Zainuddin yang sejak kecilnya telah dirundung oleh kemalangan, dikarenakan Daeng
Habibah yang merupakan ibu kandungnya telah meninggal ketika Zainuddin masih amat
kecil dan baru saja pandai merangkak. Begitu juga ayahnya meninggal ketika Zainuddin di
usia masih enaknya mengecap nikmat kecintaan ayah dan kecintaan ibu. Mak Base seorang
pengasuh Zainuddin sampai besar yang diamanahkan oleh kedua orangtua Zainuddin. Mak
Base juga dititipkan sebuah pesan ketika sebelum ibu Zainuddin meninggal, untuk mengasuh
Zainuddin dengan baik-baik, menjadikan Zainuddin manusia yang berguna dan kelak bila
sudah besar agar melanjutkan pelajarannya ke negeri Datuak neneknya sendiri.
Zainuddin yang datang ke rumah bakonya Mande Jamilah dan memperkenalkan diri,
tetapi menurut adat di Minangkabau Zainuddin dianggap anak pisang. Maklum, orang yang
berada di Minangkabau masyhur menerima orang baru tetapi basa-basi yang ditujukan
kepada Zainuddin membuatnya bosan, akhirnya membuat Zainuddin tinggal di rumah
persukuan.
Zainuddin yang mula-mula datang sangat gembira tetapi dari sebulan ke sebulan
kegembiraan itu hilang, karena yang dikenang-kenangnya sewaktu di Mengkasar berlainan
dengan yang dihadapinya. Zainuddin tidak dapat beroleh hati seperti mak Base dan tidak pula
mendapatkan kecintaan ayah dan ibu yang dirindukannya. Sangat malang nasib Zainuddin,
karena di dalam negeri ibunya Zainuddin dipandang orang asing dan di negeri ayahnya
Zainuddin dipandang orang asing pula karena adat di Minangkabau bangsa diambil dari ibu.
Kian lama kian tersiarlah dalam dusun Batipuh. Menjadi bahan gunjingan semua
orang karena keluarga Hayati merupakan orang yang bersuku berhindu berkaum kerabat dan
keturunan seorang anak bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tungang
yang berpendam perkuburan sedangkan Zainuddin adalah anak yang tidak bersuku, berhindu,
anak orang terbuang dan dipandang tidak sah dalam adat Minangkabau.
Pada suatu malam, mamak Hayati mencari Zainuddin untuk berbicara dan memberi
nasihat kepada Zainuddin dengan alasan demi kemaslahatan Hayati, dan Zaninuddin disuruh
untuk meninggalkan Batipuh. Zainuddin pergi dengan menumpang bendi tersebut sampai ke
Padang Panjang. Zainudin memilih tempat tinggal di kampung Silaing, suatu kampung yang
amat disukai oleh penyair. Berkiriman surat-menyurat terus dilakukan di antara Zainuddin
dan Hayati walaupun sudah berbeda daerah tempat tinggal.
Kesedihan yang tidak habis-habisnya menimpa Zainuddin ketika membaca surat dari
Daeng Masiga yang mengabarkan atas meninggalnya mak Base dan meninggalkan warisan
berupa rumah, setumpak sawah beserta uang sebesar Rp3200,00 kontan. Zainudin sekarang
yang hidup sebatang kara dengan hilangnya lakon orang-orang yang berhubungan rapat di
kehidupannya, tetapi kesedihan itu telah berakhir karena membawa nikmat dan menimbulkan
harapan baru dikehidupannya. Zainudin yang memiliki uang Rp3200,00 ingin berjuang
menghadapi hidup dunia luas dengan Hayati. Oleh karena itu, Zainuddin ingin meminang
Hayati dan dikirimnya surat kepada mamak Hayati. Ternyata surat lamaran Zainuddin
bersamaan datangnya dengan lamaran Aziz, dan membuat pertimbangan bagi ninik mamak
Hayati di rumah nan gedang.
Keputusan dari pertimbangan ninik mamak Hayati bahwa lamaran Aziz yang diterima
karena memiliki harta yang terbentang dan asli orang bersuku hindu Minangkabau dan Hayati
menira lamaran Aziz sebagai suami karena mengikuti apa kata mamaknya. Oleh karena itu,
Zainuddin dapat kabar telah berlansung perkawinan Aziz dan Hayati dari Muluk.
Zainuddin jatuh sakit selama dua bulan karena hilangnya perempuan yang dicintainya dan
hilang semua janji Hayati kepadanya. Muluk sahabat Zainuddin yang tidak henti-hentinya
membantu dan menasihatinya, agar Zainuddin bisa bangkit dari permasalahnya dan meraih
cita-citanya. Zainuddin yang menjalankan atas nasihat Muluk akan pergi ke tanah Jawa demi
menempuh masa depan dan melupakan kejadian yang selama ini dialaminya, begitu juga
Muluk yang ikut walaupun menjadi jongos Zainuddin nantinya.
Zainuddin dan Muluk pergi, naik kapal Sloet Van der Beele yang belayar dari teluk
Bayur ke Tanjung Peiok. Sampai di Jakarta, Zainuddin terus menyelesaikan karangan-
karangannya yang terbengkalai selama ini terutama di dalam bagian hikayat. Zainuddin yang
mengirim tulis-tulisannya kepada surat-surat kabar harian dan mingguan, rupanya karangan
itu mendapat tempat yang baik dan menerima honorium dengan kejadian itu Zainuddin
bertambah giat dan semangat untuk mengarang. Waktu belum cukup setahun Zainuddin
mengarang, karangannya banyak tersiar yang berupa leter “Z” dan banyak menarik hati.
Zainuddin yang sudah banyak mengumpulkan modal berniat pergi ke Surabaya untuk
mencoba nasib bersama Muluk untuk membuat penerbitan sediri dan menjadikan Hikayatnya
yaitu later “Z” menjadi sebuah buku karena di Surabaya masih sedikit penerbit-penerbit
buku. Zainuddin yang namanya kian lama harum yang termasyur dikenal dengan nama
samaran leter “Z”, pengarang hikayat regisseur, dan sebagai pendiri perkumpulan tonil
dengan nama “Andalas” nama asli pulau Sumatera.
Dua hari setelah pertunjukan itu, Aziz dan Hayati ziarah ke rumah Zainuddin, dan
beberapa hari Zainuddin yang bertandang kerumah Aziz. Selama tinggal di Surabaya,
Beberapa hari kemudian surat cerai kepada Hayati dikirim oleh Aziz kemudian
meminta bila sudi Hayati bersuamikan Zainuddin, begitu juga surat kepada Zainuddin yang
dikirim Aziz berisi tentang mengembalikan Hayati ketangan Zainuddin. Beberapa hari
kemudian, datang pula berita dari sebuah suart kabar bahwa Aziz telah bunuh diri meminum
obat tidur lebih sepuluh buah di sebuah hotel Bayuwangi.
Hayati meminta maaf dari segala kesalahannya kemudian membuka kembali cerita
dahulu tentang cinta Hayati terhadap Zainudin. Hayati yang meminta kesediaan Zainuddin
untuk menerimanya sebagai apa saja, asalkan Hayati dapat bersama-sama dan serumah
dengan Zainuddin. Permintaan itu tidak diterima oleh Zinuddin karena Zainuddin masih
teringat sewaktu diusir ninik mamaknya sebab tidak tentu asal, orang hina dina, tidak tulen
Minangkabau dan penolakan lamaranya kemudian membuatnya hampir mati karena
menanggung cinta. Zainuddin menyuruh Hayati pulang ke padang dengan kapal Van der
Wijck dan dikeluarkan Zainuddin dari dompetnya berupa uang Rp100,00 untuk belanja
Hayati pulang.
Hari Senin, tanggal 19 Oktober 1936, kapal Van der Wijck akan berlabuh dari
Tanjung Perak, ke Semarang, dan sampai ke Palembang kemudian bila penumpang yang
akan ke Padang harus pindah kapal di pelabuahan Tanjung Priok. Malamnya Hayati akan
bersiap diantarkan Muluk, dengan kapal Van der Wijcki hayati pulang. Setelah kepergian
Hayati, besoknya hari Selasa tanggal 20 Oktobe, barulah Zainuddin kembali dari Malang.
Surat kabar pukul 3 sore memberitidakan kapal Van der Wijck yang ditumpangi
Hayati tenggelam, hayati yang tidak dapat diselamatkan karena luka-luka di kepala dan di
kakinya akhirnya Hayati meninggal. Hayati yang dikuburkan di Surabaya dan di pusaranya
tertulis “Hayati meninggal lantaran kecelakaan kapal Van der Wijck pada 20 Oktober 1936.
Biografi Hamka
Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat,
dari pasangan Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Siti Safiyah Binti Gelanggar
yang bergelar Bagindo nan Batuah. Hamka mewarisi darah ulama dan pejuang yang kokoh
pada pendirian dari ayahnya yang dikenal sebagai ulama pelopor Gerakan Islah (tajdid) di
Minangkabau serta salah satu tokoh utama dari gerakan pembaharuan yang membawa
reformasi Islam (kaum muda).
Nama Hamka sendiri merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah,
sedangkan sebutan Buya adalah panggilan khas untuk orang Minangkabau. Kata Buya
sebenarnya berasal dari kata abi, atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau
orang yang dihormati. Jika banyak tokoh berpengaruh yang bertahun-tahun menimba ilmu di
sekolah formal, tidak demikian halnya dengan Hamka. Pendidikan formal yang ditempuhnya
hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar Maninjau. Setelah itu, saat usianya menginjak 10
tahun, Hamka lebih memilih untuk mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib di Padang
Panjang, sekolah Islam yang didirikan ayahnya sekembalinya dari Makkah sekitar tahun
1906.
Di sekolah itu, Hamka mulai serius mempelajari agama Islam serta bahasa Arab.
Sejak kecil Hamka memang dikenal sebagai anak yang haus akan ilmu. Selain di sekolah, ia
juga menambah wawasannya di surau dan masjid dari sejumlah ulama terkenal seperti Syeikh
Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus
Hadikusumo. Pada tahun 1924, Hamka yang ketika itu masih remaja sempat berkunjung ke
Pulau Jawa. Di sana ia banyak menimba ilmu pada pemimpin gerakan Islam Indonesia
diantaranya Haji Omar Said Chakraminoto, Haji Fakharudin, Hadi Kesumo bahkan pada
Rashid Sultan Mansur yang merupakan saudara iparnya sendiri.
Pada 1927, berbekal ilmu agama yang didapatnya dari berbagai tokoh Islam
berpengaruh tadi, Hamka memulai karirnya sebagai Guru Agama di Perkebunan
Tebingtinggi, Medan. Dua tahun kemudian, ia mengabdi di Padang masih sebagai Guru
Agama. Masih di tahun yang sama, Hamka mendirikan Madrasah Mubalighin. Bukan hanya
dalam hal ilmu keagamaan, Hamka juga menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti
filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik. Yang menarik, semua ilmu tadi dipelajarinya
secara otodidak tanpa melalui pendidikan khusus. John L. Espito dalam Oxford History of
Islam bahkan menyejajarkan sosok Hamka dengan Sir Muhammad Iqbal, Sayid Ahmad Khan
dan Muhammad Asad. Hamka juga pernah menekuni bidang jurnalistik dengan berkarir
sebagai wartawan, penulis, editor dan penerbit sejak awal tahun 1920an. Ia tercatat pernah
menjadi wartawan berbagai surat kabar, yakni Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam
dan Seruan Muhammadiyah.
Di sela kegiatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai kiprahnya di dunia politik
dengan menjadi anggota partai Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yang hampir
bersamaan, ia ikut mendirikan Muhammadiyah untuk menentang khurafat, bidaah dan
kebatinan sesat di Padang Panjang. Selanjutnya Hamka terlibat dalam kepengurusan
organisasi Islam tersebut dari tahun 1928 hingga 1953. Bersama dengan KH Fakih Usman
(Menteri agama dalam Kabinet Wilopo 1952), Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan
Panji Masyarakat pada Juli 1959. Majalah ini menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan
pengetahuan agama Islam. Majalah ini kemudian dibredel pada 17 Agustus 1960 dengan
alasan memuat karangan Dr Muhammad Hatta berjudul 'Demokrasi Kita', yang isinya
mengkritik tajam konsep Demokrasi Terpimpin. Majalah ini baru terbit kembali setelah Orde