SKRIPSI
OLEH:
DANNI GINTING
050305048/THP
SKRIPSI
OLEH:
DANNI GINTING
050305048/THP
Disetujui Oleh,
Komisi Pembimbing :
Mengetahui,
ABSTRACT
The aim of this research was to find the effect of the ratio of cocoa powder
with palm oil and temperature on the quality of cacao jam. This study was conducted
using compeletly randomized design (CDR) with two factor i.e : the ratio of cocoa
powder with palm oil (K1 = 40 g : 22 g, K2 = 38 g : 24 g, K3 = 36 g : 26 g, K4 = 34 g :
28 g) and temperature (P1 = 50 oC, P2 = 55 oC, P3 = 60 oC, P4 = 65 oC). Parameters
analyzed were water content, ash content, fat content, spreadness value and
organoleptic values of colour, flavor and taste.
The result showed that the ratio of cocoa powder with palm oil had highly
significant effect on all parameters except on water content. Temperature had highly
significant effect on all parameters except on water content and organoleptic values
of colour. The interaction of the ratio of cocoa powder with palm oil and temperature
had no significant effect on all parameters. The ratio of cocoa powder with with palm
oil of 36 g : 26 g at 60 oC produced the best and more acceptable quality of cocoa
jam.
Key word : cocoa jam, the ratio of cocoa powder with palm oil, temperature.
RIWAYAT HIDUP
20 Desember 1986. Anak kedua dari empat bersaudara dari Bapak Arihta Ginting
Pada tahun 1999 lulus dari SD Negeri 122394 Pematang Siantar, pada
tahun 2002 lulus dari SLTP Negeri 2 Pematang Siantar dan pada tahun 2005 lulus
dari SMA Negeri 1 Pematang Siantar. Pada tahun 2005 diterima di Fakultas
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan augerah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat
pada waktunya.
Pemanasan terhadap Mutu Selai Cokelat” disusun sebagai salah satu syarat
pembimbing Bapak Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, MAppSc selaku ketua komisi
pembimbing dan Ibu Mimi Nurminah, STP. M.Si selaku anggota komisi
pembimbing, atas arahan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama
penulis, Bapak Arihta Ginting dan Ibu Christine br. Sinaga, juga kepada saudara-
saudara saya; abang Andi K J. Ginting, adik saya Ersada A Ginting dan Maria
Marissa Ginting dan kepada seluruh kerabat yang telah memberikan doa, kasih
sayang, nasehat dan semangat kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf pengajar terkhusus kepada ibu
Dr. Ir. Herla Rusmarilin, MS atas semua nasehat dan bantuannya kepada penulis,
kepada semua pegawai tata usaha di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Albert, Nehemia, Janner dan Alex atas bantuan dan motivasinya, kepada
teman-teman Priuk 37 klan, dan juga kepada Endaiyana Libertyta br. Purba atas
Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan
Penulis
DAFTAR ISI
Hal
ABSTRACT ............................................................................................... i
ABSTRAK .................................................................................................. i
PENDAHULUAN
Latar Belakang ..................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................ 3
Kegunaan Penelitian ............................................................................ 3
Hipotesis Penelitian ............................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Cokelat ................................................................................. 4
Tepung Cokelat ................................................................................... 7
Komponen dan Manfaat Minyak Sawit ................................................ 9
Spesifikasi Minyak Sawit ....................................................................... 10
Deskripsi Selai Cokelat ....................................................................... 11
Bahan yang Ditambahkan dalam Pembuatan Selai Cokelat
Gula pasir ................................................................................... 12
Garam ........................................................................................ 13
Natrium benzoat ......................................................................... 13
Lesitin ........................................................................................ 14
Susu bubuk ................................................................................. 15
LAMPIRAN ................................................................................................... 56
DAFTAR TABEL
No Judul Hal
No Judul Hal
x
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Hal
ABSTRACT
The aim of this research was to find the effect of the ratio of cocoa powder
with palm oil and temperature on the quality of cacao jam. This study was conducted
using compeletly randomized design (CDR) with two factor i.e : the ratio of cocoa
powder with palm oil (K1 = 40 g : 22 g, K2 = 38 g : 24 g, K3 = 36 g : 26 g, K4 = 34 g :
28 g) and temperature (P1 = 50 oC, P2 = 55 oC, P3 = 60 oC, P4 = 65 oC). Parameters
analyzed were water content, ash content, fat content, spreadness value and
organoleptic values of colour, flavor and taste.
The result showed that the ratio of cocoa powder with palm oil had highly
significant effect on all parameters except on water content. Temperature had highly
significant effect on all parameters except on water content and organoleptic values
of colour. The interaction of the ratio of cocoa powder with palm oil and temperature
had no significant effect on all parameters. The ratio of cocoa powder with with palm
oil of 36 g : 26 g at 60 oC produced the best and more acceptable quality of cocoa
jam.
Key word : cocoa jam, the ratio of cocoa powder with palm oil, temperature.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada abad modern hampir semua orang mengenal cokelat yang merupakan
bahan makanan yang banyak digemari masyarakat, terutama bagi anak-anak dan
remaja. Salah satu keunikan dan keunggulan makanan dari bahan cokelat adalah
kandungan lemak cokelat yang dapat mencair dan meleleh pada suhu tubuh.
Bahan makanan dari cokelat juga mengandung gizi yang tinggi karena di
dalamnya terdapat protein dan lemak serta unsur-unsur penting lainnya. Faktor
dibentuk menjadi berbagai jenis makanan seperti es krim (ice cream), toffee,
kakao di Indonesia mencapai 1,54 juta hektar dan menghasilkan 964 ribu ton biji
kakao kering. Perkebunan rakyat mendominasi budi daya kakao nasional, di mana
lebih dari 90 % dari taksiran total luasan pertanaman dan produksi biji kakao
berasal dari kebun yang diusahakan oleh rakyat Sasaran pengembangan kakao
perkebunan.
pembuat kue dan pengoles roti (selai). Di samping itu, ada produk antara yaitu
produk setengah jadi yang kurang dikenal masyarakat, misalnya lemak cokelat
(cocoa butter) yang umumnya digunakan oleh industri farmasi dan kosmetika
1
(sebagai bahan dasar pembuat lipstik). Produk cokelat dihasilkan melalui tahapan
cokelat, whey powder, susu full cream, lesitin, dan antioksidan. Jenis minyak yang
Benua Eropa bahkan mengonsumsi sebanyak 30% dari total produksi sawit atau
Dari sisi ekonomi, biaya yang dibutuhkan untuk produksi CPO juga jauh
lebih murah daripada tanaman pesaing lainnya. Untuk menghasilkan satu ton CPO
di lahan seluas satu hektar hanya memerlukan biaya sebesar 250 US Dolar.
Sementara minyak kedelai memerlukan investasi senilai 380 US Dolar per ton per
hektar, dan minyak lobak butuh 370 US Dolar. Karena itu tidak heran jika harga
digunakan sebagai pengikat agar komponen diantara bahan makanan padat yang
digunakan dapat menyatu dan juga sebagai pengental sehingga selai cokelat yang
sawit juga bertujuan untuk mengurangi jumlah penggunaan tepung cokelat dimana
pada penelitian ini jumlah tepung cokelat yang digunakan dikurangi dengan
biasanya berkisar antara 50 - 60o C, di mana pada suhu ini proses fat blooming
dapat dicegah karena pada suhu tersebut minyak sawit yang digunakan sudah
mulai panas dan lemak yang terkandung mencair sehingga minyak tersebut dapat
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Sebagai sumber informasi pada pembuatan selai cokelat yang baik dan
sebagai sumber data dalam penyusunan skripsi di Program Studi Teknologi Hasil
Hipotesa Penelitian
pemanasan memberi pengaruh terhadap mutu selai cokelat dan diduga interaksi
antara perbandingan konsentrasi tepung cokelat dan minyak sawit dengan suhu
Theobroma cacao adalah nama biologi yang diberikan pada pohon kakao
oleh Linnaeus pada tahun 1753. Tempat alamiah dari genus Theobroma adalah di
bagian hutan tropis dengan banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan
teduh. Dalam kondisi seperti ini Theobroma cacao jarang berbuah dan hanya
pohon-pohon yang tinggi. Habitat seperti itu masih dipertahankan dalam budi
naungan sejak tanam sampai umur 2 - 3 tahun. Tanaman muda yang kurang
naungan pertumbuhannya akan terlambat. Tanaman ini juga tidak tahan angin
Tanaman kakao terdiri dari 2 (dua) tipe yang dibedakan berdasarkan atas
warna bijinya, warna putih termasuk ke dalam grup Criollo, sedangkan biji ungu
termasuk grup Forastero. Walaupun spesies tanaman yang ada cukup banyak,
a. Criello :
b. Forastero :
1. Forastero Amazone
4
2. Trinitario (merupakan hibrid Criollo dan Forastero)
(Nasution, 1976).
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Malvales
Famili : Sterculiaceae
Genus : Theobroma
(Poedjiwidodo, 1996).
22 jenis dalam genus Theobroma yang diusahakan secara komersial. Tanaman ini
sinar matahari, tinggi suhu, kelembaban udara, menahan angin, menambah unsur
hara dan organik, menekan tumbuhan gulma, dan memperbaiki struktur tanah.
Intensitas sinar matahari untuk tanaman muda yang berumur 12 - 18 bulan sekitar
Kakao dibawa oleh orang Spanyol ke Indonesia sekitar tahun 1560 melalui
Filipina ke daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Di daerah itu kakao ditanam sebagai
tanaman campuran di pekarangan, dan baru dikembangkan secara luas pada tahun
1820. Pada tahun 1845 tanaman ini terserang penggerek buah kakao (PBK) dan
karena ditanam tanpa naungan maka umur tanaman hanya mencapai 12 tahun
(Poedjiwidodo, 1996).
dan Granada. Dari tipe Trinitario inilah maka dikembangkan sebagai klon,
ini, maka perkebunan di Jawa Tengah kini berkembang sampai ke Jawa Timur,
penghasil kakao mulia (fine cacao). Pada biji kakao jenis ini tidak ditemukan
pigmen ungu, setelah difermentasi dan dikeringkan, biji berwarna cokelat muda,
dan bila disangrai memberi aroma yang kuat. Jenis Forastero dikenal sebagai
penghasil biji kakao lindak (bulk cacao) atau kakao curah. Biji buah segar
berwarna cokelat tua dan bila disangrai aromanya kurang kuat bila dibandingkan
sifatnya yang khas, yaitu : (1) biji kakao mengandung lemak yang cukup tinggi
(55 %), di mana lemaknya mempunyai sifat yang unik yaitu membeku pada suhu
kamar, akan tetapi mencair pada suhu tubuh, (2) bagian padatan biji kakao
sifat biji kakao tersebut, yang umumnya berupa bubuk cokelat (cocoa powder)
atau lemak cokelat (cocoa butter). Kedua produk ini terutama lemak cokelat
adalah bahan yang sangat diperlukan pada industri makanan, farmasi, dan
flavor kakao dapat dikombinasikan dengan flavor lain yang kurang enak
memiliki efek fisiologi tubuh manusia yaitu aphrodisial (rasa senang). Selain itu
juga mengandung Flavanoid apicatelin dan asam galat yang dapat mencegah
penyakit jantung dan memiliki aktivitas anti oksidan sehingga dapat mencegah
oksidasi LDL, sebagai anti karsinogen kandungan asam palmitat yang diserap
sangat lambat, asam stearat dan asam oleat dibuktikan tidak dapat meninggikan
Tepung Cokelat
bahwa yang dimaksud dengan tepung cokelat adalah produk dari tanaman cokelat
berbentuk bubuk yang diperoleh dari kakao massa setelah dihilangkan sebagian
penambahan suatu bahan alkalis yang sesuai dengan biji cokelat dengan tujuan
cokelat berbeda-beda misalnya intensitas cocoa flavor, rasa pahit, astringent dan
keasaman. Acidifikasi biji cokelat oleh asam asetat selama fermentasi berlangsung
berkurangnya polifenol terlarut dan pada tahap ini juga terjadi pengurangan/
cokelat dengan adanya reaksi Maillard, karamelisasi gula, degradasi protein dan
pasta cokelat dan pasta cokelat dipres untuk membuat lemak dan bungkil kakao.
Kemudian bungkil kakao digiling dan diayak sehingga dihasilkan bubuk cokelat.
(Janner, 2010).
Tepung cokelat dari biji yang difermentasi termasuk tepung natural yang
memberikan warna cenderung lebih terang daripada tepung cokelat dari biji non
fermentasi. Tepung cokelat natural cocok digunakan dalam industri roti dan
sehingga tidak mengandung kolesterol. Filma mengandung asam lemak tak jenuh,
Omega 9 dan Omega 6. Asam lemak tak jenuh dapat membantu menjaga kadar
diperlukan tubuh. Filma berwarna kuning keemasan berasal dari kandungan Beta
Karoten alami (Pro Vitamin A). Filma diproses dari buah sawit segar pilihan
dengan Sistem Pemurnian Terintegrasi Penuh sehingga menghasilkan minyak
Minyak kelapa sawit mempunyai prospek yang lebih baik dari minyak
nabati lain pada masa mendatang karena beberapa faktor antara lain :
nabati lainnya.
bunga matahari.
4. Produk oleokimia yang berbahan baku minyak sawit lebih aman, karena
sifat dasarnya yang dapat dimakan dan ramah terhadap lingkungan dan
(Wikipedia, 2008).
minyak itu bermutu baik atau tidak, adapun spesifikasi pada minyak Sawit antara
%AKG
Kolesterol 0mg 0%
Protein 0mg 0%
Karbohidrat 0g 0%
Natrium 0g 0%
Vitamin E >50%
setengah padat yang dibuat kurang dari 45% dari bagian berat zat penyusun sari
buah dan 55% dari bagian berat gula. Campuran ini dikentalkan sampai mencapai
kadar zat padat terlarut tidak kurang dari 65%. Zat warna dan cita rasa dapat
Selai atau jam adalah makanan setengah padat yang dibuat dari
buah-buahan ataupun produk olahan lain seperti lemak kacang untuk selai kacang,
mentega cokelat dan tepung cokelat untuk pembuatan selai cokelat, campuran ini
yang akan ditambahkan dengan gula pasir, yang menghasilkan kandungan total
padatan minimal 65%. Syarat selai yang baik adalah mudah dioleskan dan
cokelat, whey powder, susu full cream, lesitin, dan antioksidan. Jenis minyak yang
biasa digunakan dalam pembuatan selai cokelat adalah minyak sawit. Minyak
40% asam palmitat, 38 - 40% oleat dan 6 - 10% asam linolenat serta kandungan
samping itu keunggulan minyak sawit sebagai minyak makan adalah tidak perlu
(deep frying fat), trans-fatty acid rendah, dan unit cost murah. Klaim produk
minyak sawit sebagai produk sehat telah banyak dilakukan penelitian mendasar,
jenuhnya (palmitat) juga tinggi yaitu 40%. Namun, asam palmitat yang ada dalam
minyak sawit mempunyai nilai positif karena dapat menurunkan kolesterol LDL
(Muchtadi, 2000).
Gula pasir
Penambahan gula pada produk bukan saja untuk menghasilkan rasa manis
meskipun sifat ini sangatlah penting. Jadi gula bersifat untuk menyempurnakan
rasa asam, cita rasa juga memberikan kekentalan. Daya larut yang tinggi dari gula,
air adalah sifat-sifat yang menyebabkan gula dipakai dalam pengawetan pangan
Gula adalah bentuk dari karbohidrat, jenis gula yang paling sering
digunakan adalah krisal sukrosa padat. Gula digunakan untuk merubah rasa dan
yang akan digunakan oleh sel. Dalam istilah kuliner, gula adalah tipe makanan
yang diasosiasikan dengan salah satu rasa dasar, yaitu manis (Janner, 2010).
Garam
Garam dapur terkandung unsur sodium dan clor dengan rumus kimia
NaCl. Senyawa ini adalah garam yang paling mempengaruhi salinitas laut dan
utama pada garam dapur, natrium klorida sering digunakan sebagai bumbu dan
menetralkan rasa pahit dan rasa asam, membangkitkan selera dan mempertajam
rasa manis, selain itu garam mempunyai tekanan osmotik yang tinggi, higroskopik
dan dapat terurai menjadi Na+ dan Cl- yang meracuni sel mikroba dan mengurangi
meningkatkan cita rasa dari produk itu sendiri. Kebutuhan garam sebagai
pemantap cita rasa adalah sebanyak 2-5 % dari total bahan bakunya
(Suprapti, 2000).
Natrium benzoat
Natrium benzoat merupakan butiran atau serbuk putih, tidak berbau dan
bahan ini dapat ditambahkan langsung ke dalam bahan makanan atau dilarutkan di
natrium benzoat adalah dengan mengganggu cairan nutrisi sel atau sel mikroba
dan mengganggu keaktifan enzim yang ada pada sel (Buckle, et al., 1987).
Lesitin
Emulsi merupakan suatu campuran yang tidak stabil dari dua cairan yang
pada dasarnya tidak saling bercampur, pada umumnya untuk membuat kedua
sehingga sediaan emulsi dapat stabil. Zat pengemulsi diantaranya adalah lesitin
(Ansel,1989).
membran sel dan pada prinsipnya terdapat pada berbagai varietas makhluk hidup.
kedelai, kacang tanah, biji kapas, bunga matahari, dan jagung. Lesitin banyak
gizi penting yang ditemukan secara luas pada berbagai pangan dan tersedia
sebagai suplemen. Kolin telah lama dikenal sebagai zat gizi esensial bagi
sejumlah spesies hewan dan akhir-akhir ini terbukti esensial juga pada manusia
(Priantary, 2011).
ion, mempunyai muatan positif pada atom N kolin dan muatan negatif pada atom
O dari grup phospat. Lesitin dapat bersifat polar (bagian kolin) dan non polar
(bagian asam lemak) sehingga sangat efektif sebagai emulsifier (Priantary, 2011).
Susu bubuk
Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar
susu mamalia betina. Susu adalah sumber gizi utama bagi bayi sebelum mereka
dapat mencerna makanan padat. Susu binatang (biasanya sapi) juga diolah
menjadi berbagai produk seperti mentega, yoghurt, es krim, keju, susu kental
manis, susu bubuk dan lain-lainnya untuk konsumsi manusia (Wikipedia, 2008).
Susu bubuk adalah bubuk yang dibuat dari susu kering yang solid. Susu
bubuk mempunyai daya tahan yang lebih lama daripada susu cair dan tidak perlu
disimpan di lemari es karena kandungan uap airnya sangat rendah. Susu bubuk
Susu bubuk dianggap tidak mudah rusak dikarenakan sedikitnya kandungan air
(bakteri sangat cepat berkembangbiak pada makanan yang basah atau minuman).
Susu bubuk dalam pembuatan selai cokelat digunakan untuk memberikan warna,
aroma serta meningkatkan nilai gizi dari produk selai cokelat yang dihasilkan
(Wikipediab, 2008).
Jenis susu bubuk yang banyak dikenal di masyarakat antara lain susu
bubuk full cream. Susu bubuk full cream merupakan susu yang paling mudah
(suam-suam kuku). Kandungan susu bubuk full cream merupakan sumber protein
yang baik bagi badan kita. Susu bubuk full cream dapat diaplikasikan dalam
minuman kopi atau teh sebagai ganti krimer. Adapun aplikasi yang lain dapat
dicampur untuk pembuatan cokelat, selai roti, kue kering, permen, es krim dan
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung cokelat dan
minyak sawit Filma yang diperoleh dari pasar tradisional Simalingkar Medan.
Bahan tambahan yang digunakan adalah susu krim, lesitin dan natrium benzoat.
Reagensia
Reagensia yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades dan hexan.
Alat Penelitian
alumunium foil, spatula, baskom, erlenmeyer, hot plate, beaker glass, mixer,
desikator, sendok, gelas, piring, timbangan, corong, kertas label, botol selai,
soxhlet, oven.
17
Metoda Penelitian
K1 = 40 g : 22 g
K2 = 38 g : 24 g
K3 = 36 g : 26 g
K4 = 34 g : 28 g
P1 = 50 oC
P2 = 55 oC
P3 = 60 oC
P4 = 65 oC
Tc (n-1) ≥ 15
16 (n-1) ≥ 15
16n - 16 ≥ 15
16n ≥ 15
dengan model :
Ŷijk : Hasil Pengamatan dari Faktor K dari taraf ke-i dan Faktor P
(αβ)ij : Efek interaksi faktor K pada taraf ke–i dan faktor P pada
taraf ke–j
εijk : Efek galat dari faktor K pada taraf ke–i dan faktor P pada
Pelaksanaan Penelitian
3. Dimasukkan susu (70 ml), gula pasir (50 g), dan garam (0,5 g) dari total
183 g bahan.
parameter :
4. Daya Oles
Parameter Penelitian
foil yang telah diketahui berat kosongnya. Kemudian dikeringkan bahan dalam
oven pada suhu 1050 C selama 4 jam lalu dimasukkan dalam desikator selama
Perlakuan ini dilakukan sampai diperoleh berat yang konstan. Pengurangan berat
merupakan banyaknya air yang telah diuapkan dari bahan dengan perhitungan:
dalam tanur dan ditimbang. Ditimbang sebanyak 3 – 5 gam sampel dalam cawan
tersebut, kemudian letakkan dalam tanur pengabuan, dibakar sampai didapat abu
berwarna abu-abu atau sampai beratnya tetap, pertama suhu 4000 C dan kedua
Contoh sebanyak 5 gam dikeringkan di dalam oven 70o C sampai mencapai berat
saring dan ditutup. Selonsong yang telah berisi bahan dimasukkan ke dalam alat
soxhlet yang berisi pelarut heksan dan diekstraksi selama 5 - 6 jam, lalu selonsong
dikeluarkan dari alat soxhlet. Heksan yang telah digunakan dalam proses ekstraksi
dipindahkan ke dalam beaker glass yang telah diketahui berat awalnya. Beaker
glass kemudiaan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 40o C sampai mencapai
ditimbang. Selisih antara beaker glass awal dan beaker glass akhir setelah
Penentuan uji daya oles dilakukan dengan uji hedonik. Caranya, contoh
diuji oleh sepuluh (10) orang panelis yang melakukan penelitian. Setiap panelis
mengoleskan masing-masing sampel pada roti lalu dilakukan penilaian
Keterangan :
- sangat halus : hanya dengan sekali oles langsung rata dan menempel pada
permukaan roti
- agak halus : hasil olesan selai tidak rata pada permukaan roti
- tidak halus : selai susah dioleskan dengan rata pada permukaan roti
Penentuan uji organoleptik aroma, warna, dan rasa dilakukan dengan uji
Perbandingan T.Cokelat
dengan M. Sawit (K)
K1 = 40 g : 22 g Dicampurkan tepung cokelat bersama minyak sawit
K2 = 38 g : 24 g kemudian diaduk sampai kedua bahan tercampur
K3 = 36 g : 26 g
K4 = 34 g : 28 g
minyak sawit dan suhu pemanasan memberikan pengaruh terhadap mutu selai
terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak, daya oles, dan uji organoleptik
25
34 g : 28 g) yaitu sebesar 7.667 %, kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan
tepung cokelat dengan minyak sawit 40 g : 22 g) yaitu sebesar 2.738, dan uji
tepung cokelat dengan minyak sawit 34 g : 28 g) yaitu sebesar 3.113 dan terendah
tepung cokelat dengan minyak sawit 34 g : 28 g) yaitu sebesar 3.050 dan terendah
pemanasan memberikan pengaruh terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak,
daya oles dalam air, dan uji organoleptik terhadap aroma, warna,dan rasa.
Tabel 8. Pengaruh suhu pemanasan terhadap parameter yang diamati
Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Daya Oles Uji Organoleptik (Numerik)
Perlakuan
(%) (%) (%) (Numerik)
Aroma Warna Rasa
o
50 C 42.350 8.083 25.168 3.313 2.750 3.063 2.938
o
55 C 42.075 8.375 25.875 3.238 2.825 3.050 2.950
60 oC 40.975 8.625 26.335 3.063 2.975 3.038 3.013
o
65 C 40.975 9.000 26.876 2.875 3.063 3.025 3.050
terhadap parameter yang diamati. Persentase kadar air tertinggi terdapat pada
40.975 %, kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan P4 (suhu pemanasan 60 oC)
yaitu sebesar 9 % dan terendah terdapat pada P1 (suhu pemanasan 50 oC) yaitu
pemanasan 65 oC) yaitu sebesar 26,876 % dan terendah terdapat pada P1 (suhu
pemanasan 50 oC) yaitu sebesar 25.168 %, daya oles tertinggi terdapat pada
perlakuan P2 (suhu pemanasan 55 oC) yaitu sebesar 3.313 dan terendah terdapat
pada P4 (suhu pemanasan 65 oC) yaitu sebesar 2.875, aroma tertinggi terdapat
pada perlakuan P4 (suhu pemanasan 65 oC) yaitu sebesar 3.063 dan terendah
terdapat pada P1 (suhu pemanasan 50 oC) yaitu sebesar 2,750, dan uji organoleptik
yaitu sebesar 3,063 dan terendah terdapat pada P4 (suhu pemanasan 65 oC) yaitu
sebesar 3.025, rasa tertinggi terdapat pada perlakuan P4 (suhu pemanasan 65 oC)
yaitu sebesar 3.050 dan terendah terdapat pada P1 (suhu pemanasan 50 oC) yaitu
sebesar 2.938.
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa
tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar air selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa suhu
pemanasan memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar air
selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 1 dapat dilihat bahwa
interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu
pemanasan memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar air
selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.
Kadar Abu
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa
sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar abu selai cokelat yang dihasilkan. Hasil
Tabel 9 . Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan
minyak sawit terhadap kadar abu
LSR Perbandingan Tepung Cokelat Rataan Notasi
Perlakuan
0.05 0.01 dengan Minyak Sawit (K) (%) 0.05 0.01
- - - 40 g : 22 g 9.000 a A
2 0,198 0,272 38 g : 24 g 8.833 a AB
3 0,208 0,286 36 g : 26 g 8.583 b BC
4 0,213 0,293 34 g : 28 g 7.667 c D
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)
menurut uji LSR.
dan berbeda sangat nyata terhadap perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K2 berbeda
sangat nyata dengan perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K3 berbeda sangat nyata
dengan perlakuan K4. Kadar abu tertinggi terdapat pada perlakuan K1 yaitu
sebesar 9,000 % dan terendah terdapat pada perlakuan K4 yaitu sebesar 7,667 %.
9.5
9.0
Kadar Abu (%)
8.5
8.0
7.5
7.0
0 40 g : 22 g 38 g : 24 g 36 g : 26 g 34 g : 28 g
maka kadar abu akan semakin menurun. Konsentrasi tepung cokelat yang tinggi
akan menyebabkan kadar abu pada selai cokelat akan semakin tinggi, sehingga
kadar abu yang diperoleh adalah bekas dari pembakaran tepung cokelat yang
digunakan, ini mengakibatkan kadar abu akan semakin kecil apabila konsentrasi
rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Janner (2010) yang menyatakan bahwa
semakin sedikit tepung cokelat yang digunakan dalam suatu produk maka nilai
kadar abu yang diperoleh akan semakin kecil. Didalam 100 gram tepung cokelat
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa suhu
terhadap kadar abu selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR
Tabel 10 . Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar abu
LSR Rataan Notasi
Perlakuan Suhu Pemanasan (P)
0.05 0.01 (%) 0.05 0.01
- - - 50 oC 8.083 c C
o
2 0,198 0,272 55 C 8.375 b B
3 0,208 0,286 60 oC 8.625 b B
o
4 0,213 0,293 65 C 9.000 a A
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)
menurut uji LSR.
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa perlakuan P1 berbeda sangat nyata
terhadap P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P3 dan
berbeda sangat nyata terhadap P4. Perlakuan P3 berbeda sangat nyata dengan
perlakuan P4. Kadar Abu tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu sebesar 9 %
9.2
Ŷ = 0.06p + 5.0716
8.9 r = 0.9931
Kadar Abu (%)
8.6
8.3
8.0
7.7
7.4
30 45 60 75
Suhu Pemanasan (°C)
Dari Gambar 3 dapat dilihat, semakin tinggi suhu pemanasan maka kadar
abu akan semakin meningkat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa
semakin tinggi suhu pemanasan maka semakin banyak sisa pengabuan dari bahan.
Dapat dilihat pada perlakuan dengan suhu 50 oC, kadar abu pada bahan lebih
sedikit daripada dengan menggunakan suhu 65 oC. Hal ini terjadi karena suhu
produk yang diberikan pemanasan paling tinggi (65 oC), akan menyisakan
kandungan mineral yang besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Janner (2010)
yang menyatakan suhu pemanasan akan memberikan pengaruh terhadap kadar abu
dalam suatu bahan, hal ini disebabkan suhu pemanasan akan menyebabkan
senyawa organik kompleks dalam selai cokelat akan terdegradasi dalam bentuk
senyawa organik yang lebih sederhana dan hal ini mempermudah pengeluaran air
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa
interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu
pemanasan selai cokelat memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap
kadar abu selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak
dilanjutkan.
Kadar Lemak
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa
sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar lemak se;ai cokelat yang dihasilkan. Hasil
dengan minyak sawit terhadap kadar lemak untuk tiap-tiap perlakuan dapat
terhadap perlakuan K2, K3 dan K4. Perlakuan K2 berbeda sangat nyata dengan
perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan K4.
Kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan K4 yaitu sebesar 27,791 dan
dan semakin tinggi konsentrasi minyak yang digunakan pada pembuatan selai
cokelat, maka kadar lemak akan semakin meningkat. Hal ini terjadi karena
minyak sawit memiliki kandungan lemak yang tinggi. Hal ini sesuai dengan
bahwa minyak sawit memiliki asam lemak palmitat dalam jumlah yang cukup
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa suhu
terhadap kadar lemak selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji
Tabel 12. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap kadar lemak
LSR Rataan Notasi
Perlakuan Suhu Pemanasan (P)
0.05 0.01 (%) 0.05 0.01
- - - 50 oC 25,168 c B
2 0,839 1,155 55 oC 25,875 bc AB
3 0,881 1,214 60 oC 26,335 ab AB
4 0,903 1,244 65 oC 26,876 a A
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)
menurut uji LSR.
terhadap P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 berbeda nyata dengan perlakuan P3 dan
berbeda sangat nyata terhadap P4. Perlakuan P3 berbeda nyata dengan perlakuan
P4. Kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu sebesar 26,876 dan
27.5
27.0 Ŷ = 0.1117p + 19.639
r = 0.9922
26.5
Kadar Lemak (%)
26.0
25.5
25.0
24.5
24.0
23.5
30 45 60 75
Suhu Pemanasan (°C)
Dari Gambar 5 dapat dilihat, semakin tinggi suhu pemanasan maka kadar
lemak akan semakin meningkat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa
semakin tinggi suhu pemanasan maka kandungan lemak dari tepung cokelat dan
pembuatan produk maka kadar lemaknya juga semakin tinggi. Hal ini sesuai
menyatakan bahwa minyak sawit memiliki asam lemak palmitat dalam jumlah
yang cukup besar, asam lemak palmitat memiliki titik leleh yang tinggi sehingga
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 dapat dilihat bahwa
interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu
pemanasan selai cokelat memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap
kadar lemak selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak
dilanjutkan.
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 dapat dilihat bahwa suhu
pemanasan memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap daya oles
selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR menunjukkan
perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap daya oles untuk tiap-
Tabel 13 Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan
minyak sawit terhadap daya oles
LSR Perbandingan Tepung Cokelat Rataan Notasi
Perlakuan
0.05 0.01 dengan Minyak Sawit (K) (Numerik) 0.05 0.01
- - - 40 g : 22 g 2,738 d D
2 0.068 0.093 38 g : 24 g 3,063 c C
3 0.071 0.098 36 g : 26 g 3,238 b B
4 0.073 0.100 34 g : 28 g 3,450 a A
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)
menurut uji LSR.
terhadap P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P3
dan P4. Perlakuan P3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P4. daya oles
tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu sebesar 3,450 dan terendah terdapat
Dari Gambar 6 dapat dilihat, pada konsentrasi tepung cokelat paling tinggi
dan konsentrasi minyak sawit paling rendah menghasilkan nilai daya oles yang
paling rendah dan pada perlakuan dimana konsentrasi minyak sawit paling tinggi,
memiliki nilai daya oles paling bagus. Hal ini menjelaskan bahwa minyak sawit
sawit yang digunakan maka viskositas dari selai cokelat akan semakin rendah,
sehingga selai cokelat yang dihasilkan menjadi semakin lembut. Hal ini sesuai
pada larutan.
Pengaruh suhu pemanasan terhadap daya oles
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 dapat dilihat bahwa suhu
terhadap daya oles selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR
Tabel 14. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap daya oles
LSR Rataan Notasi
Perlakuan Suhu Pemanasan (P)
0.05 0.01 (Numerik) 0.05 0.01
- - - 50 oC 3.313 a A
2 0,839 1,155 55 oC 3.238 ab AB
3 0,881 1,214 60 oC 3.063 bc AB
4 0,903 1,244 65 oC 2.875 c B
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)
menurut uji LSR.
terhadap P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 berbeda nyata dengan perlakuan P3 dan
berbeda sangat nyata terhadap P4. Perlakuan P3 berbeda nyata dengan perlakuan
P4. Daya oles tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu sebesar 3.313 dan
Dari Gambar 7 dapat dilihat, semakin tinggi suhu pemanasan maka daya
oles akan semakin menurun. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa
semakin tinggi suhu pemanasan maka selai cokelat yang dihasilkan memiliki
daya oles yang jelek. Hal ini menjelaskan bahwa suhu pemanasan sangat
Rhamadan (2007) yang menyatakan bahwa, suhu pengadukan krim pengisi coklat
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 dapat dilihat bahwa
interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu
pemanasan memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya oles
selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak dilanjutkan.
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa
sangat nyata (P<0,01) terhadap uji organoleptik rasa selai cokelat yang dihasilkan.
cokelat dengan minyak sawit terhadap rasa untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat
Tabel 15. Uji LSR efek utama pengaruh perbandingan tepung cokelat
dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik rasa
LSR Perbandingan Tepung Cokelat Rataan Notasi
Perlakuan
0.05 0.01 dengan Minyak Sawit (K) (Numerik) 0.05 0.01
- - - 40 g : 22 g 3.050 a A
2 0.038 0.052 38 g : 24 g 3.038 a A
3 0.039 0.054 36 g : 26 g 2.938 b B
4 0.040 0.056 34 g : 28 g 2.925 b B
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)
menurut uji LSR.
terhadap K2 dan berbeda sangat nyata terhadap perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K2
berbeda sangat nyata dengan perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K3 tidak berbeda
nyata dengan perlakuan K4. Warna tertinggi terdapat pada perlakuan K3 yaitu
sebesar 3,550 dan terendah terdapat pada perlakuan K1 yaitu sebesar 1,850.
terhadap uji organoleptik rasa dapat dilihat pada Gambar 8 berikut ini:
0
maka cita rasa selai cokelat yang dihasilkan semakin baik. Pada perlakuan yang
disukai oleh panelis. Hal ini dijelaskan sebagai berikut, semakin tinggi konsentrasi
minyak sawit yang digunakan maka rasa cokelat yang diharapkan pada pembuatan
selai cokelat semakin menurun. Selai cokelat yang dihasilkan memiliki citarasa
minyak sawit, namun karena citarasa yang diharapkan dalam pembuatan selai
cokelat adalah rasa cokelat maka nilai uji organoleptiknya menurun. Hal ini sesuai
beberapa produk, minyak dan lemak umumnya mempunyai flavour yang tidak
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa suhu
organolepti rasa selai cokelat yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan uji LSR
Tabel 16. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap uji
organoleptik rasa
LSR Rataan Notasi
Suhu Pemanasan (P)
Perlakuan 0.050 0.010 (Numerik) 0.05 0.01
- - - 50 oC 2.613 c C
2 0.109 0.151 55 oC 2.825 b B
3 0.115 0.158 60 oC 3.025 a A
4 0.118 0.162 65 oC 3.088 a A
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)
menurut uji LSR.
Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa perlakuan P1 berbeda sangat nyata
terhadap perlakuan P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 berbeda sangat nyata dengan
perlakuan P3 dan P4. Perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P4. Rasa
tertinggi terdapat pada perlakuan P4 yaitu sebesar 3,088 dan terendah terdapat
mengikuti garis regresi linier seperti terlihat pada Gambar 9 berikut ini:
3.10
Uji Organoleptik Rasa (Numerik
Ŷ = 0.008x + 2.5289
3.05
r = 0.9462
3.00
2.95
2.90
2.85
2.80
30 45 60 75
Dari Gambar 9 dapat dilihat, semakin tinggi suhu pemanasan maka nilai
uji organoleptik rasa selai cokelat yang dihasilkan semakin meningkat. Hal ini
dapat dilihat pada tabel bahwa pada pembuatan selai cokelat dengan perlakuan
menggunakan suhu 65 oC diperoleh nilai uji organoleptik rasa yang paling tinggi.
Hal ini terjadi oleh karena suhu pemanasan mampu mengembangkan rasa
dari produk olahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rhamadan (2007) yang
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 5 dapat dilihat bahwa
interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu
organoleptik rasa selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak
dilanjutkan.
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 6 dapat dilihat bahwa
sangat nyata (P<0,01) terhadap uji organoleptik aroma selai cokelat yang
tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap aroma untuk tiap-tiap perlakuan
Tabel 17. Uji LSR Efek utama pengaruh perbandingan tepung cokelat dengan
minyak sawit terhadap uji organoleptik aroma
LSR Perbandingan Tepung Cokelat Rataan Notasi
Perlakuan
0.05 0.01 dengan Minyak Sawit (K) (Numerik) 0.05 0.01
- - - 40 g : 22 g 2.888 b B
2 0.046 0.063 38 g : 24 g 2.900 a A
3 0.048 0.066 36 g : 26 g 3.000 a A
4 0.049 0.068 34 g : 28 g 3.013 a A
keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)
menurut uji LSR
terhadap perlakuan K2, K3 dan K4. Perlakuan K2 tidak berbeda nyata dengan
perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan K4. Uji
organoleptik aroma tertinggi terdapat pada perlakuan K4 yaitu sebesar 3.013 dan
terhadap uji organoleptik aroma dapat dilihat pada Gambar 10 berikut ini :
cokelat dan semakin tingginya konsentrasi minyak sawit maka uji organoleptik
aromanya akan semakin meningkat, hal ini disebabkan karena pada pembuatan
selai cokelat ini digunakan tepung cokelat dengan kualitas rendah. Aroma bawaan
dari tepung cokelat berkualitas rendah tersebut tidak begitu disukai, namun karena
penambahan dari minyak sawit yang digunakan mampu untuk mengurangi aroma
yang tidak disukai tersebut. Aroma dari selai cokelat yang dihasilkan menjadi
agak beraroma minyak sawit dimana minyak sawit yang digunakan memiliki
aroma yang disukai panelis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ketaren (1987)
yang menyatakan bahwa bau khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 6 dapat dilihat bahwa
sangat nyata (P<0,01) terhadap uji organoleptik aroma selai cokelat yang
pemanasan terhadap aroma untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 18
berikut :
Tabel 18. Uji LSR efek utama pengaruh suhu pemanasan terhadap uji
organoleptik aroma
LSR Rataan Notasi
Perlakuan Suhu Pemanasan (P)
0.05 0.01 (Numerik) 0.05 0.01
- - - 50 oC 2.863 c C
o
2 0.046 0.063 55 C 2.938 b B
3 0.048 0.066 60 oC 3.975 a A
4 0.049 0.068 65 oC 3.025 a A
keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)
menurut uji LSR
terhadap perlakuan P2, P3 dan P4. Perlakuan P2 berbeda sangat nyata dengan
perlakuan P3 dan P4. Perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P4.
Aroma tertinggi terdapat pada perlakuan P3 yaitu sebesar 3,175 dan terendah
3.00
2.95
2.90
2.85
2.80
2.75
30 45 60 75
Suhu Pemanasan (°C)
Dari Gambar 11 dapat dilihat semakin tinggi suhu pemanasan maka nilai
uji organoleptik aroma juga semakin besar. Pada pengolahan pangan suhu
pembuatan selai cokelat, pada suhu 65oC mempunyai skor uji organoleptik yang
paling tinggi, hal ini terjadi karena suhu pemanasan dapat menarik aroma khas
cokelat yang disukai oleh panelis. Oleh karena pada penelitian ini menggunakan
minyak goreng dengan teknologi dua kali penyaringan sehingga tidak memiliki
bau khas minyak sawit yg pekat, maka selai cokelat yang dihasilkan akan lebih
baik dari segi aroma. Hal ini sesuai dengan pernyataan Desroiser (2008) yang
citarasa yang manis, gurih, aroma yang menarik dan dengan kenampakan yang
cerah.
Pengaruh interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak
sawit dan suhu pemanasan terhadap nilai uji organoleptik aroma
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa
interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu
organoleptik aroma selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak
dilanjutkan.
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa
sangat nyata (P<0,01) terhadap uji organoleptik warna selai cokelat yang
tepung cokelat dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik aroma untuk tiap-
Tabel 19. Uji LSR Efek utama pengaruh perbandingan tepung cokelat
dengan minyak sawit terhadap uji organoleptik warna
LSR Perbandingan Tepung Cokelat Rataan Notasi
Perlakuan
0.05 0.01 dengan Minyak Sawit (K) (Numerik) 0.05 0.01
- - - 40 g : 22 g 3.000 c C
2 0.027 0.037 38 g : 24 g 3.013 c C
3 0.028 0.038 36 g : 26 g 3.063 b B
4 0.029 0.039 34 g : 28 g 3.100 a A
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda antar baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata
pada taraf 5% (huruf kecil)dan berbeda sangat nyata pada taraf 1% (huruf besar)
menurut uji LSR
terhadap T2 dan berbeda sangat nyata terhadap perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K2
berbeda sangat nyata dengan perlakuan K3 dan K4. Perlakuan K3 tidak berbeda
nyata dengan perlakuan K4. Warna tertinggi terdapat pada perlakuan K4 yaitu
sebesar 3.100 dan terendah terdapat pada perlakuan K1 yaitu sebesar 3.000.
berikut ini:
cokelat dan semakin tingginya konsentrasi minyak sawit maka warna selai cokelat
akan semakin disukai. Warna tersebut semakin lama berubah menjadi cokelat
kehitaman mengkilat. Minyak sawit memiliki warna kuning pucat yang mengkilat
sehingga tidak begitu mempengaruhi warna dari tepung cokelat tetapi justru
menyatakan bahwa tujuan penambahan dari minyak dalam bahan pangan adalah
untuk memperbaiki rupa dan struktur fisik bahan pangan, menambah nilai gizi dan
kalori serta memberikan cita rasa yang gurih dari bahan pangan.
Pengaruh suhu pemanasan terhadap uji organoleptik warna
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa suhu
pemanasan selai cokelat memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap
uji organoleptik warna selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR
tidak dilanjutkan.
Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 7 dapat dilihat bahwa
interaksi antara perbandingan tepung cokelat dengan minyak sawit dan suhu
organoleptik warna selai cokelat yang dihasilkan, sehingga uji dengan LSR tidak
dilanjutkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
kakao dengan minyak sawit dan suhu pemanasan yang digunakan terhadap mutu
berikut :
berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar abu, kadar lemak, daya oles
terhadap kadar abu, kadar lemak, daya oles dan nilai organoleptik (aroma
dan rasa), tetapi memberikan pengaruh berbeda tidak nyata terhadap kadar
tidak nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar lemak dan uji organoleptik
50
Saran
kakao dan minyak sawit yang digunakan terhadap mutu selai cokelat.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC, 1984. Official Method and Analysis of The Association of The Official
Analitical Chemist, 11th Edition. Washington D.C.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta.
Djatmiko, B. dan T. Wahyudi, 1986. Aspek Pengolahan dan Mutu Coklat Lindak
dan Mulia. Balai Penelitian Perkebunan Jember, Jawa Timur.
Margono, T., D. Suryati dan S. Hartinah, 2007. Selai dan jelly Buah.
http://www.ristek.go.id. [6 Januari 2011].
Muchtadi, T,R., 2000. Asam Lemak Omega 9 dan Manfaatnya Bagi Kesehatan.
http://klik-brc.com. [15 Maret 2011.
Soekarto, S. T., 1985. Penilaian Organoleptik untuk Pangan dan Hasil Pertanian.
Bhatara Karya Aksara, Jakarta.
Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi, 1989. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Susanto, F.X., 1994. Tanaman Kakao Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius,
Yogyakarta.
Viskil, H. J., 1980. Cocoa, Kumpulan Makalah. Konferensi Coklat Nasional II,
Medan.
Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wood, G.A.R., 1987. From Harvest To Store. In Cocoa Fourth Editian. Longman
Scientific and Technical. Copublished in The United State with John Willey
and Sons. Inc, New York.