Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

DERMATITIS KONTAK ALERGEN

Disusun oleh:
Roy Nimrod Ludji Tuka (112017119)

Moderator:
Dr. Afaf Agil, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
PERIODE 22 APRIL 2019 – 25 MEI 2019

1
BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ny. LS
Tempat tanggal lahir : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Kramat Jaya No. 34 RT/RW 003/002, Johar Baru
Pekerjaan : Ibu Rumah tangga
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Autoanamnesis, tanggal 26 April 2019, jam 12.45 WIB.

Keluhan Utama : Gatal pada pipi kiri dan kanan

Keluhan Tambahan : Bercak kemerahan dan gatal pada pipi

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien dikonsulkan dari bagian Bedah RSPAD dengan keluhan bercak
kemerahan disertai rasa gatal pada wajah bagian kiri dan kanan dan timbul
keropeng setelah menjalani prosedur laparotomi 3 hari yang lalu.
Tiga hari sebelum konsul pasien mengaku dipasang alat bantu pernapasan
berupa selang yang ditempelkan tepat di bagian pipi kiri dan kanan beberapa menit
sebelum operasi dilakukan. Setelah operasi pasien mengaku kulit di bagian pipi
kemerahan dan sedikit terkelupas.
Dua hari sebelum konsul pasien mulai merasakan gatal pada area pipi kiri dan
kanan. Gatal dirasakan hilang timbul tanpa disertai keluhan lain. Bercak kemerahan
dirasakan sedikit meluas namun terbatas pada area pipi kanan dan kiri.

2
Satu hari sebelum konsul
pasien merasakan timbul bintik halus pada pipi,
tepat di area pipi yang kemerahan dan terasa perih.
Pasien mengaku menggaruk daerah yang gatal
menggunakan tangan untuk mengatasi rasa gatal
yang timbul.
Pada hari saat pasien dikonsulkan, keluhan gatal sudah berkurang tetapi
timbul keropeng pada kedua pipi dan rasa perih yang dirasakan mulai membaik di
sekitar pipi. Tidak ada keluhan lain yang dirasakan pasien seperti demam. Os
dirawat di RSPAD Gatot Subroto karena didiagnosis menderita Kolelitiasis/Batu
empedu dan telah dilakukan prosedur Laparotomi pada tanggal 22 April 2019.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Kolelitiasis (post Laparotomi)

Riwayat Alergi
Riwayat Urtikaria (+), Asma (+)

Riwayat Penyakit Keluarga


(-)

III. STATUS GENERALIS


Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Status gizi : BB/TB2 = 52 kg/1,552m = 21, 6 kg/m2 = Normal
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82 x /menit, reguler
Pernapasan : 28 x /menit
Suhu : 36,5 °C
Kepala : Normocephali, rambut hitam, pertumbuhan rambut merata.
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Leher : Kelenjar tiroid dan KGB tidak teraba pembesaran.
Jantung : Tidak dilakukan

3
Paru : Tidak dilakukan
Abdomen : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema.

IV. STATUS DERMATOLOGI


 Lokasi : Regio Zygomaticus dextra et sinistra
Effloresensi : Plak eritema, krusta

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan

VI. RESUME
Pasien perempuan, Ny. LS, 51 tahun, dikonsulkan ke bagian Kulit kelamin
RSPAD dengan keluhan bercak kemerahan disertai gatal, nyeri kulit dan timbul bekas
keropeng di bagian pipi kiri dan kanan sejak 3 hari yang lalu. Keluhan timbul setelah
pasien dipasang alat bantu nafas beberapa saat sebelum menjalani prosedur
laparotomi .Pasien memiliki riwayat asma dan urtikaria dan telah selesai menjalani
prosedur laparotomi atas indikasi kolelitiasis.

4
Dari hasil pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal. Dari hasil
pemeriksaan dermatologis, pada regio universalis tampak gambaran plak eritema
dengan krusta. Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan.

VII. DIAGNOSIS KERJA


 Dermatitis Kontak Alergen

VIII. DIAGNOSIS BANDING


 Dermatitis Kontak Iritan

IX. ANJURAN PEMERIKSAAN


 Tes Tempel (Patch test)

X. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
 Menganjurkan pasien untuk tidak menggaruk daerah atau bagian tubuh yang
gatal.
 Menjaga kebersihan tubuh.
 Menghindari bahan-bahan yang menjadi faktor penyebab kekambuhan
penyakit.

Medikamentosa :
 Sistemik : Prednisone 3x10 mg
Cetirizine 1x10 mg
 Topikal : Kompres NaCl 0,9 %

XI. PROGNOSIS

 Quo ad vitam : Dubia ad bonam


 Quo ad functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).
B. Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut
bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi
sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuh-
tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap
tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison
sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly
antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan
logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),
formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet),
tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)
(Trihapsoro, 2003).
2. Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi. Misalnya
antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi

6
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi null
pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel (Thysen,
2009).
4) Status higinie dan gizi

Seluruh faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang masing –
masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai contoh, saat
keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus higinienya baik dan
didukung status gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi allergen akan tereduksi dari
potensi yang seharusnya. Sehingga sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat
melakukan perbaikan bila dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi
individu yang rendah. Selain hal – hal diatas, faktor predisposisi lain yang
menyebabkan kontak alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit
terganggu, misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).

C. Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang
oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif dan
seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia tersebut
bila terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam menembus
stratum corneum dan membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit.
Konjugat yang terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah
bening yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali konjugat
hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten
diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan memberikan

7
respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang
ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi
yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan
mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNFα, leukotrien, IFNγ, dan sebagainya,
sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediator-
mediator tersebut akan menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama
seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen
selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa tahun
(Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan
penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang relatif
rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan jika mengenai
wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema memisahkan
sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang berdekatan.
Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak
mata (Price, 2005).

Skema Patogenesis DKA

Kontak Dengan
Alergen secara
Berulang

Alergen kecil dan


larut dalam lemak
disebut hapten

8
Sel langerhans IL-1, ICAM-1, LFA-
Menembus lapisan keluarkan sitokin 3,B-7, MHC I dan II
corneum

Sitokin akan
Difagosit oleh sel memproliferasi sel T
Langerhans dengan dan menjadi lebih
pinositosis banyak dan memiliki
sel T memori

Hapten + HLA-DR
Sitokin akan keluar
dari getah bening

Membentuk antigen

Beredar ke seluruh
tubuh

Dikenalkan ke
limfosit T melalui
CD4 Individu tersensitisasi

Fase Sensitisasi (I)


2-3 minggu

Fase Elitisasi (II)

24-48 jam

Pajanan ulang

Sel T memori

9
Aktivasi sitokin
inflamasi lebih
kompleks

Respons klinis DKA

Proliferasi dan ekspansi


sel T di kulit
Faktor kemotaktik, PGE2
dan OGD2, dan leukotrien
B4 (LTB4) dan eiksanoid
menarik → neutrofil,
IFN – γ → keratinosit monosit ke dermis
→ LFA -1, IL-1, TNF-
α

Eikosanoid (dari sel


mast dan keratinosit Molekul larut (komplemen
dan klinin) → ke
epidermis dan dermis

Dilatasi vaskuler dan


peningkatan
permeabilitas vaskuler

D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal (Sularsito,
2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit
berukuran numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi,
dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah penderita memakai
kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data
yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal
yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui

10
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari
yang bersangkutan maupun keluarganya (Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat
pada DKA didasarkan pada beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1
berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).

Demografi dan riwayat Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pekerjaan pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.

Riwayat penyakit dalam Faktor genetik, predisposisi


keluarga

Riwayat penyakit Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-


sebelumnya obat yang digunakan, tindakan bedah

Riwayat dermatitis yang Onset, lokasi, pengobatan


spesifik

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai
lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh
deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh
sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang,
pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-
sebab endogen (Sularsito, 2010).

Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).


Lokasi Kemungkinan Penyebab
Tangan Pekerjaan yang basah (‘Wet Work’) misalnya
memasak makanan (getah sayuran, pestisida)
dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.
Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu

11
semen, dan tanaman.
Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada
di pakaian.
Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata).
Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep
mata.
Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai
kacamata, obat topikal, gagang telepon.
Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat
warna pakaian.
Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet
(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut
atau pewangi pakaian.
Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di
tangan, parfum, kontrasepsi.
Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,
sepatu/sandal.

Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati
beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau bula.
Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar berikut :

a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena alergi
terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada lokasi kontak
langsung dengan nikel (lesi eksematosa dan terkadang popular). Lesi
eksematosa berupa papul-papul, vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi
kontak langsung.

12
b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick. Pasien
hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir

c.
Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis
kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata,
cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat
mengandung akrilak, bahan plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting
yang menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel
dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi
pada dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak
kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian leher.
Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastik

13
d. Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian. Dermatitis kontak pada perut karena pasien alergi pada karet
dari celananya. Terlihat adanya eritema yang berbatas tegas sesuai dengan
daerah yang terkena alergen.

e. Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom, pembalut


wanita alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Dermatitis
kontak yang terjadi pada daerah vulva karena alergi pada cream yang
mengandung neomisin, terlihat eritema

f. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh
tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen,

14
sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis kontak alergi yang terjadi karena
Quaternium-15,bahan pengawet pada pelembab.Kaki mengalami skuama,
krusta

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik
yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis,
dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang utama ialah
dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI). Dalam keadaan ini pemeriksaan uji
tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut
karena kontak alergi (Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan
yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik,
pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung digunakan apa
adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk
membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih dahulu.
Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin
atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen,
hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu,
atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan
dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang
tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan
memakai Finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat

15
bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10
orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi (Sularsito, 2010).

Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien


Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel
(Sularsito, 2010):
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut
atau berat dapat terjadi reaksi ‘angry back’ atau ‘excited skin’ reaksi
positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya
semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel
dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20 mg/hari atau
dosis ekuivalen kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi
negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil
tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua
dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil
negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48
jam, dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji
tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita
yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticaria

16
type), karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi
anafilaksis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur
khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas.


Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan
bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti
berikut (Sularsito, 2010):

1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)


2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

T.R.U.E. Test®
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.

A. Hasil uji positif


terhadap picaridin
(KBR) 2,5%.

B. Hasil uji positif


terhadap methyl
glucose diolate
(MGD) 10%.

Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi,


biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk
membantu membedakan antara respons alergik atau iritasi, dan juga
mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat
bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien

17
untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi
(Sularsito, 2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi
dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik biasanya menjadi lebih
jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++
bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon iritan cenderung
menurun (reaksi tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).

b. Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan
cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal
tidak perlu diikutsertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi
primer yang belum mengalami garukan atau infeksi sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih
baik biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan jaringan
subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya
formalin 10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya
mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-Eosin(HE).
Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan hendaknya tebal
jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum
dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi


dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis

18
epidermis. Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak spesifik (Sularsito,
2010).
1) Epidermis (Sularsito, 2010):
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai dengan
penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.
2) Dermis (Sularsito, 2010):
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema

Histopatologik dermatitis kontak alergi

Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal, spongiosis


sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis yang dinyatakan lewat
infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan beberapa eosinofil, serta elongasi
dari papila epidermis(Sularsito, 2010).

4. Gold Standard Diagnosis


Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu dilakukan uji
tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk
melakukan uji tempel diperukan antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn
Chamber System Kit dan T.R.U.E Test. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen

19
bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran
yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada
sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun
jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu, bila
menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus berhati-
hati sekali. Jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak diketahui
(Sularsito, 2010).
E. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek serta
tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi (Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis
kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang
bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris,
pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 3-
4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali
untuk anak – anak untuk menghilangkan rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin
atau eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari, selama 5 hingga 7
hari
c. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri, dkk,
2005). :

20
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis
kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika tidak ada
sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang
berisiko terhadap paparan alergen
F. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan kontaknya
dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila bersamaan dengan
dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis
numularisatau psoriasia) (Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat
prognosis kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya
berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan
penderita(Djuanda, 2005).

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri terutama
Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes simpleks. Rasa gatal yang
berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit
sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula
menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah warna, tebal dan
kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009).

21
Daftar Pustaka

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6.
Jakarta: FK UI.

2. Trihapsoro, Iwan. 2009. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan. Tersedia dalam
: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada tanggal 04 April
2019.

3. Uter W, Werfell T, White IR, et al. Contact allergy: a review of current problems
from a clinical perspective. Int J Environ Res. 2018; 1108 (52) : 02-39.

4. Brasch J, Becker D, Aberer W, Bircher A, Kranke B, Jung K, et al. Guideline


contect dermatitis. Allergo J Int 2014; 23: 126-38.

5. Anggraini DM, Sutedja E, Achdiyani. Etiology of allergic contact dermatitis based


on patch test. AMJ. 2017; 4 (4): 541-5.

6. Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of Contact
Allergy in the Adult General Population. Denmark : National Allergy Research
Centre, Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital, University of
Copenhagen .

22

Anda mungkin juga menyukai