Responsi Umum
Responsi Umum
Oleh:
Asdiana Nur
Patris Lombogia
Residen Pembimbing
dr. Prima Pratama
Supervisor Pembimbing
dr. Agung Nugroho, Sp.PD-KPTI
1
Lembar Pengesahan
Mengetahui,
Residen Pembimbing,
Mengetahui,
Supervisor Pembimbing,
2
BAB I
PENDAHULUAN
Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit dan
telah menjadi masalah kesehatan dunia, khususnya di negara tropik, termasuk
Indonesia.1 World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2015,
total 106 negara di dunia berisiko terhadap transmisi dari infeksi malaria. Pada
tahun 2015, malaria menyebabkan 212 juta kasus dan 429.000 kematian setiap
tahun dengan 90% dilaporkan terjadi di Afrika, diikuti dengan Asia Tenggara
sebesar 7% dan Mediterania Timur sebesar 2% dengan total kematian masing-
masing daerah sebesar 92%, 6%, dan 2%.1
Insiden malaria penduduk Indonesia tahun 2007 adalah 2,9 persen dan
tahun 2013 adalah 1,9 persen. Prevalensi malaria di Indonesia pada tahun 2013
adalah sebesar 6,0 persen. Lima provinsi dengan insiden dan prevalensi tertinggi
adalah Papua, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku.2
Malaria vivax atau yang dikenal juga dengan malaria tersiana merupakan
salah satu jenis malaria yang disebabkan oleh Plasmodium vivax. Sekitar 2,6 juta
manusia berisiko menderita malaria vivax dan antara 70 hingga 391 manusia
terinfeksi setiap tahun.4 Pada beberapa tahun terakhir, malaria vivax yang
sebelumnya tidak menjadi perhatian, sekarang telah menjadi agenda kesehatan
global dengan dua alasan kunci. Pertama, dibandingkan dengan Plasmodium
falciparum, yang juga menyebabkan malaria, plasmodium vivax lebih sulit untuk
dieliminasi karena memiliki range geografi yang lebih luas dan tidak seperti
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax memiliki stadium dorman. Kedua,
malaria vivax menjadi kasus yang ditemukan kembali di daerah yang sebelumnya
3
terbebas malaria termasuk Yunani, Corsica, dan Australia. Terlebih lagi,
peningkatan insiden mengindikasikan infeksi Plasmodium vivax dapat menjadi
parah dan fatal.5
Menurut WHO dalam Global Report on Anti Malarial Drug Efficacy and
Drug Resistance 2000-2010, klorokuin masih merupakan pilihan terapi pada
daerah yang masih sensitive terhadap penggunaan klorokuin.7 Pada panduan
terapi WHO 2010, anti malaria yang direkomendasikan untuk malaria vivax tanpa
komplikasi adalah klorokuin atau ACT pada daerah yang telah diketahui resisten
terhadap klorokuin.8 Pada tahun 2004, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
tidak lagi merekomendasikan penggunaan klorokuin sebagai terapi lini pertama
dan menggantikannya dengan ACT.9,10
4
Berikut dilaporkan kasus malaria vivax pada seorang laki-laki usia 20
tahun yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP Prof Dr. R. D. Kandou
Manado.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang pria, Tn. KH, umur 20 tahun, agama Kristen Protestan, suku
Papua, status belum kawin, pekerjaan mahasiswa, alamat kelurahan kleak asrama
Timika, datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Prof. R. D. Kandou pada tanggal 5
Januari 2017 dengan keluhan panas. Panas tinggi dirasakan sejak kurang lebih 4
hari sebelum masuk rumah sakit. Panas tidak terus menerus sepanjang hari.
Penderita mengaku sebelum panas, penderita menggigil, kemudian panas tinggi,
dan setelah panas turun, penderita berkeringat. Panas diakui penderita tidak setiap
hari dirasakan. Panas hanya dirasakan setiap dua hari. Penderita juga mengeluh
badan terasa lemah dan lesu. Mata terasa perih disertai adanya nyeri sendi dan
nyeri tulang. Kadang-kadang penderita juga merasa mual disertai nyeri ulu hati,
namun tidak muntah. Selama sakit, penderita mengaku nafsu makan berkurang.
Tidak ada keluhan terkait buang air kecil dan buang air besar.
Riwayat bepergian ke Timika ± 2 minggu yang lalu dan baru kembali ± 4
hari yang lalu. Riwayat penyakit dahulu penderita pernah menderita sakit seperti
ini sebelumnya. Penderita pernah dirawat dengan diagnosa malaria tersiana.
Penyakit darah tinggi, ginjal, diabetes melitus disangkal. Ayah penderita juga
pernah dirawat dengan diagnosa malaria tropika. Selain itu, tidak ada penyakit
lain yang dialami keluarga.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 120 x/m, respirasi
22 x/m, suhu badan 39 oC. Pada pemeriksaan kepala tidak ditemukan conjungtiva
anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor, reflex cahaya positif. Pada
pemeriksaan telinga, liang telinga didapatkan lapang, membran timpani intak,
cairan tidak ada. Pada pemeriksaan hidung, deviasi septum dan sekret tidak ada.
Pada pemeriksaan mulut didapatkan bibir tidak sianosis, gigi goyang tidak ada,
lidah beslag tidak ada, mukosa basah, pembesaran tonsil tidak ada, faring tidak
hiperemis. Pada pemeriksaan leher tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar
getah bening, trakea letak tengah, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, JVP 5 + 0
cm. Pada pemeriksaan dada terlihat simetris, gerakan dinding dada kiri sama
6
dengan kanan, pada palpasi stem fremitus kiri sama dengan kanan, perkusi sonor
pada kedua paru, suara pernapasan vesikuler pada kedua paru, tidak ditemukan
suara napas tambahan pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan jantung,
didapatkan iktus kordis tidak tampak, tidak teraba, batas jantung kanan di ruang
antar iga ke IV dari garis sternal kanan, batas jantung kiri 1 cm lateral di ruang
antar iga V midklavicula kiri. Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar
bising. Pada pemeriksaan abdomen, inspeksi didapatkan datar, pada palpasi
didapatkan lemas, hepar dan lien tidak teraba, terdapat nyeri tekan epigastrium.
Pada perkusi didapatkan timpani, nyeri ketok angulus costovertebrae tidak ada.
Pada auskultasi bising usus normal. Pemeriksaan rectal toucher didapatkan tonus
sfingter ani cekat, ampula kosong, mukosa licin, dan pada sarung tangan tampak
feses, darah tidak ada. Pada pemeriksaan anggota gerak, akral hangat, tidak ada
edema.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 4 Januari 2017, didapatkan
leukosit 14700 g/dL, netrofil segmen 73%, limfosit 8%, monosit 13%, eritrosit
4.97x106/uL, hemoglobin 10.7 g/dL, hematokrit 42.3 %, trombosit 57.000 /uL,
Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) 30 pg, Mean Corpuscular Hemoglobin
Concertration (MCHC) 35 g/dL, Mean Corpuscular Volume (MCV) 85 fL. Pada
pemeriksaan apusan darah tepi, didapatkan Plasmodium vivax stadium tropozoit
(+++) dan gamet (+).
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pasien didiagnosa dengan malaria vivax.
Terapi yang diberikan berupa terapi suportif dan definitif. Terapi suportif
berupa rehidrasi cairan NaCl 0,9% dengan kebutuhan cairan 2000 ml/ hari,
ranitidin 2x50 mg IV, domperidon 3x10 mg tab, paracetamol 3x500 mg. Terapi
definitif berupa obat antimalaria DHP 1x4 tablet selama 3 hari dan primakuin 1x1
tablet selama 14 hari. Obat diminum pada jam 11.00 WITA. Pasien diedukasi
untuk meminum obat dalam keadaan perut terisi karena obat malaria bersifat
iritatif terhadap lambung. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan
darah lengkap, kemudian didapatkan hasil leukosit 5022/µL, eritrosit 4.55x106/
µL, hemoglobin 13.9 g/dL, hematokrit 40.3%, trombosit 46000/ µL, MCH 30.7
7
pg, MCHC 34.6 g/dL, MCV 88.6 fL, gula darah sewaktu 139 mg/dL. Pada x-foto
thorax tidak didapatkan kelainan.
8
protein serta meminum obat primakuin hingga tuntas. Pasien juga dianjurkan
kontrol ke poliklinik penyakit dalam pada tanggal 9 Januari 2017.
9
BAB III
PEMBAHASAN
DIAGNOSIS
10
Gambar 2. Siklus Hidup Plasmodium
Sumber: Kasper, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 19th Ed.
New York: McGraw Hill. 2015
Masa inkubasi malaria, yaitu rentang waktu sejak sporozoit masuk sampai
timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam, bervariasi tergantung
spesies plasmodium yang menginfeksi. Masa inkubasi plasmodium vivax
biasanya berlangsung 12 – 17 hari, tetapi beberapa strain P.vivax dapat sampai 6 –
9 bulan atau mungkin lebih lama.11
Malaria merupakan penyebab paling sering demam di negara tropik.
Demam merupakan gejala klasik dari malaria. Demam adalah gejala yang paling
sering muncul, sekitar 78% - 100%, tetapi demam yang periodik tidak selalu
muncul. Kurva demam pada permulaan penyakit tidak teratur tetapi kemudian
kurva demam menjadi teratur sesuai dengan jenis plasmodium penyebab malaria
yang terinfeksi. Pada plasmodium falciparum, dapat ditemukan kurva demam
tidak teratur yang menetap.12
Demam terjadi ketika darah yang mengandung skizon pecah dan
memproduksi berbagai antigen. Antigen-antigen tersebut menstimulasi sel
makrofag sedangkan monosit atau limfosit memproduksi berbagai sitokin seperti
TNF dan IL-6. Hal ini menginduksi pelepasan prostaglandin yang berakibat
hipotalamus akan mengubah ambang suhu tubuh normal menjadi demam.13
Terjadinya demam yang berulang pada setiap jenis malaria, sesuai dengan
saat terjadinya skizogeni eritrositik pada masing-masing spesies plasmodium.
Siklus demam pada malaria vivax berlangsung setiap hari ke-3 (siklus 48 jam).
11
Stadium demam malaria biasanya diikuti oleh berbagai gejala dan keluhan
penderita, misalnya pada stadium rigor, penderita menggigil meskipun suhu badan
penderita di atas normal. Stadium panas malaria seringkali diikuti oleh menjadi
keringnya kulit penderita, muka penderita menjadi merah dan denyut nadi
meningkat. Akibat keluarnya cairan yang berlebihan pada stadium berkeringat,
penderita merasa sangat lelah dan badan menjadi lemah.13
Gejala lain selain demam pada malaria, tidak spesifik, yaitu dapat berupa
malaise, lemah, keluhan gastrointestinal (mual, muntah, dan diare), nyeri otot,
nyeri sendi, dan sakit kepala yang mirip dengan gejala dari infeksi virus ringan.12
Beberapa kelainan pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pada pasien
dengan malaria, namun, pada pasien tanpa komplikasi, umumnya kelainan yang
didapatkan hanya berupa demam, malaise, anemia ringan, dan limpa yang
teraba.12 Anemia sering ditemukan pada anak-anak yang tinggal di daaerah
dengan transmisi yang stabil. Beberapa mekanisme terjadinya anemia pada
malaria, antara lain pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan sementara
eritropoesis, hemolisis oleh karena kompleks imun yang diperantarai komplemen,
eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran eritrosit, dan pengaruh sitokin.6,14
Pada individu nonimun dengan malaria akut, limpa baru teraba pada beberapa hari
setelah infeksi. Ikterus ringan dapat dijumpai pada orang dewasa dengan malaria
tanpa komplikasi dan biasanya sembuh dalam waktu satu hingga tiga minggu.12
Pemeriksaan hematologi pada kasus didapatkan nilai leukosit normal,
adanya peningkatan nilai monosit, dan penurunan nilai limfosit. Hitung leukosit
pada malaria secara umum normal, kecuali pada infeksi yang sangat berat, dapat
ditemukan leukositosis. Pada hitung jenis leukosit, dapat ditemukan monositosis
ringan, limfopenia, eosinopenia dengan limfositosis reaktif dan eosinofilia dalam
beberapa minggu setelah infeksi akut. Jumlah platelet biasanya menurun dan pada
infeksi yang berat dapat terjadi trombositopenia berat.12 Trombositopenia dan
anemia merupakan komplikasi hematologi paling sering pada malaria. Pada
daerah endemis, malaria telah dilaporkan sebagai penyebab utama
trombositopenia. Adanya trombositopenia pada pasien dengan demam akut,
meningkatkan kemungkinan malaria. Hitung platelet <150.000 meningkatkan
kemungkinan malaria sebesar 12-15 kali.15
12
Anemia yang terjadi pada malaria berupa anemia normokromik
normositik, namun pada kasus tidak ditemukan anemia. Anemia jarang ditemukan
pada malaria vivax dibandingkan malaria falciparum dan mixed malaria. Berbeda
dengan plasmodium falciparum yang menginfeksi semua jenis sel darah merah,
plasmodium vivax hanya menginfeksi sel darah merah muda (retikulosit)
sehingga anemia hanya terjadi pada keadaan kronis.11
Gejala klinis pada malaria sering bervariasi dan tidak spesifik sehingga
menegakkan diagnosa berdasar gejala klinis, mempunyai spesifitas yang rendah.
Demam/ riwayat demam merupakan gejala utama dari infeksi malaria, tetapi
demam juga terjadi pada hampir semua infeksi dan sulit dibedakan dengan
malaria. Adanya trombositopenia sering didiagnosis dengan leptopsirosis, demam
dengue, atau typhoid. Apabila ada demam dengan ikterik bahkan sering
diinterpretasikan dengan diagnosa hepatitis dan leptospirosis. Penurunan
kesadaran dengan demam, sering juga didiagnosis dengan infeksi otak. Hal
tersebut dapat menyebabkan misdiagnosis/underdiagnosis ataupun overdiagnosis.
(Gambar 3).16
13
Diagnosis malaria secara pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
mikroskopik sebagai standar baku dan bila tidak memungkinkan, dibantu dengan
tes diagnosa cepat (Rapid Diagnosis Test= RDT). Pemeriksaan mikroskopik yang
dilakukan adalah pemeriksaan tetes darah dengan pewarnaan Giemsa.
Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa tetes tebal atau dengan apusan darah
tipis. Pemeriksaan tetes tebal dapat membantu diagnosis malaria secara cepat,
tetapi spesies parasit plasmodium belum dapat ditentukan karena tujuan dari
pemeriksaan ini hanya untuk menemukan adanya parasit malaria. Pemeriksaan
apusan darah tipis dapat mengidentifikasi spesies parasit penyebab malaria
sehingga dapat menentukan jenis malaria yang diderita oleh pasien.6
Morfologi masing-masing plasmodium yang terdapat di dalam darah yang
diperiksa melalui apusan darah menunjukkan gambaran khas masing-masing
plasmodium. Pada plasmodium vivax didapatkan trofozoit lanjut berbentuk
amuboid dan sel darah merah yang terinfeksi parasit ini tampak membesar
ukurannya.17
14
ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB dan positif 3 (+++) bila didapatkan 1-10
parasit dalam 1 LPB.11
Hasil negatif yang didapatkan pada pemeriksaan apusan darah, tidak
langsung menyingkirkan dugaan malaria. Pemeriksaan dapat dilakukan setiap 24
jam hingga 48 jam (Gambar 5).
15
sesudah berakhirnya serangan primer. Rekrudensi dapat terjadi berupa
berulangnya gejala klinik sesudah periode laten dari serangan primer. Sering
disebut relaps waktu panjang.6
Penggunaan artemisinin yang dikombinasikan dengan obat anti malaria
lain yang memiliki waktu paruh lebih panjang dan mekanisme aksi yang berbeda,
memberikan perlindungan terhadap rekrudensi dan membatasi perkembangan
resistensi obat. Kombinasi dua obat ini dikenal dengan istilah Artemisinin based
Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat yang direkomendasikan WHO,
antara lain artemeter-lumefantrin, artesunat- amodiakuin, artesunat-sulfadoxin/
pyrimethamine, artesunat-mefloquin, dan dihidroartemisinin piperakuin.6
Klorokuin menjadi terapi lini pertama pada malaria vivax sejak tahun 1940
dan secara universal efektif sampai ditemukan kasus pertama malaria vivax yang
resisten terhadap klorokuin di Papua New Guinea. Kasus malaria vivax yang
resistensi klorokuin telah banyak dilaporkan, namun klorokuin tetap digunakan
sebagai terapi malaria vivax pada daerah yang masih sensitif terhadap
klorokuin.8,18 Untuk Indonesia, di mana telah banyak dilaporkan kejadian
resistensi klorokuin, obat antimalaria ACT merupakan obat pilihan untuk malaria
vivax.19 Plasmodium vivax mempunyai beberapa karakteristik yang membuat
penyakit ini refrakter terhadap efek blok transmisi oleh obat antimalaria. Selama
infeksi primer, beberapa parasit plasmodium vivax menjadi dorman di hepar
(hipnozoit) menyebabkan peningkatan potensi relaps. Untuk mengeradikasi
hipnozoit dan mencegah relaps, obat primakuin juga diberikan pada pasien
dengan malaria vivax.12
16
Dari semua jenis pasangan obat untuk derivat artemisinin yang
direkomendasikan, piperakuin memiliki eliminasi waktu paruh yang paling
panjang (23-28 hari) dibandingkan pasangan obat artemisinin yang lain walaupun
masih lebih rendah dibandingkan klorokuin (1-2 bulan) sehingga
Dihydroartemisinin-piperakuin (DHP) merupakan jenis ACT yang terutama
efektif dalam mencegah relaps hingga 56 hari dari terapi awal.18 Kombinasi obat
dengan waktu paruh yang lebih pendek seperti artemeter-lumefantrin, efektif
dalam mereduksi biomass parasit secara cepat, namun mempunyai perlindungan
yang lebih sedikit terhadap kejadian relaps dini.20
Pada kasus, pasien mengalami reinfeksi malaria vivax dan diberikan DHP
sebanyak 4 tablet dan primakuin sebanyak 1 tablet karena berat badan pasien
adalah 70 kg sehingga sesuai dengan pemberian jumlah tablet DHP dan primakuin
menurut berat badan (Gambar 6).
17
Gambar 6. Pengobatan Malaria Vivaks Menurut Berat Badan dan Usia
dengan DHP dan Primakuin
Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buku saku
penatalaksanaan malaria. 2012.
18
glutathione peroxidase serta tingginya level peroksidasi lipid platelet ketika
dibandingkan dengan orang sehat. Penurunan trombopoiesis telah disingkirkan
sebagai penyebab karena megakariosit pembentuk platelet ditemukan normal atau
meningkat di sumsum tulang. Toleransi yang baik terhadap trombositopenia telah
secara umum terjadi pada pasien malaria. Hal ini dapat dijelaskan dengan aktivasi
platelet dan peningkatan kemampuan agregasi. Hiperaktif platelet dapat
meningkatkan respon hemostasis sehingga kejadian perdarahan sangat jarang
terjadi pada infeksi malaria akut meskipun terdapat trombositopenia yang
signifikan.15
19
1. Parasitemia (spesies sama dengan hari ke-0) dengan komplikasi
malaria berat setelah hari ke-3.
2. Suhu aksila ≥ 37,5o C disertai parasitemia antara hari ke-4 sampai
dengan hari ke-28.
Pada kasus, pasien tidak mengalami gagal pengobatan dini karena pada
pemeriksaan malaria pada hari ke-2 pengobatan, tidak didapatkan parasitemia.
Pasien yang tidak berespon dengan pengobatan ACT, dapat diberikan kombinasi
obat kina dan primakuin dengan dosis sesuai dengan berat badan.15
PROGNOSIS
20
kasus malaria vivaks relaps (kambuh) diberikan lagi regimen ACT yang sama
tetapi dosis primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.15
21
BAB IV
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
23
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman penatalaksanaan
malaria di Indonesia. Ditjen Pengendalian Penyakit dna Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan RI; 2008.
12. Kasper, et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 19th Ed. New
York: McGraw Hill. 2015
13. Anstey NM, Russell B, Yeo TW, Price RN. The pathophysiology of
vivax malaria. Trends Parasitol. 2009;25:220-7.
14. Douglas NM, Anstey NM, Buffet PA, Poespoprodjo JR, Yeo TW,
White NJ, et al. The anaemia of plasmodium vivax malaria. Malaria
Journal. 2012;135:1-14.
15. Gupta NK, Bansal SB, Sahare K. Study of thrombocytopenia in
patients of malaria. Tro Parasitol. 2013;3:58-61.
16. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pedoman
Tata Laksana Malaria.
17. Soedarto. Buku ajar parasitologi kedokteran. Jakarta: Sagung Seto.
2011.
18. Douglas NM, Anstey NM, Angus BJ, Nosten F, Price RN. Artemisinin
combination thetapy for vivax malaria?. Lancet Infect Dis.
2010;10:405-16.
19. Ratcliff A, Siswantoro H, Kenangalem E, Maristela R, Wuwung RM,
Laihad F, et al. Two fixed-dose artemisinin combination for drug-
resistant falciparum and viva malaria in Papua, Indonesia: an open
label randomised comparison. Lacet. 2007;369:757-65.
20. Lidia K, Dwiprahasto, Kristin E. Therapeutic effects of
dyhidroartemisinin piperaquine versus chloroquine for uncomplicated
vivax malaria in Kupang, East Nusa Tenggara, Indonesia. Int J. Pharm.
Sci. Rev. Res. 2015;31:247-51.
21. Fernando D, Rodrigo C, Rajapakse S. Primaquine in vivax malaria: an
update and review on management issues.
24
22. Price RN, Douglas NM, Anstey NM. New developments in
Plasmodium vivax malaria: Severe disease and the rise of chloroquine
resistance. Curr Opin Infect Dis 2009;22:430-5.
23. Muley A, Lakhani J, Bhirud S, Patel A. Thrombocytopenia in
Plasmodium vivax Malaria: How Significant?. Journal of Tropical
Medicine. 2014.
24. Price RN, Douglas NM, Anstey NM, Von Seidlein L. Plasmodium
vivax treatments: what are we looking for?. Curr Opin Infect Dis.
2011:24:578-85.
25