PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mendorong kemampuan
manusia untuk lebih memanfaatkan lingkungan alam, yang akan terus mengalami
peningkatan. Segala sesuatu yang telah diciptakan oleh manusia dalam berbagai
aktivitasnya, tidak akan lepas dari pengaruh sumberdaya, baik sumberdaya alam,
sumberdaya manusia maupun peningkatan kebutuhan ekonomi. Dengan terbatasnya
sumberdaya pemenuhan kebutuhan manusia, maka manusia harus dapat
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada semaksimal mungkin, dengan tidak
merusaknya. Tanah merupakan salah satu sumberdaya alam yang harus dimanfaatkan
sebaik mungkin karena tanah merupakan salah satu factor pembentuk lahan dan
berfungsi sosial.
Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia baik sebagai ruang
maupun sebagai sumberdaya karena sebagian besar kehidupan manusia tergantung
pada lahan. Dengan tanah manusia dapat memakai sebagai sumber penghidupan bagi
mereka yang mencari nafkah melalui usaha tani disamping sebagai tempat
permukiman.
Perubahan penggunaan lahan terjadi karena adanya pertambahan penduduk
dan adanya perkembangan tuntutan hidup, kebutuhan rumah, yang membutuhkan
ruang sebagai wadah semakin meningkat. Gerakan penduduk yang terbalik, yaitu dari
kota ke daerah pinggiran kota yang sudah termasuk wilayah Desa. Daerah pinggiran
kota sebagai daerah yang memiliki ruang relatif masih luas ini memiliki daya tarik
bagi penduduk dalam memperoleh tempat tinggal. Kepadatan penduduk secara
umum, dapat diartikan sebagai perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas
tanah yang didiami dalam satuan luas. Kepadatan penduduk oleh faktor faktor seperti
topografi, iklim, tata air, aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas hidup (Bintarto, 1983)
Pemanfaatan sumber daya lahan merupaklan usaha penggunaan lahan untuk suatu
tujuan tertentu yang dapat memberikan arti ekonomis, baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang bagi kehidupan manusia.
Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan
tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil
evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai
dengan keperluan.
1
Kebutuhan lahan yang semakin meningkat, langkanya lahan pertanian yang
subur dan potensial, serta adanya persaingan penggunaan lahan antara sektor
pertanian dan non-pertanian, memerlukan teknologi tepat guna dalam upaya
mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan (Litbang deptan, 2013).
Untuk dapat memanfaatkan sumber daya lahan secara terarah dan efisien
diperlukan tersedianya data dan informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim,
tanah dan sifat lingkungan fisik lainnya, serta persyaratan tumbuh tanaman yang
diusahakan, terutama tanaman-tanaman yang mempunyai peluang pasar dan arti
ekonomi cukup baik. Data iklim, tanah, dan sifat fisik lingkungan lainnya yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman serta terhadap aspek manajemennya
perlu diidentifikasi melalui kegiatan survei dan pemetaan sumber daya lahan (Litbang
deptan, 2013).
Data sumber daya lahan ini diperlukan terutama untuk kepentingan
perencanaan pembangunan dan pengembangan pertanian. Data yang dihasilkan dari
kegiatan survei dan pemetaan sumber daya lahan masih sulit untuk dapat dipakai oleh
pengguna (users) untuk suatu perencanaan tanpa dilakukan interpretasi bagi
keperluan tertentu (Litbang deptan, 2013).
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
1
Sumber : FAO. (1976), A framework for Land Evaluation. Soil Resources
Management and Conservation Service Land and Water Development
Division, FAO Soil Buletin No. 32,FAO-UNO, Rome.
2
Sumber : Departemen Kehutanan, Ditjen RRL, 1986. Petunjuk Pelaksanaan
Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah.
Departemen Kehutanan, Jakarta
3
Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang
dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities), dan setiap kualitas lahan biasanya
terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa
karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam
pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan/atau
pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan (peternakan,
perikanan, kehutanan). Penggunaan lahan untuk pertanian secara umum dapat
dibedakan atas: penggunaan lahan semusim, tahunan, dan permanen. Penggunaan
lahan tanaman semusim diutamakan untuk tanaman musiman yang dalam polanya
dapat dengan rotasi atau tumpang sari dan panen dilakukan setiap musim dengan
periode biasanya kurang dari setahun. Penggunaan lahan tanaman tahunan merupakan
penggunaan tanaman jangka panjang yang pergilirannya dilakukan setelah hasil
tanaman tersebut secara ekonomi tidak produktif lagi, seperti pada tanaman
perkebunan. Penggunaan lahan permanen diarahkan pada lahan yang tidak
diusahakan untuk pertanian, seperti hutan, daerah konservasi, perkotaan, desa dan
sarananya, lapangan terbang, dan pelabuahan (Departemen Kehutanan. 1986).
Kemampuan lahan adalah penilaian atas kemampuan lahan untuk penggunaan
tertentu yang dinilai dari masing-masing faktor penghambat. Penggunaan lahan yang
tidak sesuai dengan kemampuannya dan tidak dikuti dengan usaha konservasi tanah
yang baik akan mempercepat terjadi erosi. Apabila tanah sudah tererosi maka
produktivitas lahan akan menurun (Azis .2008).3
Evaluasi kemampuan lahan adalah penilain lahan secara sistematik dan
pengelompokkannya kepada kategori berdasarkan sifat potensi dan penghambat
penggunaan lahan secara lestari.
3
Sumber : Aziz S, 2008. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Pendugaan Erosi untuk Arahan
Pemanfaatan Lahan Di Sub DAS Juwet dan Dondong, Gunung Kidul yogyakarta.
Thesis. Program Studi Geografi Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
4
Pengklasifikasian lahan dimaksudkan agar dalam pendayagunaan lahan yang
digunakan sesuai dengan kemampuannya dan bagaimana menerapkan teknik
konservasi tanah dan air yang sesuai dengan kemampuan lahan tersebut.
Ada tiga kategori dalam klasifikasi KPL, yaitu : Klas, Sub Klas dan Unit.
Pengelompokan Klas didasarkan pada intensitas faktor penghambat, sedangkan Sub
Klas menunjukkan jenis faktor penghambat. Tingkat terendah adalah Unit yang
merupakan pengelompokan lahan yang mempunyai respon sama terhadap sistem
pengelolaan tertentu.
Secara umum sistem ini menggunakan delapan Klas. Apabila makin besar
faktor penghambatnya dan makin tinggi Klasnya maka akan semakin terbatas pula
penggunaannya. Pembagian Klas-klas tersebut adalah sebagai berikut :
4
Sumber : Fletcher, J.R. and R.G. Gibb. 1991. Land Resource Inventory Handbook
for Soil Conservation Planning in Indonesia. NZ DSIR Scientific Report No. 11. NZ
DSIR Land Resources and Dir Gen RLR of Indonesia. 87 pp.
5
Klas I – IV dapat digunakan untuk sawah, tegalan atau tumpangsari
Klas V untuk tegalan atau tumpangsari dengan tindakan konservasi tanah
Klas VI untuk hutan produksi
Klas VII untuk hutan produksi terbatas
Klas VIII untuk hutan lindung
Deskripsi tiap Klas, Sub Klas dan Unit dalam sistem klasifikasi KPL
mengikuti standar yang ada. Deskripsi tersebut dapat dinyatakan dalam satu tabel
kriteria. Kriteria ini kemudian digunakan untuk melakukan sortasi data karakteristik
lahan di setiap unit lahan. Contoh kriteria untuk Klas I antara lain adalah adanya
teknik konservasi tanah yang baik, tidak ada erosi, kedalaman tanah > 90 cm, lereng
0 – 8 % dan tidak ada batuan singkapan pada permukaan tanah.
6
dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan
meningkat berturut-turut dari Kelas I sampai kelas VIII, seperti pada Gambar 1.
5
Sumber ; Djaenuddin,
D, Dkk, (1994), Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian
dan Kehutanan (Land Suitability for Agriculture and Silvicultural Plants), Second
Land Resource Evaluation and Planning Project, ADB Loan 1099, INO, Laporan
Teknis No 7 Versi 1.0. 51 pp
7
Kelas Kemampuan Lahan
Kelas Kemampuan I
Didaerah beriklim kering yang telah dibangun fasilitas irigasi, suatu lahan
dapat dimasukkan kedalam kelas I jika tofografi hampir datar, daerah perakaran
dalam, permeabilitas dan kapasitas menahan air baik, dan mudah diolah. Beberapa
dari lahan yang dimasukkan ke dalam kelas ini mungkin memerlukan perbaikan pada
awalnya seperti perataan, pencucian garam laut atau penurunan permukaan air tanah
musiman. Jika hambatan oleh garam, permukaan air tanah ancaman banjir, atau
ancaman erosi akan terjadi kembali, maka lahan tersebut mempunyai hambatan alami
permanen, oleh karenanya tidak dapat dimasukkan kedalam kelas ini.
Tanah yang kelebihan air dan mempuyai lapisan bawah yang
permeabilitasnya lambat tidak dimasukkan kedalam kelas I. Lahan dalam kelas I yang
dipergunakan untuk penanaman tanaman petanian memerlukan tindakan pengolaan
untuk memelihara produktivitas, berupa pemeliharaan kesuburan dan struktur tanah.
Tindakan tersebut dapat berupa pemupukan dan pengapuran, pengunaan tanaman
penutup tanah dan pupuk hijau, pengunaan sisa-sisa tanaman dan pupuk kandang, dan
pergiliran tanaman. Pada peta kelas kemampuan lahan , lahan kelas I biasanya diberi
warna hijau.
8
Kelas Kemampuan II
Hambatan atau ancaman kerusakan pada lahan kelas II adalah salah satu atau
kombinasi dari faktor berikut: (1) lereng yang landai atau berombak (>3 % – 8 %),
(2) kepekaan erosi atau tingkat erosi sedang, (3) kedalaman efetif sedang (4) struktur
tanah dan daya olah kurang baik, (5) salinitas sedikit sampai sedang atau terdapat
garam Natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinabn timbul
kembali, (6) kadang-kadang terkena banjir yang merusak, (7) kelebihan air dapat
diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang
tingkatannya, atau (8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman atau
pengelolannya.
9
Kelas Kemampuan III
Hambatan yang terdapat pada tanah dalam lahan kelas III membatasi lama
penggunaannya bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau
kombinasi pembatas-pembatas tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan mungkin
disebabkan oleh salah satu atau beberapa hal berikut: (1) lereng yang agak miring
atau bergelombang (>8 – 15%), (2) kepekaan erosi agak tinggi sampai tinggi atau
telah mengalami erosi sedang, (3) selama satu bulan setiap tahun dilanda banjir
selama waktu lebih dari 24 jam, (4) lapisan bawah tanah yang permeabilitasnya agak
cepat, (5) kedalamannya dangkal terhadap batuan, lapisan padas keras (hardpan),
lapisan padas rapuh (fragipan) atau lapisan liat padat (claypan) yang membatasi
perakaran dan kapasitas simpanan air, (6) terlalu basah atau masih terus jenuh air
setelah didrainase, (7) kapasitas menahan air rendah, (8) salinitas atau kandungan
natrium sedang, (9) kerikil dan batuan di permukaan sedang.Pada peta kemampuan
lahan, lahan kelas III biasanya diberi warna merah.
Kelas kemampuan IV
10
Hambatan atau ancaman kerusakan tanah-tanah di dalam kelas IV disebabkan
oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: (1) lereng yang miring atau
berbukit (> 15% – 30%), (2) kepekaan erosi yang sangat tinggi, (3) pengaruh bekas
erosi yang agak berat yang telah terjadi, (4) tanahnya dangkal, (5) kapasitas menahan
air yang rendah, (6) selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun dilanda banjir yang
lamanya lebih dari 24 jam, (7) kelebihan air bebas dan ancaman penjenuhan atau
penggenangan terus terjadi setelah didrainase (drainase buruk), (8) terdapat banyak
kerikil atau batuan di permukaan tanah, (9) salinitas atau kandungan Natrium yang
tinggi (pengaruhnya hebat), dan/atau (10) keadaan iklim yang kurang
menguntungkan. Pada peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas IV biasanya diberi
warna biru.
Kelas Kemampuan V
Contoh tanah kelas V adalah: (1) tanah-tanah yang sering dilanda banjir sehingga
sulit digunakan untuk penanaman tanaman semusim secara normal, (2) tanah-tanah
datar yang berada di bawah iklim yang tidak memungknlah produksi tanaman secara
normal, (3) tanah datar atau hampir datar yang > 90% permukaannya tertutup batuan
atau kerikil, dan atau (4) tanah-tanah yang tergenang yang tidak layak didrainase
untuk tanaman semusim, tetapi dapat ditumbuhi rumput atau pohon-pohonan.Pada
peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas V biasanya diberi warna hijau tua.
11
Sumber : http//:www.wikipedia.com
Kelas Kemampuan VI
Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika digunakan
untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk
menghindari erosi. Beberapa tanah di dalam lahan kelas VI yang daerah perakarannya
dalam, tetapi terletak pada lereng agak curam dapat digunakan untuk tanaman
semusim dengan tindakan konservasi yang berat seperti, pembuatan teras bangku
yang baik.pada peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas VI biasanya diberi warna
orange.
12
Sumber : http//:www.wikipedia.com
13
Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, Jika digunakan untuk padanag
rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang
berat. Tanah-tanah dalam lahan kelas VII yang dalam dan tidak peka erosi jika
digunakan unuk tanaman pertaniah harus dibuat teras bangku yang ditunjang dengan
cara-ceara vegetatif untuk konserbvasi tanah , disamping yindkan pemupukan.
Tanah-tanah kelas VII mempunuaio bebetapa hambatan atyai ancaman kerusakan
yang berat da tidak dapatdihiangkan seperti (1) terletak pada lereng yang curam (>45
% – 65%), dan / atau (2) telah tererosi sangat berat berupa erosi parit yang sulit
diperbaiki. pada peta kemampuan lahan, lahan kelas VII biasanya diberi warna
coklat.
Teknologi Agroforestry
Sumber : http//:www.wikipedia.com
Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk
dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung,
14
tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada lahan kelas
VIII dapat berupa: (1) terletak pada lereng yuang sangat curam (>65%), atau (2)
berbatu atau kerikil (lebih dari 90% volume tanah terdiri dari batu atau kerikil atau
lebih dari 90% permukaan lahan tertutup batuan), dan (3) kapasitas menahan air
sangat rendah. contoh lahan kelas VIII adalah tanah mati, batu tersingkap, pantai
pasir, dan puncak pegunungan. Pada peta kemampuan lahan, lahan kelas VIII
biasanya berwarna putih atau tidak berwarna.
2.3 Metode klasifikasi kemampuan lahan
Menurut Hadmoko (2012), beberapa metode klasifikasi kemampuan lahan
adalah sebagai berikut:
1. Metode kualitatif/deskriptif
Metode ini didasarkan pada analisis visual/pengukuran yang dilakukan
langsung dilapangan dengan cara mendiskripsikan lahan. Metode ini bersifat
subyektif dan tergantung pada kemampuan peneliti dalam analisis.
2. Metode statistik
Metode ini didasarkan pada analisis statistik variabel penentu kualitas lahan
yang disebut diagnostic land characteristic (variabel x) terhadap kualitas lahannya
(variabel y)
3. Metode matching
Metode ini didasarkan pada pencocokan antara kriteria kesesuaian lahan
dengan data kualitas lahan. Evaluasi kemampuan lahan dengan cara matching
dilakukan dengan mencocokkan antara karakteristik lahan dengan syarat penggunaan
lahan tertentu.
4. Metode pengharkatan (scoring)
Metode ini didasarkan pemberian nilai pada masing-masing satuan lahan
sesuai dengan karakteristiknya.6
6
Sumber : Ishak,Marenda.2008. Penentuan Pemanfaatan Lahan.Fakultas Pertanian Universitas
Padjajaran. Jatinangor.
15
2.4 Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan
Kriteria pembatas klasifikasi kemampuan lahan antara lain :
1. Iklim
Dua komponen iklim yang paling mempengaruhi kemampuan lahan, yaitu
temperature dan curah hujan. Temperatur yang rendah mempengaruhi jenis dan
pertumbuhan tanaman. Di daerah tropika yang paling penting mempengaruhi
temperatur udara adalah ketinggian letak suatu tempat dari permukaan laut. Udara
yang bebas bergerak akan turun temperaturnya pada umumnya dengan 1 0C untuk
setiap 100 m naik di atas permukaan laut. Penyediaan air secara alami berupa curah
hujan yang terbatas atau rendah di daerah agak basah (sub humid), agak kering (semi
arid), dan kering (arid) mempengaruhi kemampuan tanah.
Kehilangan unsur hara oleh erosi adalah penting tidak saja oleh karena
pengaruhnya terhadap hasil tanaman akan tetapi juga oleh karena diperlukan
biaya penggantian unsur hara tersebut untuk dapat memelihara hasil tanaman
yang tinggi.
Kehilangan lapisan permukaan tanah merubah sifat-sifat fisik lapisan olah yang
akan sangat jelas kelihatan pada tanah yang lapisan bawah bertekstur lebih halus.
Kehilangan tanah oleh erosi menyingkap lapisan bawah yang memerlukan waktu
dan perlakuan yang baik untuk dapat menjadi media pertumbuhan yang baik
bagi tanaman.
16
Kecuraman lereng, panjang lereng dan bentuk lereng semuanya
mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan. Kecuraman lereng tercacat atau
dapat diketahui pada peta tanah.
Kelas Erosi Kriteria Deskripsi
Tanah
e0 Tidak ada erosi Tidak ada lapisan atas yang hilang
e3 Berat > 75% lapisan tanah atas hilang dan < 25%
lapisan tanah bawah hilang
e4 Sangat berat > 25% lapisan tanah bawah hilang
5. Permeabilitas (p)
Permeabilitas merupakan kemampuan tanah untuk melalukan air dan udara
(Utomo, 1989).
6. Drainase (d)
Drainase adalah kondisi mudah tidaknya air menghilang dari permukaan
tanah yang mengalir melalui aliran permukaan atau melalui peresapan ke dalam tanah
(Utomo, 1989).
17
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Studi kasus Penggunaan Lahan Pada Kemampuan Lahan Di Sub DAS
Kelara Bagian Hulu Kabupaten Jeneponto
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Desa Jenetallasa memiliki enam bentuk
pengunaan lahan yaitu Hutan Lindung dengan kelas kemampuan lahan VIII L,
Penggembalaan dengan kelas kemampuan lahan VI L. Penggunaan lahan I yaitu
hutan lindung diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan VIII L dengan Faktor
pembatasnya adalah lereng yang sangat curam (>65%) yaitu 100%. Meskipun
memiliki faktor penghambat seperti kedalaman tanah yang sangat dangkal, berbatu-
batu, kepekaan erosi yang tinggi dan kerapatan vegetasi yang kurang rapat, namun
vegetasi yang ada didalamnya didominasi oleh pepohonan. Hal ini sejalan dengan
yang dikemukakan Rustiadi et al., (2010). bahwa kelas VIII, pilihan peruntukannya
sangat terbatas, yang dalam hal ini cenderung diperuntukan untuk kawasan lindung
atau sejenisnya. Penggunaan lahan 2 yaitu penggembalaan diklasifikasikan kedalam
kelas kemampuan lahan VI L dengan faktor pembatas berupa lereng. Faktor penyebab
lahan ini masuk kedalam kelas kemampuan lahan VI L karena memiliki kelerengan
yang agak curam atau bergunung (> 30 sampai 45%) yaitu 40%, tanahnya berbatu –
batu dan dangkal, maka masyarakat menggunakan lahan ini menjadi penggembalaan
hewan.7
Penggunaan lahan 3 yaitu pemukiman diklasifikasikan kedalam kelas
kemampuan lahan II dengan Sub kelas penghambat terhadap perakaran tanaman (IIs).
Lahan ini termasuk dalam kelas kemampuan lahan II dengan faktor pembatasnya
berupa kedalaman tanah yang dangkal yaitu 30 cm, drainase yang agak buruk dan
kepekaan erosi yang rendah. Penggunaan lahan 4 yaitu kebun campuran
diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan VII L dengan faktor pembatas yaitu
kelerengan yang curam (>45 sampai 65 ) yaitu 50%. Meskipun memiliki kelerangan
yang curam, lahan ini ditumbuhi oleh vegetasi dengan sistem agroforestry berbasis
kopi dengan kondisi tajuk yang rapat, Penggunaan lahan 5 yaitu kebun sayur
diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan VII L dengan faktor pembatasnya
7
Sumber : Tarru,Satriani,Baharuddin,dan Anwar .2013.Penggunaan Lahan Pada
Berbagai Kelas Kemampuan Lahan Di Sub Das Kelara Bagian Hulu Pada Desa
Jenetallasa Kecamatan Rumbia Kabupaten Jeneponto. Pascasarjana Ilmu Kehutanan
Universitas Hasanuddin: Makassar.
18
berupa kelerengan yang curam (> 45 sampai 65%) yaitu 50% dengan kepekaan erosi
yang agak tinggi. Penggunaan lahan 6 yaitu semak belukar diklasifikasikan kedalam
kelas kemampuan lahan VII L dengan faktor pembatasnya berupa kelerengan yang
curam > 45 Sampai 65 % yaitu 65%, permukaan tanah terbuka dengan kedalaman
tanah yang dangkal dan berbatu – batu.
Kesesuaian penggunaan lahan untuk Hutan lindung yang ada saat ini sudah
sesuai dengan kelas kemampuan lahan VIII. Hal ini sejalan yang dikatakan Arsyad S,
(2010) bahwa lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih
sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami.kelas VIII bermanfaat sebagai hutan
lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Lahan penggembalaan sudah sesuai dengan
kelas kemampuan lahan VI. Hal ini disebabkan karena lereng yang agak curam atau
bergunung.Kondisi vegetasi disekitar pengembalaan didominasi oleh semak belukar
yang dijadikan sebagai makanan hewan ternak.Lahan ini sejalan dengan yang
dikatakan Widiatmaka Dkk, (2007).
Bahwa lahan kelas VI mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga
tidak sesuai untuk pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput ternak atau
dihutankan. Penggunaan lahan pemukiman sudah sesuai dengan kelas kemampuan
lahan II karena kelerengannya yang landai dan tanah bertekstur halus. Hal ini sejalan
dengan yang dikatakan Arsyad S,(2010). Bahwa lahan kelas kemampuan II
mempunyai sedikit hambatan dan tindakan yang diperlukan mudah diterapkan
sehingga cocok untuk berbagai penggunaan lahan. Penggunaan lahan kebun
campuran tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan VII. Seperti yang dikatakan
Widiatmaka Dkk, (2007).bahwa kriteria kemampuan lahan kelas VII yang sama
sekali tidak sesuai untuk usaha tani tanaman semusim dan hanya sesuai untuk padang
penggembalaan atau dihutankan.
Penggunaan lahan kebun sayur tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan
VII karena lahan kelas VII tidak sesuai dengan budidaya pertanian. Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan Widiatmaka Dkk, (2007) bahwa kriteria kemampuan
lahan kelas VII yang sama sekali tidak sesuai untuk usaha tani tanaman semusim dan
hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan, sedangkan untuk
penggunaan lahan Semak belukar tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan VII.
hal ini disebabkan karena factor pembatasnya berupa kelerengan yang curam (65 %).
Harahap (2007), menyarankan untuk kemiringan lereng 15 sampai 30% lahan tidak
boleh diganggu, karena jika kondisi ini terganggu maka kejadian erosi yang akan
terjadi semakin berat. Arahan yang tepat untuk penggunaan lahan hutan lindung
adalah melakukan upaya reboisasi, pengayaan, dan rehabilitasi hutan.Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran
19
Sungai, maka kondisi lahan hutan tersebut bisa dimasukkan ke dalam DAS yang
dipulihkan. Upaya-upaya pemulihan daya dukung dapat dilakukan melalui kegiatan
reboisasi, pengayaan, dan rehabilitasi hutan seperti yang telah disebutkan. Akan
tetapi hal ini akan lebih mempercepat upaya pemulihan yang dimaksud apabila
didukung dengan satu peraturan daerah (Perda) tentang pengelolaan DAS. Untuk
lahan penggembalaan arahan yang sesuai adalah perlu adanya perbaikan lahan
diantaranya pembersihan lahan dan pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang
maupun pupuk kompos akan sangat bermanfaat bagi kondisi fisik tanah tersebut
karena akan memperbaiki struktur tanah. Jenis tanaman yang akan ditanam juga perlu
diperhatikan karena lahan penggembalaan yang baik adalah lahan yang ditanami
rumput unggul dan legume ( jenis rumput dan legume yang tahan terhadap injakan
ternak) yang digunakan untuk menggembalakan ternak (Maslikah,2013).
Lahan pemukiman arahan yang diupayakan adanya pengadaan sarana dan
prasarana yang dapat mendukung di Desa seperti, penambahan bangunan
tanggul/tembok penahan disepanjang sisi jalan utama, serta drainase yang tepat
menahan rotasi tanah. Selain itu, setiap pembangunan rumah atau prasarana fisik
lainnya diharapkan adanya pembuatan kebun pekarangan serta tata ruang yang tepat.
Arahan penggunaan lahan kebun campuran yang sesuai adalah tetap mempertahankan
sistem agroforestry yang merupakan model pengelolaan lahan agroforestry berbasis
kopi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
Umar A, dkk (2010).berkesimpulan bahwa penerapan teknik konservasi tanah
secara fisik seperti pembuatan rorak dan pengembangan agroforestry berbasis kopi
dengan penanaman tanaman buah-buahan dan tanaman penutup tanah dapat lebih
meningkatkan fungsi hidrologi hutan lindung serta meningkatkan pendapatan
masyarakat. Arahan Penggunaan lahan kebun sayur sangat membutuhkan sistem
pertanaman yang sesuai dengan kaidah – kaidah konservasi tanah dan air. Teknik
konservasi tanah dan air yang dapat diterapkan antara lain penanaman tanaman
rumput sebagai penguat dan disekitar aliran sungai sebagai filter dan pembuatan
saluran pembuangan air. Pada lahan yang curam sistem tanam lebih tepat
menggunakan sistem tumpang sari .Tumpang sari atau tumpang gilir adalah suatu
bentuk pertanaman campuran (polyculture) berupa perlibatan dua jenis atau lebih
tanaman pada satu areal lahan tanam dalam waktu yang besamaan dan agak
bersamaan. (Asdak, 2001). Sedangkan penggunaan lahan semak belukar tidak sesuai
dengan klasifikasi kemampuan lahan VII. arahan yang sesuai pada lahan ini adalah
harus dihutankan dengan cara melakukan upaya rehabilitasi lahan, reboisasi dan
pemilihan tanaman yang tepat yang sesuai dengan kondisi lahan tersebut serta tidak
mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air.
20
3.2 Evaluasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu .
Berdasarkan hasil tumpang susun peta jenis tanah, peta topografi, dan peta
penggunaan lahan DAS Sekampung Hulu, diperoleh 20 satuan lahan
Klasifikasi Kemampuan Lahan DAS Sekampung Hulu
Berdasarkan hasil survey lapang dan analisis contoh tanah masing-masing
satuan lahan di laboratorium, kemudian dinilai dengan kriteria klasifikasi kemampuan
lahan (Tabel 1), diperoleh hasil bahwa DAS Sekampung Hulu memiliki kelas II, III,
IV, VI, dan VII, dengan faktor penghambat utama untuk seluruh kelas kemampuan
lahan adalah kecuraman lereng. Secara rinci hasil klasifikasi kemampuan lahan DAS
Sekampung Hulu disajikan pada data hasil evaluasi kemampuan lahan menunjukkan
bahwa sebagian besar DAS Sekampung Hulu didominasi oleh kelas dan sub kelas
kemampuan lahan III-l2 yaitu seluas 17.630,51 ha atau 41,58 %, kemudian berturut-
turut diikuti oleh kelas dan sub kelas kemampuan lahan IV-l3 seluas 8.862,97 ha atau
20,90 %, II-l1.e1 seluas 5.458,37 ha atau 12,87 %, VI-l4 seluas 4.459,01 ha atau
10,52 %, dan terakhir VII-l5 seluas 3.171,00 ha atau 7,48 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAS Sekampung Hulu didominasi oleh
lahan bergelombang hingga berlereng curam dengan kemiringan lereng lebih dari 8
% yaitu seluas 34.123,47 ha atau 80,84 %. Hal ini menunjukkan bahwa usaha
budidaya pertanian yang dapat dilakukan hanya terbatas pada usahatani tanaman
tahunan dengan tindakan konservasi tanah dan air yang tepat agar kelestarian lahan
dapat terjaga.
Kemampuan lahan DAS Sekampung Hulu yang paling kecil risiko
kerusakannya adalah lahan kelas II-l1.e1, tetapi hanya menempati areal seluas
5.458,37 ha atau 12,87 % dari luas total, dan untuk itu Arsyad (2000) menyatakan
bahwa pada lahan kelas II-l1.e1 apabila akan digunakan untuk usaha pertanian,
diperlukan tindakan konservasi tanah untuk mencegah erosi, seperti guludan,
penanaman dalam strip, penggunaan mulsa, atau pergiliran tanaman atau kombinasi
dari tindakan-tindakan tersebut. Selanjutnya lahan kelas III-l2 menempati areal
terluas, yaitu seluas 17.630,51 ha atau 41,58 %. Tanah-tanah dalam lahan kelas III-l2
ini mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan atau
memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya (Arsyad, 2000).
Lahan kelas III-l2 apabila digunakan untuk usaha budidaya pertanian,
diperlukan tindakan konservasi tanah untuk mencegah erosi, seperti guludan
bersaluran, penanaman dalam strip, penggunaan mulsa, pergiliran tanaman,
21
pembuatan teras, atau kombinasi dari tindakan-tindakan tersebut. Lahan kelas IV-l3
menempati wilayah seluas 8.862,97 ha atau 20,90 %. Hambatan dan ancaman
kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV-l3 lebih besar daripada tanah-
tanah di dalam kelas III-l2, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Dalam usaha
pertanian, diperlukan pengelolaan yang lebih hatihati dan tindakan konservasi lebih
sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegetasi, dan dam
penghambat, di samping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan
kondisi fisik tanah.
Kelas kemampuan lahan VI-l4 menempati areal seluas 4.459,01 ha atau 10,52
%. Tanah-tanah dalam kelas VI-l4 mempunyai hambatan yang berat yang
menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pertanian. Namun tanah di dalam
kelas VI-l4 yang daerah perakarannya dalam, Arsyad (2000) dan Sitorus (1985)
menyatakan masih dapat dipergunakan untuk usaha pertanian dengan tindakan
konservasi yang berat, seperti pembuatan teras bangku. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa DAS Sekampung Hulu memiliki lahan yang seluruhnya
bersolum dalam (> 90 cm), sehingga usaha budidaya pertanian khususnya tanaman
tahunan seperti kopi beserta campurannya masih memungkinkan, tetapi dengan
penerapan konservasi tanah dan air yang tepat, di samping pemberian pupuk baik
alam maupun buatan.
Selanjutnya kelas kemampuan lahan VII-l5 terdapat pada 2 satuan lahan di
DAS Sekampung Hulu, menempati areal seluas 3.171,00 ha atau 7,48 %. Lahan kelas
VII-l5 tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Jika tetap digunakan untuk usaha
pertanian, Arsyad (2000) dan Sitorus (1985) menyatakan harus dibuat teras bangku
yang ditunjang dengan cara-cara vegetatif untuk konservasi tanah, di samping
tindakan pemupukan.8
8
Sumber : Banuwa ,Irwan, Sukri, Naik, Sinukaban, Suria.2008.Evaluasi Kemampuan Lahan
DAS Sekampung Hulu.Lampung
22
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kemampuan Lahan merupakan lahan potensial untuk budidaya
pertanian. karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di
dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan
dan/atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan
(peternakan, perikanan, kehutanan).
Perubahan penggunaan lahan terjadi karena adanya pertambahan penduduk
dan adanya perkembangan tuntutan hidup, kebutuhan rumah, yang membutuhkan
ruang sebagai wadah semakin meningkat. Gerakan penduduk yang terbalik, yaitu dari
kota ke daerah pinggiran kota yang sudah termasuk wilayah Desa. Daerah pinggiran
kota sebagai daerah yang memiliki ruang relatif masih luas ini memiliki daya tarik
bagi penduduk dalam memperoleh tempat tinggal. Kepadatan penduduk secara
umum, dapat diartikan sebagai perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas
tanah yang didiami dalam satuan luas. Kepadatan penduduk oleh faktor faktor seperti
topografi, iklim, tata air, aksesibilitas dan ketersediaan fasilitas hidup (Bintarto, 1983)
Pemanfaatan sumber daya lahan merupaklan usaha penggunaan lahan untuk suatu
tujuan tertentu yang dapat memberikan arti ekonomis, baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang bagi kehidupan manusia.
Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Classification) adalah
penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan
pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang
merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. Menurut
Hadmoko (2012), beberapa metode klasifikasi kemampuan lahan adalah sebagai
berikut: 1. Metode kualitatif/deskriptif ,2. Metode statistik ,3. Metode matching ,4.
Metode pengharkatan (scoring)
4.2 Saran
Menjaga lingkungan merupakan tugas kita sebagai manusia, kalau bukan kita
yang melestarikanya, siapa lagi? Hutan adalah asset / harta suatu bangsa yang sangat
berharga yang harus dipertahankan keberadaannya demi anak cucu di masa yang
akan datang. Oleh sebab itu kita jangan membiarkan lingkungan hutan dirusak oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
23
DAFTAR PUSTAKA
Aziz S, 2008. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Pendugaan Erosi untuk Arahan
Pemanfaatan Lahan Di Sub DAS Juwet dan Dondong, Gunung Kidul
yogyakarta. Thesis. Program Studi Geografi Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta
Banuwa ,Irwan, Sukri, Naik, Sinukaban, Suria.2008.Evaluasi Kemampuan Lahan
DAS Sekampung Hulu.Lampung.
Departemen Kehutanan, Ditjen RRL, 1986. Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan
Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah.
Departemen Kehutanan, Jakarta
Djaenuddin, D, Dkk,.1994. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan
Kehutanan (Land Suitability for Agriculture and Silvicultural
Plants).Second Land Resource Evaluation and Planning Project, ADB Loan
1099. INO. Laporan Teknis No 7 Versi 1.0. 51 pp
FAO. (1976), A framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and
Conservation Service Land and Water Development Division, FAO Soil
Buletin No. 32,FAO-UNO, Rome.
Fletcher, J.R. and R.G. Gibb. 1991. Land Resource Inventory Handbook for Soil
Conservation Planning in Indonesia. NZ DSIR Scientific Report No. 11.
NZ DSIR Land Resources and Dir Gen RLR of Indonesia. 87 pp.
24