Anda di halaman 1dari 15

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES AL- IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP


2017/2018

A. Pengertian
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran empedu
(duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu empedu bisa terdapat pada
kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra hepatik. Bila
terletak di dalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam
saluran empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedang bila
terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik disebelah proksimal duktus hepatikus kanan
dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut dengan
kolelitiasis.

B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi dengan
atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut
antara lain:

1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria.
Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol
oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan
resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan
kandung empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin, diabetes militus tipe II,
hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan
merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan batu empedu kolesterol.
4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang bisa meningkatkan
kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis), puasa berkepanjangan, atau
pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat badan yang berhubungan
dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung).
Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu, serta meningkatkan kehilangan
garam empedu ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat meningkatkan
risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik meningkatkan pengeluaran
kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu
kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan
mengurangi pengosongan kantung empedu.
6. Diet
Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam desoksikolat) dalam
empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat dalam bentuk murni meningkatkan
saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah turun temurun,
seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal.
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada pembentukan batu
dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mucus. Mukus meningkatkan viskositas
dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau kehilangan garam
empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat kolesterol, penurunan garam
pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
10. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin
disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
11. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk
terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

C. Manifestasi Klinik
1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah
asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar mempunyai batu asimtomatik, akan
merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi
secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala
gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan
pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis gejala, yaitu
gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri dan gejala yang terjadi
akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis.
Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran
kanan atas abdomen dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan
akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen.
Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri
pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60
menit setelah makan, berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya
disertai dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah
memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini
cenderung meningkat frekuansi dan intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan
gelisah karena tidak mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa
nyeri bukan bersifat kolik melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat
mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian
fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan
dan sepuluh bagian kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada
kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat pengembangan
rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga membutuhkan preparat
analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin dianggap dapat meningkatkan spasme
spingter oddi sehingga perlu dihindari.
3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan presentase yang kecil
dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam
duodenum akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke
duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran
mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada
kulit.
4. Perubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi
diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-
colored”.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu,
pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama.
Defisiensi vitamin K dapat mengganggu proses pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung empedu akan
mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika
batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses,
nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata.

D. Patofisiologi
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak kearea lain dari sistem
empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau pengisian kandung empedu batu dapat
pindah dan terjebak dalam leher kandung empedu. Selain leher cysticduct (saluran cyste), atau
saluran empedu menyebabkan bebuntuan. Ketika empedu tidak bias mengalir dari kandung
empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal dari batu empedu menyebabkan radang batu empedu
(cholecystitis)
Faktor yang mendukung :
1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu
2. Pengeluaran empedu yang berkurang
3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun
4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada kandung empedu

E. Pathway

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan
laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma
mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang
setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar
protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit kandung empedu
dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun demikian, hanya 15-20% batu empedu
yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

Gambar 3: hasil sinar-x pada kolelitiasis


3. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15%
batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan
empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan
kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa
jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura
hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab nilai
diagnostiknya rendah.

Gambar 4: Hasil foto polos abdomen pada kolelitiasis

4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik pilihan karena
pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat digunakan pada prndrita
disfungsi hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi
ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound
berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu
kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG
juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum
rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan pilihan pertama
untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada
US yaitu dengan acoustic shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun
demikian, manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang mencakup
119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%, spesifisitas 94%. Kekurangan US
dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak
sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka
melebar pada sejumlah kasus BSE.

Gambar 5: hasil USG pada kolelitiasis

5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk penderita tertentu,
kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk
melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat
digunakan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras
yang mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu
diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika
terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal
pada keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi
pilorus, ada reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan
dibandingkan ultrasonografi.

Gambar 6: Hasil pemeriksaan kolesistografi

6. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)


Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada
saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke
dalam esophagus hingga mencapai duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam
duktus koledokus dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga
memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus
bagian distal untuk mengambil batu empedu.

Gambar 7: hasil ERCP pada kolelitiasis

7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)


Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung ke dalam
percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan relative besar, maka semua
komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan
panjang doktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya
dengan jelas.
8. Computed Tomografi (CT)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya batu empedu,
pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal
dibanding US.

Gambar 8: Hasil CT pada kolelitiasis

9. Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP)

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut nyeri kandung
empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan jika memungkinkan, untuk
menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi, prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi
pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus,
pengisapan nasogastric, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut
mereda dan evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin
memburuk.
b. Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak mengalami kegemukan.
Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier, sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari.
Dosis harus ditingkatkan bertahap yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian
asam kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya 8-10 mg/kg/hari,
dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami kegemukan. Asam ursodeoksikolat
melarutkan sekitar 30% batu radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan
asam kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada.
Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5 mg/kg/hari asam
kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk) telah digunakan untuk
mmelarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol.
Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan
dapat diberikan dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme
kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi
getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu
yang baru dicegah pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12
bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien dipantau. Dosis yang
efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini dilakukan pada pasien yang menolak terapi
pembedahan atau dianggap terlalu beresiko untuk menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien sesudah terapi
dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis rendah dapat dilanjutkan untuk
mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut kolesistisis berlanjut atau timbul kembali,
intervensi bedah atau litotropis merupakan indikasi.

c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan


Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu
bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu.
Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke
dalam kandung empedu, atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk
melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui endoskop
ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang
kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan pada batu empedu di dalam kandung
empedu atau duktus koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah
fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik,
atau muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman air atau
kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu
empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak
spontan dari kandung empedu atau duktus koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau
dilarutkan dengan pelarut asam empedu yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus koledokus dapat
dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang
dipasang pada endoscop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris
dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.

2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik.
Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris, terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien.
Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini,
yaitu kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera dalam pasien
dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang sama. Jika tidak ada bukti
kemajuan setelah 24 jam penanganan medis, atau jika ada tanda-tanda penurunan klinis, maka
kolesistektomi darurat harus dipertimbangkan.
b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka insisi selebar 4cm.
Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk mengeluarkan batu kandung empedu yang
berukuran lebih besar. Drain mungkin dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya
yang ringan dan waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk
penanganan ini.
c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya kolesistisis akut. Karena
semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai untuk melakukan prosedur ini dalam
pasien dengan kolesistisis akut dan dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara
toritis dari prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi perawatan di
rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa kembali bekerja, nyeri menurun,
dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang
mungkin terjadi lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin
merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva pelatihan yang
berkaitan dengan modalitas baru.
d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang lebih luas, atau bila
reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas. Kndung empedu dibuka melalui
pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter
untuk drainase diikat dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu
dihubungkan dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar kateter
atau perembesan getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut,
pasien dapat kembali lagi untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah
kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang
disebabkan oleh proses penyakit pasien yang mendasarinya.
e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan diagnosis kolesistisis akut
pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani tindakan pembedahan atau anastesi umum.
Pasie-pasien ini mencakup para penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien
gagal ginjal, paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus ditusukkan
lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu dengan dipandu oleh USG atau
pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat,
dan kemudian sebuah kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut untuk dekompresasi
saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta
tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi berkurang atau menghilang dengan segera.
f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu. Setelah
batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah
empedu sampai edema mereda. Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung
empedu biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan bersama-sama
kolesistektomi.
H. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/menghasilkan
kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dna
dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi
duktus sistikus secara menetap makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka
mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-
alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh
atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat
membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang
berakibat terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung
empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau
kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat
terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa penjelasan
tentang komplikasi kolelitiasis:
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi
lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat peradangan akut dan sindrom yang berkaitan
dengannya, tetapi ada bukti peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu
berdinding tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh efek
massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat menyebabkan kolesistisi akut.
2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak dalam
kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan
fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang
memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian
dapat terjadi supurasi. Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.
a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis supuratif, kandung
empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik, demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
b. Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan perforasi. Batu empedu
yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi
bias memberika titik lemah bagi ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan
bagian vesica biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas peritonialis
bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya perlekatan dengan organ-organ yang
berdekatan dengan pembentukan abses local. Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan
fistula saluran empedu.

c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah. Karena efek iritan
garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada dinding organ di dekatnya
seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum, dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ
tersebut karena tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya
terjadi fitsel antara kandung empedu dan organ-organ tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi. Penyebab utama dari
infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54% disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39%
oleh Escherchia, serta 25% oleh organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena
infeksi akan berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi dengan
diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran pankreas. Ini disebebkan
karena batu yang berada di dalam duktus koledokus bergerak menutupi ampula vetri.
I. Rencana Asuhan Keperawatan
Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik untuk merencanakan
dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase berikut yaitu pengkajian, identifikasi
masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien
tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi penanggung jawab klien
selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan
dengan klien dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian. Biasanya keluhan
utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan atas.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif atau provokatif
(P) yaitu fokus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan
oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana
yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien
merasakan nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu
3) Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat sebelumnya.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis.
c. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
1) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi peningkatan frekuensi
pernapasan sebagai kompensasi.
2) B2-Blood
3) Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.
4) B3-Brain
-
5) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
6) B5-Bowel
7) Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris sehingga pigmen empedu
tidak dibuang melalui feses.
8) B6-Bone
-

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu
b. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d Ketidakmampuan Pemasukan
Nutrisi
c. Mual b.d Iritasi Lambung
d. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan Aktif
e. Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri
f. Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri
g. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri
h. Ansietas b.d Ancaman Kematian
i. Kerusakan Integritas Kulit b.d Faktor mekanik
j. Risiko Perdarahan
k. Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif
3. Prioritas Diagnosa
No Priorotas
Diagnosa
1
Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu.
2
Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri
3
Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan Aktif
4
Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d Ketidakmampuan Menelan Makanan
5
Mual b.d Iritasi Lambung
6
Ansietas b.d Ancaman Kematian
7
Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri
8
Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri
9
Kerusakan Integritas Kulit
10
Risiko Perdarahan
11
Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif
4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
NIC
NOC
Nyeri akut
Penatalaksanaan Nyeri : meringankan atau mengurangi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang
dapat diterima oleh pasien.
1. Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan/durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.
2. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (misalnya, umpan balik biologis, transcutaneous
electrical nerve stimulation (TENS), hipnosis, relaksasi, imajinasi terbimbing, terapi musik, distraksi,
terapi bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat/dingin, dan masase) sebelum, setelah
dan jika memungkinkan, selama aktivitas yang menyakitkan; sebelum nyeri terjasi atau meningkat;
dan selama penggunaan tindakan pengurangan nyeri yang lain.
3. Kelola nyeri pascaoperasi awal dengan pemberian opiat yang terjadwal (misalnya, setiap 4 jam
atau 36 jam) atau PCA.
4. Berikan perubahan posisi, masase punggung, dan relaksasi.

Nyeri: Efek Merusak : efek merusak dari nyeri terhadap emosi dan perilaku yang diamati atau
dilaporkan.
Dibuktikan dengan indikator berikut :
1. Pasien akan melapor bahwa nyeri akan hilang (4)
2. Pasien akan menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai
indikasi untuk situasi individual (4)
3. Penurunan penampilan peran atau hubungan interpersonal (4)
4. Gangguan kerja, kepuasan hidup atau kemampuan untuk mengendalikan (4)
Ketidakefektifan Pola Nafas

Pengelolaan jalan nafas: Fasilitasi untuk kepatenan jalan nafas.


1. Pantau kecepatan,irama, kedalaman dan usaha respirasi.
2. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang tehnik relaksasi untuk meningkatkan pola
pernafasan
3. Berikan obat nyeri untuk pengoptimalan pola pernafasan.
4. Posisikan pasien untuk mengoptimalkan pernafasan.
Status Respirasi: Pergerakan udara ke dalam dan ke luar paru-paru.
ditandai dengan indikator:
1. Kedalaman inspirasi dan kemudahan bernafas (3)
2. Tidak ada otot bantu (3)
3. Bunyi nafas tambahan tidak ada (3)
4. Nafas pendek tidak ada (3)
Kekurangan volume cairan
Pengelolaan Cairan: Peningkatan keseimbangan cairan dan pencegahan komplikasi akibat kadar
cairan yang tidak normal atau tidak diinginkan.
Aktivitas:
1. Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan (misalnya, kadar
hematokrit, BUN, albumin, protein total, osmolalitas serum, dan berat jenis urine).
2. Anjurkan pasien untuk menginformasikan perawat bila haus.
3. Berikan ketentuan penggantian nasogastrik berdasarkan haluaran, sesuai dengan kebutuhan.
4. Pasang kateter urine, bila perlu.
Keseimbangan Elektrolit dan Asam-Basa: Keseimbangan elektrolit dan nonelektrolit dalam ruang
intrasel dan ekstrasel tubuh.
Ditunjukkan dengan indikator:
1. Elektrolit serum (misalnya, natrium, kaliun, kalsium, dan magnesium) dalam batas normal (4).
2. Serum dan pH urine dalam batas normal (4).
3. Tidak memiliki konsentrasi urine yang berlebihan. BJ urine normal: 1003-1030
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Pengelolaan Nutrisi : Bantuan atau pemberian asupan diet makanan dan cairan yang seimbang.
1. Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
2. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
3. Tentukan—dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, secara tepat—jumlah kalori dan
jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (khususnya untuk pasien dengan
kebutuhan energi tinggi, seperti pasien pascoperasi dna luka bakar, trauma, demam, dan luka).
4. Berikan pasien minuman dan camilan bergizi, tinggi protein, tinggi kalori yang siap dikonsumsi,
bila memungkinkan.
Status Gizi: Nilai Gizi : Keadekuatan zat gizi yang dikonsumsi tubuh.
Dibuktikan dengan indikator berikut :
1. Asupan mkanan dan cairan oral (4)
2. Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal (4)
3. Melaporkan keadekuatan tingkat energi (4)
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus


Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni
Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2009-2011. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Schwartz, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC
Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Gastrointestinal.
Jakarta: Trans Info Media
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria
Hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai