Anda di halaman 1dari 28

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

PORTOFOLIO

GAGAL JANTUNG

Oleh :

dr. Amalia Diane Pratiwi

Dokter Pendamping Internsip:

dr. Endah Woro Utami, MMRS

RSUD NGUDI WALUYO WLINGI

KABUPATEN BLITAR

2019

1
DAFTAR ISI

Cover ....................................................................................................................... 1

Daftar isi .................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4

2.1. Definisi ......................................................................................................... 4

2.2. Epidemiologi ....................................................................................................... 4

2.3. Etiologi ........................................................................................................ 5

2.4. Patofisiologi ........................................................................................................ 5

2.5. Diagnosis ....................................................................................................... 7

2.6. Tatalaksana …............................................................................................... 12

BAB III LAPORAN KASUS .................................................................................. 19

BAB IV PEMBAHASAN ........................................................................................ 24

BAB V KESIMPULAN .......................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 28

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan salah satu masalah kesehatan besar dengan prevalensi,
mortalitas, morbiditas, dan biaya pengeluaran yang signifikan, terutama pada kelompok
umur ≥65 tahun. Prevalensi gagal jantung mencapai lebih dari 5,8 juta di Amerika Serikat
dan 23 juta di seluruh dunia (Roger, 2013). Prevalensi gagal jantung meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Hal ini terjadi pada 6-10% individu dengan usia lebih dari 65
tahun (Mann, 2008). Saat ini, gagal jantung merupakan penyebab utama hospitalisasi pada
individu yang berusia >65 tahun (Yancy et al., 2013). Di Indonesia, berdasarkan hasil
survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, didapatkan prevalensi gagal jantung sebesar
0,3% (Depkes Republik Indonesia, 2013).

Gagal jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang merupakan akibat
dari gangguan struktural atau fungsional dari pengisian ventrikel atau ejeksi darah.
Gambaran klinis utamanya antara lain adalah dispnea, fatigue, dan tanda-tanda retensi
cairan. Gagal jantung akut/acute decompensated heart failure (ADHF) merupakan
terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan kejadian atau perubahan yang cepat
dari tanda dan gejala gagal jantung. Kondisi ini mengancam kehidupan dan harus
ditangani dengan segera, dan biasanya berujung pada hospitalisasi (Yancy et al., 2013).

Seiring berjalannya waktu, banyak kemajuan baru dalam bidang kedokteran


termasuk pengobatan gagal jantung, namun angka morbiditas dan angka mortalitas yang
disebabkan gagal jantung masih sangat tinggi (Burger, 2005). Angka mortalitas absolut
pada gagal jantung mencapai 50% dalam 5 tahun setelah terdiagnosis (Yancy et al., 2013).
Dengan demikian perlu diketahui gejala awal gagal jantung, tatalaksana, serta
diperlukannya upaya prevensi baik primer, sekunder maupun tersier untuk mencegah
pasien jatuh dalam keadaan yang lebih buruk serta mencegah semakin meningkatnya
angka kejadian gagal jantung.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak mampu lagi memompakan
darah yang cukup dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi untuk metabolisme jaringan
tubuh, sedangkan tekanan pengisian ke dalam jantung masih cukup tinggi (Francis, 2008).
Hal ini mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih
banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh sehingga otot jantung menjadi kaku dan
menebal. Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding
otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan adekuat. Sebagai akibatnya,
ginjal sering merespon dengan menahan air dan garam (retensi). Hal ini akan
mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh seperti tangan, kaki, paru,
atau organ lainnya sehingga tubuh penderita menjadi bengkak (kongestif) (Udjianti, 2011).
Hal ini dapat ditandai dengan gejala baru yang berkembang dengan cepat atau
perburukan yang bertingkat dari gagal jantung kronis yang dinamakan acute
decompensated heart failure (ADHF) atau biasa disebut acute on chronic heart failure
(Givertz et al, 2013).
Gagal jantung akut (ADHF) merupakan suatu sindroma klinis dimana pasien
memiliki beberapa gejala khas gagal jantung yaitu sesak napas saat beraktivitas atau saat
istirahat, kelelahan, keletihan, serta terdapat pembengkakan pada tungkai, dan tanda khas
gagal jantung yaitu takikardia, takipnea, pulmonary rales, efusi pleura, peningkatan
tahanan vena jugularis, edema perifer, serta ditemukan tanda objektif abnormalitas
struktur dan fungsi jantung seperti kardiomegali, bunyi jantung ketiga, cardiac murmur ,
abnormalitas pada elektrokardiogram, peningkatan konsentrasi natriuretic peptide
(Dickstein K, 2008).
2.2. Epidemiologi
Prevalensi gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya usia individu, hal ini
terjadi pada 6-10% individu dengan usia lebih dari 65 tahun (Mann, 2008). Di Indonesia
hasil survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, didapatkan prevalensi gagal jantung
sebesar 0,3% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,2013). Gagal jantung umumnya terjadi pada orang dewasa. Menurut
data AHA (2015), di Amerika Serikat prevalensi penderita gagal jantung pada tahun 2012
sebanyak 5,7 per 100.000 orang pada usia ≥20 tahun dengan jumlah penderita terbanyak
4
pada usia 80 tahun ke atas. Sedangkan di Inggris, berdasarkan data BHF (2014), pada
tahun 2012-2013, jumlah penderita gagal jantung tertinggi pada usia 75 tahun ke atas..
2.3. Etiologi
Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien
terutama pada pasien usia lanjut. Pada usia muda, gagal jantung akut lebih sering
diakibatkan oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital, penyakit
jantung katup dan miokarditis. Banyak pasien dengan gagal jantung tetap asimptomatik.
Gejala klinis dapat muncul karena adanya faktor presipitasi yang menyebabkan
peningkatan kerja jantung dan peningkatan kebutuhan oksigen. Faktor presipitasi yang
sering memicu terjadinya gangguan fungsi jantung adalah ketidakpatuhan meminum obat-
obatan, hipertensi yang tidak terkontrol, iskemia, aritmia, dan eksaserbasi dari COPD yang
biasanya disertai dengan pneumonia maupun eksaserbasi COPD yang tidak disertai
pneumonia. Infeksi akut bakteri pneumonia memberikan beban pada jantung dengan cara
meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung dalam satu waktu ketika terjadi proses
oksigenasi, dan terjadi proses kompromise dengan ventilation-perfusion mismatch, seperti
pada gangguan perfusi dari plaque atherosclerosis. Pneumonia juga meningkatkan
sirkulasi dari pro-inflammatory seperti sitokin, yang memicu thrombogenesis dan
menekan fungsi ventrikel. Faktor lain yang berkontribusi yaitu disfungsi renal, DM,
anemia, dan efek samping dari obat-obatan, seperti NSAID, CCB, dan thiazolidinediones
(Joseph et al, 2009).

2.4.Patofisiologi
Gangguan fisiologi gagal jantung bersifat kompleks, namun gangguan pada
kemampuan jantung dalam memompa tergantung pada bermacam-macam faktor yang
saling terkait. Gagal jantung dapat dikatakan suatu proses yang kronis namun progresif,
karena patofisiologinya memperlihatkan perubahan- perubahan yang terus-menerus yang
pada awalnya bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan kardiovaskular, namun
pada perjalanannya menjadi kontraproduktif. Kunci terjadinya gagal jantung adalah tidak
berfungsinya sejumlah sel miokard setelah terjadinya cidera pada jantung. Menurunnya
kemampuan kontraksi miokard memegang peran utama pada kejadian gagal jantung, akan
tetapi kontraksilitas miokard sulit untuk diukur (Prabowo, 2003).
Cidera pada jantung dapat disebabkan oleh infark miokard akut, toksin (alkohol atau
obat-obatan), infeksi (virus atau parasit), stres kardiovaskular (hipertensi atau penyakit
katup jantung), dan penyebab-penyebab lain yang tidak diketahui. Tidak berfungsinya
5
sejumlah miokard menyebabkan jantung bereaksi agar fungsinya tetap stabil dengan
melakukan beberapa mekanisme yang disebut mekanisme kompensasi. Menurut Manik
(2006) secara garis besar, ada dua mekanisme kompensasi yang dilakukan jantung, yaitu
mekanisme hemodinamik dan mekanisme neurohormonal.
1. Mekanisme Hemodinamik
Mekanisme hemodinamik merupakan mekanisme yang dilakukan jantung untuk
mempertahankan keseimbangan sirkulasi darah agar tetap memadai untuk memberikan
suplai oksigen yang cukup ke seluruh jaringan. Mekanisme ini mengikuti hukum Frank-
Starling yang menyatakan bahwa volume sekuncup jantung atau jumlah darah yang
dipompakan jantung akan meningkat sebagai respon terhadap peningkatan volume darah
yang mengisi jantung pada volume akhir diastolik. Karena preload meningkat, serabut-
serabut otot jantung lebih banyak meregang sebelum berkontraksi agar dapat berkontraksi
lebih kuat. Dengan meregangnya serabut-serabut otot jantung yang akan memberikan
kontraksi lebih kuat akan meningkatkan volume sekuncup, yang berakibat pada
peningkatan curah jantung sewaktu sistol.
2. Mekanisme Neurohormonal
Selain mekanisme hemodinamik, jantung juga melakukan kompensasi melalui
mekanisme neurohormonal, yaitu mekanisme yang dilakukan jantung untuk tetap
mempertahankan fungsionalnya melalui pengaktifan hormon-hormon. Gangguan pada
sejumlah miokard yang mengurangi fungsi sistolik, menyebabkan berkurangnya aliran
darah ke aorta. Kekurangan ini mengaktifkan saraf simpatis sehingga reseptor β-adregenik
pada sel miokard sehat terangsang dan menghasilkan peningkatan denyut jantung,
kemampuan kontraksi jantung, dan vasokonstriksi pada vena dan arteri. Sebagai akibat
vasokonstriksi vena, aliran balik vena ke jantung akan meningkat sehingga meningkatkan
preload. Sedangkan vasokonstriksi pada arteri, khususnya arteri renal akan menyebabkan
aliran darah di ginjal berkurang dan ginjal memberi reaksi berupa retensi garam dan air
(Udjianti, 2011). Aktivasi neurohormonal juga memacu peningkatan noradrenalin,
angiotensin II, vasopresin, dan aldosteron yang merangsang terjadinya vasokonstriksi,
retensi natrium di ginjal, dan dilatasi hipertofi miokard (remodelling) yang pada akhirnya
mengakibatkan gagal jantung.
Meskipun belum diketahui mekanisme mana yang lebih dulu bekerja ketika terjadi
gangguan fungsi ventrikel, kedua mekanisme ini bekerja saling melengkapi, namun ketika
terjadi perbaikan fungsi ventrikel, kedua mekanisme ini aktivitasnya tidak segera berhenti.
Bahkan ketika mekanisme kompensasi ini mulai dan atau sedang bekerja juga terjadi
6
reaksi ikutan di dalam tubuh termasuk pada jantung. Ketika mekanisme hemodinamik dan
neurohormonal aktif, terjadi dilatasi ventrikel serta aktivasi sistem simpatis yang berakibat
stres pada dinding jantung saat diastol sehingga merusak rongga jantung dan
meningkatkan konsumsi oksigen otot jantung untuk pengeluaran energi jantung. Pada saat
itulah gejala gagal jantung berkembang (Manik, 2006).
2.5. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Walaupun dengan kemajuan teknologi imaging dan
meningkatnya ketersediaan pemeriksaan laboratorium diagnostik, anamnesis yang rinci
dan pemeriksaan fisik tetap menjadi patokan dalam asesmen pasien dengan gagal jantung
(Yancy et al., 2013).
Anamnesis yang rinci dan pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk mengidentifikasi
gangguan kardiak dan nonkardiak atau faktor-faktor yang dapat menyebabkan atau
mengakselerasi perkembangan gagal jantung. Berdasarkan gejala dan temuan klinis,
diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan bila pada pasien didapatkan 2 kriteria mayor
atau satu kriteria minor dan dua kritera minor Framingham (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Modified Framingham Criteria for the Diagnosis of Heart Failure (Ho et al., 1993)
Kriteria Mayor Kriteria Minor
 Bilateral ankle edema
 Paroxysmal nocturnal dyspnea
atau ortopnea  Efusi pleura
 Distensi vena leher  Batuk di malam hari
 Rhonki (>10 cm dari basal paru)  Dyspnea on exertion
 Edema paru akut  Hepatomegali
 S3 gallop  Takikardia (denyut jantung >120
kali/menit)
 Penurunan berat badan >4,5 kg
setelah terapi gagal jantung kongestif  Penurunan berat badan >4,5 kg
yang disebabkan oleh gagal jantung
 Tekanan vena sentral >16 cmH2O
dimana tidak ada faktor-faktor yang
 Disfungsi ventrikel kiri pada
menyebabkan penurunan BB selain
ekokardiografi
terapi gagal jantung

Sistem klasifikasi dari New York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung
ke dalam empat kelas, yaitu sebagai berikut (Dolgin et al., 1994):
 Kelas I: tidak ada batasan aktivitas fisik
 Kelas II: batasan ringan pada aktivitas fisik
 Kelas III: batasan bermakna pada aktivitas fisik
 Keals IV: gejala muncul saat istirahat, tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun

7
Sistem klasifikasi dari American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association (ACCF/AHA) membagi gagal jantung ke dalam empat stadium, yaitu sebagai
berikut (Yancy et al., 2013):
 Stadium A: berisiko tinggi mengalami gagal jantung tetapi tidak ada penyakit jantung
struktural dan gejala gagal jantung
 Stadium B: terdapat penyakit jantung struktural tetapi tidak ada gejala gagal jantung
 Stadium C: terdapat penyakit jantung struktural dan gejala gagal jantung
 Stadium D: gagal jantung refrakter yang membutuhkan intervensi khusus

Klasifikasi klinis dinilai berdasarkan pemeriksaan fisik untuk menilai adanya


gejala/tanda klinis kongesti (‘wet’ vs. ‘dry’) dan adanya hipoperfusi (‘cold’ vs. ‘warm’).
Kombinasi dari pilihan ini membagi pasien ADHF ke dalam empat kelompok (Gambar
2.1). Klasifikasi ini berguna untuk memandu tatalaksana pada fase awal dan memiliki
informasi prognostik (Ponikowski et al., 2016).

Gambar 2.1 Profil klinis pasien dengan ADHF berdasarkan ada/tidak adanya kongesti dan
hipoperfusi (Ponikowski et al., 2016)

Walaupun diagnosis gagal jantung dapat diketahui melalui anamnesis dan


pemeriksaan fisik, namun pemeriksaan penunjang juga merupakan salah satu hal penting
8
karena dapat dijadikan acuan untuk mengkonfirmasi diagnosis lebih tepat, mengetahui
derajat remodeling jantung, keadaan disfungsi sistolik, penyebab dari dekompensasi, dan
faktor risiko. Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi rendah. Uji diagnostik kurang sensitif pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam
melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik.

Elektrokardiografi

Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) harus dikerjakan pada semua pasen yang


diduga mengalami gagal jantung. EKG memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi dalam
mendiagnosis gagal jantung kronik dan akut. EKG juga berguna dalam mengidentifikasi
penyakit jantung yang mendasari dan faktor presipitasi potensial pada ADHF (rapid AF,
iskemia miokard akut). Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung
antara lain adalah sinus takikardia, sinus bradikardia, atrial takikardia/flutter/fibrilasi,
aritmia ventrikel, iskemia/infark, gelombang Q, hipertrofi ventrikel kiri, blok
atrioventrikuler, mikrovoltase, dan durasi QRS >0,12 detik dengan morfologi LBBB
(Dickstein et al., 2008; Ponikowski et al., 2016).

Foto Toraks

Foto X-ray toraks merupakan komponen penting dalam mendiagnosis gagal


jantung kronik maupun ADHF. Kongesti vena pulmonal, efusi pleura, edema interstisial
atau alveolar, dan kardiomegali merupakan temuan paling spesifik pada ADHF, walaupun
pada 20% pasien ADHF menunjukkan foto X-ray toraks yang mendekati normal. Foto X-
ray toraks juga berguna untuk mengidentifikasi penyakit nonkardiak lain yang mungkin
dapat menyebabkan atau berkontribusi pada timbulnya gejala-gejala pada pasien (seperti
pneumonia, infeksi paru non-konsolidatif) (Ponikowski et al., 2016).

Pemeriksaan Laboratorium

Natriuretic Peptides

Saat datang ke IGD kadar NP plasma (BNP, NT-proBNP, atau MR-proANP) harus
diukur pada semua pasien dengan dispnea akut dan suspek ADHF untuk membantu
mendiferensiasi ADHF dengan penyebab nonkardiak dari dispnea akut tersebut. NP
mempunyai sensitivitas tinggi. Kadar NP yang normal membuat diagnosis ADHF menjadi

9
tidak mungkin (nilai ambang: BNP, 100 pg/mL, NT-proBNP, 300 pg/mL, MR-proANP,
120 pg/mL). Namun demikian, kadar NP yang meningkat tidak secara aotomatis
mengkonfirmasi diagnosis ADHF, karena hal ini juga dapat berhubungan dengan
penyebab kardiak dan nonkardiak yang bervariasi. Kadar NP yang rendah dapat terdeteksi
pada beberapa pasien dengan decompensated end-stage HF, flash pulmonary oedema, atau
right sided AHF) (Ponikowski et al., 2016).

Pemeriksaan Laboratorium Lainnya

Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan saat pasien datang dengan ADHF
antara lain adalah cardiac troponin, BUN (atau ureum), kreatinin, elektrolit (sodium,
potassium), tes fungsi hati, TSH, glukosa darah, dan darah lengkap. Pemeriksaan D-dimer
diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan emboli paru akut. Analisis gas darah tidak
diperlukan dan direstriksi pada pasien dimana oksigenasi tidak dapat dinilai dengan pulse
oximetry. Namun demikian, analisis gas darah dapat berguna ketika dibutuhkan penilaian
tekanan parsial O2 dan CO2.

Penilaian cardiac troponin berguna untuk mendeteksi ACS sebagai penyebab yang
mendasari ADHF. Namun, peningkatan kadar cardiac troponin dapat terdeteksi pada
sebagian besar pasien ADHF, yang seringkali tanpa adanya iskemia miokard atau acute
coronary event, yang menunjukkan adanya injury atau nekrosis miosit ongoing pada
pasien ini. Pada pasien dengan emboli paru akut sebagai penyebab yang mendasari ADHF,
peningkatan troponin berguna dalam stratifikasi risiko dan pembuatan keputusan.

Penilaian kreatinin, BUN, dan elektrolit direkomendasikan untuk dilakukan setiap


1-2 hari saat di rumah sakit dan sebelum pulang. Gangguan hematologis atau elektrolit
yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang
belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia, dan penurunan
fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi yang menggunakan
diuretik, ACEI (Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor
Blocker), atau antagonis aldosteron.

Penilaian kadar prokalsitonin dapat dipertimbangkan pada pasien ADHF dengan


suspek infeksi coexisting, khususnya untuk diagnosis banding pneumonia dan untuk
memandu dalam menentukan terapi antibiotik. Fungsi hati seringkali terganggu pada
pasien ADHF akibat gangguan hemodinamik (penurunan output maupun peningkatan

10
kongesti vena). Fungsi hati yang abnormal dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko
prognosis yang buruk dan dapat berguna untuk tatalaksana yang optimal. Hipotiroidisme
dan hipertiroidisme dapat mempresipitasi ADHF, sehingga kadar TSH perlu dinilai pada
newly diagnosed ADHF.

Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Biomarker


lain seperti biomarker inflamasi, stres oksidatif, gangguan neurohormonal, dan remodeling
miokard dan matriks telah diteliti untuk mengetahui nilai diagnostik dan prognostiknya
pada ADHF, tetapi belum ada yang mencapai tahap yang direkomendasikan untuk
penggunaan klinis rutin (Ponikowski et al., 2016).

Ekokardiografi

Istilah ekokardiografi digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound jantung


termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler, dan tissue Doppler
imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan
pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien
dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara
pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi
ventrikel kiri (normal >45 - 50%).

Ekokardiografi merupakan metode noninvasif utama untuk diagnosis gagal


jantung. Pada pasien dengan gagal jantung, dapat menemukan etiologi dan menentukan
prognosis, selain untuk memberikan informasi pada jenis disfungsi (sistolik dan/atau
diastolik), ruang yang terpengaruh, lesi katup jantung, kelainan kontraktilitas segmental,
dan perikardium. Pada gagal jantung, dapat menunjukkan perkembangan disfungsi dan
penyebab dekompensasi (efusi perikardial, emboli paru, dan iskemia akut). Hal ini juga
dapat digunakan untuk menjelaskan profil hemodinamik dan dalam pemberian terapi
(PERKI, 2015).

Ekokardiografi segera/immediate harus dilakukan pada pasien ADHF dengan


instabilitas hemodinamik (khususnya pada syok kardiogenik) dan pada pasien yang
dicurigai memiliki abnormalitas jantung struktural atau fungsional akut yang mengancam
jiwa. Ekokardiografi awal harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan ADHF de
novo dan dengan fungsi jantung yang tidak diketahui. Namun, timing yang optimal belum
diketahui (lebih disarankan dalam 48 jam setelah datang ke rumah sakit) (Ponikowski et

11
al., 2016).

Evaluasi hemodinamik invasif rutin dengan kateter arteri pulmonal tidak


diindikasikan dalam mendiagnosis ADHF. Evaluasi ini dapat berguna pada kasus-kasus
tertentu pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan mekanisme perburukan
yang tidak diketahui. Penggunaan rutin dari jalur arteri atau vena sentral untuk tujuan
diagnostik tidak diindikasikan (Ponikowski et al., 2016).

2.6. Tatalaksana
Proses diagnostik perlu dilakukan di setting pre-hospital dan dilanjutkan di IGD
untuk menegakkan diagnosis ADHF dalam waktu yang cepat dan memulai tatalaksana
yang sesuai. Secara bersamaan, kondisi coexisting dan/atau faktor presipitasi yang
mengancam jiwa yang membutuhkan tatalaksana urgent perlu diidentifikasi dan diterapi
dengan segera. Secara tipikal, tahap awal dari proses diagnostik ADHF adalah untuk
menyingkirkan penyebab alternatif dari gejala dan tanda pada pasien (seperti infeksi paru,
anemia berat, gagal ginjal akut). Ketika diagnosis ADHF sudah tegak, evaluasi klinis
harus dilakukan untuk menentukan tatalaksana lebih lanjut (Ponikowski et al., 2016).

Evaluasi awal dan monitoring noninvasif secara kontinu dari fungsi kardiorespirasi
vital, termasuk pulse oximetry, tekanan darah, laju pernapasan, dan EKG kontinu harus
dilakukan dalam beberapa menit dan esensial untuk mengevaluasi apakah ventilasi, perfusi
perifer, oksigenasi, denyut jantung, dan tekanan darah sudah adekuat. Produksi urin juga
harus dimonitor, walaupun kateterisasi urin rutin tidak direkomendasikan. Pasien dengan
distres/gagal napas atau gangguan hemodinamik harus ditempatkan di triase dimana
support respirasi dan kardiovaskuler segera/immediate tersedia (Gambar 2.2) (Ponikowski
et al., 2016).

12
Gambar 2.2 Tatalaksana awal pada pasien dengan ADHF (Ponikowski et al., 2016)

2.6.1 Identifikasi Faktor Presipitasi/Penyebab Dekompensasi yang Membutuhkan


Tatalaksana Segera

Tahap selanjutnya adalah identifikasi faktor presipitasi/penyebab mayor yang


menyebabkan dekompensasi yang harus diterapi secara urgent untuk menghindari
perburukan lebih lanjut (seperti sindrom koroner akut, hipertensi emergensi, rapid
arrhythmia atau severe bradycardia/gangguan konduksi, penyebab mekanik akut yang
mendasari ADHF, emboli paru akut) (Ponikowski et al., 2016).

13
2.6.2 Kriteria untuk Hospitalisasi di Ruang Biasa (Ward) dan Intesive Care/Coronary
Care Unit

Pasien dengan dispnea persisten dan signifikan atau instabilitas hemodinamik


harus ditempatkan di triase dimana support resusitasi segera tersedia jika dibutuhkan.
Kriteria masuk ICU/CCU meliputi:

- kebutuhan intubasi (atau sudah dilakukan intubasi)

- tanda/gejala hipoperfusi

- saturasi oksigen (SpO2) <90% (walaupun dengan suplemen oksigen)

- penggunaan otot-otot napas tambahan, laju napas >25 kali/menit

- denyut jantung <40 atau >130 kali/menit, tekanan darah sistolik <90 mmHg

Step-down care dari ICU/CCU ditentukan oleh stabilisasi klinis dan


resolusi dari kondisi morbid. Tatalaksana lebih jauh akan dilanjutkan dengan keterlibatan
tim multidisipliner dan discharge planning (Ponikowski et al., 2016).

2.6.3 Tatalaksana pada Fase Awal

Algoritma tatalaksana pasien dengan ADHF berdasarkan profil klinis selama fase
awal dapat dilihat pada Gambar 2.3.

14
Gambar 2.3 Tatalaksana pasien dengan ADHF berdasarkan profil klinis pada fase awal
(Ponikowski et al., 2016)

15
Gambar 2.4 Rekomedasi terapi farmakologis pada pasien dengan ADHF (Ponikowski et al.,
2016)

Diuretik

Diuretik merupakan terapi pada pasien ADHF dengan tanda overload cairan dan
kongesti. Diuretik meningkatkan eksresi garam dan air melalui ginjal dan memiliki efek
vasodilatasi sedang. Pada pasien ADHF dengan tanda-tanda hipoperfusi, diuretik harus
dihindari sebelum tercapai perfusi yang adekuat. Pendekatan awal pada tatalaksana
kongesti meliputi diuretik intravena dengan tambahan vasodilatasi untuk mengurangi
dispnea jika tekanan darah adekuat. Untuk semakin meningkatkan diuresis atau mengatasi
resistensi terhadap diuretik, dapat dipilih untuk memberikan dual nephron blockade
dengan loop diuretik (seperti furosemide atau torasemide) dengan diuretk thiazide atau

16
MRA dosis natriuretik. Namun demikian, kombinasi ini memerlukan monitoring yang
hati-hati untuk menghindari hipokalemia, disfungsi ginjal, dan hipovolemia. Pada ADHF,
furosemide i.v. merupakan diuretik lini pertama yang paling umum digunakan. Dosis i.v.
awal paling tidak harus sama dengan dosis oral sebelumnya. Pasien dengan ADHF onset
baru atau dengan HF kronik tanpa riwayat gagal ginjal dan penggunaan diuretik dapat
berespon dengan bolus i.v. 20-40 mg (Ponikowski et al., 2016).

Vasodilator

Vasodilator intravena merupakan agen tersering kedua yang digunakan pada


ADHF untuk mengurangi gejala, namun tidak ada evidence yang kuat untuk
mengkonfirmasi efek positifnya. Vasodilator memiliki dua keuntungan, yaitu
menunrunkan tonus vena (mengoptimalkan preload) dan tonus arteri (menurunkan
afterload). Sehingga, juga dapat meningkatkan stroke volume. Vasodilator khususnya
berguna pada pasien ADHF dengan hipertensi. Sedangkan pada pasien ADHF dengan
tekanan darah sistolik <90 mmHg (atau dengan hipotensi simptomatik), vasodilator harus
dihindari (Ponikowski et al., 2016).

Inotropes

Agen inotropik positif diberikan pada pasien dengan penurunan cardiac output
yang berat yang menimbulkan gangguan perfusi organ vital, yang paling sering terjadi
pada pasien ADHF hipotensif. Agen inotropik tidak direkomendasikan pada kasus ADHF
hipotensif dengan penyebab dasarnya yaitu hipovolemia atau faktor lain yang dapat
dikoreksi. Levosimendan lebih dipilih daripada dobutamin untuk mengembalikan efek
beta bloker jika beta bloker dianggap berkontribusi dalam terjadinya hipoperfusi. Namun,
levosimendan merupakan vasodilator, sehingga tidak cocok untuk pasien dengan hipotensi
(SBP <85 mmHg) atau syok kardiogenik kecuali dengan kombinasi dengan inotropik lain
atau vasopresor. Inotropik, khususnya dengan mekanisme adrenergik, dapat menyebabkan
sinus takikardia dan dapat menginduksi iskemia miokard dan aritmia, sehingga dibutuhkan
monitoring EKG. Pemberian notropik dapat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan
secara bertahap (Ponikowski et al., 2016).

17
Vasopresor

Obat-obat dengan aksi vasokonstriksi arteri perifer yang besar seperti norepinefrin
atau dopamine dalam dosis tinggi (>5 mcg/kg/menit) diberikan pada pasien dengan
hipotensi berat. Agen ini diberikan untuk meningkatkan tekanan darah dan meredistribusi
darah ke organ vital. Namun, hal ini dapat meningkatkan afterload ventrikel kiri.
Norepinefrin memiliki efek samping yang lebih sedikit dan mortalitas lebih rendah
daripada dopamin. Epinefrin harus direstriksi untuk pasien dengan hipotensi persisten
(meskipun dengan tekanan pengisian jantung adekuat dan dalam penggunaan agen
vasoaktif lain) dan untuk protokol resusitasi (Ponikowski et al., 2016).

18
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. MR
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 56 tahun
Alamat : Wlingi, Blitar
Status : Menikah
Suku/Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta

3.2 Keluhan Utama


Sesak napas

3.3 Anamnesis
3.3.1 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh sesak napas sejak 1 minggu sebelum MRS. Dalam 1
tahun terakhir, pasien mengalami sesak yang dirasakan hilang timbul. Sesak timbul
apabila pasien melakukan aktivitas ringan seperti berjalan ±10 meter dan
berkurang dengan istirahat. Namun sejak 1 minggu SMRS, pasien tidak kuat
beraktivitas dan mengeluh sesak saat istirahat. Pasien hanya berbaring di tempat
tidur dan harus dibantu orang lain untuk berjalan ke kamar mandi. Pasien biasanya
tidur dengan posisi tinggi (2-3 bantal) untuk mengurangi sesak. Pasien mengeluh
sulit tidur dan sering terbangun di malam hari karena sesak. Kedua kaki bengkak
(+) dan perut membesar sejak ±6 bulan terakhir.
Nyeri dada (-), berdebar (-), pingsan (-), batuk (-), demam (-), mual (+),
muntah (-), penurunan nafsu makan (+), penurunan berat badan (-). BAK dan BAB
dalam batas normal.
3.3.2 Riwayat Penyakit Dahulu
1 tahun yang lalu, pasien pernah MRS di RS Swasta dengan keluhan serupa
dan dikatakan jantung bengkak. Setelah itu, pasien rutin kontrol ke Poli Jantung,

19
namun pasien terakhir kali kontrol 2 bulan yang lalu dengan alasan tidak ada
transportasi. Riwayat DM, serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal disangkal
oleh pasien.

3.3.3 Riwayat Pengobatan


Pas#ien rutin kontrol ke Poli Jantung setiap bulan dan terakhir kali diberi obat
furosemide 1x40 mg, spironolakton 1x25 mg, dan valsartan 1x40 mg, namun
pasien terakhir kali kontrol 2 bulan yang lalu dengan alasan tidak ada
transportasi. Pasien membeli obat sendiri namun tidak lengkap. Pasien terakhir
kali minum obat 1 bulan yang lalu.
3.3.4 Riwayat Keluarga
Tidak didapatkan anggota keluarga pasien yang menderita penyakit jantung,
hipertensi, DM.

3.3.5 Riwayat Sosial


Pasien sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. Pasien tidak bekerja sejak 1
tahun yang lalu. Sebelumnya pasien bekerja sebagai tukang batu. Riwayat
merokok (+) selama kurang lebih 30 tahun, sekitar 1 pak/ hari, berhenti 1 tahun
yang lalu. Konsumsi alkohol (-).

3.4 Pemeriksaan Fisik


GCS : 456
Tekanan darah : 102/64 mmHg
Nadi : 86 kali per menit
Pernafasan : 26 kali per menit
Temperatur (axilla) : 36,5ºC
BMI : kesan overweight
Kepala & Leher : anemis -/-, ikterik -, pembesaran KGB (-), JVP R+4 cm
H2O posisi 300
Thorax : simetris
Cor : S1 S2 tunggal, murmur -, gallop –,
iktus kordis: teraba di ICS V 2 cm lateral MCL (S)
Pulmo : vesikuler/vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

20
Abdomen : distended, soefl, BU (+) N, tenderness (-), shifting
dullness (+)
Ekstremitas : akral hangat kering merah, tungkai pitting edema +/+,
CRT < 2 detik

3.5 Pemeriksaan Penunjang


EKG

 Irama sinus
 HR 88 bpm reguler
 Frontal axis : Normal
 Horisontal axis: Clockwise rotation
 PR interval : 0.16 s
 QRS kompleks : 0.12 s
 QT interval 0.40s
 QTc: 486 ms
Kesimpulan: normal sinus rhythm dengan HR 88 bpm, LBBB

21
Foto Toraks AP

Kesimpulan: kardiomegali

3.6 Diagnosis
- Acute Decompensated Heart Failure
- Heart failure stage C functional class III

3.7 Tatalaksana
3.7.1 Rencana Diagnosis
Ekokardiografi
3.7.2 Rencana Terapi
- Bed rest, posisi semifowler
- O2 4 lpm Nasal Canule
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc / 24 jam
- Inj. Furosemide 3x20 mg iv bila MAP ≥60 mmHg
- Valsartan 1x80 mg po
3.7.3 Rencana Monitoring
Keluhan subyektif, vital sign

22
3.8 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
- KIE kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit pasien, tatalaksana,
dan komplikasi yang dapat terjadi.
- KIE tentang pengobatan gagal jantung yang harus dilakukan secara kontinyu,
dan pentingnya kontrol secara berkala.
- KIE tentang penyakit gagal jantung tidak bisa sembuh namun dapat terkontrol
dengan modifikasi gaya hidup sehat dan mengonsumsi obat-obatan secara
rutin.
- KIE tentang gejala-gejala perburukan akut yang mungkin dapat terjadi.

23
BAB 4
PEMBAHASAN

Teori Kasus
Diagnosis Tabel 2.1 Modified Framingham Criteria for the
Diagnosis of Heart Failure (Ho et al., 1993)
Anamnesis Kriteria Mayor Kriteria Minor
- sesak napas sejak 1 tahun, memberat 1 minggu  Paroxysmal nocturnal
 Bilateral ankle edema
dyspnea atau ortopnea
 Efusi pleura
sebelum MRS  Distensi vena leher
 Batuk di malam hari
 Rhonki (>10 cm dari
- Sesak saat aktivitas ringan dan berkurang basal paru)  Dyspnea on exertion
 Edema paru akut  Hepatomegali
dengan istirahat.  Takikardia (denyut jantung
 S3 gallop
>120 kali/menit)
- Pasien biasanya tidur dengan 2-3 bantal  Penurunan berat badan
>4,5 kg setelah terapi gagal  Penurunan berat badan >4,5
- sulit tidur dan sering terbangun di malam hari jantung kongestif kg yang disebabkan oleh gagal
jantung dimana tidak ada
 Tekanan vena sentral
karena sesak. >16 cmH2O
faktor-faktor yang
menyebabkan penurunan BB
- Kedua kaki bengkak (+)  Disfungsi ventrikel kiri
selain terapi gagal jantung
pada ekokardiografi
- perut membesar
Pemeriksaan fisik Sistem klasifikasi dari New York Heart Association
0
- JVP R+4 cm H2O posisi 30 (NYHA) membagi gagal jantung ke dalam empat
- iktus kordis teraba di ICS V 2 cm lateral MCL kelas, yaitu sebagai berikut (Dolgin et al., 1994):
(S)  Kelas I: tidak ada batasan aktivitas fisik
- abdomen: distended, shifting dullness (+)  Kelas II: batasan ringan pada aktivitas fisik
- tungkai pitting edema +/+  Kelas III: batasan bermakna pada aktivitas
EKG: LBBB fisik
CXR: kardiomegali
 Keals IV: gejala muncul saat istirahat, tidak
mampu melakukan aktivitas fisik apa

Sistem klasifikasi dari American College of


Cardiology Foundation/American Heart Association
(ACCF/AHA) membagi gagal jantung ke dalam
empat stadium, yaitu sebagai berikut (Yancy et al.,
2013):
 Stadium A: berisiko tinggi mengalami gagal
jantung tetapi tidak ada penyakit jantung struktural
dan gejala gagal jantung

24
 Stadium B: terdapat penyakit jantung struktural
tetapi tidak ada gejala gagal jantung
 Stadium C: terdapat penyakit jantung
struktural dan gejala gagal jantung
 Stadium D: gagal jantung refrakter yang
membutuhkan intervensi khusus

Tatalaksana Ekokardiografi pada pasien dengan gagal jantung,


Rencana Diagnosis dapat menemukan etiologi dan menentukan
Ekokardiografi prognosis, selain untuk memberikan informasi pada
jenis disfungsi (sistolik dan/atau diastolik), ruang
Rencana Terapi yang terpengaruh, lesi katup jantung, kelainan
- Bed rest, posisi semifowler kontraktilitas segmental, dan perikardium.
- O2 4 lpm Nasal Canule
- IVFD NaCl 0,9% 500 cc / 24 jam
- Inj. Furosemide 3x20 mg iv bila MAP ≥60
mmHg
- Valsartan 1x80 mg po

25
26
BAB V
KESIMPULAN

Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak mampu lagi
memompakan darah yang cukup dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi untuk metabolisme
jaringan tubuh. Sedangkan gagal jantung akut didefinisikan perburukan tanda dan gejala
secara mendadak dari gagal jantung, sebuah kondisi klinis yang mengancam jiwa yang
memerlukan evaluasi dan penatalaksanaan secepatnya. Gagal jantung akut dapat muncul
sebagai kejadian pertama kali (de novo) atau, lebih sering, sebagai konsekuensi
dekompensasi akut dari gagal jantung kronis, baik oleh disfungsi primer dari jantung, atau
adanya factor presipitasi ekstrinsik lainnya.

Pada kasus yang ditemukan di atas, pasien ini mengalami Acute Decompensated
Heart Failure yang dipicu oleh ketidak patuhan berobat. Berdasarkan tinjauan pustaka,
kami memberikan terapi berupa injeksi furosemide jika MAP > 60 mmHg untuk
mengurangi preload, valsartan (ARB) untuk mengatasi mencegah remodeling jantung,
serta dilakukan balans cairan untuk mencegah fluid overload.

27
DAFTAR PUSTAKA

Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2008. Eur Heart J. 2008;29:2388–442.

Dolgin, Association NYH, Fox, AC, Gorlin R, Levin RI. 1994. Nomenclature and criteria
for diagnosis of diseases of the heart and great vessels. 9th ed. Boston, MA:
Lippincott Williams and Wilkins.

Ho KK, Pinsky JL, Kannel WB, Levy D. The Epidemiology of heart failure: the
Framingham Study. J Am Coll Cardiol, 1993;22(4):6A-13A

McMurray JJ V, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2012: The Task Force for the
Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the European
Society of Cardiology. Developed in collaboration with the Heart. Eur Heart J.
2013;32:641–61.

PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Perhimpunan Dokter


Spesialis Kardiovaskular Indonesia.

Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JG, Coats AJ, et al. 2016 ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure: The
Task Force for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure of the
European Society of Cardiology (ESC). Developed with the special contribution of
the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur J Heart
Fail. 2016;18(8):891-975.

Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE Jr, Drazner MH, et al. 2013
ACCF/AHA guideline for the management of heart failure: a report of the
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines. Circulation. 2013;128.

28

Anda mungkin juga menyukai