengalihan hak penguasaan adalah pelaksanaan atau
penyelenggaaan dalam bentukpenguasaan pertambangan kepada pemegang Kuasa
Pertambangan. Dengan demikian bentuk pengelolaan dan pemanfaatan pertambangan
tidaksepenuhnya berada di tangan negara, namun dapat diserahkan kepada badan hukumatau
perseorangan dengan suatu kuasa pertambangan, kontrak karya atau kontrak. production
sharing ( kontrak bagi hasil ). Adapun konsekuensi dari pelimpahantersebut badan hukum
atau perseorangan yang telah mempunyai suatu kuasapertambangan, kontrak karya atau
kontrak production sharing ( kontrak bagi hasil )akan mendapatkan hak kepemilikan yang
sifatnya tidak absolut atas pengusahaanpertambangan setelah memenuhi sejumlah
persyaratan atau kewajiban sebagaimanaditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Salah satu kewajiban dari pemilik bahan galian yang sudah ditambang
adalahmembayar sejumlah pungutan yang berhubungan dengan izin pertambangan,
yakniberupa iuran tetap pertambangan, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi, dan/
ataupembayaran-pembayaran lain yang berhubungan dengan kuasa pertambangan
yangbersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat ( 1 ) UU No. 11 Tahun 1967.
Selanjutnya pungutan tersebut merupakan salah satu komponen dari penerimaannegara.
Penerimaan negara diartikan sebagai penerimaan pemerintah dalam arti yangseluas-luasnya
yaitu yang meliputi penerimaan pajak, penerimaan yang diperolehdari hasil penjualan barang
dan jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah,pinjaman pemerintah, mencetak uang
dan sebagainya.Pada hakekatnya sangatsusah untuk menarik suatu batas yang jelas dari
macam-macam sumber penerimaannegara karena belum adanya suatu pengaturan yang tegas
mengenai hal tersebutdalam beberapa literatur. Sumber-sumber penerimaan negara dapat
dikelompokkan menjadi penerimaandari sektor : pajak; kekayaan alam; bea dan cukai;
retribusi; iuran; sumbangan; labadari badan usaha milik negara, sumber-sumber lain.

1.1 HUBUNGAN ANTAR SEKTOR


Sumber Daya Alam Indonesia pengelohan perizinan pertambangan dan
perdagangannya dikelola oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan
Departemen Perindustrian serta Departemen Perdagangan dengan gambaran hubungannya
pada Gambar 1. Pada Bagian Hulu, Sumber Daya Alam terbagi menjadi Sumber Daya
Mineral, Batubara, Minyak Bumi, Gas Bumi dan Panas Bumi. Pada Bagian Hilir
menggambarkan proses-proses pengelolahan sumber-sumber alam tersebut serta produk akhir
yang dihasilkan.Pada pembahasan kali ini akan difokuskan pada hal-hal yang berkaitan
dengan sumber daya alam berupa Mineral dan Batubara.
KETERKAITAN SEKTOR ESDM DAN SEKTOR INDUSTRI
INDUSTRI Lampiran G
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Departemen Perindustrian dan Perdagangan
Pengelolaan Sumber Daya Energi dan Mineral
Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Energi
HULU
dan Mineral
HILIR-A HILIR-B

SUMBER DAYA Teknologi Konversi Dan Komoditas


Proses Energi Final/Mineral

Logam
Mineral Proses Dasar Industri Perhiasan
Batangan

Batubara Coal Wash and Coke Batubara

Liquefaction Refined
Liquid Fuel
Industri Manufaktur Lainnya :
Poly-Generation
• Aluminium
• Semen
Minyak Bumi Kilang Minyak Produk Non
BBM • Kertas
• Besi Baja
Pembangkit
Listrik • Lainnya
Listrik

BBG

Gas Bumi Kilang Gas LPG


Industri Petrokimia
Panas Bumi
1.2JENIS-JENIS PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Pada Gambar 2 berikut ini pembagian jenis-jenis Mineral dan Batubara yang dibagi
menjadi : Logam, Non-Logam, Batuan, Radioaktif dan Batubara.
1.3 TAHAPAN-TAHAPAN KEGIATAN PERTAMBANGAN

Pasca-
Operasi Tambang
Produksi • Penyisihan
Eksplorasi dana
• Konstruksi reklamasi
• Penyelidikan
Umum • Penambangan • Penutupan
• Pengolahan & tambang
• Eksplorasi
Pemurnian • Pelaksanaan
• Studi reklamasi dan
Kelaayakan • Pengankutan
& Penjualan rehabilitas
lingkungan
1.4 IZIN USAHA PERTAMBANGAN

1.5 PERMOHONAN IUP PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA


Pemerintah Pusat
1. Menteri berkoordinasi dengan Gubernur/Bupati/Walikota untuk 7 menetapkan WIUP/
WIUPK
2. Bupati/Walikota dan Gubernur memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk
penetapan WIUP/ 9 WIUPK, Menteri menetapkan WIUP/WIUPK
3. Menteri membentuk Panitia Lelang
4. Panitia Lelang mengumumkan lelang WIUP/WIUPK
5. Peserta lelang mendaftar dan mengikuti proses lelang
6. Panitia lelang melakukan proses lelang kemudian mengusulkan pemenang lelang ke
Menteri
7. Menteri menetapkan pemenang lelang, dan disampaikan ke Gubernur,
Bupati/Walikota dan pemenang lelang
8. Pemenang lelang memenuhi kewajiban pembayaran biaya kompensasi data untuk
memperoleh peta dan koordinat WIUP/WIUPK
9. Pemenang lelang mengajukan permohonan IUP/IUPK Eksplorasi kepada Menteri
dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penetapan pengumuman
pemenang lelang WIUP/WIUPK, dengan melampirkan syarat:
a. Peta dan koordinat WIUP/WIUPK hasil penetapan pemenang lelang
WIUP/WIUPK
b. Bukti pembayaran kompensasi data, sesuai keputusan hasil lelang
WIUP/WIUPK mineral logam atau batubara
c. Bukti penempatan jaminan kesungguhan untuk kegiatan 4 (empat) tahun
eksplorasi
10. Menteri menerbitkan Surat Keputusan IUP/IUPK Eksplorasi dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan IUP/IUPK Eksplorasi

Kewenangan PemKab/Kota dlm Pengelolaan Pertambangan Minerba (Ps.8 UU No.4/2009) :


Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah
 Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan
pengawasan usaha pertambangan di wilayah kab/kota atau wil.laut s.d 4 mil
 Pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan
pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yg kegiatannya berada di wilayah
kab/kota atau wil.laut s.d 4 mil
 Penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka
memperoleh data dan informasi mineral dan batubara
 Pengelolaan Informasi geologi,informasi potensi minerba, serta informasi
pertambangan pada wilayah kab/kota
 Menteri berkoordinasi dengan Gubernur/Bupati/Walikota untuk 7 menetapkan WIUP/
WIUPK
 Bupati/Walikota dan Gubernur memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk
penetapan WIUP/ 9 WIUPK, Menteri menetapkan WIUP/WIUPK
 Menteri membentuk Panitia Lelang
 Panitia Lelang mengumumkan lelang WIUP/WIUPK
 Peserta lelang mendaftar dan mengikuti proses lelang
 Panitia lelang melakukan proses lelang kemudian mengusulkan pemenang lelang ke
Menteri
 Menteri menetapkan pemenang lelang, dan disampaikan ke Gubernur,
Bupati/Walikota dan pemenang lelang
 Pemenang lelang memenuhi kewajiban pembayaran biaya kompensasi data untuk
memperoleh peta dan koordinat WIUP/WIUPK
 Pemenang lelang mengajukan permohonan IUP/IUPK Eksplorasi kepada Menteri
dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penetapan pengumuman
pemenang lelang WIUP/WIUPK, dengan melampirkan syarat:
 Peta dan koordinat WIUP/WIUPK hasil penetapan pemenang lelang WIUP/WIUPK
 Bukti pembayaran kompensasi data, sesuai keputusan hasil lelang WIUP/WIUPK
mineral logam atau batubara
 Bukti penempatan jaminan kesungguhan untuk kegiatan 4 (empat) tahun eksplorasi
 Menteri menerbitkan Surat Keputusan IUP/IUPK Eksplorasi dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan IUP/IUPK Eksplorasi

1.5 HAK DAN KEWAJIBAN PEMEGANG IUP

HAK PEMEGANG IUP


 Pemegang IUP/IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapn usaha
pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun operasi produksi
 Pemegang IUP/IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk
keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundangan yg
berlaku
 Pemegang IUP/IUPK berhak memiliki mineral termasuk mineral ikutannya, atau
batubara yg telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran
produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif
 Pemegang IUP/IUPK tidak boleh memindahkan IUP/IUPK nya kepada pihak lain
 Untuk pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat
dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu (ditemukan 2
wilayah prospek dlm kegiatan eksplorasi). Pengalihan saham tersebut harus
memberitahu menteri atau gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya dan
dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundangan yg berlaku
 Pemegang IUP/IUPK dijamin haknya untuk melakukan usaha pertambangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan

KEWAJIBAN PEMEGANG IUP :
 Pemegang IUP/IUPK wajib (ps.95) : menerapkan kaidah teknik pertambangan yg
baik, mengelola keuangan sesuai dgn sistem akuntansi Indonesia, meningkatkan nilai
tambah sumber daya mineral dan/atau batubara, melaksanakan pengembangan dan
pemberdayaan masy setempat,mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan
 Dlm menerapkan kaidah teknik pertambangan yg baik wajib (ps.96) melaksanakan :
ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, keselamatan operasi
pertambangan, pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk
kegiatan reklamasi dan pascatambang, upaya konservasi suber daya mineral dan
batubara, pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dlm
bentuk padat,cair,atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum
dilepas ke media lingkungan
 Pemegang IUP/IUPK wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan
sesuai dengan karakteristik suatu daerah
 Menteri berkoordinasi dengan Gubernur/Bupati/Walikota untuk 7 menetapkan WIUP/
WIUPK
 Bupati/Walikota dan Gubernur memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk
penetapan WIUP/ 9 WIUPK, Menteri menetapkan WIUP/WIUPK
 Menteri membentuk Panitia Lelang
 Panitia Lelang mengumumkan lelang WIUP/WIUPK
 Peserta lelang mendaftar dan mengikuti proses lelang
 Panitia lelang melakukan proses lelang kemudian mengusulkan pemenang lelang ke
Menteri
 Menteri menetapkan pemenang lelang, dan disampaikan ke Gubernur,
Bupati/Walikota dan pemenang lelang
 Pemenang lelang memenuhi kewajiban pembayaran biaya kompensasi data untuk
memperoleh peta dan koordinat WIUP/WIUPK
 Pemenang lelang mengajukan permohonan IUP/IUPK Eksplorasi kepada Menteri
dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penetapan pengumuman
pemenang lelang WIUP/WIUPK, dengan melampirkan syarat:
 Peta dan koordinat WIUP/WIUPK hasil penetapan pemenang lelang WIUP/WIUPK
 Bukti pembayaran kompensasi data, sesuai keputusan hasil lelang WIUP/WIUPK
mineral logam atau batubara
 Bukti penempatan jaminan kesungguhan untuk kegiatan 4 (empat) tahun eksplorasi
 Menteri menerbitkan Surat Keputusan IUP/IUPK Eksplorasi dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan IUP/IUPK Eksplorasi
 Pemegang IUP/IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau
batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pemanfataan mineral dan batubara (untuk meningkatkan produk akhir dari usaha
pertambangan atau pemanfaatn thd mineral ikutan)
 Pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian
hasil penambangan di dalam negeri. Pelaksanaannya dapat dikerjasamakan dgn badan
usaha, koperasi atau perseorangan yg telah mendapatkan IUP atau IUPK.
 Pemegang IUP/IUPK harus mengutamakan pemanfataan tenaga kerja setempat,
barang , dan jasa dalam negeri sesuai dgn ketentuan peraturan perundangan yg
berlaku. Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, wajib mengikutsertakan
pengusaha lokal yg ada di daerah tsb sesuai ketentuan perundangan yg berlaku.
 Pemegang IUP/IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat yg dikonsultasikan dgn pemerintah, pemda dan masyarakat
 Pemegang IUP/IUPK wajib menyerahkan seluruh data yg diperoleh dari hasil
eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/walikota
sesuai dgn kewenangannya
 Pemegang IUP/IUPK wajib memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana
kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan kepada Menteri, Gubernur atau
Bupati/Walikota
 Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP/IUPK yg sahamnya
dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemda,
BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional.
BAB 2
PENERIMAAN NEGARA DAN DAERAH

2. PENDAPATAN DARI PERTAMBANGAN MINERBA

Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha
pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan
penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional
dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Pada umumnya suatu perusahaan yang
bergerak dibidang pertambangan mempunyai siklus usaha sebagai berikut :
1. Penyelidikan umum;
2. Eksplorasi;
3. Studi Kelayakan;
4. Konstruksi;
5. Pertambangan/Eksploitasi;
6. Reklamasi
Masing-masing proses tersebut terdapat kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh
perusahaan. Berikut diampaikan kewajiban perpajakan masing-masing siklus:

1. Penyelidikan Umum: Untuk menentukan potensi mineral pada suatu daerah perlu
dilakukan pengujian geologis, untuk itu dibutuhkan jasa dari pihak peneliti geologis
untuk melakukan Penelitian. Atas jasa tersebut terutang PPN dan PPh Pasal 23/26
tergantung siapa yang melaksanakan.
2. Eksplorasi: Adalah rangkaian kegiatan penelitian, pengujian kandungan mineral,
pemetaan wilayah dan kegiatan lainnya yang dibutuhkan untuk mendapatkan
informasi tentang lokasi, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya serta info
lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Diperlukan jasa dari pihak ketiga yang akan
terutang PPN dan PPh Pasal 23/26 tergantung pihak yang melaksanakan.
3. Studi Kelayakan: Dilakukan untuk mendapatkan informasi kelayakan ekonomis dan
teknis pertambangan dan proses analisis mengenai dampak lingkungan dan
perencanaan pasca tambang, studi kelayakan tersebut memuat data dan keterangan
mengenai usaha tambang tersebut. Proses ini dilakukan oleh pihak ketiga yang ahli
mengenai hal tersebut. Atas jasa pengujian tersebut terutang PPN dan PPh Ps 23.
4. Konstruksi: Setelah diketahui bahwa proyek pertambangan layak secara ekonomis
teknis dan lingkungan, maka dilakukan pembangunan infrastruktur. Pembangunan
infrastruktur biasanya dilakukan oleh perusahaan konstruksi. Jasa akan terutang PPN
dan PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi.
5. Pertambangan/Eksploitasi: Kegiatan ini biasanya meliputi Land clearing (proses
pembukaan lahan), Pengeboran dan penggalian, pengolahan/pemurnian,
pengangkutan dan penjualan. Atas jasa yang dilakukan oleh pihak ketiga terutang PPh
Pasal 23/26 dan PPN.
6. Reklamasi: Adalah proses rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan
penambangan. Apabila proses reklamasi dilakukan oleh pihak ketiga maka akan
terutang PPh Pasal 23/26 dan PPN.
Selain jenis pajak tersebut diatas, juga terdapat kewajiban pembayaran pajak atas PPh Pasal
21 yaitu untuk pegawai tetap, pegawai tidak tetap, orang pribadi yang bukan pegawai atas
upah yang diterima. Selain hal-hal diatas, harus diperhatikan juga tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB).

1. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 Tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara pada:
a. Pasal 1 Angka 1 menyatakan bahwa Pertambangan adalah sebagian atau seluruh
tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral
atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan, serta kegiatan pascatambang;
b. Pasal 128 menyatakan bahwa Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar
pendapatan negara dan pendapatan daerah. Pendapatan negara yang dimaksud
yang terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Adapun
penerimaan pajak yang dimaksud terdiri atas pajak-pajak yang menjadi
kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan serta bea masuk dan cukai. Sedangkan penerimaan negara
bukan pajak terdiri atas iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan
kompensasi data informasi. Dalam hal pendapatan daerah terdiri atas pajak
daerah, retribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

2. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang


pajak Bumi dan Bangunan yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan adalah
bumi dan/atau bangunan dan yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan
yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat
atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
bangunan

3. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang


Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 1 Angka 8, Sektor Pertambangan
adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan
bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian
vital dan bahan galian lainnya;

4. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tentang


Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 8, Besarnya Nilai Jual Objek Pajak
atas objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas
Bumi dan Galian C ditentukan sebagai berikut:
a. Areal Produktif adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang dalam satu tahun
sebelum tahun pajak berjalan.
b. Areal belum produktif, tidak produktif dan emplasemen serta areal lainnya
didalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek
Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
c. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana
dimaksud pada Pasal 1 angka 15.

5. Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ.6/1999 Tentang
Penyempurnaan Tata Cara Pengenaan Pbb Sektor Pertambangan Non Migas Selain
Pertambangan Energi Panas Bumi Dan Galian C Sebagaimana Diatur Dengan Surat
Edaran Nomor : Se-26/Pj.6/1999, pengenaan PBB atas areal belum produktif dan
areal tidak produktif disempurnakan dengan memperhitungkan tahapan kegiatan
penambangan sebagai berikut:
a. Penyelidikan umum, adalah sebesar 5% dari luas areal Wilayah Kuasa
Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
atas nama Menteri Keuangan;
b. Eksplorasi pada tahun ke-satu s/d ke-lima, masing-masing sebesar 20% dari luas
areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah
sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
c. Eksplorasi untuk perpanjangan I dan II, adalah sebesar 50% dari luas areal
Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah
sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan;
d. Pembangunan Fasilitas Eksploitasi (konstruksi) sampai dengan produksi adalah
luas areal Wilayah Kuasa Pertambangan dengan Nilai Jual Objek Pajak berupa
tanah sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan.

Ketentuan Fiskal (Perpajakan)

Dalam UU Minerba, beberapa ketentuan fiskal di dalam UU Minerba adalah sebagai


berikut: Tarif perpajakan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu
ke waktu/prevailing law (Pasal 133 Ayat 3 dan Ayat 5, Pasal 136). Adanya kewajiban
perpajakan tambahan sekitar 10%, yakni 6% untuk pemerintah pusat dan 4% untuk
pemerintah daerah (Pasal 134 Ayat 1). Besaran tarif iuran produksi (royalty) ditetapkan
berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi dan harga (Pasal 137 Ayat 1).
Penerimaan negara bukan pajak dari sektor pertambangan terdiri dari:
1.iuran tetap (landrent)
2.dan iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty)

1. Iuran Tetap (landrent) :


 Tarif iuran tetap merupakan tarif satuan atas nilai US $ per luas area
eksploitasi/eksplorasi (hektar)
 Besarnya tarif dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau
tidak).
 Pemungutan iuran tetap, yang dikenakan di sektor pertambangan dilakukan setiap
semester

2. Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) :


 adalah iuran produksi yang diterima Negara dalam hal Pemegang Kuasa
Pertambangan Eksplorasi mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas
kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas hasil yang diperoleh dari
usaha pertambangan eksploitasi satu atau lebih bahan galian,
 Royalti harus dibayar dalam satuan rupiah atau satuan lainnya yang disetujui bersama
 tarif royalti bersifat advalorem (dalam persentasi) atau tetap dan dikenakan terhadap
harga jual yang telah dikalikan dengan jumlah produksi.

Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) :

Untuk batubara :
Royalti antara 3 – 7% (tergantung kualitas batubara dan jenis kontrak)
Untuk KK, tarif royalti dan dana pengelolaan lingkungan disebut dana hasil penjualan
batubara (DHPB) yang besarnya 13,5% dari hasil penjualan batubara
Untuk Tambang Umum :
Besarnya tarif berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian
penghitungan Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) = Jumlah produksi yang terjual x tarif x
harga jual (US$)
Iuran Tetap (landrent/deadrent) :
Baik tambang umum dan batubara menggunakan pola perhitungan yang sama
Perhitungan : Luas Wilayah KP/KK/PKP2B (Ha) x Tarif (Rp/US $)

2.1 PEMBAGIAN HASIL SDA PERTAMBANGAN


BAB 3
REALITA PAJAK PERTAMBANGAN DI INDONESIA

3. POTENSI PENERIMAAN PAJAK PERTAMBANGAN

Sebelum memulai aktivitas penambangan, usaha pertambangan harus memiliki Izin


Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Bupati/walikota, Gubernur, dan Menteri
tergantung dari letak wilayah pertambangan yang diatur di Peraturan Pemerintah No. 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. IUP
dibagi menjadi 2 yaitu IUP eksplorasi dan IUP produksi. Berdasarkan data yang dimiliki oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari rekapitulasi data per April 2014 Ditjen Minerba,
terdapat 10.922 IUP di seluruh Indonesia. Dengan adanya IUP, sebuah usaha pertambangan
dapat memulai kegiatan eksplorasi dan produksi. Produksi dilakukan untuk mendapatkan
bahan galian yang diinginkan kemudian dijual ke pasar yang ada baik dalam negeri maupun
luar negeri. Pendapatan yang diterima perusahaan tersebut akan dikenakan pajak penghasilan
yang harus dibayarkan ke negara. Dari sistem pajak itulah negara kita mendapatkan
pendapatan dari sektor pertambangan.

Data diatas adalah penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) pada tahun 2012 tetapi masih dapat merepresentasikan pada tahun 2013. Data tersebut
menunjukkan bahwa potensi PPh pada sektor pertambangan penggalian sebesar 140,96 triliun
tetapi yang dapat direalisasikan hanya sebesar 43,48 triliun berarti 30,8% besar pajak yang
diterima negara sedangkan 70,2% hilang karena banyaknya perusahaan yang belum
membayar pajak.

Potensi dan realisasi ini berbeda besar dalam hal jumlah, salah satu penyebabnya
adalah masih banyak perusahaan yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Untuk membayar pajak diperlukan NPWP sebagai sarana untuk administrasi perpajakan.
Data Ditjen Pajak Maret 2014, ada 7.754 perusahaan pemegang IUP, 3.202 di antaranya
belum teridentifikasi NPWP-nya. Hal ini berakibat hilangnya sebagian pemasukan negara
dari pajak pertambangan.
Kesalahan ini diakibatkan oleh 2 pihak yaitu pihak pemberi izin IUP dan pihak
pengelola pajak. Di PP No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Dan Batubara diatur bahwa untuk mendapatkan IUP terdapat salah
satu persyaratan administrasi yaitu perusahaan harus memiliki NPWP. Dengan banyaknya
perusahaan yang tidak memiliki NPWP berarti terdapat kesalahan dalam sistem yang berjalan
selama ini. Seharusnya perusahaan yang belum memiliki NPWP maka tidak diperkenankan
untuk mendapatkan IUP.

Pihak pemberi izin IUP terkadang mengeluarkan izin namun tidak memiliki data
produksi dari perusahan-perusahaan yang sudah diberikan izin. Sehingga, terdapat perbedaan
antara jumlah IUP dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kita bisa menganggap
bahwa perbedaan data ini juga berpengaruh pada sistem pengawasannya terkait perpajakan.
Kita harus mengevaluasi sistem yang digunakan saat ini. Sebelum kita berpikir jangka
panjang untuk melakukan penambahan nilai akan mineral yang ada di indonesia, seharusnya
kita perbaiki dulu sistem agar pendapatan negara yang didapat itu sesuai dengan potensi
sebenarnya.

Ada beberapa hal yang harus kita benahi. Pertama, pihak pemberi IUP yaitu
Bupati/walikota, Gubernur, dan Menteri harus tegas dalam menjalankan hal-hal yang tertuang
dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 dan adanya sistem kontrol dari kementrian ESDM supaya
IUP yang keluar memenuhi semua persyaratan yang ada. Kedua, setiap pemberian izin oleh
pihak yang berwenang harus didata yang kemudian dilaporkan ke pemerintah pusat sehingga
tidak ada bias diantara kedua pihak terkait jumlah pemegang IUP yang ada di Indonesia.
Ketiga, Dirjen Pajak bersama dengan Kementerian ESDM membangun Sistem Pengelolaan
Pajak Minerba berbasis IT yang disertai dengan sistem monitoring dan evaluasinya. Sistem
berbasis IT ini terintegrasi secara real time dengan semua pihak terkait.

Kita harus mengupayakan agar pendapatan yang diterima negara sesuai dengan
potensi yang ada. Dirjen Pajak, Kementerian ESDM, dan KPK dapat bersinergis untuk
memberantas pihak-pihak yang belum membayar pajak ke pemerintah. Penerimaan negara
dari sektor pajak sangat penting dalam pemenuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) karena 70% pendapatan negara berasal dari pajak. APBN merupakan perwujudan
dari pengelolaan keuangan negara yang merupakan instrumen bagi Pemerintah untuk
mengatur pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan
pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan
nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas
pembangunan secara umum.

3.1 Kendala Optimalisasi Pajak Pertambangan : Eksternal dan Internal

Kendala dalam optimalisasi pajak pertambagan berasal dari faktor eksternal maupun
internal Dirjen Pajak. Faktor eksternal berupa modus-modus kecurangan yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan pertambangan untuk menghindari pajak. Beberapa modus
penghindaran pajak tambang, antara lain dengan penambangan di luar rencana tahunan,
transfer pricing, pengeluaran biaya perusahaan satu grup, kontrak derivative, pembayaran
bungan pinjaman, non deductable cost, dan depresiasi. Jumlah produksi tahunan mungkin
disetujui ESDM, tetapi adanya rencana percepatan pelunasan bunga dan hutang, menurut
perusahaan menambah produksi di luar rencana produksi tahunan. Modus ini mirip yang
terjadi pada perusahaan HPH yang melakukan penebangan kayu di luar jumlah tebang di
RKT (Rencana Kerja Tahunan).

Transfer pricing bisa menjadi modus lain. Dengan membuat anak perusahaan “papan
nama” di luar negeri, batu bara kalori tinggi dijual dengan harga batu bara kalori rendah.
Nantinya dari perusahaan afiliasi ini, batubara dijual ke end user dengan harga normal.
Modus paling banyak, dengan memperbesar biaya produksi kepada perusahaan afiliasi
dengan mengabaikan prinsip arm length transaction. Pelu dicermati biaya penggalian
tambang karena umumnya dialihdayakan (outsourcing) serta biaya transportasi (pengapalan)
hasil tambang kepada perusahaan pelayaran. Beberapa perusahaan tambang memiliki anak
perusahaan pelayaran dan kereta api, sehingga dari sini perlu diteliti kewajaran pembebanan
biaya.Untuk meminimalkan kerugian kurs, perusahaan membuat kontrak derivatif untuk
mengaman selisih kurs karena emisi surat utang, pembelian bahan baku, pembelian mesin
tambang dan kurs penjualan tambang. Suatu hal yang tidak lazim jika perusahaan tambang
dengan pendapatan dalam dollar atau valuta asing lainnya, banyak membuat kontrak derivatif
seperti hedging dan swap. Jika mengacu pada prinsip akuntansi perusahaan mungkin
mengalami kerugian kurs jika rupiah menguat, tetapi secara cash flow perusahaan tidak
mengalami kerugian apapun.Modus lainnya adalah penerbitan surat utang atau pengajuan
kredit menggunakan SPV (Special Purpose Vehicle) atau perusahaan papan nama di negara
yang membebaskan pajak (tax heaven country). Atas penerbitan surat utang ini, perusahaan
membayar fee kepada SPV tersebut. Padahal SPV tersebut masih ada afiliasi kepemilikkan
dengan pemegang saham perusahaan tambang. Pembayaran fee ini masih lebih
menguntungkan daripada membayar PPh Badan sebesar 25 persen. Pembayaran fee bisa juga
sebagai dividen terselubung.

Perbedaan penyusutan aset antara akuntansi dan pajak, menjadi modus pengecilan pajak.
Perusahaan yang sedang produktif bisa jadi akan membeli aktiva yang memiliki penyusutan
cukup besar seperti alat berat penambangan dan truk pengangkut. Dalam perhitungan pajak,
aktiva tersebut dapat disusutkan dalam waktu lebih cepat sehingga biaya menjadi besar dan
pajak penghasilan mengecil. Namun, dalam perhitungan akuntansi dengan penyusutan lebih
lambat, maka laba perusahaan tetap lebih besar daripada pendapatan kena pajak. Bisa juga
pembelian alat tambang itu hanya di atas kertas, tidak secara riil semata-mata memperbesar
depresiasi fiskal. Perlu disadari bahwa tidak semua biaya operasional penambangan ada bukti
pengeluarannya. Jika saja ada pengeluaran-pengeluaran tak resmi perusahaan tambang, maka
pengeluaran ini tidak bisa dibiayakan oleh perusahaan (non deductable cost) sebagai
pengurang penghasilan kena pajak.

Kenyataannya, uang tetap keluar, sehingga atas pengeluaran tak resmi tersebut kemudian
di-posting pada neraca perusahaan dengan pos biaya yang berbeda, yang penting bisa
menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Selain faktor eksternal tersebut diatas,
permasalahan-permasalahan yang dihadapi Dirjen Pajak juga menjadi kendala dalam
mengoptimalkan penerimaan pajak pertambangan, diantaranya sebagai berikut :
Pertama, penggalian potensi perpajakan tidak maksimal. Penggalian potensi tidak optimal
karena wajib pajak perusahaan migas dan pertambangan tersebar di banyak KPP, dimana
pertugas pada KPP tersebut tidak memiliki pemahaman yang sama terhadap isi Kontrak
Kerjasama Migas dan terhadap isi kontrak karya ataupun isi Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) bagi perusahaan tambang. Selain itu, tingkat pemahaman
para petugas pada masing-masing KPP itu tehadap Kegiatan Bisnis Migas dan Pertambangan
tidak sama dan tidak menyeluruh.
Kedua, pengawasan dan pelayanan kewajiban perpajakan tidak seragam. Pengawasab
dan pelayanan kewajiban perpajakan tidak seragam karena masing-masing KPP tidak
memahami ketentuan perpajakan yang seharusnya berlaku sesuai Kontrak Karya / PKP2B
bagi wajib pajak perusahaan tambang dan sesuai Kontrak Kerjasama bagi waib pajak KKKS
Migas. Akibatnya, pelaporan dan pengawasan kewajiban perpajakan tidak sama antara satu
KPP dengan KPP lainnya. Kini dengan beroperasinya KPP Migas dan KPP Pertambangan
maka pengawasan kewajiban formal dan material PP Cost Recovery bagi perusahaan migas
dapat ditingkatkan, pelaksanaan pemeriksaan terhadap wajib pajak KKKS Migas dan
Pertambangan dapat lebih diintensifikasikan, dan pelayanan untuk semua wajib pajak
perusahaan migas seragam, demikian pula pelayanan perpajakan untuk semua wajib pajak
perusahaan pertambangan pun sama. Tentu bukan hanya keseragaman, tetapi juga mutu
pelayanan bagi wajib pajak perusahaan migas dan perusahaan pertambangan akan terus
ditingkatkan oleh KPP Migas dan KPP Pertambangan. Ketiga, pengawasan oleh dan antar
instansi pemerintah (DJP, DJA, BPKP, BP Migas, dan KESDM) kurang terkoordinir.

Anda mungkin juga menyukai