Anda di halaman 1dari 18

Fakultas Hukum, Faculty of Law

SeminarUniversitas
Seminar Nasional Hukum Nasional Hukum Universitas
Negeri Semarang Negeri Semarang 348
Law
Volume 4 Nomor 2 Tahun 2018, 348-365

Peran Sentra Penegakan Hukum Terpadu


(Gakkumdu) dalam Penegakkan Tindak
Pidana Pemilu
Binov Handitya
Fakultas Hukum, Universitas Ngudi Waluyo
Semarang, Jawa Tengah

Pemilu merupakan bentuk nyata dari konsep demokrasi yang diyakini


sebagai salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Namun dalam pelaksanaan pesta demokrasi tersebut dalam perjalanannya
masih terjadi kekurangan-kekurangan. Beberapa hal yang kerap menjadi
sorotan adalah maraknya politik uang dalam setiap pemilihan pimpinan di
negeri ini, mulai dari pemilihan kepala desa hingga pemilihan presiden
mungkin telah menjadi akar yang tak mudah untuk kering. Salah satu
faktor yang menjadi penyebab maraknya politik uang adalah belum
adanya kesadaran dari sebagian besar rakyat Indonesia bahwa pemilu
merupakan wahana yang paling efektif bagi penegakan kedaulatan rakyat.
Sebagai contoh lagi adanya suara fiktif atau palsu kerap mewarnai ajang
pesta demokrasi di negara ini. Masyarakat kurang menyadari bahwa
berbagai peristiwa yang muncul tadi bisa dikategorikan sebagai tindak
pidana pemilu yang ancaman sanksinya sudah tegas. Dalam Undang-
Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memperlihatkan keseriusan
pemerintah dalam memberantas tindak pidana pemilu melalui
pembentukkan Gakkumdu. Gakkumdu sebagai sentra penegakan hukum
terpadu memiliki peran penting dalam penanganan tindak pidana pemilu.
Dalam Pasal 486 butir (1) UU No. 7 Tahun 2017 secara eksplisit
dijelaskan dibentuknya Gakkumdu bermaksud untuk menyamakan
pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu oleh Bawaslu,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik
Indonesia. Para anggota Gakkumdu sendiri berasal dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan penuntut yang berasal dari Kejaksaan
Agung Republik Indonesia. Topik permasalahan yang akan dibahas dalam
artikel ini adalah peran Gakkumdu dalam menekan tindak pidana pemilu
pada pemilihan Presiden di Pemilu 2019.
The election is a tangible form of the concept of democracy which is believed to
be one of the principles of governance in Indonesia. But in the implementation of
the democratic party there were still shortcomings in the journey. Some of the
things that are often in the spotlight are the rise of money politics in every
leadership election in this country, starting from the election of the village head
to the presidential election may have become the root that is not easy to dry. One

*Surel: binovhanditya24@gmail.com
ISSN (Cetak) 2614-3216 ISSN (Online) 2614-3569
© 2018 Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
http://fh.unnes.ac.id
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
349 Binov Handitya

of the factors that cause the rise of money politics is the lack of awareness of
most Indonesians that elections are the most effective vehicle for upholding
people's sovereignty. For example, the presence of fictitious or fake voices often
colors the event of a democratic party in this country. People are not aware that
the various events that emerged earlier can be categorized as election crimes
whose threat of sanctions has been firm. In Act No. 7 of 2017 concerning
Election shows the seriousness of the government in combating election crime
through the formation of Gakkumdu. Gakkumdu as an integrated law
enforcement center has an important role in handling election crimes. In Article
486 item (1) of Law No. 7 of 2017 explicitly explained the formation of
Gakkumdu intends to equalize the understanding and pattern of handling election
crimes by the Bawaslu, the Indonesian National Police, and the Attorney
General's Office of the Republic of Indonesia. The members of Gakkumdu
themselves are from the Republic of Indonesia National Police and prosecutors
from the Indonesian Attorney General's Office. The topic of the problem that will
be discussed in this article is the role of Gakkumdu in suppressing election crimes
in the Presidential elections in the 2019 Election.

Kata kunci: Pemilu, Politik Uang, Tindak Pidana, Penegakkan


Hukum, Gakkumdu

Pendahuluan

Selama berdirinya NKRI, belum terlihat adanya partisipasi politik


yang murni muncul dari hati nurani rakyat. Rendahnya kesadaran politik
yang dimiliki rakyat menunjukkan bahwa selama ini negara belum mampu
memberikan pendidikan politik kepada rakyatnya. Keterlibatan rakyat dalam
setiap peristiwa pemilihan umum merupakan hasil mobilisasi, baik oleh
rezim penguasa maupun elit politik. Tingginya tingkat partisipasi rakyat
dalam pemilu pada masa Orde Baru sepenuhnya merupakan hasil mobilisasi
rezim penguasa melalui alat-alat kekuasaan yang dibentuk oleh beberapa
elit, sedangkan tingginya tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu di era
reformasi sepenuhnya merupakan hasil mobilisasi elit partai politik melalui
mekanisme yang tidak halal.
Melihat kenyataan tersebut, banyak pihak yang berpendapat bahwa
sesungguhnya belum nampak budaya demokrasi yang muncul di negara ini,
yang ada adalah demokrasi semu. Salah satu ciri dari terbentuknya
demokrasi adalah adanya jaminan bagi terselenggaranya sistem kenegaraan
yang dapat melindungi seluruh kepentingan rakyat, terpenuhinya hak rakyat
demi terwujudnya kesejahteraan. Di Negeri ini pemilihan umum sudah
terselenggara beberapa kali namun kegiatan tersebut belum dapat
mewujudkan sistem kenegaraan yang dapat melindungi seluruh hak rakyat,
dan demi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 350

banyak pihak yang menjadikan pemilihan umum sebagai sarana untuk


meraih kepentingan pribadi bahkan dengan cara yang kotor.
Pemilihan umum yang telah beberapa kali terselenggara itu
seringkali masih terjebak pada kepentingan-kepentingan sesaat berdasarkan
ideologi sempit, yang tidak sejalan dengan ideologi Pancasila yang
merupakan komitmen bangsa sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Walaupun demikian, diakui juga bahwa apapun baik dan sempurnanya suatu
sistem demokrasi, namun kita mesti pula kembali pada etika dan budaya
bangsa. Dalam memenuhi keinginan penyelenggaraan pemilihan umum
yang baik pemerintah telah membuat Undang-undang pemilu, namun tidak
dapat disangkal bahwa ternyata masih saja ada kecenderungan dalam bentuk
pelanggaran-pelanggaran yang memiliki dimensi hukum penting bahkan
bisa masuk ke dalam tindak pidana.

Pemilu Sebagai Ajang Pesta Demokrasi


Mempelajari sejarah demokrasi pemilu di Indonesia dapat
menambah wawasan dan pengetahuan kita sekitar perguliran sistem
demokrasi. Indonesia termasuk dari salah satu negara yang menganut
demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Jika merujuk kepada sejarah
beberapa negara besar yang berjaya dengan konsep demokrasi, elite politik
serta pendahulu bangsa yang menggagas sistem pemerintahan condong
untuk menentukan bahwa demokrasi sesuai dengan karakter bangsa
Indonesia yang toleran.
Namun dalam perjalanannya demokrasi pemilu di tanah air
mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan dalam pelaksanaan pemilu
memang hal yang wajar. Dengan berbagai perubahan sistem demokrasi
pemilu di Indonesia, rakyat berharap bahwa dengan perubahan tersebut
dapat ditemukan bentuk ideal dari sistem pemilu di tanah air. Aspirasi
rakyat seakan tersapu angin ketika sampai pada tataran elite penguasa.
Banyak kebijakan yang mengatasnamakan rakyat namun sejatinya memihak
pada kepentingan individu dan golongan. Kita mengetahui bagaimana nasib
rakyat kecil di era yang semakin ganas ini. Penguasa tidak melirik
kepentingan rakyat lagi, adapun hanya sebagian dari penguasa atau pihak
pemerintah yang masih jujur dan bernurani bersih.1

1
Prihatmoko, Joko. J. Men-Demokratis-kan Pemilu: Dari Sistem Sampai Elemen Teknis,
Semarang: LP3M UNWAHAS dan Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 24.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
351 Binov Handitya

Sebelum kita membahas mengenai pemilu sebagai ajang pesta


demokrasi hendaknya kita harus meluruskan pemahaman mengenai
demokrasi. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga
negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat
mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara
berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam
perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik
kebebasan politik secara bebas dan setara.2
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu Demos yang berarti
rakyat dan Kratos yang berarti kekuasaan. Secara bahasa Demokrasi adalah
kekuasaan yang berada ditangan rakyat. Maksud dari pemerintahan rakyat
adalah pemegang kekuasaan tertinggi dipenggang oleh rakyat. Jadi
demokrasi adalah sebuah bentuk sistem pemerintahan dalam rangka
mewujudkan kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah.3
Jadi demokrasi adalah suatu pola pemerintahan dimana kekuasaan
untuk memerintah berasal dari mereka yang diperintah. Atau demokrasi
adalah pola pemerintahan yang mengikuti sertakan secara aktif semua
anggota masyarakat dalam keputusan yang diambil oleh mereka yang diberi
wewenang. Maka legitimasi pemerintah adalah kemauan rakyat yang
memilih dan mengontrolnya. Rakyat memilih wakil-wakilnya dengan bebas
dan melalui mereka ini pemerintahnya. Disamping itu, dalam negara dengan
penduduk jutaan, para warga negara mengambil bagian juga dalam
pemerintahan melalui persetujuan dan kritik yang dapat diutarakan dengan
bebas khususnya dalam media massa.4
Pemilihan Umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan
Pemilu bertujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk
membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh
dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penerapan
prinsip-prinsip demokrasi dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat

2
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, ditelusuri pada tanggal 26 Agustus 2018.
3
http://demokrasiindonesia.blogspot.com/2014/08/demokrasi-di-indonesia-pengertian-
macam-, ditelusuri pada tanggal 26 Agustus 2018.
4
Abdul aziz hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia. Yogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2011, hlm.174

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 352

diharapkan dapat menjadi motivasi dalam pelaksanaan pemilihan umum,


dan yang paling utama meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk
berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi terwujudnya cita-cita
masyarakat Indonesia yang demokratis.5
Hubungan yang sangat erat antara Pemilu dengan demokrasi
sebenarnya dapat dilihat dalam rumusan yang sederhana sehingga ada yang
mengatakan bahwa pemilu merupakan salah satu bentuk dan cara yang
paling nyata untuk melaksanakan demokrasi. Jika demokrasi diartikan
sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat sesuai yang dinyatakan
Abraham Lincoln, maka cara yang paling tepat untuk menentukan
pemerintahan itu dilakukan melalui sistem pemilihan umum. Hal ini
menjadi niscaya karena di zaman modern ini tidak ada lagi demokrasi
langsung atau demokrasi yang dilakukan sendiri oleh seluruh rakyat seperti
pada zaman polis-polis di Yunani kuno kira-kira 2500 tahun yang lalu.
Karena pada masa-masa itu penduduk dalam wilayah daulat negara masih
sedikit. Di dalam demokrasi modern, pemilu selalu dikaitkan dengan konsep
demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy),
yang berarti keikutsertaan rakyat di dalam pemerintahan dilakukan oleh
wakil-wakil rakyat yang dipilih sendiri oleh rakyat secara langsung dan
bebas, sehingga hasil pemilu haruslah mencerminkan konfigurasi aliran-
aliran dan aspirasi politik yang hidup di tengah-tengah rakyat. Konsep dan
pemahaman yang seperti itu telah tampak pada penyelenggaraan pemilu
serta menjadi dasar kehidupan politik di sepanjang sejarah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pemilihan umum adalah salah satu perwujudan hak asasi warga
negara yang sangat prinsipiil, karena dalam pelaksanaan hak asasi adalah
suatu keharusan pemerintah untuk melaksanakan pemilu dengan
memberikan kebebasan serta perlindungan kepada setiap rakyatnya. Sesuai
asas bahwa rakyatlah yang berdaulat maka semua itu dikembalikan kepada
rakyat yntuk menentukannya. Oleh karena itu pemilu adalah suatu syarat
yang mutlak bagi negara demokrasi untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. 6

5
Farahdiba Rahma Bachtiar, Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi Dari Berbagai
Refresentasi, Jurnal Politik Profetik Volume 3 Nomor 1 Tahun 2014, hlm. 2
6
Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945. Jakarta: Kencana, 2011, hal. 331.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
353 Binov Handitya

Sikap Apatis Masyarakat Terhadap Pemilu


Rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya even pemilihan
umum bagi penegakan kedaulatan rakyat dalam konsep demokrasi juga
nampak dari sikap acuh yang ditunjukkan sebagian warga terhadap proses
pemilihan umum. Sikap acuh yang diberikan rakyat sudah barang tentu
menjadi perwujudan dari edukasi yang salah dari pemerintah dan pemeran-
pemeran politik di negeri ini. Salah satu sifat apatisme masyarakat yang
sering muncul adalah Golongan Putih (Golput). Dalam politik seringkali
hanya diartikan dalam tindakan personal dimasyarakat untuk tidak ikut serta
dalam agenda politik.
Apatis merupakan sikap masyarakat yang masa bodoh dan tidak
memiliki rasa ketertarikan terhadap orang lain, keadaan, serta gejala-gejala
sosial politik yang muncul pada umumnya. Sikap apatis masyarakat
terhadap politisi menjadi penyebab utama golput, golongan putih diartikan
sebagai pilihan politik warga negara untuk tidak menggunakan hak pilih.
Orang-orang yang apatis menganggap kegiatan berpolitik sebagai sesuatu
yang sia-sia, sehingga sama sekali tidak ada keinginan untuk beraktivitas di
dunia politik. Orang-orang yang bersikap apatis terhadap kegiatan berpolitik
di karena sebagian masyarakat yang sama sekali tidak memahami hakikat
politik sesungguhnya. Hal ini berkaitan dengan partisipasi politik.
Keinginan golput dari sebagian masyarakat merupakan pilihan yang
dilakukan secara sadar, karena kenyataannya dari dulu mulai kampanye
hingga pemilihan akhirnya semua tidak mampu menciptakan keadaan yang
lebih baik, sehingga pilihan yang mereka anggap tepat adalah dengan cara
mengabaikan Pemilu.
Para ahlipun sering kali memberikan indikator apatisme hanya dari
keikutsertaan masyarakat pada sebuah agenda politik. Para pemilih yang di
anggap apatis tersebut tetap datang ketempat pemungutan suara dan
memilih, apatisme masyarakat juga sering kali di salah artikan sebagai
golongan putih yang berati sekelompak masyarakat yang menolak untuk
memilih, mengungkap data golput dari tahun 2005 sampai tahun 2010
ditemukan angka golput secara rata mencapai 27,9% – 35,0% LSI
menganggap golput sebagai gerakan sosial akan tetapi sebagai nonpartisan.
Kesalahan inteprensi ini terus berlangsung hingga saat ini.
Hal yang membuat berkembangnya apatisme bermula dari kelakuan
para elit politik yang memperebutkan kekuasaan demi kepentingan sendiri
ataupun kepentingan golongannya. Banyaknya cara kotor yang dilakukan
para parpol demi memenangkan kandidat untuk memiliki kekuasaan dari

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 354

cara seperti black campaign, money politic, isu hoak terhadap lawan hingga
saling menjatuhkan lawan politik pun dilakukan oleh hampir semua partai
politik demi sebuah kemenangan.
Banyak hal yang menjadikan masyarakat semakin letih dan hampa
harapan dalam menanti perbaikan hidup karena sering termakan janji-janji
politik. Keberadaan golput di sejumlah pemilu baik di tingkat pemilihan
kepala daerah hingga pemilihan presiden makin mengukuhkan
ketidakpuasan rakyat terhadap parpol. Dengan adanya ketidakpercayaan
masyarakat terhadap para calon pemimpin memberikan efek negatif bagi
para elit-elit dengan menghambur-hamburkan uang dalam waktu sekejap,
demi kekuasaan semata.7
Masyarakat sering kali menghindari pertanyaan-pertanyaan
mengenai politik dan langsung menyebut politik itu kotor, jahat dan tempat
bagi orang-orang yang mencari kekuasaan belaka. Agaknya pemahaman
yang seperti ini tidak berkembang dengan sendirinya, ide mengenai citra
politik yang buruk ini di dapat masyarakat dari hasil interaksi dan juga dari
media massa baik media cetak maupun elektronik yang juga milik beberapa
tokoh politik yang merangkap sebagai pengusaha. Dalam masyarakat sering
kali terlontar dictum “siapapun pemimpinnya tida bisa merubah keadaan,
masyarakat tetap sengsara”. Apatisme maupun golput sangat berbahaya bagi
Negara Indonesia karena akan mengarah pada krisis legitimasi kekuasaan
dan juga hilangnya kepercayaan pada pemrintahan. Bahaya dari golput dan
apatisme masyarakat adalah langgengnya status quo dan jatuh nya
kedaulatan pemerintahan ke tangan orang yang salah. Apatisme masyarakat
dalam pentas politik di Indonesia dengan berasumsi bahwa apatisme
masyarakat secara struktural merupakan dampak dari aliensi politik.
Sampai saat ini masyarakat memandang elite politik tidak
mengalami perubahan yang pasti. Hal ini bisa muncul oleh karena
masyarakat telah menjadi korban kebijakan politik yang sedang berkuasa.
Ada sebagian masyarakat yang sangat mengerti sekali dengan politik akan
tetapi pemilu tak ubahnya hanya sandiwara politik karena hakikatnya,
pemilu hanya akan menguntungkan secara politik dan ekonomi kepada elit
politik. Golput muncul karena berdasarkan bahwa keberadaan pemilu dan
aktivitas memilih tidak akan berdampak lebih baik pada diri pemilih.
Adapun yang menumbuhkan pola pemikiran masyarakat seperti itu akibat

7
Nanik Prasetyoningsih, Dampak Pemilihan Umum Serentak Bagi Pembangunan
Demokrasi Indonesia, Jurnal Media Hukum Vol. 21 Nomor 2, 2014, hlm. 242-243

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
355 Binov Handitya

setiap wakil rakyat yang mereka pilih tidak membawa besar harapan yang
rakyat titipkan untuk dipenuhi. Hal ini terjadi ditengah masyarakat yang
terjebak pada apatisme. Kecenderungan ini muncul ketika norma-norma
sosial yang selama ini disepakati dan dijabarkan dalam suatu masyarakat
mengalami kelonggaran, kegoyahan, dan kehilangan fungsinya yang efektif.
Beberapa cara yang harus dilakukan agar pemilih apatis menjadi
aktif antara lain : melakukan pendekatan politik kepada masyarakat, lebih
mendalam ke masyarakat agar masyarakat semakin percaya bahwa politik
itu bukanlah sesuatu yang buruk dan menanamkan image yang baik kepada
masyarakat tentang pemilihan umum. Dan hal yang paling penting adalah
tidak selalu berjanji akan tetapi memberikan bukti yang nyata atas
kemudahan-kemudahan kehidupan yang dijanjikan. Masyarakat perlu
merubah mindset bahwa golput bukanlah pilihan tepat dan cenderung
mendorong masyarakat menjadi apatis. Kondisi ini bisa menciptakan
rendahnya legitimasi pemerintah serta mendorong munculnya masyarakat
yang antipati (ketidaksukaan untuk sesuatu atau seseorang), terhadap
perkembangan politik. Dampaknya akan mendorong lemahnya sarana-
sarana politik formal yang ada saat ini.
Kesadaran politik berarti sadar akan hak dan kewajibannya sebagai
warga negara, sikap dan kepercayaan terhadap pemerintah lebih kepada
penilaian seseorang terhadap pemerintah, apakah pemerintah dapat
dipercaya atau tidak. Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan
kepercayaan terhadap pemerintah yang tinggi, partisipasi politik cenderung
aktif. Sebaliknya, apabila kesadaran dan kepercayaan rendah terhadap
pemerintah, partisipasi politik cenderung pasif (contoh dalam pemilu
masyarakat hanya pasif menunggu didaftar menjadi pemilih).
Salah satu alasan yang menyebabkan sikap apatis pada masyarakat
umumnya adalah dengan adanya anggapan pada individu dan masyarakat
bahwa partisipasi politik adalah hal sia-sia karena tidak pernah berjalan
secara efektif. Pola pikir masyarakat melihat elite politik yang senantiasa
selalu membodohi masyarakat dan masyarakat yang mempunyai
pengalaman dan pemahaman bahwa pemerintah dan elit politik, baik tingkat
pusat maupun daerah, selama ini tidak mampu melakukan perubahan sosial
politik bagi perbaikan nasib rakyat pada umumnya. Masyarakat yang
umumnya ada perasaan terasingkan dari politik atau pemerintahan dan
cenderung berpikir bahwa pemerintahan dan politik hanya dilakukan oleh
dan untuk orang tertentu.
Tindak Pidana Pemilu di Indonesia

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 356

Dengan perkembangan politik sebagai akibat tuntutan dan kebebasan


dalam berdemokrasi, rumusan tindak pidana yang berhubungan dengan
tindak pidana pemilu di dalam KUHP dirasakan sudah tidak dapat
menjawab kebutuhan dalam masyarakat. Dari berbagai pengalaman
penyelenggaraan pemilu yang dilakukan di Indonesia, dan dengan bertumpu
pada perkembangan paradigma kehidupan berdemokrasi yang terjadi selama
ini, ternyata tatacara dan mekanisme pemilu juga ikut mempengaruhi
perubahan tingkah laku baik peserta, pelaksana, penyelenggaran pemilu
maupun beberapa lembaga pemerintah dan peradilan yang menjadi objek
rumusan tindak pidana pemilu sebagaimana dirumuskan di dalam Undang
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang secara garis
dikelompokan dalam beberapa kualifikasi perbuatan, seperti :
a. Perbuatan pidana yang ditujukan setiap orang, yang meliputi :
1) Perbuatan menghilangkan hak pilih orang lain;
2) Perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri
sendiri atau orang lain yang berkaitan dengan pengisian daftar
pemilih;
3) Perbuatan menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai
pemilih dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dengan
menggunakan kekuasaan yang ada padanya;
4) Perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang atau dengan
memaksa atau dengan menjanjikan atau memberikan uang atau
materi guna memperoleh dukungan bagi pencalonan peserta
pemilu;
5) Membuat surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan surat atau dokumen yang dipalsukan untuk menjadi
bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota atau calon Presiden dan Wakil Presiden;
6) Melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan;
7) Melanggar larangan pelaksanaan kampanye Pemilu;
8) Memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang
ditentukan;
9) Mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye
Pemilu;
10) Memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana
kampanye;

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
357 Binov Handitya

11) Mengumumkan hasil survei atau hasil jajak pendapat dalam masa
tenang;
12) Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain kepada
pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memiliki
peserta pemilu lainnya atau menggunakan cara tertentu pada saat
pemungutan;
13) Menghalangi seseorang yang akan mekakukan hak pilihnya atau
melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan
ketentraman selama pelaksaaan pemungutan suara;
14) Perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih tidak bernilai
atau menyebabkan peserta pemilu tertentu mendapat tambahan
suara atau suara peserta pemilu menjadi berkurang;
15) Mengakui diri sebagai orang lain pada saat pemungutan suara;
16) Memberikan suara lebih dari satu kali atau lebih TPS;
17) Menggagalkan pemungutan suara;
18) Majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada
pekerja untuk memberikan suaranya pada pemungutan suara
kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa
ditinggalkan;
19) Menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel;
20) Membantu pemilih memberitahukan pilihan pemilih kepada orang
lain;
21) Karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya berita
acara pemungutan dan perhitungan dan sertifikat hasil pemungutan
suara yang sudah disegel;
22) Mengubah berita acara hasil pemungutan suara dan/atau sertifikat
hasil pemungutan suara;
23) Merusak, mengganggu atau mendistorsi sistem informasi
perhitungan suara hasil pemilu;
24) Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat
dan mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal
pemungutan suara;
25) Setiap orang atau lembaga yang melakukan penghitungan cepat
yang tidak memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat bukan
merupakan hasil resmi Pemilu.
b. Perbuatan pidana yang dapat dilakukan oleh petugas KPU, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan PPLN, meliputi :
1) Memperbaiki daftar pemilih sementara;

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 358

2) Tidak menindaklanjuti temuan Bawaslau, Panwaslu provinisi,


Panwaslu Kabupaten/Kota, Penwaslu Kecamatan, PPL, PPLN
dalam melaku pemutakhiran data pemilih, penyusunan dan
pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan
pengumuman daftar pemilih sementara, penetapan dan
pengumuman daftar pemilih tetap, dan rekapitulasi daftar pemilih
tetap yang merugikan WNI yang memiliki hak pilih;
3) Anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang
tidak menindak-lanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan
Panwaslu kabupaten/kota dalam melaksanakan verifikasi parpol
calon Peserta Pemilu;
4) Anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang
tidak menindak-lanjuti temuan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan
Panwaslu Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan verifikasi parpol
calon Peserta Pemilu dan verifikasi kelengkapan administrasi
bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, Presiden dan Wakil Presiden;
5) Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Sekretaris
Jenderal KPU, pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU
Provinsi, pegawai sekretariat KPU provinsi, sekretaris KPU
Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota
yang terbukti melakukan tindak pidana Pemilu dalam pelaksanaan
kampanye Pemilu;
6) Penetapan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang
ditentukan oleh Ketua KPU;
7) Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang tidak memberikan surat
suara pengganti apabila surat suara rusak atau tidak mencatat surat
suara di dalam berita acara;
8) KPU Kabupaten/Kota yang tidak menetapkan pemungutan suara
ulang di TPS ;
9) Ketua dan anggota KPPS yang tidak melaksanakan ketetapan KPU
kabupaten/ kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di
TPS;
10) Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan PPK
yang karena kelalaianya mengakibatkan hilang atau berubahannya
berita acara hasil rekapiltulasi perhitungan perolehan suara/atau
sertifikat perhitungan suara dan jika dilakukan dengan sengaja,
pidana ditambah menjadi 2 kali lipat;

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
359 Binov Handitya

11) Ketua dan anggota KPPS/KPPSLN yang tidak membuat dan


menandatangani berita acara perolehan suara peserta pemilu dan
calon anggota DPR, DPD, dan DPRD calon Presiden dan Wakil
Presiden;
12) KPPS/KPPSLN yang tidak memberikan salinan satu eksemplar
berita acara pemungutan dan perhitungan suara, dan sertifikat hasil
pemungutan suara kepada saksi pemilu, pengawasan pemilu
lapangan, PPS, dan PPK melalui PPS;
13) KPPS/KPPSLN yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan
kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi
surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil
penghitungan suara, kepada PPK melalui PPS atau kepada PPLN
bagi KPPSLN pada hari yang sama;
14) Setiap Pengawas Pemilu Lapangan yang tidak mengawasi
penyerahan kotak suara tersegel kepada PPK dan Panwaslu
kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel
kepada KPU kabupaten/kota;
15) PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari
seluruh TPS di wilayah kerjanya;
16) KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR,
DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, Presiden dan Wakil
Presiden secara nasional;
17) Ketua dan anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
yang tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
18) Ketua dan anggota Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu
kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, dan/atau Pengawas Pemilu
Lapangan/Pengawas Pemilu Luar Negeri yang dengan sengaja
tidak menindaklanjuti temuan dan/atau laporan pelanggaran
Pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU, KPU provinsi, KPU
kabupaten/kota, PPK, PPS/PPLN, dan/atau KPPS/KPPSLN dalam
setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.
c. Perbuatan pidana yang ditujukan pada pelaksana kampanye, seperti :
1) Perbuatan melanggar pelaksana kampanye;
2) Perbuatan memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan
kepada peserta kampanye dengan maksud untuk tidak
menggunakan hak pilih atau memilih peserta pemilu tertentu, atau
menggunakan haknya tetapi membuat surat suaranya tidak sah;

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 360

3) Karena kelalaian mengakibatkan tahapan penyelenggaraan pemilu


di tingkat desa/kelurahan terganggu, dan apabila dilakukan dengan
sengaja, maka pidana diperberat;
4) Pelaksana, peserta atau petugas yang dengan sengaja atau lalai
mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggara pemilu.
d. Perbuatan pidana yang ditujukan pada peserta pemilu yang terbukti
menerima sumbangan dan/atau bantuan.
e. Perbuatan pidana yang ditujukan pada pejabat negara/pejabat
pemerintah dan lembaga peradilan, yang meliputi :
1) Setiap Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/hakim Agung/hakim
Konstitusi, hakim-hakim pada semua badan peradilan, Ketua/Wakil
Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur, Deputi
Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia serta
Pejabat badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah yang
melanggar larangan;
2) Pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, dan perangkat
desa, dan anggota badan permusyaratan desa yang melanggar
larangan.
f. Perbuatan pidana yang ditujukan pada perusahan pencetak surat suara,
yang meliputi :
1) Mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditetapkan;
2) Tidak menjaga kerahasiaan, keamanan dan keutuhan surat suara.

Peran Gakkumdu dalam Menekan Tindak Pidana Pemilu Pada


Pemilihan Presiden di Pemilu 2019
Fungsi Sentra Gakkumdu adalah sebagai forum koordinasi dalam
proses penanganan setiap pelanggaran tindak pidana pemilu, pelaksanaan
pola tindak pidana pemilu itu sendiri, pusat data, peningkatan kompetensi,
monitoring evaluasi. Sementara mengenai pola penanganan tidak pidana
pemilu telah dirinci dalam Standar Operasional dan Prosedur (SOP) tentang
Tindak Pidana Pemilu pada Sentra Gakkumdu. Hal itu diharapkan dapat
menciptakan sistem pemilihan umum yang baik dan efektif.
Menurut SOP Sentra Gakkumdu, penanganan tindak pidana pemilu
dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahap yaitu: a) Penerimaan, pengkajian dan
penyampaian laporan/temuan dugaan tindak pidana pemilu kepada
Pengawas Pemilu; dalam tahap ini Pengawas Pemilu berwenang menerima
laporan/temuan dugaan pelanggaran pemilu yang diduga mengandung unsur

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
361 Binov Handitya

tindak pidana pemilu, selanjutnya dugaan pelanggaran itu dituangkan dalam


Formulir Pengaduan. Setelah menerima laporan/temuan adanya dugaan
tindak pidana pemilu, Pengawas Pemilu segera berkoordinasi dengan Sentra
Gakkumdu dan menyampaikan laporan/temuan tersebut kepada Sentra
Gakkumdu dalam jangka waktu paling lama 24 Jam sejak diterimanya
laporan/temuan. b) Tindak lanjut Sentra Gakkumdu terhadap
laporan/temuan dugaan tindak pidana pemilu; dalam tahap ini dilakukan
pembahasan oleh Sentra Gakkumdu dengan dipimpin oleh anggota Sentra
Gakkumdu yang berasal dari unsur Pengawas Pemilu. c) Tindak lanjut
Pengawas Pemilu terhadap rekomendasi Sentra Gakkumdu, Dalam tahap ini
disusun rekomendasi Sentra Gakkumdu, yang menentukan apakah suatu
laporan/temuan merupakan dugaan tindak pidana pemilu atau bukan, atau
apakah laporan/temuan tersebut perlu dilengkapi dengan syarat formil/syarat
materiil.
Mekanisme penanganan dengan sinergi antar lembaga demikian ini
diharapkan dapat secara efektif dan efisien menjawab berbagai kendala
penanganan tindak pidana pemilu yang selama ini dikhawatirkan terjadi.
terutama kekhawatiran tentang ketidaksepahaman penerapan peraturan
antara pengawas pemilu dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Di samping itu,
SOP ini diharapkan akan mudah untuk menjadi panduan kerja bagi petugas
Sentra Gakkumdu di seluruh tingkatan.
Dalam menyambut pesta demokrasi negara Indonesia pada
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang rencana akan dilaksanakan
pada bulan April 2019 mendatang pemerintah telah berupaya memberikan
sistem terbaik guna pelaksanaan pemilihan umum yang berjalan dengan
benar. Dengan hadirnya Sentra Gakkumdu pada setiap kabupaten/kota
diharapkan penanganan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu di tingkat
Kabupaten/Kota hingga pusat dapat ditangani secara maksimal oleh Sentra
Gakkumdu dengan tujuan agar dugaan pelanggaran pidana pemilu yang
ditangani tidak kadaluarsa dari sisi batasan waktu atau tidak diproses
dengan alasan tidak cukup bukti.
Idealnya laporan lembaga Pengawas Pemilu kepada pihak kepolisian
itu tidak ada lagi yang namanya P-19, tujuan pembentukan Sentra
Gakkumdu agar laporan/temuan dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu
yang dilimpahkan ke kepolisian untuk tidak P-19 atau kadaluarsa karena
batasan waktu, analisis di Sentra Gakkumdu menjadi point penting untuk
memutuskan apakah laporan/temuan dugaan pelanggaran tindak pidana
pemilu itu sudah cukup bukti atau sebaliknya agar tidak bolak-balik antara

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 362

kepolisian dan kejaksaan yang kemudian kadaluarsa karena melewati batas


waktu, Sentra Gakkumdu sesungguhnya punya kewenangan untuk
mengumpulkan dan mendalami bukti-bukti yang dibutuhkan maupun
keterangan saksi sebelum laporan/temuan dugaan pelanggaran tindak pidana
pemilu diteruskan kepada pihak kepolisian oleh lembaga Pengawas Pemilu.
Sampai pada hari terakhir 10 Agustus 2019 terdaftar 2 calon
pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Diketahui pasangan pertama calon
Presiden petahana Joko Widodo yang kerap di sapa Jokowi dengan
menggandeng pasangan yaitu KH. Ma’ruf Amin dan di pasangan lain
terdapat rival Jokowi pada Pemilu Pilpres 2014 yaitu Prabowo Subianto
dengan menggandeng Sandiaga Uno. Manuver politik yang sangat jelas
berbeda terlihat di pasangan pertama Jokowi menggandeng KH. Ma’ruf
Amin yang merupakan tokoh agama diharapkan mampu mendapatkan
simpatisan dari kaum agamis. Di sisi penantang Prabowo Subianto lebih
tertarik kepada sosok generasi milenial, pebisnis untuk menarik simpatisan
generasi muda.
Di sisi lain dari adanya dua pasang calon yang dua-duanya merebut
perhatian simpatisan ini, membuat keadaan politik di dalam negeri menjadi
penuh teka-teki dan semakin memanas. Dapat dikatakan keompok
simpatisan ini telah berjalan selama 5 tahun mulai periode 2014 hingga
sekarang. Kelompok simpatisan masing-masing kubu bisa menjadi
simpatisan yang sangat fanatik karena sangat mengidolakan figur-figur
calonnya. Dalam menghindari strategi-strategi pemenangan masing-masing
calon perlu adanya antisipasi dari KPU dengan memberdayaakan peran
Gakkumdu. Sehingga dengan fungsi yang dimiliki Gakkumdu tindakan
yang berbau tindak kecurangan dalam proses pemilihan umum dapat
ditekan.
Ketika bicara dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu maka
harapan itu ada di tangan Sentra Gakkumdu, lembaga Pengawas Pemilu
hanya sebagai pintu masuk, analisis dan keputusan selanjutnya berada di
pundak Sentra Gakkumdu (Pengawas Pemilu, Kepolisian dan Kejaksaan) di
pundak mereka lah semoga masih ada secercah harapan untuk penegakan
tindak pidana pemilu di Indonesia guna melaksanakan pesta demokrasi pada
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019. Pemilu kali ini sangat berbeda

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
363 Binov Handitya

karena berbarengan dengan pemilihan anggota legislatif yang membuat


KPU bekerja lebih ekstra.8
Walaupun peran Gakkumdu hanya dioperasionalkan ketika Pemilu
digelar, namun gakkumdu sendiri punya tugas dalam menyidik segala
kejahatan Pemilu yang dilaporkan dari Panwaslu / Bawaslu. Apabila
ditemukan cukup bukti adanya pelanggaran atau pun kejahatan Pemilu,
Bawaslu/Panwaslu melaporkan ke polri untuk proses penyidikan. Perlu
diketahui oleh masyarakat bahwa penanganan tindak pidana pemilu dibatasi
oleh waktu. Sehingga memerlukan koordinasi yang baik antar pihak terkait.
Bahwa telah diadakan Nota Kesepakatan Bersama antara pihak Bawaslu RI,
Polri dan Kejaksaan RI tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu
(Gakkumdu) tindak pidana Pemilu. Keberadaan nota kesepahaman ini
diharapkan dapat mendorong terbangunnya sinergi dalam melakukan
penegakan hukum untuk memberikan kepastian dan keadilan hukum.
Salah satu hal khusus dalam penanganan tindak pidana pemilu dari
tindak pidana umum lainnya adalah adanya peran Bawaslu sebagai pintu
gerbang laporan terjadinya pelanggaran dan kejahatan dalam pemilu
legislatif. Apabila masyarakat ada yang mengetahui tentang pelanggaran
pemilu. Maka pihak yang menerima laporan pertama adalah badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Bawaslu Provinsi, Panwaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri apabila terjadi di luar negeri. Laporan
tersebut tentunya harus dilengkapi dengan buktibukti yang akurat sesuai
dengan pelanggaran atau kejahatan yang terjadi. Bawaslu RI, Bawaslu
Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas
Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri akan meneliti laporan
tentang pelanggaran atau kejahatan Pemilu. Setelah itu melaporkannya ke
Polri khususnya ke bidang Gakkumdu.
Dengan adanya Gakkumdu, diharapkan terbangun komunikasi yang
baik antara penyidik dan penuntut umum. Sehingga tindak pidana Pemilu
yang dilaporkan, dapat segera diadili dan diberikan kepastian hukum.
Pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sangat
menentukan arah kemajuan bangsa Indonesia harus dapat dilaksanakan
sesuai asas-asas pemilihan umum yaitu langsung, umum, bebas, rahasia,

8
Triono. Menakar Efektivitas Pemilu Serentak 2019, Jurnal Wacana Politik Vol. 2 No.
2, 2014, hlm. 156 - 164

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 364

jujur dan adil. Untuk memenuhi terselenggaranya asas-asas tersebut maka


peran Gakkumdu perlu di optimalkan.

Kesimpulan
Rendahnya pengetahuan politik dan tingkat partisipasi rakyat dalam
pemilu pada masa sekarang dipicu dari kegagalan-kegagalan wakil rakyat
dalam menjadikan nyata setiap janji-janji yang diberikan. Sehingga
masyarakat kali ini banyak bersikap apatis, adapun sebagian besar yang ikut
berkecimpung dalam permainan politik tidak mampu memberi sauri
tauladan yang baik karena masing banyak cara-cara kotor yang digunakan
dalam mengikuti kontestasi-kontestasi politik di negeri ini. Mobilisasi
penguasa melalui alat-alat kekuasaan yang dibentuk oleh beberapa elit,
hanya menambah sikap masa bodoh masyarakat dalam ikut serta pesta
demokrasi itu. Sedangkan tingginya tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu
di era ini beberapa merupakan hasil mobilisasi elit partai politik melalui
mekanisme yang tidak halal seperti politik uang dan manuver-manuver
buruk yang dibentuk oleh masing-masing kontestan.
Dalam penyelenggaraan pemilu yang dilakukan di Indonesia,
ternyata tatacara dan mekanisme pemilu juga ikut mempengaruhi perubahan
tingkah laku baik peserta, pelaksana, penyelenggaran pemilu maupun
beberapa lembaga pemerintah dan peradilan. Adapun yang menjadi objek
rumusan tindak pidana pemilu sebagaimana dirumuskan di dalam Undang
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang secara garis
dikelompokan dalam beberapa kualifikasi perbuatan, seperti : Perbuatan
pidana yang ditujukan setiap orang, Perbuatan pidana yang dapat dilakukan
oleh petugas KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS dan
PPLN, buatan pidana yang ditujukan pada pelaksana kampanye, Perbuatan
pidana yang ditujukan pada peserta pemilu yang terbukti menerima
sumbangan dan/atau bantuan, Perbuatan pidana yang ditujukan pada pejabat
negara/pejabat pemerintah dan lembaga peradilan, Perbuatan pidana yang
ditujukan pada perusahan pencetak surat suara.
Dalam menyambut pesta demokrasi negara Indonesia pada
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang rencana akan dilaksanakan
pada bulan April 2019 mendatang pemerintah telah berupaya memberikan
sistem terbaik guna pelaksanaan pemilihan umum yang berjalan dengan
benar. Antisipasi terhadap kemungkinan gejolak pelanggaran pelaksanaan
pemilihan umum harusnya dapat ditekan dengan dibentuknya sentra
Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Dengan adanya Gakkumdu,

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
365 Binov Handitya

diharapkan terbangun komunikasi yang baik antara penyidik dan penuntut


umum. Sehingga tindak pidana Pemilu yang dilaporkan, dapat segera diadili
dan diberikan kepastian hukum. Pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden yang sangat menentukan arah kemajuan bangsa Indonesia harus
dapat dilaksanakan sesuai asas-asas pemilihan umum yaitu langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Daftar Pustaka

Buku
Abdul aziz hakim. (2011). Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia.
Pustaka Pelajar: Yogjakarta.
Prihatmoko, Joko. J. 2007. Men-Demokratis-kan Pemilu: Dari Sistem
Sampai Elemen Teknis. LP3M UNWAHAS dan Pustaka Pelajar:
Semarang.
Titik Triwulan Tutik. (2011). Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945. Kencana: Jakarta.

Artikel Jurnal
Farahdiba Rahma Bachtiar. (2014). “Pemilu Indonesia: Kiblat Negara
Demokrasi Dari Berbagai Refresentasi”, Jurnal Politik Profetik
Volume 3 Nomor 1 Tahun 2014, hlm. 1-18.
Nanik Prasetyoningsih. (2014). “Dampak Pemilihan Umum Serentak Bagi
Pembangunan Demokrasi Indonesia”, Jurnal Media Hukum Vol. 21
Nomor 2, hlm. 242-243.
Triono. (2017). “Menakar Efektivitas Pemilu Serentak 2019”, Jurnal
Wacana Politik Vol. 2 No. 2, hlm. 156-164.

Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 182.

Sumber Online
[…] http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, ditelusuri pada tanggal 26 Agustus
2018.
[…] http://demokrasiindonesia.blogspot.com/2014/08/demokrasi-di-indonesia-
pengertian-macam-, ditelusuri pada tanggal 26 Agustus 2018.
[…] https://novithen.wordpress.com/pemilih-apatis-dan-pragmatis/, diakses
tanggal 28 Agustus 2018.
[…] https://satutimor.wordpress.com/2014/03/21/harapan-untuk-penanganan-
tindak-pidana-pemilu/, diakses tanggal 28 Agustus 2018.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2018. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang

Anda mungkin juga menyukai