Anda di halaman 1dari 48

KONSEP, TEORI DAN PRINSIP KEPEMIMPINAN

DALAM KEPERAWATAN DAN MOTIVASI DALAM


MENEJEMEN KEPERAWATAN

DISUSUN OLEH:
ADI HAFIV SAPUTRA

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2019

i
Konsep Teori dan Prinsip Kepemimpinan dalam Keperawatan

A. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan dalam keperawatan merupakan bagian dari sistem


manajemen keperawatan, dimana bagian dari sistem manajemen keperawatan
meliputi pengumpulan data, perencanaan, pengaturan, kepegawaian,
kepemimpinan dan pengawasan. Konsep kepemimpinan dalam keperawatan
merupakan penerapan pengaruh dan bimbingan yang ditunjukkan kepada
semua staf keperawatan. Untuk mencipatakan kepercayaan dan ketaatan
sehingga timbul kesediaan melaksanakan tugas dalam rangka mencapai tujuan
pelayanan keperawatan yag efektif, efesien dan berkualitas. Sedangkan
manajemen keprawatan adalah proses bekerja melalui anggota staf
keperawatan untuk memberikan asuha keperawatan secara professional,
sehingga keduanya dapat saling mendukung ( Imanuddin, 2009).
Fungsi kepemimpinan yang berkualitas dalam manajemen pada umumnya
diartikan hanya berfungsi pada kegiatan supervisi, tetapi dalam keperawatan
fungsi tersebut sangatlah luas, apabila posisi sebagai ketua tim, kepala ruangan
atau perawat pelaksana dalam suatu ruang, maka diperlukan pemahaman
tentang bagaimana mengelola dan memimpin orang lain dalam mencapai
tujuan asuhan keperawatan yang berkualitas (Sriyanti, 2003)..

Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi dan mengarahkan


berbagai tugas yang berhubungan dengan aktivitas anggota kelompok.
Kepemimpinan juga diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi berbagai
strategi dan tujuan, kemampuan mempengaruhi komitmen dan ketaatan
terhadap tugas untuk mencapai tujuan bersama; dan kemampuan
mempengaruhi kelompok agar mengidentifikasi, memelihara dan
mengembangkan budaya organisasi (Shegdill dalam Stoner dan Freeman 1989:
459-460).

2
Banyak definisi diberikan tentang kepemimpinan, antara lain: George
R.Terry, Leadership is the activit of influencing people to strive willingly for
group objectives. Stoner, kepemimpinan adalah suatu proses pengarahan dan
pemberian pengaruh pada kegiata-kegiatan dari sekelompok anggota yang
saling berhubungan tugasnya.

Harold Koontz and Cyril O’Donnell, state that leadership is influencing


people to follow in the achivement of a common goal. Handbook of
Leadership, memberikan definisi kepemimpinan sebagai“suatu interaksi antar
anggota suatau kelompok.

Kepemimpinan dapat terjadi di luar konteks organisasi dan


didefinisikan sebagai proses menggerakkan satu atau beberapa kelompok
dalam beberapa arahan tanpa melalui tekanan.

1. Gardner (1990, hlm.1) mendefinisikan kepemimpinan sebagai “proses


persuasif dan peneladanan oleh individu (atau tim kepemimpinan) yang
memengaruhi suatu kelompok untuk mengikuti arahan pemimpin atau
diberikan oleh pemimpin dan bawahan”.
2. Robbins (1991, hlm. 104) sependapat dengan pernyataan “kepemimpinan
adalah proses pemberdayaan kepercayaan dan mengajarkan orang lain
untuk menggunakan seluruh kemampuannya dengan menyingkirkan
kepercayaan yang membatasi mereka”.
3. Bennis (2001) menyatakan bahwa pemimpin membuat suatu visi yang jelas
dan menarik orang lain untuk mengikutinya.
Karena tidak ada titik temu antara penelitian dan teoretikus tentang
definisi pasti kepemimpinan, ada baiknya untuk berfokus pada peran apa yang
terkandung dalam kepemimpinan.

Berikut ini sebagian daftar peran pemimpin:

Pengambilan keputusan Instruktur Mampu meramal


Komunikator Konselor Berpengaruh

3
Evaluator Pengajar Penyelesaian masalah
yang kreatif
Fasilitator Pemikir kritis Agens pengubah
Pengambilan risiko Buffer (penengah) Diplomat
Penasihat Advokat Model peran
Penambah semangat Berpandangan ke depan

B. Pengertian Manajemen
Manajemen merupakan suatu pendekatan yang dinamis dan proaktif
dalam suatu kegiatan di organisasi. Didalam menajemen mencakup POAC
(Planning, Organizing, Actuating, Controlling) terhadap staf, sarana, prasarana
dalam mencapai tujuan organisasi (Grant dan Massey,1999).

Manajemen didefinisikan sebagai proses dalam menyelesaikan


pekaryaan melalui orang lain, sedangkan manajemen keperawatn adalah suatu
proses bekerja melalui anggota staf keperawatan untuk memberikan asuhan
kepeawatan secara professional. (Gillies, 1986)

Filosofi manajemen yaitu Totall Quality Management (TQM) menurut


Edwards Deming (2002) memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Hak Otonomi dalam pemngambilan keputusan tentang tugas


yang diemban
2. Membuat keputusan dalam upaya meningkatkan kualitas dan
produktivitas kerja
3. Memonitoring secara berkesinambungan dengan pendekatan
ilmiah
4. Adanya rencana Strategis
5. Memenuhi kebutuhan pasar /masyarakat.

4
Proses manajemen yang mendukung proses keperwatan
(Gillies,1996:2)

Pengkajian Diagnosis Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi

PROSES KEPERAWATAN

Pengumpulan
Perencanaan Pengelolaan Kepegawaian Kepemimpinan Pengawasan
data

Dalam mengelola manajemen diperlukan Manajemen Hubungan antar


Manusia.

Berikut beberapa teori dasar terkait :

1. Elton mayo (1930) menekankan manajemen kepada pegawai,


dengan tidak mengabaikan lingkungan kerja.
2. Douglas Mc. Gregor (1960) menekankan pendapat Mayo (1930)
tentang manajemen perilaku pegawai terhadap kepuasan pegawai ,
teori ini dinamakan teoi X dan Y. Dimana Teori X adalah pegawai
dengan perilaku pasif dan Teori Y adalah pegawai dengan perilaku
aktif. Teori ini merupakan komponen yang berkesinambungan dan
tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya keputusan yang tepat
dan akurat dari manajer dalam mengasumsikan / menilai
bawahannya.
3. Chris Argyris (1964) mendukug teori Mc. Gregor (1981) dan Mayo
yang menyatakan bahwa manajer yang terlalu dominan
menyebabkan pegawai tidak termotivasi dan cenderung pasif.

5
C. Teori Kepemimpinan
Pengembangan Teori Kepemimpinan
1. Teori Bakat ini adalah teori klasik dari kepemimpinan. Di sini disebutkan
bahwa seorang pemimpin dilahirkan, artinya bakat-bakat tertentu yang di
perlukan seseorang untuk menjadi pemimpin diperolehnya sejak lahir.
Kemampuan seorang pemimpin di tentukan oleh bakat, intelegensi,
stabilitas emosi dan kebugaran fisik.
Teori Bakat (Trait Theory) atau Great Man Theory: Menekankan bahwa
setiap orang adalah pemimpin (yang dibawa sejak lahir) dan mereka
mempunyai karakteristik tertentu yang membuat mereka lebih baik dari
orang lain (Marquis dan Huston,1998).
Ciri-ciri :
a) Intelegensi
1) Pengetahuan
2) Keputusan
3) Kelancaran berbicara
b) Kepribadian
1) Adaptasi
2) Kreatif
3) Kooperatif
4) Siap / siaga
5) Rasa percaya dri
6) Integritas
7) Keseimbangan emosi dan mengontrol
8) Independen
9) Tenang
c) Perilaku
1) Kemampuan bekerja sama
2) Kemampuan interpersona;
3) Kemampuan diplomasi
4) Partisipasi sosial

6
5) Prestise

2. Teori Perilaku: teori ini menekankan apa yang dilakukan pemimpin dan
bagaimana seorang manajer menjalankan fungsinya . teori ini dinamakan
Gaya Kepemimpinan seorang manajer dalam suatu organisasi ( Vestal,
1994 ).
Gaya kepemimpinan dapat didefinisikan berdaarkan perilaku pemimpin
itu sendiri ( Gillis,1970 ).
Gaya kepemimpinan menurut beberapa ahli:
a) Gaya Kepemimpinan menurut Tannenbau dan Warrant H. Schmitdt
Bahwa kepemimpinan berfokus pada atasan dan kepemimpinan
bawahan, yang dipengaruhi oleh faktor manajer, karyawan, dn situasi.
b) Gaya Kepemimpinan menurut Likert :
Mengelompokkan menjadi empat sistem ;
1) Sistem Otoriter – Eksploitatif
2) Sistem Benevolent – Otoritatif
3) Sistem konsultatif
4) Sistem partisipatif
c) Gaya Kepemimpinan menurut Teori X dan Teori Y :
1) Gaya Kepemimpinan diktator
2) Gaya Kepemimpinan otokratis
3) Gaya Kepemimpinan santai

d) Gaya Kepemimpinan menurut Robert House :


1) Direktif
2) Suportif
3) Partisipatif
4) Berorientasi tujuan
e) Gaya Kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard :
1) Intruksi

7
2) Konsultasi
3) Partisipasi
4) Delegasi
f) Gaya Kepemimpinan menurut Lippits dan K. White:
1) Otoriter
2) Demokratis
3) Libera; / Laissez Faire
g) Gaya Kepemimpinan berdasarkan kekuasan dan wewenang (
Gillis,1996):
1) Direktif
2) Suportif
3) Partisipatif
4) Bebas bertindak
3. Teori Kontingensi dan situasional: menekankan bahwa manajer yang
efektif adalah manajer yang melaksanakan tugasnya dengan
mengkombinasikan faktor bawaan, perilaku dan situasi
4. Teori Kontemporer: menekankan pada empat kompoen penting dalam
pengelolaan yaitu, manajer/pemimpin, staf dan atasan, pekerjaan, serta
lingkungan yang didukung oleh teori motivasi, interaksi, dan teori
transformasi.
5. Teori Motivasi:
Perbandingan beberapa teori motivasi berdasarkan isinya :
Teori Penjelasan
1. Hierarki kebutuhan (Maslow) Fisiologi = gaji pokok
Aman = perencanaan yang
regular (gaji)
Kasih sayang = kerja sama
secara tim
Harga diri = pencapaian posisi

8
Aktualisasi = tantangan alam
bekerja
2. Teori ERG (Clayton Alderfer) E = Existence (fisiologis)
R = Relatedness ( kasih
sayang)
G = Growth (tantangan dalam
bekerja)
3. Teori Dua Faktor (Frederich Herzberg) Motivators = kepuasan kerja
Hyiene = lingkungan yang
kondusif
4. Teori Belajar (Mc Clelleand) Affiliation = bersahabat
Power = memerintah orang
lain
Achievement = suka
tantangan, kompetisi dan
menyelesaikan masalah secara
detail

Perbandingan beberapa teori motivasi berdasarkan Prosesnya :


Teori Penjelasan
1. Teori keadilan (Adams) Berdasarkan nilai-nilai dan
kadilan terhadap karyawan
2. Teori Harapan (Georgopoulos Moheny, M = Job Outcomes x Valences
Jones dan Vroom) x Expectancy x Intrumentality
3. Teori Penguatan (B.F.Skinner) Stimulus-Respons-
Konsekuensi
4. Teori Belajar (Mc Clelleand) Tujuan yang harus dicapai
suatu organisasi

9
6. Teori Z
Teori Z dikemukakan oleh Ouchi (1981). Teori ini merupakan
pengembangan teori Y dari Mc. Gregor (1460) dan mendukung gaya
kepemimpinan demokratis. Komponen teori Z meliputi pengambilan
keputusan dan kesepakatan, menempatkan pegawai sesuai keahliannya,
menekankan pada keamanan pekerjaan, promosi yang lambat, dan
pendekatan yang holistik terhadap staf.
7. Teori Interaktif
Teori ini dikemukakan oleh Schein (1970), menekankan bhawa staf
atau pegawai adalah manusia sebagai suatu sistem terbuka yang selalu
berinteraksi dengan sekitarnya dan berkembang secara dinamis.
Hollande (1978) menekankan bahwa antara peran pemimpin dan staf
dipengaruhi oleh peran lainnya. Pemimpin yang efektif memerlukan
kemampuan unutk menggunakan proses penyelesaian masalah,
memepertahankan kelompok secara efektif, mempunyai kemampuan
komunikasi yang baik, kejujuran dalam memimpin, kompeten, kreatif,
dan kemampuan mengembangkan indentifikasi kelompok.

8. Teori Situasi
Bertolak belakang dengan teori bakat ialah teori situasi (situasional
theory). Teori ini muncul sebagai hasil pengamatan, dimana seseorang
sekalipun bukan keturunan pemimpin, ternyata dapat pula menjadi
pemimpin yang baik. Hasil pengamatan tersebut menyimpulkan bahwa
orang biasa yang jadi pemimpin tersebut adalah karena adanya situasi
yang menguntungkan dirinya, sehingga ia memiliki kesempatan untuk
muncul sebagai pemimpin.

9. Teori Ekologi
Sekalipun teori situasi kini banyak dianut, dan karena itu masalah
kepemimpinan banyak menjadi bahan studi, namun dalam kehidupan
sehari-hari sering ditemukan adanya seorang yang setelah berhasil

10
dibentuk menjadi pemimpin, ternyata tidak memiliki kepemimpinan
yang baik. Hasil pengamatan yang seperti ini melahirkan teori ekologi,
yang menyebutkan bahwa seseorang memang dapat dibentuk untuk
menjadi pemimpin, tetapi untuk menjadi pemimpin yang baik memang
ada bakat-bakat tertentu yang terdapat pada diri seseorang yang di
peroleh dari alam.

D. Hubungan Kepemimpinan dan Kekuasaan


Kepemimpinan dan kekuasaan adalah dua hal yang berbeda tetapi tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kepemimpinan dapat
dijalankan hanya bila pada diri pemimpin terdapat kekuasaan karena jabatan
yang diembannya dan penerimaan atau pengakuan bawahan atas perannya
sebagai pemimpin ( Gilles, 1996 )
Kekuasaan seorang pemimpin dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Reward power atau kekuasaan memberikan penghargaan terhadap
bawahan baik berupa insentif material, memenuhi permintaan rotasi
tugas atau kesempatan untuk mengikuti program pengembangan staf.
Pimpinan yang menggunakan kekuasaan legitimasi dapat menggunakan
penghargaan untuk memperoleh kerja sama dari bawahan. Bawahan
mungkin akan menanggapi petunjuk atau permintaan apabila pimpinan
dapat menyediakan penghargaan yang bernilai , misalnya: kenaikan gaji,
pemberian bonus, pemberian hari libur dan lain - lain.
2. Coecieve power atau kekuasaan untuk menerapkan perintah atau
hukuman secara paksa kepada bawahan berupa penurunan atau
penundaan kenaikan pangkat, skorsing maupun pemecatan. Bawahan
akan tunduk karena ketakutan. Walaupun kekuasaan paksaan mungkin
digunakan untuk memperbaiki perilaku yang tidak produktif dalam
organisasi, namun seringkali menghasilkan akibat yang sebaliknya.

11
3. Referent power merupakan kemampuan untuk menjadi panutan bawahan
sehingga dapat menimbulkan kebanggaan dan upaya bawahan untuk
mengidentifikasikan diri sesuai dengan pemimpinnya
4. Expert power merupakan kemampuan untuk menyakinkan, membimbing
dan mengarahkan bawahan berdasarkan keahlian yang dimiliki seorang
pemimpin.

E. Penerapan Kepemimpinan Dalam Keperawatan


Menurut Kron (1981), ruang lingkup kegiatan kepemimpinan keperawatan
meliputi :
1. Perencanaan dan pengorganisasian
2. Membuat penugasan dan memberi pengarahan
3. Pemberian bimbingan
4. Mendorong kerjasama dan partisipatif
5. Kegiatan koordinasi
6. Evaluasi hasil kerja

F. Pimpinan dan Kepemimpinan


Manajer atau kepemimpinan adalah orang yang bertugas melakukan proses
atau fungsi manajemen. Berdasarkan hierarki tugasnya pimpinan
dikelompokkan sebagai berikut :

1. Pimpinan tingkat pertama ( Lower Manager )


Adalah pimpinan yang langsung berhubungan dengan para pekerja yang
menjalankan mesin peralatan atau memberikan pelayanan langsung pada
konsumen. Pimpinan ini diutamakan memiliki proporsi peranan
technical skill yang terbesar dan konseptual skill yang terkecil.

2. Pimpinan tingkat menengah ( Middle Manager )


Adalah pimpinan yang berada satu tingkat di atas Lower Manager.
Pimpinan ini menjadi saluran informasi dan komunikasi timbal balik
antara Lower Manager dan Top Manager , yakni pimpinan puncak ( di
atas Middle Manager ) sehingga pimpinan ini diutamakan memiliki
kemampuan mengadakan hubungan antara keduanya. Konseptual skill
adalah ketramp[ilan dalam penyusunan konsep - konsep, identifikasi, dan

12
penggambaran hal - hal yang abstrak. Sedangkan techmnical skill adalah
ketrampilan dalam melakukan pekerjaan secara teknik. Hubungan antara
manusia merupakan ketrampilan dalam melakukan komunikasi dengan
sesama manusia lain.

3. Pimpinan puncak ( Top Manager )


Pimpinan puncak adalah manajer yang menduduki kewenangan
organisasi tertinggi dan sebagai penanggung jawab utama pelaksanaan
administrasi. Pimpinan ini memiliki proporsi peranan konseptual skill
yang terbesar dan technical skill yang terkecil.

G. Hubungan Antar Manusia Ada Dua Jenis :


1. Human Relations
Adalah hubungan antar manusia intern dalam organisasi guna membina
lancarnya tim kerja.

2. Public Relations
Adalah hubungan antar manusia ekstern keluar organisasi.

H. Tugas - Tugas Pimpinan :


1. Sebagai pengambil keputusan
2. Sebagai pemikul tanggung jawab
3. Mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sebagai pemikir
konseptual
4. Bekerja dengan atau melalui orang lain
5. Sebagai mediator, politikus, dan diplomat.

I. Peranan Pemimpin Terhadap Kelompok :


1. Sebagai penghubung interpersonal, yaitu merupakan simbul suatu
kelompok dalam melakukan tugas secara hukum dan sosial,
mempunyai tanggung jawab dan memotivasi, mengatur tenaga dan

13
mengadakan pengembangan serta merupakan penghubung jaringan
kerja di luar kelompok.
2. Sebagai inovator atau pembaharu
3. Sebagai pemberi informasi, yaitu memonitor informasi yang ada di
lingkungan organisasi, menyebarluaskan informasi dari luar kepada
bawahan dan mewakilikelompok sebagai pembicara.
4. Menghimpun kekuatan
5. Merangsang perdebatan masyarakat
6. Membuat kedudukan perawat di media massa
7. Memilih suatu strategi utama yang paling efektif, bertindak di saat yang
tepat
8. Mempertahankan kegiatan
9. Memelihara formaf desentralisasi organisasi
10. Mendapatkan dan mengembangkan data penelitian yang terbaik
11. Mempelajari pengalaman
12. Jangan menyerah tanpa mencoba.

J. Issue Kepemimpinan
Ada atau tidak adanya kepercayaan menjadi isu kepemimpinan yang sangat
penting dalam organisasi dewasa ini.
Adapun lima dimensi kunci kepercayaan :
1. Integritas : merujuk pada kejujuran dan kebenaran
2. Kompetensi : mencakup pengetahuan dan keterampilan tehnis dan
interpersonal
3. Konsistensi : terkait dengan kehandalan dalam menangani situasi.
4. Loyalitas : keinginan melindungi orang lain (biasanya atasan)
5. Keterbukaan : kejujuran terhadap orang lain
Isu terkait kepemimpinan kontemporer:
1. Kepemimpinan Kharismatis : pengikut terpicu kemampuan
kepemimpinan heroic/luar biasa ketika mereka mengamati perilaku
pemimpin mereka.

14
2. Kepemimpinan transformasional : pemimpin yang menginpirasi
pengikut untuk melampaui kepentingan pribadi mereka dan mampu
membawa dampak mendalam dan luar biasa pada para pengikut.
3. Kepemimpinan Visioner : kemampuan menciptakan dan
mengartikulasikan visi yang realistis, kredibel dan menarik mengenai
masa depan organisasi.
4. Gaya kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam organisasi, seperti
kepemimpinan karismatik dan kepemimpinan transformasional. Kedua
jenis kepemimpinan ini pertama kali diungkapkan oleh burn pada tahun
1978 dalam konteks politik, yang kemudian dikembangkan oleh
bass:1985 serta berry dan houston:1993 yang membawanya dalam
konteks organisasional. Kepemimpinan karismatik dan
transformasional sering disebutkan secara berdampingan satu dengan
yang lainnya ini karena pada dasarnya keduanya memilki perspektif
yang sama dalam hal seorang pemimpin harus memberikan “sesuatu”
agar anggota bergerak menuju tujuan organisasi, yang membedakan
keduanya adalah apa “sesuatu” yang diberikan tersebut.
5. Pemimpin di Indonesia yang berkarisma salah satunya yakni soeharto.
Karisma memiliki komponen etika. Pemimpin yang etis menggunakan
karisma mereka untuk menguasai para pengikutnya yang bertujuan
untuk melayani sesama. Sedangkan pemimpin yang tidak etis
menggunakan karisma mereka untuk kepuasan diri mereka sendiri.

15
K. Kumpulan Jurnal Internasional
Jurnal 1

a Journey to Leadership: designing a nursing Leadership development program

Sandra Swearingen, PhD, RN

abstract

Nursing leadership development is important in today’s changing health care


climate. Nurse leaders affect staff satisfaction, patient outcomes, and the fiscal
status of most health care organizations. This article delineates why leadership
development is important to nursing, how to strengthen nursing leadership,
how to design a methodology for building an internal nursing leadership
development program based on levels of curriculum content, and what
members of an organization can help teach the curriculum.

Kesimpulan :

Pengembangan kepemimpinan keperawatan penting dalam iklim perawatan


kesehatan berubah hari ini. pemimpin perawat mempengaruhi kepuasan staf,
hasil pasien, dan status fiskal dari kebanyakan organisasi perawatan kesehatan.
Artikel ini melukiskan mengapa pengembangan kepemimpinan penting untuk
keperawatan, bagaimana memperkuat kepemimpinan keperawatan, bagaimana
merancang metodologi untuk membangun program pengembangan
kepemimpinan keperawatan internal berdasarkan tingkat isi kurikulum, dan
apa anggota organisasi dapat membantu mengajar kurikulum.

Jurnal 2

Leadership styles in nursing management: implications for staff outcomes

James Avoka Asamani*, Florence Naab, Adelaide Maria Ansah Ofei

Human Resources Directorate, Ghana Health Service, Accra, Ghana

16
ABSTRACT Introduction: Nursing is a people-centred profession and
therefore the issue of leadership is crucial for success. Nurse managers’
leadership styles are believed to be important determinant of nurses’ job
satisfaction and retention. In the wake of a global nursing shortage,
maldistribution of health workforce, increasing healthcare costs and expanding
workload, it has become imperative to examine the role of nurse managers’
leadership styles on their staff outcomes. Using the Path-Goal Leadership
theory as an organising framework, this study investigated the leadership styles
of nurse managers and how they influence the nursing staff job satisfaction and
intentions to stay at their current workplaces. Methods: The study employed a
cross-sectional survey design to collect data from a sample of 273 nursing staff
in five hospitals in the Eastern Region of Ghana. Descriptive and regression
analyses were performed using SPSS version 18.0. Results: Nurse managers
used different leadership styles depending on the situation, but were more
inclined to the supportive leadership style, followed by the achievement-
oriented leadership style and participative leadership style. The nursing staff
exhibited moderate levels of job satisfaction. The nurse managers’ leadership
styles together explained 29% of the variance in the staff job satisfaction. The
intention to stay at the current workplace was low (2.64 out of 5) among the
nursing staff. More than half (51.7%) of the nursing staff intended to leave their
current workplaces, and 20% of them were actively seeking the opportunities
to leave. The nurse managers’ leadership styles statistically explained 13.3%
of the staff intention to stay at their current job position. Conclusions: These
findings have enormous implications for nursing practice, management,
education, and human resource for health policy that could lead to better staff
retention and job satisfaction, and ultimately improve patient care. Keywords:
Nurse manager; leadership style; job satisfaction; intention to stay; staff
outcomes; nursing leadership

Kesimpulan :

17
manajer Perawat digunakan gaya kepemimpinan yang berbeda tergantung pada
situasi, tapi lebih cenderung ke gaya kepemimpinan suportif, diikuti oleh gaya
kepemimpinan berorientasi prestasi dan gaya kepemimpinan partisipatif. Staf
perawat menunjukkan tingkat moderat kepuasan kerja. gaya kepemimpinan
perawat manajer bersama-sama menjelaskan 29% dari varians dalam kepuasan
staf pekerjaan. Niat untuk tinggal di tempat kerja saat ini rendah (2,64 dari 5)
di antara staf perawat. Lebih dari setengah (51,7%) dari staf perawat
dimaksudkan untuk meninggalkan tempat kerja mereka saat ini, dan 20% dari
mereka aktif mencari peluang untuk meninggalkan. gaya kepemimpinan
perawat manajer statistik menjelaskan 13,3% dari niat staf untuk tinggal di
posisi
Kesimpulan: Temuan ini memiliki implikasi yang sangat besar untuk praktek
keperawatan, manajemen, pendidikan, dan sumber daya manusia untuk
kebijakan kesehatan yang dapat menyebabkan lebih baik staf retensi dan
kepuasan kerja, dan pada akhirnya meningkatkan perawatan pasien.

Jurnal 3

SENIOR NURSING LEADERS: UNDERSTANDING THEIR EMOTIONAL


INTELLIGENCE, LEADERSHIP PRACTICES, AND HOW BOTH MAY
BE ASSOCIATED WITH ENGAGEMENT OF THEIR DIRECT REPORTS

By

CRAIG S. LASER

A DISSERTATION IN PRACTICE

Submitted to the faculty of the Graduate School of Creighton University in


Partial Fulfillment of the Requirements for the degree of Doctor of Education
in Interdisciplinary Leadership

Omaha, NE

March 9, 2016

Abstract

Leadership by its nature is a social interaction and is present in every


interaction between people. Leader behaviors and actions are observed and

18
judged by followers during every interaction. For senior nursing leaders in
healthcare organizations, how they practice leadership influences how
followers connect with the senior leader. Senior nursing leaders must practice
leadership in a way that fully incorporates emotional intelligence domains. The
integration of emotional intelligence with follower-centric leadership practices
creates a powerful combination of outcomes that influence engagement. This
Dissertation in Practice research study was designed using a qualitative
approach to understand how senior nursing leaders’ self-perceptions of their
emotional intelligence (EI) and leadership practices may be associated with
direct report leader engagement. The value of this research was to understand
the meaning and essence of the phenomenon experienced by senior nursing
leaders and the information was extracted by using semi structured interview
questions to create categories, codes, and conceptual themes. This research
revealed that the self-perceptions and meaning of senior nursing leaders helped
to validate that a leadership development program focused on this type of
affective, cognitive, and behavioral learning would help improve emotional
intelligence, leadership practices, and engagement of direct report leaders.
This research demonstrated the need for an integrated leadership development
program for senior nursing leaders to develop their EI and leadership practices.

Keywords: Leadership, emotional intelligence, engagement, leader


development

Kesimpulan :

Nilai dari penelitian ini adalah untuk memahami makna dan esensi dari
fenomena yang dialami oleh para pemimpin keperawatan senior dan informasi
yang diekstraksi dengan menggunakan pertanyaan wawancara semi terstruktur
untuk membuat kategori, kode, dan tema konseptual. Penelitian ini
mengungkapkan bahwa persepsi diri dan makna pemimpin keperawatan senior
yang membantu untuk memvalidasi bahwa program pengembangan
kepemimpinan difokuskan pada jenis afektif, kognitif, dan belajar perilaku
akan membantu meningkatkan kecerdasan emosional, praktik kepemimpinan,

19
dan keterlibatan pemimpin laporan langsung. Penelitian ini menunjukkan
kebutuhan untuk program pengembangan kepemimpinan terpadu bagi para
pemimpin keperawatan senior untuk mengembangkan praktek kecerdasan
emosional dan kepemimpinan mereka.

L. Kumpulan Jurnal Nasional

HUBUNGAN KEPEMIMPINAN KEPALA RUANGAN DAN


LINGKUNGAN KERJA DENGAN KEPUASAN KERJA PERAWAT DI
PAVILIUM CATELIA RSUD UNDATA

Surianto1, Ni Putu Pranita Sari1, Jurni1

Bagian Keperawatan, Program Studi Ilmu Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu


Kesehatan Widya Nusantara Palu,

ABSTRAK Rumah sakit merupakan bagian internal dari keseluruhan sistem


pelayanan kesehatan yang melayani pasien dengan berbagai jenis pelayanan.
Masalah-masalah yang terdapat di dalam lingkup kerja keperawatan
berhubungan dengan kekurangan jumlah perawat, ketidakpuasan kerja perawat
dan buruknya lingkungan kerja perawat. Keluhan perawat mengenai fungsi
manajemen dari segi kepemimpinan kepala ruangan dan lingkungan kerja
terhadap kepuasan perawat sangat menarik untuk diteliti dengan tujuan untuk
mengetahui hubungan kepemimpinan dan lingkungan kerja dengan tingkat
kepuasan kerja perawat di Paviliun Catelia RSUD Undata. Jenis penelitian ini
kuantitatif dengan metode komparatif, pendekatan cross sectional. Instrument
penelitian menggunakan kuesioner terhadap 22 perawat pelaksana di Paviliun
Catelia RSUD Undata. Variabel independennya adalah kepemimpinan kepala
ruangan dan lingkungan kerja. Variabel dependennya adalah tingkat kepuasan.
Penelitian ini menunjukkan persentase tinggi tentang kepemimpinan baik,
merasa puas (52,4%) dan persentase lingkungan kerja baik, merasa puas
(62,5%). Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value masing-masing sebesar

20
1.000 dan 0,384. Hal ini menunjukkan bahwa nilai p≥ 0,05. Tidak ada
hubungan antara kepemimpinan dan lingkungan kerja dengan kepuasan
perawat di Paviliun Catelia RSUD Undata. Hal ini terjadi ruangan tersebut
merupakan contoh pelaksana model praktek keperawatan professional yang
diterapkan secara optimal, ditunjang dari lingkungan kerja pun sarana dan
prasaranya mampu memenuhi pelaksanaan asuhan keperawatan. Berdasarkan
hasil penelitian disarankan menjadi masukan dan bahan evaluasi untuk pihak
manajemen dalam pengelolaan kepuasan kerja perawat khususnya di Paviliun
Catelia sehingga perawat tersebut dapat bekerja sesuai dengan peraturan rumah
sakit dan melaksanakan tugas-tugas sesuai yang telah ditetapkan.

Kata Kunci: Kepuasan Kerja, Perawat, Kepemimpinan, Lingkungan Kerja

Jurnal 2

HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA RUANG DENGAN


KEPUASAN KERJA PERAWAT DI RUMAH SAKIT SWASTA DI
DEMAK

Maryanto, Tri Ismu Pujiyanto, Singgih Setyono

Program Studi S1 Keperawatan STIKES Karya Husada Semarang Program


Studi S1 Keperawatan STIKES Karya Husada Semarang Dinas Kesehatan
Kabupaten Demak

ABSTRAK

Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai


pekerjaannya. Kepuasan kerja perawat merupakan sasaran penting dalam
manajemen sumber daya manusia. Kepuasan kerja karyawan banyak
dipengaruhi sikap pimpinan dalam kepemimpinannya. Hasil survey awal tahun
2010 terdapat 6 tenaga keperawatan keluar dari Rumah Sakit Swasta di di
Demak dan BOR turun 25 % dari tahun sebelumnya. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui hubungan gaya kepemimpinan kepala ruang dengan

21
kepuasan kerja perawat di Rumah Sakit Swasta di di Demak. Metode penelitian
adalah jenis penelitian ini adalah analitik korelasional dengan desain cross
sectional, teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive
sampling dengan jumlah sampel 43 responden. Instrumen penelitian
menggunakan kuesioner. Uji statistik yang digunakan adalah chi square dengan
taraf signifikan 5%. Hasil penelitian adalah menunjukkan ada hubungan yang
signifikan gaya kepemimpinan kepala ruang dengan kepuasan kerja perawat
dengan p – value 0,005. Kesimpulan adalah penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi kepala ruang dalam menampilkan gaya kepemimpinannya
sehingga terwujud kepuasan kerja para anggotanya.

Kata kunci : gaya kepemimpinan, kepuasan kerja perawat.

Jurnal 3

Universitas Diponegoro Fakultas Kedokteran Program Studi Magister


Keperawatan Konsentrasi Manajemen Keperawatan Januari, 2016

ABSTRAK

Milkhatun

Upaya Meningkatkan Kepemimpinan Transformasional Kepala Ruang di RSI


Sultan Agung Semarang

Penerapan kepemimpinan transformasional merupakan kepemimpinan yang


mampu memunculkan rasa bangga dan kepercayaan bawahan, menginspirasi
dan memotivasi bawahan, merangsang kreativitas dan inovasi bawahan,
memperlakukan setiap bawahan secara individual serta selalu melatih dan
memberi pengarahan kepada bawahan melalui karakteristik idealized
influence,inspirational motivation, intelectual stimulation, individual
consideration. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh pelatihan
kepemimpinan transformasional terhadap penerapan kepemimpinan
transformasional kepala ruang. Penelitian dilakukan di RSI Sultan Agung

22
Semarang terhadap 16 perawat sebagai kepala ruang dan 39 perawat pelaksana.
Penelitian ini menggunakan desain pra eksperimen (pre-experimental designs)
dengan bentuk one group pretest-posttes design. Hasil penelitian menunjukan
peningkatan bermakna pada penerapan kepemimpinan transformasional
sesudah mendapatkan pelatihan kepemimpinan transformasional (p value :
0.000). Kesimpulannya, pelatihan kepemimpinan transformasional
berpengaruh terhadap penerapan kepemimpinan transformasional kepala ruang
di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.

23
BAB III. PENOMENA PELAYANAN KESEHATAN SAAT INI

A. Fenomena Pelayanan Keperawatan Saat Ini

Keperawatan Indonesia sampai saat ini masih berada dalam proses


mewujudkan keperawatan sebagai profesi. Ini merupakan proses jangka
panjang yang ditujukan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat
Indonesia. Perubahan yang terjadi akan mencakup seluruh aspek keperawatan
yakni: (1) penataan pendidikan tinggi keperawatan; (2) pelayanan dan asuhan
keperawatan; (3) pembinaan dan kehidupan keprofesian; dan (4) penataan
lingkungan untuk perkembangan keperawatan. Pengembangan dalam berbagai
aspek keperawatan ini bersifat saling berhubungan, saling bergantung, saling
memengaruhi, dan saling berkepentingan. Inovasi dalam keempat aspek di atas
merupakan fokus utama keperawatan Indonesia dalam proses profesionalisasi
serta mepersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam menghadapi tantangan
keperawatan di masa depan.

B. Kebijaksanaan Pemerintah
Paradigma sehat yang diartikan di sini adalah pemikiran dasar sehat,
berorientasi pada peningkatan dan perlindungan penduduk sehat dan bukan
hanya penyembuhan pada orang sakit, sehingga kebijakan akan lebih
ditekankan pada upaya promotif dan preventif dengan maksud melindungi dan
meningkatkan orang sehat menjadi lebih sehat dan produktif serta tidak mudah
jatuh sakit. Di sisi lain, dipandang dari segi ekonomi, melakukan investasi dan
intervensi pada orang sehat atau pada orang yang tidak sakit akan lebih efektif
dari segi biaya daripada intervensi terhadap orang sakit. Pada masa mendatang,
perlu diupayakan agar semua kebijakan pemerintah selalu berwawasan
kesehatan, motonya akan menjadi “Pembangunan Berwawasan Kesehatan.”

24
Sebagai profesi, keperawatan dituntut untuk memiliki kemampuan
intelektual, interpersonal kemampuan teknis, dan moral. Hal ini bisa ditempuh
dengan meningkatkan kualitas perawat melalui pendidikan lanjutan pada
program Pendidikan Ners. Dengan demikian, diharapkan terjadi perubahan
yang mendasar dalam upaya berpartisipasi aktif untuk menyukseskan program
pemerintah dan berwawasan yang luas tentang profesi keperawatan. Perubahan
tersebut bisa dicapai apabila pendidikan tinggi keperawatan tersebut
dilaksanakan dengan memperhatikan perkembangan pelayanan dan program
pembangunan kesehatan seiring dengan perkembangan iptek bidang kesehatan
serta diperlukan proses pembelajaran baik institusi pendidikan maupun
pengalaman belajar klinik di rumah sakit dan komunitas.

Perubahan-perubahan yang terjadi di era global akan berdampak positif


dan negatif terhadap pelayanan keperawatan.

Dampak positif akibat perubahan yang terjadi meliputi:

1) Makin meningkatnya mutu pelayanan keperawatan yang diselenggarakan.

2) Makin sesuainya jenis dan keahlian tenaga kesehatan/keperawatan yang


tersedia sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. 3)
Bertambahnya kesempatan kerja bagi tenaga kesehatan.

Sedangkan dampak negatif yang perlu diperhatikan meliputi:

1) Terjadinya persaingan yang makin ketat antartenaga


kesehatan/keperawatan bangsa sendiri dan asing.

2) Berubahnya filosofi pelayanan kesehatan/keperawatan, yang semula


berorientasi sosial menjadi sepenuhnya bersifat komersial.

3) Makin sulit mewujudkan pemerataan pelayanan kesehatan/keperawatan.


Terjadinya ketimpangan pemerataan pelayanan ini erat kaitannya dengan
tenaga ahli/tenaga asing untuk berkiprah di daerah-daerah terpencil.

25
4) Tidak sesuainya pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.

C. Perubahan Profesi Keperawatan Di Indonesia


Era kesejagatan oleh tenaga keperawatan hendaknya dipersiapkan secara
benar dan menyeluruh, mencakup seluruh aspek keadaan dan kejadian atau
peristiwa yang terjadi atau sedang dan akan berlangsung dalam era tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir dan menghadapi masa depan, khususnya
memasuki Milenium III, perkembangan iptek terjadi dengan sangat cepat.
Proses penyebaran iptek, serta penyebaran berbagai macam barang dan jasa
menjadi bertambah cepat, bahkan terjadi dengan sangat cepat. Hal ini
disebabkan adanya perkembangan pesat dari teknologi transportasi dan
telekomunikasi serta perkembangan teknologi lainnya. Hal ini mencerminkan
terjadinya proses pensejagatan dengan segala ciri dan konsekuensinya.

Keperawatan sebagai pelayanan/asuhan profesional bersifat humanistik,


menggunakan pendekatan holistik, dilakukan berdasarkan ilmu dan kiat
keperawatan, berorientasi pada kebutuhan objektif klien, mengacu pada
standar profesional keperawatan dan menggunakan etika keperawatan sebagai
tuntutan utama. Demikianlah kira-kira secara umum tentang keperawatan
profesional yang merupakan tanggung jawab seorang perawat profesional yang
selalu mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Perawat dituntut untuk
selalu melaksanakan asuhan keperawatan dengan benar atau rasional dan baik
atau etikal. Apabila ditinjau dari perkembangan iptekkep dan ditinjau dari etika
keprofesian dan sosial, bertolak dari pengertian singkat di atas, empat faktor
yang terkait erat dengan proses profesionalisasi adalah:

(1) Pengembangan Pendidikan Tinggi Keperawatan.

(2) Pengembangan Pusat Penelitian Keperawatan.

(3) Penataan standar praktik keperawatan profesional melalui Undang-


undang Praktik Keperawatan.

26
(4) Pendayagunaan Konsil Keperawatan-Pokja Keperawatan.

Pendidikan keperawatan merupakan institusi yang berperan besar dalam


mengembangkan dan menciptakan proses profesionalisasi para tenaga
keperawatan. Pendidikan keperawatan mampu memberikan bentuk dan corak
tenaga keperawatan pada lulusannya berupa tingkat kemampuan yang
sekaligus mampu untuk memfasilitasi pembentukan komunitas keperawatan
dalam memberikan suara dan sumbangsih bagi profesi dan masyarakat
(Ma’rifin, 1999). Dengan kata lain pengembangan pendidikan keperawatan
yang profesional merupakan salah satu unsur strategis dalam mencapai
profesionalisme keperawatan.

Keperawatan di Indonesia di masa depan perlu mendapatkan prioritas


utama dalam pengembangan keperawatan. Hal ini berkaitan dengan tuntutan
profesi dan tuntutan global, mengingat setiap perkembangan dan perubahan
memerlukan pengelolaan yang profesional serta memperhatikan setiap
perubahan yang terjadi di Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem pelayanan kesehatan mengalami


perubahan mendasar dalam memasuki abad 21 ini. Perubahan tersebut
merupakan dampak perubahan ekonomi, kependudukan, dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

(1) Perubahan Ekonomi

Perubahan ekonomi membawa dampak terhadap pengurangan berbagai


anggaran untuk pelayanan kesehatan, sehingga berdampak terhadap
orientasi manajemen kesehatan/keperawatan dari lembaga sosial ke
orientasi “bisnis.” Pelayanan kesehatan dihadapkan pada suatu dilema, di
satu sisi harus mengurangi beberapa alokasi anggaran, sementara di sisi lain
mutu asuhan kesehatan/keperawatan harus ditingkatkan. Keadaan ini
ditunjang dengan keadaan politik yang semakin tidak menentu. Para elit
politik, baik eksekutif maupun legislatif, lebih berperan sebagai seorang
penguasa yang selalu membenarkan semua tindakannya untuk kepentingan

27
golongan/kelompok tertentu, sedikit sekali peduli dengan masalah yang
dihadapi anak bangsa, khususnya masalah kesehatan.

(2) Kependudukan

Perubahan kependudukan dengan bertambahnya jumlah penduduk di


Indonesia dan bertambahnya umur harapan hidup, maka akan membawa
dampak terhadap masalah kesehatan dan lingkup dari praktik keperawatan.
Masalah kesehatan ditandai dengan munculnya penyakit baru (re-merging
diseases), yaitu penyakit lama yang timbul lagi karena pengaruh faktor
lingkungan dan mutasi gen, seperti flu burung, HIV/AIDS, chikungunya,
dan penyakit lainnya. Lingkup praktik terjadi pergeseran yang dulunya lebih
menekankan pada pemberian pelayanan kesehatan/keperawatan pada
“hospitalbased” ke “community-based.” Keadaan ini menuntut perawat
untuk lebih mandiri dan berpandangan jauh ke depan dalam melaksanakan
perannya secara profesional.

(3) Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Kesehatan/Keperawatan

Era kesejagatan identik dengan era komputerisasi, sehingga perawat


dituntut untuk menguasai teknologi komputer di dalam melaksanakan MIS
(Management Information System) baik di tatanan pelayanan maupun
pendidikan keperawatan.

(4) Tuntutan Profesi Keperawatan

Keyakinan bahwa keperawatan merupakan profesi yang harus disertai


dengan realisasi pemenuhan karakteristik keperawatan sebagai profesi yang
disebut dengan profesionalisasi (Kelly dan Joel, 1995). Karakteristik profesi
yaitu:

1. Memiliki dan memperkaya tubuh pengetahuan (body of


knowledge) melalui penelitian.

2. Memiliki kemampuan memberikan pelayanan yang unik kepada


orang lain.

28
3. Pendidikan yang memenuhi standar.

4. Terdapat pengendalian terhadap praktik.

5. Bertanggung jawab dan bertanggung gugat (accountable) terhadap


tindakan keperawatan yang dilakukan.

6. Merupakan karier seumur hidup.

7. Mempunyai fungsi mandiri dan kolaborasi.

Praktik keperawatan sebagai tindakan keperawatan profesional masyarakat


dalam penggunaan pengetahuan teoretis yang mantap dan kokoh dari
berbagai ilmu dasar serta ilmu keperawatan sebagai landasan untuk
melakukan pengkajian, menegakkan diagnosis, menyusun perencanaan,
melaksanakan asuhan keperawatan, dan mengevaluasi hasil tindakan
keperawatan serta mengadakan penyesuaian rencana keperawatan untuk
menentukan tindakan selanjutnya. Selain memiliki kemampuan intelektual,
interpersonal, dan teknikal, perawat juga harus mempunyai otonomi yang
berarti mandiri dan bersedia menanggung risiko, bertanggung jawab, dan
bertanggung gugat terhadap tindakan yang dilakukannya, termasuk dalam
melakukan dan mengatur dirinya sendiri.

D. Dampak Perubahan
Perubahan sosial ekonomi dan politik, kependudukan, dan iptek akan
berdampak terhadap perubahan praktik keperawatan, pendidikan keperawatan
dan perkembangan iptek keperawatan. Perawat pada abad mendatang akan
menghadapi suatu kesempatan dan tantangan yang sangat luas sekaligus suatu
ancaman (Chitty, 1997: 470).

1. Praktik Keperawatan

Tantangan terhadap praktik keperawatan dapat diidentifikasi sebagai


tantangan terhadap: (1) Pengurangan anggaran dalam sistem pelayanan

29
kesehatan; (2) Otonomi dan akuntabilitas; (3) Perkembangan teknologi; (4)
Tempat praktik; dan (5) Perbedaan batas kewenangan praktik.

1) Pengurangan anggaran

Perawat Indonesia saat ini dihadapkan pada suatu dilema, disatu sisi dia
harus terus mengupayakan peningkatan kualitas layanan kesehatan, di
lain pihak pemerintah memotong alokasi anggaran untuk pelayanan
keperawatan. Dalam melaksanakan tugasnya, sering kali perawat
jarang mengadakan hubungan interpersonal yang baik karena mereka
harus melayani pasien lainnya dan dikejar oleh waktu. Keadaan tersebut
sebagai suatu tantangan bagi perawat dalam berpegang terus dalam
nilai-nilai moral dan etik.

2) Otonomi dan Akuntabilitas

Melibatkan perawat dalam pengambilan suatu keputusan di


Pemerintahan merupakan hal yang sangat positif dalam meningkatkan
otonomi dan akuntabilitas perawat Indonesia. Peran serta tersebut perlu
terus ditingkatkan dan dipertahankan. Kemandirian perawat dalam
melaksanakan perannya sebagai suatu tantangan. Semakin
meningkatnya otonomi perawat berarti semakin tingginya tuntutan
kemampuan yang yang harus dipersiapkan.

3) Teknologi

Penguasaan dan keterlibatan dalam perkembangan iptek dalam praktik


keperawatan bagi perawat Indonesia merupakan suatu keharusan.
Penguasaan IPTEK juga akan berperan dalam menepis dan meyeleksi
iptek yang sesuai dengan kebutuhan dan sosial budaya masyarakat
Indonesia yang akan diadopsi. Apabila kita tetap tidak mampu
menerapkan teknologi yang ada, maka kita akan menjadi orang yang
tertinggal dan ditinggalkan oleh konsumennya.

4) Tempat Praktik

30
Tempat praktik keperawatan di masa depan meliputi pada tatanan klinik

(RS); komunitas; dan praktik mandiri di rumah/berkelompok (sesuai


SK Menkes R.I 1239/2001 tentang registrasi dan praktik keperawatan
dan diharapkan sudah berlakunya tentang Undang-undang Praktik
Keperawatan bagi perawat Indonesia). Gambaran tempat praktik dapat
dilihat pada diagram di bawah ini:

5) Perbedaan Batas Kewenangan Praktik

Belum jelasnya batas kewenangan praktik keperawatan pada setiap


jenjang pendidikan, sebagai suatu tantangan bagi profesi keperawatan.
Berdasarkan hasil kajian penulis, hal tersebut terjadi karena belum
dipahaminya atau dikembangkannya “body of knowledge”
keperawatan. Selama menempuh pendidikan, perawat mendapatkan
ilmu dan pola pikir yang hampir sama dengan profesi kedokteran.
Sehingga bukan sesuatu yang aneh setelah lulus, para perawat akan
praktik melakukan hal yang sama seperti apa yang didapatkannya di
sekolah. Perawat sering dihadapkan pada suatu dilema karena tidak
jelasnya batas kewenangan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
Keadaan ini jelas akan berdampak terhadap peran perawat dalam
peningkatan kualitas pelayanan keperawatan.

2. Tantangan Pendidikan Keperawatan

Di masa depan, pendidikan keperawatan dihadapkan pada suatu tantangan


dalam meningkatkan kualitas lulusannya. Para lulusan pendidikan
keperawatan ini juga dituntut untuk menguasai kompetensi-kompetensi
profesional. Isi kurikulum progam pendidikan ke depan, juga harus
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Misalnya,
tren bertambahnya umur penduduk juga akan menjadi isu sentral dalam
pengembangan kurikulum pendidikan keperawatan di masa depan. Dengan
demikian, isi kurikulum harus menyentuh aspek asuhan keperawatan

31
gerontik, home care, penyakit-penyakit kronis, dan AIDS. Tantangan lain
adalah menjadikan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris menjadi
kompetensi wajib yang harus dimiliki bagi lulusannya dan ini merupakan
suatu keharusan.

3. Tantangan Perubahan Iptek

Riset keperawatan akan menjadi suatu kebutuhan dasar yang harus


dilaksanakan oleh perawat di era global. Meningkatnya kualitas layanan,
sangat ditentukan oleh hasil kajian-kajian dan pembaharuan yang
dilaksanakan berdasarkan hasil penelitian. Berkembangnya ilmu
keperawatan akan berpengaruh signifikan terhadap kualitas dan
kemandirian perawat dalam melaksanakan tugasnya.

Uraian di atas membawa implikasi terhadap perubahan sistem


pelayanan kesehatan/keperawatan dan sebagai tantangan bagi tenaga
keperawatan Indonesia dalam proses profesionalisme. Keperawatan
Indonesia sampai saat ini masih berada dalam proses mewujudkan
keperawatan sebagai profesi, yaitu suatu proses berjangka panjang,
ditujukan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Pengembangan dalam berbagai aspek keperawatan bersifat saling


berhubungan, saling bergantung, saling memengaruhi, dan saling
berkepentingan. Inovasi dalam aspek perkembangan keperawatan
merupakan fokus utama keperawatan Indonesia dalam proses
profesionalisasi. Keadaan ini akan bisa dicapai apabila para perawat
Indonesia menguasai pengelolaan keperawatan secara profesional.

E. Permasalahan
Keperawatan sebagai ilmu pengetahuan terus menerus berkembang, baik
disebabkan adanya tekanan eksternal, maupun karena tekanan internal

32
keperawatan. Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat menuntut
dikembangkannya pendekatan dan pelaksanaan asuhan keperawatan yang
berbeda. Hal ini menyebabkan iptek Keperawatan sebagai bentuk tekanan
eksternal, harus terus-menerus dikembangkan.

1. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Masih Rendahnya Peran Perawat Dalam


Mana-Jemen Keperawatan

Menurut Azrul Azwar (1999) dalam Nursalam (2002) permasalahan pokok


yang dihadapi perawat Indonesia dalam sistem pelayanan kesehatan adalah
sebagai berikut:

1) Peran perawat profesional yang tidak optimal

Peran perawat profesional dalam sistem kesehatan nasional adalah


berupaya mewujudkan sistem kesehatan yang baik, sehingga
penyelenggaraan pelayanan kesehatan (health service) sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan kesehatan (health needs and demands)
masyarakat, sementara itu di sisi lain biaya pelayanan kesehatan sesuai
dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Akan tetapi perawat belum
melaksanakan peran secara optimal. Di sinilah letak masalahnya, karena
dalam praktik sehari-hari penyelenggaraan pelayanan kesehatan,
termasuk pelayanan keperawatan, yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat tidaklah mudah. Tidak mengherankan jika pada saat ini
banyak ditemukan keluhan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan/keperawatan di Indonesia.

2) Terlambatnya pengakuan body of knowledge profesi keperawatan

Di Indonesia pengakuan tersebut baru terjadi pada tahun 1985, yakni


ketika PSIK untuk pertama kali dibuka di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Padahal di negara-negara maju, banyak
pengakuan body of knowledge tersebut telah lama ditemukan. Setidak-

33
tidaknya sejak tahun 1869, yakni ketika Florence Nightingale untuk
pertama kali memperkenalkan teori keperawatan yang menekankan
pentingnya faktor lingkungan. Dalam keadaan ini tidak mengherankan
jika profesi kesehatan lain, hingga saat masih belum sepenuhnya apakah
keperawatan sebagai suatu ilmu.

3) Terlambatnya pengembangan pendidikan keperawatan profesional

Sekolah Perawat Kesehatan dan Akademi Keperawatan di Indonesia


telah banyak dikenal. Pendidikan S1 Keperawatan (ners) di Indonesia
baru dimulai secara bersamaan pada tahun 2000.

4) Terlambatnya pengembangan sistem pelayanan/asuhan keperawatan


profesional

Jika ditinjau dari berbagai masalah profesi keperawatan yang ditemukan


pada saat ini, terlambatnya pengembangan sistem pelayanan
keperawatan yang dipandang merupakan masalah yang amat pokok,
karena sampai saat ini harus diakui, kejelasan pelayanan keperawatan
belum dimiliki. Tidak hanya yang menyangkut bentuk praktik
keperawatan, tetapi juga kewenangan para penyelenggaranya. Model
asuhan keperawatan sesuai dengan kelompok keilmuan keperawatan
masih belum dikembangkan di tatanan pelayanan (rumah sakit maupun
Puskesmas). Meskipun model tersebut telah dilatihkan kepada para
perawat dan institusi penyelenggara pelayanan kesehatan. Sehingga di
sana–sini masih ditemukan ketidakpuasan pasien, perawat, dan
stakeholder lainnya terhadap pelayanan keperawatan.

2. Faktor-Faktor Lain Yang Memperlambat Perkembangan Peran Perawat


Secara Profesional (Nursalam, 2002)
1) Antithetical terhadap perkembangan Ilmu keperawatan

34
Karena rendahnya dasar pendidikan profesi dan belum dilaksanakannya
pendidikan keperawatan secara profesional, maka perawat lebih
cenderung untuk melaksanakan perannya secara rutin dan menunggu
perintah dari dokter. Mereka cenderung untuk menolak terhadap
perubahan ataupun sesuatu yang baru dalam melaksanakan perannya
secara profesional.

2) Rendahnya Rasa percaya diri/harga diri (low self-


confidence/selfesteem)

Banyak perawat yang tidak melihat dirinya sebagai sumber informasi


dari klien. Perasaan rendah diri/kurang percaya diri tersebut timbul
karena rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
kurang memadai serta sistem pelayanan kesehatan Indonesia yang
menempatkan perawat sebagai warga negara kelas dua. Stigma inilah
yang membuat perawat dipandang tidak cukup memiliki kemampuan
yang memadai dan kewenangan dalam pengambilan keputusan di
bidang pelayanan kesehatan.

3) Kurangnya pemahaman dan sikap untuk melaksanakan riset


keperawatan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, lebih dari


90% perawat tidak melaksanakan perannya dalam melaksanakan riset.
Hal ini lebih disebabkan oleh: pengetahuan/keterampilan riset yang
sangat kurang, keterbatasan waktu, tidak adanya anggaran karena
kebijakan yang kurang mendukung pelaksanaan riset. Baru pada tahun
2000-an, Pusdiknakes memberikan kesempatan kepada para perawat
untuk melaksanakan riset, itupun hasilnya masih dipertanyakan karena
banyak hasil yang ada lebih mengarah pada riset kesehatan secara
umum. Riset tentang keperawatan hampir belum tersentuh. Faktor lain
yang sebenarnya sangat memprihatinkan adalah tugas akhir yang

35
diberikan kepada mahasiswa keperawatan bukan langkah-langkah riset
secara ilmiah, tetapi lebih menekankan pada laporan kasus per kasus.

4) Pendidikan keperawatan hanya difokuskan pada pelayanan kesehatan


yang sempit

Pembinaan keperawatan dirasakan kurang memenuhi sasaran dalam


memenuhi tuntutan perkembangan zaman. Pendidikan keperawatan
dianggap sebagai suatu objek untuk kepentingan tertentu dan tidak
dikelola secara profesional. Kurikulum yang diterapkan lebih
mengarahkan perawat tentang how to work and apply, bukan how to
think and do critically.

5) Rendahnya standar gaji bagi perawat

Gaji perawat, khususnya yang bekerja di instansi pemerintah dirasakan


sangat rendah bila dibandingkan dengan negara lain, baik di Asia
ataupun Amerika. Keadaan ini berdampak terhadap kinerja perawat
dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang profesional.

Sangat minimnya perawat yang menduduki pimpinan di institusi


kesehatan

Masalah ini sangat krusial bagi pengembangan profesi keperawatan,


karena sistem sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan yang
baik. Hal ini tentunya akan mempengaruhi perkembangan keperawatan
di Indonesia, karena dampaknya semua kebijakan yang ada biasanya
kurang berpihak terhadap kebutuhan keperawatan

36
BAB IV. PEMBAHASAN

A. Langkah Strategis Dalam Menghadapi Fenomena

Dengan landasan penalaran yang tajam, Brill dan Worth (1997)


memberikan ramalan bahwa organisasi masa depan yang akan mampu bersaing
harus memiliki visi yang jelas dan terarah. Visi adalah suatu pernyataan yang
berisi arahan yang jelas tentang apa yang harus diperbuat organisasi di masa
yang akan datang. “A vision is a realistic, credible, attractive future for your
organization” (Nanus: 1992). Visi yang jelas dan tepat sesuai dengan
kebutuhan organisasi akan mampu menumbuhkan hal-hal berikut: 1)
menumbuhkan komitmen karyawan terhadap pekerjaan dan mampu memupuk
semangat kerja karyawan, 2) menumbuhkan rasa kebermaknaan di dalam
kehidupan kerja karyawan, 3) menumbuhkan standar kerja yang prima, 4)
menjembatani keadaan organisasi masa sekarang dan masa depan. Penelitian
Collin dan Porras (dalam Pradiansyah: 1997), menunjukkan bahwa organisasi
yang memiliki visi dapat melampaui prestasi organisasi yang tidak memiliki
visi sampai 55 kali.

Suatu survai yang dilaksanakan majalah Fortune terhadap 1500


pimpinan senior perusahaan, mengungkapkan ciri-ciri atau kemampuan paling
dominan yang harus dimiliki pimpinan pada tahun 2000 adalah kemampuan
merumuskan visi masa depan (Korn: 1989 dalam Chandra: 1997). Menurut
Kotter (1996) visi organisasi merupakan tanggung jawab pemimpin organisasi.
Visi adalah komponen sentral dari kepemimpinan yang hebat (great
leadership). Dengan visinya seorang pemimpin memberikan jaminan
kepastian/keamanan kepada anak buahnya dalam menyesuaikan diri dengan
perubahan karena pengaruh perubahan lingkungan (Pradiansyah: 1997).

Sudah jelas bahwa pekerjaan yang tidak ringan dan menjadi keharusan
bagi seorang pemimpin untuk dapat merumuskan visi kepemimpinannya (visi

37
organisasi) dengan jelas dan terarah. Untuk dapat merumuskan visi yang jelas,
kepemimpinan organisasi harus mempertanyakan hal-hal berikut (Nanus:
1992): apa visi dan tujuan organisasi saat ini, apa manfaat organisasi bagi
masyarakat, apa ciri wilayah kerja dan kerangka kerja institusional dimana
organisasi beroperasi, apa keunikan organisasi di dalam wilayah garapan atau
di dalam struktur yang dimasuki, dan hal-hal apa yang harus dilakukan agar
organisasi maju dan berkembang?

Di depan telah disodorkan kompetensi yang harus dimiliki seorang


pemimpin yang terangkum dalam 5 dimensi. Mendasarkan pada fenomena
perubahan yang terus menerus terjadi, di samping harus memiliki visi yang
jelas dan terarah, pemimpin organisasi masa depan harus memiliki kompetensi
yang menonjol sesuai lingkungan perubahan. Spencer, et al. (1994)
mengidentifikasi beberapa kompetensi yang akan semakin penting bagi
pemimpin organisasi masa depan yang meliputi: 1) kemampuan berpikir
strategis, yaitu kemampuan untuk memahami kecenderungan perubahan
lingkungan yang berlangsung cepat, peluang pasar, ancaman kompetisi,
kekuatan dan kelemahan organisasi yang dipimpinnya, serta mampu
mengidentifikasi tanggapan-tanggapan strategis, 2) kepemimpinan dalam
perubahan, yaitu kemampuan untuk mengkomunikasikan visi

Strategis organisasi kepada seluruh pihak yang terkait, menciptakan


komitmen dan motivasi, penggerak inovasi dan semangat kewirausahaan, serta
mampu mengalokasikan sumber daya organisasi secara optimal untuk
mengantisipasi perubahan yang akan terjadi, 3) pengelolaan hubungan, yaitu
kemampuan untuk membina hubungan di tengah-tengah jaringan kerja yang
kompleks, baik dengan partner usaha maupun pihak lain yang memiliki
pengaruh terhadap keberlangsungan organisasi.

B. Kepemimpinan Organisasi Keperawatan :

38
Prinsip sukses dalam menghadapi tren perkembangan keperawatan di masa
depan, setiap perawat harus memiliki 3 unsur utama: visi (ilmu–konsep),
aktivitas yang nyata, dan motivasi yang tinggi untuk mencapai suatu tujuan.
Sehingga perlu selalu tertanam suatu prinsip “Success is my Right, … not just
only belong to other profession.” Oleh karena itu, perlu ditanamkan suatu sikap
yang konsisten, komitmen, kolaboratif, kondusif, dan disiplin yang tinggi.

Untuk menghadapi trends-issues perubahan Pelayanan Keperawatan di masa


depan, maka manajer keperawatan perlu mempunyai “KOREK API” dengan
penjabaran sebagai berikut:

1) KOREK
(1) Kolektivitas (Kebersamaan):

Dalam mencapai tujuan peningkatan kualitas layanan keperawatan,


perawat masa depan harus menumbuhkan rasa kebersamaan dan
“emotional solidarity.” Meyakini dan berpedoman bahwa apa yang
dilakukan adalah untuk profesi, maka harus dipupuk rasa
kebersamaan. Tanpa adanya rasa kebersamaan, maka sebuah tim
akan mudah “diobok obok” orang lain dan bercerai berai.

(2) Organising (Terorganisisasi):

Segala aktivitas yang dilaksanakan harus terencana dengan baik. Hal


ini penting bagi perawat masa depan untuk selalu bertindak
berdasarkan pertimbangan dan perencanaan yang matang.

(3) Retail (Jasa Layanan):

Indikator kualitas perawat masa depan adalah meningkatnya


pengakuan masyarakat terhadap jasa layanan keperawatan. Jasa
layanan keperawatan harus dapat dirasakan dan dinikmati
masyarakat.

39
(4) Efektif Dan Efisien:

Prinsip pelayanan keperawatan masa depan adalah efektivitas dan


efisiensi. Perawat harus dapat memberikan asuhan keperawatan
yang cepat, tepat, dan akurat. Efisiensi dalam penggunaan sarana dan
dana dalam pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan indikator
utama perawat masa depan.

(5) Komitmen:

Maju mundurnya suatu organisasi profesi, pendidikan keperawatan,


pelayanan keperawatan terletak pada komitmen perawat. Ilmu
keperawatan sangat tergantung pada “komitmen” perawat itu sendiri
untuk selalu bertanggung jawab secara moral dan profesional.
Komitmen merupakan kunci kesuksesan utama di dalam
mewujudkan keperawatan sebagai profesi.

2) API
(1) Aktualisasi

Dalam mempertahankan keperawatan sebagai profesi, maka perawat


harus mampu menunjukan aktualisasinya kepada masyarakat dan
profesi lainnya, khususnya para eksekutif di wilayahnya. Aktualisasi
tersebut akan dapat diterima orang lain, jika perawat mempunyai
bekal pengetahuan, sikap, dan keterampilan profesional.
Peningkatan kualitas pendidikan bagi perawat mutlak diperlukan
dalam mencapai tujuan aktualisasi diri dan rasa percaya diri yang
tinggi.

(2) Produktif

Singkatan NATO “No Action Talk Only,” harus dihindari oleh


perawat masa depan. Potret perawat masa depan adalah perawat

40
yang produktif, mempunyai suatu aktivitas profesional yang
bermanfaat bagi anggota profesinya.

(3) Inovatif

Selalu berpikir jauh ke depan dan terus maju merupakan ciri khas
perawat masa depan dengan belajar dari pengalaman dan kesalahan
masa lalu. Perawat masa depan harus melakukan pembaharuan-
pembaharuan dalam penataan organisasi profesi, pendidikan,
praktik, dan ilmu keperawatan.

41
MOTIVASI DALAM MENEJEMEN KEPERAWATAN

A. DEFINISI MOTIVASI
Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau
menggerakkan.
Secara konkrit motivasi dapat diberi batasan sebagai “ Proses pemberian motif
(penggerak) bekerja kepada para bawahan sedemikian rupa sehingga mereka
mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi secara efisien“
(Sarwoto,1979 : 135).
Motivasi adalah pemberian kegairahan bekerja kepada pegawai. Dengan
pemberian motivasi dimaksudkan pemberian daya perangsang kepada pegawai
yang bersangkutan agar pegawai tersebut bekerja dengan segala daya dan
upayanya “ (Manullang, 1982 :150).
Penggerakkan (Motivating) dapat didefinisikan : Keseluruhan proses
pemberian motif bekerja kepada para bawahan sedemikian rupa sehingga
mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan
efisien dan ekonomis “ (Siagian,1983 : 152).
Pentingnya motivasi karena motivasi adalah hal yang menyebabkan,
menyalurkan dan mendukung perilaku manusia, supaya mau bekerja giat dan
antusias mencapai hasil yang optimal. Motivasi semakin penting karena
manajer/pimpinan membagikan pekerjaan kepada bawahannya untuk dikerjakan
dengan baik dan terintegrasi kepada tujuan yang diinginkan.
B. TINGKATAN MOTIVASI DALAM DIRI SESEORANG
1. Tingkat 1: untuk memenuhi kebutuhan hidup makan,tempat tinggal, pakaian,
istirahat, dan keamanan.
2. Ringkat 2: memuaskan kebutuhan social missal persahabatan, cinta, dan rasa
dihormati.
3. Tingkat 3: untuk menjamin beberapa pribadi dan untuk mengejar cita-cita.
Manusia perlu merasa puas terhadap dirinya sendiri, dengan apa yang
mereka capai dalam hidup, dan dengan bakat dan kemampuannya.

C. MACAM-MCAM MOTIVASI
1) Motivasi instrinsik
- Motivasi yang berasal dari diri seseorang itu sendiri.
- Kegiatan belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan penghayatan suatu
kebutuhan dan dorongan yang secara mutlak berkaitan dengan aktifitas
belajar.
2) Motivasi ekstrinsik

42
Motivasi yang berfungsinya karena adanya perangsangan dari luar.
Dorongan untuk mencapai tujuan-tujuan yang terletak di luar perbuatan
belajar (Heinz Kcok, 1986: 80).
Dari definisi dapat dipahami bahwa motivasi ini yang pada hakikatnya
adalah dorongan yang berasal dari luar seseorang. Jadi berdasarkan motivasi
ekstrensik tersebut peserta didik yang belajar sepertinya bukan karena ingin
mengetahui sesuatu tetapi ingin mendapatkan pujian atau nilai yang baik.

D. TEORI-TEORI MOTIVASI
Pengelompokkan/klasifikasi teori-teori motivasi ada tiga kelompok yaitu :
(Hasibuan,2001 : 152).
a. Teori Kepuasan Proses (Process Theory)
Teori yang didasarkan pada kebutuhan insan dan kepuasannya. Maka dapat
dicari faktor-faktor pendorong dan penghambatnya. Pada teori kepuasan ini
didukung juga oleh para pakar seperti Taylor yang mana teorinya dikenal
sebagai Teori Motivasi Klasik. Teori secara garis besar berbicara bahwa
motivasi kerja hanya dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan kerja baik
secara biologis maupun psikologis. Yaitu bagaimana mempertahankan
hidupnya. Selain itu juga
b. Teori Motivasi Proses (Motivation Theory)
Teori ini berusaha agar setiap pekerja giat sesuai dengan harapan organisasi
perusahaan. Daya penggeraknya adalah harapan akan diperoleh si pekerja.
c. Teori Pengukuhan (Reinforcement Theory) yang menitikberatkan pada cara
diman perilaku dipelajari.
Gambaran teori Hierarkhi Kebutuhan Maslow, atas dasar sebagai berikut :
(Hasibuan,2001 : 156).
a. Manusia adalah mahluk sosial yang berkeinginan. Ia selalu menginginkan
lebih banyak.Keinginan ini terus-menerus dan hanya akan berhenti bila akhir
hayatnya tiba.
b. Suatu kebutuhan yang telah dipuaskan tidak menjadi alat motivator bagi
pelakunya, hanya kebutuhan yang belum terpenuhi yang akan menjadi
motivator.
c. Kebutuhan manusia tersusun dalam suatu jenjang/hierarkhi, yakni dimulai
dari tingkat kebutuhan yang terendah physiological, safety and security,
affiliation or acceptance, esteemor status dan terakhir self actualization.
Douglas McGregor menemukan teori X dan teori Y setelah mengkaji cara para
manajer berhubungan dengan para karyawan. Kesimpulan yang didapatkan adalah
pandangan manajer mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok
asumsi tertentu dan bahwa mereka cenderung membentuk perilaku mereka terhadap
karyawan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.

43
Ada empat asumsi yang dimiliki manajer dalam teori X.
- Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin
berusaha untuk menghindarinya.
- Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipakai,
dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
- Karyawan akan mengindari tanggung jawab dan mencari perintah
formal, di mana ini adalah asumsi ketiga.
- Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain
terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.
- Bertentangan dengan pandangan-pandangan negatif mengenai sifat
manusia dalam teori X, ada pula empat asumsi positif yang disebutkan
dalam teori Y.
- Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan, seperti
halnya istirahat atau bermain.
- Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai
berbagai tujuan.
- Karyawan bersedia belajar untuk menerima, mencari, dan
bertanggungjawab. *Karyawan mampu membuat berbagai keputusan
inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi
mereka yang menduduki posisi manajemen.
E. MOTIVASI MENEJEMEN
Martoyo (2000) motivasi kinerja adalah sesuatu yang menimbulkan
dorongan atau semangat kerja. Motivasi atau dorongan untuk bekerja ini sangat
penting bagi tinggi rendahnya produktivitas perusahaan. Tanpa adanya motivasi
dari para karyawan atau pekerja untuk bekerja sama bagi kepentingan
perusahaan maka tujuan yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Sebaliknya
apabila terdapat motivasi yang besar dari para karyawan maka hal tersebut
merupakan suatu jaminan atas keberhasilan perusahaan dalam mencapai
tujuannya.
Motivasi finansial, yaitu dorongan yang dilakukan dengan memberikan
imbalan finansial kepada karyawan. Imbalan tersebut sering disebut insentif.
Motivasi nonfinansial, yaitu dorongan yang diwujudkan tidak dalam bentuk
finansial/ uang, akan tetapi berupa hal-hal seperti pujian, penghargaan,
pendekatan manusia dan lain sebagainya (Gitosudarmo dan Mulyono , 1999).

F. KEPUASAN KERJA
Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai
pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi
kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi
dalam dan luar pekerjaan. (hasibuan, 2001 : 202).

44
Keadaan yang menyenangkan dapat dicapai jika sifat dan jenis pekerjaan yang
harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan nilai yang dimiliki. Kepuasan
kerja merupakan Suatu pernyataan rasa senang dan positif yang merupakan hasil
penilaian terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman kerja “ (locke, 1995 : 126).
Kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang,
selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pegawai dan
banyaknya yang mereka yakini apa yang seharusnya mereka terima, “ (Stephen
P. Robbins, 1996 : 26).

G. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUASAN KERJA


Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu : (Hasibuan, Melayu 2001
:203).
1. Balas jasa yang adil dan layak
2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian
3. Berat ringannya pekerjaan
4. Suasana dan lingkungan pekerjaan
5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan
6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya
7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak
Menurut, Robbins (1996 : 181) bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh:
1. Kerja yang secara mental menantang
2. Ganjaran yang pantas
3. Kondisi kerja yang mendukung
4. Rekan sekerja yang mendukung
5. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan.
Kerja yang secara mental menantang dan dapat diartikan adanya inovasi-inovasi
baru sehingga tidak monoton, penghasilan atau kompensasi yang sesuai dengan
harapan pegawai dengan standar yang ada, iklim pekerjaan yang kondusif untuk
berlangsungnya pekerjaan dan adanya relevansi kepribadian yang berarti
kesesuaian motivasi, persepsi dengan pekerjaan yang akan dilakukan.

45
G. TEORI MOTIVASI DALAM KEPUASAN KERJA
Manusia dalam hal ini pegawai adalah mahluk sosial yang menjadi kekayaan
utama bagi setiap organisasi. Mereka menjadi perencana, pelaksana, dan
pengendali yang selalu berperan aktif dalam mewujudkan tujuan organisasi.
Pegawai menjadi pelaku yang menunjang tercapainya tujuan, mempunyai
pikiran, perasaan dan keinginan yang dapat mempengaruhi sikap-sikap negatif
hendaknya dihindarkan sedini mungkin.
Untuk mengembangkan sikap-sikap positif tersebut kepada pegawai, sebaiknya
pimpinan harus terus memotivasi para pegawainya agar kepuasan kerja
pegawainya menjadi tinggi, mengingat kepuasan kerja merupakan bagian dari
kepuasan hidup yang bergantung pada tindakan mana individu menemukan
saluran-saluran yang memadai untuk mewujudkan kemampuan, minat, ciri
pribadi nilai-nilainya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan
oleh Yusmiati Saimah dengan judul “Pengaruh Motivasi Terhadap Kepuasan
Kerja” pada dinas perhubungan Kabupaten Musi Rawas (2003 : 21).
Gouzaly (2000 : 257), dalam bukunya “Manajemen Sumber Daya Manusia”
mengelompokkan faktor-faktor motivasi kedalam kedalam dua kelompok yang
dapat menimbulkan kepuasan kerja yaitu, faktor external (karakteristik
organisasi) dan factor internal (karakteristik pribadi).

46
DAFTAR PUSTAKA

Azrul Azwar. 2005. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi kedua. Jakarta: PT.
Bina Rupa Aksara.
Christina S.I. (1990), Pengantar Manajemen Keperawatan; Akper Padjajaran
Bandung (tidak dipublikasikan).
Dee Ann Gillies. 2002. Nursing Management. Philadelphia: WB. Saunders
Company.
Eleanor J. Sullivan dan Phillip J. Decker. 1995. Effective Management in Nursing.
California: Addison-Wesley Publishing Company.
Fiedler, F.E.1967. A Theory of Leadership Effectivenss, New York: McGraw-Hill.
Gillies, DA. (1996), Manajemen Keperawatan, Suatu Pendekatan Sistem; W.B.
Saunders Company, Philadephia.
H. Moh. Isa. 2001. Beberapa Bacaan tentang Dasar-dasar Manajemen. Jakarta:
Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Depkes RI.
James A.F. Stoner, Management, Secont Editions, Prentice-Hall International, Inc.,
1982.
Lancoster, J. dan Lancoster, W. (1982), Change Agent as Leaders in Nursing; CV.
Mosby Company, St. Louis.
Prayitno, S. (1997), Dasar-dasar Administrasi Kesehatan Masyarakat; Airlangga
University Press, Surabaya.
Robert J. Thierauf, Robert C. Klekamp, Daniel W. Gedding, Management
Principles and Practices: A Contigency and Questionnare Approach, John
Willey & Son, New York, 1997
Robbins, Stephen, et.al. 1994. Organizational Beharviour: Concepts, Controversies
and Applications, Prentice-Hall Australia and New Zealand.

Stephen J. Carrol & Henry L. Tosy, Organizational Behavior, John Willey & Son,
New York, 1977
Stoner, James A.F dan R. Edward Freeman. 1989. Management, Prentice-Hall of
India.
T. Hani Handoko. 1995. Manajemen. Edisi kedua. Yogyakarta: BPFE.

47
Vroom V. dan Yetton, P. 1974. Leadership and Decision Making, Pittsburgh, PA:
University of Pittsbyrgh Press.

Howell, J.M. dan Avolio, B.J. 1993. Transformational Leadership,Transactional


Leadership, Locus of Control Support for Innovation, Journal of Applied
Psychology 78, p. 891-902.
Nursalam, 2011. Manajemen keperawatan (Aplokasi dalam Praktik Keperawatan
professional)

Teori Sifat atau Pembawaan

(Sumber: Diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,


The McGraw-Hill Company, Inc.)
Teori Gaya Keperilakuan
(Sumber: Diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)

Gouzaly, Saydam, Drs.200, Manajemen Sumber Daya Manusia , Gunung Agung,


Jakarta.

Hasibuan, Melayu SP, 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Revisi Bumi
Aksara

Hasibuan, Melayu SP. 1984, Manajemen Dasar, Pengertian dan masalah, Bumi
Aksara,Jakarta

McMahon, Elizabeth barton. 1999. Manajemen pelayanan kesehatan perimer.


Jakarta: EGC

48

Anda mungkin juga menyukai