Anda di halaman 1dari 18

Jaras Somatosensoris dan Patofisiologi Gangguannya

Reseptor
Informasi mengenai lingkungan internal dan eksternal dapat mengaktivasi sistem saraf
pusat melalui bermacam reseptor sensoris. Reseptor sensoris dapat berupa ujung dendrit
yang terspesialisasi dari serat saraf afferen atau berkaitan dengan sel nonneural yang
mengelilinginya membentuk suatu organ perasa. Sentuhan dan tekanan diterima oleh
empat mekanoreseptor.

1. Sel merkel: ujung dendrit yang meluas dan berespon terhadap tekanan yang
diperpanjang dan sentuhan.
2. Korpus Meissner: dendrit yang terkapsulasi pada jaringan ikat dan berespon
terhadap perubahan tekstur dan getaran yang halus.
3. Korpus Ruffini: ujung dendrit yang membesar dengan kapsul yang memanjang.
Berespon terhadap tekanan yang diperpanjang.
4. Korpus pacini: terdiri dari ujung dendrit yang tidak termielinisasi serta terkapsulasi
oleh lapisan konsentris jaringan ikat sehingga mirip belahan bawang. Berespon
terhadap tekanan dalam dan getaran yang cepat.
Beberapa reseptor sensoris bukanlah organ yang terspesialisasi tetapi merupakan ujung
saraf bebas. Sensasi nyeri dan suhu berasal dari dendrit tak termielinisasi neuron
sensoris. 1
Jaras Sensoris (ascenden)
Jarang sensoris merupakan jaras ascending yang menghantarkan impuls dari reseptor
menuju korteks serebri. Pada jalur ascenden terdapat 3 macam neuron. Neuron pertama
yang badan selnya terdapat pada sistem saraf perifer. Akson dari neuron tersebut nantinya
akan masuk ke dalam sistem saraf pusat. Selanjutnya, neuron kedua yang badan selnya
terletak di sistem saraf pusat seperti pada medula spinalis atau batang otak. Aksonnya
akan menuju ke thalamus. Kemudian, neuron yang akan terprojeksi ke korteks serebri
dengan badan sel di thalamus disebut neuron ketiga.

a. Nyeri dan Suhu


Impul sensorik yang diterima dari reseptor nantinya akan dibawa oleh neuron pertama
yang badan selnya terdapat pada ganglion spinal radiks dorsalis. Aksonnya akan masuk
ke dalam medula spinalis untuk kemudian naik sekitar 1-3 tingkat pada segmen medula
spinalis. Akson-akson ini disebut sebagai jaras dorsolateral Lissauer. Kemudian, akson
tersebut akan bersinaps dengan neuron kedua pada kornu posterior substansia abu-abu
(masih di medula spinalis).

Setelah bersinaps, impuls yang melalui akson neuron kedua akan menyilang garis tengah,
untuk kemudian naik ke atas. Akson dari neuron kedua akan menghantarkan impuls
melalui jaras spinotalamikus lateral pada lateral colum substansi putih. Ujung dari akson
kedua berada di nukleus ventral posterolateral thalamus. Di sana, terjadi sinaps dengan
neuron ketiga yang akan membawa impuls ke girus postsetralis korteks serebri (area
sensorik primer) untuk dikenali.

b. Sentuh, Tekanan, Gatal, Geli


Sebagaimana rangsang nyeri dan suhu, setelah diterima reseptor, keempat rangsang ini
akan dibawa oleh akson neuron pertama melalui jaras Lissauer. Bedanya, akson neuron
kedua membawa impuls-impuls ini melewati jaras spinothalamikus anterior (pada nyeri:
jaras spinotalamikus lateral).

c. Proprioseptif, Sentuhan Diskriminatif, dan Getaran


Impuls-impuls sensoris jenis ini akan diterima oleh reseptor dan dibawa oleh neuron
pertama menuju medula spinalis. Sinaps dengan neuron kedua dan persilangan jaras tidak
terjadi di medula spinalis melainkan pada tingkat medula oblongata (pada rangsang nyeri,
suhu, tekanan, gatal, geli: sinaps dan persilangan terjadi di medula spinalis).

Impuls yang berasal dari atas tingkat T6 medula spinalis, jarasnya akan dibawa melalui
fasikulus kuneatus sementara yang di bawahnya akan dibawa oleh fasikulus grasilis.
Kedua fasikulus tersebut terletak pada colum dorsalis substansi putih medula spinalis.

Setelah naik sampai tingkat medula oblongata, terjadi sinaps dengan neuron kedua yang
disebut nukleus kuneatus dan nukleus grasilis. Akson neuron kedua inilah yang akan
menyilang garis tengah untuk kemudian naik sebagai lemniskus medialis. Jaras ini akan
berakhir pada nukleus ventral posterolateral thalamus dan bersinaps dengan neuron
ketiga. Selanjutnya, impuls dibawa
ke gyrus postsentralis korteks
serebri untuk dikenali.

Sensasi dari wajah


a. Nyeri dan Suhu
Sensasi yang berasal dari wajah
akan melewati jalur yang sedikit
berbeda. Badan sel neuron pertama
terletak pada ganglion
semilunar Gasser. Aksonnya akan
memasuki batang otak dan berakhir
pada nukleus traktus spinalis n. V
(terdapat neuron kedua di sana).
Akson pada neuron kedua akan
menyilang garis tengah, kemudian
naik sebagai lemniskus trigerminal.
Jaras ini berakhir pada nukleus
ventral posteromedial thalamus
kontralateral dan bersinaps dengan
neuron ketiga. Selanjutnya impuls
akan dibawa ke gyrus postsentralis
korteks serebri.

b. Sentuh, Tekanan, Gatal, Geli dan Getaran


Jaras yang membawa rangsang jenis ini tidak begitu berbeda dengan jaras untuk nyeri dan
suhu. Yang membedakan adalah akson pertama akan menuju ke nukleus sensoris
prinsipalis n. V untuk bersinaps dengan neuron kedua (pada nyeri dan suhu: nukleus
traktus spinalis n.V). Kemudian, pada saat terjadi persilangan, ternyata tidak semua jaras
ikut menyilang, sehingga sebagian kecil masih bisa menjangkau VPM ipsilateral.

c. Proprioseptif
Impuls sensoris yang diterima oleh reseptor akan dihantarkan oleh neuron pertama yang
badan selnya terdapat pada nukleus mesensefalikus n. V batang otak. (Neuron tidak
memiliki ganglion semilunar). Akson neuron pertama secara langsung akan bersinaps di
nukleus motor n. V yang menginervasi otot pengunyah. Sementara itu, jaras yang
membawa impuls proprioseptif ke korteks serebri masih belum jelas. Akson dari neuron
sensoris di nukleus mesensefalikus kemungkinan bersinaps dengan nukleus sensoris
utama n. V yang berproyeks ke thalamus dan korteks serebri.

Patofisiologi Somestesia
Gejala sensorik dapat diklasifikasikan menjadi 5, yaitu
a. Hilangnya perasaan (anestesia),
Anestesia terjadi apabila terjadi kerusakan yang menyebabkan hilangnya reseptor impuls
protopatik atau terjadinya hambatan atau putusnya penghantaran perifer dan sentral.
Misalnya, pada kasus luka bakar atau infeksi herpes zoster yang menyebabkan hilangnya
ganglion spinale.
b. Perasaan berlebihan jika dirangsang (hiperestesia),
Pada hiperestesia, rangsangan secara wajar dapat menyebabkan somestesia berlebihan
yang berupa perasaan tidak enak dan tidak menyenangkan pada bagian tubuh tersebut.
Kelainan ini terjadi karena terjadi gangguan pada reseptor impuls protopatik atau serabut
saraf perifer atau lintasan spinotalamikus sehingg ambang rangsangnya menurun.
Gangguan dapat bersifat mekanik, toksik, atau vaskular ringan.
c. Perasaan yang timbul spontan tanda adanya perangsangan (parestesia),
Dalam klinik, pasien biasanya mengeluhkan perasaan berupa kesemutan, geringgingen,
singsireumen atau kepocong. Namun, parestesi sebenarnya tidak hanya kesemutan
melainkan juga termasuk perasaan dingin atau panas setempat, kesemutan, rasa berat,
atau rasa dirambati sesuatu.
d. Nyeri
Setiap nyeri memiliki corak tertentu yang dipengaruhi oleh modalitasnya sehingga dapat
berupa nyeri yang bersifat tajam, difus, atau menjemukan. Selain itu, nyeri juga dapat
dinyatakan sebagai kemeng, ngilu, linu, sengal atau pegal. Nyeri yang berasal dari viseral
biasanya bersifat difus, yang berasal dari otot skeletal dinyatakan sebagai pegal, nyeri
osteogenik seringkali disebutkan sebagai kemeng, linu atau ngilu sedangkan yang
bersumber pada saraf perifer bersifat tajam.
e. Gerakan canggung atau simpang siur
Gangguan sensorik ini seringkali dituturkan oleh pasien sebagai gangguan motorik yang
berupa ataksia. Sebenarnya, gangguan tersebut terjadi pada lintasan impuls propioseptif
sehingga nampak rasa gerak, getar dan posisi terganggu.

Gangguan sensorik dapat diklasifikasikan menjadi gangguan sensorik negatif berupa


anestesi dan parestesi serta gangguan sensorik positif berupa nyeri.
a. Gangguan sensorik negatif
Gangguan senorik superfisial atau gangguan eksteroseptif yang negatif merupakan salah
satu manifestasi sindrom neurologis atau disebut juga defisit neurologis. Tergantung
kedudukan lesi, anestesi atau rasa baal memperlihatkan pola yang khas sesuai penataan
anatomik susunan somestesia. Untuk mempermudah pembahasan defisit sensorik, istilah
anestesia dan hipestesia digunakan secara bebas sebagai sinonim defisit neurologis.

 Hemihipestesia
Pada keadaan ini, korteks sensorik primer tidak mendapatkan impuls sensorik dari
belahan tubuh kontralateral. Kelainan ini berkaitan dengan CVD berupa infark seluruh
krus posterior kapsula interna sesisi. Biasanya, sumbatan terjadi pada arteri
lentikulostriata.

 Hipestesia alternans
Hipestesi ini ditandai dengan hipestesi belahan wajah ipsilateral terhadap lesi yang
mengiringi hipestesia pada belahan badan kontralateral lesi. Lesinya biasanya terdapat
pada jaras spinotalamikus dan traktus spinalis nervus trigemini di medula oblongata.

 Hipestesia tetraplegik
Terjadi hipestesia pada seluruh tubuh kecuali kepala dan wajah. Defisit sensorik ini
terjadi akibat lesi transversal pada medula spinalis tingkat servikal. Jika di bawah tingkat
T1, terjadi hipestesia paraplegik.

 Hipestesia selangkangan (saddle hipestesia)


Kerusakan pada kauda ekuina dapat menyebabkan hipestesia pada daerah kulit
selangkangan.

 Hemihipestesia sindrom brown sequard


Hemihipestesia pada belahan tubuh kontralateral terhadap hemilesi di medula spinalis

 Hipestesia radikular
Hipestesi terjadi akibat lesi pada radiks posterior. Daerah yang mengalami hipestetik
ialah dermatoma yang disarafi oleh serabut-serabut radiks posterior yang terkena lesi.

 Hipestesia perifer
Hipestesi pada kawasan saraf perifer yang biasanya mencakup bagian-bagian beberapa
dermatoma.

Defisit sensorik dapat menjadi salah satu gejala suatu sindrom atau manifestasi tunggal
suatu proses patologik. Umumnya, defisit sensorik dapat menggambarkan suatu penyakit
seperti berikut ini.

 Pada sindrom trombosis serebri


Terjadi karena penyumbatan a. Lentikulostriata sesisi pada krus posterior kapsula interna
sehingga melibatkan juga serabut yang mengatur gerak voluntar kontralateral. Jika infark
melibatkan ujung belakang krus posterior, terjadilah hemiplegia dan hemihipestesia
kontralateral terhadap infark.

 Pada sindrom Wallenberg


Penyumbatan terjadi pada a.serebeli posterior sehingga infark pada korpus restiforme
ipsilateral berikut kawasan lintasan spinotalamik dan traktus spinalis nervus trigermini.
Oleh karena itu, hipestesi ditemukan pada wajah ipsilateral dan badan kontralateral
(hemihipestesia alternans).

 Pada siringobulbi
Siringobulbi merupakan lubang sempit yang memanjang dari kawasan lintasan
spinotalamikus dan traktus spinalis n.V ke lokasi traktus solitarius di medula oblongata.
Sindromnya menyerupai sindrom Wallenberg. Bedanya, pada siringobulbi patogenesis
sindrom tersebut berlangsung lambat dalam waktu berbulan-bulan serta berkorelasi
dengan proses degeneratif.

 Pada sindrom tetraplegi atau paraplegia


Sindrom ini terjadi akibat lesi transversal pada servikal atas (C3 atau C4). Keempat
anggota gerak lumpuh dan mulai dari dermatoma C.3/C4 ke bawah naestetik atau
hipestetik. Selain itu, perasaan ingin kencing dan buang air besar serta kekuatan
pengosongan kandung kemih serta rektum hilang. Jika lesi di b awah intumesensia
servikobrakialis, yang muncul adalah paralisis kedua tungkai disertai hipestesia di bawah
tingkat lesi (hipestesi paraplegik).

 Pada sindrom Brown Sequard


Pada sindrom ini, lesi hanya merusak satu sis dari medula spinalis (hemilesi). Belahan
badan kontralateral di bawah lesi akan kebal terhadap rangsangan protopatik sedangkan
bagian ipsilateral terjadi hilangnya perasaan getaran, gerakan, dan sikap anggota tubuh.
Sementara itu, belahan badan yang lumpuh juga terdapat gangguan serebelar karena
putusnya spinoserebelar dorsalis dan ventralis di sisi ipsilateral. Namun, tidak tampak
karena terjadi pula kelumpuhan ipsilateral.

 Pada sindrom radikulopatia


Radikulopati berarti terjadi proses patologis pada radiks posterior dan anterior.
Tergantung proses patologisnya, tarikan, penekanan dan jepitan setempat dapat
menimbulkan nyeri dan kelumpuhan yang dapat diringi parestesia. Misalnya pada jepitan
radiks L5 sampai S2 pada HNP yang menyebabkan iskialgia atau stiatika.

Proses imunologis juga bisa berperan seperti pada kasus sindrom guillain barre yang
menyebabkan demielinisasi. Pada kasus ini, terjadi hipestesia atau parestesia pada bagian
distal anggota gerak yang dikenal sebagai hipestesia atau parestesia akral. Selain itu,
terdapat juga kasus saddle anesthesia apabila terdapat penekanan pada kauda ekuina.

 Pada lesi di pleksus brakialis


Lesi pleksus brakialis atas berasal dari lesi yang mengganggu serabut-serabut saraf spinal
C5 dan C6. Seringkali terjadi karena penarikan leher. Sementara itu, lesi pleksus brakialis
bawah merupakan lesi yang mengganggu saraf spinal C8 dan T1. Seringkali terjadi
karena penarikan lengan yang berlebihan. Pola gangguan somestesianya berupa anestesi
pada kawasan sempit yang membujur dari tepi ulnar jari kelingking, tangan sampai
sepertiga distal lengan bawah.

 Pada sindrom neuritis/neuropatia


Neuritis berarti terjadinya peradangan pada saraf perifer. Biasanya gejala yang muncul
adalah hipestesia/anestesia atau parestesia. Nyeri neuritik bersumber pada bagian saraf
perifer yang terlibat dalam proses patologis pada tempat yang dilewati saraf perifer yang
bersangkutan.

b. gangguan sensorik positif


Gangguan sensorik positif ialah nyeri. Perangsangan yang menghasilkan nyeri bersifat
destruktif terhadap jaringan yang dilengkapi dengan serabut saraf penghantar impuls
nyeri (serabut nyeri). Jaringan itu disebut jaringan peka-nyeri. Jaringan yang tidak
dilengkapi dengan serabut nyeri tidak menghasilkan nyeri jika dirangsang (misal diskus
intervertebral), disebut jaringan tak peka-nyeri.

 Nyeri neuromuskuloskeletal non-neurogenik


Nyeri neuromuskuloskeletal merupakan nyeri yang terjadi pada anggota gerak, di
antaranya adalah artralgia (patologis pada persendian), mialgia (otot), entesialgia (proses
patologik pada tendon, fasia, jaringan miofasial dan periosteum). Umumnya disebabkan
karena proses patologik setempat berupa peradangan bakterial, imunologik, non-infeksi,
atau perdarahan serta keganasan.

Nyeri tekan akan nampak pada penekanan daerah yang dikeluhkan, terutama bagian
miofasial, tuberositas, kapsul persendian, tulang, epikondilus, tempat fraktur tulang, otot
dan berkas saraf.
 Nyeri neuromuskuloskeletal neurogenik
Jenis nyeri ini terjadi akibat iritasi langsung terhadap serabut sensorik perifer. Ciri
khasnya adalah nyeri menjalar sepanjang kawasan distal saraf distal saraf, dan perjalanan
nyeri tersebut berpangkal pada bagian saraf yang mengalami iritasi.

 Nyeri radikular
Nyeri neurogenik yang terjadi akibat iritasi radiks posterior dinamakan nyeri radikular.
Pada medula spinalis C3-C4 dan T3-T12, penataan dermatomanya lapis demi lapis
sehingga menunjukan gambaran yang khas. Sementara itu, pada C5-T2 dan L2-S3,
penataan lamelar dermatoma agak kabur karena saraf spinal tidak langsung menuju
ekstremitas melainkan membentuk fasikulus dan pleksus terlebih dahulu.

Penyebabnya bisa berupa herpes zooster, osteofit, penonjolan tulang karena fraktur,
nukleus pulposus atau serpihannya, tumor. Selain itu, salah satu yang sering adalah nyeri
radikular pada spondilitis tuberkulosa pada T4-T7 (nyeri intercostal) serta nyeri radikular
pada spondilosis yang berkaitan dengan penuaan dan nyeri radikular pada hernia nukleus
pulposus.

Manifestasi klinis pada hernia nukleus pulposus bervariasi antara nyeri radikular serta
parestesi dan nyeri radikular serta hipestesia. Penekanan pada radiks posterior yang masih
utuh dapat menimbulkan nyeri radikular sedangkan jika penekanan sudah menimbulkan
pembengkakan bahkan kerusakan struktural yang lebih berat, dapat terjadi hipestesia atau
anestesia radikular.

Nyeri iritatif di radiks posterior tingkat servikal disebut brakialgia karena nyerinya
dirasakan sepanjang lengan. Sementara itu, nyeri radikular yang dirasakan sepanjang
tungkai dinamakan iskialgia karena nyerinya menjalar sepanjang perjalanan n. Iskiadikus
dan lanjutannya ke perifer.

Daftar Pustaka
1
Barret KE, Barman SM, Boitano S, Brooks HL. Ganong’s Review of Medical
Physiology: Properties of Sensory Receptors. Amerika Serikat: Mc Graw Hill. P. 149-50.
2 Budiman G. Basic Neuroanatomical Pathways: Somatic Nervous System. 2nd ed.
Jakarta: Penerbit FKUI; 2009. p. 4-13
3 Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar: Patofisiologi Somestesia.
Jakarta: Dian Rakyat. P. 81-94,104-105.

Gangguan Somatoform
1. Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani “soma” yang berarti
tubuh.1
2. Gangguan somatoform didefinisikan sebagai kelompok kelainan dimana2 :
a. Gejala fisik yang mengarahkan kepada dugaan gangguan medis namun
tidak dapat dibuktikannya patologi atau bukti-bukti yang mendukung
penyakit fisik sebagai penyebab gejala
b. Adanya dugaan kuat bahwa gejala- gejala tersebut berkaitan dengan
faktor psikologis
3. Gangguan ini mencakup interaksi antara tubuh dengan pikiran (body-
mind interaction).
4. Gangguan-gangguan yang termasuk di dalam kategori “gangguan
somatoform” memiliki beberapa ciri umum yang sama2 :
a. Manifestasi stres psikologik menjadi gejala somatik
b. Perilaku sakit yang abnormal (abnormal illness behavior) yaitu
disebabkan adanya ketidaksesuaian antara pengertian yang ditangkap
pasien tentang kondisi sakitnya (perceived illness) dengan penyakit
yang dialaminya (documented disease)
c. Adanya amplifikasi, yaitu dimana sensasi dari gejala fisik
mengakibatkan rasa cemas (anxiety), kemudian rasa cemas dan
aktivasi autonomik yang diasosiasikan dengan rasa cemas tersebut
mengakibatkan eksaserbasi gejala fisik.
d. Penderitaan (distress) yang bermakna dan seringnya angka kunjungan
untuk pelayanan medis

I. Klasifikasi Gangguan Somatoform


Terdapat beberapa versi penggolongan gangguan somatoform.4
1. Menurut ICD-10/PPDGJ-III
a. Gangguan somatisasi (F.45.0)
b. Gangguan somatoform tidak terinci (F.45.1)
c. Gangguan hipokondrik (F 45.2)
d. Disfungsi otonomik somatoform (F 45.3)
e. Gangguan nyeri somatoform menetap (F 45.4)
f. Gangguan somatoform lainnya (F. 45.8)

II. Gangguan Somatisasi


1. Gangguan somatisasi merepresentasikan bentuk ekstrim dari gangguan
somatoform dimana gejala multipel yang melibatkan berbagai sistem
organ tidak dapat dijelaskan secara medis. 2
Beberapa bentuk kronis dari proses somatisasi tidak dapat memenuhi
kriteria gangguan somatisasi, sehingga dimasukkan dalam kategori
gangguan somatoform tidak terinci (lihat bab selanjutnya).
2. Prevalensi gangguan somatisasi adalah sebagai berikut :
a. Prevalensi sepanjang hidup 0,2-2% pada wanita dan 0,2% pada pria.
Rasio wanita : pria adalah 5:1. Onset biasanya dimulai saat remaja
b. Adanya asosiasi antara sexual abuse dengan gangguan somatisasi. Pada
pasien-pasien semacam ini gejala umumnya berupa nyeri pelvik kronik
dan gangguan gastrointestinal fungsional
3. Etiologi gangguan somatisasi adalah sebagai berikut :
a. Faktor Psikososial
Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial
gejala gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang
bertujuan untuk menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau
menyimpulkan perasaan. Pengajaran orang tua, contoh orang tua, dan
budaya dapat mengakibatkan pasien terbiasa menggunakan
somatisasi.1
b. Faktor Biologis
Transmisi genetik yang berperan dalam gangguan somatisasi terjadi
pada 10-20% wanita turunan pertama sedangkan saudara laki-lakinya
cenderung menjadi penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian
antisosial. Pada kembar monozigot transmisi terjadi 29% sedangkan
dizigot 10%.1
4. Presentasi Klinis
Pasien yang memiliki gangguan somatisasi datang dengan keluhan
somatik yang banyak serta riwayat yang rumit. Bahkan terkadang pasien
sudah melakukan pemeriksaan dengan alat-alat canggih. Gejala umum
yang dikeluhkan adalah mual, muntah, sulit menelan, sakit pada lengan
dan tungkai, nafas pendek, amnesia, komplikasi kehamilan dan
menstruasi. Pasien beranggapan ia sakit sepanjang hidupnya. Sering
terdapat gejala neurologik seperti gangguan keseimbangan, merasa ada
gumpalan di tenggorokan, afonia, retensi urin, hilang modalitas sensorik
raba dan nyeri, buta, bangkitan, hilang kesadaran bukan karena pingsan. 1
Pasien merasa menderita dan sering mengalami depresi serta kecemasan.
Ancaman bunuh diri sering dilaporkan namun angka bunuh diri aktual
sangat jarang. Pasien gangguan somatisasi biasanya tampak mandiri,
terpusat pada diri, haus penghargaan, serta manipulatif.
5. Menurut DSM-IV-TR, gangguan somatisasi memiliki kriteria diagnosis
sebagai berikut1,2,3,4:
a. Riwayat gejala fisik yang banyak (atau suatu keyakinan bahwa dirinya
sakit) yang mulai sebelum usia 30 tahun, berlangsung selama beberapa
tahun, dan mengakibatkan perilaku mencari pertolongan medis
(”medical seeking behavior”) atau hendaya yang bermakna.
b. Kombinasi dari gejala-gejala yang tidak terjelaskan, yang terjadi
kapanpun selama perjalanan dari gangguan, yang semuanya harus
dipenuhi. Gejala-gejala yang dimaksud antara lain:
i. 4 gejala nyeri (melibatkan minimal 4 lokasi atau fungsi yang
berbeda meliputi kepala dan leher, abdomen, punggung, sendi,
ekstremitas, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan
seksual, dan saat berkemih)
ii. 2 gejala gastrointestinal selain nyeri (meliputi mual, kembung,
muntah, diare, dan intoleransi makanan)
iii. Satu gejala seksual (kehilangan keinginan seksual, disfungsi
seksual, mens ireguler, perdarahan mens yang berlebihan,
muntah-muntah selama hamil)
iv. Satu gejala pseudoneurologik yang bukan nyeri (meliputi
gangguan keseimbangan, kelemahan, kesulitan menelan, afonia,
retensi urin, halusinasi, pandangan ganda, kebutaan, ketulian,
kejang, disosiasi, dan kehilangan kesadaran)
c. Gejala-gejala tersebut bukanlah akibat gangguan kondisi medis,
ataupun kalau terdapat gangguan kondisi medis, gejala dan efeknya
pada pasien melebihi dari apa yang biasanya dapat disebabkan
gangguan kondisi medis tersebut.
d. Gejala-gejala tersebut bukanlah sesuatu yang dibuat-buat secara
sengaja atau berpura-pura
6. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosis
biasanya ditegakkan sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah
dimulai saat remaja. Masalah menstruasi merupakan gejala paling dini
yang muncul pada wanita. Keluhan seksual sering berkaitan dengan
perselisihan dalam perkawinan. Periode keluhan yang ringan 6-9 bulan,
sedangkan yang berat 9-12 bulan. Biasanya pasien sudah memulai
mencari pertolongan medis sebelum 1 tahun.
7. Tatalaksana
a. Pendekatan untuk tatalaksana gangguan somatisasi harus bersifat
realistis dan berfokus pada care dan bukan cure.
b. Beberapa poin klinis yang bermanfaat, berdasarkan asumsi bahwa
adanya kebutuhan psikologis yang merupakan penyebab mendasar dari
gangguan somatisasi:
i. Pasien tidak selalu mencari kesembuhan tetapi mungkin
menginginkan adanya relasi dengan praktisi
ii. Pasien ingin dokter mengakui bahwa dirinya sakit
iii. Berikan reassurance (dukungan) secara lambat dan berhati-hati.
Pasien seringkali tidak suka dan menolak (resisten) dengan
pernyataan-pernyataan bahwa dirinya tidak sakit, bahwa
gejalanya bersumber dari emosi/psikis.
iv. Hindari dikotomi tubuh-pikiran dalam menginterpretasikan
gejala
v. Tunjukkan kepedulian pada distress pasien dan tunjukkan
keinginan untuk menolong
vi. Hindari penjelasan prematur mengenai hubungan antara gejala
fisik dan fenomena psikologis. Lakukan penjelasan secara
bertahap yang membuat pasien mengerti dan menganggapnya
serius. Hindari saran-saran yang menyatakan bahwa segala
masalah terletak dalam “kepala” pasien
vii. Targetkan optimalisasi fungsi

 Usahakan untuk mengerti sumber stres dan sarana coping,


serta tetapkan target untuk perilaku adaptasi yang lebih
baik

 Tanamkan agar pola perilaku dan komunikasi pasien


jangan seperti orang sakit terus menerus. Kapan saja bila
memungkinkan, bicarakan hal-hal lain dan diskusikanlah
selain daripada gejala fisik

 Ajarkan bahwa adanya relasi erat antara tubuh, otak, dan


pikiran dengan menggunakan contoh-contoh sederhana
yang bisa diterima pasien (muka memerah bila merasa
malu, mulut kering bila berbicara di depan umum, sesak
dan jantung berdegup cepat bila cemas, sakit kepala bila
tegang)
c. Buat jadwal pertemuan terencana, misalnya 1 bulan sekali
d. Batasi penggunaan alat diagnostik dan obat-obatan. Beberapa
pemeriksaan fisik yang terfokus dan pemeriksaan lab yang kadang-
kadang saja sifatnya. Tanda (sign) harus lebih diandalkan daripada
gejala (symptoms)
e. Terapi kelompok dan terapi kognitif-perilaku dapat bermanfaat
f. Belum terdapat psikofarmaka yang efektif untuk mengatasi gejala
gangguan somatisasi, dan hanya dianjurkam bila terbukti ada komorbid
gangguan psikiatris lainnya.
8. Prognosis
Gangguan somatisasi cenderung bersifat kronis dan berfluktuasi. Remisi
total jarang tercapai. Dengan tatalaksana yang tepat maka distress dapat
dikurangi namun tidak dapat sama sekali dihilangkan.
III. Gangguan Somatoform Tidak Terinci
Pasien yang memiliki riwayat gangguan somatisasi dan pada kunjungan tidak
memenuhi kriteria lengkap (jumlah dan lokasi spesifik) dari gangguan
somatisasi dimasukkan sebagai gangguan somatoform tidak terinci
(undifferentiated somatoform disorder), yang cirinya adalah4 :
a. Satu atau lebih gejala fisik selain nyeri (lelah, hilang nafsu makan, gejala
gastrointestinal atau berkemih)
b. Gejala bukan akibat kondisi medis umum, yang kalaupun ada, tidak
diperkirakan memiliki dampak yang sedemikian berlebihan pada pasien
c. Gejala bukan dibuat-buat dan disengaja
d. Durasi 6 bulan atau lebih
e. Bukan diakibatkan gangguan mental lain seperti depresi

IV. Gangguan Konversi


1. Gangguan konversi didefinisikan sebagai kehilangan fungsi tubuh yang
tidak sesuai dengan konsep anatomi dan fisiologi dari sistem saraf pusat
dan tepi. DSM-IV membatasi gangguan konversi hanya pada gejala
neurologik.
2. Epidemiologi
Data statistik yang dimiliki saat ini terbatas, dan angka prevalensi
diperkirakan 1-3% dari jumlah kunjungan rawat jalan. Angka berbeda
untuk setiap jenis populasi. 5-15% kasus gangguan konversi pada pasien
yang memerlukan konsultasi di sebuah rumah sakit umum dilaporkan oleh
beberapa peneliti. Di Amerika Serikat, terdapat rumah sakit veteran
dimana 25-30% pasiennya mengalami gangguan konversi. Gangguan
konversi jauh lebih umum pada wanita, populasi pedesaan, penduduk
negara berkembang, orang-orang status sosioekonomi rendah, anggota
militer yang pernah terpapar medan perang, dan pengetahuan medis yang
rendah.
3. Etiologi
a. Faktor Psikoanalitik
Sesuai nama gangguan ini yaitu “konversi”, menurut teori psikoanalitik
pasien-pasien tersebut memiliki konflik alam bawah sadar yang tidak
terselesaikan. Konflik terjadi ketika muncul hasrat tetapi oleh alam
bawah sadar dikenali sebagai sesuatu yang terlarang. Konflik ini
menimbulkan suatu kecemasan yang kemudian demi mengurangi rasa
cemas itu maka dikonversikan menjadi gejala fisik yang sebetulnya
adalah ekspresi samar dari hasrat terlarang tersebut. Misalnya pasien
gangguan konversi dengan gejala vaginismus mengeluarkan gejala
tersebut untuk melindungi pasien dari konflik akibat hasrat seksual
yang terlarang. Jadi dapat disimpulkan pada gangguan somatoform
gejala-gejalanya bersifat simbolik.
b. Faktor Pembelajaran
Ada teori yang menyebutkan gejala konversi dapat dilihat sebagai
perilaku yang dapat dipelajari secara classic conditioning.
c. Faktor Biologis
Terjadi hipometabolisme pada area hemisfer serebri yang dominan dan
hipermetabolisme pada area yang non-dominan
4. Gejala Klinis
Dapat terjadi berbagai macam gejala neurologis pada gangguan konversi.
Presentasi klinis yang dianggap paling umum adalah psychogenic non-
epileptic seizure (pseudoseizure). Gejala pseudoneurologik berupa
kelemahan ekstremitas lebih jarang. Gejala konversi yang ringan kadang-
kadang terjadi, misalnya nyeri dada pada saat kehilangan orang yang
dicintai.
5. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis menurut DSM-IV adalah1,2,3,4 :
a. Satu atau lebih gejala atau defisit motorik volunter atau sensorik yang
diperkirakan sebagai suatu kondisi neurologis atau kondisi medik
umum lainnya
b. Faktor psikologis dinilai berkaitan dengan gejala dan defisit karena
permulaan atau eksaserbasi gejala dan defisit didahului stressor
psikologis
c. Gejala atau defisit tidak dengan sengaja dibuat atau berpura-pura
d. Gejala atau defisit setelah cukup penelusuran tidak dapat dijelaskan
secara penuh sebagai kondisi medik umum atau sebagai akibat
langsung dari zat, atau secara kultural sebagai perilaku atau
pengalaman penebusan.
e. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan atau hendaya yang
bermakna secara klinis di bidang sosial, pekerjaan atau fungsi lain atau
menuntut evaluasi medis
f. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual,
tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan somatisasi, dan
bukan karena gangguan mental lainnya.
6. Perjalanan Penyakit
Hampir semua gejala awal (90-100%) dari pasien dengan gangguan
konversi membaik dalam waktu beberapa hari sampai kurang dari
sebulan. Sebanyak 75% pasien tidak pernah mengalami gangguan ini lagi,
namun 25% mengalami episode tambahan saat stresor psikis muncul
kembali. 1,2
7. Tatalaksana
Sebelum memulai tatalaksana kita perlu kembali pada pemahaman teori
gangguan konversi bahwa gejala merupakan suatu bentuk perlindungan
pasien terhadap kecemasan akibat konflik intrapsikik. Menghilangkan
mekanisme defense ini (misal melalui hypnosis) akan membuat pasien
merasa rentan dan tak berdaya, sehingga penanganan haruslah
memperhatikan stresor psikologis yang mendasari munculnya gejala
konversi.2
a. Terapi non farmakologis
Sugesti yang kuat serta pendidikan yang empatik sangat penting. Mirip
dengan gangguan somatisasi pasien perlu diajarkan hubungan erat
antara pikiran, otak, dan tubuh. Dokter perlu berbicara secara apa
adanya tentang definsi dan pemahaman medis terkini mengenai
gangguan konversi serta berbicara dengan yakin bahwa gejala ini akan
sembuh dengan cepat
b. Wawancara pasien dibawah pengaruh amobarbital atau hypnosis2
Ketika sugesti dan edukasi tidak berhasil dilakukan, maka teknik
amobarbital dan hypnosis dapat dicoba. Penggunaan teknik ini
membutuhkan pelatihan dan pengalaman, dapat membantu praktisi
untuk memasuki wilayah konflik intrapsikis yang sebelumnya ditutup
oleh pasien. Selama masa “altered-state” pasien dapat mengalami
penurunan gejala karena efek relaksasi. Amobarbital sendiri perlu
diingat adalah obat anti kejang sehingga ia dapat mengurangi gejala
kejang akibat real-seizure.
i. Indikasi terapi ini :

 Pemulihan fungsi pseudoneurologik

 Membedakan gangguan konversi dengan malingering

 Abreaksi gangguan strest pasca trauma

 Pemulihan memory akibat fugue psikogenik dan amnesia


ii. Kontraindikasi terapi ini

 Kontraindikasi absolut berupa riwayat alergi dan porfiria

 Infeksi atau sumbatan saluran pernapasan

 Gangguan fungsi jantung, liver dan renal yang berat

 Kecanduan barbiturate

 Hipotensi atau hipertensi yang significant

 Minimal 12 jam sesudah minum alkohol terakhir bila ada


kecurigaan keracunan alkohol

 Pasien paranoid

 Pasien menolak prosedur


iii. Risiko dari terapi ini
 Risiko utama adalah gangguan pernapasan yang dapat
mengarah kepada apneu, khususnya jika pemberian terlalu
cepat (>50mg/min) atau dosis terlalu besar (>500 mg)

 Kolaps vasomotor dan laryngospasma, lebih jarang


ditemukan

 Regresi psikotik
c. Psikoterapi Psikodinamik
Dapat membantu pasien memahami konflik intrapsikis dan simbolisasi
8. Prognosis
Faktor-faktor yang membuat prognosis lebih baik antara lain onset yang
akut, stresor yang teridentifikasi, durasi gejala singkat, level kecerdasan
pasien, gejala kelumpuhan, gejala kebutaan. Pasien dengan gejala kejang
atau tremor biasanya memiliki prognosis lebih buruk. 1
V. Hipokondriasis
1. Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi
dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius dan
tidak mau menerima penjelasan medis yang menunjukkan bahwa dirinya
tidak menderita sakit.1,2
2. Epidemiologi
Prevalensi hipokondriasis pada rawat jalan adalah 4-9%
3. Etiologi
Hipokondriasis disebabkan pasien memiliki skema kognitif yang salah.
Pasien menginterpretasikan sensasi fisik yang mereka rasakan secara
berlebihan. Menurut teori psikodinamik hipokondriasis terjadi karena
permusuhan dan agresi dipindahkan ke dalam bentuk somatik melalui
mekanisme repression dan displacement. Kemarahan yang dimaksud
berasal dari kejadian penolakan dan ketidakpuasan di masa lalu. Selain
kemarahan, dapat juga penyebabnya adlaah rasa bersalah dan gejala
timbul karena pasien ingin menebus kesalahannya melalui penderitaan
somatik.
4. Gambaran Klinik
Pasien terus merasa dirinya menderita penyakit serius yang belum bisa
dideteksi walaupun hasil laboratorium sudah menyatakan negatif dan
dokter sudah meyakinkan bahwa pasien tidak mengidap sakityang serius.
5. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan DSM-IV, kriteria diagnosis hipokondriasis adalah
sebagai berikut1,2,3,4 :
a. Preokupasi dengan ketakutan atau ide bahwa seseorang mempunyai
penyakit serius berdasarkan interpretasi yang salah terhadap gejala-
gejala tubuh
b. Preokupasi menetap meskipun telah dilakukan evaluasi medik dan
penentraman
c. Keyakinan pada kriteria A tidak mempunyai intensitas seperti waham
d. Preokupasi menimbulkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
hendaya dlaam bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya
e. Lamanya gangguan sekurangnya 6 bulan
f. Preokupasi bukan disebabkan gangguan cemas menyeluruh, gangguan
obsesif kompulsif, gangguan panik
6. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit hipokondriasis biasanya episodik, yang durasinya
setiap episode berkisar antara bulan-tahun. Dapat terjadi periode tenang di
antara episode-episode.
7. Tatalaksana
a. Kesabaran dan reassurance adalah kunci sebab pasien hipokondriasis
sering menggunakan sumber daya medis dan menguras waktu dokter
b. Psikoterapi
i. Psikoterapi psikoanalitik umumnya tidak bermanfaat
ii. Terapi Suportif bermanfaat bila didukung hal-hal berikut :

 Ada informasi akurat mengenai gejala

 Edukasi mengenai mispersepsi dan misinterpretasi gejala


dan sensasi somatik

 Kunjungan dan pemeriksaan fisik secara berkala

 Reassurance

 Penggunaan anxiolytic singkat selama periode stress tinggi


iii. Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) merupakan bentuk psikoterapi
pilihan
c. Farmakoterapi
`Obat golongan SSRI bermanfaat pada pasien dengan hipokondriasis
terisolasi (tanpa ko-morbid psikiatris seperti gangguan cemas atau
panik). Fluoxetine atau paroxetine dengan dosis max 60 mg/h dan
dapat juga sertraline dosis minimal 150 mg/h.
8. Prognosis
Hipokondriasis cenderung menjadi kronis dengan periode remisi dan
eksaserbasi yang dipicu stres. Prognosis yang baik berkaitan dengan status
sosial ekonomi yang tinggi, pengobatan terhadap cemas dan depresi yang
responsif, onset gejala mendadak, tidak ada gangguan kepribadian, dan
tidak ada gangguan medis non-psikiatrik yang terkait. Bila yang
menderita hipokondriasis adalah anak-anak maka akan membaik saat
remaja atau dewasa awal.1
VI. Gangguan Nyeri
1. Menurut DSM-IV gangguan nyeri adalah nyeri yang merupakan keluhan
utama dan menjadi fokus perhatian klinis. Faktor psikologislah yang
berperan dalam pengalaman nyeri pasien dan perilaku mencari
pertolongan medis.1
2. Epidemiologi
Sekitar 7 juta orang di Amerika mengeluhkan hendaya akibat nyeri
pinggang bawah. Gejala nyeri sendiri merupakan gejala paling umum
yang akan dijumpai dalam praktek kedokteran. Waspadai keluhan nyeri
akibat ketergantungan opioid dan benzodiazepine iatrogenik. Nyeri
kronik biasanya dikaitkan dengan gejala depresi berat (25-50%), atau
dystimia (60-100%) .
3. Etiologi
a. Faktor Psikodinamik
i. Bentuk ekspresi konflik intrapsikis secara simbolik melalui
tubuh.
ii. Pasien dengan aleksitimia tidak mampu perasaannya secara
verbal sehingga menggunakan tubuh untuk mengekspresikan diri
iii. Beberapa orang menganggap luka emosional sebagai kelemahan
sehingga memindahkan (displacing) masalah pada tubuh
iv. Bisa juga sebagai bentuk penebusan terhadap rasa berdosa atau
bersalah
v. Cara untuk mencari cinta
b. Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat ketika pasien dihargai atau dicemaskan dan
dihambat ketika pasien diabaikan
c. Faktor interpersonal
Nyeri yang sulit diobati dapat menjadi sarana untuk memanipulasi
hubungan interpersonal, misalnya memastikan kesetiaan pasangan
untuk mempertahankan perkawinan yang rapuh
d. Faktor Biologis
Defisiensi endorfin dapat menjadi penyebab. Demikian juga pada
pasien dengan kelainan struktur limbik dan sensorik, abnormalitas
tersebut dapat menjadi faktor predisposisi.
4. Gambaran klinis
Pasien dengan gangguan nyeri akan datang dengan keluhan utama nyeri di
berbagai lokasi biasanya nyeri pinggang bawah, nyeri kepala, nyeri fasial
atipikial. Pasien umumnya punya riwayat panjang perawatan medis dan
pembedahan. Banyak yang mengunjungi beberapa dokter, meminta obat
dalam jumlah besar, bahkan mendesak pembedahan.
5. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan DSM-IV1,2,3,4
a. Nyeri pada satu tempat atau lebih yang menjadi fokus utama dan cukup
berat untuk menjadi perhatian klinis
b. Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau hendaya dalam
bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya
c. Faktor psikologis berperan penting dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi, atau bertahannya nyeri
d. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau berpura-pura
e. Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan mood, cemas,
atau psikotik, dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.
Beri kode sebagai berikut :
- Gangguan nyeri berasosisasi dengan faktor psikologis : dimana faktor
psikologis dinilai mempunya peranan dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi, atau bertahannya nyeri. Bilamana ada gangguan medis
umum hal tersebut dinilai tidak berperan dalam gejala nyeri yang
ditimbulkan
- Gangguan nyeri berasosiasi baik dengan faktor psikologis maupun
kondisi medik umum. Gangguan medis umum yang dimaksud perlu
dicantumkan pada Axis III pada bagan diagnosis multiaksial
Selanjutnya juga perlu digolongkan apakah berdasarkan perjalanannya
gangguan nyeri ini bersifat akut atau kronik, dengan kriteria akut < 6
bulan dan kronik 6 bulan atau lebih.
6. Perjalanan Klinis
Nyeri muncul secara tiba-tiba dan derajat keparahan meningkat dalam
beberapa minggu atau bulan
7. Tatalaksana
a. Kenali dan tangani semua gangguan medis umum yang mungkin
berkontribusi terhadap gejala nyeri
b. Seperti pada gangguan somatisasi dan hipokondriasis, target
tatalaksana bukanlah kesembuhan melainkan perawatan, sebab tidak
mungkin menghilangkan nyeri
c. Terapis perlu mendiskusikan sejak awal bahwa sumber nyeri pasien
adalah psikogenik, menjelaskan berbagai sirkuit dalam otak yang
terlibat dengan emosi seperti sistem limbik akan mempengaruhi
sensorik. Namun terapis harus memahami bahwa nyeri yang dialami
pasien sebagai sesuatu yang nyata
d. Klinik nyeri (pain clinic) dengan pendekatan multidisipliner sering
bermanfaat, sekaligus menunjukkan pada pasien bahwa penderitaan
mereka ditangani secara serius
e. Terapi perilaku yang membimbing pasien untuk menerima rasa nyeri
dan mengoptimalisasi fungsi mereka walaupun tetap ada rasa nyeri
f. Farmakoterapi yang dapat menolong adalah golongan antidepresan
trisiklik dan SSRI. Golongan analgetik, sedatif, dan anticemas tidak
bermanfaat bahkan dapat menimbulkan ketergantungan dan
memperparah gejala.
8. Prognosis
Prognosis umumnya kronik dan pada akhirnya menimbulkan penderitaan
dan ketidakberdayaan.

Anda mungkin juga menyukai