benar. Paradigma kebenaran terasa sangat berbeda antara teori satu dengan teori lainnya
karena sangat bergantung terhadap sasaran objek kebenaran itu sendiri. Dalam konteks
fislafat ilrnu, untuk mencapai kebenaran itu, serendahnya terdapat tiga teori yang berguna
untuk mengukur kebenaran. Tiga teori itu adalah: koherensi, korenspondensi dan
pragmatisme nasional.
Antara satu teori dengan teori lain memiliki perbedaan paradigma yang cukup kental.
Misalnya, teori koherensi lebih mendasarkan diri pada kebenaran rasio, teori korespondensi
lebih mendasari diri pada kebenaran factual/ karena data dan fakta memiliki kebenaran
objektif pada dirinya, sedangkan kebenaran fungsional lebih menitikberatkan pada fungsi dan
kebenaran itu sendiri.
Sekalipun perbedaan di antara ketiga teori itu terasa kental, namun ketiganya memiliki
kesmaaan. Kesamaan diantara tiga teori itu adalah: pertama, seluruh teori melibatkan logika,
baik logika formal maupun logika material (deduktif dan induktif); kedua, melibatkan bahasa,
yaitu adanya kerangkapengujian terhadap pernyataan-pernyataan yang hendak diuji
kebenaranya, dan ketiga, adalah pengalaman yang menduduki tempat penting dalam
mengetahui kebenaran. Untuk lebih jelasnya, ketiga teori kebenaran ini akan dijelaskan
berikut ini:
Teori Koherensi
Teori koherensi adalah satu di antara dua teori tradisional tentang kebenaran. Dalam
perspektif sejarah, kelahiran teori ini hampir berbarengan dengan lahirnya metafisika dan
idealis.
Oleh karena itu, muncul juga suatu anggapan bahwa teori ini hanya berlaku di kalangan met
nfis ikn – ras ionnl is dan ideal is. Namun demikian, sejarah juga mencatat bahwa positivistic
yang mendasarkan kebenaran pada fakta-fakta empiris dan menggunakan matematika murni
dan fisika teoritis pada akhirnya tidak dapat mengelak atas kepentingannya untuk
mengakomodasi teori ini.
Teori Koherensi secara teoretis pertama kali dicetuskan Benedictus Spinoza dan George
Hegel. Meskipun demikian, menurut Titus, Smith dan Nolan (1984), bibit-bibit teori ini
sebenarnya sudah ada sejak pra Socrates. Spinoja kemudian mematangkan teorinya ini dan
terus dikembangkan oleh penganut aliran ini seperti Francois Herbert Bradly, Brand
Blanshard, Edgar Sheffield Brightman dan Rudolph Carnap.
Kelompok ini beranggapan bahwa kebenaran adalah sebuah sistem dan seperangkan
proposisi yang saling berhubungan secara koheren. Sebuah pernyataan dianggap benar
apabila pernyataan itu dapat dimasukkan (incorporated) dengan cara yang tertib dan
konsisten dengan dalam konsisten dan koheren. Oleh karena itu, suatu pernyataan dianggap
benar jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan konsistensi dan pertimbangan-
pertimbangan lain yang telah diterima keberadaannya.
Logika matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya telah menjadi contoh
penggunaan teori koherensi yang paling tepat. Logika matematika disusun atas beberapa
dasar pernyataan yang dianggap benar atau aksioma yang menghasilkan teorema. Di atas
teorema ini, menurut Jujun S. Surisumantri, matexnatika secara keseluruhan menjadi satu
system yang konsisten. Oleh karena itu, logika yang digunakan dalam teori koherensi adalah
logika deduktif yang menguji kebenaran terhadap kemungkinan adairya relasi- relasi dengan
anggota lain. Logika ini memastikan bahwa simpulan itu benar jika premis-premis yang
digunakannya juga benar.
Contoh sederhana dari teori ini adalah “Semua manusia yang normal pasti akan menikah”.
Pernyataan ini adalah pernyataan yang benar. Oleh karena itu, pernyataan yang menyebutkan
bahwa Puspa adalah gadis yang normal, dan pasti ia akan menikah adalah benar pula. Sebab
pernyataan kedua konsisten dengan pertanyaan pertama. Sifat koheren atau konsisten dengan
pertanyaan-pertanyaan sebelumnya yang dianggap benar, dengan demikian menjadi sangat
khas dari teori kebenaran ini.
Teori Korespondensi
Jika teori koherensi dianut oleh kaum metafisika-rasionalis, maka teori korespondensi dianut
oleh kaum realis. Kebenaran, menurut kelompok ini adalah kesetiaan terhadap realitas
objektif (fidelity to objective reality), yakni: adanya kesesuaian antara pernyataan tentang
fakta, atau pertimbangan (Judgement) dengan situasi yang dilukiskan oleh pertimbangan itu.
Artinya, suatu pernyataan baru dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung oleh
pernyataan itu dikorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju pleh pernyataan
tersebut. Jika seseorang dinyatakan bahwa BJ. Habibie adalah Presiden Republik Indonesia
yang ketiga setelah Presiden Soeharto, maka pernyataan ini adalah benar sesuai dengan objek
yang bersifat factual. Andaikan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa B.J. Habibie adalah
presiden pertama, maka pernyataan itu salah, sebab, pernyataan itu tidak sesuai dengan
realitas dan fakta sebab Presiden pertama itu adalah Soekarno.
Teori ini sama seperti teori sebelumnya yang mulai berkembang sejak jaman Yunani Kuna.
Jika pada teori koherensi mulai ada sejak Socrates, maka teori ini baru rmrncul ketika
Aristoteles mencetuskan adanya keharusan bagi sebuah kebenaran dengan landasan dan
pertimbangan fakta empiris. Pemikiran Aristoteles ini kemudian dikembangkan oleh tokoh
semacam Ibnu Sina dan Thomas Aquinas di abad skolastik dengan merumuskan teorinya
pada apa yang disebut dengan “teori kememadaian”.
Kelompok ini beranggapan bahwa suatu kebenaran itu baru diakui jika kebenaran itu
dirumuskan dengan adanya kememadaian pikiran atas bendanya (edaequntio intelectus et
rex). Kebenaran dengan demikian, tidak hanya melekat di dalam inteiek tetapi ia juga
melekat di dalam benda-benda. Secara sederhana dapat disebutkan bahwa teori ini
menganggap suatu pemyataan itu benar jika berkorespondensi dengan realitas. Apabila
sebuah gagasan selaras dengan pasangannya (counterpart) dalam dunia realitas, maka
gagasan itu menjadi benar.
Teori korespondensi sebagai salah satu teori kebenaran jelas dipakai dalam cara berpikir
ilmiah. Penalaran teoritis yang mendasarkan diri pada logika deduksi jelas mempergunakan
teori koherensi, sedangkan logika induksi menggunakan teori korespondensi. Fakta dianggap
kelompok ini sebagai sesuatu.yang netral.
Fakta yang benar, juga tidak salah. Letak kemungkinan salah atau benar bukan pada fakta,
tetapi pada gagasan, pemyataan dan keyakinan adalah tidak cukup untuk meyakinkan
kebenaran, tetapi butuh dibuktikan dengan meneliti apakah terdapat hubungan (koresponden)
antara dunia idea dengan dunia nyata (fakta) yang mereka cerminkan. Kebenaran adalah
sejumlah keyakinan rasional yang menggambarkan atau mengidentikkan dengan unsur- unsur
dan struktur alam semesta.
Teori ini menurut Titus dan Nolan (1984: 239) mengasumsikan bahwa: “pengetahuan kita
bukan saja atas pertimbangan diri sendiri, tetapi ia harus didukung oleh keadaan nyata di
samping pengalaman”. Bahkan secara ektrem, kelompok ini menganggap bahwa tanpa
campur tangan akal (rasio), dunia telah dapat dipersepsi secara benar sebab dunia adalah
sesuatu yang universal.
Teori Pragmatisme
Teori pragmatisme dapat disebut sebagai teori kebenaran yang paling baru. Teori ini
merupakan sumbangan paling nyata dari para filosof berkebangsaan Amerika komunitas
filsafat dunia. Teori ini muncul dengan background telah berkembangnya kemajuan ilmu
pengetahuan pada abad ke- 19 terutama setelah teori evolusi yang dikembangkan oleh
Charles Darwin menempati posisi yang signifikan dalam percaturan pengetahuan. Tokoh-
tokoh yang cukup aktif dalam pengembangan teori ini adalah: Charles Sanders Peirce,
William James dan John Dewey. (Van Melson, 1954: 130).
Menurut kelompok. ini, suatu pernyataan dianggap benar jika melalui pengukuran diketahui
ada atau tidak adanya fungsi kebenaran itu terhadap kehidupan praktis. Mampu atau tidaknya
memberi dorongan terhadap aksi, karena hanya dengan cara itu ia berkorespondensi dengan
realitas. Artinya, suatu pernyataan menjadi benar atau konsekwensi dari pernyataan itu benar
apabila mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Gagasan yang benar, menurut kelompok ini adalah gagasan yang dapat diasimilasi,
validitasnya dan dapat diuji, berkolaborasi dan mampu dilakukan verifikasi. Kebenaran
terjadi pada suatu gagasan. Gagasan menjadi benar dan dibuat benar oleh suatu peristiwa.
Oleh karena itu pula, kebenaran menurut kelompok ini adalah particular, sebab terdapat
banyak kebenaran individual.
Pencarian pengetahuan tentang alam dianggap fungsional dan berguna untuk xnenafsirkan
gejala alam. Secara histories, kebenaran dari suatu pernyataan ilmiah tidak selalu tetap, yang
sekarang benar, bisa didapati salah di kemudian hari. Berhadapan dengan masalah ini,
menurut Jujun S. Suriasumantri, seorang ilmuwan pasti bersikap pragmatis. [Prof. Dr. H.
Cecep Sumarna]
TEORI-TEORI KEBENARAN FILSAFAT
BAB I
RINGKASAN MATERI
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity)
selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia
3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati
oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan
harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan
bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh
kebanaran.
2. Teori Consistency Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil
test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu
penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain
dalam waktu dan tempat yang lain.
3. Teori Pragmatisme Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra
pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka
akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada.
Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam
keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya
manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan
penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
4. Kebenaran Religius Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu.
Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena
kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan
melalui wahyu.
BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk
menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang
berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu
nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk”
suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan
manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan
kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan
kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para
ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang
satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran
mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus
individual, ada pula kebenaran umum universal.
Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan
kesadarannya tak mungkin tnapa kebanran.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
5. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia
7. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya
8. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati
oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses
dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang
dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada tingkat
kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu,
membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
Ukuran Kebenarannya :
Jenis-jenis Kebenaran :
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat
asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan
harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan
bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh
kebanaran.
Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani
merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal
dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran ini
adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki status
tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh tingkat
pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada puncak
kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia dan
sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.
1. Teori Corespondence
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi, fakta,
peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan
yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu
benar.
Teori korispodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu
kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu
pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau
pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi
dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
1. Statemaent (pernyataan)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori
kebenaran menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan
moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah
merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan
sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai
moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di
dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak
sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku.
Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan
apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
2. Teori Consistency
Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik
bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu
dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas
hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek
(ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh
karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali
berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam
penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.
Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih
bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti dan
teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah
teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di
dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan
sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar,
jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain
yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A = B
dan B = C maka A = C
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini
menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar.
Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan
George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan
tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori
lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
3. Teori Pragmatisme
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project
atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika
mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika
mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan
kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam
keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-
tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas
dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat
secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu
memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan
(workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak
ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya.
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya adalha
Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada
konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di
dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah
dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau
cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan
mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.
4. Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita
objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat
objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara
antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat superrasional
dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah kebenarna
tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran
filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :
Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan sebagai
landasannya. Dalam teori kebanran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
Sebagai makluk pencari kebeanran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran
melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan
ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.agama dengan kitab suci dan
haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.
BAB III
KESIMPULAN
Bahwa kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas.
Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu itu.
Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang sesuatu
terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma
dan hukum) yang bersifat umum.
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak,
abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera,
ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek (mental,r asio, intelektual).
Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan alam semesta.
Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.
Semua teori kebanrna itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana
masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.
BAB IV
DAFTAR BACAAN
Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.
Surabaya: Usaha Nasional
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
KEBENARAN OBYEKTIFITAS DALAM ILMU PENGETAHUAN
by admin _brow 9/12/2015 | 5:26 0 Posted in Filsafat, Metodologi Penelitian, Pendidikan, Sains
kebenaran obyektifitas
www.rangkumanmakalah.com
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama
untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran.
Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran.
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. kebenaran obyektifitas sebagai ruang
lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia
sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat
kebenaran itu?[4]
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran,
tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik
spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut
bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya
ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula
kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.[5]
Dalam ilmu pengetahuan kebenaran adalah sesuatu yang terus dicari. Pada zaman dahulu
manusia mengabaikan mitos-mitos, dongeng-dongeng karena menginginkan kebenaran sejati.
Ini menyebabkan ilmu pengetahuan kadang berkonflik dengan agama dan keuasaan, kadang
bahkan dengan ilmu yang ada sebelumnya. Ini menyebabkan pertengkaran tidak hanya dalam
pihak teori dan pemikiran, namun juga pribadi dan lain sebagainya.
Karena mencari kebenaran yang sejati ini. Ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti mencari
kebenaran. Penelitiannya tidak pernah usai untuk menemukan kebenaran yang sebenar-
benarnya yang tidak diragukan lagi. Mungkin awal dari pemikiran ini ada pada Rene
Descartes. Descartes mencoba mencari kebenaran yang tidak diragukan lagi, dengan cara
meragukan segala sesuatu yang pernah diketahuinya. Dengan menghancurkan basis
sebelumnya mengetahui kebenaran.[6]
Secara bahasa objektivitas dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang menggambarkan
adanya kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dan
lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan. Dalam
konteks keilmuan kebenaran obyektifitas hanya dapat diakui jika dan hanya jika melalui
prosedur yang absah berdasarkan konsep metode ilmiah. Jika sesuai dengan syarat dan
prosedur metode ilmiah maka penemuan tersebut bisa disebut objektif dan jika tidak maka
disebut sebagai sesuatu yang tidak objektif dan karenanya dianggap nisbi. Selanjutnya
dengan metode ilmiah itu sebuah ilmu benar-benar bisa diakui objektif atau bebas nilai.
Meskipun dalam tataran historis sesuatu yang kemudian terbantahkan adalah objektivitas
mengapa selalu berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu, khususnya perkembangan
sains dan teknologi. Bukankah semestinya, sesuatu yang kebenaran obyektifitas di masa lalu
juga objektif di masa sekarang dan yang akan datang. Oleh karena itu wajar jika kemudian
muncul pertanyaan, benarkah yang dianggap nisbi itu betul-betul nihil atau justru eksis dan
sebaliknya? Sebelum membahas hal ini ada baiknya kita kaji lebih dulu apa itu ada atau apa
itu ontologi.[7]
1. Teori Corespondency.
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi,
fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau
kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu
benar.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang
serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu [8]:
1. Pernyataan (statement)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)
Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral
itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam
kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga
kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang
ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang
ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
2. Teori Consistency
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat
konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan
tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas
hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek
(ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh
karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali
berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.[10]
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam
penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan. Teori konsisten ini
tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi.
Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori
korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan
usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di
dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan
sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar,
jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain
yang telah diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran obyektifitas adalah turth is a
sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C Logika
matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan
bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini
digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.[11]
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan
George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan
tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan teori lama
yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
3. Teori Pragmatisme
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode
project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya
jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika
mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan
kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam
keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-
tuntutan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala
sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak,
teori ini salah. Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori
itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar
(kebenaran).[12]
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau
dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat
dikerjakan (workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena
itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan
akibatnya. Akibat hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah : (1). Sesuai dengan
keinginan dan tujuan, ( 2). Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen, (3). Ikut membantu
dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya adalha
Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsikuensi,
pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di dalam ide itu
sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory
Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung
melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuai
melalui praktek di dalam program solving.[13]
4. Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar. kebenaran
obyektifitas tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran
bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara
antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah
kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah,
kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :
Secara bahasa objektivitas dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang menggambarkan
adanya kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dan
lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan. Dalam
konteks keilmuan objektivitas hanya dapat diakui jika dan hanya jika melalui prosedur yang
absah berdasarkan konsep metode ilmiah. Jika sesuai dengan syarat dan prosedur metode
ilmiah maka penemuan tersebut bisa disebut objektif dan jika tidak maka disebut sebagai
sesuatu yang tidak objektif dan karenanya dianggap nisbi. Selanjutnya dengan metode ilmiah
itu sebuah ilmu benar-benar bisa diakui objektif atau bebas nilai. Meskipun dalam tataran
historis sesuatu yang kemudian terbantahkan adalah objektivitas mengapa selalu berubah-
ubah seiring dengan bergulirnya waktu, khususnya perkembangan sains dan teknologi.
Bukankah semestinya, sesuatu yang objektif di masa lalu juga objektif di masa sekarang dan
yang akan datang.[14]
Oleh karena itu wajar jika kemudian muncul pertanyaan, benarkah yang dianggap nisbi itu
betul-betul nihil atau justru eksis dan sebaliknya? Sebelum membahas hal ini ada baiknya
kita kaji lebih dulu apa itu ada atau apa itu ontologi.Karena objektif itu seringkali dipahami
identik dengan ada, maka bahasan ontologi menjadi perlu untuk dijadikan bahasan awal
dalam pemaparan mengenai objektifitas itu sendiri. Masalah ontologi adalah bagian dari
filsafat ilmu yang membahas pandangan terhadap hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah.
Termasuk dalam pandangan terhadap hakikat ilmu ini adalah pandangan terhadap sifat ilmu
itu sendiri. Dalam kajian ilmu-ilmu sosial misalkan, khususnya dalam kajian perbandingan
antara pandangan ilmiah dan ajaran Islam dapat dilihat dalam beberapa bahasan. Pertama
mengenai pandangan terhadap ilmu sosial itu sendiri, kedua tentang sifat pengetahuan ilmiah,
dan ketiga, masalah kebenaran obyektifitas dan nilai dalam ilmu-ilmu sosial.
Selain itu, secara historis kajian ontologi merupakan bahasan filsafat yang paling tua. Hal ini
dikarenakan rasa ingin tahu manusia terhadap hakikat segala sesuatu yang ada termasuk
eksistensinya sebagai manusia. Secara faktual, keberadaan manusia bukanlah sesuatu yang
lahir dari kesadaran dirinya, namun disebabkan oleh suatu kehendak di luar dirinya yang
mengharuskan manusia itu sendiri secara pribadi menerima dirinya apa adanya. Manusia
sama sekali tidak mengerti mengapa dia berjenis kelamin pria atau wanita dan lahir dari
wanita bangsawan ataupun wanita biasa. Maka dengan kondisi demikian, kajian ontologi
dengan sendirinya akan memberikan dampak positif dalam pemaknaan diri dan kehidupan
manusia itu sendiri.[15]
Pengamatan yang mendalam terhadap kehidupan ini secara otomatis akan mengantarkan
manusia pada satu kesadaran dimana dia akan mencari sang pencipta yang tidak lain adalah
Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara alamiah konsep kebetulan tidaklah dapat diterima logika
sehat. Sebab secara faktual, pengalaman kehidupan, tidak ada yang ada secara sendiri,
demikian juga halnya, tidak ada yang ada secara kebetulan, karena yang disebut kebetulan itu
pada dasarnya ada oleh adanya proses yang ada di luar dirinya yang tidak ia ketahui, sehingga
ia mengatakan ada itu, ada secara kebetulan, kesimpulan semacam ini tentu keliru, karena
telah menegasikan hakikat fakta yang merealita.[16]
Berbeda dengan Barat, bagi mereka yang ada adalah fakta dan kebenaran. Mengenai hal-hal
lain yang diluar fakta itu sendiri dan tidak dapat diverifikasi secara ilmiah maka hal tersebut
tidaklah menjadi satu bahasan yang esensial meskipun memiliki peran yang sangat
menentukan. Mulyadhi Kartanegara, seorang doktor study Islam dari Chicago AS
menjelaskan bahwa apa yang ada atau ontologi yang diakui oleh peradaban Barat hanya
sebatas pada realitas yang bersifat observeable. Dengan kata lain segala hal yang tidak
observeable dianggap nisbi dan karenanya manusia yang masih meyakini hal-hal yang berada
jauh diluar jangkauan indera disebut sebagai ilusi semata. Oleh karena itu, positivisme yang
selanjutnya dipopulerkan oleh Auguste Comte menjadi alternatif utama Barat dalam
menentukan kriteria ilmiah dan benar dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan.
Afirmasi terhadap ontologi yang bersifat observeable ini bukan tanpa alasan. Jika ditinjau
dari sisi historis, hal ini bisa dianggap sebagai kewajaran dan memang sudah selayaknya
Barat dalam kondisi tersebut. Dengan kata lain sekularisasi yang kini mewabah dan
menjangkiti sebagian sarjana muslim, relevan bagi Barat namun tidak bagi Islam. Sejarah
Barat yang sangat traumatik terhadap hegemoni gereja pada abad pertengahan menjadi satu
alasan kuat akan keniscayaan sekularisasi dan pada akhirnya liberalisasi. Dalam fislafat ilmu,
Auguste Comte (1789 – 1857) memandang tahap berpikir teologis sebagai tahap paling
primitif dalam perkembangan pemikiran masyarakat. Menurutnya, cara berpikir teologis
berusaha mencari jawaban absolut dari masalah-masalah yang dihadapi, speerti sebab
pertama dan terakhir segala sesuatu. Oleh karena itu Comte pun dalam penjelasan berikutnya
menjelaskan bahwa perkembangan terbaik ketika manusia berpikir positivistis dengan
menolak yang absolut dan menerima yang relatif. [17]
Sekularisasi tersebut selanjutnya menjadi wajar dalam dunia kristen. Bernard Lewis
menjelaskan bahwa sejak awal mula, kaum kristen diajarkan – baik dalam persepsi maupun
praktis – untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dan dipahamkan tentang adanya
kewajiban yang berbeda antaa keduanya. Sekularisasi ternyata masih dianggap kurang dan
pada akhirnya sampailah Barat pada diskursus yang sangat mengkhawatirkan yakni
Liberalisme. Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk moto Revolusi Prancis 1789 –
kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung
(magna charta) liberalisme modern. Lebih jelas H. Gruber menjabarkan bahwa prinsip
liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas – aapapun
namanya –a adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia – yakni
otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya. [18]
Sekularisme dan Liberalisme ini sejatinya bentuk lain dari pengakuan bahwa kebenaran
obyektifitas yang benar (objektif) itu adalah apa yang terkandung dalam kedua konsep
tersebut. Dan oleh karena itu, agama pun dinilai nisbi bahkan candu dan membahayakan
kehidupan manusia. Pada akhirnya lahirlah satu konsep bahwa objektifitas atau objektif
dalam keilmuan berarti upaya-upaya untuk menangkap sifat alamiah (mengindentifikasi)
sebuah objek yang sedang diteliti/ dipelajari dengan suatu cara dimana hasilnya tidak
tergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya.[19] Keobjektifan, pada
dasarnya, tidak berpihak, dimana sesuatu secara ideal dapat diterima oleh semua pihak,
karena pernyataan yang diberikan terhadapnya bukan merupakan hasil dari asumsi(kira-kira),
prasangka, ataupun nilai-nilai yang dianut oleh subjek tertentu.
Hal ini dikuatkan oleh pernyataan intelektual muslim kontemporer yang menggagas
Islamisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib Al Attas menegaskan bahwa objektifitas sains
merupakan satu-satunya ilmu yang otentik; bahwa ilmu hanya persangkut-paut dengan
fenomena; bahwa sains ini, termasuk pernyataan-pernyataan dasar dan kesimpulan-
kesimpulan umum sain dan filsafat yang diturunkan darinya. Pengakuan kebenaran yang
terbatas pada jangkauan indera menjadikan objektif yang ditempuh dengan metode ilmiah
dapat dikatakan absah jika memenuhi syarat prosedural yang meliputi pengamatan
percobaan, pengukuran, survei, deduksi, induksi, dan analisis. Selain itu juga kebenaran
objektif (bebas nilai) harus memenuhi standar empiris, sistematis, objektif, analitis, dan
verifikatif.
Namun berbeda dengan konsep ada, realitas dan kebenaran atau tataran ontologi dalam cara
pandang (worldview) Islam. Dalam Islam konsep realitas dan kebenaran tidak sebatas pada
dimensi duniawi yang bersifat kedisini-kinian. Tetapi juga meliputi alam akhirat yang bersifat
hakiki. Hakiki disini berasal dari kata haqq yang maknanya mencakup dua pengertian
sekaligus yakni tentang realitas dan kebenaran itu sendiri. Berbeda dengan cara pandang
Barat yang partikular sehingga memisahkan pengertian kata, realitas, kebenaran dan fakta
sebagai pendukungnya. Lawan dari haqq adalah bathil, yang artinya bukan-realitas atau
kepalsuan. Haqq berarti suatu kesesuaian dengan syarat-syarat kebijaksanaan, keadilan,
kebenaran, ketepatan, realitas dan kepantasan (moral). Ia merupakan suatu keadaan, kualitas,
atau sifat yang ditemukan dalam kebijakan, keadlan, ketepatan, kebenaran, realitas, dan
kepantasan. Ia merupakan suatu keadaan keniscayaan, sesuatu yang tak terhindarkan, wajib,
hak yang mesti diberikan. Ia merupakan keadaan eksistensi dan mencakup segalanya. [20]
Selain kata haqq, umum kita mengenal kata sidhq, yang berarti kebenaran atau kejujuran,
yang lawannya adalah kidzb, yang berarti ketidakjujuran atau kepalsuan. Namun, sidhq hanya
menunjuk kepada kebenaran yang berkaitan dengan pernyataan atau kata-kata yang
diucapkan; sementara kata haqq tidak hanya mengacu kepada pernyataan tetapi juga
tindakan, perasaan, kepercayaan, penilaian, serta hal-hal dan kejadian-kejadian dalam
eksistensi. Hal-hal dan kejadian-kejadian yang ditunjuk oleh haqq bukan hanya berkaitan
dengan kondisinya sekarang, tetapi juga kondisi yang lalu dan yang akan datang. Dalam
hubungannya dengan kondisi yang adkan datang, haqq artinya verifikasi, realisasi, dan
aktualisasi. Sebenarnya, haqq di sini dipahami sebagai mencakup realitas maupun kebenaran
yang berkaitan dengan keadaan eksistensi, karena ia merupakan satu dari nama-nama Tuhan
yang menggambarkan-Nya sebagai eksistensi mutlak yang merupakan realitas, dan
bukan konsep, eksistensi. [21] Dalam salah satu pandangan yang mencoba memahami secara
partikular tentang eksistensi, eksistensi dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya murni
konseptual, sedangkan esensi adalah yang real; esensi adalah realitas yang terwujud di luar
pikiran. Padahal selain konsep eksistensi, ada kenyataan lain, yaitu realitas eksistensi; dan
melekatnya eksistensi sebagai suatu konsep murni dalam pikiran merupakan salah satu akibat
dari realitas eksistensi ini.Sebab eksistensi sebagai realitas, berbeda dengan sebagai konsep,
dan eksistensi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Ia terus-menerus terlibat dalam suatu
gerakan ekspresi-diri ontologis yang dinamis, ang mengungkapkan kemungkinan-
kemungkinan terpendamnya yang tak terhingga, secara bertahap, dari yang kurang pasti
hingga yang lebih pasti, sampai ia muncul pada tingkat entuk yang konkret, sedemikian ingga
eksistensi-eksistensi partikular yang kita anggap sebagai “sesuatu”, yang banyak dan
beragam, yang memiliki “esensi” individual yang terpisah-pisah, tidak lain merupakan modus
dan aspek-aspek dari realitas eksistensi itu. Dari perspektif ini, esensi sesuatu tidak lebih dari
kenyataan yang ada dalam konsep saja, sedangkan eksistensisesuatu adalah real.
Sesungguhnya, esensi sejati sesuatu adalah eksistensi sebagaimana yang diindividuasi ke
dalam suatu bentuk peartikular. Realitas eksistensi inilah yang kita nyatakan sebagai Realitas
dan Kebenaran (al-haqq) yang melingkupi semuanya; dengan ini pula Tuhan, yang bersifat
mutlak dalam segala bentuk perwujudan, disebut. [22]
situs: www.rangkumanmakalah.com
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, Anton dan Achmad Chairis Zubair. (1994). Pustaka Filsafat : Metodologi Penelitian
Filsafat. Jakarta: Kanisius.
Kuhn, Thomas S.(1993). Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Suriasumantri, Jujun S. (1998). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-11.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Syam, Muhammad Noo, 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Woodhose, Mark B. (1983). A Preface to Philosopy. 3rd ed. Wadsworth Publishing Company
[1] Anton Bakker, dan Achmad Chairis Zubair. Pustaka Filsafat : Metodologi Penelitian
Filsafat. (Jakarta: Kanisius. 1994)., 23
[3] M. Shohibul Iman, Mencari Jalan Menuju Islamisasi IPTEK, dalam Seminar Islamisasi
IPTEK. Bogor: 13 Juli 1996.
[4] Ibid, Kuhn, Thomas S. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. (Bandung: Remaja
Rosdakarya. 1993). 76
[5] Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan 1994), 90
[8] Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-11. (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1998). 19
[12] Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1988. `197
[13] Woodhose, Mark B. (1983). A Preface to Philosopy. 3rd ed. Wadsworth Publishing
Company
[14] Ibid, M. Shohibul Iman, Mencari Jalan Menuju Islamisasi IPTEK, 96.
[15] Ibid, Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, 100
[16] Ibid, Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. 189
[19] Ibid, Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, 112
[21] Ibid, Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, 112
Menusia diartikan sebagai hewan yang berakal, oleh karena itu menusia berupaya dengan
sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan akalnya. Dalam hal ini pengetahuan adalah
sebuah keniscayaan. Manusia secara lahiriah telah memiliki aspek fitrah untuk mengetahui
segala hal yang ada, “ada” yang dimaksud disini adalah baik yang material atau yang bersifat
transedental.[1]
Lihat Juga Artikel di Bawah Ini Ada Hadiah Total Hingga Rp.25.000.000 :
5. Mama Harus Tahu, Begini Cara Mengatasi Anak Susah Makan dengan Laperma Platinum,
Yuk Dicoba
Dari kriteria ini dapat ditegaskan bahwa pengetahuan dibangun dari gagasan dalam
persesuaian itu. Kriteria ini yang menjadikan pengetahuan dapat dikatakan benar.
Pengetahuan erat sekali dengan kebenaran. Lalu apa yang disebut dengan benar atau
kebenaran itu? Kebenaran disini diartikan sebagai kesesuaian pengetahuan dengan objeknya.
Kebenaran tidak begitu saja langsung diterima tetapi kebenaran harus melalui beberapa
konsep, proses, atau cara mendapatkan kebenaran itu. Jika terpenuhinya proses-proses atau
dilalui dengan berbagai cara maka ini disebut dengan kebenaran ilmiah.
Penulis berpandangan bahwa untuk mengetahui lebih dalam tentang arti kebenaran
ilmiah maka makalah ini ditulis dengan judul “kebenaran ilmiah: antara Subjektifitas dan
Objektifitas”
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan di atas dapat dirumuskan beberapa rumusana masalah sebagai beikut :
d. Bagaimana kebenaran ilmiah yang ditinjau dari aspek subjektif dan objektif?
C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
d. Untuk mengetahui kebenaran ilmiah yang ditinjau dari aspek subjektif dan objektif.
BAB II
PEMBAHASAN
masing-masing pengertian dari keduanya. Kebanaran ada yang berbendapat bahwa berasal
dari “benar”. Benar timbul dari pernyataan yang sesungguhnya. Pernyataan merupakan
penyusunan tanda-tanda secara tertib yang oleh aturan sintaksis disebut kalimat berita.
Pernyataan merupakan makna yang terkandung dalam kalimat berita. Namun istilah
pernyataan merujuk kepada yang murni dari sintaksis. Karena pernyataan berarti kalimat
Sudah jelas bahwa tidak ada perangkat tanda yang dapat dikatakan benar selanjutnya
secara lues kita tidak dapat mengatakan bahwa sesuatu pernyaataan benar, kadang-kadang
dalam pembahasan ini adalah perkataan benar hanya dapat diterapkan dalam
propoosisinya.[3]
Suatu objek yang ingin diketahui memiliki begitu banyak aspek yang senantiasa sangat sulit
aspek dari suatu objek sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian,
jelas bahwa amat sulit untuk untuk mencapai kebenaran yang lengkap dari suatu objek
tertentu apalagi mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan objek
pengetahuan.[4]
1. Pengetahuan biasa disebut juga dengan pengetahuan pra-imiah yaitu pengetahuan dari hasil
2. Pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang diperoleh lewat metode-metode yang lebih
logis, analitis dan sistematis. Pengetahuan falsafi berkaitan dengan hakikat, prinsip, objek,
dan asas dari realitas yang dipersoalkan selaku objek yang hendak diketahui.
Dari penjelaskan di atas dapat diinterpertasi bahwa kebenaran yang sesungguhnya dapat
didapatkan jika manusia mengetahu segala aspek yang terkandung didalam objek tertentu jika
aspek-aspek yang ada belum menyeluruh dapat diketahui maka disebut dengan kekeliruan.
sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya maka dikatakan
proposisinya adalah “sesat”. Kadang-kadang orang menyebut dengan istilah yang lain
misalnya bila sebuah proposisi mengandung kontradiksi, maka dikatakan proposisi itu adalah
“mustahil” dan jika proposisi sedemikian rupa sehingga apapun yang terjadi proposisi itu
Dengan demikian sangat jelas kebenaran adalah kenyataan makna yang merupakan
halnya, kenyataan juga merupakan hal keduanya dipandang sama. Lebih tegas lagi
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kebenaran yang sesungguhnya atau tegas terletak
pada korespondensi atau kesesuaian dari kesan-kesan yang jelas dengan kenyataan.[5]
Hemat penulis kesesuaian atau korespondensi merupakan hal yang terkait atau yang ada
di dalam kebenaran. Jika tidak ada korespondensi antara kenyataan dengan hal yang dikaji
berdasarkan kaidah-kaidah agama. Atau dapat juga disebut dengan kebenaran mutlak
3. Kebenaran Estesis yaitu kebenaran yang yang berdasarkan penilaian indah dan buruk serta
4. Kebenaran Ilmiah yaitu kebenaran yang ditandai dengan terpenuhinya syarat-syarat ilmiah
terutama menyangkut adanya teori yang mendukung dan sesuai bukti. Kebenaran ilmiah
ditunjang oleh akal (rasio) dan kebenaran rasio ditunjang dengan teori yang mendukung.
Dari pembagian ini nampak jelas bahwa kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran
yang didasarkan atas agama-agama yang berdasarkan wahyu. Wahyu yang menjadi landasan
bagi kebenaran. Kebenaran ini disebut dengan kebenaran absolut yang tidak dapat
terbantahkan.
Lalu, apa yang dimaksud dengan ilmiah? Dalam kamus dijelaskan ilmiah berasal dari
kata ‘Ilmuartinya pengetahuan.[6] Namun, dalam kajian filsafat antara ilmu dan pengetahuan
Sedangkan yang dimaksud ilmiah adalah pengetahuan yag didasarkan atas terpenuhinya
syarat-syarat ilmiah, terutama menyangkut teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti.[7]
Dari pengertian tersebut dapat diinterpertasi bahwa ilmu atau ilmiah merupakan
disebut dengan metode ilmiah. Metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu
Jadi yang dimaksud dengan kebenaran ilmiah adalah keseuaian antara pengetahuan
dengan objek kesesuaian ini didukung dengan syarat-syarat tertentu yang oleh Jujun S.
Sumantri disebut dengan metode-metode juga didukung dengan teori yang menunjang dan
sesuai dengan bukti.Kebenaran ilmiah divalidasi dengan bukti-bukti empiris yaitu hasil
pengukuran objektif dilapangan. Sifat objektif berlaku umum dapat diulang melalui
eksperimen, cenderung amoral sesuai apaadanya bukan apa yang seharusnya yang merupakan
Lalu apakah ukuran tentang kebenaran sehingga kebenaran itu dapat diterima?
memperoleh pengetahuan. Jika yang diketahui adalah ide-ide maka pengetahuannya terdiri
dari ide yang dihubungkan secara tepat dan kebenaran merupakan saling berhubungan antara
1. Paham Korespondensi
Menurut paham koherensi kebenaran adalah pesesuaian antara fakta dan situasi yang ada.
lingkungannya.
2. Paham Koherensi
Menurut paham koherensi kebenaran bukan persusaian antara pikiran dengan kenyataan,
melainkan kesesuaian secara harmonis antara pendapat/pikiran kita dengan pengetahuan kita
3. Teori Pragmatisme
Menurut paham pragmatisme kebenaran tidak dapat bersesuaian dengan kenyataan sebab
kita hanya bisa mengetahui dari pengalaman kita saja. Menurut pragmatisme teori koherensi
adalah formal dan rasional. Kebenaran menurut pragmatisme adalah suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan itu bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak.
Artinya kebenaran dikatan benar jika dapat bermanfaat dalam kehidupan manusia. Satu teori,
pendapat, hipotesis dapat dikatakan benar jika dapat menghasilkan jalan keluar dalam praktik
benar jika memuaskan atau memenuhi keinginan dan tujuan manusia. Kedua, sesuatu
dikatakan benar jika kebenarannya dapat dikaji dengan eksperimen. Ketiga, sesuatu itu benar
memiliki objek kajian dan tujuan yang ingin dicapai dari pengetahuan, tidak sampai disitu
penyesuaian, eksperimen, dan asas fungsional dan kebutuhan manusia. Kalau dilihat dari sisi
subjek yang mencari kebenaran maka tiga hal ini yang mendasari kebenaran, pertanyaannya
adalah apakah kebenaran yang dipandang dari sudut subjektif dapat diterima? Atau apakah
kebenaran yang tumbuh dari objek yang dapat diterima? Baiklah untuk menjawab kedua
Telah diketahui kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya
syarat-syarat ilmiah terutama menyangkut adanya teori yang menunjang serta sesuai dengan
bukti. Kebenaran ilmiah divalidasi oleh bukti-bukti empiris yaitu hasil pengukuran objektif
dilapangan.
Sifat setiap ilmu adalah diidentikkan dengan dua teori yaitu “subjektifitas” dan
“objektifitas”. Subjek berkaitan dengan seseorang atau pribadi. Subjektif berkaitan erat
dengan ke-aku-an.[10] Dalam hal filsafat subjektif berkaitan dalam segala hal, kesadaran
Dari penjelasan di atas bahwa “subjektifitas” menghendaki peranan penting dari setiap
pribadi yang menilai sendiri tentang kebenaran, artinya sesuatu dipandang benar jika
didasarkan pada pribadi atau manusia yang menilai tentang sesuatu itu. Kebenaran tolak
ukurnya adalah berdasarkan subjek, namun hal semacam ini apakah berlaku bagi kebenaran
ilmiah? Sedangkan kebenaran ilmiah sangat identik dengan syarat-syarat ilmiah menyangkut
teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti, yang ditunjang oleh rasio dan divalidasi
Seperti yang dikatakan Jujun S. Sumantri kebenaran ilmiah harus didahului oleh
cara bekerja pikiran. Metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap
penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran, juga dapat diartikan bahwa metode ilmiah
Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan
sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian
disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Berdasarkan fakta
d. Menggunakan hipotesa
Dengan cara kerja seperti ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan memiliki
karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah yaitu sifat rasional dan teruji
yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunya merupakan pengetahuan yang dapat
diandalkan.
Sifat rasional dan teruji bagi kebanaran ilmiah menghendaki adanya kebenaran hanya
sesuatu yang dapat diakalkan (logiskan) dan dapat teruji. Berari kebenaran ilmiah sangat
menolak dengan kebenaran mutlak. Sebab kebenaran ini kaitannya dengan kebenaran yang
datang dari Tuhan bersumber dari wahyu yang mengikat. Kebenaran yang rasional dan teruji
penjelasan pengertian kebenaran ilmiah dari aspek subjektifitas belum dapat diterima karena
kebenaran ilmiah yang bermuara dari subjektifitas tidak jarang menunjukkan bukti atau tidak
sesuai dengan data empirik dan pembuktian nyata berdasarkan dengan rasa atau pribadi.
Oleh karena itu kebenaran yang sesungguhnya dalam kajian kebenaran ilmiah adalah
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah
terutama menyangkut adanya teori yang menunjang serta sesuai dengan bukti. Kebenaran
ilmiah divalidasi oleh bukti-bukti empiris yaitu hasil pengukuran objektif dilapangan.
dengan objeknya. Objek adalah sesuatu yang ihwalnya diketahui atau hendak diketahui.
Suatu objek yang ingin diketahui memiliki berbagai aspek yang amat sulit untuk diungkapkan
sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi. Sangat jelas bahwa untuk mengetahui objek
Objek juga diartikan sebagai sesuatu yang dapat dilihat secara fisik, disentuh, diindra,
sesuatu yang dapat disadari secara fisik atau mental, suatu tujuan akhir dari kegiatan atau
Menurut Langeveld dalam Muhammad In’am Esha objek pengetahuan dibedakan menjadi
tiga:
1. Objek empiris yaitu objek pengetahuan yang pada dasarnya ada dan dapat ditangkap oleh
2. Objek ideal yaitu objek pengetahuan yang pada dasarnya tiada dan menjadi ada berkat akal.
3. Objek transendental yaitu objek pengetahuan yang pada dasarnya ada tetapi berada diluar
Kebenaran yang objektif tidak bergantung pada ada atau tidaknya pengetahuan si subjek
tentang objek, mengingat objek pengetahuan itu beraneka ragam maka tolak ukur agar
kebenaran yang menjadi syarat diterimanya pengetahuan berlainan, terhadap objek yang
bersifat:
taggapan merupakan penilaian subjek terhadap objek. Oleh karena itu dalam hal ini
Fakta bersifat objektif, sehingga fakta tidak dapat disalahkan atau dipersalahkan karena
memang demikian adanya sekalipun negatif. Oleh karena itu ada dua kemungkinan yang
terjadi yaitu faktanya benar dan tanggapan subjek benar dan faktanya benar dan tanggapan
subjek salah. Dalam kebenaran ilmiah apakah kebenaran objektif dapat diterima? Langeveld
menjawab kebenaran yang sesungguhnya tidak lepas dari gabungan subjek dan objek.
Kebenaran ini ia sebut dengan kebenaran dasar yaitu ada hubungan antara subjek dan
objek. Namun, hal ini juga dibantah, kebenaran dasar belum mencapai tingkat dijamin ilmiah.
Lantas jika kebenaran sifatnya relatif apa gunanya manusia berpengetahuan? untuk menjawab
pertanyaan ini perlu diingat kembali tentang teori pengetahuan. Teori-teori itu dapat menjadi
pengaruh sedikitpun oleh keadaan subjek. Objek dijelaskan dibuktikan dengan nyata, dalam
keadaannya tanpa ada manipulasi atau perubahan tanggapan dari subjek. Jika terjadi
manipulasi maka hal ini jelas keuar dari koridor arti kebenaran bahwa pengetahuan tidak
sesuai dengan keadaan objek, dan ini telah terjadi kekeliruan yang jelas pengetahuan ini tidak
dapat diterima.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada hakikatnya manusia memiliki rasa ingin tahu yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut
fitrah. Keingintahuan manusia tentang segala hal menjadi dasar bagi manusia untuk
dengan kebenaran.
Kebenaran adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan objek. Pengetahuan yang tidak
sesuai dengan objek dipandang “keliru”. Objek adalah segala hal yang dapat diraba,
disaksikan, suatu yang menjadi kajian. Objek yang dikaji memiliki aspek yang banyak dan
ilmiah muncul melalui syarat-syarat ilmiah, metode ilmiah, didikung teri yang menunjang
serta didasarkan kepada data empiris dan dapat dibuktikan. Sangat rasional jika kebenaran
yang semacam ini meghedaki adanya objek dikaji apa adanya tanpa ada campur tangan
Fakta bersifat objektif, sehingga fakta tidak dapat disalahkan atau dipersalahkan karena
memang demikian adanya sekalipun negatif. Oleh karena itu ada dua kemungkinan yang
terjadi yaitu faktanya benar dan tanggapan subjek benar dan faktanya benar dan tanggapan
subjek salah.
dapat diandalkan karena kebenaran ilmiah melalui berbagai proses, metode, hipotesa dan
B. Saran
Dalam hal ini penulis telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyajikan makalah ini
dengan berbagai pengetahuan yang dimiliki. Penulis juga berpendapat bahwa pengetahuan
yang identik dengan kebenaran menjadi dasar bagi kita untuk mencari pengetahuan yang
benar-benar sesuai dengan objek yang dikaji, sehingga kita semakin kritis dan kebenaran
yang kia miliki dapat menjadi dasar dalam segala hal lalu dapat diandalkan.
Namun, menyadari bahwa penulis adalah manusia biasa oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun, agar makalah ini menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, PT. Karya Harapan, Surabaya: 2005.
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu: Kontemplasi Filosofis Tentang Seluk-Beluk Sumber dan
Tujuan Ilmu Pengetahuan, PT. Pustaka Setia, Bandung: 2009.
Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, PT. Sinar Harapan, Jakarta: 1998.
Muhammad In’am Esha, Menuju Pemikiran Filsafat, UIN Maliki Press, Malang: 2010.
MAKALAH FILSAFAT ILMU: MEMAHAMI TEORI KEBENARAN
Syafrudin M Top
1 Comment
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah
dengan judul "Memahami Teori Kebenaran" dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan
salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar
dalam segala keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami, serta pada
anggota tim kelompok 3 yang selalu kompak dan konsisten dalam penyelesaian tugas ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Filsafat
Ilmu dan dipresentasikan dalam pembelajaran di kelas. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai Teori-teori kebenaran Filsafat. Makalah ini dianjurkan untuk dibaca oleh semua
mahasiswa pada umumnya sebagai penambah pengetahuan dan pemahaman tentang teori
kebenaran dalam filsafat.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya dan pembaca yang
budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis
harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan
pada waktu mendatang.
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh
kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui
pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan
prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu
dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam
adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu
muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau
simplifikasi atas fenomena tersebut.
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan,
filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi
dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik. Kuantifikasi
objek ilmu pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi
diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu
pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah
dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan
diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologi,
epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. misalnya
hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan
diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri
pengenal dan masyarakat pengenal. Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna:
kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi
bahasa, etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita
rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan
hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan
yang-ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada
akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas, agar pembahasan dalam
makalah ini tidak lari dari judulnya ada baiknya kita rumuskan masalah-masalah yang akan di
bahas, antara lain :
1. Pengertian kebenaran.
C. Tujuan Penulisan
Adapun manfaat penbuatan makalah ini adalah :
D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis adalah metode kepustakaan yaitu memberikan gambaran
tentang materi-materi yang berhubungan dengan permasalahan melalui literatur buku-buku
yang tersedia, tidak lupa juga penulis ambil sedikit dari media massa/internet. Dan diskusi
mengenai masalah yang dibahas dengan teman-teman.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebenaran
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha "memeluk" suatu kebenaran.Berbicara tentang kebenaran ilmiah
tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan
dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah
melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada.
Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang
metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan
sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya. Penegasan di atas
dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran,
pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri
sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya,
yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran
yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti
atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu
kesatuan system.
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini, Plato pernah
berkata: "Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh
belakangan Bradley menjawab; "Kebenaran itu adalah kenyataan", tetapi bukanlah kenyataan
(dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa
saja berbentuk ketidak benaran (keburukan).
Dalam bahasan, makna "kebenaran" dibatasi pada kekhususan makna "kebenaran keilmuan
(ilmiah)". Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi
(relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang
ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan.
Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu
secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa
menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh
kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan
obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek
obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat
akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian
seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden,dengan
kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini
terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu
terdapat diluar jangkauan manusia.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan
kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan
antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan
epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan
realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan
akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar
dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.
Catatan mengenai peradaban manusia yang paling awal tercatat berasal dari Timur Tengah,
persisnya Mesir. Pada jaman pra sejarah, nenek moyang manusia modern di Mesir sudah
mengenal bahasa, terbukti dengan peninggalan tulisan-tulisan yang diukir di batu-batu dalam
goa. Sejarah mencatat bahwa bangsa Mesir kuno sudah mengenal ilmu bintang, ilmu bumi,
arsitektur dan sebagainya. Bangsa Mesir kemudian juga mengembangkan papyrus (sejenis
kulit kayu) yang dijadikan bahan tulis (tahun 3000 sebelum Masehi).[8]
Di Cina sekitar (2953-2838 SM), raja Fu Xi memperkenalkan kitab Yi Jing (bacanya: I
ching) yaitu kitab Cina kuno yang sangat terkenal di kalangan kaum penghayat ilmu
Metafisika yang bertutur tentang kehidupan manusia.
Di zaman dinasti Xia (2205-1766 SM) dikenal dengan nama Gui Cang (kembali ke
kegaiban). Lalu di masa dinasti Zhou (1066-221 SM) populer dengan sebutan Zhou Yi (kitab
perubahan dari dinasti Zhou), dan akhirnya, kini dikenal sebagai Yi jing (dibaca: i Ching),
yang secara harfiyah berati kitab tentang perubahan.
a. Know how bagaimana cara berbuat) dalam kehidupan sehari-hari yang didasrakan pada
pengalaman.
b. Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta dengan sikap
reseptif mind, keterangan masih dihubungkan dengan kekuatan magic.
Pada zaman ini dianggap sebagai zaman keemasan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide atau pendapatnya.
b. Masyarakat pada masa ini tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi yang dianggap
sebagai suatu bentuk pseudo-rasional.
c. Masyarakat tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap reseptif
attitude (sikap menerima begitu saja) melainkan menumbuhkan sikap an inquiring attitude
(suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis) sikap belakangan inilah yang
menjadi cikal bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan modern. Sikap kritis inilah yang
menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli pikir-ahli pikir terkenal sepanjang masa. [10]
Tokoh atau ilmuwan masa yunani kuno antara lain: Thales, yang mempelajari astronomi dan
topik-topik pengetahuan termasuk fisika.[11] Dan sebagian sarjana mengakuinya pula
sebagai ilmuwan pertama di dunia.[12] Thales mempertanyakan asal mula, sifat dasar dan
struktur komposisi alam, yang menurutnya semuanya berasal dari air sebagai materi daasar
kosmis.
Pytagoras (572-497 SM) adalah seorang ahli matematika yang lebih terkenal Dalailny dalam
geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. 13
Dan mendirikan aliran filsafat Pythagorianisme yang mengemukakan sebuah ajaran metafisis
bahwa bilangan merupakan intisari dari semua benda maupun dasar pokok dari sifat-sifat
benda.[13]
Tokoh lainnya yaitu Demokritus (460-370 SM) yang menegaskan bahwa realitas terdiri dari
banyak unsur yang disebutnya dengan atom. Pandangan Demokritus ini merupakan cikal
bakal perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi. [14]
Plato (428-348 SM) yang berpendapat bahwa geometri sebagai pengetahuan rasional
berdasarkan akal murni menjadi kunci ke arah ilmu pengetahuan serta bagian pemahaman
mengenai sifat dasar dari kenyataan yang terakhir. Geometri merupakan suatu ilmu yang
dengan akal murni membuktikan proporsi-proporsi abstrak mengenai hal-hal yang abstrak.
Begitu pentingnya geometri bagi filsafat menurut Plato sehingga konon pintu gerbang
akademi Plato tertulis ” janganlah orang masuk ke sini jika ia tidak mengetahui geometri”
[15]
Aristoteles (384-322 SM) yang berpendapat bahwa filasafat dan ilmu tergolong sebagai
pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia,
yang dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu: Praktike (pengetahuan praktis), Poietike
(pengetahuan produktif) dan theoretike (pengetahuan teoritis). Adapun Theoritike dibedakan
menjadi tiga kelompok yaitu: Mathematike (pengetahuan matematika), Phisike (pengetahuan
fisika) dan Prote philosophia (filsafat pertama)[16].
Zaman pertengahan atau yang disebut Middle Age ditandai dengan tampilnya para theolog di
lapangan ilmu pengetahuan di belahan dunia eropa. Para ilmuwan pada masa ini hampir
semua para theolog, sehingga aktifitas ilmiah terkait dengan aktifitas keagamaan yaitu agama
Kristen, atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran
agama. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah Ancilla Theologia (abdi
agama).
Sebaliknya di dunia Timur terutama Negara-negara Islam justru terjadi perkembangan ilmu
pengetahuan yang sangat pesat. Kalau di daerah Barat pada zaman pertengahan lebih berkutat
pada masalah-masalah keagamaan, maka berbeda dengan peradaban dunia Islam yang saat itu
melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof yunani dan berbagai
temuan di lapangan ilmiah lainya. [17]
Bani Umayyah sebagai salah satu contohnya telah menemukan suatu cara pengamatan
astronomi pada abad 7 Masehi, yaitu sekitar 8 abad sebelum Galileo Galilei dan Copernicus.
Sedangkan kebudayaan Islam yang menaklukkan Persia abd 8 Masehi telah mendirikan
sekolah kedokteran di Jundishapur. Pada zaman keemasan kebudayaan Islam dilakukan
penerjemahan berbagai karya Yunani dan bahkan Kholifah Al Makmun telah mendirikan
Rumah kebajikan (House Wisdom) pada abad 9 Masehi. Itu artinya bahwa perjalanan
peradaban islam sudah jauh lebih dulu terbentuk dibandingkan peradaban Barat.
Sumbangan sarjana Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bidang, yaitu:
Pada zaman pertengahan ini, Eropa berada dalam masa tidur panjang akibat pengaruh dogma-
dogma agama sedangkan kebudayaan Islam di zaman dinasti Abbasiyah berada pada puncak
keemasannya. Ali Kettani menengarahi kemajuan umat Islam pada masa itu lantaran
didukung semangat sebagai berikut:
a. Universalism
b. Tolerance
e. the Islam nature of both the end and means of science. [19]
Tanda lain dari keemasan Islam (Golden Age) adalah kemajuan pesat ilmu dengan
memperkenalkan sistim desimal. Filsuf muslim Al Khawaruzmi yang mengembangkan
trigonometri dengan memperkenalkan teori sinus dan cosinus, tangent dan cotangent. Ilmu
Fisika menampilkan Fisikus asal Baghdad Musa Ibnu Syakir dan putranya Muhammad,
Ahmad dan Hasan yang mengarang kitab Al Hiyal yang menggambarkan hukum-hukum
mekanik dan stabilitas. Ibnu Al Haytham (965-1039 M) yang mengarang kitab Al-Manadhir,
yang membuktikan hukum refraksi cahaya.
Bidang astronomi pada awalnya diterjemahkan pada zaman bani Umayyah dan dilanjutkan
pada zaman bani Abbasiyah awal. Ibnu Habib Al Farisi (777 M) merupakan ilmuan muslim
pertama yang menerjemahkan karya Ptolemy yang berjudul Almagest. Bidang ilmu Kimia
menampilkan Jabir Ibnu Hayyan Al Kufi dari Kufah yang memiliki Laboratorium dekat
Bawabah Damaskus yang melakukan percobaan pada pancaindera, penggunaan metalik, dan
lain-lain. Jabir menggambarkan eksperimen yang dilakukan dalam kalimat berikut ini:
”Pertama kali saya mengetahui sesuatu dengan tangan dan otak saya, dan saya menyelidiki
sesuatu itu sampai benar, dan mencari kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya” [21]
Sejak zaman Rasulullah, bidang ilmu kedokteran di dunia Islam sebenarnya sudah dirintis
dengan mendirikan rumah sakit di Madinah, termasuk rumah sakit untuk angkatan perang
Islam. Ar Razi merupakan ahli medis muslim pertama yang memimpin rumah sakit
Baghdad. Ar Razi menulis buku tentang Diet, farmakologi dan lain-lain. Buku medis lainya
ditulis oleh Ali Ibnu Abbas Al ahwazi (940 M) Al Kitab Al Maliki tentang teori dan praktik
medis. Ibnu Siena juga mengarang buku teks tentang medis yang berjudul Al Qanun, yang
menjadi buku standar selama 500 tahun dalam dunia Islam dan Eropa. Ibnu Siena juga
meneliti tentang masalah anatomi, kesehatan anak, gynaesology.[22]
Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari
dogma-dogma agama. Renaissance ialah zaman peralihan ketika kebudayaan abad tengah
mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman renaissance adalah
manusia yang merindukan pemikiran yang bebas seperti zaman Yunani kuno. Pada zaman
renaissance manusia disebut sebagai animal rationale, karena pada masa ini pemikiran
manusia mulai bebas dan berkembang. Manusia akan mencapai kemajuan (progress) atas
hasil usahanya sendiri, tidak didasarkan campur tangan ilahi. [23]
Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern sudah mulai dirintis pada zaman renaissance.
Ilmu pengetahuan yang berkembang maju pada masa ini adalah bidang astromoni. Tokoh-
tokohnya yang terkenal seperti: Nicolus copernicus (1473-1543) seorang tokoh gerejani yang
ortodok yang mengemukakan bahwa matahari berada di pusat jagat raya bumi mempunyai
dua macam gerak yaitu: perputaran sehari-hari pada porosnya dan perputaran tahunan
mengelilingi matahari. Teorinya ini disebut “Heliloisme” dimana matahari adalah pusat jagat
raya bukan bumi sebagaimana dikemukakan oleh Ptolomeus yang diperkuat oleh Gereja.[24]
Ilmuwan lainnya pada periode ini adalah Kepler dan Gelileo Gelilei. Langkah-langkah yang
dilakukan Galileo dalam bidang ini menanamkan pengaruh kuat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan modern, karena menunjukkan beberapa hal seperti: pengamatan (observasi),
penyingkiran (eliminasi) segala hal yang tidak termasuk dalam peristiwa yang diamati.
Idealisasi, penyusunan teori secara spekulatif ats peristiwa tersebut, peramalan (prediction),
pengukuran (measurement), dan percobaan (experiment) untuk menguji teori yang didasarkan
pada ramalan matematik.
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan
ilmu pengetahuan pada zaman modern ini sesungguhnya sudah dirintis
sejak zaman Renaissance, yaitu permulaan abad XIV. Benua Eropa dipandang sebagai
basis perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini menurut Slamet Imam
Santoso[25]sebenarnya mempunyai tiga sumber yaitu:
b. Perang Salib (1100-1300) yang terulang sebanyak enam kali tidak hanya menjadi ajang
peperangan fisik, namun juga menjadikan para tentara atau serdadu Eropa yang berasal dari
berbagai negara itu menyadari kemajuan negara-negara Islam, sehingga mereka menyebarkan
ajaran pengalaman mereka itu sekembalinya di negara masing-masing.
c. Pada tahun 1453 Istambul jatuh ke tangan Bangsa Turki, sehingga para pendeta atau
sarjana mengungsi ke Italia atau negara-negara lain. Mereka ini menjadi pioner-pioner bagi
pengembangan ilmu di Eropa.
Tokoh yang terkenal sebagai bapak Filsafat modern adalah Rene Descrates. Ia telah
mewariskan suatu metode berfikir yang menjadi landasan berfikir dalam ilmu pengetahuan
modern. Langkah-langkah descrates adalah sebagai berikut:
a. Tidak menerima apapun sebagai hal yang benar kecuali kalau diyakini sendiri bahwa itu
memang benar.
c. Berfikir runtut mulai dari hal yang sederhana sedikit demi sedikit untuk sampai ke hal
yang paling rumit.
d. Perincian yang lengkap dan pemeriksaan yang menyeluruh diperlukan supaya tidak ada
yang terlupakan.[26]
Perkembangan ilmu mencapai puncak kejayaan di tangan Newton. Ilmuwan Inggris ini antara
lain merumuskan teori gaya berat dan kaidah-kaidah mekanika dalam karya tulis yang diberi
judul Philosophiae Naturalis Principia Mathematica Asas-asas matematika dari filsafat
alam) [27]
Fisikawan termashur abad keduapuluh adalah Albert Einstein. Ia mengatakan bahwa alam itu
tak terhingga dan tak terbatas, tetapi juga bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya
akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta ini bersifat kekal, atau dengan kata
lain tidak mengakui adanya pencipata alam. Namun pada tahun 1929 seorang fisikawan lain
Hubble yang mempergunakan teropong terbesar di dunia melihat galaksi-galaksi di sekeliling
kita dengan kelajuan yang sebanding dengan jaraknya dari bumi. Observasi ini menunjukkan
bahwa alam semesta ini tidak statis, melainkan dinamis, sehingga meruntuhkan pendapat
Einstein tentang teori kekekalan materi dan alam semesta yang statis. Dan jagad raya ternyata
berekspansi.[28]
Disamping teori tentang fisika, teori alam semesta dan lain-lain, maka zaman kontemporer ini
ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informasi
termasuk salah satu yang mengalami kemajuan yang sangat pesat. Mulai dari penemuan
computer, berbagai satelit komunikasi, internet dan lain sebagainya. Mobilitas manusia yang
sangat tinggi saat ini merupakan pengaruh teknologi komunikasi dan informasi.
Dalam pertengahan abad ini, dapat pula disaksikan lahirnya serangkaian ilmu antar disiplin
misalnya ilmu perilaku (behavioral science) yang menggabungkan ilmu psikologi dengan
berbagai cabang ilmu sosial seperti sosiologi , antropologi untuk menelaah tingkah laku
manusia. Contoh lain ilmu antar disiplin ialah Anatomi Sosial manusiawi (Human Social
anatomy) yang memadukan anatomi, ilmu fosil, antropologi Ragawi, dan Etopologi studi
tentang pola perilaku organisme) [29]
Bidang ilmu lainnya juga mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga terjadi
spesialisasi-spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kontemporer cenderung
mengetahui hal yang sedikit tapi secara mendalam. Ilmu kedokteran semakin menajam dalam
spesialis dan sub-spesialis atau super-spesialis, demikian juga bidang-bidang lain. Di samping
cenderung ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu
dengan lainnya, sehingga dihasilkannya bidang ilmu baru, seperti: Bioteknologi yang dewasa
ini dikenal dengan teknologi Kloning.
Demikian ulasan singkat seputar Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan yang dapat kita
sampaikan, guna dijadikan sebagai tambahan informasi untuk anda, semoga bermanfaat.
situs: www.rangkumanmakalah.com
DAFTAR PUSTAKA
Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, 1987
Kuhn, Thomas, S, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, penerjemah: Tjun Sujarman,
Bandung: Remaja Karya, 1989
Mohammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu Pengetahuan, Cetakan VI, Jakarta: Mutiara, 1979
Rizal Muntasyir – Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, yogyakarta: Liberti Yogyakarta, 2007
Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, diterjemahkan oleh Bertens,
Jakarta: gramedia, 1985
[1] Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta:LP3ES, 1987, hal. 38
[2] Rizal Muntasyir-Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 2008, hal.
121-122
[4] Slamet Imam Santoso, Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Sastra Hudaya,
1977, hal. 42
[5] Kuhn, thomas, S, Peran Paradigma dakam Revolusi Sains, Penerjemah: tjun Sujarman,
Bandung: remadja Karya, 1989, hal.xi
[6] Mohammad hatta, Pengantar ke Jalan ilmu Pengetahuan, Cetakan VI jakarta: Mutiara,
1979, hal.17-23
[11] the Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007, hal. 11
[18] Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, diterjemahkan oleh Bertens,
(Jakarta: Gramedia, 1985)
[26] Toety-Heraty, Aku dalam Budaya, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hal. 6
[28] Bahm, Archie, J, Epistemology: theory of Knowledge, (Albuquerque: Herper and Row
Publisher, 1995), hal. 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Filsafat adalah induk ilmu pengetahuan, disebut demikian karena filsafat telah melahirkan
segala ilmu pengetahuan yang ada, jauh dari keinginan untuk mendewakan dan memuliakan
filsafat, keberadaannya sejak 25 abad lalu telah memberikan manfaat bagi kehidupan
manusia. Terutama filsafat ilmu yang telah mehirkan ilmu pengetahuan yang dimulai sejak
zaman pra yunani sampai zaman modern sekarang ini. Semua ilmu dan penemuan ilmiyah
tidak lepas dari keberadaan filsafat ilmu.
Untuk lebih jelasnya berikut akan kami sampaikan tentang perkembangan, pengertian dan
klasifikasi ilmu pengetahuan dalam pembahasan filsafat ilmu dibawah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan lantar belakang masalah di atas. Maka kami memfokuskan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah pengertian perkembangan, pengertian dan klasifikasi ilmu pengetahuan
2. Bagaimanakah pemahaman perkembangan, pengertian dan klasifikasi ilmu pengetahuan
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya tujuan penulisan adalah untuk mencapai jawaban atas pertanyaan yang
diajukan dalam rumusan masalah.
Maka dalam peneliti ini pemakalah bertujuan antara lain sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian perkembangan, pengertian dan klasifikasi ilmu pengetahuan
2. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman perkembangan, pengertian dan klasifikasi ilmu
pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGANTAR
Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia yang
berlangsung secara bertahap, evolutif. Oleh karena itu untuk memahami strategi
perkembangan ilmu, maka kita perlu mengetahui secara global sejarah perkembangan ilmu.
Karena melalui sejarah perkembangan ilmu, kita dapat memahami makna kehadiran ilmu
bagi umat manusia. Sejarah perkembangan ilmu itu sendiri merupakan suatu tahapan yang
terjadi secara pereodik. Setiap periodik menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan
ilmu pengetahuan. Comte menunjukan tiga stadia perkembangan kebudayaan pada
umumnya, ilmu pengetahuan pada khususnya sebagai berikut. Tahap pertama adalah
theologis yang menampakkan dominasi kekuatan adikodrati atas diri manusia,sehingga peran
sobyek tenggelam dalam kekuatan alam atau Tuhan. Tahap kedua adalah metafisik yang
menampakan langkah kemajuan dalam diri manusia sebagai subyek. Disini manusia sudah
mempersoalkan tentang beberadaan dirinya namun belum mampu merealisasikan kekuatan
dirinya secara maksimal bagi keperluan-keperluan yang lebih kongkrit. Tahap ketiga adalah
positivistik yang memperlihatkan suatu sikap ilmiyah yang paling jelas dengan segala ukuran
yang jelas dan pasti, sehingga bisa dipertanggungjawabkan keasliannya.
Tokoh lain yang senada dengan Comte adalah Van Peursen yang juga menunjukan tiga tahap
perkembangan budaya (termasuk ilmu) yakni, tahap mistis yang memperlihatkan penguasaan
obyek (kekuatan alam) atas diri manusia (subyek). Tahap ontologis memperlihatkan kekuatan
manusia menghambil jarak terhadap alam, namun belum memfungsi alam secara maksimal.
Tahap ketiga adalah fungsional dimana manusia sudah bisa memfungsikan alam bagi
kepentingan dirinya.
Sejarah perkembangan ilmu dalam kebudayaan umat manusia ditengarai tidaklah terpusat di
satu tempat tertentu. Penemuan-penemuan empirik yang kelak melahirkan penemuan-
penemuan ilmiah itu justru menyebar dari Babylonia, Mesir, Cina,India, Yunani baru
kedaratan Eropa. Oleh karena itu kalau manusia melihat Eropa sekarang sebagai gudang ilmu
pengetahuan, maka pendapat yang demikian itu sangat ahistoris. Sejarah perkembangan ilmu
menampakkan sumbangsih besar dunia timur bagi kemajuan ilmu pengetahuan hingga seperti
sekarang ini. Banyak penemuan yang terjadi di dunia timur yang baru di kemudian di duni
barat. Namun perkembangan pemikiran secara tioritis senantiasa mengacu kepada peradaban
Yunani. Oleh karena itu periodesasi perkembangan ilmu yang disuusn disisi dimulai dari
peradaban Yunani kemudian diakhiri dengan penemuan-penemuan pada zaman kontemporer.
Kesemuanya itu merupakan rangkaian panjang sejarah peradaban umat manusia, yang
dengan kemampuan akal pikirannya selalu selangkah lebih maju. Salah satu dorongan untuk
membuat manusia melangkah ke arah kemajuan ilmiah adalah rasa ingin tahu (curiosity).
Mohammad Hatta menyatakan bahwa ilmu pengetahuan itu lahir karena manusia di hadapkan
pada dua masalah, yaitu masalah lingkungan (kosmos) dan soal sikap hidup (etik). Ilmu-ilmu
alam senantiasa memandang alam dari satu jurusan melului ukuran atau metode dan sarana
tertentu dan peninjauan yang tertentu pula. Ilmu alam mencari keterangan mengenai alam
yang bertubuh atau benda-benda di alam yang dapat diketahui dengan pancaindera.
Cabang-cabang ilmu pengetahuan yang muncul pertama kali adalah ilmu perbintangan
(astronomi) disusul matematika yang merupakan sarana berfikir, kemudia Fisika, Kimia,
botani zoologi,ilmu bumi, dan lain-lain. Pada awalnya imu-ilmu alam ini bersifat tioritik,
manusia semata-mata ingin mengatahui sifat-sifat benda dan kodrat alam.. kerika manusia
meneapkannya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam kehidupannya, maka timbilah
ilmu-ilmu praktek seperti, Teknik, agraria, kedokteran, dan lain-lain. Ilmu sosial timbul
karena manusia menydari akan adanya masalah dalam hubungan manusia dengan
masyarakat. Berbagai masam segi kehidupan sosial dipelajari, sehingga melahirkan ilmu
ekonomi, hukum, sosiologi dan lain-lain. Ilmu sosial juga bersifat tioritik dan parktik. Ilmu
tioritik semata-mata bertujuan untuk mendapat pengertian tentang kedudukan sifat-sifat
sosial. Ilmu praktik bertujuan merancang jalan untuk mancapai beberapa tujuan hidup,
misalnya manajemen, ilmu pemerintahan, pedagogik (ilmu mendidik).
Perbedaan ilmu tioritik dengan ilmu praktek, menurut M.Hatta, ilmu tioritik memandang ke
belakang karena memikirkan keadaan masalah-masalah yang sudah berlaku dengan
menyatakan hubungan sebab akibat. Ilmu praktek memandang ke depan, karena
mempergunakan ilmu yang ada untuk meroleh jalan baru yang mesti di tempuh untuk
mencapai satu perbaikan keadaan dan syarat hidup yang lebih sempurna. Dengan demikian
pada awalnya tujuan pokok lahirnya ilmu pengetahuan adalah untuk meningkatkan tarap
hidup manusia, bukan sebaliknya. Namun yang terjadi belakangan ini, terutama ilmu-ilmu
kealaman lebih banyak dipergunakan untuk hal-hal yang mengancam kehidupan manusia,
seperti pembuatan senjata nuklir. Oleh karena itu strategi pengembangan ilmu yangbperlu
dilakukan dewasa ini terutama di Indonesia, harus belajar banyak pada sejarah perkembangan
ilmu disatu pihak. Dipihak lain tidak mengulangi kesalahan yang sama, terutama dalam
kaitannya dengan ilmu-ilmu terapan yang dapat diibaratkan pisau bermata dua. Disatu sisi
mengandung kemaslahatan disisi yang lain mengandung resiko merusak kehidupan manusia.
B. PERIODESASI PERKEMBANGAN ILMU
a. Periode pra yunani kuno
Memilki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Know how dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada pengalaman
b. Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta dengan sikap
receptive mind, keterangan masih dihubungkan dengan kekuatan magic.
c. Kemampuan menemukan abjad dan sistem bilangan alam sudah menampakan
perkembangan pemikiran manusia ketingkat abstraksi
d. Kemampuan menulis, berhitung, menyususn kalender yang didasarkan atas sintesa
terhadap hasil abstraksi yang dilakukan
e. Kemampuan meramalkan suatu peristiwa atas dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya yang
pernah terjadi. Misalnya gerhana bulan dan matahari
b. Zaman yunani kuno
Zaman yang dipandang sebagai zaman keemasan filsafat ini memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide pendapat
b. Masyarakat pada masa ini tidak lagi mempercayai metodologi-metodologi, yang dianggap
sebagai suatu bentuk pseudo-rasional
c. Masyarakat tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap receptive
attitude (sikap menerima begitu saja), melainkan menumbuhkan sikap an inquiring attitude
(suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis). Sikap inilah yang menjadi cikal
bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan modern, dan yang menjadikan bangsa Yunani tampil
sebagai ahli pikir yang terkenal sepanjang zaman
c. Zaman pertengahan
Era pertengahan ini ditandai dengan tampilnya para theolog dilapangan ilmu pengetahuan
dibelahan dunia eropa. Para ilmuwan pada masa ini hampir semuanya adalah para theolog,
sehingga aktifitas ilmiyah terkait dengn aktifitas keagamaan, atau dengan kata lain, kegiatan
ilmiyah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Semboyan yang berlaku pada masa
ini adalah Ancilla Theologia, “abdi negara”. Namun di Timur, terutama negara-negara islam
justru terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Disaat Eropa di zaman
pertengahan lebih berkuatat pada masalah keagamaan, maka peradaban dunia islam
melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap kaya-karya filosof Yunani dan berbagai
penemuan lapangan ilmiyah lainnya.
Peradaban dunia Islam terutama pada Bani Umayyah telah menemukan suatu cara
pengamatan astronomi pada abad 7 M, 8 abad sebelum Galileo galilei dan Copernicus.
Sedangkan kebudayaan islam yang menaklukan persia pada abad 8 M telah mendirikan
sekolah kedokteran dan astronomi di Jundishapur. Pada zaman keemasan kebudayaan islam ,
dilakukan penerjemahan berbagai karya Yunani, dan bahkan kholifah Al Makmun telah
mendirikan rumah kebijaksanaan (home of wisdom) pada abad 9 M.
Sumbangan sarjana islam dapat diklasifikasikan kedalam tiga bidang yaitu:
1) Menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan menyebarluaskannya sedemikian rupa
sehingga dapat dikenal dunia barat seperti sekarang ini.
2) Memperluas pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu
kimia, ilmu bumi, dan ilmu tumbuh-tumbuhan
3) Menegaskan sistem esimal dan dasar-dasar aljabar.
Pada abad pertengahan, ketiga bangsa Eropa berada dalam tidur panjang akibat dokma-
dokma pengaruh agama, maka kebudayaan islam di zaman Abbasiyah berada dalam puncak
keemasan.
Menurut Ali Kettani, kemajuan umat islam pada masa itu karena hal sebagai berikut:
1) Universalism
Artinya pengembangan iptek mengatasi sekat-sekat kesukuan, kebangsaan, bahkan
keagamaan.
2) Tolerance
Artinya sikap tenggang rasa dalam pengembangan iptek dimaksudkan untuk membuka
cakrawala dikalangan para ilmuwan, sehingga perbedaan pendapat dipandang sebagai
pemacu kearah kemajuan, bukan sebagai penghalang. Dizaman dinasty abbasiyah,
perpustakaan darul Hikmah, membuka pintu terhadap para ilmuwan non muslim untuk
memanfaatkan dan mempelajari berbagai literatur yang ada didalamnya.
3) International character of the market
Pemasaran teerhadap hasil-hasil Iptek merupakan suatu wahana untuk menjamin kontinyuitas
aktifitas ilmiyah itu sendiri, karena itu pasar yang bersifat internasional sangatlah dibutuhkan.
Penghargaan yang tinggi dalam arti setiap temuan dihargai secara layak.
4) Respect for science and scientist
Sarana dan tujuan Iptek haruslah terkait dengan nilai-nilai agama artinya setiap kegiatan
ilmiyah tidak boleh bebas bebas nilai, apalagi nilai agama. Sebab ilmuwan yang melepaskan
diri dari nilai-nilai agama akan terperangkap pada arogansi intelektual, dan menjadikan
perkembangan Iptek yang dipersonalisasikan dan dehumanisasi
5) The islamic nature of both the ends and means of science
d. Zaman renaissance
Zaman renaissance di tandai dengan adanya era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas
dari dogma-dogma agama. Renaissance adalah zaman peralihan ketika kebudayaan abad
tengah mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern.
Pada zaman renaissance ini manusia merindukan pemikiran yang bebas seperti zaman yunani
kuno dan juga sebagai animal rationale, karena pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas
dan berkembang. Manusia ingin mencapai kemajuan (progress) atas hasil usaha sendiri, tidak
didasarkan atas campur tangan ilahi (gereja).
Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan sudah mulai dirintis pada zaman renaissance. Ilmu
pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah bidang astronomi, tokoh-tokoh yang
terkenal seperti Copernicus, Kepler, Galileo Galilei.
e. Zaman modern
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiyah. Perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa ini menurut slamet imam santoso mempunyai tiga sumber,
yaitu:
1. Hubungan antara kerajaan islam di semananjung Iberia dengan negara-negara Perancis.
Para pendeta di Perancis banyak yang belajar di Spanyol, kemudian mereka inilah yang
menyebarkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya itu di Perancis.
2. Perang salib (1100-1300) yang terulang sebanyak 6 kali, tidak hanya menjadi ajang
peperangan fisik, namun juga menjadikan para tentara Eropa yang berasal dari berbagai
negara itu menyadari kemajuan negara-negara islam, sehingga mereka menyebarkan
pengalamannya sekembalinya di negara masing-masing
3. Pada tahun 1453 Istambul jatuh ke tangan bangsa Turki, sehingga para sarjana atau
pendeta mengungsi ke Italia atau negara-negara lain. Mereka ini menjadi pionir-pionir bagi
perkembangan ilmu di Eropa
Tokoh yang dikenal sebagai bapak filsafat modern Rene Descartes, mewariskan suatu metode
berfikir yang menjadi landasan berfikir dalam ilmu penetahuan modern. Langkah-langkah
berfikir menurut Descates yaitu:
1. Tidak menerima apapun sebagai hal yang benar, kecuali kalau diyakini sendiri bahwa itu
benar
2. Memilah-milah masalah menjadi bagian-bagian terkecil untuk mempermudah penyelesaian
3. Berfikir runtut dengan mulai dari hal yang sederhana sedikit demi sedikit untuk sampai ke
hal yang rumit
4. Perincian yang lengkap dan pemeriksaan yang menyeluruh diperlukan supaya tidak ada
yang terlupakan.
f. Zaman kontemporer
Pada zaman kontemporer ini di tandai dengan penemuan berbagai tehnologi canggih yakni
tehnologi informasi dan komunikasi. Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit
komunikasi, internet dan lain-lain.
Bidang ilmu juga mengalami kemajuan yang pesat. Sehingga terjadi spesialisasi-spesialisasi
ilmu. Para ilmuwan kontemporer mengetahui hal yang sedikit tapi mendalam. Misalnya ilmu
kedokteran, semakin mendalam dalaam spesialis dan sub spesialis atau super spesialis,
demikian juga bidang-bidang ilmu yang lain.
C. PENGERTIAN ILMU
1. Menurut Sontag
Menyatakan bahwa setiap pembentukan konsep selalu terkait dengan empat komponen yaitu:
kenyataan (reality), Teori (Theory), Kata-kata (world), dan Pemikiran (Thought).
Bahwa kenyataan (reality) Hanya akan merupakan sebuah misteri manakala tidak
diungkapkan ke dalam bahasa, yang merupakan tingkat pengertian tentang sesuatu yang
sudah teruji, sehingga dapat dipakai titik tolak bagi pemahaman hal lain. Kata-kata
merupakan cerminan ide-ide yang sudah di verbalisasikan. Pemikiran merupakan produk akal
manusia yang diekspresikan ke dalam bahasa. Kesemuanya akan membentuk pengertian pada
diri manusia, pengertian ini dinamakan konsep
2. Daoed Joesoef
Bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal yaitu produk-produk, proses dan masyarakat.
Ilmu pengetahuan sebagai produk yaitu pengetahuan yag telah diketahui dan diakui
kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Pengetahuan ilmyah dalam hal ini terbatas pada
kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk
diteliti, diuji dan dibantah oleh seseorang.
Ilmu pengetahuan sebagai proses artinya kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi
penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita
kehendaki.
Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang tindak tanduknya,
prilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan (imperative) yaitu
univerlisme, komunalisme, tanpa pamrih dan skeptisisme yang teratur.
3. Van Melsen
Mengemukakan beberapa ciri yang menandai ilmu, yaitu:
a. Ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis
koheren
b. Ilmu pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan tanggungjawab
ilmuwan
c. Universalitas ilmu pengetahuan
d. Objektivitas artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak di distorsi oleh prasangka-
prasangka subjektif
e. Ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiyah yang bersangkutan,
oleh karena itu ilmu pengetahuan harus dapat di komunikasikan
f. Progresivitas artinya suatu jawaban ilmiyah baru bersifat ilmiyah bila mengandung
pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem baru lagi
g. Kritis artinya tidak ada tiory ilmiyah yang definitif, setiap tiory terbuka bagi suatu
peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru
h. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan keterkaitan antara teori dan
praktik
BAB III
KESIMPULAN
1. Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia yang
berlangsung secara bertahap
2. Sejarah perkembangan ilmu itu sendiri merupakan suatu tahapan yang terjadi secara
periodik, dan setiap periodik menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu
pengetahuan
3. Sejarah perkembangan ilmu dalam kebudayaan umat manusia ditengarai tidaklah terpusat
di satu tempat tertentu, penemua-penemuan empirik yang kelak melahirkan temuan-temuan
ilmiyah justru menyebar dari Babylonia, Mesir, Cina, India dan Yunani, baru ke daratan
Eropa.
4. Periodesasi perkembangan ilmu ada 6, yaitu:
a. Periode pra yunani kuno
b. Zaman yunani kuno
c. Zaman pertengahan
d. Zaman renaissance
e. Zaman modern
f. Zaman kontemporer
5. Klasifikasi ilmu antar para ahli memiliki definisi yang tidak sama, masing-masing
mempunyai rumusan / konsep tentang klasifikasi ilmu pengetahuan.
BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat ekstential yang artinya sangat erat
hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi
penggerak kehidupan kita sehari-hari sebagai manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektif
dalam bentuk masyarakat atau bangsa.
Ilmu pengetahuan pun tidak bisa dilepaskan dari filsafat, sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan menarik sekali untuk dikaji, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya fakta yang salah
satunya berisi hukum-hukum alam yang diperoleh dari sains juga tidak bisa dianggap memiliki
kebenaran kekal.
Ada satu hal yang patut dicatat dalam setiap bentangan historisitas bahwa tiap zaman memiliki
ciri dan nuansa refleksi yang berbeda, tak terkecuali dalam bentangan sejarah filsafat barat. Lihat saja,
misalnya, dalam yunani diletakkan sendi-sendi pertama rasionalitas barat, kemudian zaman
patrialistik dan skolastik ditandai oleh usaha yang gigih untuk mencari keselarasan antara iman dan
akal, karena iman dihati, dan akal ada di otak. Tidak cukuplah sikap credo quia absurdum “aku
percaya justru karena tidak masuk akal”. Dalam zaman modern direfleksikan berbagai hal tentang
rasio, manusia dan dunia. Jejak pergumulan itu terdapat dalam aliran-aliran filsafat dewasa ini.
Salah satu ciri khas manusia adalah sifatnya yang selalu ingin tahu tentang sesuatu hal. Rasa
ingin tahu ini tidak terbatas yang ada pada dirinya, juga ingin tahu tentang lingkungan sekitar, bahkan
sekarang ini rasa ingin tahu berkembang ke arah dunia luar. Rasa ingin tahu ini tidak dibatasi oleh
peradaban. Semua umat manusia di dunia ini punya rasa ingin tahu walaupun variasinya berbeda-
beda. Orang yang tinggal di tempat peradaban yang masih terbelakang, punya rasa ingin yang berbeda
dibandingkan dengan orang yang tinggal di tempat yang sudah maju.
Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam sekitarnya dapat bersifat
sederhana dan juga dapat bersifat kompleks. Rasa ingin tahu yang bersifat sederhana didasari dengan
rasa ingin tahu tentang apa (ontologi), sedangkan rasa ingin tahu yang bersifat kompleks meliputi
bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan mengapa peristiwa itu terjadi (epistemologi), serta
untuk apa peristiwa tersebut dipelajari (aksiologi).
Ke tiga landasan tadi yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi merupakan ciri spesifik
dalam penyusunan pengetahuan. Ketiga landasan ini saling terkait satu sama lain dan tidak bisa
dipisahkan antara satu dengan lainnya. Berbagai usaha orang untuk dapat mencapai atau memecahkan
peristiwa yang terjadi di alam atau lingkungan sekitarnya. Bila usaha tersebut berhasil dicapai, maka
diperoleh apa yang kita katakan sebagai ketahuan atau pengetahuan.
Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini
dipengaruhi oleh para Dewa. Karenanya para Dewa harus dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian
disembah. Adanya perkembangan jaman, maka dalam beberapa hal pola pikir tergantung pada Dewa
berubah menjadi pola pikir berdasarkan rasio.
Ditinjau secara sejarah, proses kemenangan akal manusia dari kekuatan mistis dimulai sejak
dari zaman Yunani Kuno. Setelah periode ini perkembangan ilmu berkembang semakin pesat. Bahkan
pada masa sekarang ini, ilmu pengetahuan berkembang dengan cepat dalam dinamika yang semakin
cepat lagi karena penemuan yang satu sering menyebabkan penemuan-penemuan lainnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidak terpusat pada satu tempat atau wilayah
tertentu saja. Selain di Eropa , Dunia Timur juga terbukti memberikan sumbangsih yang besar bagi
kemajuan ilmu pengetahuan. Banyak penemuan yang terjadi di Dunia Timur yang baru dikembangkan
belakangan di Dunia Barat. Oleh karena itu untuk memahami sejarah perkembangan ilmu, perlu
dilakukan periodesasi. Periodisasi perkembangan ilmu yang disusun di sini dimulai dari
perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakat di wilayah Babilonia, Mesir, Cina dan India.
Hal ini sangat penting karena pemikiran dan kebudayaan yang berkembang di wilayah-wilayah
tersebut pada masa itu juga merupakan rangkaian panjang sejarah peradaban umat manusia, yang
dengan kemampuan akal pikirannya selau berusaha melangkah maju.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat
Filsafat merupakan satu istilah yang berasal dari bahasa Yunani kuno yang kemudian dalam
bahasa Arab disebut falsafah, di sini kemungkinan terjadi pengadopsian bahasa yang sedikit berbeda
dalam cara membacanya. Filsafat merupakan istilah yang digunakan oleh orang Indonesia. Jika kita
perhatikan satu kata ini tidak jauh berbeda dalam penyebutannya dalam berbagai bahasa, sebagaimana
yang telah diketahui. Kemudian perlu kita ketahui apa sebenarnya arti filsafat tersebut.
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang terbentuk dari dua unsur kata,
yaitu philo yang berarti cinta dan sophia yang berarti kearifan, hikmah, kebijaksaan, keputusan atau
pengetahuan yang benar, secara dasar arti filsafat adalah cinta kebijaksanaan. Dari pengertian di atas
menghendaki bahwa filsafat merupakan suatu kegiatan yang menuntut untuk melakukan sesuatu
dengan kualitas terbaik. Ini merupakan kerja pikiran, sehingga sering sekali berfilsafat diartikan
sebagai berpikir mendalam atau radikal untuk menemukan realitas kebenaran sejati dari sesuatu. Sulit
ditemukan arti filsafat secara hakiki, namum setidaknya berfilsafat itu merupakan berfikir sistematis
dan penuh kehati-hatian untuk membuktikan kebenaran atau hakikat suatu yang dipikirkan.
Menurut Mukhtar filsafat adalah telaah kefilsafatan yang mengandalkan penalaran atau logika
dengan mengedepankan berpikir secara radic dan spekulatif. Filsafat tidak melakukan pengujian
secara empiris seperti halnya ilmu pengetahuan, tetapi telaah filsafat kebenarannya persis seperti
halnya ilmu pengetahuan karena dia memiliki kriteria dan karakter berfikir tertentu.[1]
Kebenaran yang dihasilkan filsafat berbeda dengan yang dihasilkan ilmu pengetahuan. Ini
dikarenakan kajian filsafat lebih bersifat unviersal sedangkan ilmu pengetahuan bersifat parsial dan
terpisah-pisah sesuai dengan kajiannya masing-masing dalam disiplin ilmu tertentu dengan ketentuan
sistematis, logis, dan empiris.
Jika kita renungi, seolah-olah kajian yang kita pelajari adalah tentang hasil pemikiran-
pemikiran para filosof sepanjang masa. Tujuan yang diinginkan adalah bagaimana mengatasi
permasalahan-permasalahan hidup manusia di dunia ini, karena dalam kehidupan manusia selalu
melekat berbagai problematika baik secara individu maupun kelompok. Dari sinilah mulai munculnya
aliran-aliran filsafat, dan hal ini juga terjadi dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan karena
bersumber dari filsafat.
B. Sejarah Perkembangan Filsafat
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke-7 SM. Filsafat
muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan
lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari
jawaban atas pertanyaan.[2]
Dalam sejarah perkembangannya sebagaimana yang terjadi di dunia Islam dengan kelahiran
mu’tazilah yang mengedepankan akal (rasio) sekitar (abad 2H/8M), di dunia Eropa juga lahir gerakan
Aufklarung (abad 11 H/17 M). Kedua sisi ini hendak merasionalkan agama. Mu’tazilah menolak
adanya sifat-sifat Tuhan dan Aufklarung menolak trinitas sebagai sifat Tuhan. Alam Aufklarung
inilah dalam perkembangannya telah membuat peradaban Eropa menjurus pada pemujaan akal.
Mereka berpendapat bahwa antara ilmu dan agama terjadi pertentangan yang keras, ilmu
pengetahuan berkembang pada dunianya dan agama pada dunia yang lain.
Dalam persoalan ini lahirlah sikap sekuleristik dalam ilmu pengetahuan. Liberalisasi,
emensipasi, otonomi pribadi, dan otoritas rasio yang begitudiagungkan merupakan nilai-nilai
kejiwaan yang selalu mewarnai sikap mentalmanusia Barat semenjak zaman renaissance (abad 15)
dan Aufklaerung (abad ke18) yang memungkinkan mereka melakukan tinggal landas mengarungi
dirgantara ilmu pengetahuan yang tiada bertepi dengan hasil-hasil sebagaimana mereka miliki hingga
sekarang ini. Zaman perkembangan ilmu yang paling menentukan dasar kemajuan ilmu sekarang ini
ialah sejak zaman sekarang ini ialah sejak abad ke 17 dengan dorongan beberapa hal: pertama : untuk
mengembalikan keputusan danpernyataan-pernyataan ilmiah lalu menonjolkan peranan matematik
sebagai sarana penunjang pemikiran ilmiah. Dalam angka inilah mulainya menonjol peranan
penggunaan angka Arab di Eropa (angka yang kita kenal di dunia sekarang)karena dinilai lebih
sederhana dan praktis dari pada angka –angka Romawi. Adapun angka Arab itu sendiri dikembangkan
dan berasal dari kebudayaan India. Faktor yang kedua dalam revolusi ilmu di abad ke 17, ialah makin
gigihnya parailmuwan menggunakan pengamatan dan eksperimen, dalam membuktikankebenaran-
kebenaran preposisi ilmu.Namun J.B.Bury menyangkal bahwa kemajuan ilmu tidak terdapat padaabad
pertengahan bahkan tidak terdapat pada awal Renaissance, tetapi baru abadke -17, sebagai hasil dari
rumusan Cartesius tentang dua aksioma yaitu :1) berkuasanya akal manusia dan 2) tak berubah-
ubahnya hukum alam. Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban
Yunani. Oleh karena itu periodesasi perkembangan ilmu disusun mulai dari peradaban Yunani
kemudian diakhiri pada penemuan-penemuan pada zaman kontemporer. Secara singkat periodesasi
perkembangan ilmu dapat digambarkan sebagai berikut :
Zaman Yunani kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa ini orang
memiliki kebebasan untuk mengeluarkan ide-ide atau pendapatnya, Yunani pada masa itu dianggap
sebagai gudangnya ilmu dan filsafat, karena Yunani pada masa itu tidak mempercayai mitologi-
mitologi. Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima pengalaman-pengalaman yang didasarkan pada
sikap menerima saja (receptive attitude) tetapi menumbuhkan anquiring attitude (senang menyelidiki
secara kritis). Sikap inilah yang menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli-ahli pikir yang
terkenal sepanjang masa. Beberapa tokoh yang terkenal pada masa ini antara lain : Thales,
Demokrates dan Aristoteles.[4]
Zaman pertengahan (middle age) ditandai dengan para tampilnya theolog di lapangan ilmu
pengetahuan. Ilmuwan pada masa ini adalah hampir semuanya para theolog, sehingga aktivitas ilmiah
terkait dengan aktivitas keagamaan. Atau dengan kata lain kegiatan ilmiah diarahkan
untuk mendukung kebenaran agama. Semboyan pada masa ini adalah Anchila Theologia (abdi
agama).
Peradaban dunia Islam terutama abad 7 yaitu Zaman bani Umayah telah menemukan suatu
cara pengamatan astronomi, 8 abad sebelum Galileo Galilie dan Copernicus. Sedangkan peradaban
Islam yang menaklukan Persia pada abad 8 Masehi, telah mendirikan Sekolah kedokteran dan
Astronomi di Jundishapur. Pada masa keemasan kebudayaan Islam, dilakukan penerjemahan berbagai
karya Yunani. Dan bahkan khalifahAl_Makmun telah mendirikan rumah Kebijaksanaan (House of
Wisdom) / Baitul Hikmah pada abad 9. Pada abad ini Eropa mengalami zaman kegelapan(dark age).
Renaisance merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang
mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang menyaksikan dilancarkannya tantangan
gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi gereja katolik Roma, bersamaan dengan
berkembangnya humanisme. Zaman ini juga merupakan penyempurnaan kesenian, keahlian, dan ilmu
yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa, Leonardo Da Vinci. Penemuan percetakan (kira-kira
1440 M) oleh kolumbus memberikan dorongan lebih keras untuk meraih kemajuan ilmu. Kelahiran
kembali sastra di Inggris, Prancis, dan Spanyol diwakili Shakespeare, Spencer, Rabelais, dan Ronsard.
Pada masa itu, seni musik juga mengalami perkembagan. Adanya penemuan para ahli perbintangan
seperti Copernicus dan Galileo menjadi dasar munculnya astronomi modern yang merupakan titik
balik dalam pemikiran ilmu dan filsafat.[5]
Tidaklah mudah membuat garis batas yang tegas antara zaman Renaisance dengan zaman
modern. Sementara orang menganggap bahwazaman modern hanyalah perluasan Renaisance. Akan
tetapi, pemikiran ilmiah membawa manusia lebih maju kedepan dengan kecepatan yang besar, berkat
kemampuan-kemampuan yang dihasilkan oleh masa-masa sebelumnya. Manusia maju dengan
langkah raksasa dari zaman uap ke zaman listrik, kemudian ke zaman atom, elektron, radio, televisi,
roket dan zaman ruang angkasa.
Zaman ini ditandai dengan berbagai dalam bidang ilmiah, serta filsafat dari berbagai aliran
muncul. Pada dasarnya corak secara keseluruhan bercorak sufisme Yunani. Paham – paham yang
muncul dalam garis besarnya adalah Rasionalisme, Idialisme, dengan Empirisme. Paham
Rasionalisme mengajarkan bahwa akal itulah alat terpenting dalam memperoleh dan menguji
pengetahuan. Ada tiga tokoh penting pendukung rasionalisme ini, yaitu Descartes, Spinoza, dan
Leibniz. Sedangkan aliran Idialisme mengajarkan hakekat fisik adalah jiwa, spirit. Ide ini
merupakan ide Plato yang memberikan jalan untuk memperlajari paham idealisme zaman modern.
Para pengikut aliran/paham ini pada umumnya, sumber filsafatnya mengikuti filsafat kritisisismenya
Immanuel Kant. Fitche (1762-1814) yang dijuluki sebagai penganut Idealisme subyektif merupakan
murid Kant. Sedangkan Scelling, filsafatnya dikenal dengan filsafat Idealisme Objektif . Kedua
Idealisme ini kemudian disintesakan dalam Filsafat Idealisme Mutlak Hegel.
Pada Paham Empirisme mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita selain
didahului oleh pengalaman. ini bertolak belakang dengan paham rasionalisme. Mereka menentang
para penganut rasionalisme yang berdasarkan atas kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Pelopor
aliran ini adalah Thomas Hobes Jonh locke,dan David Hume.[6]
6. Zaman Kontemporer
Yang dimaksud dengan zaman kontemporer adalah dalam kontek ini adalah era tahun-tahun
terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang. Hal yang membedakan pengamatan tentang ilmu pada
zaman sekarang adalah bahwa zaman modern adalah era perkembangan ilmu yang berawal
sejak sekitar abad ke-15, sedangkan kontemporer memfokuskan sorotannya pada berbagai
perkembangan terakhir yang terjadi hingga saat sekarang. Beberapa contoh perkembangan ilmu
kontemporer adalah : Santri, Priyayi, dan Abangan. Lebih lanjut Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu
mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu
dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran
kuantitatif sebagai andalan utamanya.
Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan. Pada periode
ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil,
namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada
waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi
manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil
mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau
mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui
internet. Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap
kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba
matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh
kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti
sekarang ini. Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru
yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan
dunia ini.
Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena manusia telah
memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya.
Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak
terkendali. Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah
menjadi bumerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan
manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu
manusia. Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang
dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagai kritik di kalangan
ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik
Masyarakat”.[7]
Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme
ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori
pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan
didakwa berkecenderungan meretifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme dipandang
menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif yang sudah ditentukan oleh
“kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus kritik dengan kekhususan aktor, di mana mereka
menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan
manusia. Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat” menganggap bahwa positivisme dengan sendirinya
konservatif, yang tidak kuasa menantangsistem yang eksis. Senada dengan pemikiran di atas,
Nasution (1996:4) mengemukan pula tentang kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme
yang bercirikan free of value, fisikal, reduktif dan matematika. Aliran post-positivime tidak menerima
adanya hanya satu kebenaran,. Rich (1979) mengemukakan “There is no the truth nor a truth – truth
is notone thing, -or even a system. It is an increasing completely” Pengalaman manusia begitu
kompleks sehingga tidak mungkin untuk diikat oleh sebuahteori. Freire (1973) mengemukakan bahwa
tidak ada pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral. Usaha untuk menghasilkan
ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan karena tak mungkin tercapai dan karena itu bersifat
“self deceptive” atau penipuan diri dan digantikan oleh ilmu sosial yang berdasarkan ideologi tertentu.
Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan problema
dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apa yang disebut “obyektivitas”.“
Knowledge is a’socially contitued’, historically embeded, and valuationally.
Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata, oleh sebab
penelitian harus selalu dapat dipertanggung- jawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan
diandalkan.
(1) Pengetahuan yang membedakan dari ketidak tahuan atau kesalah pahaman; pengetahuan yang
diperoleh melalui belajar atau praktek, (2) suatu bagian dari pengetahuan yang disusun secara
sistematis sebagai salah satu objek studi (ilmu teologi), (3) pengetahuan yang mencakup kebenaran
umum atau hukum-hukum operasinal yang diperoleh dan diuji melalui metode ilmiah; pengetahuan
yang memperhatikan dunia pisik dan gejala-gejalanya (ilmu pengetahuan alami), (4) suatu sistem atau
metode atau pengakuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah.
Sedangkan pengetahuan merupakan arti dari kata knowledge yang mempunyai arti;
(1) the fact or conditioning of knowing something whit familiriality gained through experience or
association, (2) the fact or conditioning of being aware of something.
(3) the fact or condition of having information or of being learned, (4) the sum of is known; the body
of truth, information, and principels acquired by mankind.
(1) kenyataan atau keadaan mengetahui sesuatu yang diperoleh secara umum melalui pengalaman
atau kebenaran secara umum, (2) kenyataan atau kondisi manusia yang menyadari sesuatu, (3)
kenyataan atau kondisi memiliki informasi yang sedang dipelajari, (4) sejumlah pengetahuan; susunan
kepercayaan, informasi dan prinsip-prinsip yang diperoleh manusia.
Konklusi dari pernyataan tersebut diatas, Ilmu diinterpretasikan sebagai salah satu dari
pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah yang sistematis. Sedangkan pengetahuan
diperoleh dari kebiasaan atau pengalaman sehari-hari. Dengan demikian ilmu lebih sempit dari
pegetahuan, atau ilmu merupakan bagian dari pengetahuan.
Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli -
terminologi-. Kata ilmu diartikan oleh Charles Singer sebagai proses membuat pengetahuan. Definisi
yang hampir sama dikemukakan John Warfield yang mengartikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas
penyelidikan. Sedangkan pengetahuan menurut Zidi Gazalba merupakan hasil pekerjaan dari tahu
yang merupakan hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan menurutnya adalah
milik atau isi fikiran.[11] Sedangkan pengertian ilmu pengetahuan sebagai terjemahan dari science,
seperti dikatakan oleh Endang Saefuddin Anshori ialah;
Usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur,
pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki (alam, manusia, dan
agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan itu, yang
kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksprimental.[12]
Dari definisi tersebut diperoleh ciri-ciri ilmu pengetahuan yaitu; sistematis, generalitas
(keumuman), rasionalitas, objektivitas, verifibialitas dan komunitas. Sistematis, ilmu pengetahuan
disusun seperti sistem yang memiliki fakta-fakta penting yang saling berkaitan. Generalitas, kualitas
ilmu pengetahuan untuk merangkum fenomena yang senantiasa makin luas dengan penentuan konsep
yang makin umum dalam pembahasan sasarannya. Rasionalitas, bersumber pada pemikiran rasional
yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Verifiabilitas, dapat diperiksa kebenarannya, diselidiki kembali
atau diuji ulang oleh setiap anggota lainnya dari masyarakat ilmuan. Komunitas, dapat diterima secara
umum, setelah diuji kebenarannya oleh ilmuwan.
Sedangkan yang menjadi objek ilmu pengetahuan dapat dibagi dua yaitu objek materi
(material objek) dan objek fomal (formal objek). Objek materi adalah sasaran yang berupa materi
yang dihadirkan dalam suatu pemikiran atau penelitian. Didalamnya terkandung benda-benda materi
ataupun non-materi. Bisa juga berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep dll.
Objek formal yang berarti sudut pandang menurut segi mana suatu objek diselidiki. Objek
formal menunjukkan pentingnya arti, posisi dan fungsi-fungsi objek dalam ilmu pengetahuan. Sebagai
contoh pembahasan tentang objek materi “manusia”. Dalam diri manusia terdapat beberapa aspek,
seperti: kejiwaan, keragaan, keindividuaan dan juga kesosialan. Aspek inilah yang menjadi objek
forma ilmu pengetahuan. Manusia dengan objek formalnya akan menghasilkan beberapa macam ilmu
pengetahuan, misalnya biologi, fisikologi, sosiologi, antropologi dll.
Dengan kata lain ilmu pengetahuan adalah pengetahuan tentang suatu objek yang diperoleh
dengan metode ilmiah yang disusun secara sistematik sebagai sebuah kebenaran.
D. Sumber Pengetahuan
Sumber dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagaia asal. Sebagai contoh
sumber mata air, berarti asal dari air yang berada di mata air itu. Dengan demikian sumber ilmu
pengetahuan adalah asal dari ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia. Jika membicarakan masalah
asal, maka pengetahuan dan ilmu pengetahuan tidak dibedakan, karena dalam sumber pengetahuan
juga terdapat sumber ilmu pengetahuan.
Dr. Mulyadi Kartanegara mendefinisikan sumber pengetahuan adalah alat atau sesuatu
darimana manusia bisa memperoleh informasi tentang objek ilmu yang berbeda-beda sifat
dasarnya.[13] Karena sumber pengetahuan adalah alat, maka Ia menyebut indera, akal dan hati
sebagai sumber pengetahuan.
Amsal Bakhtiar berpendapat tidak jauh berbeda. Menurutnya sumber pengetahuan merupakan
alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan istilah yang berbeda ia menyebutkan empat macam
sumber pengetahuan, yaitu: emperisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu. Begitu juga dengan Jujun
Surya Sumantri, ia menyebutkan empat sumber pengetahuan tersebut.[14]
Sedangkan John Hospers dalam bukunya yang berjudul An Intruction to Filosofical Analysis,
sebagaimana yang dikutip oleh Surajiyo menyebutkan beberapa alat untuk memperoleh pengetahuan,
antara lain: pengalaman indera, nalar, otoritas, intuisi, wahyu dan keyakinan.[15] Sedangkan Amin
Abdullah menyebutkan dua aliran besar, idealisme dan imperisme.[16]
Dari pemaparan di atas, penulis lebih condong kepada pendapat Mulyadi Kertanegara yang
menyebutkan indra, akal dan hati sebagai sumber pengetahuan. Hanya saja ketiga sumber tersebut
perlu ditambah dengan intuisi dan wahyu. Pengetahuan yang diperoleh intuisi berbeda dengan
pengetahuan yang diperoleh hati. Intiusi bagi para filsofi barat lebih dipahami sebagai pengembangan
insting yang dapat memperoleh pengetahuan secara langsung dan bersifat mutlak.[17]
uraian, sumber pengetahuan terdiri dari empirisme (indera), rasionalisme (akal), intuisionisme
(intuisi), ilmunasionalisme (hati), dan wahyu.
1. Empirisme (indera)
John Locke (1632-1704), mengemukakan teori tabula rasa yang menyatakan bahwa pada
awalnya manusia tidak tahu apa-apa. Seperti kertas putih yang belum ternoda. Pengalaman
inderawinya mengisi catatan harian jiwanya hingga menjadi pengetahuan yang sederhana sampai
begitu kompleks dan menjadi pengetahuan yang cukup berarti.
Selain John Locke, ada juga David Hume (1711-1776) yang mengatakan bahwa manusia sejak
lahirnya belum membawa pengetahuan apa-apa. Manusia mendapatkan pengetahuan melalui
pengamatannya yang memberikan dua hal, kesan (impression) dan pengertian atau ide (idea). Kesan
adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman. Seperti merasakan sakitnya tangan yang
terbakar. Sedangkan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang dihasilkan dengan merenungkan
kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.[18]
Gejala alam, menurut aliran ini bersifat konkret, dapat dinyatakan dengan panca indera dan
mempunyai karakteristik dengan pola keteraturan mengenai suatu kejadian.seperti langit yang
mendung yang biasanya diikuti oleh hujan, logam yang dipanaskan akan memanjang. Berdasarkan
teori ini akal hanya berfungsi sebagai pengelola konsep gagasan inderawi dengan menyusun konsep
tersebut atau membagi-baginya. Akal juga sebagai tempat penampungan yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Akal berfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan
peristiwa tersebut.
Dengan kata lain, empirisme menjadikan pengalaman inderawi sebagai sumber pengetahuan.
Sesuatu yang tidak diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Walaupun demikian,
ternyata indera mempunyai beberapa kelemahan, antara lain; pertama, keterbatasan indera. Seperti
kasus semakin jauh objek semakin kecil ia penampakannya. Kasus tersebut tidak menunjukkan bahwa
objek tersebut mengecil, atau kecil. Kedua, indera menipu. Penipuan indera terdapat pada orang yang
sakit. Misalnya. Penderita malaria merasakan gula yang manis, terasa pahit dan udara yang panas
dirasakan dingin. Ketiga, objek yang menipu, seperti pada ilusi dan fatamorgana. Keempat, objek dan
indera yang menipu. Penglihatan kita kepada kerbau, atau gajah. Jika kita memandang keduanya dari
depan, yang kita lihat adalah kepalanya, sedangkan ekornya tidak kelihatan. dan kedua binatang itu
sendiri tidak bisa menunjukkan seluruh tubuhnya.[19] Kelemahan-kelemahan pengalaman indera
sebagai sumber pengetahuan, maka lahirlah sumber kedua, yaitu Rasionalisme.
2. Rasionalisme (akal)
Akal mengatur data-data yang dikirim oleh indera, mengolahnya dan menyusunnya hingga
menjadi pengetahuan yang benar. Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep rasional atau ide-
ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal dan
merupakan abstraksi dari benda-benda konkret. Selain menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahan
yang dikirim indera, akal juga mampu menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indera, yaitu
pengetahuan yang bersifat abstrak. Seperti pengetahuan tentang hukum/ aturan yang menanam jeruk
selalu berbuah jeruk. Hukum ini ada dan logis tetapi tidak empiris.
3. Intusionisme (intuisi)
Kritik paling tajam terhadap empirisme dan rasionalisme di lontarkan oleh Hendry Bergson
(1859-1941). Menurutnya bukan hanya indera yang terbatas, akalpun mempunyai keterbatasan juga.
Objek yang ditangkap oleh indera dan akal hanya dapat memahami suatu objek bila
mengonsentrasikan akalnya pada objek tersebut. Dengan memahami keterbatasan indera, akal serta
objeknya, Bergson mengembangkan suatu kemampuan tingkat tinggi yang dinamakannya intuisi.
Kemampuan inilah yang dapat memahami suatu objek secara utuh, tetap dan menyeluruh. Untuk
memperoleh intuisi yang tinggi, manusia pun harus berusaha melalui pemikiran dan perenungan yang
konsisten terhadap suatu objek.[20]
Lebih lanjut Bergson menyatakan bahwa pengetahuan intuisi bersifat mutlak dan bukan
pengetahuan yang nisbi. Intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis. Intuisi dan analisa bisa
bekerja sama dan saling membantu dalam menemukan kebenaran. Namun intuisi sendiri tidak dapat
digunakan sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan.
Salah satu contohnya adalah pembahasan tentang keadilan. Apa adil itu? Pengertian adil akan
berbeda tergantung akal manusia yang memahami. Adil bisa muncul dari si terhukum, keluarga
terhukum, hakim dan dari jaksa. Adil mempunyai banyak definisi. Disinilah intuisi berperan. Menurut
aliran ini intuisilah yang dapat mengetahui kebenaran secara utuh dan tetap.
4. Illuminasionisme (hati)
Paham ini mirip dengan intuisi tetapi mempunyai perbedaan dalam metodologinya. Intuisi
diperoleh melalui perenungan dan pemikiran yang mendalam, tetapi dalam illuminasi diperoleh
melalui hati. Secara lebih umum illiminasi banyak berkembang dikalangan agamawan dan dalam
Islam dikenal dengan teori kasyf yaitu teori yang mengatakan bahwa manusia yang hatinya telah
bersih mampu menerima pengetahuan dari Tuhan. Kemampuan menerima pengetahuan secara
langsung ini, diperoleh melalui latihan spiritual yang dikenal dengan suluk atau riyadhah. Lebih
khusus lagi, metode ini diajarkan dalam thariqat. Pengetahuan yang diperoleh melalui illuminasi
melampaui pengetahuan indera dan akal. Bahkan sampai pada kemampuan melihat Tuhan, syurga,
neraka dan alam ghaib lainnya.[21]
Di dalam ajaran Tasawuf, diperoleh pemahaman bahwa unsur Ilahiyah yang terdapat pada
manusia ditutupi (hijab) oleh hal-hal material dan hawa nafsunya. Jika kedua hal ini dapat dilepaskan,
maka kemampuan Ilahiyah itu akan berkembang sehingga mampu menangkap objek-objek ghaib.
5. Wahyu (agama)
Wahyu sebagai sumber pengetahuan juga berkembang dikalangan agamawan. Wahyu adalah
pengetahuan agama disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantara para nabi yang
memperoleh pegetahuan tanpa mengusahakannnya. Pengetahuan ini terjadi karena kehendak Tuhan.
Hanya para nabilah yang mendapat wahyu.
Wahyu Allah berisikan pengetahua yang baik mengenai kehidupan manusia itu sendiri, alam
semesta dan juga pengetahuan transendental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia,
alam semesta dan kehidupan di akhitar nanti. Pengetahuan wahyu lebih banyak menekankan pada
kepercayaan yang merupakan sifat dasar dari agama.
Lima sumber pengetahuan yang telah disebutkan diatas, menitik beratkan pada akal dalam
rangka memperoleh atau mendapatkan pengetahuan. Empiris menggunakan akal untuk membentuk
ide/konsep dari objek. Apalagi dalam aliran rasionalisme yang menekankan pada akal. Intuisi,
illuminasi dan wahyu pun diperoleh dari akal yang berfikir. Meskipun demikian pengetahuan yang
dihasilkan dari sumber tersebut berbeda-beda.
Dr. Muhamad Al-Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya terbagi menjadi dua, pertama; ilmu
yang bersumber dari Tuhan, kedua; ilmu yang bersumber dari manusia. Al-Jurjani membagi ilmu
menjadi dua jenis, yaitu pertama; ilmu Qadim dan kedua; ilmu Hadits. Ilmu Qadim adalah ilmu Allah
yang jelas sangat berbeda dari ilmu hadits yang dimiliki manusia sebagai hamba-Nya.[22]
Menurut Al-Gazali sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Amsal Bakhtiar berpendapat bahwa
ilmu dibagi menjadi dua macam yaitu ilmu syar’iyah dan ilmu aqliyyah. Ilmu syar’iyyah adalah ilmu
religius karena ilmu itu berkembang dalam suatu peradaban yang memiliki syar’iyyah (hukum
wahyu) sedangkan ilmu aqliyyah adalah ilmu yang diluar dari ilmu syar’iyyah. Seperti ilmu alam,
matematika, metafisika, ilmu politik dll.
F. Periodesasi Perkembangan Ilmu
1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan di Babilonia dan Mesir
Sekitar tahun 3000 SM di daerah Mesopotamia, orang mulai bertani dalam jumlah besar,
menggunakan binatang dan bajak, memiki perahu dan kendaraan beroda sebagai sarana transportasi.
Mereka juga sudah mampu mengolah logam dan membuat barang dari keramik. Tahun 2500 SM
bangsa Sumeria telah mengenal matematika. Tahun 2000 SM dinasti Hammurabi mengembangkan
kemajuan kebudayaan. Matematika semakin berkembang. Banyak sekolah didirikan. Orang Babilonia
telah mampu membagi hari dalam jam serta menyatakan bahwa satu tahun terdiri atas 365 hari.
Di bidang astronomi para pemuka agama melakukan pengamatan terhadap angkasa dan
memberi nama bintang-bintang dengan Pisces, Gemini, Scorpio dan lain-lain yang sekarang disebut
zodiac. Kemudian melalui pengamatan tersebut , mereka mencoba meramalkan nasib seseorang
dikaitkan dengan hari kelahirannya.
Pengetahuan tentang kedokteran juga telah lama dikenal di Babilonia. Pada tahun 2350 SM
telah ada dokter di Babilonia Selatan. Akan tetapi pada saat itu pengetahuan yang dikembangkan
bercampur dengan anggapan bahwa penyakit itu dibawa oleh roh jahat. Oleh karena itu
pengobatannya pun dilakukan melalui obat dan mantra. Yang diketahui dari buku-buku kedokteran
yang memuat tulisan yang berisi campuran antara resep dan mantra. Dalam bidang ekonomi orang
Babilonia juga telah mengenal perdagangan dalam bentuk barter. Kerajinan tangan membuat sepatu,
menyamak kulit, memotong batu, textil.dll.[23]
Kebudayaan Mesir di Zaman Purba lebih maju. Di bidang transportasi orang Mesir sudah
berhasil menemukan kereta beroda dan perahu layer. Juga mengenal timbangan yang memungkinkan
mereka mengetahui berat suatu benda. Pembuatan textile dengan cara menenun telah dilakukan
dengan alat tenun.
Pada tahun 2500 SM di Mesir telah dibangun Piramid yang sisi-sisinya tepat menghadap
Barat, Timur, Utara dan Selatan. Pembangunan Piramid menunjukan telah dipergunakannya
Matematika untuk menghitung sudut elevasi Piramid.[24]
Dalam bidang kedokteran ditemukan tulisan tentang cara-cara pengobatan orang sakit . Pada
papyrus ebers misalnya, terdapat keterangan tentang denyut nadi pada beberapa bagian badan,
mekanisme pernafasan, daftar penyakit, resep obat untuk penyakit mata, telinga dan perut dan lain-
lain. Pengobatan suatu penyakit selain menggunakan obat-obatan yang terdiri dari ramuan tumbuhan
dan bahan kimia seperti minyak jarak, soda, garam, timbale dan garam tembaga, juga menggunakan
mantera. Lemak harimau, buaya, ular dan angsa digunakan sebagai obat penumbuh rambut. Dalam
papyrus ini ditulis pula cara-cara mengawetkan makanan dengan menggunakan garam, cuka dll.
Dokter pertama kali dikisahkan bernama Imhotep dan kemudian dianggap sebagai dewa pengobatan
pada tahun 3000 SM sedangkan gambar-gambar tentang suatu operasi atau pembedahan telah ada
pada tahun 2500 SM.Gambar tersebut terdapat sebagai ukiran dalam suatu makam di Mesir. Akan
tetapi pada orang yang menderita penyakit jiwa, pengobatannya tidak melalui dokter, akan tetapi
diserahkan pada ahli mengusir roh jahat.
Dalam bidang pengolahan logam orang Mesir telah lama mengenal cara-cara pemurnian
emas, pengolahan besi serta bijih logam lainnya. Hal ini dapat diketahui dengan ditemukannya benda-
benda dari logam yang berupa perhiasan atau senjata. Emas, perak dan tembaga diperkirakan telah
ada pada tahun 3000 SM. Perunggu telah dipergunakan orang pada tahun 2500 SM dan pada waktu
itu besi dan timbal telah ditemukan .raksa telah dikenal orang pada tahun 1500 SM. Timbale terdapat
sebagai bijih timbal sulfide di suatu tempat dekat laut Merah. Tambang emas terletak di sebelah timur
sungai Nil di daerah yang disebut Nubia.
Selain logam, orang Mesir juga mengenal cara pembuatan gelas dan keramik. Mereka telah
menggunakan alat yang berupa roda yang berputar pada sumbu tegak untuk memberi bentuk kepada
tanah liat yang digunakan, misalnya bentuk suatu bejana kemudian dibakar dalam sebuah tungku atau
tanur tinggi yang tertutup. Pembuatan gelas secara besar-besaran baru dilakukan pada tahun 1370 SM
dengan menggunakan netron yang dilebur bersama kwarsa. Senyawa-senyawa tembaga dipakai untuk
memberi warna hijau atau biru pada gelas. Kira-kira pada tahun 4000 SM orang-orang Mesir juga
telah mengenal zat warna indigo yang digunakan untuk memberi warna pada tekstil .[25]
2. Perkembangan Pengetahuan di India
Pada zaman kuno, pengetahuan yang telah dikenal di daerah lembah sungai Indus ini adalah
astronomi, matematika dan kedokteran. Walaupun tidak dapat menyamai perkembangan astronomi di
Babilonia, namun para pengamat benda-benda angkasa telah mengamati posisi matahari, bulan dan
beberapa bintang. Dari pengamatan itu ditentukan banyaknya waktu dalam satu tahun dan satu bulan,
Trigonometri serta lambang-lambang bilangan juga dikembangkan dengan baik. Berhitung dengan
menggunakan angka nol dan angka satu sampai sembilan berkembang dan digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan kedokteran telah dikenal di India beberapa ratus tahun Sebelum Masehi. Tulisan
tentang pengetahuan kedokteran memuat beberapa cara pengobatan yang bebas dari pengaruh mistik.
Menurut teori kedokteran pada jaman kuno, tubuh manusia terdiri atas lima unsure alami yaitu : tanah,
air, api, angin dan ruang kosong. Air, api dan angin adalah unsur yang aktif. Apabila ketiga unsur
tersebut berada dalam keseimbangan dan keserasian maka orang akan sehat. Kelebihan atau
kekurangan salah satu unsure tadi menyebabkan adanya ketidakseimbangan dan ketidakserasian yang
mengakibatkan orang menjadi sakit. Tumbuh-tumbuhan digunakan untuk keperluan pengobatan.
Pengobatan penyakit dengan cara pembedahan juga telah lama dikenal.[26]
3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan di Cina
Perkembangan Ilmu pengetahuan di Cina dapat diketahui dari penemuan arkeologi, yaitu
pada masa Dinasti Shang ( 1523-1028 SM ) dan Dinasti Chin ( 1027 – 256 SM ). Pada masa – masa
tersebut orang telah mengenal tulisan, pembuatan keramik, kendaraan beroda, cara bertanam padi,
pembuatan sutera alam, dan pembuatan alat-alat dari perunggu.perunggu telah lama dikenal pada abad
ke -10 SM. Pengolahan besi dikenal abad ke-6 SM. Pada masa Dinasti Shang dan Chin, teknologi di
Cina mencapai kemajuan besar. Dalam bidang kedokteran bangsa Cina juga telah mengenal bentuk
pengobatan dengan menggunakan tusuk jarum ( akupuntur ) pada beberapa abad sebelum masehi.
Di samping itu dalam sebuah buku kuno yang ditulis pada tahun 1200 SM terdapat tulisan
tentang asal mula benda-benda. Disebutkan bahwa benda berasal dari dua macam kekuatan yaitu Yin
dan Yang. Yin membawa cirri buruk, sedangkan Yang membawa ciri baik. Sifat suatu benda
tergantung dari jumlah Yin dan Yang yang terkandung dalam benda tersebut. Karena itu mereka
percaya bahwa satu benda dapat berubah menjadi benda lain apabila jumlah Yin dan Yang dalam
benda tersebut diubah, misalnya suatu logam dapat diubah menjadi logam mulia dengan mengurangi
Yin dan menambah jumlah Yang. Dalam buku lian yang ditulis pada tahun 2200 SM disebut adanya
lima unsur yang membentuk benda yaitu air, api, kayu, logam dan tanah.
Menurut Jerome R. Ravertz, dalam bukunya Filsafat Ilmu, hingga zaman Renaissans
teknologi Cina lebih maju dari Eropa.[27]
G. Sekilas Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Zaman Islam Klasik
Mengenai zaman Islam klasik, Harun Nasution menyebutkan antara 650-1250 M. ini terjadi
semenjak Rasul Muhammad SAW menyebarkan risalahnya sampai hancurnya Baghdad pada abad
XIII M.[28]
Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung
dalam Al-Qura’an dan bimbingan Nabi Muhammad SAW mengenai wahyu tersebut. Al-‘ilm itu
sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT. Dalam bentuk kata yang berbeda. Allah SWT disebut
juga sebagai al-‘Alim, yang artinya “Yang Maha Mengetahui”. Ilmu adalah salah satu dari sifat utama
Allah SWT dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bisa digunakan untuk
menerangkan pengetahuan Allah SWt.
Keterangan tafsir sering kali ditekankan sehubungan dengan kelima ayat Al-Qur'an yang
paling pertama diwahyukan (QS.96:l-5), antara lain bahwa ajaran Islam sejak awal meletakkan
semangat keilmuan pada posisi yang amat penting. Banyaknya ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW
tentang ilmu antara lain memberi kesan bahwa tujuan utama hidup ini ialah memperoleh ilmu
tersebut.
Dalam hubungan ini, sebagian ahli menerangkan perkembangan ilmu dalam Islam dengan
melihat cara pendekatan yang ditempuh kaum muslimin terhadap wahyu dalam menghadapi suatu
situasi di mana mereka hidup, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut pendekatan ini, ge-
nerasi pada masa Nabi Muhammad SAW telah menangkap semangat ilmu yang diajarkan oleh Islam
yang disampaikan oleh Nabi SAW tetapi semangat itu baru menampakkan dampak yang amat luas
setelah Nabi SAW wafat. Hadirnya Nabi SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada generasi
pertama sebagai pimpinan dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi dan persoalan-persoalan
yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi SAW.
Generasi sesudah Nabi SAW wafat, yang menyaksikan proses berlangsung dan turunnya
wahyu sehingga berhasil menginternalisasi dan menyerapnya ke dalam diri mereka, menilai situasi
yang mereka hadapi dengan semangat wahyu yang telah mereka serap. Penilaian terhadap situasi baru
yang lebih bercorak intelektual berlangsung pada generasi tabiin dan tabiit tabiin (tabi'at-tabi'in)
karena metode yang dipakai menyerupai metode ilmu yang dikenal kemudian, bahkan sebagian
metode ilmu yang dikenal sekarang berasal dari generasi tersebut. Metode tersebut adalah metode
nass, yaitu mencari rujukan kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan teks-teks hadis yang sifatnya langsung,
jelas, dan merujuk pada situasi yang dihadapi, atau mencari teks yang cukup dekat dengan situasi atau
masalah yang dihadapi bila teks langsung tidak diperoleh. Metode yang lainnya disebut metode kias
atau penalaran analogis.[29]
Menurut pendekatan ini, pemikiran tentang hukum adalah ilmu yang paling awal tumbuh
dalam Islam. Munculnya sejumlah hadist yang digunakan untuk keperluan pemikiran hukum, di
samping ayat-ayat Al-Qur'an, menjadikan hadist pada masa-masa.
tersebut tumbuh menjadi ilmu tersendiri. Dengan alasan yang berbeda dengan lahirnya ilmu
hukum, teologi atau ilmu kalam muncul menjadi ilmu yang berpangkal pada persoalan-persoalan
politik, khususnya pada masa kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib. Ilmu kalam
semakin menegaskan dirinya sebagai disiplin ilmu tersendiri ketika serangan yang ditujukan kepada
Islam memakai pemikiran filsafat sebagai alat. Oleh karena itu, dirasakan bahwa penyerapan filsafat
merupakan suatu keharusan untuk dipakai dalam membela keyakinan-keyakinan Islam.[30]
Perkembangan ilmu paling pesat dalam Islam terjadi ketika kaum muslimin bertemu dengan
kebudayaan dan peradaban yang telah maju dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Perkembang-
an tersebut semakin jelas sejak permulaan kekuasaan Bani Abbas pada pertengahan abad ke-8.
Pemindahan ibukota Damsyik (Damascus) yang terletak di lingkungan Arab ke Baghdad yang berada
di lingkungan Persia yang telah memiliki budaya keilmuan yang tinggi dan sudah mengenal ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani, menjadi alat picu semaraknya semangat keilmuan yang telah
dimiliki oleh kaum muslimin.
Pada masa ini umat islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan
sehingga ilmu pengetahuan baik aqli ( rasional ) maupun yang naqli mengalami kemajuan dengan
sangat pesat. Proses pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara penerjemahan berbagai
buku karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti bangsa yunani, romawi, dan persia, serta berbagai
sumber naskah yang ada di timur tengah dan afrika, seperti mesopotamia dan mesir.
Diantara banyak ahli yang berperan dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan adalah
kelompok Mawali atau orang-orang non arab, seperti orang persia. Pada masa itu, pusat kajian ilmiah
bertempat di masjid-masjid, misalnya masjid Basrah. Di masjid ini terdapat kelompok studi yang
disebut Halaqat Al Jadl, Halaqad Al Fiqh, Halaqad Al Tafsir wal Hadist, Halaqad Al Riyadiyat,
Halaqad lil Syi’ri wal adab, dan lain-lain. Banyak orang dari berbagai suku bangsa yang datang ke
pertemuan ini. Dengan demikian berkembanglah kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Pada permulaan Daulah Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan formal, seperti
sekolah-sekolah, yang ada hanya beberapa lembaga non formal yang disebut Ma’ahid. Baru pada
masa pemerintahan Harun Al Rasyid didirikanlah lembaga pendidikan formal seperti Darul Hikmah
yang kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh Al Makmun. Dari lembaga inilah banyak
melahirkan para sarjana dan ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan Daulah Abbasiyah dan
umat islam pada umumnya.[31] Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai masa kaum muslimin menyerap
khazanah ilmu dari luar tanpa puas-puasnya. Akan tetapi prestasi terbesar al-Makmun adalah
pembangunan Bait al-hikmah.[32]
Pada mulanya, suatu karya diterjemahkan dan dipelajari karena alasan praktis. Misalnya, ilmu
kedokteran dipelajari untuk mengobati penyakit khalifah dan keluarganya; untuk mendapatkan
kesempurnaan pelaksanaan ibadah, ilmu falak berkembang dalam menentukan waktu shalat secara
akurat. Akan tetapi, motif awal dipelajarinya ilmu-ilmu tersebut ternyata pada perkembangan
selanjutnya mengalami pertumbuhan sedemikian rupa, sehingga tidak lagi terbatas untuk keperluan-
keperluan praktis dan ibadah tetapi juga untuk keperluan yang lebih luas, misalnya, untuk
pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian, ilmu yang diserap itu ditambah dan dikembangkan
lagi oleh kaum muslimin dengan hasil-hasil pemikiran dan penyelidikan mereka.
Beberapa disiplin ilmu yang sudah berkembang pada masa klasik Islam adalah: ilmu fikih,
ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu usul fikih, ilmu tasawuf, yang biasa pula disebut sebagai
bidang ilmu naqli, ilmu-ilmu yang bertolak dari nas-nas Al-Qur'an dan hadis. Adapun dalam bidang
ilmu 'aqli atau ilmu rasional, yang berkembang antara lain ilmu filsafat, ilmu kedokteran, ilmu
farmasi, ilmu sejarah, ilmu astronomi dan falak, ilmu hitung, dan lain-lain.
Pada masa ini dikenal banyak sekali pakar dari berbagai ilmu, baik orang Arab maupun
muslim non-Arab. Sejarah juga mencatat, bahwa untuk pengembangan ilmu-ilmu tersebut para pakar
muslim bekerja sama dengan pakar-pakar lainnya yang tidak beragama Islam. Muhammad bin
Ibrahim al-Fazari dipandang sebagai astronom Islam pertama. Muhammad bin Musa al-Khuwarizmi
(wafat 847M) adalah salah seorang pakar matematika yang mashyur. Ali bin Rabban at-Tabari
dikenal sebagai dokter pertama dalam Islam, di samping Abubakar Muhammad ar-Razi (wafat 925M)
sebagai seorang dokter besar. Jabir bin Hayyan (wafat 812M) adalah "bapak" ilmu kimia dan ahli
matematika. Abu Ali al-Hasan bin Haisam (wafat 1039M) adalah nama besar di bidang ilmu optik.
Ibnu Wazih al-Yakubi, Abu Ali Hasan al-Mas'udi (wafat 956M), dan Yakut bin Abdillah al-Hamawi
adalah nama-nama tenar untuk bidang ilmu bumi (geografi) Islam dan Ibnu Khaldun untuk kajian
bidang ilmu sejarah. Disamping nama-nama besar diatas, masih banyak lagi pakar-pakar ilmu lainnya
yang sangat besar peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Besarnya pengaruh bidang keilmuan yang ditinggalkan kaum ilmuwan muslim pada abad-
abad yang lampau tidak hanya tampak pada banyaknya nama-nama pakar muslim yang disebut dan
ditulis dalam bahasa Eropa, tetapi juga pada pengakuan yang diberikan oleh dan dari berbagai
kalangan ilmuwan. Zaman Kebangkitan atau Zaman Renaisans di Eropa, yang di zaman kita telah
melahirkan ilmu pengetahuan yang canggih, tidak lahir tanpa andil yang sangat besar dari pemikiran
dan khazanah ilmu dari ilmuwan muslim pada masa itu.
Sepanjang Eropa mengalami masa kegelapan, di sebelah selatan Laut Tengah berkembang
kerajaan bangsa Arab yang dipengaruhi dengan Islam. Dengan berkembangnya pengaruh Islam,
maka semakin banyak pula tokoh-tokoh ilmuwan Islam yang berperan dalam perkembangan Ilmu.
Dalam buku Sejarah Filsafat Ilmu & Teknologi karangan Burhanuddin Salam (2004), buku Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya karangan M. Thoyibi (1997), serta buku Filsafat Ilmu yang disusun oleh
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM (2001), disebutkan beberapa tokoh ilmuwan muslim yang berpengaruh
bagi sejarah perkembangan ilmu. Mereka adalah sebagai berikut:[33]
1) al-Fārābi (870 M - 950 M).[34] Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung
di dunia Islam. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan,
bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting
dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain itu, karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah
Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui
kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan
hukum Ilahiah Islam.
2) al-Khawārizmī (780 M - 850 M). Hasil pemikirannya berdampak besar pada matematika, yang
terangkum dalam buku pertamanya, al-Jabar. Selain itu karyanya adalah al-Kitab al-mukhtasar fi
hisab al-jabr wa’l-muqabala (Buku Rangkuman untuk Kalkulasi dengan Melengkapakan dan
Menyeimbangkan), Kitab surat al-ard (Pemandangan Bumi). Karya tersebut masih tersimpan di
Strassberg, Jerman.
3) al-Kindi (801 M - 873 M),[35] bisa dikatakan merupakan filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam.
Al Kindi menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri, astronomi, astrologi, aritmatika,
musik(yang dibangunnya dari berbagai prinip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan
politik.
4) al-Ghazali (1058 M - 1111 M) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai
Algazel di dunia Barat. Karya-karyanya berupa kitab Al-Munqidh min adh-Dhalal, Al-Iqtishad fi al-
I’tiqad, Al-Risalah al-Qudsiyyah, Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, Mizan al-Amal, Ad-Durrah al-
Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah, Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama) merupakan
karyanya yang terkenal, Kimiya as-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), Misykah al-Anwar (The Niche of
Lights), Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah (buku ini membahas kelemahan-kelemahan para
filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The
Incoherence of the Incoherence), Al-Mushtasfa min ‘Ilm al-Ushul, Mi’yar al-Ilm (The Standard
Measure of Knowledge), al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance), dan Mihakk al-Nazar fi al-
Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic).
5) Ibnu Sina (980 M -1037 M). Ia dikenal sebagai Avicenna di Dunia Barat. Ia adalah seorang filsuf,
ilmuwan, dan juga dokter. Bagi banyak orang, beliau adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih
banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang
kedokteran. Karyanya yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Karyanya adalah The Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Al-
Qanun fi At Tibb.
6) Al-Razi (865 M - 925 M) yang dikenal dengan nama Razes. Seorang dokter klinis yang terbesar pada
masa itu dan pernah mengadakan satu penelitian Al-Kimi atau sekarang lebih terkenal disebut ilmu
Kimia.Di dalam penelitiannya pada waktu itu Al-Razi sudah menggunakan peralatan khusus dan
secara sistimatis hasil karyanya dibukukan, sehingga orang sekarang tidak sulit mempelajarinya.
Disamping itu Al-Razi telah mengerjakan pula proses kimiawi seperti: Distilasi, Kalsinasi dan
sebagainya dan bukunya tersebut merupakan suatu buku pegangan laboratorium Kimia yang
pertama di dunia. orang pertama membuat jahitan pada perut dengan benang dibuat dari serat, dan
orang pertama yang berhasil membedakan antara penyakit cacar dengan campak. Buku karya Al-Razi
paling termasyhur berjudul Al-Hawi Fi Ilm Al-Tadawi yang terdiri dari 30 jilid dan dirangkum ke
dalam 12 bagian dan Al-Mansuri, berisi tentang pembedahan seluruh tubuh manusia.[36]
Selain dari daftar nama ilmuwan di atas, masih banyak lagi ilmuwan muslim yang lain. Dalam
bidang fiqih ada Imam Hanafi (699M - 767 M), Imam Malik (712 M -798 M), Imam Syafi’i (767 M -
820 M) dan Imam Hanbali (780 M - 855 M) yang besar dengan kitab masing-masing. Sementara
dalam bidang sosial, terdapat nama Yaqut bin Abdullah al Hamawi (1179 M - 1229 M) yang
mengarang kitab Mu’jam al-Buldan (Kamus Negara). Ibnu Yunis, yang menggabungkan dokumen-
dokumen penelitian yang dibuat 200 tahun sebelumnya dan menyiapkannya untuk tabel astronomi
Hakimite. Umar al-Khayyãm, yang dikenal dengan karya kalender Jalali-nya yang sempurna dan
dipakai di Persia untuk penanggalan. Cendekiawan seperti Will Durant dan Fielding H. Garrison,
kimiawan Muslim dianggap sebagai pendiri kimia. Abu Rayhan al-Biruni sebagai perintis indologi,
geodesi dan antropologi.
Sebagian bangsa di Asia juga mulai memperlihatkan perkembangan ilmu mereka. Dari Cina
ada salah satu contoh terbaik akan Shen Kuo (1031 M - 1095 M), seorang ilmuwan dan negarawan
yang pertama kali menggambarkan magnet-jarum kompas yang digunakan untuk navigasi,
menemukan konsep utara sejati, perbaikan desain astronomi Gnomon, armillary bola, penglihatan
tabung, dan clepsydra, dan menggambarkan penggunaan drydocks untuk memperbaiki perahu.
Selain itu, Shen Kuo juga menyusun teori pembentukan tanah, atau geomorfologi. Ada juga Su Song
(1020 M - 1101 M) juga seorang astronom yang menciptakan langit bintang atlas peta, menulis
sebuah risalah farmasi dengan subyek terkait botani, zoologi, mineralogi, dan metalurgi, dan telah
mendirikan besar astronomi clocktower di Kaifeng pada tahun 1088.
Makna peradaban bisa kita pahami dari gambaran peradaban-peradaban yang sudah ada
dalam sejarah. Misalnya peradaban Islam dan Barat. Peradaban biasanya selalu dikaitkan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi, jihad membangun peradaban berarti upaya
bersungguh-sungguh membangun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesungguhnya makna
peradaban lebih luas lagi dari apa yang tadi saya katakan. Seperti persoalan kemanusiaan,
kebudayaan, moralitas, dan seterusnya. Apakah peradaban didefinisikan hanya dikaitkan dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi? Dalam batas-batas tertentu peradaban selalu dikaitkan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ilmu pengetahuan dan teknologi akan
memengaruhi aspek-aspek lain dari peradaban.[38]
Apa signifikansi jihad membangun peradaban ini? Peradaban Barat yang maju saat ini
memberikan kontribusi besar bagi kehidupan manusia secara umum. Artinya, seluruh kehidupan
manusia tertolong, katakanlah mendapatkan kemudahan akibat peradaban Barat yang maju.
Pentingnya membangun peradaban dalam rangka memudahkan kehidupan manusia itu sendiri.
Misalnya dalam transportasi. Transportasi saat ini lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan
zaman dulu.
Kita melihat bahwa saat ini peradaban Islam tertinggal dari peradaban Barat. Apa
sebenarnya yang menyebabkan hal ini? Tradisi pengembangan ilmu pengetahuan di Barat dilakukan
dalam rentang waktu yang cukup lama. Kalau dihitung dari sekarang, sekitar 300 atau 400 tahun
yang lalu Barat mengembangkan teknologi secara tekun. Dari sini kita pahami bahwa kemajuan
Barat yang merupakan proses panjang dari ketekunan dan keuletan masyarakat Barat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau dibandingkan dengan masyarakat atau
bangsa-bangsa Islam, kita melihat bahwa tradisi pengembangan ilmu pengetahuan sebenarnya telah
ada saat Islam baru tumbuh. Sayangnya tradisi pengembangan ilmu pengetahuan ini terputus di
tengah-tengah dan barangkali sekarang baru beranjak untuk bangkit kembali.
Jadi, karena tradisi pengembangan ilmu pengetahuan terputus, maka umat Islam saat ini
tertinggal. Banyak faktor yang menyebabkan keterputusan tradisi pengembangan ilmu pengetahuan
di tubuh umat Islam, seperti perpecahan internal dan adanya orientasi yang berbeda di kalangan
pemimpin Islam. Akibat keterputusan ini, kita tertinggal dari masyarakat Barat dan kita
membutuhkan sekitar 100 tahun untuk berpikir kembali membangun ilmu pengetahuan di tubuh
umat Islam. Apakah ide “jihad membangun peradaban” ini merupakan terobosan baru atau
merupakan penyegaran dari ide yang telah ada sebelumnya? Saya kira jihad membangun peradaban
ini merupakan penyegaran. Artinya, konsep ini sebenarnya sudah ada dalam ajaran Islam, tetapi
karena umat Islam dipengaruhi oleh budaya dan lingkungannya, maka konsep membangun
peradaban ini menjadi layu di tengah perjalanan umat Islam dan karena itu perlu kita segarkan
kembali.
Ketertinggalan umat Islam dalam ilmu pengetahuan dan teknologi bisa kita analogikan
dengan kebodohan. Sedangkan kebodohan erat kaitannya dengan kemiskinan, dan dua variabel ini,
kemiskinan dan kebodohan, saling mempengaruhi.
BAB III
KESIMPULAN
Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidak terpusat pada satu tempat atau
wilayah tertentu saja. Selain di Eropa , Dunia Timur juga terbukti memberikan sumbangsih yang
besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Banyak penemuan yang terjadi di Dunia Timur yang baru
dikembangkan belakangan di Dunia Barat.
Beberapa disiplin ilmu yang sudah berkembang pada masa klasik Islam adalah: ilmu fikih,
ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu usul fikih, ilmu tasawuf, yang biasa pula disebut sebagai
bidang ilmu naqli, ilmu-ilmu yang bertolak dari nas-nas Al-Qur'an dan hadis. Adapun dalam bidang
ilmu 'aqli atau ilmu rasional, yang berkembang antara lain ilmu filsafat, ilmu kedokteran, ilmu
farmasi, ilmu sejarah, ilmu astronomi dan falak, ilmu hitung, dan lain-lain.
Seringkali, siswa belajar bahwa metode ilmiah adalah proses linear yang berjalan seperti ini:
Tanyakan pertanyaan. Pertanyaan ini didasarkan pada satu atau lebih pengamatan atau
data dari percobaan sebelumnya.
Melakukan penelitian latar belakang.
Buat hipotesis.
Melakukan eksperimen atau melakukan pengamatan untuk menguji hipotesis.
Mengumpulkan data.
Merumuskan kesimpulan.
Proses ini tidak selalu berjalan dalam garis lurus. Seorang ilmuwan mungkin mengajukan
pertanyaan, kemudian melakukan penelitian latar belakang dan menemukan bahwa
pertanyaan yang perlu ditanyakan dengan cara yang berbeda, atau pertanyaan yang berbeda
harus buat.
Metode ilmiah yang digunakan saat membuat dan menjalankan percobaan. Tujuan dari
metode ilmiah adalah untuk memiliki cara yang sistematis untuk menguji ide atau gagasan
dan hasilnya dalam proses penyelidikan ilmiah dapat pelaporan. Komponen kunci dari
penggunaan metode ilmiah itu adalah memastikan bahwa percobaan harus dapat ditiru oleh
siapapun. Jika itu tidak mungkin, maka hasilnya dianggap tidak sah.
Proses mengeksekusi percobaan menggunakan metode ilmiah juga harus dipastikan bahwa
data dicatat dan dapat dibagikan pada yang lain sehingga bias pada pihak ilmuwan yang
melakukan percobaan dapat dikurangi. Selain itu, komunikasi hasil memungkinkan untuk
rekan-rekan yang lain dapat meninjau pekerjaan untuk memastikan bahwa hasilnya adalah
tepat dan akurat.
Metode ilmiah atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai scientific method adalah proses berpikir
untuk memecahkan masalah secara sistematis,empiris, dan terkontrol.
Karena metode ilmiah dilakukan secara sistematis dan berencana, maka terdapat langkah-langkah
yang harus dilakukan secara urut dalam pelaksanaannya. Setiap langkah atau tahapan dilaksanakan
secara terkontrol dan terjaga. Adapun langkah-langkah metode ilmiah adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah.
2. Merumuskan hipotesis.
3. Mengumpulkan data.
4. Menguji hipotesis.
5. Merumuskan kesimpulan.
Merumuskan Masalah
Berpikir ilmiah melalui metode ilmiah didahului dengan kesadaran akan adanya masalah.
Permasalahan ini kemudian harus dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya. Dengan penggunaan
kalimat tanya diharapkan akan memudahkan orang yang melakukan metode ilmiah untuk
mengumpulkan data yang dibutuhkannya, menganalisis data tersebut, kemudian
menyimpulkannya.Permusan masalah adalah sebuah keharusan. Bagaimana mungkin memecahkan
sebuah permasalahan dengan mencari jawabannya bila masalahnya sendiri belum dirumuskan?
Merumuskan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah yang masih memerlukan pembuktian
berdasarkan data yang telah dianalisis. Dalam metode ilmiah dan proses berpikir ilmiah, perumusan
hipotesis sangat penting. Rumusan hipotesis yang jelas dapat memabntu mengarahkan pada proses
selanjutnya dalam metode ilmiah. Seringkali pada saat melakukan penelitian, seorang peneliti
merasa semua data sangat penting. Oleh karena itu melalui rumusan hipotesis yang baik akan
memudahkan peneliti untuk mengumpulkan data yang benar-benar dibutuhkannya. Hal ini
dikarenakan berpikir ilmiah dilakukan hanya untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan.
Mengumpulkan Data
Pengumpulan data merupakan tahapan yang agak berbeda dari tahapan-tahapan sebelumnya dalam
metode ilmiah. Pengumpulan data dilakukan di lapangan. Seorang peneliti yang sedang menerapkan
metode ilmiah perlu mengumpulkan data berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskannya.
Pengumpulan data memiliki peran penting dalam metode ilmiah, sebab berkaitan dengan pengujian
hipotesis. Diterima atau ditolaknya sebuah hipotesis akan bergantung pada data yang dikumpulkan.
Menguji Hipotesis
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa hipotesis adalah jawaban sementaradari suatu permasalahan
yang telah diajukan. Berpikir ilmiah pada hakekatnya merupakan sebuah proses pengujian hipotesis.
Dalam kegiatan atau langkah menguji hipotesis, peneliti tidak membenarkan atau menyalahkan
hipotesis, namun menerima atau menolak hipotesis tersebut. Karena itu, sebelum pengujian
hipotesis dilakukan, peneliti harus terlebih dahulu menetapkan taraf signifikansinya. Semakin tinggi
taraf signifikansi yang tetapkan maka akan semakin tinggi pula derjat kepercayaan terhadap hasil
suatu penelitian.Hal ini dimaklumi karena taraf signifikansi berhubungan dengan ambang batas
kesalahan suatu pengujian hipotesis itu sendiri.
Merumuskan Kesimpulan
Langkah paling akhir dalam berpikir ilmiah pada sebuah metode ilmiah adalah kegiatan perumusan
kesimpulan. Rumusan simpulan harus bersesuaian dengan masalah yang telah diajukan sebelumnya.
Kesimpulan atau simpulan ditulis dalam bentuk kalimat deklaratif secara singkat tetapi jelas. Harus
dihindarkan untuk menulis data-data yang tidak relevan dengan masalah yang diajukan, walaupun
dianggap cukup penting. Ini perlu ditekankan karena banyak peneliti terkecoh dengan temuan yang
dianggapnya penting, walaupun pada hakikatnya tidak relevan dengan rumusan masalah yang
diajukannya.
ejarah Awal Perkembangan Manajemen Sebagai Disiplin Ilmu : Disadari atau tidak
manajemen telah hadir dalam kehidupan manusia sejak tumbuhnya kebutuhan untuk
’bekerjasama’ mencapai tujuan. Apapun dasar dari ‘kerjasama’ tersebut, namun sejarah
membuktikan bahwa manajer sudah hadir sejak manusia memutuskan untuk memposisikan
sebagian dari yang lain sebagai ‘bawahan’nya untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.
Rekam jejak sejarah kuno bangsa Roma dan Mesir misalnya, menunjukkan adanya
pengorganisasian dalam pembangunan kuil atau istana yang dilakukan oleh penguasa pada
para budaknya. peninggalan fisik tersebut menggambarkan adanya aktifitas yang teratur dan
bertahap di masa lalu yang saat ini dinamakan manajemen.
Sekalipun praktek manajemen sudah dilakukan sangat lama, namun sebagai kajian ilmiah
yang terus dikembangkan baru dimulai pada abad ke 20 atau pada tahun 1950-an. Pada tahun
1776 Adam Smith menerbitkan suatu doktrik ekonomi klasik yang memperkenalkan ide
pembagian kerja agar menjadi lebih rinci dan berulang. Pada abad-18 itu pula terjadi
Revolusi Industri yang bermula dari Inggris sampai ke Amerika. Revolusi Industri bertujuan
agar dapat menekan ongkos produksi seefisien mungkin dan dengan hasil produksi yang jauh
lebih banyak (mass production) dengan menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin
(advance of machine power), yang ditunjang pula dengan sistem transportasi yang efisien
(efficient transportation). Revolusi Industri serta teori ekonomi klasik Adam Smith telah
memberi dasar pada aplikasi manajemen, kendati dari segi keilmuan belum berkembang.
Teori Manajemen baru tumbuh pada awal abad 19 yang dipelopori oleh Robert Owen dan
Charles Babbage, dan Henry P. Towne dengan munculnya teori manajemen yang membahas
beberapa hal yang kini dikenal sebagai bagian dari manajemen modern Dalam teorinya
Robert Owen menekankan perlunya sumber daya manusia (SDM) dan kesejahteraan pekerja
dalam sebuah organisasi. Menurutnya dengan memperbaiki kondisi pekerja, tidak hanya
memperbaiki kualitas hidup mereka sebagai pekerja tapi dapat meningkatkan 50-100%
produktivitas organisasi (Bartol 1996). Sedangkan Charles Babbage (1792-1871)
menekankan pentingnya efisiensi dalam kegiatan Produksi, khususnya dalam penggunaan
fasilitas dan material produksi. Sementara itu Towne menekankan pada pentingnya
manajemen sebagai ilmu dan pentingnya mengembangkan prinsip-prinsip manajemen.
Pada masa-masa selanjutnya kajian atas manajemen sebagai ilmu mulai berkembang dengan
berbagai teori dan pendekatan. Perkembangan Teori Manajemen sampai saat ini tampak pada
gambar di atas.
Aliran Klasik
Aliran Klasik dicirikan oleh upaya para perintisnya untuk mengidentifikasikan fungsi-fungsi
manajemen yang bersifat universal serta untuk menetapkan prinsip-prinsip dasar manajemen.
Henry Fayol merupakan salah seorang pionirnya di Prancis pada tahun 1900 dan dikenal
meluas setelah tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1949. Fayol
mengidentifikasikan 5 fungsi universal dalam manajemen, yakni : Planning, Organizing,
Commanding, Coordinating, dan Controling.
Tokoh-tokoh lain juga mengidentifikasikan proses manajemen yang nyaris serupa dengan ide
Fayol namun dengan istilah yang berbeda, misalnya Luther Gulick pada tahun 1937 dengan
POSDCORBnya (singkatan dari Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinanting,
Reporting dan Budgeting). Dari berbagai buku manajemen lain, niscaya juga akan kita temui
hal yang serupa.
Selain proses dan fungsi manajemen, tokoh-tokoh aliran klasik juga menghasilkan prinsip-
prinsip manajemen, misalnya Lyndall Urwick pada tahun 1943 dalam bukunya Elements of
Administration mengemukakan ada duapuluh empat (24) prinsip-prinsip administrasi dan
manajemen yang berlaku universal. Beberapa diantaranya adalah prinsip-prinsip : Kesatuan
Perintah, Batas rentang Kendali; Kesatuan Arah, Pembagian Kerja; Pembagian Fungsi;
Pendelegasian wewenang; keseimbangan tanggung-jaawab dan wewenang; dll. Sekalipun
kemudian baik fungsi maupun prinsip-prinsip manajemen ini tidak terbukti berlaku universal,
namun cukup memberikan kerangka teoritik yang bermanfaat dalam mempelajari manajemen
dalam sudut pandang apapun. Yang termasuk dalam kelompok Aliran Klasik ini adalah:
Pendekatan Scientifiec Management yang dipelopori oleh Frederick W. Taylor pada tahun
1911 dalam bukunya yang fenomenal The Principles of Scientifiec management yang
mengemukakan teknik-teknik dalam studi tentang gerak dan waktu; standarisasi; penyusunan
sasaran, dll yang secara dramatis meningkatkan produktifitas dan efisiensi industri kala itu.
Selain Taylor, tokoh lain adalah Frank Gilbreth & Lillian Gilbreth (suami sitri yang meneliti
tentang gerakan tubuh dalam bekerja. Mereka menemukan bahwa agar tercapai efisiensi dan
produktifitas yang tinggi, maka ada gerakan-gerakan tertentu yang perlu dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan saat melakukan pekerjaan tertentu) dan Henry L Gantt (dengan Bagan
Gantt yang samapai saat ini masih digunakan dalam bagan perencanaan dan pengendalian
produksi).
Pendekatan Manajemen Administrasi. Tokoh utamanya adalah Henry Fayol dan Alfred F.
Sloan, Max Weber. yang dari karya mereka diperoleh dasar-dasar penyusunan organisasi
profit dan organisasi non profit (Birokrasi). Henry Fayol berdasarkan pengalamannya
mengelola industri pertambangan di Perancis, mengemukakan 14 Prinsip-prinsip Manajemen
yang sampai saat ini masih dianggap relevan (walau tidak bersifat universal). Prinsip-prinsip
tersebut antara lain adalah :
· Pembagian Kerja
· Wewenang dan Tanggung-jawab
· Disiplin
· Kesatuan Komando
· Kesatuan Arah
· Mengutamakan kepentingan organisasi dibanding kepentingan kelompok/pribadi
· Upah dan gaji berdasarkan prinsip yang adil dan disepakati oleh pekerja dan pemberi kerja,
dlsb.
Birokrasi oleh Max Weber pada akhir tahun 1800an mengemukakan perlunya sebuah
organisasi yang bersifat formal, impersonal dan yang dilandasai aturan main yang jelas; yang
kemudain menjadi dasar organisasi birokrasi. Dasar-dasar ini yang kemukakan sebagai
berikut :
· A Well-defined Hirarchie : Adanya Susunan Hirarchie yang jelas
· Division of work and Specialization ;Adanya Pembagian kerja yang Jelas dan spesialisasi
· Rules and Regulations :Adanya aturan dan hukum yang jelas
· Impersonal-Relationship Hubungan yang impersonal antara pimpinan dengan bawahan
· Competence :Kompetensi merupakan dasar memilih karyawan
· Records : Adanya catatan tentang aktifitas organisasi yang dipelihara
Meski sama-sama dikatagorikan dalam aliran klasik, yang membedakan antara aliran
Admininstrative Management dengan Scientific Management adalah lokusnya : Pendekatan
Administrative Management fokus pada manajemen organisasional secara utuh, sementara
pendekatan Scientifiec management fokusnya pada metoda operasionalisasi organisasi,
utamanya bagian produksi.
Mary Parker Follett memiliki pemikiran yang berbeda dengan orang yang semasanya. Follett
menyatakan bahwa karyawan seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan, bukan
dianggap seperti robot; bahwa karyawan sebagai manusia adalah unsur yang lebih penting
dari pada segala teknik manajemen yang bertumpu pada sektor produksi. Kendati pada
masanya pemikiran Follet tidak digubris, namun dikemudian hari ketika sejarah berputar, ia
dianggap sebagai salah satu pendorong tumbuhnya aliran perilaku.
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Enter your