Anda di halaman 1dari 25

Responsi Umum

SEORANG PASIEN DENGAN MALARIA VIVAX

Oleh:
Asdiana Nur
Patris Lombogia

Masa KKM : 31 Oktober 2016 – 8 Januari 2017

Residen Pembimbing
dr. Prima Pratama

Supervisor Pembimbing
dr. Agung Nugroho, Sp.PD-KPTI

BAGIAN/ SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP PROF DR. R. D. KANDOU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2016

1
Lembar Pengesahan

Responsi Umum dengan Judul

SEORANG PASIEN DENGAN MALARIA VIVAX

Telah dikoreksi, dibacakan, dan disetujui pada tanggal Januari 2017

Mengetahui,

Residen Pembimbing,

dr. Prima Pratama

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing,

dr. Agung Nugroho, Sp.PD-KPTI

2
BAB I

PENDAHULUAN

Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dan
telah menjadi masalah kesehatan dunia, khususnya di negara tropik, termasuk
Indonesia.1 World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2015,
total 106 negara di dunia berisiko terhadap transmisi dari infeksi malaria. Pada
tahun 2015, malaria menyebabkan 212 juta kasus dan 429.000 kematian setiap
tahun dengan 90% dilaporkan terjadi di Afrika, diikuti dengan Asia Tenggara
sebesar 7% dan Mediterania Timur sebesar 2% dengan total kematian masing-
masing daerah sebesar 92%, 6%, dan 2%.1

Insiden malaria penduduk Indonesia tahun 2007 adalah 2,9 persen dan
tahun 2013 adalah 1,9 persen. Prevalensi malaria di Indonesia pada tahun 2013
adalah sebesar 6,0 persen. Lima provinsi dengan insiden dan prevalensi tertinggi
adalah Papua, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku.2

Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium yang ditularkan melalui


gigitan nyamuk anopheles betina. Dikenal lima macam spesies, yaitu Plasmodium
falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, dan
Plasmodium knowlesi.3

Malaria vivax atau yang dikenal juga dengan malaria tersiana merupakan
salah satu jenis malaria yang disebabkan oleh Plasmodium vivax. Sekitar 2,6 juta
manusia berisiko menderita malaria vivax dan antara 70 hingga 391 manusia
terinfeksi setiap tahun.4 Pada beberapa tahun terakhir, malaria vivax yang
sebelumnya tidak menjadi perhatian, sekarang telah menjadi agenda kesehatan
global dengan dua alasan kunci. Pertama, dibandingkan dengan Plasmodium
falciparum, yang juga menyebabkan malaria, plasmodium vivax lebih sulit untuk
dieliminasi karena memiliki range geografi yang lebih luas dan tidak seperti
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax memiliki stadium dorman. Kedua,
malaria vivax menjadi kasus yang ditemukan kembali di daerah yang sebelumnya

3
terbebas malaria termasuk Yunani, Corsica, dan Australia. Terlebih lagi,
peningkatan insiden mengindikasikan infeksi Plasmodium vivax dapat menjadi
parah dan fatal.5

Golongan artemisinin telah dipilih sebagai obat utama malaria karena


efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan pengobatan. Selain itu,
artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk
gametosit, juga efektif terhadap semua spesies, termasuk Plasmodium vivax.
Penggunaan artemisinin secara monoterapi mudah mengakibatkan terjadinya
rekrudensi sehingga penggunaan artemisinin dikombinasikan dengan obat anti
malaria yang lain dan disebut Artemisinin based Combination Therapy (ACT).6

Menurut WHO dalam Global Report on Anti Malarial Drug Efficacy and
Drug Resistance 2000-2010, klorokuin masih merupakan pilihan terapi pada
daerah yang masih sensitive terhadap penggunaan klorokuin.7 Pada panduan
terapi WHO 2010, anti malaria yang direkomendasikan untuk malaria vivax tanpa
komplikasi adalah klorokuin atau ACT pada daerah yang telah diketahui resisten
terhadap klorokuin.8 Pada tahun 2004, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
tidak lagi merekomendasikan penggunaan klorokuin sebagai terapi lini pertama
dan menggantikannya dengan ACT.9,10

Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan melalui


program pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain meliputi diagnosis
dini, pengobatan cepat dan tepat, serta surveilans dan pengendalian vektor dalam
hal pendidikan masyarakat dan pengertian tentang kesehatan lingkungan, yang
kesemuanya ditujukan untuk memutus mata rantai penularan malaria. Upaya-
upaya tersebut diharapkan akan mendukung tercapainya tujuan program global
WHO untuk malaria yang dikenal dengan program Global Technical Strategy for
Malaria 2016-2030 yang menargetkan pada tahun 2030 akan terjadi pengurangan
angka insiden dan mortalitas secara global sebesar ± 90% dibandingkan dengan
level pada tahun 2015 dan mencegah kasus malaria terjadi kembali pada area yang
telah terbebas dari malaria.1

4
Berikut dilaporkan kasus malaria vivax pada seorang laki-laki usia 20
tahun yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Prof Dr. R. D. Kandou
Manado.

5
BAB II
LAPORAN KASUS

Seorang pria, Tn. KH, umur 20 tahun, agama Kristen Protestan, suku
Papua, status belum kawin, pekerjaan mahasiswa, alamat kelurahan kleak asrama
Timika, datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Prof. R. D. Kandou pada tanggal 5
Januari 2017 dengan keluhan panas. Panas tinggi dirasakan sejak kurang lebih 4
hari sebelum masuk rumah sakit. Panas tidak terus menerus sepanjang hari.
Penderita mengaku sebelum panas, penderita menggigil, kemudian panas tinggi,
dan setelah panas turun, penderita berkeringat. Panas diakui penderita tidak setiap
hari dirasakan. Panas hanya dirasakan setiap dua hari. Penderita juga mengeluh
badan terasa lemah dan lesu. Mata terasa perih disertai adanya nyeri sendi dan
nyeri tulang. Kadang-kadang penderita juga merasa mual disertai nyeri ulu hati,
namun tidak muntah. Selama sakit, penderita mengaku nafsu makan berkurang.
Tidak ada keluhan terkait buang air kecil dan buang air besar.
Riwayat bepergian ke Timika ± 2 minggu yang lalu dan baru kembali ± 4
hari yang lalu. Riwayat penyakit dahulu penderita pernah menderita sakit seperti
ini sebelumnya. Penderita pernah dirawat dengan diagnosa malaria tersiana.
Penyakit darah tinggi, ginjal, diabetes melitus disangkal. Ayah penderita juga
pernah dirawat dengan diagnosa malaria tropika. Selain itu, tidak ada penyakit
lain yang dialami keluarga.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 120 x/m, respirasi
22 x/m, suhu badan 39 oC. Pada pemeriksaan kepala tidak ditemukan conjungtiva
anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor, reflex cahaya positif. Pada
pemeriksaan telinga, liang telinga didapatkan lapang, membran timpani intak,
cairan tidak ada. Pada pemeriksaan hidung, deviasi septum dan sekret tidak ada.
Pada pemeriksaan mulut didapatkan bibir tidak sianosis, gigi goyang tidak ada,
lidah beslag tidak ada, mukosa basah, pembesaran tonsil tidak ada, faring tidak
hiperemis. Pada pemeriksaan leher tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar
getah bening, trakea letak tengah, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, JVP 5 + 0
cm. Pada pemeriksaan dada terlihat simetris, gerakan dinding dada kiri sama

6
dengan kanan, pada palpasi stem fremitus kiri sama dengan kanan, perkusi sonor
pada kedua paru, suara pernapasan vesikuler pada kedua paru, tidak ditemukan
suara napas tambahan pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan jantung,
didapatkan iktus kordis tidak tampak, tidak teraba, batas jantung kanan di ruang
antar iga ke IV dari garis sternal kanan, batas jantung kiri 1 cm lateral di ruang
antar iga V midklavicula kiri. Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar
bising. Pada pemeriksaan abdomen, inspeksi didapatkan datar, pada palpasi
didapatkan lemas, hepar dan lien tidak teraba, terdapat nyeri tekan epigastrium.
Pada perkusi didapatkan timpani, nyeri ketok angulus costovertebrae tidak ada.
Pada auskultasi bising usus normal. Pemeriksaan rectal toucher didapatkan tonus
sfingter ani cekat, ampula kosong, mukosa licin, dan pada sarung tangan tampak
feses, darah tidak ada. Pada pemeriksaan anggota gerak, akral hangat, tidak ada
edema.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 4 Januari 2017, didapatkan
leukosit 14700 g/dL, netrofil segmen 73%, limfosit 8%, monosit 13%, eritrosit
4.97x106/uL, hemoglobin 10.7 g/dL, hematokrit 42.3 %, trombosit 57.000 /uL,
Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) 30 pg, Mean Corpuscular Hemoglobin
Concertration (MCHC) 35 g/dL, Mean Corpuscular Volume (MCV) 85 fL. Pada
pemeriksaan apusan darah tepi, didapatkan Plasmodium vivax stadium tropozoit
(+++) dan gamet (+).
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pasien didiagnosa dengan malaria vivax.
Terapi yang diberikan berupa terapi suportif dan definitif. Terapi suportif
berupa rehidrasi cairan NaCl 0,9% dengan kebutuhan cairan 2000 ml/ hari,
ranitidin 2x50 mg IV, domperidon 3x10 mg tab, paracetamol 3x500 mg. Terapi
definitif berupa obat antimalaria DHP 1x4 tablet selama 3 hari dan primakuin 1x1
tablet selama 14 hari. Obat diminum pada jam 11.00 WITA. Pasien diedukasi
untuk meminum obat dalam keadaan perut terisi karena obat malaria bersifat
iritatif terhadap lambung. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan
darah lengkap, kemudian didapatkan hasil leukosit 5022/µL, eritrosit 4.55x106/
µL, hemoglobin 13.9 g/dL, hematokrit 40.3%, trombosit 46000/ µL, MCH 30.7

7
pg, MCHC 34.6 g/dL, MCV 88.6 fL, gula darah sewaktu 139 mg/dL. Pada x-foto
thorax tidak didapatkan kelainan.

Gambar 1. Hasil X-foto Thorax Pasien

Pada follow up hari pertama (6 Januari 2017), didapatkan panas mulai


menurun, mual dan nyeri ulu hati tidak ada, keadaan umum sedang, kesadaran
compos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 90 x/m, respirasi 20 x/m, suhu
37.3 0C. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan. Pasien didiagnosis
dengan malaria vivax. Terapi obat anti malaria dilanjutkan. Pasien direncanakan
untuk menjalani pemeriksaan darah lengkap, ureum, creatinin, dan DDR. Hasil
pemeriksaan leukosit 4364/uL, eritrosit 4.23x106/uL, hemoglobin 12.9 g/dL,
hematokrit 37.8 %, trombosit 37.000 /uL, MCH 30.6 pg, MCHC 34.2 g/dL, MCV
89.4 fL, ureum 16 mg/dL, creatinin 0.9 mg/dL, dan DDR didapatkan hasil negatif.
Follow up hari kedua (7 Januari 2017), keluhan panas sudah tidak ada,
keadaan umum cukup, kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg,
nadi 90 x/m, respirasi 22 x/m, suhu 36.6 0C, pada pemeriksaan fisik tidak
ditemukan kelainan. Pasien didiagnosis dengan malaria vivax. Obat DHP terakhir
diminum pada hari ini, obat primakuin 1x1 tablet dilanjutkan sampai hari ke-14.
Pasien direncanakan rawat jalan. Pasien di anjurkan untuk diet tinggi kalori dan

8
protein serta meminum obat primakuin hingga tuntas. Pasien juga dianjurkan
kontrol ke poliklinik penyakit dalam pada tanggal 9 Januari 2017.

9
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien didiagnosa dengan malaria vivax dan diberikan terapi dihydroartemisinin-


piperakuin selama 3 hari dan primakuin untuk 14 hari pengobatan serta terapi
suportif untuk keluhan panas, mual, dan nyeri ulu hati berupa paracetamol,
domperidon, dan ranitidin. Pada hari ke-2 perawatan, hasil pemeriksaan malaria
negatif dan pada hari ke-3 perawatan pasien dipulangkan.

DIAGNOSIS

Pada kasus, pasien dicurigai menderita malaria berdasarkan anamnesis.


Pada anamnesis didapatkan penderita demam sejak ± 4 hari SMRS. Demam
disertai mengigil, berkeringat, pusing, muntah, tidak nafsu makan dan badan
terasa lemah. Demam dirasakan pasien setiap dua hari. Setiap penderita dengan
keluhan demam atau riwayat demam, harus selalu ditanyakan riwayat kunjungan
ke daerah endemis malaria.3 Pada anamnesis lebih lanjut, didapatkan pasien
mempunyai riwayat bepergian ke daerah endemis malaria ± 2 minggu lalu dan
mempunyai riwayat sakit malaria sebelumnya.
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit plasmodium
di dalam eritrosit dan biasanya disertai dengan gejala demam.6 Pada manusia
terdapat lima spesies plasmodium, yaitu plasmodium vivax, plasmodium
falcifarum, plasmodium malaria, plasmodium ovale, dan plasmodium knowlesi.
Daur hidup kelima spesies malaria pada manusia umumnya sama. Proses ini
terdiri dari fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan
fase aseksual (skizogoni) dalam badan host. Fase aseksual mempunyai dua siklus,
yaitu skizogoni eritrosit dan skizogoni eksoeritrosit.3

10
Gambar 2. Siklus Hidup Plasmodium
Sumber: Kasper, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 19th Ed.
New York: McGraw Hill. 2015

Masa inkubasi malaria, yaitu rentang waktu sejak sporozoit masuk sampai
timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam, bervariasi tergantung
spesies plasmodium yang menginfeksi. Masa inkubasi plasmodium vivax
biasanya berlangsung 12 – 17 hari, tetapi beberapa strain P.vivax dapat sampai 6 –
9 bulan atau mungkin lebih lama.11
Malaria merupakan penyebab paling sering demam di negara tropik.
Demam merupakan gejala klasik dari malaria. Demam adalah gejala yang paling
sering muncul, sekitar 78% - 100%, tetapi demam yang periodik tidak selalu
muncul. Kurva demam pada permulaan penyakit tidak teratur tetapi kemudian
kurva demam menjadi teratur sesuai dengan jenis plasmodium penyebab malaria
yang terinfeksi. Pada plasmodium falciparum, dapat ditemukan kurva demam
tidak teratur yang menetap.12
Demam terjadi ketika darah yang mengandung skizon pecah dan
memproduksi berbagai antigen. Antigen-antigen tersebut menstimulasi sel
makrofag sedangkan monosit atau limfosit memproduksi berbagai sitokin seperti
TNF dan IL-6. Hal ini menginduksi pelepasan prostaglandin yang berakibat
hipotalamus akan mengubah ambang suhu tubuh normal menjadi demam.13
Terjadinya demam yang berulang pada setiap jenis malaria, sesuai dengan
saat terjadinya skizogeni eritrositik pada masing-masing spesies plasmodium.
Siklus demam pada malaria vivax berlangsung setiap hari ke-3 (siklus 48 jam).

11
Stadium demam malaria biasanya diikuti oleh berbagai gejala dan keluhan
penderita, misalnya pada stadium rigor, penderita menggigil meskipun suhu badan
penderita di atas normal. Stadium panas malaria seringkali diikuti oleh menjadi
keringnya kulit penderita, muka penderita menjadi merah dan denyut nadi
meningkat. Akibat keluarnya cairan yang berlebihan pada stadium berkeringat,
penderita merasa sangat lelah dan badan menjadi lemah.13
Gejala lain selain demam pada malaria, tidak spesifik, yaitu dapat berupa
malaise, lemah, keluhan gastrointestinal (mual, muntah, dan diare), nyeri otot,
nyeri sendi, dan sakit kepala yang mirip dengan gejala dari infeksi virus ringan.12
Beberapa kelainan pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pada pasien
dengan malaria, namun, pada pasien tanpa komplikasi, umumnya kelainan yang
didapatkan hanya berupa demam, malaise, anemia ringan, dan limpa yang
teraba.12 Anemia sering ditemukan pada anak-anak yang tinggal di daaerah
dengan transmisi yang stabil. Beberapa mekanisme terjadinya anemia pada
malaria, antara lain pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan sementara
eritropoesis, hemolisis oleh karena kompleks imun yang diperantarai komplemen,
eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran eritrosit, dan pengaruh sitokin.6,14
Pada individu nonimun dengan malaria akut, limpa baru teraba pada beberapa hari
setelah infeksi. Ikterus ringan dapat dijumpai pada orang dewasa dengan malaria
tanpa komplikasi dan biasanya sembuh dalam waktu satu hingga tiga minggu.12
Pemeriksaan hematologi pada kasus didapatkan nilai leukosit normal,
adanya peningkatan nilai monosit, dan penurunan nilai limfosit. Hitung leukosit
pada malaria secara umum normal, kecuali pada infeksi yang sangat berat, dapat
ditemukan leukositosis. Pada hitung jenis leukosit, dapat ditemukan monositosis
ringan, limfopenia, eosinopenia dengan limfositosis reaktif dan eosinofilia dalam
beberapa minggu setelah infeksi akut. Jumlah platelet biasanya menurun dan pada
infeksi yang berat dapat terjadi trombositopenia berat.12 Trombositopenia dan
anemia merupakan komplikasi hematologi paling sering pada malaria. Pada
daerah endemis, malaria telah dilaporkan sebagai penyebab utama
trombositopenia. Adanya trombositopenia pada pasien dengan demam akut,
meningkatkan kemungkinan malaria. Hitung platelet <150.000 meningkatkan
kemungkinan malaria sebesar 12-15 kali.15

12
Anemia yang terjadi pada malaria berupa anemia normokromik
normositik, namun pada kasus tidak ditemukan anemia. Anemia jarang ditemukan
pada malaria vivax dibandingkan malaria falciparum dan mixed malaria. Berbeda
dengan plasmodium falciparum yang menginfeksi semua jenis sel darah merah,
plasmodium vivax hanya menginfeksi sel darah merah muda (retikulosit)
sehingga anemia hanya terjadi pada keadaan kronis.11
Gejala klinis pada malaria sering bervariasi dan tidak spesifik sehingga
menegakkan diagnosa berdasar gejala klinis, mempunyai spesifitas yang rendah.
Demam/ riwayat demam merupakan gejala utama dari infeksi malaria, tetapi
demam juga terjadi pada hampir semua infeksi dan sulit dibedakan dengan
malaria. Adanya trombositopenia sering didiagnosis dengan leptopsirosis, demam
dengue, atau typhoid. Apabila ada demam dengan ikterik bahkan sering
diinterpretasikan dengan diagnosa hepatitis dan leptospirosis. Penurunan
kesadaran dengan demam, sering juga didiagnosis dengan infeksi otak. Hal
tersebut dapat menyebabkan misdiagnosis/underdiagnosis ataupun overdiagnosis.
(Gambar 3).16

Gambar 3. Deteksi Dini Kasus Malaria


Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Tata
Laksana Malaria

13
Diagnosis malaria secara pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
mikroskopik sebagai standar baku dan bila tidak memungkinkan, dibantu dengan
tes diagnosa cepat (Rapid Diagnosis Test= RDT). Pemeriksaan mikroskopik yang
dilakukan adalah pemeriksaan tetes darah dengan pewarnaan Giemsa.
Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa tetes tebal atau dengan apusan darah
tipis. Pemeriksaan tetes tebal dapat membantu diagnosis malaria secara cepat,
tetapi spesies parasit plasmodium belum dapat ditentukan karena tujuan dari
pemeriksaan ini hanya untuk menemukan adanya parasit malaria. Pemeriksaan
apusan darah tipis dapat mengidentifikasi spesies parasit penyebab malaria
sehingga dapat menentukan jenis malaria yang diderita oleh pasien.6
Morfologi masing-masing plasmodium yang terdapat di dalam darah yang
diperiksa melalui apusan darah menunjukkan gambaran khas masing-masing
plasmodium. Pada plasmodium vivax didapatkan trofozoit lanjut berbentuk
amuboid dan sel darah merah yang terinfeksi parasit ini tampak membesar
ukurannya.17

Gambar 4. Apusan Darah Tipis Plasmodium Vivax. A. Tropozoit muda.


B. Tropozoit tua. C. Skizon matang. D. Gametosit betina
Sumber: Kasper, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 19th Ed.
New York: McGraw Hill. 2015

Pada pemeriksaa apusan darah, didapatkan hasil positif untuk malaria


vivax dengan tropozoit +++ dan gamet + sehingga pasien didiagnosis dengan
malaria vivax. Nilai + menunjukkan kepadatan parasit, yaitu positif 1 (+) bila

14
ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB dan positif 3 (+++) bila didapatkan 1-10
parasit dalam 1 LPB.11
Hasil negatif yang didapatkan pada pemeriksaan apusan darah, tidak
langsung menyingkirkan dugaan malaria. Pemeriksaan dapat dilakukan setiap 24
jam hingga 48 jam (Gambar 5).

Gambar 5. Alur Penemuan Penderita Malaria


Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Tata
Laksana Malaria

Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan


membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia, termasuk
stadium gametosit. Adapun tujuan pengobatan radikal untuk mendapat
kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan.15
Golongan artemisinin telah dipilih sebagai obat utama malaria karena
derivat artemisinin menginduksi pengurangan parasitemia pada fase aseksual
paling cepat dibandingkan dengan obat antimalaria lain yang tersedia. Namun,
derivat artemisinin dieliminasi dengan cepat sehingga penggunaan artemisinin
secara monoterapi mudah mengakibatkan terjadinya rekrudensi. Rekrudensi
adalah berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa delapan minggu

15
sesudah berakhirnya serangan primer. Rekrudensi dapat terjadi berupa
berulangnya gejala klinik sesudah periode laten dari serangan primer. Sering
disebut relaps waktu panjang.6
Penggunaan artemisinin yang dikombinasikan dengan obat anti malaria
lain yang memiliki waktu paruh lebih panjang dan mekanisme aksi yang berbeda,
memberikan perlindungan terhadap rekrudensi dan membatasi perkembangan
resistensi obat. Kombinasi dua obat ini dikenal dengan istilah Artemisinin based
Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat yang direkomendasikan WHO,
antara lain artemeter-lumefantrin, artesunat- amodiakuin, artesunat-sulfadoxin/
pyrimethamine, artesunat-mefloquin, dan dihidroartemisinin piperakuin.6

Klorokuin menjadi terapi lini pertama pada malaria vivax sejak tahun 1940
dan secara universal efektif sampai ditemukan kasus pertama malaria vivax yang
resisten terhadap klorokuin di Papua New Guinea. Kasus malaria vivax yang
resistensi klorokuin telah banyak dilaporkan, namun klorokuin tetap digunakan
sebagai terapi malaria vivax pada daerah yang masih sensitif terhadap
klorokuin.8,18 Untuk Indonesia, di mana telah banyak dilaporkan kejadian
resistensi klorokuin, obat antimalaria ACT merupakan obat pilihan untuk malaria
vivax.19 Plasmodium vivax mempunyai beberapa karakteristik yang membuat
penyakit ini refrakter terhadap efek blok transmisi oleh obat antimalaria. Selama
infeksi primer, beberapa parasit plasmodium vivax menjadi dorman di hepar
(hipnozoit) menyebabkan peningkatan potensi relaps. Untuk mengeradikasi
hipnozoit dan mencegah relaps, obat primakuin juga diberikan pada pasien
dengan malaria vivax.12

ACT ditambah dengan primakuin merupakan alternatif klorokuin yang


tepat, kecuali artesunat+sulfadoxin-pyrimethamine tidak efektif untuk
plasmodium vivax pada kebanyakan daerah. Derivat artemisinin diketahui aktif
melawan stadium aseksual plasmodium vivax. Meskipun begitu, pilihan obat
ACT pada malaria vivax sangat penting karena berpengaruh pada efektivitas dan
profilaksis post exposure. Kejadian dini relaps sebagian besar bergantung pada
eliminasi waktu paruh pada obat ACT dibandingkan level dari aktivitas
skizontosidal obat ACT tersebut.18

16
Dari semua jenis pasangan obat untuk derivat artemisinin yang
direkomendasikan, piperakuin memiliki eliminasi waktu paruh yang paling
panjang (23-28 hari) dibandingkan pasangan obat artemisinin yang lain walaupun
masih lebih rendah dibandingkan klorokuin (1-2 bulan) sehingga
Dihydroartemisinin-piperakuin (DHP) merupakan jenis ACT yang terutama
efektif dalam mencegah relaps hingga 56 hari dari terapi awal.18 Kombinasi obat
dengan waktu paruh yang lebih pendek seperti artemeter-lumefantrin, efektif
dalam mereduksi biomass parasit secara cepat, namun mempunyai perlindungan
yang lebih sedikit terhadap kejadian relaps dini.20

Penggunaan DHP atau klorokuin akan menurunkan jumlah parasit,


mengurangi pelepasan mediator kimia seperti TNF-α dan IL-6 sehingga
mengurangi atau menghilangkan interaksi antara antigen malaria dan sistem imun
sehingga demam menghilang. Respon terapi DHP lebih baik dibandingkan dengan
klorokuin meskipun secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan pada
mereka yang diterapi dengan DHP dan klorokuin.20 Dosis DHP yang diberikan
pada malaria vivax sama dengan dosis yang diberikan pada malaria falciparum,
yaitu dyhidroartemisinin 2-4 mg/kgBB dan piperakuin 16-32 mg/kgBB.8,15

Primakuin merupakan obat golongan 8-aminoquinolon, yang telah


diterima sebagai obat antimalaria. Primakuin merupakan satu-satunya obat yang
terbukti efektif untuk mengeliminasi seluruh stadium parasit di hepar. Mekanisme
kerja primakuin belum sepenuhnya jelas, diperkirakan bekerja dengan cara
menggangu respirasi seluler parasit dengan melepaskan radikal bebas dan
menginterfensi transpor elektron.19 Untuk mencegah terjadinya relaps, dosis
primakuin yang diberikan pada pasien dewasa adalah 0,25 mg/kgBB per hari
selama 14 hari.8,15

Pada kasus, pasien mengalami reinfeksi malaria vivax dan diberikan DHP
sebanyak 4 tablet dan primakuin sebanyak 1 tablet karena berat badan pasien
adalah 70 kg sehingga sesuai dengan pemberian jumlah tablet DHP dan primakuin
menurut berat badan (Gambar 6).

17
Gambar 6. Pengobatan Malaria Vivaks Menurut Berat Badan dan Usia
dengan DHP dan Primakuin
Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku saku
penatalaksanaan malaria. 2012.

Malaria vivax selalu dikenal sebagai penyakit yang ‘jinak’ bila


dibandingkan dengan plasmodium falciparum. Bagaimanapun, pada beberapa
tahun terakhir, terdapat banyak laporan kasus malaria vivax berat dan dapat
menyebabkan kematian. Sebelumnya, diasumsikan bahwa keadaan yang berat dari
infeksi plasmodium vivax dikaitkan dengan koinfeksi plasmodium falciparum.
Skizon plasmodium vivax dideteksi dari darah vena sedangkan plasmodium
falciparum tidak terdeteksi karena terdapat pada kapiler dari organ internal.
Namun, studi menunjukkan bahwa sekitar 21-27% malaria berat disebabkan
karena monoinfeksi plasmodium vivax.21,22

Pada kasus, pasien mengalami trombositopenia berat (hitung platelet


terakhir 37000), namun tidak mengalami perdarahan spontan, dan tidak dilakukan
transfusi trombosit. Trombositopenia berat yang disebabkan oleh malaria vivax
telah banyak dilaporkan pada berbagai literatur. Peningkatan macrophage-colony
stimulating factor (M-CSF) akibat peningkatan aktivitas makrofag dapat
memediasi penghancuran platelet pada beberapa kasus sehingga mekanisme
mayor terjadinya trombositopenia pada malaria akibat lisis yang dimediasi
imunitas.23 Adanya antibody IgG yang terikat secara langsung pada antigen
malaria di platelet, telah dilaporkan berperan sebagai penyebab lisisnya platelet.
Kerusakan platelet akibat stress oxidative juga diperkirakan sebagai penyebab
berdasarkan temuan rendahnya level platelet superoxide-dismutase dan aktivitas

18
glutathione peroxidase serta tingginya level peroksidasi lipid platelet ketika
dibandingkan dengan orang sehat. Penurunan trombopoiesis telah disingkirkan
sebagai penyebab karena megakariosit pembentuk platelet ditemukan normal atau
meningkat di sumsum tulang. Toleransi yang baik terhadap trombositopenia telah
secara umum terjadi pada pasien malaria. Hal ini dapat dijelaskan dengan aktivasi
platelet dan peningkatan kemampuan agregasi. Hiperaktif platelet dapat
meningkatkan respon hemostasis sehingga kejadian perdarahan sangat jarang
terjadi pada infeksi malaria akut meskipun terdapat trombositopenia yang
signifikan.15

Anemia berat yang terjadi pada malaria vivax berhubungan dengan


hemolisis rekuren dari sebagian besar eritrosit yang tidak terinfeksi, namun
mengalami peningkatan fragilitas. Sindrom gagal pernapasan akut, gangguan
fungsi ginjal akut, malaria serebral dan ikterus dilaporkan sebagai komplikasi
yang pernah terjadi pada malaria vivax.21,22

Pemantauan respon pengobatan sangat penting untuk dapat mendeteksi


kegagalan pengobatan malaria secara dini, sehingga mencegah terjadinya
morbiditas dan mortalitas. Penderita diminta datang kontrol pada hari ke dua atau
ketiga untuk diperiksa kembali dan dibuat sediaan darahnya dan dilakukan
pemeriksaan klinis dan pengukuran suhu. Pengobatan malaria dikatakan gagal,
apabila terdapat salah satu kriteria berikut.6

a. Gagal pengobatan dini (early treatment failure) : apabila ditemukan satu


atau lebih kondisi berikut ini pada tiga hari pertama pengobatan:
1. Parasitemia dengan komplikasi malaria berat pada hari 1, 2, 3.
2. Parasitemia pada hari ke-2 > hari 0
3. Parasitemia pada hari ke-3 > 25% dari hari 0
4. Parasitemia pada hari ke-3 dengan suhu aksila ≥ 37,5o C
b. Gagal pengobatan kasep (late treatment failure) : apabila ditemukan satu
atau lebih kondisi berikut ini antara hari ke-4 sampai dengan hari ke-28
pengobatan, dan dibagi dalam dua sub grup:
Late clinical (and parasitological) failure (LCF):

19
1. Parasitemia (spesies sama dengan hari ke-0) dengan komplikasi
malaria berat setelah hari ke-3.
2. Suhu aksila ≥ 37,5o C disertai parasitemia antara hari ke-4 sampai
dengan hari ke-28.

Late Parasitological Failure (LPF): apabila ditemukan parasitemia (spesies


sama dengan hari ke-0) pada hari ke-7, 14, atau 28 tanpa disertai
peningkatan suhu aksila ≥ 37,5o C.

Pada kasus, pasien tidak mengalami gagal pengobatan dini karena pada
pemeriksaan malaria pada hari ke-2 pengobatan, tidak didapatkan parasitemia.
Pasien yang tidak berespon dengan pengobatan ACT, dapat diberikan kombinasi
obat kina dan primakuin dengan dosis sesuai dengan berat badan.15

Gambar 7. Pengobatan Lini Kedua Malaria Vivax Menurut Berat Badan


dan Usia
Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman Tata
Laksana Malaria

PROGNOSIS

Secara umum, prognosis malaria vivax adalah dubia ad bonam. Angka


kejadian relaps pada malaria vivax bervariasi. Pada daerah teritorial, 60-90%
pasien mengalami malaria vivax rekuren dalam 42 hari dari infeksi awal
(kemungkinan relaps lebih besar dibandingkan reinfeksi).24 Dugaan relaps pada
malaria vivaks adalah apabila pemberian primakuin dosis 0,25 mg/kgBB/hari
sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit kembali dengan parasit positif
dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan. Pengobatan

20
kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan lagi regimen ACT yang sama
tetapi dosis primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.15

21
BAB IV
KESIMPULAN

Seorang laki-laki, 20 tahun, didiagnosis dengan malaria vivax,


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi
anti malaria yang diberikan adalah DHP sebanyak 4 tablet selama 3 hari dan
primakun 1 tablet selama 14 hari. Prognosis pada kasus adalah dubia ad bonam
karena pada hari kedua pengobatan, pemeriksaan malaria menunjukkan hasil
negatif dan mengindikasikan tidak terjadi kegagalan pengobatan.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. World Malaria Report 2016. Organization,


WH., editor. World Health Organization. Geneva. 2016.
2. Badan Pusat Statistik. Laporan hasil riset kesehatan dasar
(RISKESDAS). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia;
2013.
3. Ikatan Dokter Indonesia, World Health Organization. Buku saku
penatalaksanaan malaria. Jakarta: Ditjen Pengendalian Penyakit dna
Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI.; 2012.
4. Hay S, Guerra C, Tatem A, Noor A, Snow R,. The global distribution
and population at risk of malaria: past, present, future. Lancet Infect
Dis. 2004;4:327-36.
5. Lover AA, Coker RJ. Quantifying effect of geographic location on
epidemiology of plasmodium vivax malaria. Emerging Infectious
Disease. 2013;19:1-7.
6. Harijanto PN. Malaria. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
5. Jakarta: Interna Publishing; 2014. h. 595-611.
7. World Health Organization. WHO global report on anti malarial drug
efficacy and drug resistance 2000-2010. Geneva: WHO, 2010.
8. World Health Organization. WHO guidelines for the treatment of
malaria. 3nd Ed. Geneva: WHO, 2015.
9. Ministry of Health of Republic Indonesia. Guidelines for the
management of malaria cases in Indoensia. Jakarta: Director General
of Disease Control and Environmental Health, Ministry of Health of
Indonesia, 2008.
10. Kusriastuti R, Surya A. New treatment policy of malaria as a part of
malaria control program in Indonesia. Indones J Intern Med.
2012:44:265-9.

23
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman penatalaksanaan
malaria di Indonesia. Ditjen Pengendalian Penyakit dna Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan RI; 2008.
12. Kasper, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 19th Ed. New
York: McGraw Hill. 2015
13. Anstey NM, Russell B, Yeo TW, Price RN. The pathophysiology of
vivax malaria. Trends Parasitol. 2009;25:220-7.
14. Douglas NM, Anstey NM, Buffet PA, Poespoprodjo JR, Yeo TW,
White NJ, et al. The anaemia of plasmodium vivax malaria. Malaria
Journal. 2012;135:1-14.
15. Gupta NK, Bansal SB, Sahare K. Study of thrombocytopenia in
patients of malaria. Tro Parasitol. 2013;3:58-61.
16. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman
Tata Laksana Malaria.
17. Soedarto. Buku ajar parasitologi kedokteran. Jakarta: Sagung Seto.
2011.
18. Douglas NM, Anstey NM, Angus BJ, Nosten F, Price RN. Artemisinin
combination thetapy for vivax malaria?. Lancet Infect Dis.
2010;10:405-16.
19. Ratcliff A, Siswantoro H, Kenangalem E, Maristela R, Wuwung RM,
Laihad F, et al. Two fixed-dose artemisinin combination for drug-
resistant falciparum and viva malaria in Papua, Indonesia: an open
label randomised comparison. Lacet. 2007;369:757-65.
20. Lidia K, Dwiprahasto, Kristin E. Therapeutic effects of
dyhidroartemisinin piperaquine versus chloroquine for uncomplicated
vivax malaria in Kupang, East Nusa Tenggara, Indonesia. Int J. Pharm.
Sci. Rev. Res. 2015;31:247-51.
21. Fernando D, Rodrigo C, Rajapakse S. Primaquine in vivax malaria: an
update and review on management issues.

24
22. Price RN, Douglas NM, Anstey NM. New developments in
Plasmodium vivax malaria: Severe disease and the rise of chloroquine
resistance. Curr Opin Infect Dis 2009;22:430-5.
23. Muley A, Lakhani J, Bhirud S, Patel A. Thrombocytopenia in
Plasmodium vivax Malaria: How Significant?. Journal of Tropical
Medicine. 2014.
24. Price RN, Douglas NM, Anstey NM, Von Seidlein L. Plasmodium
vivax treatments: what are we looking for?. Curr Opin Infect Dis.
2011:24:578-85.

25

Anda mungkin juga menyukai