Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI) hayat adalah hidup atau kehidupan. Jadi akhir hayat adalah akhir dari sebuah kehidupan atau kematian. Kematian merupakan ketiadaan hidup atau antonim dari hidup. Kematian tidaklah dipandang sebagai akhir keberadaan seseorang meskipun tubuh telah tiada namun jiwa diyakini masih terus hidup (Santrock, 2011). Menjelang ajal adalah bagian dari kehidupan, yang merupakan proses menuju akhir kehidupan atau kematian. Kematian adalah apabila seseorang tidak lagi teraba denyut nadinya, tidak bernafas selama beberapa menit, dan tidak menunjukkan beberapa reflek, serta tidak ada kegiatan otak. (Nugroho, 2008).
2. Tahapan Menjelang Kematian
Terdapat beberapa tahap menjelang kematian menurut Kubler-Ross dalam buku On Death and Dying (1969) dalam Santrock, 2011) membagi perilaku dan pikiran dari orang yang mendekati ajal ke dalam lima tahap, yaitu penolakan dan isolasi, kemarahan, tawar menawar, depresi, dan penerimaan. 1. Tahap Penyangkalan dan Isolasi. Tanggapan yang pertama ketika ada informasi bahwa penyakitnya tidak tersembuhkan adalah penyangkalan diri. Pasien menolak berita buruk mengenai kesehatannya,meragukan keakuratan hasil laboratorium, pemeriksaan dokter dan pemahaman atas data-data tentang dirinya. Penyangkalan ini mendorong untuk mencari ahli lain yang dipandang lebih mampu dengan harapan ada kesimpulan berbeda. Penyangkalan disertai kecemasan yang tinggi juga dapat terjadi jika penyampaian informasi tidak memperhitungkan kesiapan pasien. Menurut Elisabeth Kübler-Ross tahap penyangkalan juga menjadi bentuk mekanisme pertahanan diri yang sifatnya sementara, karena sesungguhnya pasien belum sepenuhnya mampu menerima kematiannya. Sikap untuk berdiam atau menutup diri juga mungkin muncul karena pasien kehilangan kepercayaan kepada pihak-pihak yang telah merawatnya. 2. Tahap Kemarahan. . Bila tahap pertama yang berupa penyangkalan tidak dapat mengubah apa-apa lagi, maka munculah perasaan marah. Pada tahap kemarahan ini, pasien berubah menjadi tidak bersahabat dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk kepada dokter, perawat, keluarga dan sahabat- sahabatnya. Menurut Elisabeth Kübler-Ross pasien mudah curiga dan tersinggung ketika ada yang berkunjung untuk menjenguknya. Apa pun yang dikerjakan bagi dirinya dianggap salah dan negatif. 3. Tahap Tawar Menawar. Menurut Elisabeth Kbüler-Ross, tawar-menawar merupakan usaha untuk menunda kematian. Bila pasien sudah menyadari tidak mampu lagi menghindari kenyataan yang sangat menyedihkan dan sikap marah tidak bisa mengubah keadaan, ia akan mengupayakan jalan damai dengan membuat suatu perjanjian yang dapat menunda kematiannya dan upaya untuk memperpanjang hidup. Keinginan-keinginan yang berbentuk perjanjian ini dilakukan karena memiliki rasa bersalah karena memiliki konflik relasi dengan orang lain atau tidak melakukan hal-hal baik dalam hidup sebelumnya. Perasaan bersalah ini perlu diatasi sehingga proses tawar-menawar tidak berkepanjangan. Pasien seperti layaknya seorang anak kecil yang memiliki pandangan kalau ia berbuat baik akan mendapat imbalan. Dalam hal ini imbalan yang diharapkan adalah penundaan kematian yang akan didapatkan kalau melakukan kebaikan-kebaikan, misalnya ikut kegiatan sosial, menyumbangkan organ tubuh, dan aktif dalam kegiatan rohani. Menurut Elisabeth Kübler- Ross proses tawar-menawar ini berlangsung hanya singkat, dan hampir semua pasien melakukannya secara pribadi kepada Tuhan. 4. Tahap Depresi. Elisabeth Kübler-Ross menyebutkan setelah tahap kemarahan akan akan muncul dua jenis depresi yaitu depresi reaktif dan depresi preparatory (persiapan). Pada jenis depresi reaktif, pasien sudah mengalami peristiwa kehilangan, misalnya pekerjaan, penghasilan, dan harta benda yang harus digunakan untuk biaya perawatan, demikian juga organ tubuh yang diangkat, sehingga merasa menjadi manusia yang tidak sempurna. Pada tahap ini pasien banyak mengungkapkan beban-bebannya dan memerlukan interaksi secara verbal. Dalam kondisi depresi persiapan, pasien sedang dalam proses kehilangan yang tidak dapat dielakkan, misalnya kehilangan keluarga dan sahabat yang dicintainya. Pada tahap ini, pasien membatasi minatnya pada orang lain dengan segala masalahnya, berharap bertemu dengan sesedikit mungkin orang dan melewati masa dukacitanya dengan diam-diam. Komunikasi yang terjadi lebih banyak secara nonverbal. Pasien membutuhkan sentuhan tangan, usapan rambut atau sekedar duduk bersama walau dalam situasi diam. Depresi akan berlangsung seiring dengan melemahnya fisik. 5. Tahap Penerimaan. Hasil penelitian Elisabeth Kübler-Ross menunjukkan bahwa pada tahap penerimaan terjadi kelelahan sehingga membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak. Seseorang yang berada pada tahap ini akan merenungkan akhir hidupnya dengan pengharapan tertentu, ia enggan diajak berbicara, dan tidak ingin memikirkan berita- berita dari luar. Menurut Elisabeth Kübler-Ross, tahap penerimaan perlu dibedakan dengan kebahagiaan. Pada saat itu terjadi kehampaan perasaan dan rasa sakit sudah mulai mereda. Pergumulan melawan rasa sakit tersebut juga sudah berhenti, dan pasien memasuki istirahat terakhir sebelum melakukan perjalanan panjang berikutnya. Pasien sudah menerima kenyataan bahwa ia akan meninggal. Seperti pada tahap depresi, komunikasi lebih banyak dilakukan secara non verbal dengan genggaman tangan dan duduk mendampingi sebagai suatu pesan bahwa ia merasa ada teman sampai akhir hidupnya. 3. Perawatan Menjelang Ajal Kebutuhan akan keperawatan menjelang ajal di rumah sakit meningkat seiring dengan peningkatan kejadian penyakit kronis (Todaro-Franceschi & Spellmann, 2012). Penyakit kronis berkembang dari penyakit tidak menular yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut profil WHO tahun 2011 menyebutkan bahwa tingkat kematian di indonesia mencapai 1.064.000 akibat penyakit kronis di rumah sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2012) Perawatan menjelang ajal menurut Higgs (2010) sebagai suatu istilah yang digunakan dalam penyebutan perawatan pasien dan keluarga dari aspek klinis sampai sistem dukungan saat pasien menghadapi kematian. Fokus perawatan yang diberikan pada fase menjelang ajal adalah End Of Life Care (Forero et al., 2012). End Of life care bertujuan agar pasien merasa bebas dari rasa nyeri, nyaman, dihargai, dihormati dan berada dalam kedamaian dan ketenangan serta merasa dekat dengan orang merawatnya (Aligood & Tomey, 2014). 4. Merawat Pasien Menjelang Ajal Penting bagi perawat yang merawat pasien yang menjelang ajal menyadari perasaan mereka sendiri tentang kematian dan tentang pasien mereka. Perawat perlu saling memberi kenyamanan dan mendukung dalam perawatan perawat terhadap orang yang menjelang ajal. 1. Meredakan nyeri orang yang menjelang ajal Pada pasien yang berada pada tahap akhir penyakit, penting untuk mengingatkan bahwa salah satu tujuan utama keperawatan adalah meredakan atau menghilangkan penderitaan. Berikut pedoman untuk meredakan atau menghilangkan penderitaan : a. Selalu percaya apa yang pasien katakan tentang nyeri mereka. Jangan pernah membuat keputusan perawat sendiri tentang seberapa nyeri yang mereka rasakan. b. Banyak pasien takut bahwa mereka akan meninggal dalam penderitaan yang dalam. Bersikap baik ketika orang mengekspresikan atau menunjukan rasa takut. Tenangkan mereka dan beritahu mereka bahwa perawat dapat merawat nyeri tersebut dan bahwa mereka tidak perlu merasa takut. c. Berikan dosis medikasi nyeri yang memberikan pengendalian nyeri paling besar dengan efek samping paling kecil. d. Berikut obat nyeri sepanjang siang dan malaam hari ( 24 jam ) untuk meyakinkan bahwa pasien mendapatkan peredaan nyeri yang cukup. e. Obat nyeri paling baik untuk pasien menjeang ajal adlah morfin. Dosis morfin dapat ditingkatkan sesuai dengan meningkatnya toleransi pasien dan menurunnya efektivitas obat. f. Memberikan beberapa obat secara bersamaan ( dalam kombinasi ) akan meningkatkan efektivitas obat. Misalnya, obat anti-inflamasi non-steroid meningkatkan keefektifan opioid seperti morfin. g. Gunakan rute paling sederhana untuk memberikan obat. Berikan peroral, secara pasien dapat menelan. Jika pasien tidak dapat menelan, bolus opiod berulang dapat diberikan dibawah kulit ( rute subkutan ). Rute intramuskular tidak seefektif rute subkutan. h. Gunakan cara lain untuk mengendalikan nyeri, termasuk masase, musik, dan memposisikan pasien dengan nyaman. Kadang bantalan panas atau botol air panas berguna untuk mengatasi. i. Adiksi terhadap medikasi tidak pernah menjadi masalah yang penting untuk pasien menjelang ajal. j. Penurunan pernapasan ( depresi pernapasan ) tidak penting untuk pasien menjelang ajal. 2. Pertahankan kenyamanan pasien a. Pasien mungkin menderita ketidaknyamanan lain sebagian karena medikasi nyeri. b. Bila pasien konstipasi, laktasif mungkin membantu. Juga dorong pasien untuk minum jus buah. c. Sebanyak mungkin, beri pasien diet tinggi kalori dan tinggi vitamin. Jangan memaksa pasien untuk makan. Pasien harus makan hanya makanan yang ia ingin makan. d. Dorong pasien untuk meminum cairan. e. Pertahankan pasien bersih; mandikan dengan sering, beri perawatan bila mulut kering, danbersihkankelopak mata bila ada sekresi. f. Bantu pasien turun dari tempat tidur dan duduk dikursi bila ia mampu jika tidak ganti posisi setiap 2 jam dan coba untuk mempertahankan pasien pada posisi apapun yang paling nyaman g. Jika pasien mengalami kesulitan bernapas bantu ia duduk h. Jika jalan napas tersumbat anda mungkin perlu untuk mengisap tenggorok pasien i. Jika pasien merasa napas pendek atau kekurangan udara berikan oksigen. j. Bahkan ketika pasien hampir meninggal,mereka dapat mendengar sehingga jangan bicara dengan berisik. Bicara dengan jelas. Pasien juga masih merasakan sentuhan Anda. 3. Bagaimana membantu pasien dengan damai Penting menanyakan kepada pasien dan keluarganya apakah pasien ingin tinggal di Rumah Sakit atau pulang untuk hari terakhirnya. Bila pasien ingin pulang ajarkan keluarga bagaimana merawat pasien. Terutama cara memberikan obat untuk nyeri dalam dosis dan waktu yang tepat. Juga jelaskan pada keluarga bagaimana cara membuat pasien merasa nyaman. Bila pasien tinggal di Rumah Sakit, cobalah untuk sebanyak mungkin apa yang di inginkan pasien dan keluarga. Penting untuk memberikan kenyamanan fisik dan untuk membuat pasien merasa nyaman sampai tenang terhadap rasa takut dan memberi pasien harapan. Dengan membuat pasien merasa nyaman dan terlindungi dengan menujukkan bahwa ia akan dirawat dan tidak akan ditinggalkan sendiri. Berikan harapan, jangan memberikan keyakinan palsu. Berikan target yang lebih kecil.cara tentang, atau anjurkan bahwa pasien dapat berharap tentang kebaikan dimasa yang akan datang atau mengingatkan ia bahwa anak-anak nya akan segera berkunjung bila pasien memiliki urusan yang belum selesai, berikan bantuan apa yang ia lakukan. Pasien mungkin perlu bantuan dalam mengatur anak-anak atau rumahnya. Berikan perawatan spiritual bila pasien menginginkan, atau bicara pada keluarga untuk memanggil rohaniawan berkunjung. Ketika kematian mendekat, biarkan mereka mengetahui sehingga keluarga dapat bersama pasien ketika kematian itu datang. 5. Peran Perawat Dalam Mempersiapkan Pasien Menjelang Ajal a. Perawat Sebagai Pemberi Bimbingan Spiritual Bimbingan spiritual yang dimaksudkan adalah bimbingan rohani dengan membacakan doa-doa sesuai dengan agama pasien. Sejalan dengan pendapat Kozier, dkk. (2010), bahwa perawat memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kebutuhan spiritual pasien diberikan baik melalui intervensi langsung ataupun dengan mengatur akses terhadap individu yang dapat memberikan perawatan spiritual. b. Perawat Sebagai Komunikator Perawat sebagai komunikator dilakukan baik terhadap pasien, keluarga maupun terhadap dokter. Perawat berkomunikasi dengan keluarga pasien untuk menjelaskan kondisi pasien dan memberikan dukungan emosional. Penelitian Kozier, dkk. (2010) mengungkapkan bahwa salah satu aspek terpenting dalam menyediakan dukungan untuk anggota keluarga dari pasien yang menjelang ajal adalah melibatkan penggunaan komunikasi terapeutik yang dapat dilakukan dalam memfasilitasi ekspresi perasaan mereka. c. Peran Sebagai Fasilitator Salah satu bentuk peran sebagai fasilitator adalah perawat memberikan waktu kunjungan yang lebih lama bagi keluarga pasien menjelang ajal sehingga pasien dan keluarganya memiliki lebih banyak kebersamaan. Ruangan NCCU menetapkan waktu kunjungan keluarga pada jam-jam tertentu sehingga keluarga tidak bisa setiap saat berada disamping pasien namun perawat dapat memfasilitasi untuk kebersamaan keluarga dan pasien menjelang ajal. Didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Calvin, Lindy, dan Clingon (2009), yang menyatakan bahwa perawat berusaha menghadirkan keluarga untuk mempersiapkan keluarga menerima kematian pasien karena sulit bagi keluarga untuk menerima kondisi pasien. Penelitian lain menyebutkan bahwa menyedihkan apabila membiarkan pasien meninggal dalam keadaan tanpa didampingi oleh keluarga. Peran perawat apabila pasien tidak mempunyai keluarga adalah perawat harus berperan untuk mendampingi pasien (Fridh, Forsberg, & Bergbom, 2009). d. Perawat sebagai motivator Perawat juga berperan dalam memberikan dukungan kepada keluarga pasien yang menjelang ajal. Sejalan dengan penelitian Wright, Bourbonnais, Brajtman, Gagnon (2011), menggambarkan bahwa kepuasan yang didapatkan perawat perawatan kritis pada saat merawat pasien dan keluarga dalam perawatan akhir hidup adalah dengan hadir mendampingi keluarga dan memberikan dukungan melewati fase tersebut. .