LANDASAN TEORI
7
8
pengguna baru akan datang, area tersebut akan ikut teregenerasi dan perkembangan
ekonomi akan terjadi (Orbasli, 2008).
Batavia menyerupai kota-kota yang ada di Belanda, dengan ciri kanal-kanal yang
membelah kota dan pohon rindang di tepinya. Pembangunan kota berbenteng ini
memakan waktu sekitar 40 tahun (Wirawan, 2009).
Benteng Batavia menjadi pusat kekuasaan dan titik pusat utama kota. Batavia
terus tumbuh dan berkembang hingga pada 1730 menjadi besar dan makmur. Area
dalam tembok dikembangkan sebagai pusat perdagangan, sedangkan area luar
tembok difokuskan sebagai areal perkebunan dan pertanian. Kanal-kanal dibangun
untuk mengairi tanah dan perkebunan, dan juga difungsikan untuk mengangkut hasil
pertanian dan menggerakkan watermills guna memeras tebu (Wirawan, 2009).
Batavia awalnya menjadi pusat kantor VOC setelah VOC mendominasi Kota
hingga digantikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1799. Batavia dikenal
sebagai kuburan orang Eropa karena rendahnya standar kebersihan dan kualitas air
yang menyebabkan terjadinya wabah malaria. Pada 1808, Daendels meruntuhkan
tembok dan membangun kantor baru pada 1809 di Lapangan Banteng, Weltevreden
yang kemudian menjadi pusat pemerintahan baru dan Downtown Batavia masih
berfungsi sebagai tempat kantor pelayaran, perdagangan, dan asuransi (Merrillees,
2000).
Dengan dihapuskannya Sistem Tanam Paksa pada 1870, terjadi peningkatan
kegiatan perdagangan besar-besaran di daerah Jawa, terlebih di Batavia. Perusahaan-
perusahaan dagang swasta dan lembaga keuangan berdiri, sebagian besar membuka
kantor di wilayah Kota, khususnya di sepanjang Kali Besar dan sekitarnya (Wirawan,
2009). Di Kawasan Kota Tua terdapat kanal utama yang menjadi jalur transportasi
utama kota bernama Kali Besar. Kali Besar menjadi jalur perdagangan yang penting,
sehingga banyak perusahaan perdagangan membangun kantor di sekitar kanal
tersebut (Akihary, 1996).
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Pasal 83:
(1) Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi
untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:
a. ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya;
dan/atau
b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau
Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;
b. menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau
d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika
lingkungan di sekitarnya.
a. Menata bangunan pada masing-masing zona sesuai dengan karakter dan nilai
bangunan eksisting cagar budaya yang telah ada;
b. Menciptakan konektivitas ruang dan fungsi antar bagunan dalam kawasan guna
menciptakan keterpaduan dan meningkatkan akses bagi pejalan kaki;
c. Memperkuat karakter kota dengan penataan fasad dan arkade;
d. Mempertahankan karakter bangunan lama dan menyesuaikan bentukan
arstitektural bangunan baru dengan lingkungan sekitarnya; dan
e. Mengaktifkan kembali fungsi bangunan, baik dengan fungsi lama maupun fungsi
baru (Adaptive reuse).
(3) Penataan Bangunan Pemugaran di Kota Tua sebagai berikut:
a. Bangunan yang termasuk dalam bangunan cagar budaya harus dilestarikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bidang bangunan cagar budaya;
b. Berbagai bentuk pengabaian terhadap bangunan cagar budaya akan dikenakan
sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 21:
(1) Pembangunan dan penyisipan bangunan baru dimungkinkan untuk mendorong
upaya revitalisasi, pelestarian dan pemanfaatan bangunan cagar budaya di Kotatua.
(2) Perubahan, pengembangan, da perbaikan bangunan tidak boleh menyalahi aturan
intensitas yang telah diterapkan;
(3) Penyisipan bangunan baru harus memperhatikan golongan bangunan cagar
budaya, karakter, skala, bentukan, material dan warna, detail arsitektural bangunan di
sekitarnya sehingga memberikan keharmonisan serta memperkuat karakter wawasan.
(4) Desain bangunan harus merespon terhadap nilai historis, estetika, sosial dan
budaya melalui pemahaman dan studi terhadap karakter dan kualitas lingkungan
sehingga sesuai dengan konteks kawasan.
Menurut (Cuypers & Hulswit, 1914), pada sisi barat terdapat teras yang
berfungsi sebagai buffer sinar matahari dan sebagai jalan bagi publik. Semua tembok
dipancang di atas beton bertulang, Anak tangga dibuat mewah dengan terbuat dari
batu keras yang diminyaki, sehingga tampak seperti marmer hitam yang dipoles.
17
Bangunan ini memiliki gaya arsitektur art deco dengan ciri ornamen geometris pada
eksterior, kaca patri dan dekorasi pada interior bangunan, namun dengan
penyesuaian terhadap iklim tropis, ditunjukkan dengan tinggi langit-langit mencapai
6,5 m agar sirkulasi udara lancar, juga banyaknya bukaan pada sekeliling bangunan.
Saat ini ekterior gedung masih dalam keadaan kokoh namun terjadi beberapa
kerusakan di dalam bangunan.
Tabel 4. Kronologi Bangunan PT. Cipta Niaga
1913 Pembangunan gedung oleh biro arsitek Ed Cuypers en Hulswit
1913-1957 Kantor Internationale Crediet en- Handelsvereeniging Rotterdam
>1957 Kantor PN Tjipta Niaga, kemudian menjadi PT. Cipta Niaga
2003 Penetapan sebagai gedung milik PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia
Sumber: Unit Pengelola Kawasan Kota Tua
2.2.2 Visi dan Misi Jakarta Endowment for Art and Heritage
Visi dan misi JEFORAH dalam kegiatan revitalisasi Kota Tua adalah sebagai
berikut:
1. Melestarikan warisan budaya yang memberi identitas unik pada warga Jakarta.
2. Tercipta komunitas yang menghubungkan individu, lingkungan, kota dan
metropolitan.
3. Mengingatkan pada sejarah sebagai bekal untuk masa depan.
4. Memberikan kontribusi untuk kepentingan public dan manfaat bagi komunitas.
Tujuan merevitalisasi Jakarta Kota Tua untuk:
1. Menciptakan lapangan kerja.
2. Melestarikan gedung sejarah dengan target 5 tahun: meperbaiki 85 gedung
bersejarah.
3. Mempromosikan keragaman budaya.
4. Menarik bakat dan turis.
5. Menarik investasi.
Dengan rencana revitalisasi: Di dalam menghidupkan Jakarta Kota Tua fokus
JEFORAH bukan hanya pada restorasi bangunan semata namun membuat Kota tua
sebagai tempat untuk bekerja, hidup dan bermain.
berkembang awalnya pada tahun 1920-an dan dengan kebangkitan pada tahun 1960-
an, ditandai terutama oleh motif geometris, bentuk streamline atau kurvilinier,
outline yang didefinisikan dengan jelas, seringkali dengan warna yang tegas, dan
penggunaan material sintetis seperti misalnya plastik. Art Deco merupakan
kependekan dari Exposition Internationale Des Arts Decoratifs et Industries
Modernes, sebuah eksposisi dari seni modern dan dekoratif yang diadakan di Paris,
Perancis pada tahun 1925 (Ching, 2012).
Art Deco atau yang dulu disebut style modern, berkembang sebagai reaksi
terhadap gaya Art Nouveau. Kedua gaya ini menggunakan dekorasi berdasarkan
alam, namun Art Nouveau dengan desain bunga dan tanaman eksotis yang memutar,
sedangkan Art Deco cenderung memilih bunga yang geometris. Banyak gaya yang
menjadi inspirasi bagi Art Deco, termasuk Cubism, Bauhaus, Ballets Russes,
Glasgow School of Art, Vienna Secession, Deutsche Werkbund, Russian
Constructivism, dan De Stijl (Cranfield, 2001).
Arsitektur Art Deco fokus pada energi dan efek visual, bukan tentang struktur
atau denah (Bayer, 2001). Karakteristik umum dari gaya Art Deco adalah bentuk
geometris, zigzag, pola abstrak dengan warna, kaca patri warna, plaster yang dicat
dengan desain geometris (Cranfield, 2001).
2.3 Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka, hipotesis penelitian adalah:
• Fungsi komersial yang tepat diaplikasikan pada adaptive reuse PT. Cipta Niaga
adalah berupa fungsi yang komersial yang mampu berfungsi selama 24 jam.
• Konsep interior adaptive reuse yang tepat bagi gedung PT. Cipta Niaga yang
mampu memenuhi kebutuhan akan fungsi yang baru dengan tetap menjaga nilai
sejarah kawasan Kota Tua adalah dengan menggunakan gaya interior asli bangunan,
yaitu art deco.
Menurut Yıldırım dan Turan, adaptive reuse pada area bersejarah dapat
melestarikan pola historis. Penelitian dilakukan dengan menganalisa 6 studi kasus
adaptive reuse pada rumah tradisional di Turki. Tujuan penelitian adalah
menganalisa perubahan dan efek yang ditimbulkan oleh adaptive reuse dan
mengetahui pendekatan yang paling tepat dalam melakukan konservasi. Selain
melestarikan nilai budaya, adaptive reuse juga merupakan penggunaan bangunan
yang berkelanjutan. Komersialisasi yang dilakukan dapat membuat area historis
menjadi tempat wisata yang hidup. Alih fungsi yang dimiliki oleh rumah-rumah
tradisional di Turki adalah menjadi restoran dan pusat kebudayaan. Metode yang
dilakukan adalah dengan melakukan penelitian mengenai sejarah bangunan dan
literature review.
hanya tentang satu bangunan, namun terkait dengan lingkungan dan masyarakat
sekitarnya.
eksploratori dilakukan untuk mengetahui situasi yang ada di kota Surakarta. Motivasi
untuk melakukan renovasi bangunan pribadi adalah untuk ekonomi, karena
perawatan yang dilakukan untuk bangunan tua membutuhkan dana yang cukup besar.
Sektor informal yang tidak teratur membuat kawasan historis menjadi terkesan padat.
Strategi konservasi yang seharusnya dilakukan adalah tetap mempertahankan nilai
historis kota Surakarta namun tidak membebani masyarakat. Masyarakat dapat
mengembangkan potensi ekonomi dengan diaturnya ruang komersial untuk tempat
wisata.