Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batubara

Menurut Arif (2014), Batubara merupakan salah satu energi di dunia. Batubara
adalah campuran yang sangat kompleks dari zati kimia organic yang mengandung
karbon, oksigen, dan hydrogen dalam sebuah rantai karbon. Menurut undang-
undang no.4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara, batubara merupakan
endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa
tumbuh-tumbuhan dan bisa terbakar.

2.2 Pertambangan Batubara

Pertambangan (mining) adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan bisnis yang


berkaitan dengan industry pertambangan mulai dari prosepeksi, eksplorasi,
evaluasi, penambangan, pengolahan, pemurnian sampai dengan pemasaran.
Kegiatan pertambangan merupakan suatu kegiatan yang unik karena berhubungan
dengan endapan dibawah bumi yang tersebar sacara geologis-jenis, jumlah,
kadar/kualitas, hingga karateristik lainnya (Arif, 2014).

Pada dasarnya metode penambangan batubara dibagi menjadi dua cara, yaitu
metode tambang terbuka dan metode tambang bawah tanah. Hampir semua
tambang diindonesia menggunakan metode tambang terbuka karena cadangan
batubara sebagian besar terdapat di daerah rendah dengan topografi tidak terlalu
landau, dengan lapisan penutup tidak terlalu tebal dan kemiringan lapisan relative
kecil.

5
2.3 Tambang Terbuka

Menurut Nurhakim (2002), yang dimaksud dengan tambang terbuka (surface mining)
adalah segala kegiatan penambangan yang dilakukan diatas atau relatif dekat permukaan
bumi dan tempat kerja itu berhubungan langsung dengan udara bebas. penambangan
terbuka adalah metode operasi penambangan permukaan yang sederhana dalam konsep
tetapi kompleks dalam kebutuhan biaya dan efisiensi. Penambangan terbuka harus
direncanakan dan dilaksanakan untuk menjaga biaya unit agar seminimal mungkin.
Dengan demikian rekayasa tembang terbuka sangat sulit direkayasa meskipun sederhana
dalam pengerjaanya. Menurut Atkinson (1983) dalam hartman (2002), ada sejumlah
faktor yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan awal:

1. Faktor alam dan geologi: kondisi geologi, jenis bahan galian, kondisi hidrologi,
topografi dan karakteristik bahan galian.
2. Faktor ekonomi: kadar, tonase, stripping ratio, kualitas yang diinginkan, biaya operasi,
biaya investasi, keuntungan yang diinginkan, tingkat produksi, dan kondisi pasar.
3. Faktor teknologi: peralatan, lereng pit, tinggi jenjang, grade jalan, pemilihan
transportasi dan pit limit.

Tipe penambangan batubara dengan metode tambang terbuka tergantung pada letak dan
kemiringan serta banyaknya lapisan batubara dalam satu cadangan. Di samping itu
metode tambang terbuka dapat dibedakan juga dari cara pemakaian alat dan mesin yang
digunakan dalam penambangan (Sukandarrumidi, 2008).

Beberapa metode penambangan batubara dengan metode tambang terbuka adalah :

a. Contour Mining
Tipe penambangan ini pada umumnya dilakukan pada endapan batubara yang terdapat di
pegunungan atau perbukitan. Penambangan batubara dimulai pada suatu singkapan
lapisan batubara dipermukaan atau croup line dan selanjutnya mengikuti garis kontur
sekeliling bukit atau pegunungan tersebut.

6
Lapisan batuan tanah penutup batubara dibuang kearah lereng bukit dan selanjutnya
batuan yang telah tersingkap diambil dan diangkut. Kegiatan penambangan berikutnya
dimulai lagi seperti tersebut diatas pada lapisan batubara yang lain sampai pada suatu
ketebalan lapisan penutup batubara yang menentukan batas limit ekonominya atau sampai
batas maksimal kedalam di mana peralatan tambang tersebut dapat bekerja.

Gambar 2.1 Contour Mining (Sukandarrmuidi, 2008)

b. Open Pit Mining


Open pit mining adalah penambangan secara terbuka dalam pengertian umum. Apabila
hal ini diterapkan pada endapan batubara dilakukan dengan jalan membuang lapisan
batuan penutup sehingga lapisan batubaranya tersingkap dan selanjutnya siap untuk di
ekstraksi. Peralatan yang dipakai pada penambangan open pit dapat bermacam-macam
tergantung pada jenis dan keadaan batuan penutup yang akan dibuang. Dalam pemilihan
peralatan perlu diperhatikan.
- Kemiringan lapisan batuan
Pada lapisan dengan kemiringan cukup tajam pembuangan lapisan penutup dapat
menggunakan alat muat baik berupa face shovel, front and loader atau alat muat
lainya.

- Masa operasi tambang


Penambangan tipe open pit biasanya dilakukan pada endapan batubara yang
mempunyai lapisan tebal atau dalam dan dilakukan dengan menggunakan beberapa
bench.

7
c. Stripping Mining
Tipe penambangan terbuka yang diterapkan pada endapan batubara yang lapisanya datar
dekat permukaan tanah. Alat yang digunakan dapat berupa alat yang sifatnya mobil atau
alat pengangkat yang dapat membuang sendiri. Penambangan batubara khususnya di
Kalimantan akan dimulai dengan cara tambang terbuka yang memakai alat kerja bersifat
mobil.

2.4 Perencanaan Tambang dan Perancangan Tambang

2.4.1 Perencanaan Tambang

Menurut Arif (1999), tahapan penting dalam studi kelayakan dan rencana kegiatan
penambangan adalah perencanaan tambang. Aspek perencanaan tambang berhubungan
dengan waktu, dan tidak berkaitan dengan masalah geometri, misal perhitungan
kebutuhan alat dan tenaga kerja, perkiraan biaya kapital dan biaya operasi. Dalam
perancangan tambang dibagi menjadi tugas-tugas sebagai berikut:

a. Penentuan batas akhir penambangan (ultimate pit limit)


Menentukan batas akhir dari kegiatan penambangan (ultimate pit limit) untuk suatau
batubara. Ini berarti menentukan berapa besar cadangan yang akan ditambang(tonase
dan kadarnya) yang akan memaksimalkan nilai bersih total dari cadangan tersebut.
Dalam penentuan batas akhir dari pit, nilai waktu dari uang belum diperhitungkan.

b. Tahapan penambangan (push back)


Merancang bentuk-bentuk penambangan (minable geometries) untuk menambang
habis cadangan tersebut mulai dari titik awal masuk hingga batas akhir dari pit.
Perancangan pushback atau tahapan penambangan ini membagi ultimate pit menjadi
unit-unit perancanaan yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola. Hal ini akan
membuat masalah perancangan tambang tiga dimensi yang kompleks menjadi lebih
sederhana.

8
c. Penjadwalan produksi
Menambang bijih dan lapisan penutupnya (waste) diatas kertas, jenjang demi jenjang
mengikuti urutan pushback, dengan menggunakan tabulasi tonase dan kadar untuk tiap
pushback yang diperoleh. Pengaruh dari berbagai kadar batas (cut off grade) dan
berbagai tingkat produksi batubara dan waste dievaluasi dengan menggunakan kriteria
nilai waktu dari uang.

d. Perancanaan tambang berdasarkan urutan waktu


Dengan menggunakan sasaran jadwal produksi yang dihasilkan dari peta rencana
penambangan dibuat untuk setiap periode waktu (biasanya pertahun). Peta-peta ini
menunjukkan dari bagian mana didalam tambang datangnya bijih dan waste untuk
tahun tersebut. Rencana penambangan tahunan ini sudah cukup rinci didalamnya
sudah termasuk pula jalan angkut dan ruang kerja alat, sedemikian rupa sehingga
merupakan bentuk yang dapat ditambang. Peta rencana pembuangan lapisan penutup
(waste dump) dibuat pula untuk periode waktu yang sama sehinggan gambaran
keseluruhan dari kegiatan penambangan dapat terlihat.

2.4.2 Perancangan Tambang

Dalam rangka membuka suatu tambang, haruslah didasarkan pada suatu rancangan yang
telah dibuat dan dikaji kelayakan teknis dan ekonomisnya. Pada upaya perancangan
tambang ini perlu digunakan data yang terkumpul selama tahap eksplorasi. Dengan dasar
Peta topografi yang memadai serta lokasi dan data bor yang cukup. Kemudian dengan
menerapkan kestabilan lereng tambang yang menjamin keselamatan tambang dapat
dihitung jumlah cadangan tertambang dan nilai nisbah kupasnya (Ambyo, 1999).

2.5 Geometri Jenjang

Menurut Hustrulid dan Kutcha (1998), beberapa parameter penentuan dimensi jenjang,
yaitu:
a. Jangkauan alat gali
b. Alat yang bekerja pada bench

9
c. Kedalaman alat bor yang digunakan
d. Pertimbangan jumlah cadangan

Geometri jenjang terdiri dari tinggi jenjang, sudut lereng jenjang tunggal, dan lebar dari
jenjang penangkap. Rancangan geometri jenjang ini biasanya dinyatakan dalam bentuk
ketiga aspek ini:
1. Tinggi Jenjang
2. Sudut Lereng Jenjang
3. Lebar Jenjang Penangkap

Komponen dasar pada Open Pit adalah jenjang. Bagian jenjang menurut (Hustrulid &
Kuchta, 1998) antara lain:

a. Jenjang Kerja (Working Bench)

Jenjang Kerja (Working Bench) merupakan bagian dari jenjang yang berfungsi sebagai
tempat bekerja bagi peraltan tambang. Pada umumnya lebar safety bench adalah 2/3 dari
tinggi jenjang. Pada akhirmya umur tambang, lebar safety bench dikurangi menjadi
sekitar 1/3 dari tinggi jenjang.

Gambar 2.2 Working Bench dan Safety Bench (Hustrulid &Kuchta, 2013)

10
b. Jenjang Penangkap (Cacth Bench)

Jenjang penangkap merupakan jenjang yang berada di antara jenjang utama yang dibuat
guna menangkap material yang jatuh atau runtuh dari jenjang sebelumnya. Ukuran
jenjang ini biasanya relative kecil dari jenjang utamanya.

Gambar 2.3 Catch Bench (Hustrulid &Kuchta, 2013)

c. Pit Slope Geometry & Toe

Pit Slope Geometry disebut juga geometri kemiringan dari front penambangan. Face
angle adalah sudut lereng jenjang tunggal.
Berikut ini adalah gambar yang memperlihatkan bagian-bagian jenjang:

Gambar 2.4 Bagian-bagian jenjang (Hustrulid &Kuchta, 2013)

11
Geometri Jenjang dalam Kepmen No.555.K/26/M.PE/1995 Tentang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Pertambangan Umum pada pasal 241 ayat 1 – 6, dibahas mengenai
tinggi permuka dan lebar teras kerja, yaitu:
a. Kemiringan, tinggi dan lebar tetap harus dibuat dengan baik dan aman untuk
keselamatan para pekerja agar terhindar dari material atau benda jatuh.
b. Tinggi jenjang (bench) untuk pekerjaan yang dilakukan pada lapisan yang
mengandung pasir, tanah liat, kerikil, dan material lepas lainnya harus:
c. Tidak boleh lebih dari 2,5 meter apabila dilakukan secara manual;
d. Tidak boleh lebih dari 6 meter apabila dilakukan secara mekanik dan
e. Tidak boleh lebih dari 20 meter apabila dilakukan dengan menggunakan clamshell,
dragline, bucket wheel excavator atau alat sejenis kecuali mendapat persetujuan
Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang.
f. Tinggi jenjang untuk pekerjaan yang dilakukan pada material kompak tidak boleh
lebih dari 6 meter, apabila dilakukan secara manual;
g. Dalam hal penggalian dilakukan sepenuhnya dengan alat mekanis yang dilengkapi
dengan kabin pengaman yang kuat, maka tinggi jenjang maksimum untuk semua
jenis material kompak 15 meter, kecuali mendapat persetujuan Kepala Pelaksana
Inspeksi Tambang.
h. Studi kemantapan lereng harus dibuat apabila: Tinggi jenjang keseluruhan pada
sistem penambangan berjenjang lebih dari 15 meter dan Tinggi setiap jenjang lebih
dari 15 meter.
i. Lebar lantai teras sekurang-kurangnya 1,5 kali tinggi jenjang atau disesuaikan
dengan alat-alat yang digunakan sehingga dapat bekerja dengan aman dan harus
dilengkapi dengan tanggul pengaman (safety berm) pada tebing yang terbuka dan
diperiksa pada setiap gilir kerja dari kemungkinan adanya rekahan atau tanda-tanda
tekanan atau tanda-tanda kelemahan lainnya.

2.6 Geometri Jalan Tambang

Pada umumnya pola akses material tambang menjadi dua, yaitu: pengangkutan
overburden ke lokasi penimbunan (waste dump), dan pengangkutan batubara ke lokasi
pengolahan (crushing plan). Akses material ini memerlukan rancangan jalan angkut

12
tambang (ramp). Ada beberapa geometri yang harus diperhatikan dan dipenuhi untuk
menunjang kelancaran dalam operasi pengangkutan antara lain:

a. Lebar Jalan pada Jalan Lurus


Menurut Yanto (2005), Penentuan lebar jalan angkut minimum untuk jalan lurus
didasarkan pada Rule of Thumb yang dikemukakan Aasho Manual Rural High-way
Design adalah:

Lmin = n . Wt + (1 + n) (0,5 . Wt)

dengan: Lmin = Lebar jalan angkut minimum (m)


Wt = Lebar alat angkut total (m)

Gambar 2.5 Lebar Jalan Angkut Dua Jalur Pada Jalan Lurus (Yanto, 2005)

b. Lebar Jalan pada Tikungan


Lebar jalan angkut pada tikungan selalu lebih besar dari pada lebar jalan lurus
(Yanto, 2005). Untuk jalur ganda, lebar minimum pada tikungan dihitung
berdasarkan pada:
Lebar jejak ban alat angkut.
- Lebar juntai atau tonjolan (overhang) alat angkut bagian depan dan belakang
pada saat membelok.
- Jarak antara alat angkut pada saat bersimpangan.
- Jarak (space) alat angkut dengan tepi jalan.

13
Gambar 2.6 Lebar Jalan Angkut Dua Lajur Pada Belokan (Yanto, 2005)

Lebar jalan angkut pada tikungan dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
W = n ( U+Fa+Fb+Z) + C
C = Z = ½ (U=Fa+Fb)

dengan: W = Lebar jalan angkut pada tikungan (m)


n = Jumlah Jalur
U = Jarak jejak roda kendaraan (m)
Fa = Lebar juntai depan (m)
Fb = Lebar Juntai belakang (m)
C = Jarak antara dua alat angkut yang akan bersimpangan (m)
Z = Jarak sisi luar alat angkut ke tepi jalan (m)

c. Kemiringan Jalan
Menurut Yanto (2005), Kemiringan atau grade jalan merupakan salah satu faktor
penting yang harus diamati secara detail dalam suatu kajian terhadap kondisi jalan
tambang karena akan mempengaruhi kinerja alat angkut yang melaluinya.
Kemiringan jalan angkut biasanya dinyatakan dalam persen (%).

14
Gambar 2.7 Kemiringan Jalan Angkut (Yanto, 2005)

2.7 Tahapan Penambangan (Mine Sequence/Push Back)

Menurut Sulistiyana (2010), Tahapan penambangan merupakan bentuk-bentuk


penambangan (mineable geometris) yang menunjukkan bagaimana suatu pit akan
ditambang dari titik awal masuk hingga bentuk akhir pit. Pentahapan penambangan
disebut juga dengan nama sequence, push back, phase, slice, dan stage. Berikut
merupakan ilustari dari rancangan tahapan penambangan.

Gambar 2.8 Pentahapan Penambangan (Sulistyana, 2010)

Tujuan dari pentahapan penambangan adalah untuk menyederhanakan seluruh volume


yang ada dalam overall pit ke dalam unit-unit pit penambangan yang lebih kecil, sehingga
memudahkan penanganannya. Dalam merancang tahapan penambangan, parameter
waktu harus diperhitungkan, karena waktu merupakan parameter yang sangat

15
berpengaruh dalam suatu penjadwalan tambang untuk dapat mengoptimalkan target
produksi.

Tahapan-tahapan penambangan yang dirancang dengan baik akan memberikan akses ke


semua daerah kerja dan menyediakan ruang kerja yang cukup untuk operasi peralatan
kerja tambang secara efisien. Salah satu hal terpenting adalah untuk memperlihatkan
minimal satu jalan angkut pada setiap tahapan penambangan. Jika suatu akses jalan akan
dimasukkan pada suatu tahapan penambangan, lebar awal disebelah atas harus ditambah
untuk memberikan ruangan ekstra.

2.7.1 Teori Strip, Panel, dan Blok

Teori strip, panel, dan blok dijumpai pada rancangan penambangan endapan batubara,
daerah penambangan dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, yaitu pit (tambang),
panel, strip, dan blok.

Gambar 2.9 Components of a Blockstrip

a. Pit
Penambangan dibagi menjadi beberapa pit untuk memudahkan pelaksanaan operasi
penambangan. Pembagian pit (tambang) terutama didasarkan pada pencapaian
target produksi dari bahan galian yang akan ditambang.

16
b. Panel
Masih-masih pit dibagi menjadi panel-panel yang melintang misalnya dari arah
barat ke timur. Lebar tiap panel umumnya adalah 100 m. Penomoran untuk panel
1 adalah P1, panel 2 adalah P2, dan seterusnya.
c. Strip
Setiap panel dibagi lagi menjadi strip-strip yang dibuat tegak lurus garis panel.
Lebar setiap strip adalah 100 m melintang dari arah selatan ke utara. Penomoran
untuk strip 1 adalah S1, strip 2 adalah S2, dan seterusnya pada masing-masing
panel.
d. Blok
Blok merupakan perpotongan antara panel dan strip. Bentuk akhir dari blok adalah
bujursangkar dengan ukuran 100 m x 100 m. Penomoran untuk blok adalah
gambungan dari panel dan strip. Contoh P10S10, berati P10 = Panel 10 dan S10 =
Strip 10.

2.7.2 Kriteria Tahapan Penambangan

Menurut Ambyo (1999), ada beberapa kriteria dari pentahapan penambangan (mine
sequence/pushback):
a. Harus cukup lebar agar peralatan tambang dapat bekerja baik. Untuk truck dan shovel
besar yang ada sekarang, lebar pushback minimum adalah 100-130 meter. Untuk
loader dan truck berukuran sedang 60 meter sudah cukup lebar. Jumlah shovel yang
diperkirakan akan bekerja bersama-sama pada sebuah pushback juga mempengaruhi
lebar minimum ini.
b. Tak kurang pentingnya untuk memperlihatkan paling tidak satu jalan angkut untuk
setiap pushback, untuk memperhitungkan jumlah material yang terlibat dan
memungkin akses keluar. Jalan angkut ini harus menunjukkan pula akses ke seluruh
permukaan kerja.
c. Perlu diperhatikan bahwa penambahan jalan pada suatu pushback akan mengurangi
lebar daerah kerja (sebanyak lebar jalan) dibawah lokasi jalan tersebut. Jika beberapa
jalan atau switchback akan memasukkan kesuatu pushback, lebar awal disebelah atas
harus ditambah untuk memberiruang ekstra.

17
d. Perlu diperhatikan pula bahwa tambang kita tidak akan pernah sama bentuknya
dengan rancangan tahap-tahap penambangan (phase design). Ini karena dalam
kenyataannya, beberapa pushback akan aktif pada waktu yang sama (dikerjakan
secara bersamaan).
e. Suatu patokan pengukuran jarak (template untuk lebar jalan, panjang segmen jalan
antar jenjang, jarak centerlines) yang sesederhana sangat berguna untuk perancangan
secara manual.

2.8 Tempat Penimbunan Overburden (Disposal/Waste dump)

Menurut Sulistiyana (2010), Waste dump adalah suatu lokasi untuk pembuangan material
kadar rendah dan atau material bukan bijih yang harus digali dari pit untuk memperoleh
bijih (material kadar tinggi) dalam suatu operasi tambang terbuka. Daerah yang
diperlukan untuk waste dump pada umumnya berluasan 2-3 kali dari daerah
penambangan (pit). Material yang telah dibongkar (loose material) berkembang 30% -
45% dibangdingkan dengan material asli. Sudut kemiringan untuk suatu waste dump
umunya lebih landai dari pit. Material pada umumnya tidak dapat ditumpuk setinggi
kedalaman dari pit. Berikut akan dijelaskan mengenai teknik pengupaasan tanah penutup
dan jenis-jenis dump yang dapat diterapkan.

2.8.1 Jenis Dump

Menurut Sulistiyana (2010), rancangan waste dump sangat penting untuk perhitungan
keekonomian. Lokasi bentuk dari waste dump dan stockpile akan berpengaruh terhadap
jumlah gilir-kerja (shift) yang diperlukan, demikian pula biaya operasi dan jumlah truk
yang diperlukan. Pada umumnya luas daerah yang diperlukan untuk waste dump adalah
dua sampai tiga kali dari daerah penambangan (pit). Hal ini disebabkan oleh:
a. Material yang telah dibongkar (loose material) berkembang 30% – 45%
dibandingkan material insitu.
b. Sudut kemiringan untuk setiap dump umumnya lebih landai dari pit.
c. Material pada umumnya tidak dapat ditimbun setinggi kedalaman dari pit.

18
Jenis dump dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Valley fill atau crest dump
- Dapat diterapkan di daerah yang mempunyai topografi curam.
- Elevasi puncak (dump crest) ditetapkan pada awal pembuatan dump. Truck
membawa muatan ke elevasi ini dan membuang muatan kelembah
dibawahnya. Elevasi crest ini dipertahankan sepanjang umur tambang.
- Dump dibangun berdasarkan angle of repose.
- Dumping akan mulai pada kaki dari dump final sehingga pada awal proyek
jarak pengangkutan lebih panjang.
- Pemadatan diperlukan untuk memenuhi syarat reklamasi
b. Terraced dump yaitu timbunan yang dirancang ke atas (dalam lift).
- Dapat diterapkan jika topografi tidak begitu curam pada lokasi timbunan.
- Timbunan dirancang dari bawah. Tinggi tiap lift biasanya 20-40 m.
- Lift-lift berikutnya terletak di belakang sudut keseluruhan (overall slope angle)
mendekati yang dibutuhkan untuk reklamasi.

2.8.2 Pemilihan Lokasi Penimbunan

Menurut Sulistiyana (2010), alam pemilihan lokasi penimbunan ada beberapa faktor yang
berpengaruh, yaitu:

 Lokasi dan ukuran pit sebagai fungsi waktu


 Topografi
 Volume waste rock sebagai fungsi waktu
 Batas konsesi penambangan
 Jalur penirisan yang ada
 Persyaratan reklamasi
 Kondisi fondasi
 Peralatan penanganan material

19
Selama perancangan detail dilakukan dapat dipertimbangkan beberapa lokasi yang
berbeda untuk perbandingan faktor ekonomi.

2.9 Stripping Ratio dan Pit Limit

2.9.1 Konsep Nisbah Kupas (Stripping Ratio)

Nisbah pengupasan adalah perbandingan antara tonase waste yang harus dipindahkan
terghadap satu ton bijih yang ditambang. Haasil suatu perancangan pit akan menentukan
berapa tonase bijih dan waste yang dikandung pit itu. Salah satu cara menguraikan
efisiensi geometri dari operasi penambangan berdasarkan nisbah pengupasan. Nisbah
pengupasan menunjukkan antara volume/tonase tanah penutup dengan volume/tonase
batubara pada area yang akan ditambang. Rumusan umum yang sering digunakan untuk
menyatakan perbandingan itu (Hustrulid & Kuchta 1998) adalah:

𝑂𝑣𝑒𝑟𝑏𝑢𝑟𝑑𝑒𝑛 𝑡ℎ𝑖𝑐𝑘𝑛𝑒𝑠𝑠 (𝑓𝑡)


𝑆𝑅 = .................................................................................... (2.1)
𝐶𝑜𝑎𝑙 𝑡ℎ𝑖𝑐𝑘𝑛𝑒𝑠𝑠 (𝑓𝑡)

Pengertian stripping ratio (SR) pada penambangan batubara adalah perbandingan volume
overburden yang harus dipindahkan (BCM) untuk setiap satu ton batubara yang
ditambang. Hasil suatu perancangan pit akan menetukan jumlah volume overburden dan
tonase batubara yang mengisi pit.

𝑂𝑣𝑒𝑟𝑏𝑢𝑟𝑑𝑒𝑛 𝑡ℎ𝑖𝑐𝑘𝑛𝑒𝑠𝑠 (𝑏𝑐𝑚)


𝑆𝑅 = ................................................................................ (2.2)
𝐶𝑜𝑎𝑙 𝑡ℎ𝑖𝑐𝑘𝑛𝑒𝑠𝑠 (𝑡𝑜𝑛)

Selain pengertian stripping ratio diatas dikenal pula istilah Break Even Stripping Ratio
(BESR) yaitu dimana biaya yang dihasilkan dari penjualan batubara habis untuk biaya
operasi penambangan tersebut atau dengan kata lain, keuntungan yang diperoleh dari
kegiatan penambangan batubara impas dengan biaya penambangannya. Secara umum
BESR dapat dirumuskan:

𝑃𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛
𝐵𝐸𝑆𝑅 = ............................................................................................ (2.3)
𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑆𝑡𝑟𝑖𝑝𝑝𝑖𝑛𝑔

20
Stripping Ratio berbanding terbalik dengan keuntungan. Apabila menambang dengan
batasan BESR maka tidak diperoleh keuntungan dsn tidak pula mengalami kerugian.
Apabila menambang dengan ketentuan stripping ratio lebih kecil dari BESR maka
diperoleh keuntungan semakin kecil stripping ratio yang diterapkan maka keuntungan
yang diperoleh semakin besar. Sebaliknya, apabila menambang dengan ketentuan
stripping ratio lebih besar dari BESR maka akan mengalami kerugian dan semakin besar
stripping ratio yang diterapkan maka kerugian yang diderita akan semakin besar.

2.9.2 Pit Limit

Penentuan batas penambangan (pit limit) ini diperlukan untuk memprediksikan suatu area
penambangan yang potensial untuk nantinya akan dikembangkan menjadi suatu lokasi pit
penambangan. Dengan mengetahui pit limit maka optimasi cadangan batubara dapat
dilakukan pada area yang terbatas, yaitu area yang telah dapat diprioritaskan sebagai nilai
ekonomis (Ahmad, 2017).

Untuk menentukan batas penambangan (pit limit) ini dilakukan dengan merekonstruksi
jenjang penambangan yang dimulai dari dasar endapan hingga batas ketinggian topografi
daerah setempat sesuai dengan rekomendasi dari data geotek untuk keadaan perlapisan
daerah penambangan. Untuk mendapatkan batas penambangan (pit limit) dilakukan
berulang-ulang hingga mendapatkan nisbah pengupasan (stripping ratio) yang
diinginkan.

21

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen11 halaman
    Bab Iv
    Harold Bombang
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen6 halaman
    Bab Iii
    Harold Bombang
    Belum ada peringkat
  • Makalah Teknik Terowongan
    Makalah Teknik Terowongan
    Dokumen14 halaman
    Makalah Teknik Terowongan
    Harold Bombang
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Ery Hidayat
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Ery Hidayat
    Belum ada peringkat