Anda di halaman 1dari 16

AHMAD SYAFI’I MA’ARIF

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Ulangan Akhir Semester


Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu : Fadiah Adlina, M.Pd.I

Disusun Oleh:
MUHAMMAD RIDHO AULIA IRAWAN
NIM : 1804140092

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH KELAS C
TAHUN 2018 M/1440 H
A.PROFIL TOKOH

1.Biografi

Ahmad Syafii Maarif akrab dipanggil Syafii Maarif, dilahirkan di Sumpur


Kudus, Sumatera Barat, Indonesia, pada tanggal 31 Mei 1935 dari pasangan bapak
Marifah Rauf (1900-1955) dan ibu Fathiyah (1905-1937). Ia adalah anak bungsu dari
empat orang bersaudara. Ayahnya adalah orang terpandang di Sumpur Kudus yaitu
sebagai kepala suku Melayu dengan gelar Datuk Rajo Melayu dan merangkap sebagai
kepala Nagari yang dijabatnya hingga 1946. Semasa kecil, ia hidup dalam lingkungan
keluarga Islam yang tekun beribadah. Ia juga memiliki beberapa kegemaran, seperti:
olah raga tenis meja, bulu tangkis, catur, menonton sepak bola dan menembak
burung.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh Syafii Maarif dimulai di tingkat
dasar yaitu Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah Sumpur Kudus (tamat
1947), kemudian masuk ke tingkat menengah pertama Madrasah Muallimin di Balai
Tangah, Lintau, Sumatera Barat (1950-1953). Setelah itu, ia pindah ke Yogyakarta
untuk melanjutkan pendidikan menengahnya di Mualimin Muhammadiyah (tamat
1956). Setelah itu, ia meneruskan pendidikan ke Universitas Cokroaminoto, Solo, dan
meraih gelar sarjana muda pada jurusan Sejarah Budaya (1964). Gelar sarjana Sejarah
ia peroleh di IKIP Yogyakarta (1968). Untuk menekuni ilmu sejarah, ia kemudian
mengikuti program master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika Serikat
dan berhasil mengantongi ijazah Master (1980), dengan judul tesis: Islamic Politics
under Guided Democracy in Indonesia (1959-1965). Atas jasa Amien Rais yang telah
memperkenalkan dan memintakan rekomendasi kepada Fazlur Rahman, Syafii Maarif
diterima di Universitas Chicago, dan berhasil meraih gelar doktor pada program studi
Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A
Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates
in Indonesia. Selama kuliah di Chicago, Syafii Maarif secara intensif juga aktif
melakukan pengkajian al-Qur‘an, dibimbing langsung oleh seorang tokoh pembaharu
pemikiran Islam yaitu Fazlur Rahman. Di sana pula, ia sering terlibat diskusi dengan
beberapa tokoh Indonesia seperti Nurcholish Madjid (Alm.) dan Amien Rais yang
juga sedang mengikuti program doktornya.
Aktivitas yang pernah dilakoni Syafii Maarif sebagian besar bergelut di dunia
akademik, antara lain: mengajar di PGA Muhammadiyah di Lombok Timur selama
satu tahun (1956-1957), menjadi asisten dosen untuk mengajar Sejarah Indonesia
Kuno di FKIS IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) dan asisten Sejarah Islam di UII
Yogyakarta (1967), Guru Besar Filsafat Sejarah di IKIP Yogyakarta (1997), dan
Dosen Pascasarjana IAIN Yogyakarta. Ia juga pernah tercatat sebagai dosen tamu
untuk mengajar mata kuliah Sejarah Perang Salib dan Islam dan Perubahan Sosial di
Asia Tenggara di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1992), dan pernah menjadi
anggota Kelompok Pemikir Masalah Agama Departemen Agama (1984). Selain itu,
ia juga pernah aktif dalam berbagai organisasi seperti: Anggota Muhammadiyah
(1955), Anggota HMI (1957-1968), Pengurus HMI Surakarta (1963-1964), Pejabat
Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan menjabat Ketua Umum PP
Muhammadiyah selama tujuh tahun (1998-2005).
Di sela-sela kesibukannya, ia tetap aktif menulis, di samping menjadi
pembicara dalam sejumlah seminar, baik dalam maupun luar negeri. Sampai akhir
tahun 2005, ia telah mengunjungi sejumlah negara untuk menjadi pemakalah, tenaga
pengajar, ataupun sebagai tamu undangan, di antaranya: Amerika Serikat, Singapura,
Malaysia, Thailand, Pakistan, India, Iran, Iraq, Jordan, Malata, Libia, Inggris,
Belanda, Australia, Saudi Arabia. Tulisan-tulisannya, sebagian besar menyangkut
persoalan-persoalan pemikiran keislaman dan telah dipublikasikan di sejumlah media
cetak seperti: majalah Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Genta dan SKH
Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Selain itu, ia juga pernah menjadi korektor dan
redaktur majalah Suara Muhammadiyah dan sekaligus dipercayakan mengurus iklan
majalah hingga 1972 di bawah pimpinan alm. H.A.Basuni.
Karier
Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan
menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah
Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi
Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi :
Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the
Constituent Assembly Debates in Indonesia.Selama di Chicago inilah, anak bungsu
dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-
Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur
Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid
dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya.Penulis Damiem
Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi'i Maarif, yang
berjudul 'Si Anak Kampung'. Novel ini telah difilmkan dan meraih penghargaan pada
America International Film Festival (AIFF).

Aktivitas
Setelah meninggalkan posisinya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia
aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta
ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar.
Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di
sejumlah media cetak. Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku.
Bukunya yang sudah terbit antara lain berjudul : Dinamika Islam dan Islam, Mengapa
Tidak?, kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan
Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada
tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah
Filipina.

Kini, dalam usia senjanya, Syafii Maarif tidak lagi memiliki kedudukan atau
jabatan formal, baik sebagai Ketua PP Muhammadiyah maupun sebagai PNS (dosen).
Namun, sebagai sosok intelektual muslim yang memiliki komitmen kebangsaan,
kritis, tegas, dan bersahaja, undangan sebagai pembicara dari berbagai kalangan dan
beragam latar belakang masih terus mengalir. Saat ini, ia bersama istrinya Ny. Hj.
Nurkhalifah dan anak semata wayangnya, Mohammad Hafiz, tetap menikmati hari-
harinya. Ia berharap di sisa akhir hidupnya, mampu menghasilkan karya besar tentang
Islam dan kemanusiaan, dan akan menjadi sumbangan besar bagi peradaban
manusia.1
2.Riwayat Pendidikan

1. SR Negeri Sumpur Kudus, Sumatera Barat (1947)


2. Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus, Sumatera Barat
3. Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Lintau, Sumatera Barat
4. Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, Yogyakarta (1956)
5. BA, Fakultas Sejarah dan Kebudayaan Universitas Cokroaminoto Surakarta
(1964)
6. S1, Jurusan Sejarah, IKIP Yogyakarta (1968)
7. S2, Jurusan Sejarah, Ohio University, Athens, Ohio, AS, (MA, 1980)
8. S3, Pemikiran Islam, Universitas Chicago, Amerika Serikat, (Ph.D, 1983)2

3. Karya-karya

Sebagai sosok intelektual Islam, Syafii Maarif telah melahirkan beberapa


karya berupa buku yang telah dipublikasikan, yaitu:

1. Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, diterbitkan oleh


Yayasan FKIS-IKIP Yogyakarta (tahun 1975).
2. Dinamika Islam, diterbitkan oleh Shalahuddin Press (tahun 1984).
3. Islam, Mengapa Tidak?, diterbitkan oleh Shalahuddin Press (tahun 1984).

1 http://mitrazalman.blogspot.com/2014/10/biografi-dan-pemikiran-ahmad-syafii.html diakses pada


tanggal 5 januari pukul 17:45 wib
2 https://www.viva.co.id/siapa/read/297-ahmad-syafii-maarif Di Akses Pada Tanggal 5 januari 2019
pukul 18.03 wib
4. Percik-Percik Pemikiran Iqbal (bersama M. Diponegoro), diterbitkan oleh
Shalahuddin Press (tahun 1984).
5. Islam dan Masalah Kenegaraan, diterbitkan oleh LP3ES (tahun 1985).
6. Titik-Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif,
diterbitkan oleh Ombak di Yogyakarta (tahun 2006).
7. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin(1959-
1965),/ Jakarta: Gema Insani Press (1996).

Pemikiran
Pola pemikiran Syafii Maarif banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
Fazlur Rahman setelah mengalami “pencucian otak” melalui kuliah dan berbagai
diskusi bersama Fazlur Rahman di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Aspek
pemikiran Syafii Maarif yang perlu diketengahkan dalam portal ini, adalah:
pemikirannya tentang Islam, hubungan Islam dan negara, toleransi inter dan antar
agama, posisi perempuan dalam politik, dan perkawinan monogami dan poligami.

a Pandangan Syafii Maarif tentang Islam


Islam bagi Syafii Maarif adalah sumber moral dan utama. Alquran adalah
Kitab Suci untuk memandang dunia secara jelas dan sebagai pedoman dan acuan
tertinggi dalam semua hal.

b.Hubungan Islam dan Negara (Indonesia)


Dalam kesempatan ini, penulis akan mendedahkan pandangan Ahmad Syafii
Maarif tentang hubungan Islam dan negara. Diskusi mengenai tema ini mencakup dua
aspek, yakni aspek normatif dan aspek historis. Dengan mendiskusikannya,
diharapkan dapat memperjelas bagaimana sesungguhnya relasi Islam dan negara.
Menurut Ahmad Syafii Maarif, secara doktrinal, Islam tidak menetapkan dan
menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum
Muslim. H.A.R. Gibb seperti dikutip Buya Ahmad Syafii Maarif, memaparkan bahwa
baik Al-Qur’ân maupun Sunnah tidak memberikan petunjuk yang tegas tentang
bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga politik lainnya sebagai cara bagi umat
untuk mempertahankan persatuannya.3
Terminologi “kerajaan Islam”, “kesultanan Islam” atau “monarkhi Islam”
menurut Buya Syafii Maarif sebenarnya bersifat kontradiktif di dalamnya.
Monarkhi, kesultanan, dan seterusnya tidak secara otomatis dapat menjadi Islam
kendatipun menggunakan embel-embel nama Islam. Ia juga mengkritik gagasan
negara Islam. Menurutnya, gagasan negara Islam tidak memiliki basis religio-
intelektual yang kukuh, yang berbicara secara teoretik. Terminologi negara Islam
tidak ada dalam kepustakaan Islam klasik. Dalam Piagam Madinah pun, terminologi
ini tidak ditemukan. Gagasan negara Islam (daulatul-islâmiyyah), menurutnya,
merupakan fenomena abad ke-20. Kendati demikian, Islam sangat membutuhkan
mesin Negara untuk membumikan cita-cita dan ajaran-ajaran moral. Al-Qur’ân yang
penuh dengan ajaran imperatif moral4, lanjutnya, tidak diragukan lagi sangat
membutuhkan negara sebagai institusi “pemaksa” bagi pelaksanaan perintah dan
ajaran moralnya.5
Argumentasi Buya Syafii Maarif ini berangkat dari asumsi bahwa Islam
bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama yang lepas begitu saja.
Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud Buya Ahmad Syafii
Maarif tidak lain adalah negara. Oleh karenanya, ia menolak pandangan yang
menghendaki pemisahan Islam dan negara. Menurutnya, di samping tidak memiliki

3 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante,
(Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 20
4 Ahmad Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997), hal. 60-62
5 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Ter pimpin (1959-1965),
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 193.
basis teoretis yang kuat, pendapat seperti itu dalam waktu yang panjang akan berakhir
menjadi kerja bunuh diri.
Buya Ahmad Syafii Maarif menganggap bahwa semua aspek kehidupan tidak
dapat ditempatkan dalam kategori yang dikotomis, antara ibadah dan kerja sekuler.6
Dalam hal ini, ia sepakat dengan pandangan Ibnu Taimiyyah dalam kitab as-siyâsi as-
syar’iyyah yang mengemukakan bahwa negara (kekuasaan politik) merupakan
sesuatu yang penting bagi agama. Tanpa adanya negara, agama tidak akan tegak
dengan kukuh. Ibnu Taimiyyah menuturkan bahwa Allah mewajibkan amar ma’ruf
nahî munkar, jihad, keadilan, menegakkan hudûd, dan semua hal yang Allah
wajibkan. Hal itu tidak mungkin terealisasi dengan sempurna tanpa kekuatan dan
kekuasaan.7
Menariknya, sekalipun menyerukan pentingnya negara bagi Islam, tetapi
Buya Ahmad Syafii Maarif menolak tesis yang mengatakan bahwa Islam adalah dîn
dan daulâh. Sebagaimana telah penulis singgung di muka, tidak ditemukan landasan
yang kuat bahwa Islam adalah dîn dan daulâh, baik di dalam Al-Qur’ân, Hadis,
maupun Piagam Madinah. Apabila Islam merupakan dîn sekaligus daulâh, maka
secara otomatis menempatkan sejajar antara agama dengan negara. Dengan demikian
mereka yang meyakini Islam sebagai dîn sekaligus daulâh secara tidak sadar
menempatkan alat dengan risalah. Ia menilai tesis yang mengatakan bahwa Islam itu
agama sekaligus negara sebagai kekeliruan serius. Hal ini lantaran agama adalah
sesuatu yang immutable (tetap), sementara negara adalah sesuatu yang mutable
(berubah) sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Dengan menempatkan negara
selevel dengan posisi negara berarti mereka mengagungkan negara sama halnya
dengan mengagungkan agama8 Inilah yang menjadi kekhawatiran Ahmad Syafii
Maarif.

6 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik…, hal. 194.


7 Ibid., hal. 133.
8 Ibid., hal. 195-196
Menurut Buya Ahmad Syafii Maarif, posisi Nabi Muhammad dalam Al-
Qur’ân hanyalah sebagai Rasul. Kendatipun tak dapat dipungkiri dalam rekaman
historis, beliau pernah menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin negara.
Posisinya sebagai Rasul Allah tidak pernah berubah sampai beliau wafat pada 632 M.
Kedudukan Nabi Muhammad sebatas Rasul Allah termaktub juga dalam Q.S. Surat
Ali Imran: 144. Statemen Al-Qur’ân bahwa “Muhammad hanyalah seorang Rasul”
inilah yang kemudian yang dijadikan argumentasi Buya Ahmad Syafii Maarif untuk
menolak tesis bahwa “Islam adalah agama dan negara”. Bagi Buya Syafii Maarif,
tesis bahwa “Islam merupakan agama dan negara” mengaburkan hakikat yang
sebenarnya dari posisi kenabian Muhammad SAW.9
Perspektif Buya Ahmad Syafii Maarif tentang relasi Islam dan negara di atas
pastinya berseberangan dengan pendapat para pengusung negara Islam dan
formalisasi Syariat Islam. Hal ini karena bagi mereka, Islam adalah agama sekaligus
Negara.Maka pendirian negara Islam dan pemberlakuan Syariat Islam merupakan
perintah Tuhan yang wajib dilakukan dan dipandang sebagai amal saleh10. Hal ini
misalnya dapat ditilik dari pernyataan Muhammad Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI,
yang menganggap pendirian negara Islam sebagai tuntutan akidah Islam.11
Menurut Buya Ahmad Syafii Maarif, aspirasi menjadikan Islam sebagai dasar
negara yang dilakukan para tokoh Islam di masa kemerdekaan jika dikaji lebih
mendalam sesungguhnya tidak jelas aspirasi Islam yang diperjuangkannya. Di
matanya, tidak gambang menempatkan Syariat Islam ke dalam mekanisme kehidupan
politik modern. Ia mencontohkan Pakistan sebagai negara Islam yang sampai
sekarang masih bingung menerapkan Syariat dalam kehidupan kenegaraannya.
Dalam konteks ini, ia mengkritik para tokoh Islam masa lampau yang menurutnya

9 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah.., hal. 14-1


10 Adian Husaini, “Syariat Islam di Indonesia..., hal. 65.
11 Sigit Kamseno, “Komprehensivisme Dîn al-Islâm: Kritik atas Konsep Kulturalisme dan
Strukturalisme Islam”, Jurnal Politik Islam, Vol. 1, No. 2, 2006, hal. 164.
lebih mengutamakan wadah, yaitu menegakkan negara berdasarkan Islam secara
formal.12
Ketika pertama kali mengikuti kuliah Fazlur Rahman di Chicago, Syafii
Maarif pernah berkata: “Professor Rahman, please give me one fourth of your
knowledge of Islam, I will convert Indonesia into an Islamic state”. Namun, setelah
mengikuti kuliah selama beberapa bulan, kalimat itu tidak pernah lagi diucapkan
karena sebutan negara Islam itu tidak diperlukan lagi. Yang terpenting adalah moral
Islam harus dijadikan sebagai dasar perilaku bagi masyarakat, jika memang Indonesia
ingin menjadi sebuah negeri yang adil dan makmur. Adapun perangkat hukum-
hukum Islam, dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses
demokratisasi. Ia mengacu pada istilah Hatta yang berbunyi “janganlah gunakan
filsafat gincu, tampak tetapi tak terasa; pakailah filsafat garam, tak tampak tapi
terasa,”. Artinya, negara Indonesia adalah sebuah negara yang berasaskan pancasila
(bukan Islam), akan tetapi nilai-nilai moral Islam harus selalu diketengahkan dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat; meskipun “negara Islam” tidak tampak, tapi
moral Islam tetap dijalankan.

c.Toleransi inter dan antar agama


Syafii Maarif mengakui bahwa ia mampu hidup berdampingan dengan
pemeluk agama apapun, bahkan dengan seorang atheis dengan syarat masing-masing
pihak saling menghormati secara tulus dan siap untuk hidup berdampingan secara
damai di muka bumi di atas prinsip: ”Bersaudara dalam perbedaan, dan berbeda
dalam persaudaraan”. Pemahamannya ini didasarkan pada Alquran dalam surah al-
Baqarah: 256 dan surat Yunus: 99. Baginya planet bumi ini bukan hanya untuk satu

12 Ahmad Syafii Maarif, “Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi


Terpimpin”, Prisma No. 5, Tahun XVIII, 1988, hal. 26.
pemeluk agama saja, tetapi untuk semua. Semuanya punya hak yang sama untuk
hidup dan memanfaatkan kekayaan bumi ini di atas keadilan dan toleransi.

d.Posisi perempuan dalam politik


Pendangan Syafii Maarif tentang masalah kepemimpinan perempuan ini
berdasarkan pada Alquran surat al-Hujurat: 3 dan ayat-ayat lain yang saling
mendukung, yaitu berisi tentang terbukanya pintu kemuliaan di sisi Allah buat
mereka yang paling taqwa, laki-laki maupun perempuan. Seorang Muslim laki-laki
dan perempuan yang bertaqwa dijamin oleh ayat ini untuk meraih kemuliaan di sisi
Allah, asal diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Posisi pemimpin, laki-laki
maupun perempuan, akan menjadi mulia di mata rakyat jika ia bertaqwa dengan
menegakkan keadilan dan siap bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bersama tanpa pilih kasih. Menurutnya, pemimpin perempuan yang
ideal harus memenuhi syarat yaitu: memiliki kemampuan prima, bermoral, dan akan
lebih baik pasca usia 40 tahun, pada saat ia sudah banyak waktu untuk berkiprah di
bidang politik. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah izin suami, sekiranya ia masih
bersuami.

e.Sistem perkawinan monogami atau poligami


Syafii Maarif berkeyakinan bahwa sistem perkawinan yang benar menurut
Alquran adalah monogami. Poligami dibuka pada saat-saat yang sangat terpaksa
dengan syarat-syarat yang berat. Secara tersirat, dalam Alquran surat Annisa: 3
terkesan selintas dibolehkan beristri lebih dari satu. Tetapi, kesan itu akan berguguran
jika dihubungkan dengan ayat 129 pada surat yang sama. Kalau ayat 3 mensyaratkan
berlaku adil terhadap istri-istri, namun ayat 129 menegaskan bahwa keadilan itu tidak
mungkin, sekalipun sang suami ingin sekali berbuat adil. Dengan memadukan kedua
ayat ini, maka ia menyimpulkan bahwa perkawinan dalam Islam adalah monogami,
poligami hanya pada kasus-kasus yang sangat darurat.
Analisis Kritis:
A.Pandangan Saya Terhadap Pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif
Pola pemikiran Syafii Maarif banyak dipengaruhi oleh pemikiran Fazlur
Rahman setelah mengalami pencucian otak melalui perkuliahan dan berbagai diskusi
bersama Fazlur Rahman di Universitas Chicago Amerika Serikat.ada 5 pemikiran
Ahmad Syafii Maarif yang perlu diketengahkan dalam portal ini, yaitu:
1. pemikirannya tentang Islam
bagi Ahmad Syafii Maarif Islam adalah sumber moral dan utama. Sedangkan
Alquran adalah Kitab Suci untuk memandang dunia secara jelas dan sebagai
pedoman Hidup dan acuan tertinggi dalam Segala hal
2. hubungan Islam dan Negara
Ahmad Syafii Maarif memiliki Pendapat secara doktrinal, Islam tidak
menetapkan dan menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang
wajib digunakan oleh kaum Muslim.seperti dikutip Ahmad Syafii Maarif,
memaparkan bahwa baik Al-Qur’ân maupun Sunnah tidak memberikan
petunjuk yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga
politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk mempertahankan
persatuan/Negaranya.
3. toleransi inter dan antar agama
Ahmad Syafi’i Ma’arif mengakui bahwa ia mampu hidup berdampingan
dengan pemeluk agama apapun, bahkan dengan seorang atheis dengan syarat
masing-masing pihak saling menghormati secara tulus dan siap untuk hidup
berdampingan secara damai di muka bumi Berdasarkan prinsip ”Bersaudara
dalam perbedaan, dan berbeda dalam persaudaraan”
4. posisi perempuan dalam politik
Pendangan Syafii Maarif tentang masalah kepemimpinan perempuan ini
berdasarkan pada Alquran surat al-Hujurat ayat 3 dan ayat-ayat lain yang
saling mendukung, yaitu berisi tentang terbukanya pintu kemuliaan di sisi
Allah buat mereka yang paling taqwa, laki-laki maupun perempuan. Seorang
Muslim laki-laki dan perempuan yang bertaqwa dijamin oleh ayat ini untuk
meraih kemuliaan di sisi Allah, asal diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Menurutnya Ahmad Syafi’i Ma’arif yaitu pemimpin perempuan yang ideal
harus memenuhi syarat Antaralain:
a. memiliki kemampuan prima
b. bermoral, dan akan lebih baik pasca usia 40 tahun
c. pada saat ia sudah banyak waktu untuk berkiprah di bidang politik.
d. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah izin suami
e. sekiranya ia masih bersuami.
5. perkawinan monogami dan poligami.
Ahmad Syafi’i Ma’arif Memiliki keyakinan bahwa sistem perkawinan yang
benar menurut Alquran adalah monogami. Poligami dibuka pada saat-saat
yang sangat terpaksa dengan syarat-syarat yang berat. dalam Alquran surat
An-nisa Ayat 3 dibolehkan beristri lebih dari satu. Tetapi, kesan itu akan
berguguran jika dihubungkan dengan ayat 129 pada surat yang sama. Kalau
ayat 3 mensyaratkan berlaku adil terhadap istri-istri, namun ayat 129
menegaskan bahwa keadilan itu tidak mungkin, sekalipun sang suami ingin
sekali berbuat adil. Dengan memadukan kedua ayat ini, maka ia
menyimpulkan bahwa perkawinan dalam Islam adalah monogami, poligami
hanya pada kasus-kasus yang sangat darurat dan terdesak.

Kini, dalam usia senjanya, Syafii Maarif tidak lagi memiliki


kedudukan atau jabatan formal, baik sebagai Ketua PP Muhammadiyah
maupun sebagai PNS. Akan tetapi, sebagai sosok intelektual muslim yang
memiliki komitmen kebangsaan, kritis, tegas, dan bersahaja, undangan
sebagai pembicara dari berbagai kalangan dan beragam latar belakang masih
terus mengalir. Saat ini, ia bersama istrinya Ny. Hj. Nurkhalifah dan anak
semata wayangnya, Mohammad Hafiz, tetap menikmati hari-harinya. Ia
berharap di sisa akhir hidupnya, mampu menghasilkan karya besar tentang
Islam dan kemanusiaan, dan akan menjadi sumbangan besar bagi peradaban
manusia.
B.Latar Belakang Ahmad Syafi’i Ma’arif Sehingga Memiliki Pikiran Seperti itu
Ahmad Syafii Maarif Memiliki Pikiran Itu karenakan Dari banyaknya pengaruh oleh
pemikiran dari Fazlur Rahman setelah mengalami pencucian otak melalui perkuliahan
dan berbagai diskusi bersama Fazlur Rahman di Universitas Chicago Amerika Serikat
sebagai sosok intelektual muslim yang memiliki komitmen kebangsaan, kritis, tegas,
dan bersahaja, undangan sebagai pembicara dari berbagai kalangan dan beragam
latar belakang masih terus mengalir. Ia berharap di sisa akhir hidupnya, mampu
menghasilkan karya besar tentang Islam dan kemanusiaan, dan akan menjadi
sumbangan besar bagi peradaban manusia.

Kesimpulan
Ahmad Syafii Maarif akrab dipanggil Syafii Maarif, dilahirkan di Sumpur
Kudus, Sumatera Barat, Indonesia, pada tanggal 31 Mei 1935 dari pasangan bapak
Marifah Rauf (1900-1955) dan ibu Fathiyah (1905-1937). Ia adalah anak bungsu dari
empat orang bersaudara.ia hidup dalam lingkungan keluarga Islam yang tekun
beribadah. Ia juga memiliki beberapa kegemaran, seperti:
1. olah raga tenis meja
2. bulu tangkis
3. catur
4. menonton sepak bola dan
5. menembak burung.
Dari Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh ahmad Syafii Maarif
dimulai dari di tingkat dasar yaitu Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah
Sumpur Kudus kemudia tamat pada tahun 1947, kemudian masuk ke tingkat
menengah pertama Madrasah Muallimin di Balai Tangah, Lintau, Sumatera Barat
Pada Tahun 1950-1953. Setelah itu, ia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan
pendidikan menengahnya di Mualimin Muhammadiyah Kemudian tamat Pada Tahun
1956. Setelah itu, ia meneruskan pendidikan ke Universitas Cokroaminoto, Solo, dan
meraih gelar sarjana muda pada jurusan Sejarah Budaya Pada Tahun 1964.Gelar
sarjana Sejarah ia peroleh di IKIP Yogyakarta Pada Tahun 1968. Untuk menekuni
ilmu sejarah, ia kemudian mengikuti program master di Departemen Sejarah
Universitas Ohio, Amerika Serikat dan berhasil mengantongi ijazah Master Pada
Tahun 1980.
Pola pemikiran Syafii Maarif banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
Fazlur Rahman setelah mengalami “pencucian otak” melalui kuliah dan berbagai
diskusi bersama Fazlur Rahman di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Aspek
pemikiran Syafii Maarif yang perlu diketengahkan dalam portal ini, adalah:

1. pemikirannya tentang Islam


2. hubungan Islam dan Negara
3. toleransi inter dan antar agama
4. posisi perempuan dalam politik
5. perkawinan monogami dan poligami.
Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan
menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah
Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi
Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi :
Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the
Constituent Assembly Debates in Indonesia.Selama di Chicago inilah, anak bungsu
dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-
Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur
Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid
dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya.
Setelah meninggalkan posisinya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah,
kini ia aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar IKIP
Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah
seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan
dipublikasikan di sejumlah media cetak.Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii
mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.
Kini, dalam usia senjanya, Syafii Maarif tidak lagi memiliki kedudukan atau
jabatan formal, baik sebagai Ketua PP Muhammadiyah maupun sebagai PNS (dosen).
Namun, sebagai sosok intelektual muslim yang memiliki komitmen kebangsaan,
kritis, tegas, dan bersahaja, undangan sebagai pembicara dari berbagai kalangan dan
beragam latar belakang masih terus mengalir. Saat ini, ia bersama istrinya Ny. Hj.
Nurkhalifah dan anak semata wayangnya, Mohammad Hafiz, tetap menikmati hari-
harinya. Ia berharap di sisa akhir hidupnya, mampu menghasilkan karya besar tentang
Islam dan kemanusiaan, dan akan menjadi sumbangan besar bagi peradaban manusia.

Saran
Saran Saya Terhadap Ahmad Syafi’i Ma’arif Dalam usia senjanya walaupun
beliau sudah tidak lagi memiliki kedudukan atau jabatan formal.Ada Kalanya Beliau
Terus Membuat Karya Tulis Lagi Untuk Menambah Wawasan Pembaca.Sehingga
Beliau harapkan di sisa akhir hidupnya, mampu menghasilkan karya besar tentang
Islam dan kemanusiaan, dan akan menjadi sumbangan besar bagi peradaban manusia
Pada Masa Sekarang Dan Masa Yang Akan Datang.

Penutup

Anda mungkin juga menyukai