Anda di halaman 1dari 7

TUGAS ILMU SOSIAL DASAR

BAB II TINJAUAN KEPERPUSTAKAAN

KELOMPOK 3 :
BAB II

TINJAUAN KEPERPUSTAKAAN

2.1 DEFINISI & PEMBAGIAN WILAYAH

A. Definisi Wilayah
1. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas
dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
dan/aspek fungsional.

2. Menurut ilmuwan
a. J. Hertson
Wilayah adalah komplek tanah, air, udara,
tumbuhan, hewan dan manusia dengan hubungan khusus
sebagai kebersamaan yang kelangsungannya mempunyai
karakter khusus dari permukaan bumi
b. Taylor
Wilayah dapat didefinisikan sebagai bagian dari
permukaan bumi yang berbeda dan ditunjukkan oleh
sifat-sifat yang berbeda dan ditunjukkan oleh sifat-sifat
yang berbeda dari lainnya

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa


wilayah adalah bagian atau daerah di permukaan bumi yang dibatasi oleh
kenampakan tertentu yang bersifat khas dan membedakan wilayah tersebut
dari wilayah lainnya. Misalnya, wilayah hutan berbeda dengan wilayah
pertanian, wilayah kota berbeda dengan wilayah perdesaan.
B. Pembagian Wilayah
1. Wilayah Formal (Formal Region)
Wilayah formal adalah suatu wilayah yang dicirikan
berdasarkan keseragaman atau homogenitas tertentu. Oleh
karena itu, wilayah formal sering pula disebut wilayah
seragam (uniform region). Homogenitas dari wilayah
formal dapat ditinjau berdasarkan kriteria fisik atau alam
ataupun kriteria sosial budaya.
Wilayah formal berdasarkan kriteria fisik
didasarkan pada kesamaan topografi, jenis batuan, iklim,
dan vegetasi. Misalnya, wilayah pegunungan kapur (karst),
wilayah beriklim dingin, dan wilayah vegetasi mangrove.
Adapun wilayah formal berdasarkan kriteria sosial budaya,
seperti wilayah suku Baduy, wilayah industri tekstil,
wilayah Kesultanan Yogyakarta, dan wilayah pertanian
sawah basah.

2. Wilayah Fungsional (Nodal Region)


Wilayah fungsional adalah wilayah yang dicirikan
oleh adanya kegiatan yang saling berhubungan antara
beberapa pusat kegiatan secara fungsional. Misalnya,
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi
(Jabodetabek) yang secara fisik memiliki kondisi yang
berbeda (heterogen) namun secara fungsional saling
berhubungan dalam memenuhi Kebutuhan hidup penduduk
di setiap wilayah.
Hubungan antar pusat kegiatan pada umumnya
dicirikan dengan adanya arus transportasi dan komunikasi
yang pada akhirnya menunjang pertumbuhan dan
perkembangan dari setiap wilayah tersebut.
Penggolongan wilayah secara garis besar terdiri dari lima bagian, yaitu
sebagai berikut.
1. Natural Region/Wilayah Alamiah atau Fisik adalah penggolongan
wilayah yang didasarkan kepada ketampakan yang sebagian besar
didominasi oleh objek-objek yang bersifat alami, seperti
penggolongan wilayah pertanian dan kehutanan.
2. Single Feature Region/Wilayah Ketampakan Tunggal adalah
penggolongan wilayah berdasarkan pada satu ketampakan, seperti
penggolongan wilayah berdasarkan vegetasi, hewan, atau iklim
saja.
3. Generic Region/Wilayah Berdasarkan Jenisnya adalah
penggolongan wilayah yang didasarkan kepada ketampakan jenis
atau tema tertentu, seperti di wilayah hutan hujan tropis (tropical
rain forest), yang ditonjolkan hanyalah salah satu jenis flora
tertentu di hutan tersebut, seperti flora anggrek.
4. Spesifik Region/Wilayah Spesifik atau Khusus adalah
penggolongan wilayah secara spesifik yang dicirikan dengan
kondisi geografis yang khas dalam hubungannya dengan letak, adat
istiadat, budaya, dan kependudukan secara umum, seperti wilayah
Asia tenggara, Eropa timur, dan Asia Barat Daya.
5. Factor Analysis Region/Wilayah Analisis Faktor adalah
penggolongan wilayah berdasarkan metoda statistik-deskriptif atau
dengan metoda statistik-analitik. Penentuan wilayah berdasarkan
analisis faktor terutama bertujuan untuk hal-hal yang bersifat
produktif, seperti penentuan wilayah yang cocok untuk tanaman
jagung dan kentang.

2.2 KEWILAYAHAN BADUY

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku


keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang
diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi
Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka,
Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas
bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan


pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara
sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan
pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda'
yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan
dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-
16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum
berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini
merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan
pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari
berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil
bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah
tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa
kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah
sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan
mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung
Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus
tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai
sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung
Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut
membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan
kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk
melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh
Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan


pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes
adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat
terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun
menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian
dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan
Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang
dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena
penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan
leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan
di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau
Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama
asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.

Untuk letak wilayah suku badui sendiri secara geografis terletak


pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT
(Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di
desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan
ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai
topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata
mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah
endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu
rata-rata 20 °C. Tiga desa utama orang Kanekes Dalam
adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Suku baduy di bagi menjadi beberapa wilayah yaitu:

1) Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang


berdomisili di Tiga Tangtu ( Kepuunan ) yakni Cibeo,
Cikeusik dan Cikertawana.

2) Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang


bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung
di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat
dibawah pimpinan Puun (kepala adat).

3) Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah


dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan
prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta
sudah tidak mengikuti Hukum adat.

Jalur Trekking pada suku Baduy:

1) Ciboleger – Baduy Luar Kaduketer (± 2 km = 1, 5 jam )

2) Baduy Luar Kaduketer – Baduy Dalam Cibeo (± 10,5 km =


3 jam)

3) Baduy Dalam Cibeo – Baduy Dalam Cikatarwana (± 1 km


= 30 menit) )

4) Baduy Dalam Cikatarwana – Cijahe (± 2 km = 1,5 jam )

Anda mungkin juga menyukai