Paper Pola Asuh Remaja Gangguan Konduksi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 21

Paper

POLA ASUH REMAJA GANGGUAN KONDUKSI

Oleh :
Asdiana Nur
15014101047
Masa KKM :16 Januari – 12 Februai 2017

Pembimbing:
Dr. dr. Theresia Kaunang, Sp.KJ-K

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Tugas Paper yang berjudul “POLA ASUH REMAJA GANGGUAN

KONDUKSI” telah dibacakan, dikoreksi, dan disetujui pada Januari 2017

Oleh:

Asdiana Nur

15014101047

Masa KKM : 16 Januari – 12 Februari 2017

Pembimbing,

Dr. dr. Theresia Kaunang, Sp.KJ-K

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................i
DAFTAR ISI……………………………………………………………...........ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................4
A. Definisi……….........................................................................................4
B. Etiologi.....................................................................................................4
C. Kriteria
Diagnostik................................................................................................6
D. Pola Asuh Orang Tua ..............................................................................8
E. Pola Asuh Remaja Gangguan Konduksi................................................11
F. Terapi......................................................................................................13
G. Intervensi Keluarga sebagai Terapi Gangguan Konduksi......................13
BAB III PENUTUP...........................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan konduksi adalah serangkaian perilaku yang bertahan lama dan


berubah seiring waktu yang paling sering ditandai dengan agresi dan pelanggaran
hak orang lain.1 Menurut Diagnostic and Statistical Manual Disorders-Fifth
Edition (DSM-5), terdapat tiga subtipe dari gangguan konduksi, yaitu gangguan
konduksi tipe onset anak, tipe onset remaja, dan tipe onset yang tidak spesifik.2
Gangguan konduksi telah menjadi masalah utama kesehatan dan sosial. Gangguan
konduksi merupakan masalah psikiatrik yang paling banyak didiagnosa pada
anak-anak yang insidensinya meningkat pada remaja.3

Prevalensi gangguan konduksi di seluruh dunia adalah 5%. Angka


perkiraan gangguan konduksi di dalam populasi umum berkisar dari satu hingga
sepuluh persen. Gangguan ini lebih lazim pada anak laki-laki dibandingkan
perempuan, dan rasionya berkisar dari 4:1 hingga 12:1. Diperkirakan enam
sampai 16 persen anak laki-laki dan dua sampai sembilan persen anak perempuan
di bawah usia 18 tahun memiliki gangguan. Gangguan konduksi cenderung
bertahan. Dua-pertiga dari anak-anak yang didiagnosis gangguan konduksi masih
didiagnosis memiliki gangguan tersebut pada masa remaja.4,5

Tidak ada faktor tunggal yang dapat bertanggung jawab terhadap


timbulnya gangguan konduksi. Bebagai faktor biopsikososial turut berperan
dalam timbulnya gangguan ini. Salah satu faktor risiko yang berperan adalah pola
asuh orang tua.1

Interaksi antara orang tua dengan anak selama mengasuh dinamakan


dengan pola asuh orang tua. Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam
berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua tersebut meliputi cara orang
tua menunjukkan kekuasaan dan memberikan pengarahan serta tanggapan
terhadap anak, cara orang tua memberikan perhatian dan aturan-aturan, bagaimana

4
hubungan antara orang tua dengan anak menunjukkan hubungan saling
mempengaruhi.6

Pengasuhan dapat digambarkan sebagai semua strategi (perilaku, sikap


dan nilai-nilai) yang digunakan orang tua untuk berinteraksi dengan anak-anak
mereka dan memengaruhi fisik, emosional, sosial dan pengembangan intelektual.
Teori mengenai pola asuh orangtua tidak hanya tentang perilaku individu dari
orang tua tetapi merujuk kepada pola hubungan dua arah antara orangtua dan
anak.7
Adapun bentuk atau macam pola asuh orang tua dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu pola asuh otoriter (authoritharian), otoritatif/demokratis
(authoritative), dan permisif (permissive). Pola asuh merupakan hal yang penting,
karena beberapa laporan menunjukkan pola asuh orang tua dapat memprediksi
bagaimana sikap anak-anak dalam domain kompetensi sosial, perkembangan
psikososial, prestasi akademik dan masalah perilaku.7

Menurut banyak teori psikologis, hubungan orangtua-anak dapat


menghasilkan gangguan psikologis seperti kecemasan, kebingungan identitas dan
gangguan konduksi. Psikopatologi pada orang tua dan perilaku pengasuhan anak
menjadi risiko potensial penting atau faktor-faktor pelindung dalam
perkembangan hasil untuk anak-anak dengan gangguan konduksi. Orang tua yang
stres dan maladaptif dapat mendorong pengembangan gangguan konduksi.8

Studi menunjukkan pola asuh orang tua yang spesifik dapat berkontribusi
pada penyebab gangguan konduksi.9 Gangguan konduksi lebih lazim ditemukan
pada anak dari orang tua yang memiliki gangguan kepribadian antisosial dan
ketergantungan alkohol dibandingkan populasi umum.1 Disfungsi keluarga yang
berulang-ulang diidentifikasi sebagai salah satu faktor penting untuk gangguan
perilaku di masa remaja. Kurangnya pengawasan orang tua adalah prediktor
terkemuka dari kekerasan dan vandalisme dilakukan oleh anak laki-laki.10

Keluarga, selain dapat sebagai faktor penyebab berkembangnya gangguan


konduksi pada anak dan remaja, juga dapat berperan dalam terapi gangguan
konduksi. Program terapi multimodalitas yang menggunakan semua sumber daya

5
keluarga dan komunitas yang tersedia besar kemungkinannya memberikan hasil
yang paling baik dalam upaya untuk mengendalikan perilaku gangguan konduksi.
Tidak ada terapi yang dianggap menyembuhkan semua spektrum perilaku yang
turut berperan di dalam gangguan konduksi, tetapi berbagai terapi dapat
membantu di dalam mengendalikan gejala dan meningkatkan perilaku prososial.1

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gangguan konduksi adalah pola perilaku yang berulang dan menetap di
mana hak dasar orang lain atau norma sosial yang sesuai dengan usia
dilanggar.1

B. Etiologi
Tidak ada faktor tunggal yang berperan dalam perilaku antisosial anak-
anak dan gangguan konduksi. Berbagai faktor biopsikoseksual terlibat dalam
perkembangan gangguan.1
1. Faktor parenteral
Beberapa sikap orang tua dan cara membesarkan anak yang salah
mempengaruhi perkembangan maladaptif anak. Kondisi rumah yang kacau
berhubungan dengan gangguan konduksi dan kenakalan. Tetapi, rumah
yang kacau saja tidak sebagai penyebab yang bermakna; harus terdapat
percekcokan antar orangtua yang menyebabkan gangguan konduksi.
Psikopatologi orangtua, penyiksaan anak, dan penelantaran sering kali
berperan dalam gangguan konduksi. Sosiopatik, ketergantungan alkohol,
dan penyalahgunaan zat pada orangtua berhubungan dengan gangguan
konduksi pada anak-anaknya. Orangtua mungkin sangat menelantarkan
sehingga perawatan anak-anaknya dilakukan oleh sanak saudara atau
orangtua angkat. Banyak orangtua seperti itu dilukai oleh didikannya
sendiri dan cenderung penyiksa, penelantar, atau terpikat untuk
mendapatkan kebutuhan pribadinya sendiri. Penelitian terakhir
menyatakan bahwa banyak orangtua dengan anak-anak dengan gangguan
konduksi menderita psikopatologi yang serius, termasuk gangguan
psikotik. Hipotesis psikodinamika menyatakan bahwa anak-anak dengan

7
gangguan konduksi secara tidak sadar memerankan harapan antisosial
orangtuanya.
2. Faktor Sosioekonomi
Faktor sosioekonomi memegang peranan yang penting dalam
perkembangan perilaku anak. Gangguan konduksi tidak hanya dijumpai
pada keluarga yang kekurangan dalam ekonomi, tetapi banyak juga
dijumpai pada keluarga yang berkecukupan.
Teori sekarang menyatakan bahwa anak-anak yang kekurangan secara
sosioekonomi dan tidak mampu mencapai status dan mendapatkan barang-
barang materi yang cukup melalui cara yang dibenarkan adalah dipaksa
untuk mengambil jalan yang tidak dapat diterima secara sosial untuk
mencapai tujuan tersebut da bahwa perilaku tersebut adalah normal dan
dapat diterima di bawah kondisi kekurangan sosioekonomi, karena anak-
anak mengikuti nilai-nilai dalam subkulturnya sendiri.
Pada keluarga yang kaya, anak cenderung tidak mendapat kasih sayang
dari orang tua akibat sibuknya orang tua.
3. Faktor Psikologis
Anak-anak yang dibesarkan dalam kondisi yang kacau dan menelantarkan
biasanya menjadi marah, mengacau, menuntut dan tidak mampu secara
progresif mengembangkan toleransi terhadap frustasi yang diperlukan
untuk hubungan yang matur. Karena model perannya adalah buruk dan
sering berganti-ganti, tidak ada dasar untuk mengembangkan ego idealdan
konsistensi. Anak-anak ditinggalkan dengan sedikit motivasi untuk
mengikuti norma masyarakat dan relatif tanpa penyesalan.
4. Faktor Neurobiologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada ganguan konduksi, didapati
penurunan kadar plasma dopamine β–hidroxilase, sebuah enzim yang
mengubah dopamine menjadi norepinephrine. Penemuan ini mendukung
teori yang mengatakan terjadi penurunan fungsi noradrenergik pada
gangguan konduksi. Pada gangguan konduksi juga didapatkan kadar
serotonin (5-hydroxytryptamine-HT) darah yang meningkat. Penelitian
membuktikan bahwa kadar serotonin darah memiliki hubungan terbalik

8
dengan kadar metabolit serotonin asam 5-hydroxy-indoleacetic acid (5-
HIAA) di dalam cairan serebrospinal. Rendahnya kadar 5-HIAA di dalam
cairan serebrospinal berkorelasi dengan perilaku agresif dan kekerasan.
5. Faktor Neurologi
Berdasarkan studi yang dilakukan dengan menilai aktivitas listrik otak saat
istirahat dengan menggunakan EEG pada bagian lobus frontalis, diketahui
bahwa pada anak yang memiliki perilaku agresif didapati peningkatan
aktifitas listrik otak yang relatif signifikan bila dibandingkan dengan anak
lain tanpa perilaku agresif. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa
inteligensia emosional anak laki-laki umumnya lebih rendah dari
perempuan, demikian juga diketahi bahwa perilaku agresif lebih banyak
dijumpai pada anak laki-laki. Akan tetapi, dari penelitian diketahui bahwa
tidak ada hubungan antara peningkatan aktifitas listrik otak dengan
intelegensia emosional. Studi ini memperkirakan bahwa terdapat
hubungan antara pola aktivasi EEG dengan perilaku agresif.
6. Penyiksaan dan penganiayaan anak
Anak-anak yang mengalami kekerasan untuk jangka waktu yang lama,
terutama yang mengalami penyiksaan fisik, sering berkelakuan dalam cara
yang agresif. Anak-anak tersebut memiliki kesulitan dalam mengucapkan
perasaan mereka, dan kesulitan tersebut meningkatkan kecenderungan
mereka untuk mengekspresikan diri mereka secara fisik. Di samping itu,
anak-anak dan remaja yang disiksa dengan kejam cenderung menjadi
waspada secara berlebihan; pada beberapa kasus, mereka keliru
mengartikan situasi ringan dan berespon dengan kekerasan. Tidak semua
perilaku fisik adalah sama dengan gangguan konduksi, tetapi anak-anak
dengan pola kewaspadaan yang berlebihan dan respon kekerasan
kemungkinan adalah melanggar hak orang lain.

C. Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik DSM-5 untuk gangguan konduksi.2
1. Pola perilaku yang berulang dan persisten dimana hak dasar orang lain
atau norma atau aturan sosial utama yang sesuai dengan usia adalah
dilanggar, seperti yang ditunjukkan oleh sedikitnya tiga dari 15 kriteria

9
berikut selama 12 bulan terakhir, dengan sekurangnya satu kriteria
ditemukan dalam 6 bulan terakhir.
Agresi kepada orang dan binatang
a) Sering berbohong, mengancam, atau mengintimidasi orang lain
b) Sering memulai perkelahian fisik
c) Telah menggunakan senjata yang menyebabkan bahaya fisik yang
serius bagi orang lain (misalnya, pemukul, batu, botol pecah, pisau,
pistol)
d) Telah kejam secara fisik kepada orang lain
e) Telah kejam secara fisik kepada binatang
f) Telah mencuri sambil berhadapan dengan korban (misalnya merampok,
menjambret dompet, memeras, perampokan bersenjata)
g) Telah memaksa orang untuk melakukan aktivitas seksual
Menghancurkan barang milik
h) Secara sengaja menimbulkan kebakaran dengan tujuan menyebabkan
kerusakan yang serius
i) Secara sengaja menghancurkan barang milik orang lain (selain dari
menimbulkan kebakaran)
Tidak jujur atau mencuri
j) Membongkar masuk ke dalam rumah, bangunan atau kendaraan orang
lain.
k) Sering berbohong untuk mendapatkan barang-barang atau kemurahan
hati atau untuk menghindari kewajiban (yaitu, “memanfaatkan” orang
lain).
l) Telah mencuri barang-barang dengan nilai yang tidak kecil tanpa
menghadapi korban (misalnya, mencuri toko, tetapi tanpa merusak dan
menyelundup, pemalsuan)
Pelanggaran aturan yang serius
m) Sering tetap di luar pada malam hari walaupun dilarang orang tua,
dimulai sebelum usia 13 tahun

10
n) Telah melarikan diri dari rumah semalaman sekurangnya dua kali saat
tinggal di rumah orang tua atau rumah wali orang tua (atau sekali jika
tanpa kembali untuk periode waktu yang lama)
o) Sering membolos dari sekolah, dimulai sebelum usia 13 tahun
2. Gangguan prilaku menyebabkan gangguan yang bermakna secara klinis
dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan.
3. Jika individu adalah berusia 18 tahun atau lebih, tidak memenuhi kriteria
untuk ganggguan kepribadian antisosial
Tipe berdasarkan onset usia
a. Tipe onset masa anak-anak : onset sekurangnya satu kriteria karakteristik
untuk gangguan konduksi sebelum usia 10 tahun
b. Tipe onset masa remaja : tidak adanya kriteria karakteristik untuk
gangguan konduksi sebelum usia 10 tahun.
c. Tipe onset yang tidak spesifik
Tingkat keparahan:
a. Ringan : beberapa jika ada masalah konduksi yang melebihi yang
diperlukan untuk membuat diagnosis dan gangguan konduksi hanya
menyebabkan bahaya kecil bagi orang lain.
b. Sedang : jumlah masalah konduksi dan efek pada orang lain berada di
tengaha-tengah antara ringan dan berat.
c. Berat : Banyak masalah konduksi yang melebihi dari yang diperlukan
untuk membuat diagnosis atau gangguan konduksi menyebabkan bahaya
yang cukup besar bagi orang lain.

D. Pola Asuh Orangtua


1. Pola Asuh Berdasar Fase Perkembangan
Pola asuh harus berorientasi pada kebutuhan perkembangan anak sesuai
fase perkembangannya:8
a. Mengembangkan rasa percaya/aman (sense of basic trust) yang
berkembang sekitar usia sejak lahir – 1 tahun. Rasa percaya ini akan
mendukung anak untuk hidup di lingkungan yang baru dengan rasa
aman dan nyaman.

11
b. Mengembangkan rasa otonomi diri (sense of autonomy) yang
berkembang sekitar usia 1 – 3 tahun. Rasa otonomi diri ini sebagai
dasar untuk berkembangnya kemauan dan menjadi diri sendiri dan
keyakinan diri.
c. Mengembangkan rasa inisiatif pada fase kritis di usia 3 – 5 tahun. Hal
ini merupakan dasar untuk berkembangnya keinginan berperan dan
keberanian untuk bereksperimentasi peran dalam
masyarakatnya. Tahap ini penting untuk menimbulkan keinginan dan
rasa mampu berperan secara bermakna dalam masyarakat di kemudian
hari.
d. Mengembangkan rasa industri pada fase kritisnya di usia 6 – 12 tahun
yang merupakan dasar untuk berkembangnya rasa kemampuan belajar,
berkarya dan berdaya guna. Pada tahap ini mempunyai peran penting
untuk menimbulkan keyakinan akan kemampuannya untuk berkarya
dan produktif di kemudian hari.
e. Identitas atau citra diri (sense of identity). Berkembang sekitar usia 12 –
18 tahun (sampai akhir masa remaja. Mengembangkan rasa identitas
adalah tugas utama dari periode ini, yang bertepatan dengan masa
pubertas dan masa remaja. Identitas didefinisikan sebagai karakteristik
yang membentuk seseorang dan membawa kemana tujuan mereka.
Identitas yang sehat dibangun pada keberhasilan mereka melewati
stadium yang lebih awal.
2. Macam Pola Asuh
Secara individu, orang tua memiliki hubungan yang khas dengan anak
namun para peneliti telah mengidentifikasikan 3 macam pola asuh yang
umum.8
a. Pola Asuh Otoriter
Cara pendekatan atau pengasuhan yang berciri keras, disiplin yang
tinggi dan cenderung otoriter dari orangtua agar anak menjadai penurut,
tertib dan tidak melawan. Pola ini ada yang bersifat tradisional
berdasarkan adat istiadat dan agama. Akibatnya anak kurang
mempunyai inisiatif, tidak pernah kreatif dan takut salah. Anak tidak

12
banyak kemauan dan menerima apa adanya, bahkan anak sering merasa
tertekan, akhirnya tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan
secara wajar. Apalagi kalau sering disalahkan dan dimarahi oleh
orangtuanya. Akibat yang lain, anak menjadi penakut dan mempunyai
rasa rendah diri.
b. Pola Asuh Permisif
Pola asuh yang bersifat lunak, anak dibiarkan oleh pendidiknya. Anak
diberi kebebasan, sehingga akan tumbuh dan berkembang secara
normal. Rambu-rambu yang diberikan oleh pendidik tidak terlalu
banyak bahkan sedikit sekali. Anak boleh mempunyai inisiatif,
mencoba dan usul sesuatu kepada pendidik. Pendidik banyak bersifat
masa bodoh. Sehingga anak dalam berperilaku terdapat kesalahan
karena tidak sesuai dengan norma dan nilai pendidikan. Pengawasan
dari pendidik sedikit, sehingga anak merasa tidak takut, lalu bertindak
atas dasar kemauan sendiri.
c. Pola Asuh Demokrasi
Pola asuh yang menekankan pada pemberian kesempatan terhadap anak
agar tumbuh dan berkembang secara wajar, tetapi penuh dengan
pemantauan dan pengawasan. Anak diberi hak untuk mengeluarkan
pendapat, usul, saran dan inisiatif, tetapi keputusan ada pada pendidi.
Hak anak didengar, diharpai dan diakui karena akan mempunyai
kemampuan kelebihan dan sesuatu kekhususan yang mungkin tidak
dimiliki oleh pendidik. Anak mempunyai bakat tertentu yang perlu
dikembangkan. Pada perkembangan selanjutnya anak akan mempunyai
rasa percaya diri dan berkemauan untuk maju seingga merasa optimis
dalam menyongsong hari depannya.

Faktor yang menentukan gaya pengasuhan orang tua telah dipelajari


secara ekstensif; termasuk nilai-nilai keluarga dan pribadi, budaya orang
tua, agama dan kepribadian, temperamen orang tua dan anak, status sosial
ekonomi dan etnis. Penelitian genetik mengenai perilaku manusia
menunjukkan bahwa pola asuh mungkin diwariskan; misalnya faktor

13
genetik mungkin memainkan peran besar dalam menimbukan kehangatan
dari orang tua dan pengaruh perlindungan dan otoritas orang tua.7
Terdapat pengakuan mengenai potensi perbedaan pola asuh dari ibu
dan ayah serta pengaruhnya terhadap interaksi orang tua dan anak dan
hasil akhir psikososial anak. Penggunaan gaya yang berbeda oleh orang
tua menjadi penting ketika mereka bertentangan; ini berpotensi
menciptakan kebingungan dan ketidakkonsistenan dalam keseluruhan
reaksi seorang anak ke orang tua. Konflik orang tua dan masalah
perkawinan dapat merusak kompetensi atau fungsi dan keterlibatan orang
tua yang kompeten.7
Sebagai contoh, penggunaan gaya otoriter dan lalai secara bersamaan
oleh orang tua, dapat menyebabkan kesulitan perkawinan dan pengasuhan
dan psikopatologi pada anak-anak. Salah satu instrumen utama dalam
tugas pengasuhan adalah strategi kontrol yang digunakan. Ini sering
melibatkan beberapa bentuk disiplin tindakan. Hukuman masih banyak
dipraktekkan sebagai metode disiplin untuk anak-anak. Hukuman mungkin
'normatif' (sesuai) atau 'melecehkan' (tidak pantas), tergantung dari
metode, keparahan dan frekuensi, usia anak dihukum dan konteks. Karena
berpotensi untuk meningkat, garis pemisah antara hukuman yang sesuai
dan kasar dapat sangat tipis; sehingga melintasi batas garis pemisah
tersebut dapat cukup mudah. Orang tua yang menggunakan hukuman
sering lulusan ke bentuk-bentuk yang berbahaya seperti menggunakan
sabuk, kabel listrik atau objek, atau menendang dan meninju.7
Klasifikasi teoritis pola asuh tidak mungkin mudah diterapkan dalam
pengaturan klinis. Di klinik, identifikasi pola asuh yang mengakibatkan
masalah kejiwaan dan sosial anak-anak, dan mampu untuk
memodifikasinya merupkan tantangan pada psikiatri anak dan dewasa
muda.7

E. Pola Asuh Remaja Gangguan Konduksi


Masa remaja bervariasi pada setiap anak, tapi pada umumnya
berlangsung antara usia 11 samapi 18 tahun. Di dalam masa remaja

14
pembentukan identitas diri merupakan salah satu tugas utama, sehingga saat
masa remaja selesai sudah terbentuk identitas diri yang mantap.11
Berkembangnya masa remaja terlihat saat anak mulai mengambil
berbagai macam nilai-nilai etik, baik dari orang tua, remaja lain dan
menggabungkannya menjadi suatu sistem nilai dari dirinya sendiri.11
Pada masa remaja, rumah merupakan landasan dasar, sedangkan
dunianya adalah sekolah maka bagi remaja hubungan yang paling penting
selain dengan keluarganya adalah dengan teman sebaya. Pengertian dari
rumah sebagai landasan dasar adalah, anak dalam kehidupan sehari-hari
tampaknya ia seolah-olah sangat bergantung kepada teman sebayanya, tapi
sebenarnya ia sangat membutuhkan dukungan dari orang tuanya yang
sekaligus harus berfungsi sebagai pelindung disaat ia mengalami krisis, baik
dalam dirinya atau karena faktor luar. Pada masa ini penting sekali sikap
keluarga yang dapat berempati, mengerti, mendukung dan dapat bersikap
komunikatif dua arah dengan sang remaja dalam pembentukan identitas diri
remaja itu.11
Remaja dengan gangguan konduksi menunjukkan perilaku agresif
mereka terang-terangan dalam berbagai bentuk. Perilaku antisosial agresif
dapat berupa menggertak, agresi fisik, dan perilaku kejam pada teman sebaya.
Mereka dapat bersifat bermusuhan, menyiksa secara verbal, lancang,
menentang, dan negativistik terhadap orang dewasa. Berbohong terus-
menerus, sering bolos, dan vandalisme lazim dilakukan. Pada kasus yang
berat, perusakan, mencuri, dan kekerasan fisik sering ditemukan.1
Pola asuh tipikal berupa kepedulian yang rendah dari ibu dan
overprotektif ayah yang membentuk affectionless, pola asuh dengan tipe
mengontrol, ditemukan pada anak-anak pada gangguan konduksi. Tipe pola
asuh tersebut menyebabkan kontrol yang tinggi, ekspresi emosi yang rendah,
keterlibatan anak yang minimal, dan supervisi dan monitoring yang tidak
adekuat pada anak. Studi ini menunjukkan bukti yang cukup untuk
menyimpulkan bahwa pola asuh yang spesifik dapat berkontribusi pada
penyebab gangguan konduksi.12

15
Pengasuhan orang tua yang kasar dan bersifat menghukum ditandai
dengan agresi fisik dan verbal berat menyebabkan timbulnya perilaku agresif
maladaptif anak. Keadaan rumah yang kacau menyebabkan gangguan
konduksi dan kejahatan.13,14
Disfungsi keluarga yang berulang-ulang diidentifikasi sebagai salah satu
faktor penting untuk gangguan konduksi di masa remaja. Kurangnya
pengawasan orang tua adalah prediktor terkemuka dari kekerasan dan
vandalisme yang dilakukan oleh anak laki-laki.10

F. Terapi
Tidak ada terapi yang dianggap kuratif untuk keseluruhan spektrum
perilaku yang berperan dalam gangguan konduksi. Program terapi
multimodalitas yang menggunakan semua kekuatan keluarga dan masyarakat
yang ada kemungkinan memberikan hasil yang terbaik dalam usaha
mengendalikan prilaku gangguan konduksi.1
Suatu struktur lingkungan dengan aturan yang konsisten dan akibat yang
diperkirakan dapat membantu mengendalikan masalah prilaku. Teknik ini
dapat diterapkan di lingkungan keluarga maupun di sekolah.1
Medikasi dan psikoterapi individual berorientasi untuk meningkatkan
keterampilan memecahkan masalah dapat berguna. Medikasi sendiri dapat
menjadi terapi tambahan yang berguna untuk sejumlah gejala yang sering
timbul pada gangguan konduksi. Untuk gangguan agresi yang mungkin
muncul dapat diberikan anti-psikotik baik haloperidol, lithium,
carbamazepine dan clonidin.1
Karena gangguan konduksi sering terjadi bersama-sama dengan
gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas, gangguan belajar, dan dengan
berjalannya waktu, gangguan mood dan gangguan berhubungan zat, terapi
tiap gangguan penyerta harus juga dilakukan.1

G. Intervensi Keluarga sebagai Terapi Gangguan Konduksi


Beberapa faktor dapat membantu remaja yang menunjukkan tanda-tanda
dan gejala gangguan konduksi. Peran orang tua sangat penting. Orang tua
harus memantau kegiatan anak mereka setiap hari; menjadi orang tua yang

16
bertanggung jawab; mengawasi kegiatan anak; dan memberikan waktu yang
berkualitas pada anak. Intervensi produktif bagi orang tua adalah belajar
keterampilan komunikasi yang baik. Orang tua harus dapat berkomunikasi
dengan jelas serta memberikan aturan yang langsung dan spesifik. Harus ada
rasa hormat dari masing-masing pihak dan aturan harus dilaksanakan.15
Intervensi keluarga adalah komponen penting untuk mengobati gangguan
perilaku. Untuk anak-anak muda, keluarga adalah target utama untuk
intervensi. Sebelum intervensi keluarga dapat dimulai, bagaimanapun,
kondisi berikut harus dipenuhi:16
1. Perumahan yang sesuai bagi keluarga
2. Sumber daya yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar
3. Orang tua dengan gangguan kejiwaan atau penyalahgunaan zat
menerima pengobatan untuk mengatasi masalah
4. Rumah yang aman
5. Pengawasan yang memadai untuk semua anak-anak di rumah
Ada dua strategi utama untuk intervensi keluarga: 1) Pendidikan orang
tua tentang siklus peristiwa yang mengarah ke masalah perilaku perilaku, dan
2) Pelatihan Manajemen Keluarga (Parenting Management Theraphy) untuk
meningkatkan pengasuhan dan untuk mengelola perilaku anak secara efektif
tanpa menggunakan hukuman fisik. Sejumlah penelitian mendukung
efektivitas keterampilan pelatihan anak untuk meningkatkan perilaku anak,
hubungan positif sesama rekan, prestasi akademik, dan mengurangi
permusuhan interaksi dengan figur otoritas.
Intervensi keluarga yang direkomendasikan meliputi:
a. Konseling untuk meningkatkan kekuatan orangtua
b. Pelatihan orang tua untuk membentuk manajemen perilaku yang
konsisten
c. Terapi keluarga
d. Pengobatan penyalahgunaan zat dan masalah orang tua/keluarga
anggota
Terapi keluarga fungsional (Functional Family Therapy= FFT) adalah
intervensi keluarga yang secara empiris sukses untuk anak-anak dengan

17
gangguan konduksi dan faktor risiko lain yang menghalangi mereka dari
hidup sehat dalam masyarakat. Konsep FFT adalah untuk mengembangkan
kekuatan anggota keluarga yang dapat meningkatkan lingkungan.
Karakteristik dari program ini adalah memberikan dasar untuk perubahan
yang mencakup dukungan langsung dari terapis untuk keluarga. Keluarga
disertakan dalam setiap fase pengobatan dengan tujuan, yaitu mengurangi
negativitas dan meningkatkan komunikasi. Efektivitas dari intervensi
didasarkan pada faktor-faktor berikut: (1) keterlibatan dengan anak dan
keluarga; (2) motivasi; (3) penilaian yang jelas/ ringkas/ dimengerti; (4)
mengajar keluarga keterampilan untuk mengubah perilaku; dan (5)
ketersediaan untuk kebutuhan individual dari setiap anggota keluarga.16,17

18
BAB III

PENUTUP

Gangguan konduksi merupakan masalah psikiatri yang banyak ditemukan


pada anak-anak dan remaja. Salah satu faktor yang berperan sebagai penyebab
gangguan konduksi adalah faktor parenteral, di mana pola asuh yang
diterapkan sangat berpengaruh terhadap kejadian gangguan konduksi.
Pengasuhan orang tua yang kasar dan bersifat menghukum ditandai dengan
agresi fisik dan verbal berat menyebabkan timbulnya perilaku agresif
maladaptif anak yang mengarah pada masalah gangguan konduksi.
Terapi pada gangguan konduksi bersifat multimodalitas. Keluarga
merupakan salah satu sumber daya yang dapat memberikan hasil yang paling
baik untuk mengendalikan perilaku gangguan konduksi. Terapi keluarga yang
dapat digunakan, misalnya terapi fungsional keluarga (Functional Family
Theraphy).

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
2. Jakarta: EGC. 2010. h 604-6.
2. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders Fifth Edition.
3. National Institute for Health & Clinical Excellence. Conduct disorder in
children and adolescent. Community Care. 2007;1672:32-3.
4. Children's Mental Health Ontario. Children And Adolescent with Conduct
Disorder. 2001.
5. Scott S. Conduct disorder in children. BMJ. 2007.
6. Hoeve et al. (2008). Trajectories of delinquency and parenting styles.
Journal of Abnormal Child Psychology. 2008; 36:223-35.
7. Tunde-Ayinmode MF, Adegunloye OA. Parenting style and conduct
problems in children: A report of deliberate self- poisoning in a Nigerian
child. SAJP. 2011;17:60-3.
8. Prasetya GT. Pola Pengasuhan Ideal. Jakarta: Gramedia 2003.
9. Freeze MK, Burke A, Vorster AC. The role of parental style in the conduct
disorders: a comparison between adolescent boys with and without conduct
disorder. J Child Adolesc Ment Health. 2014;26:63-73
10. Stacey D. Conduct Disorder: Definition, Statistics, Parental Role and
Intervention. Boston Counseling Theraphy. 2008.
11. Santrock, John W., ”Adolescence: Perkembangan Remaja”, Ed. 6, Erlangga,
Jakarta, 2003.
12. Bh
13. Kaplan, H I, Sadock B J. 2010. Gangguan Prilaku Mengacau: Gangguan
Konduksi dan Gangguan Mengacau yang Tidak Ditentukan. Dalam: Wiguna
I M. Editor. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis.
Jilid Dua. Tangerang: Binarupa Aksara. h 758-64.

20
14. Marsiglia et al. (2007). Impact of parenting styles and locus of control on
emerging psychosocial success. Journal of Education and Human
Development. 2007.
15. Barton, A. et al. (2007). Functional Family Therapy: blueprint for violence
prevention. Institute of Behavioral Science. 2007.
16. Functional Family Therapy Website. (2007). http://www.fftinc.om
17. Calin OD, Muscalu M, Macovei SC. Perspective in treatment of conduct
disorder in children and adolescents. Romanian Journal of Child and
Adolescent Psychiatry. 2014:2:1-6.

21

Anda mungkin juga menyukai