Portofolio HF
Portofolio HF
PORTOFOLIO
GAGAL JANTUNG
Oleh :
KABUPATEN BLITAR
2019
1
DAFTAR ISI
Cover ....................................................................................................................... 1
2
BAB 1
PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan salah satu masalah kesehatan besar dengan prevalensi,
mortalitas, morbiditas, dan biaya pengeluaran yang signifikan, terutama pada kelompok
umur ≥65 tahun. Prevalensi gagal jantung mencapai lebih dari 5,8 juta di Amerika Serikat
dan 23 juta di seluruh dunia (Roger, 2013). Prevalensi gagal jantung meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Hal ini terjadi pada 6-10% individu dengan usia lebih dari 65
tahun (Mann, 2008). Saat ini, gagal jantung merupakan penyebab utama hospitalisasi pada
individu yang berusia >65 tahun (Yancy et al., 2013). Di Indonesia, berdasarkan hasil
survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, didapatkan prevalensi gagal jantung sebesar
0,3% (Depkes Republik Indonesia, 2013).
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang merupakan akibat
dari gangguan struktural atau fungsional dari pengisian ventrikel atau ejeksi darah.
Gambaran klinis utamanya antara lain adalah dispnea, fatigue, dan tanda-tanda retensi
cairan. Gagal jantung akut/acute decompensated heart failure (ADHF) merupakan
terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan kejadian atau perubahan yang cepat
dari tanda dan gejala gagal jantung. Kondisi ini mengancam kehidupan dan harus
ditangani dengan segera, dan biasanya berujung pada hospitalisasi (Yancy et al., 2013).
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak mampu lagi memompakan
darah yang cukup dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi untuk metabolisme jaringan
tubuh, sedangkan tekanan pengisian ke dalam jantung masih cukup tinggi (Francis, 2008).
Hal ini mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih
banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh sehingga otot jantung menjadi kaku dan
menebal. Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding
otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan adekuat. Sebagai akibatnya,
ginjal sering merespon dengan menahan air dan garam (retensi). Hal ini akan
mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru,
atau organ lainnya sehingga tubuh penderita menjadi bengkak (kongestif) (Udjianti, 2011).
Hal ini dapat ditandai dengan gejala baru yang berkembang dengan cepat atau
perburukan yang bertingkat dari gagal jantung kronis yang dinamakan acute
decompensated heart failure (ADHF) atau biasa disebut acute on chronic heart failure
(Givertz et al, 2013).
Gagal jantung akut (ADHF) merupakan suatu sindroma klinis dimana pasien
memiliki beberapa gejala khas gagal jantung yaitu sesak napas saat beraktivitas atau saat
istirahat, kelelahan, keletihan, serta terdapat pembengkakan pada tungkai, dan tanda khas
gagal jantung yaitu takikardia, takipnea, pulmonary rales, efusi pleura, peningkatan
tahanan vena jugularis, edema perifer, serta ditemukan tanda objektif abnormalitas
struktur dan fungsi jantung seperti kardiomegali, bunyi jantung ketiga, cardiac murmur ,
abnormalitas pada elektrokardiogram, peningkatan konsentrasi natriuretic peptide
(Dickstein K, 2008).
2.2. Epidemiologi
Prevalensi gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya usia individu, hal ini
terjadi pada 6-10% individu dengan usia lebih dari 65 tahun (Mann, 2008). Di Indonesia
hasil survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, didapatkan prevalensi gagal jantung
sebesar 0,3% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,2013). Gagal jantung umumnya terjadi pada orang dewasa. Menurut
data AHA (2015), di Amerika Serikat prevalensi penderita gagal jantung pada tahun 2012
sebanyak 5,7 per 100.000 orang pada usia ≥20 tahun dengan jumlah penderita terbanyak
4
pada usia 80 tahun ke atas. Sedangkan di Inggris, berdasarkan data BHF (2014), pada
tahun 2012-2013, jumlah penderita gagal jantung tertinggi pada usia 75 tahun ke atas..
2.3. Etiologi
Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien
terutama pada pasien usia lanjut. Pada usia muda, gagal jantung akut lebih sering
diakibatkan oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital, penyakit
jantung katup dan miokarditis. Banyak pasien dengan gagal jantung tetap asimptomatik.
Gejala klinis dapat muncul karena adanya faktor presipitasi yang menyebabkan
peningkatan kerja jantung dan peningkatan kebutuhan oksigen. Faktor presipitasi yang
sering memicu terjadinya gangguan fungsi jantung adalah ketidakpatuhan meminum obat-
obatan, hipertensi yang tidak terkontrol, iskemia, aritmia, dan eksaserbasi dari COPD yang
biasanya disertai dengan pneumonia maupun eksaserbasi COPD yang tidak disertai
pneumonia. Infeksi akut bakteri pneumonia memberikan beban pada jantung dengan cara
meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung dalam satu waktu ketika terjadi proses
oksigenasi, dan terjadi proses kompromise dengan ventilation-perfusion mismatch, seperti
pada gangguan perfusi dari plaque atherosclerosis. Pneumonia juga meningkatkan
sirkulasi dari pro-inflammatory seperti sitokin, yang memicu thrombogenesis dan
menekan fungsi ventrikel. Faktor lain yang berkontribusi yaitu disfungsi renal, DM,
anemia, dan efek samping dari obat-obatan, seperti NSAID, CCB, dan thiazolidinediones
(Joseph et al, 2009).
2.4.Patofisiologi
Gangguan fisiologi gagal jantung bersifat kompleks, namun gangguan pada
kemampuan jantung dalam memompa tergantung pada bermacam-macam faktor yang
saling terkait. Gagal jantung dapat dikatakan suatu proses yang kronis namun progresif,
karena patofisiologinya memperlihatkan perubahan- perubahan yang terus-menerus yang
pada awalnya bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan kardiovaskular, namun
pada perjalanannya menjadi kontraproduktif. Kunci terjadinya gagal jantung adalah tidak
berfungsinya sejumlah sel miokard setelah terjadinya cidera pada jantung. Menurunnya
kemampuan kontraksi miokard memegang peran utama pada kejadian gagal jantung, akan
tetapi kontraksilitas miokard sulit untuk diukur (Prabowo, 2003).
Cidera pada jantung dapat disebabkan oleh infark miokard akut, toksin (alkohol atau
obat-obatan), infeksi (virus atau parasit), stres kardiovaskular (hipertensi atau penyakit
katup jantung), dan penyebab-penyebab lain yang tidak diketahui. Tidak berfungsinya
5
sejumlah miokard menyebabkan jantung bereaksi agar fungsinya tetap stabil dengan
melakukan beberapa mekanisme yang disebut mekanisme kompensasi. Menurut Manik
(2006) secara garis besar, ada dua mekanisme kompensasi yang dilakukan jantung, yaitu
mekanisme hemodinamik dan mekanisme neurohormonal.
1. Mekanisme Hemodinamik
Mekanisme hemodinamik merupakan mekanisme yang dilakukan jantung untuk
mempertahankan keseimbangan sirkulasi darah agar tetap memadai untuk memberikan
suplai oksigen yang cukup ke seluruh jaringan. Mekanisme ini mengikuti hukum Frank-
Starling yang menyatakan bahwa volume sekuncup jantung atau jumlah darah yang
dipompakan jantung akan meningkat sebagai respon terhadap peningkatan volume darah
yang mengisi jantung pada volume akhir diastolik. Karena preload meningkat, serabut-
serabut otot jantung lebih banyak meregang sebelum berkontraksi agar dapat berkontraksi
lebih kuat. Dengan meregangnya serabut-serabut otot jantung yang akan memberikan
kontraksi lebih kuat akan meningkatkan volume sekuncup, yang berakibat pada
peningkatan curah jantung sewaktu sistol.
2. Mekanisme Neurohormonal
Selain mekanisme hemodinamik, jantung juga melakukan kompensasi melalui
mekanisme neurohormonal, yaitu mekanisme yang dilakukan jantung untuk tetap
mempertahankan fungsionalnya melalui pengaktifan hormon-hormon. Gangguan pada
sejumlah miokard yang mengurangi fungsi sistolik, menyebabkan berkurangnya aliran
darah ke aorta. Kekurangan ini mengaktifkan saraf simpatis sehingga reseptor β-adregenik
pada sel miokard sehat terangsang dan menghasilkan peningkatan denyut jantung,
kemampuan kontraksi jantung, dan vasokonstriksi pada vena dan arteri. Sebagai akibat
vasokonstriksi vena, aliran balik vena ke jantung akan meningkat sehingga meningkatkan
preload. Sedangkan vasokonstriksi pada arteri, khususnya arteri renal akan menyebabkan
aliran darah di ginjal berkurang dan ginjal memberi reaksi berupa retensi garam dan air
(Udjianti, 2011). Aktivasi neurohormonal juga memacu peningkatan noradrenalin,
angiotensin II, vasopresin, dan aldosteron yang merangsang terjadinya vasokonstriksi,
retensi natrium di ginjal, dan dilatasi hipertofi miokard (remodelling) yang pada akhirnya
mengakibatkan gagal jantung.
Meskipun belum diketahui mekanisme mana yang lebih dulu bekerja ketika terjadi
gangguan fungsi ventrikel, kedua mekanisme ini bekerja saling melengkapi, namun ketika
terjadi perbaikan fungsi ventrikel, kedua mekanisme ini aktivitasnya tidak segera berhenti.
Bahkan ketika mekanisme kompensasi ini mulai dan atau sedang bekerja juga terjadi
6
reaksi ikutan di dalam tubuh termasuk pada jantung. Ketika mekanisme hemodinamik dan
neurohormonal aktif, terjadi dilatasi ventrikel serta aktivasi sistem simpatis yang berakibat
stres pada dinding jantung saat diastol sehingga merusak rongga jantung dan
meningkatkan konsumsi oksigen otot jantung untuk pengeluaran energi jantung. Pada saat
itulah gejala gagal jantung berkembang (Manik, 2006).
2.5. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Walaupun dengan kemajuan teknologi imaging dan
meningkatnya ketersediaan pemeriksaan laboratorium diagnostik, anamnesis yang rinci
dan pemeriksaan fisik tetap menjadi patokan dalam asesmen pasien dengan gagal jantung
(Yancy et al., 2013).
Anamnesis yang rinci dan pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk mengidentifikasi
gangguan kardiak dan nonkardiak atau faktor-faktor yang dapat menyebabkan atau
mengakselerasi perkembangan gagal jantung. Berdasarkan gejala dan temuan klinis,
diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan bila pada pasien didapatkan 2 kriteria mayor
atau satu kriteria minor dan dua kritera minor Framingham (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Modified Framingham Criteria for the Diagnosis of Heart Failure (Ho et al., 1993)
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Bilateral ankle edema
Paroxysmal nocturnal dyspnea
atau ortopnea Efusi pleura
Distensi vena leher Batuk di malam hari
Rhonki (>10 cm dari basal paru) Dyspnea on exertion
Edema paru akut Hepatomegali
S3 gallop Takikardia (denyut jantung >120
kali/menit)
Penurunan berat badan >4,5 kg
setelah terapi gagal jantung kongestif Penurunan berat badan >4,5 kg
yang disebabkan oleh gagal jantung
Tekanan vena sentral >16 cmH2O
dimana tidak ada faktor-faktor yang
Disfungsi ventrikel kiri pada
menyebabkan penurunan BB selain
ekokardiografi
terapi gagal jantung
Sistem klasifikasi dari New York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung
ke dalam empat kelas, yaitu sebagai berikut (Dolgin et al., 1994):
Kelas I: tidak ada batasan aktivitas fisik
Kelas II: batasan ringan pada aktivitas fisik
Kelas III: batasan bermakna pada aktivitas fisik
Keals IV: gejala muncul saat istirahat, tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun
7
Sistem klasifikasi dari American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association (ACCF/AHA) membagi gagal jantung ke dalam empat stadium, yaitu sebagai
berikut (Yancy et al., 2013):
Stadium A: berisiko tinggi mengalami gagal jantung tetapi tidak ada penyakit jantung
struktural dan gejala gagal jantung
Stadium B: terdapat penyakit jantung struktural tetapi tidak ada gejala gagal jantung
Stadium C: terdapat penyakit jantung struktural dan gejala gagal jantung
Stadium D: gagal jantung refrakter yang membutuhkan intervensi khusus
Gambar 2.1 Profil klinis pasien dengan ADHF berdasarkan ada/tidak adanya kongesti dan
hipoperfusi (Ponikowski et al., 2016)
Elektrokardiografi
Foto Toraks
Pemeriksaan Laboratorium
Natriuretic Peptides
Saat datang ke IGD kadar NP plasma (BNP, NT-proBNP, atau MR-proANP) harus
diukur pada semua pasien dengan dispnea akut dan suspek ADHF untuk membantu
mendiferensiasi ADHF dengan penyebab nonkardiak dari dispnea akut tersebut. NP
mempunyai sensitivitas tinggi. Kadar NP yang normal membuat diagnosis ADHF menjadi
9
tidak mungkin (nilai ambang: BNP, 100 pg/mL, NT-proBNP, 300 pg/mL, MR-proANP,
120 pg/mL). Namun demikian, kadar NP yang meningkat tidak secara aotomatis
mengkonfirmasi diagnosis ADHF, karena hal ini juga dapat berhubungan dengan
penyebab kardiak dan nonkardiak yang bervariasi. Kadar NP yang rendah dapat terdeteksi
pada beberapa pasien dengan decompensated end-stage HF, flash pulmonary oedema, atau
right sided AHF) (Ponikowski et al., 2016).
Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan saat pasien datang dengan ADHF
antara lain adalah cardiac troponin, BUN (atau ureum), kreatinin, elektrolit (sodium,
potassium), tes fungsi hati, TSH, glukosa darah, dan darah lengkap. Pemeriksaan D-dimer
diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan emboli paru akut. Analisis gas darah tidak
diperlukan dan direstriksi pada pasien dimana oksigenasi tidak dapat dinilai dengan pulse
oximetry. Namun demikian, analisis gas darah dapat berguna ketika dibutuhkan penilaian
tekanan parsial O2 dan CO2.
Penilaian cardiac troponin berguna untuk mendeteksi ACS sebagai penyebab yang
mendasari ADHF. Namun, peningkatan kadar cardiac troponin dapat terdeteksi pada
sebagian besar pasien ADHF, yang seringkali tanpa adanya iskemia miokard atau acute
coronary event, yang menunjukkan adanya injury atau nekrosis miosit ongoing pada
pasien ini. Pada pasien dengan emboli paru akut sebagai penyebab yang mendasari ADHF,
peningkatan troponin berguna dalam stratifikasi risiko dan pembuatan keputusan.
10
kongesti vena). Fungsi hati yang abnormal dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko
prognosis yang buruk dan dapat berguna untuk tatalaksana yang optimal. Hipotiroidisme
dan hipertiroidisme dapat mempresipitasi ADHF, sehingga kadar TSH perlu dinilai pada
newly diagnosed ADHF.
Ekokardiografi
11
al., 2016).
2.6. Tatalaksana
Proses diagnostik perlu dilakukan di setting pre-hospital dan dilanjutkan di IGD
untuk menegakkan diagnosis ADHF dalam waktu yang cepat dan memulai tatalaksana
yang sesuai. Secara bersamaan, kondisi coexisting dan/atau faktor presipitasi yang
mengancam jiwa yang membutuhkan tatalaksana urgent perlu diidentifikasi dan diterapi
dengan segera. Secara tipikal, tahap awal dari proses diagnostik ADHF adalah untuk
menyingkirkan penyebab alternatif dari gejala dan tanda pada pasien (seperti infeksi paru,
anemia berat, gagal ginjal akut). Ketika diagnosis ADHF sudah tegak, evaluasi klinis
harus dilakukan untuk menentukan tatalaksana lebih lanjut (Ponikowski et al., 2016).
Evaluasi awal dan monitoring noninvasif secara kontinu dari fungsi kardiorespirasi
vital, termasuk pulse oximetry, tekanan darah, laju pernapasan, dan EKG kontinu harus
dilakukan dalam beberapa menit dan esensial untuk mengevaluasi apakah ventilasi, perfusi
perifer, oksigenasi, denyut jantung, dan tekanan darah sudah adekuat. Produksi urin juga
harus dimonitor, walaupun kateterisasi urin rutin tidak direkomendasikan. Pasien dengan
distres/gagal napas atau gangguan hemodinamik harus ditempatkan di triase dimana
support respirasi dan kardiovaskuler segera/immediate tersedia (Gambar 2.2) (Ponikowski
et al., 2016).
12
Gambar 2.2 Tatalaksana awal pada pasien dengan ADHF (Ponikowski et al., 2016)
13
2.6.2 Kriteria untuk Hospitalisasi di Ruang Biasa (Ward) dan Intesive Care/Coronary
Care Unit
- tanda/gejala hipoperfusi
- denyut jantung <40 atau >130 kali/menit, tekanan darah sistolik <90 mmHg
Algoritma tatalaksana pasien dengan ADHF berdasarkan profil klinis selama fase
awal dapat dilihat pada Gambar 2.3.
14
Gambar 2.3 Tatalaksana pasien dengan ADHF berdasarkan profil klinis pada fase awal
(Ponikowski et al., 2016)
15
Gambar 2.4 Rekomedasi terapi farmakologis pada pasien dengan ADHF (Ponikowski et al.,
2016)
Diuretik
Diuretik merupakan terapi pada pasien ADHF dengan tanda overload cairan dan
kongesti. Diuretik meningkatkan eksresi garam dan air melalui ginjal dan memiliki efek
vasodilatasi sedang. Pada pasien ADHF dengan tanda-tanda hipoperfusi, diuretik harus
dihindari sebelum tercapai perfusi yang adekuat. Pendekatan awal pada tatalaksana
kongesti meliputi diuretik intravena dengan tambahan vasodilatasi untuk mengurangi
dispnea jika tekanan darah adekuat. Untuk semakin meningkatkan diuresis atau mengatasi
resistensi terhadap diuretik, dapat dipilih untuk memberikan dual nephron blockade
dengan loop diuretik (seperti furosemide atau torasemide) dengan diuretk thiazide atau
16
MRA dosis natriuretik. Namun demikian, kombinasi ini memerlukan monitoring yang
hati-hati untuk menghindari hipokalemia, disfungsi ginjal, dan hipovolemia. Pada ADHF,
furosemide i.v. merupakan diuretik lini pertama yang paling umum digunakan. Dosis i.v.
awal paling tidak harus sama dengan dosis oral sebelumnya. Pasien dengan ADHF onset
baru atau dengan HF kronik tanpa riwayat gagal ginjal dan penggunaan diuretik dapat
berespon dengan bolus i.v. 20-40 mg (Ponikowski et al., 2016).
Vasodilator
Inotropes
Agen inotropik positif diberikan pada pasien dengan penurunan cardiac output
yang berat yang menimbulkan gangguan perfusi organ vital, yang paling sering terjadi
pada pasien ADHF hipotensif. Agen inotropik tidak direkomendasikan pada kasus ADHF
hipotensif dengan penyebab dasarnya yaitu hipovolemia atau faktor lain yang dapat
dikoreksi. Levosimendan lebih dipilih daripada dobutamin untuk mengembalikan efek
beta bloker jika beta bloker dianggap berkontribusi dalam terjadinya hipoperfusi. Namun,
levosimendan merupakan vasodilator, sehingga tidak cocok untuk pasien dengan hipotensi
(SBP <85 mmHg) atau syok kardiogenik kecuali dengan kombinasi dengan inotropik lain
atau vasopresor. Inotropik, khususnya dengan mekanisme adrenergik, dapat menyebabkan
sinus takikardia dan dapat menginduksi iskemia miokard dan aritmia, sehingga dibutuhkan
monitoring EKG. Pemberian notropik dapat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
secara bertahap (Ponikowski et al., 2016).
17
Vasopresor
Obat-obat dengan aksi vasokonstriksi arteri perifer yang besar seperti norepinefrin
atau dopamine dalam dosis tinggi (>5 mcg/kg/menit) diberikan pada pasien dengan
hipotensi berat. Agen ini diberikan untuk meningkatkan tekanan darah dan meredistribusi
darah ke organ vital. Namun, hal ini dapat meningkatkan afterload ventrikel kiri.
Norepinefrin memiliki efek samping yang lebih sedikit dan mortalitas lebih rendah
daripada dopamin. Epinefrin harus direstriksi untuk pasien dengan hipotensi persisten
(meskipun dengan tekanan pengisian jantung adekuat dan dalam penggunaan agen
vasoaktif lain) dan untuk protokol resusitasi (Ponikowski et al., 2016).
18
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.3 Anamnesis
3.3.1 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak napas sejak 1 minggu sebelum MRS. Dalam 1
tahun terakhir, pasien mengalami sesak yang dirasakan hilang timbul. Sesak timbul
apabila pasien melakukan aktivitas ringan seperti berjalan ±10 meter dan
berkurang dengan istirahat. Namun sejak 1 minggu SMRS, pasien tidak kuat
beraktivitas dan mengeluh sesak saat istirahat. Pasien hanya berbaring di tempat
tidur dan harus dibantu orang lain untuk berjalan ke kamar mandi. Pasien biasanya
tidur dengan posisi tinggi (2-3 bantal) untuk mengurangi sesak. Pasien mengeluh
sulit tidur dan sering terbangun di malam hari karena sesak. Kedua kaki bengkak
(+) dan perut membesar sejak ±6 bulan terakhir.
Nyeri dada (-), berdebar (-), pingsan (-), batuk (-), demam (-), mual (+),
muntah (-), penurunan nafsu makan (+), penurunan berat badan (-). BAK dan BAB
dalam batas normal.
3.3.2 Riwayat Penyakit Dahulu
1 tahun yang lalu, pasien pernah MRS di RS Swasta dengan keluhan serupa
dan dikatakan jantung bengkak. Setelah itu, pasien rutin kontrol ke Poli Jantung,
19
namun pasien terakhir kali kontrol 2 bulan yang lalu dengan alasan tidak ada
transportasi. Riwayat DM, serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal disangkal
oleh pasien.
20
Abdomen : distended, soefl, BU (+) N, tenderness (-), shifting
dullness (+)
Ekstremitas : akral hangat kering merah, tungkai pitting edema +/+,
CRT < 2 detik
Irama sinus
HR 88 bpm reguler
Frontal axis : Normal
Horisontal axis: Clockwise rotation
PR interval : 0.16 s
QRS kompleks : 0.12 s
QT interval 0.40s
QTc: 486 ms
Kesimpulan: normal sinus rhythm dengan HR 88 bpm, LBBB
21
Foto Toraks AP
Kesimpulan: kardiomegali
3.6 Diagnosis
- Acute Decompensated Heart Failure
- Heart failure stage C functional class III
3.7 Tatalaksana
3.7.1 Rencana Diagnosis
Ekokardiografi
3.7.2 Rencana Terapi
- Bed rest, posisi semifowler
- O2 4 lpm Nasal Canule
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc / 24 jam
- Inj. Furosemide 3x20 mg iv bila MAP ≥60 mmHg
- Valsartan 1x80 mg po
3.7.3 Rencana Monitoring
Keluhan subyektif, vital sign
22
3.8 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
- KIE kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit pasien, tatalaksana,
dan komplikasi yang dapat terjadi.
- KIE tentang pengobatan gagal jantung yang harus dilakukan secara kontinyu,
dan pentingnya kontrol secara berkala.
- KIE tentang penyakit gagal jantung tidak bisa sembuh namun dapat terkontrol
dengan modifikasi gaya hidup sehat dan mengonsumsi obat-obatan secara
rutin.
- KIE tentang gejala-gejala perburukan akut yang mungkin dapat terjadi.
23
BAB 4
PEMBAHASAN
Teori Kasus
Diagnosis Tabel 2.1 Modified Framingham Criteria for the
Diagnosis of Heart Failure (Ho et al., 1993)
Anamnesis Kriteria Mayor Kriteria Minor
- sesak napas sejak 1 tahun, memberat 1 minggu Paroxysmal nocturnal
Bilateral ankle edema
dyspnea atau ortopnea
Efusi pleura
sebelum MRS Distensi vena leher
Batuk di malam hari
Rhonki (>10 cm dari
- Sesak saat aktivitas ringan dan berkurang basal paru) Dyspnea on exertion
Edema paru akut Hepatomegali
dengan istirahat. Takikardia (denyut jantung
S3 gallop
>120 kali/menit)
- Pasien biasanya tidur dengan 2-3 bantal Penurunan berat badan
>4,5 kg setelah terapi gagal Penurunan berat badan >4,5
- sulit tidur dan sering terbangun di malam hari jantung kongestif kg yang disebabkan oleh gagal
jantung dimana tidak ada
Tekanan vena sentral
karena sesak. >16 cmH2O
faktor-faktor yang
menyebabkan penurunan BB
- Kedua kaki bengkak (+) Disfungsi ventrikel kiri
selain terapi gagal jantung
pada ekokardiografi
- perut membesar
Pemeriksaan fisik Sistem klasifikasi dari New York Heart Association
0
- JVP R+4 cm H2O posisi 30 (NYHA) membagi gagal jantung ke dalam empat
- iktus kordis teraba di ICS V 2 cm lateral MCL kelas, yaitu sebagai berikut (Dolgin et al., 1994):
(S) Kelas I: tidak ada batasan aktivitas fisik
- abdomen: distended, shifting dullness (+) Kelas II: batasan ringan pada aktivitas fisik
- tungkai pitting edema +/+ Kelas III: batasan bermakna pada aktivitas
EKG: LBBB fisik
CXR: kardiomegali
Keals IV: gejala muncul saat istirahat, tidak
mampu melakukan aktivitas fisik apa
24
Stadium B: terdapat penyakit jantung struktural
tetapi tidak ada gejala gagal jantung
Stadium C: terdapat penyakit jantung
struktural dan gejala gagal jantung
Stadium D: gagal jantung refrakter yang
membutuhkan intervensi khusus
25
26
BAB V
KESIMPULAN
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak mampu lagi
memompakan darah yang cukup dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi untuk metabolisme
jaringan tubuh. Sedangkan gagal jantung akut didefinisikan perburukan tanda dan gejala
secara mendadak dari gagal jantung, sebuah kondisi klinis yang mengancam jiwa yang
memerlukan evaluasi dan penatalaksanaan secepatnya. Gagal jantung akut dapat muncul
sebagai kejadian pertama kali (de novo) atau, lebih sering, sebagai konsekuensi
dekompensasi akut dari gagal jantung kronis, baik oleh disfungsi primer dari jantung, atau
adanya factor presipitasi ekstrinsik lainnya.
Pada kasus yang ditemukan di atas, pasien ini mengalami Acute Decompensated
Heart Failure yang dipicu oleh ketidak patuhan berobat. Berdasarkan tinjauan pustaka,
kami memberikan terapi berupa injeksi furosemide jika MAP > 60 mmHg untuk
mengurangi preload, valsartan (ARB) untuk mengatasi mencegah remodeling jantung,
serta dilakukan balans cairan untuk mencegah fluid overload.
27
DAFTAR PUSTAKA
Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart J. 2008;29:2388–442.
Dolgin, Association NYH, Fox, AC, Gorlin R, Levin RI. 1994. Nomenclature and criteria
for diagnosis of diseases of the heart and great vessels. 9th ed. Boston, MA:
Lippincott Williams and Wilkins.
Ho KK, Pinsky JL, Kannel WB, Levy D. The Epidemiology of heart failure: the
Framingham Study. J Am Coll Cardiol, 1993;22(4):6A-13A
McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the
Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European
Society of Cardiology. Developed in collaboration with the Heart. Eur Heart J.
2013;32:641–61.
Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JG, Coats AJ, et al. 2016 ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure: The
Task Force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure of the
European Society of Cardiology (ESC). Developed with the special contribution of
the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur J Heart
Fail. 2016;18(8):891-975.
Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE Jr, Drazner MH, et al. 2013
ACCF/AHA guideline for the management of heart failure: a report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines. Circulation. 2013;128.
28