Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur merupakan istilah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang
bersifat total maupun sebagian (Helmi, 2012). Fraktur didefenisikan sebagai patahan
yang terjadi pada kontinuitas tulang. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Fraktur juga
dikenal dengan istilah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik,
kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap (Price &
Wilson, 2006).
Fraktur adalah patah tulang atau terganggunya kesinambungan jaringan tulang yang
disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung. Badan kesehatan dunia
(WHO) mencatat jumlah kejadian fraktur pada tahun 2011-2012 terdapat 1,3 juta orang
yang menderita fraktur. Menurut DEPKES RI tahun 2011 di Indonesia sendiri juga
banyak yang mengalami fraktur, fraktur di Indonesia terdapat 45.987 orang yang
mengalami fraktur, prevalensi kejadian fraktur yang paling tinggi adalah fraktur femur
yaitu terdapat 19.729 orang yang mengalami fraktur, sedangkan ada 14.037 orang yang
mengalami fraktur cluris dan terdapat 3.776 orang mengalami fraktur tibia. Salah satu
cara untuk mengembalikan fraktur seperti semula yaitu salah satu cara adalah rekognisi
atau dilakukan tindakan pembedahan (Sjamsuhidayat & Jong, 2005).
Pembedahan adalah segala upaya tindakan pengobatan yang secara invasif dengan
cara membuka bagian organ tubuh yang akan ditangani. Setelah tindakan pembedahan
akan dilakukan tindakan untuk menangani rasa nyeri yaitu dengan menggunakan obat
penghilang rasa nyeri (Sjamsuhidajat, R. & Jong, 2005).
ORIF merupakan metode penatalaksanaan bedah patah tulang yang paling banyak
keunggulannya(Price &Wilson, 2003). Keuntungan perawatan patah tulangmetode ini
adalah ketelitian reposisi fragmen-fragmen tulang yang patah, kesempatan untuk
memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada didekatnya, dapat mencapai stabilitas
fiksasi yang memadai, dan tidak perlu berulang kali memasang gips atau alat-alat
stabilisasi lainnya, serta perawatan di rumah sakit dapat ditekan seminimal mungkin,
terutama pada kasus-kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan
mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksaan

1
2

dijalankan (Price & Wilson, 2003). Fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat-
alat ortopedik berupa pin, sekrup, plat, dan paku (Whiteing, 2008).
Permasalahan paska pembedahan ortopedi berkaitan dengan nyeri, perfusi jaringan,
promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri (Bare & Smeltzer, 2006). Fraktur
pada femur paska ORIF menimbulkan masalah berupa nyeri pada luka operasi, nyeri
pada sendi lutut dan panggul yang bertambah apabila digerakan disertai kekakuan
sehingga rentang gerak sendi terbatas atau menurun dari normal. Paska ORIF fraktur
tibia dan fibula menimbulkan permasalahan selain nyeri pada luka operasi juga pada
sendi lutut disertai kekakuan sehingga terjadi keterbatasan serta penurunan rentang gerak
sendi walaupun derajatnya lebih rendah dari fraktur femur. Nyeri, keterbatasan,
kekakuan disertai penurunan rentang gerak sendi ankle juga terjadi dan lebih dominan
apabila yang mengalami fraktur pada sepertiga distal. Nyeri sendi dan kekakuan akibat
terjadinya spasme otot sebagai mekanisme fisiologis setelah trauma.
Pasca ORIF merupakan fase rehabilitasi, dimana pada fraktur ekstremitas bawah
perkiraan waktu rehabilitasi untuk fraktur femur 16 –30 minggu, fraktur tibia dan fibula
16 – 24 minggu, fraktur patella 12 –15 minggu, fraktur hindfoot, midfoot,serta forefoot
berkisar 12 –16 minggu (Hoppenfeld & Murthy, 2011). Fase rehabilitasi paska bedah
ortopedi status fungsional berada dibawah level minimal dan merupakan fase dimana
kemampuan fungsional berada pada tahap paling rendah dibandingkan prehabilitasi dan
paska rehabilitasi dimana status fungsional berada di bawah level minimal (Ditmyer et al
(2002); dikutip dari Topp etal, 2002). Perubahan status fungsional selalu terjadi sebagai
tanda pertama dari penyakit atau kelanjutan dari kondisi kronis (Saltzman, 2011).Fase
restoratif (fase rehabilitasi) mendukung pasien dengan gangguan sebagai dampak suatu
penyakit untuk meningkatkan kemampuan melakukan perawatan diri sampai mampu
berfungsi dalam level maksimal yang memungkinkan (DeLaune & Ladner, 2002).
Tujuan utama pasien yang menjalani prosedur paska bedah ortopedi adalah memfasilitasi
untuk kembali berfungsi secara mandiri yang merupakan fokus sentral program
rehabilitasi ortopedi. Penelitian pada total hip replacement menunjukan bahwa status
fungsional 3 bulan paska pembedahan rata-rata 4,23; lebih rendah daripada sebelum
pembedahan sebesar 13,66 dengan nilai maksimal 100 (Ridge & Goodson, 2000).
Indikator hasil dari fase rehabilitasi adalah status fungsional yang perlu dinilai saat
akan pulang berdasarkan kemampuan beraktivitas dengan harapan sebagai persiapan saat
berada dirumah. Status fungsional sebagai kapasitas fungsional dan penurunannya dilihat
dari kapasitas fungsi residual dengan defisit fungsi residual (Perry &Potter,2005). Status
3

fungsional adalah suatu konsep mengenai kemampuan melakukan self-care, self-


maintenance, dan aktivitas fisik (Wilkinson, 2011). Defisit fungsi residual merupakan
perbedaan fungsi original dengan fungsi residual.
Menurut The International Association for the Study of Pain, nyeri adalah suatu
pengalaman sensorik yang tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh kerusakan
jaringan ataupun yang berpotensi merusak jaringan. Nyeri itu merupakan suatu hak yang
kompleks meliputi aspek fisik dan psikis. Aspek fisik meliputi perubahan keadaan
umum, denyut nadi, suhu tubuh, pernapasan, sedangkan aspek psikis akibat nyeri dapat
terjadinya stress yang bisa mengurangi sistem imun dalam proses inflamasi. Nyeri
merupakan hak yang bersifat subjektif dan personal, sehingga masing-masing individu
akan memberikan respon yang berbeda terhadap rasa nyeri berdasarkan pengalaman
sebelumnya (Judha, Sudarti & Fauziah,2012).
Penatalaksanaan manajemen nyeri ada 2 teknik yaitu dengan cara farmakologi dan
non-farmakologi. Penatalaksanaan manajemen nyeri farmakologi adalah penatalaksanaan
manajemen nyeri dengan menggunakan obat yang berkolaborasi antara perawat dengan
dokter dalam pemberian obat anti nyeri, sedangkan teknik non-farmakologi adalah
penatalaksanaan manajemen nyeri tanpa obat-obatan, penatalaksanaan manajemen nyeri
non-farmakologi meliputi Guided imagery, distraksi, hypnoanalgesia.
Teknik hypnoanalgesia merupakan teknik non-farmakologi yang dapat dilakukan oleh
perawat dalam mengatasi rasa nyeri. Kunci dari hypnoanalgesia adalah adanya kekuatan
sugesti atau keyakinan terhadap sesuatu hal positif yang muncul berdasarkan pada
konsep pikiran, sehingga akan memberikan energi positif bagi suatu tindakan yang
dilakukan. Penggunaan metode ini mengakibatkan berkurangnya bahkan menghilangkan
rasa nyeri yang dialami tubuh manusia sebagai respon terhadap suatu trauma (Amarta,
2012).
Prinsip menangani fraktur meliputi : 1) reduksi yaitu memperbaiki posisi fragmen
yang terdiri dari reduksi tertutup (tanpa operasi) dan reduksi terbuka (dengan operasi), 2)
mempertahankan reduksi (immobilisasi) yaitu tindakan untuk mencegah pergeseran
dengan traksi terus menerus, pembebatan dengan gips, pemakaian penahan fungsional,
fiksasi internal dan fiksasi eksternal, 3) memulihkan fungsi yang tujuannya adalah
mengurangi oedem, mempertahankan gerakan sendi, memulihkan kekuatan otot, dan
memandu pasien kembali keaktifitas normal (Apley dan Solomon, 1995).
4

Maka dari itu, penulis tertarik untuk mengambil kasus kelolaan kelompok dengan
judul “ Asuhan Keperawatan Pada Pasien Fraktur Femur di Ruangan Ambun Suri Lantai
1 Rumah Sakit Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui konsep
dan asuhan keperawatan yang bisa dilakukan kepada pasien penderita gagal nafas yang
mengalami pre eklamsia berat dengan intervensi-intervensi mandiri keperawatan
disamping tindakan kolaboratif dengan Tim Medis lainnya.

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Menganalisis konsep dan asuhan serta intervensi keperawatan yang bisa dilakukan
pada pasien Fraktur Femur di Ruangan Ambun Suri Lantai 1 Rumah Sakit Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami Konsep Fraktur Femur
b. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan Fraktur Femur di
Ruangan Ambun Suri Lantai 1 Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi
c. Mahsiswa mampu membuat analisa data dan menegakkan diagnosa keperawatan
klien dengan Fraktur Femur di Ruangan Ambun Suri Lantai 1RSUD Dr. Achmad
Muchtar Bukittinggi
d. Mahasiswa mampu membuat intervensi keperawatan pada klien dengan Fraktur
Femur di Ruangan Ambun Suri Lantai 1 Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi
e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan Fraktur
Femur di Ruangan Ambun Suri Lantai 1 RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi
f. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan Fraktur
Femur di Ruangan Ambun Suri Lantai 1 Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi
g. Mahasiswa mampu mendokumentasikan Fraktur Femur di Ruangan Ambun Suri
Lantai 1 Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi
h. Mahasiswa mampu membandingkan antara teori dan kasus asuhan keperawatan
gawat darurat dengan Fraktur Femur di Ruangan Ambun Suri Lantai 1 RSUD Dr.
Achmad Muchtar Bukittinggi.

Anda mungkin juga menyukai