Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH SISTEM PENGHANTARAN OBAT

MUCOADHESIVE BUCCAL TABLET

Disusun Oleh :
Kelompok 4

Dina Risma Wati 1306376484


Fariha Ulfah Azzahrah 1306377562
Helmy Mubarak 1306480793
Kartika Dwi Sukmawati 1306376471
Metah Putri Mutia 1306396946
Whinanda Chalista 1306480710

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016
Jurnal 1 : Preparation and evaluation of ritodrine buccal tablets for rational
therapeutic use.

1.1 Pendahuluan
Persalinan prematur adalah salah satu masalah penting di bidang ginekologi
dan kebidanan dan cukup sering terjadi di berbagai negara. Baru-baru ini,
dilaporkan bahwa sekitar 60.000 peristiwa kelahiran prematur terjadi per tahun di
Jepang. Juga, di Amerika Serikat, kelahiran prematur dilaporkan mencakup
sekitar 300.000 per tahun. Bayi imatur mengalami kerusakan atau gangguan
berbagai organ, yang mungkin mengakibatkan disfungsi. Pengobatan yang
digunakan pada persalinan prematur adalah obat yang menekan kontraksi
miometrium. Agonis reseptor β2 adrenergik berguna untuk menghentikan
persalinan prematur dan asfiksia janin selama persalinan. Ritodrin (RD)
hidroklorida (RD-HCl) adalah lini pertama pengobatan persalinan prematur
karena sangat selektif untuk menekan kontraksi miometrium.
Saat ini, bentuk sediaan parenteral dan tablet tersedia secara komersial untuk
penggunaan RD. RD digunakan sebagai infus intravena dalam keadaan darurat.
Namun, setelah ditemukan jadwal dosis dan efek terapi serta kondisi pasien stabil,
infus dapat diganti oleh bentuk sediaan tablet oral. Telah dilakukan penelitian
yang berkaitan dengan farmakokinetika klinis dari RD. Kadar plasma RD
memiliki keterkaitan dengan efektivitas dan efek samping toksik. Banyak pasien
dengan konsentrasi serum 15 ng/ml atau lebih mengalami penghambatan
persalinan prematur. Namun, konsentrasi tinggi RD dalam plasma dapat
menyebabkan efek samping toksik seperti peningkatan denyut jantung dan gula
darah, serta rasa mual.
Infus intravena adalah metode yang paling tepat untuk mengontrol
efektivitas terapi dan menghindari efek samping yang toksik. Namun, penggunaan
jangka panjang menyebabkan rasa sakit dan membatasi gerak, sehingga
menurunkan kualitas hidup (QOL). Tablet oral lebih baik dalam mencapai kualitas
hidup pasien. Akan tetapi, dengan pemberian oral RD akan mengalami
metabolisme lintas pertama yang menyebabkan rendahnya bioavailabilitas obat.
Selain itu, RD rute injeksi maupun oral relatif cepat diekskresikan dari tubuh.
Mempertimbangkan RD dan formulasi dalam sediaan di pasaran, sangatlah
penting untuk mengembangkan metode administrasi baru atau bentuk sediaan
yang dapat meningkatkan penggunaan dan kualitas hidup pasien. Penghantaran
obat melalui membran mukosa telah menarik perhatian sebagai metode alternatif
bentuk sediaan karena memungkinkan menghindari efek lintas pertama (FPE),
memungkinkan ketersediaan obat lepas tunda, dan dapat mencapai penyerapan
sistemik yang cukup cepat. Larutan garam RD-HCl yang diberikan melalui rute
bukal maupun intragastrik memiliki bioavailabilitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan infus intravena. Namun, kadar plasma dicapai pada tingkat
terapi manusia dengan dosis 10 mg/kg. Selain itu, bioavailabilitas rute bukal lebih
baik daripada rute intragastrik dan konsentrasi obat dalam plasma dapat
dipertahankan pada kadar yang efektif. Hal ini menunjukkan bahwa rute bukal
lebih unggul untuk mencapai pemeliharaan kadar plasma yang efektif
dibandingkan rute intragastrik. Jika dibandingkan dengan sediaan larutan, sedian
berbentuk larutan kurang nyaman dalam pemberian dan perlu penyesuaian volume
administrasi untuk setiap kali pemberian. Bentuk larutan juga relatif kurang stabil
dibandingkan bentuk tablet atau film. Sediaan tablet lebih mudah disiapkan dan
digunakan, Dalam penelitian ini, tablet bukal dari RD telah diproduksi dan diuji
efektivitas serta kegunaannya. Tablet yang diperoleh dievaluasi secara in vitro dan
in vivo.

1.2 Bahan dan Metode


1.2.1 Bahan
Ritodrine Hidroklorida (RD-HCl), asam fosfat, uretan, natrium alginat
80-120 CP (AL: 80-120 MPa untuk 10 g/L pada 20⁰C), magnesium stearat
(MS), laktosa (LC), dan avicel pH 301 digunakan sebagai mikrokristalin
selulosa (MC). Bahan kimia lain yang digunakan adalah reagen.

1.2.2 Hewan Uji


Mencit Wistar jantan (usia 7 minggu, 200-210 g) digunakan untuk
percobaan in vivo. Hewan coba disimpan dalam ruangan dengan suhu dan
kelembaban dijaga 23 ± 1⁰C dan 60 ± 1%. Diperlakukan siklus terang-gelap
selama 12 jam.

1.2.3 Persiapan Tablet


Tablet diproduksi dengan metode kempa langsung menggunakan SSP-
10A manual (Shimadzu) menggunakan punch dan die dengan permukaan
datar 8 mm. Tablet Ax (x = 1-6) mengandung 2 mg RD-HCl dengan natrium
alginat dan laktosa sebagai pengikat dan pengisi. Bobot tiap tablet adalah 80
mg. Campuran serbuk dihomogenkan dalam mortar menggunakan alu.
Serbuk dikempa dengan kekuatan 2 kN selama 30 detik.
Tablet B mengandung 4 mg RD-HCl diproduksi dengan cara yang
sama. Tablet B/MC dibuat dengan penambahan eksipien berupa
mikrokristalin selulosa.

Tabel 1. Formulasi dan Karakteristik Tablet Bukal

1.2.4 Pengujian Penampilan Fisik Tablet


Ketebalan tablet diukur menggunakan mikrometer. Kandungan zat
aktif diuji. Tablet dilarutkan dalam 10 ml larutan penyangga fosfat 0,05M
pH 6,8, dan diinkubasi dengan pengocokan horizontal 60 strokes per menit
pada suhu 37⁰C selama 24 jam. Selanjutnya, larutan atau suspensi diaduk
menggunakan vortex. Setelah disentrifugasi, supernatan diencerkan dan
dianalisis fluorometri dengan spektrofluorometer FP-777 pada panjang
gelombang eksitasi 278 nm dan panjang gelombang emisi 306 nm. Kurva
kalibrasi dibuat untuk menetapkan kadar RD, di mana menunjukkan kurva
linier pada konsentrasi 0,1-12 mg/ml (R2 = 0,999).
1.2.5 Studi Disolusi In Vitro
Pelepasan obat RD diuji dengan alat disolusi NTR-3000 tipe 2
(paddle). Medium uji dengan suhu 37⁰C dan paddle berotasi dengan
kecepatan 50 rpm dengan posisi 2,5 cm dari bagian dasar wadah. Setelah
tablet diletakkan pada medium, sampel diambil (4 ml) pada tiap titik waktu
yang ditentukan. Supernatan sampel diukur secara fluorometri seperti
sebelumnya.

1.2.6 Pengujian Kekerasan


Sisi tablet dijepit di antara plat datar. Tekanan ditingkatkan secara
bertahap hingga terjadi penghancuran tablet. Kekerasan terukur pada alat.

1.2.7 Studi In Vivo Absorpsi Rute Bukal


Mencit dianastesi dengan 1,2 ml larutan garam uretan 25% b/v melalui
injeksi intraperitoneal. Sebelum dilakukan administrasi bukal, sampel darah
diambil sebanyak 0,3 ml. Tablet diberikan pada setiap mencit di bagian
mukosa pipi. Kemudian, diberikan 0,1 ml larutan garam di mukosa dekat
bagian bawah tempat tablet diberikan. Sampel darah (0,3 ml) diambil
melalui vena jugularis pada titik-titik waktu yang ditentukan. Darah
disentrifugasi pada 1400 x g selama 5 menit dan diperoleh plasma. Plasma
(0,1 ml) dicampur dengan 0,1 ml penyangga karbonat 1M (pH 9,5) dan
diaduk rata. Kemudian, ditambahkan 0,5 ml etil asetat, digoyangkan dan
disentrifugasi pada 1500 x g selama 10 menit. Fase organik yang terbentuk
(0,3 ml) diambil, dan pelarut diuapkan dengan gas nitrogen. Residu
dilarutkan dalam 0,1 ml pelarut HPLC. Sebanyak 40 μl larutan diinjeksikan
ke dalam kolom HPLC untuk menetapkan kadar RD.

1.2.8 Penetapan Kadar dengan HPLC


Penetapan kadar RD menggunakan HPLC Shimadzu LC-6AD yang
dilengkapi dengan detektor fluoresensi Shimadzu RF-10AXL dan apparatus
Shimadzu C-R7A Chomatopac. Kolom analisi yang digunakan adalah YMC
Pack ODS-AM (diameter dalam 6 mm x 120 mm panjang) pada suhu ruang.
Fluoresensi dideteksi pada panjang gelombang eksitasi 278 nm dan panjang
gelombang emisi 306 nm. Kadar RD ditetapkan dengan kurva kalibrasi,
dimana kurva linier berada pada rentang 6-200 ng/ml (R2 > 0,999).

1.2.9 Analisis Statistik


T-Test tidak berpasangan digunakan untuk membandingkan dua
kelompok. Perbandingan lebih dari dua kelompok dilakukan dengan
ANOVA satu arah dan dilanjutkan dengan uji post hoc Dunnett. Perbedaan
signifikan ditetapkan dengan p < 0,05.

1.3 Hasil dan Pembahasan


1.3.1 Pembuatan, Ukuran, dan Kandungan Zat Aktif Dalam Tablet
Dalam pembuatan tablet, eksipien yang digunakan adalah alginat (AL)
dan laktosa (LC). AL dipilih karena memiliki sifat binding yang baik dan
biasa digunakan untuk controlled release. LC digunakan untuk
memodifikasi fungsi AL dalam sifat mengembang dan disolusi. Pembuatan
tablet dilakukan dengan membagi menjadi 2 kelompok tablet. Tablet Ax
(x=1-6) mengandung 2 mg Ritodrine dengan AL dan LC yang bervariasi
pada tablet Ax. Kelompok kedua adalah tablet B yang mengandung 4 mg
RD dengan rasio AL dan LC yang sama dengan tablet Ax. Serta tablet
B/MC yang menggunakan mikrokristalin selulosa untuk eksipiennya. Pada
tablet yang mengandung sedikit AL memiliki berat yang lebih sedikit hal ini
dikarenakan fungsi binding tablet yang berkurang. Tablet Ax memiliki tebal
1,1- 1,2 mm. Tablet yang memiliki AL lebih banyak dan tablet B/ MC
berukuran lebih tebal.

Tabel 2. Formulasi tablet yang dibuat


1.3.2 Uji In Vitro Tablet
Pada pengujian disolusi saat tablet terpapr dengan medium, maka
tablet akan mulai basah dan mengembang. Saat medium mulai berpermeasi
ke dalam tablet, permukaan yang telah mengembang akan terlarut sedikit
demi sedikit. Disolusi pada tablet dipengaruhi oleh penggunaan AL/LC. Jika
jumlah LC meningkat maka disolusi tablet pun akan semakin cepat sehingga
pelepasan RD semakin cepat. Tablet A tidak mengalami disintegrasi dan
pelepasan RD dengan pengembangan dan disolusi. Pelepasan karena
perubahan wujud dari tablet.

Gambar 1. Grafik pelepasan obat Ax

Dilihat dari grafik tersebut, maka tablet yang paling cepat dan baik
pelepasannya adalah tablet A1 karena memiliki jumlah LC yang paling
banyak. Jika dibandingkan dengan tablet B yang memiliki jumlah zat aktif
dua kali lebih banyak dibanding tablet A, pelepasan RD memang lebih cepat
dibanding A1, namun memiliki pola disolusi yang sama. Pada waktu yang
sama, RD akan dilepaskan dua kali lebih banyak di tablet B dibanding
dengan tablet A1. Hal ini akan merepresentasikan kadar RD di dalam darah
yang akan cukup tinggi.
Tablet B/MC menggunakan mikrokristalin selulosa digunakan untuk
memodifikasi disolusi. Sifat dan kecepatan disolusi tablet B/MC berbeda
dari tablet A1 dan B. Penambahan MC akan meningkatkan pelepasan obat,
namun bentuk tablet B/MC akan berubah dengan cara yang berbeda. Ketika
permukaan tablet B/MC mulai mengembang, tablet kemudian menjadi
sangat lunak dengan cepat karena penyerapan air oleh mikrokristlain
selulosa. Pada 25 menit, tablet terdisintegrasi sempurna dengan cara larutnya
AL dan penyerapan air oleh MC. Dikarenakan MC merupakan zat yang
tidak larut air, maka setelah pengujian menggunakan alat disolusi terdapat
residu pada bagian bawah tanki percobaan.

1.3.3 Kekerasan Tablet


Pada tablet A1 betuk tablet sangat baik namun kekerasannya tidak
terlalu baik. Peningkatan jumlah LC, menunjukkan kekerasan tablet. Namun
jika dibandingkan dengan tablet A1 yang tidak memiliki AL dan
mengandung LC kekerasannya juga tidak baik. Tablet A1 merupakan tablet
yang memiliki pelepasan cepat namun kekuatanya tidak terlalu baik dan
kekerasannya tidak cukup tinggi. Tablet B kurang keras dibanding tablet A.
Di sisi lain tablet B/MC memiliki kekerasan yang sangat tinggi dibanding
tablet lain, yaitu mencapai 50 N yang dapat tahan terhadap kondisi
lingkungan sehari- hari.

1.3.4 Pengujian Absorpsi Tablet Bukal Secara Absopsi


Setelah pengujian in vitro, tablet A dan tablet B/MC diuji absorpsinya
menggunakan tikus. Dilakukan evaluasi terhadap tablet A yang memiliki
kandungan RD 2 mg dan tablet B/MC yang kandungan RD nya 4 g, diamati
profil absorpsinya. Pada pengujian ini dibandingkan pelepasan obat yang
berasal dari tablet A yang diadministrasikan secara bukal, larutan tablet A
yang terletak pada kapas, dan tablet B/MC (20 mg RD HCL/ kg tikus) yang
memiliki kandungan zat akif dua kali dibanding tablet A. Kemudian kadar
obat dalam plasma diukur. Kadar obat dalam plasma pada tablet A adalah
sekitar 6,4-15 ng/ mL sedangkan pada tablet B >15 ng/ ml dalam waktu 15
menit dan mencapai 40 ng/mL dalam waktu 30 menit. Kadar obat dalam
plasma yang berasal tablet A lebih rendah dibanding yang berasal dari
larutan yang diletakkan di kapas. Dilihat dari jumlah kadar obat dalam
plasma, tablet B merupakan yang paling efektif untuk manusia, karena kadar
RD yang diperlukan untuk menghambat kelahiran prematur pada manusia
adalah pada rentang 15 ng- 30 ng/ mL.
Tabel 3. Farmakokinetik tablet uji coba

Pada table diatas terlihat bahwa tablet A1 memiliki C max dan AUC
(0-4 jam) yang lebih rendah dibanding pada larutan yang diberikan
menggunakan kapas. Tablet A1 merupakan tablet yang melepaskan zat aktif
paling lama sehigga Cmax dan AUC nya paling rendah dibanding dua
formulasi yang lain. Pada waktu yang sama tablet B/MC melepaskan zat
aktif paling banyak. Sehingga memberikan nilai Cmax dan AUC yang paling
besar. Hal ini menunjukkan bahwa tablet B/MC dapat melepaskan zat aktif
dengan baik dalam keadaan in vivo. Setelah dilakukan perngujian pelepasan
obat secara in vivo, profil pelepasan dibuat dalam bentuk grafik dan dihitung
menggunakan persamaan tertetu yang dibandingkan dengan kecepatan
absorpsi sediaan yang diberikan secara intravena kepada tikus (1mg/ kg).

Gambar 2. Grafik profil pelepasan obat

1.4 Kesimpulan
Dari percobaan in vitro dan vivo dapat diambil kesimpulan bahwa tablet
B/MC merupakan sediaan tablet buccal yang baik dan memberikan efek yang
diperpanjang karena dapat mempertahankan kadar obat dalam plasma lebih lama
dibanding formulasi yang lain. Hal ini dikarenakan kadar zat aktifnya yang
memang 2 kali lebih banyak dibanding formulasi lain dan karakteristik
AL/LC/MC yang memberikan profil pelepasan dan absorpsi yang baik.
Jurnal 2 : Development Of Buccal Tablets For Curcumin Using Anacardium
Occidentale Gum

2.1 Pendahuluan
Sediaan mukoadhesif bukal merupakan salah satu bentuk alternatif dalam
rute pemberian secara oral. Sediaan jenis ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu
memiliki aksesibilitas yang baik, rendahnya aktivitas enzim dalam pencernaan,
dapat mencegah degradasi obat pada saluran cerna, dan menghindari metabolisme
lintas pertama. Rute pemberian ini dapat digunakan untuk protein-protein yang
tidak stabil, oligonukleotida, polisakarida, molekul obat kecil serta senyawa-
senyawa hidrofilik. Diantara beberapa tempat penetrasi obat di saluran
pencernaan, bagian mukosa bukal merupakan tempat yang paling baik dalam
penetrasi obat secara lokal karena bagian tersebut terdiri dari otot-otot polos yang
relatif bergerak, melakukan vaskularisasi serta cepat dalam pemulihan.
Salah satu yang menjadi persyaratan sediaan mukoadhesif adalah memiliki
sifat bioadhesive yang baik sehingga kadar obat dapat dipertahankan dalam
rongga mulut untuk durasi yang diinginkan. Pelepasan obat dalam sediaan
mukoadhesif ini dipengaruhi oleh eksipien, salah satunya adalah polimer. Polimer
yang biasa digunakan dalam sediaan mukoadhesif bukal dapat berupa sintetik
maupun alami. Polimer alami lebih banyak digunakan karena tidak menimbulkan
masalah apabila digunakan sebagai pembawa zat aktif. Keuntungan yang
diberikan dari polimer alami adalah mudah didapatkan, biokompatibilitas,
biodegradasi, tidak beracun, dan tidak menimbulkan polusi yang berarti.
Gum dari pohon jambu mete (Anacardium occidentale) merupakan salah
satu polimer alam yang digunakan dalam sediaan mukoadhesif bukal. Gum ini
merupakan polisakarida yang kompleks, terdiri dari galaktosa, arabinosa,
ramnosa, glukosa, asam glukurin, dan gula residu lainnya. Beberapa literatur
menyatakan bahwa gum tersebut digunakan sebagai binder. Dalam industri
farmasi, gum dari pohon jambu mete digunakan sebagai perekat amplop, label,
dan perangko. Selain itu, gum juga digunakan sebagai bahan aditif dalam permen
karet.
Kurkumin merupakan senyawa kimia yang terkandung didalam tanaman
Curcuma longa. Manfaat yang dihasilkan adalah sebagai antioksidan, anti-
inflamasi, antispasmodik, antikoagulan, dan sebagai anti kanker. Telah ditemukan
bahwa efektivitas farmakologi kurkumin terbatas karena penyerapan yang buruk
dari saluran pencernaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
utilitas gum dari pohon jambu mete ssebagai polimer pada sediaan mukoadesif
bukal kurkumin.

2.2 Bahan dan Metode


2.2.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah kurkumin, gum yang berasal dari
pohon jambu mete, etil selulosa, avicel pH 101, sodium lauril sulfat, HPMC
dan mentol.

2.2.2 Isolasi Fraksi Larut Air dari Gum Pohon Jambu Mete
Langkah pertama adalah menyiapkan gum dari pohon jambu mete.
Selanjutnya dibuat menjadi serbuk yang halus. Kemudian larutkan serbuk
dengan 300 ml air dan saring larutan dengan kain muslin. Bagian filtrat
ditambahkan dengan alkohol 90% dengan perbandingan 1:1. Endapan yang
diperoleh disaring dan dikeringkan dalam oven pada suhu 45°C. Sebanyak
100 g serbuk dilarutkan dalam air, kemudian saring dengan kain muslin.
Filtrat yang didapatkan disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10
menit. Supernatan yang diperoleh diuapkan hingga membentuk massa yang
solid. Simpan dalam wadah kedap udara.

2.2.3 Karakterisasi Gum


Gum dikarakterisasi untuk menentukan analisis permukaan,
kemurnian, pH, tegangan permukaan, dan porosistas. Analisis permukaan
ditentukan dengan mikroskop elektron. Gum dievaporasi dengan karbon dan
dilapis dengan emas untuk membuat sampel dapat terhubung dengan
elektrik. Ketebalan lapisan dari karbon sekitar 10 nm sedangkan ketebalan
lapisan emas sekitar 25 nm. Untuk pengukuran pH larutan gum ditentukan
dengan menggunakan pH meter. Pengukuran bulk density sampel dihitung
dengan menghitung massa sampel dibagi dengan volume bulk. Sedangkan
pengukuran true density dilakukan dengan metode perpindahan cairan.

2.2.4 Penentuan Penyerapan Air


Karakterisasi penyerapan air dari gum dilakukan pada 1% gel agar.
Gum dipadatkan menjadi 100 mg dengan tekanan hidrolik. Selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37°C hingga bobot yang dihasilkan stabil. Bobot awal
dan akhir dicatat dan rata-rata tiga penentuan diambil untuk mewakili
volume serapan.

2.2.5 Penentuan Index Swelling Gum


Sejumlah gum dihaluskan hingga menjadi serbuk halus. Kemudian
ditambahkan dengan 25 ml air dan diaduk selama 10 menit selama 1 jam.
Campuran didiamkan selama 3 jam pada suhu kamar. Lakukan pengukuran
dan catat hasil volume yang diperoleh. Lakukan sebanyak tiga kali dan
hitung nilai rata-ratanya.

2.2.6 Disintegrasi In Vitro Gum


Pelet gum disusun dalam tekanan hidrolik. Selanjutnya amati proses
disintegrasi dengan merendam pelet pada cawan petri yang berisi 25 ml
dapar fosfat dengan pH 6,8 pda suhu kamar. Amati perubahan morfologi
yang terjadi.

2.2.7 Evaluasi Residence Time dan Penerimaan Bukal


Tablet placebo disiapkan pada posisi bukal (bagian belakang bibir atas)
pada sembilan orang relawan. Selama studi, relawan dibiarkan melakukan
aktivitas normal. Catat tanggapan kesembilan relawan mengenai
ketidaknyamanan, rasa, kekeringan, iritasi, kemerahan, dan disintegrasi.
Evaluasi dilakukan selama 14 hari menggunakan tablet plasebo yang
mengandung 10%, 15%, dan 25% gum.
2.2.8 Efek dari Konsentrasi Gum
Gum yang dihasilkan dari pohon jambu mete digunakan sebagai
polimer mukoadhesive pada tablet kurkumin. Dibuat menjadi empat
formulasi, dimana perbandingan konsentrasi gum (10%, 15%, 25%, dan
50%) menjadi perbedaan dari masing-masing formulasi. Pengaruh
konsentrasi tersebut dilakukan untuk menentukan massa, ketebalan,
keregasan, kekuatan mukoadhesif tablet.

2.2.9 Evaluasi Kekuatan Mukoadhesif


Kekuatan mukoadhesive ditentukan dengan cara modifikasi
keseimbangan fisik.

2.2.10 Uji swelling tablet bukal


Timbang tablet bukal (W1), kemudian tempatkan tablet kedalam cawan
petri yang berisi 4 ml buffer fosfat (pH 6,8). Setelah dua jam, tablet
dikeluarkna dari cawan petri dan timbang kembali tablet tersebut (W2).
Hitung pengembangan tablet bukal dengan rumus:
𝑊2−𝑊1
S1 = 𝑥 100
𝑊1

2.2.11 Kadar Obat dan Studi In Vitro Pelepasan Obat


Kadar obat dari tablet bukoadesif yang dipreparasi ditentukan dengan
spektrofotometri UV. Lima tablet dari batch diambil dan diserbukkan,
dengan kuantitas ekuivalen dengan 100 mg obat terlarut dalam campuran
dapar fosfat (pH 6,8) dan 3% Tween 80, lalu dianalisis pada panjang
gelombang 426 nm terhadap blanko.
Alat disolusi USP dengan paddle digunakan untuk studi disolusi in
vitro tablet bukoadesif dengan modifikasi sederhana. Disiapkan gelas
silinder yang kedua ujungnya terbuka dengan ukuran diameter 3 cm dan
panjang 10 cm. Tablet bukoadesfif yang telah dipreparasi ditempatkan
dengan menerapkan tekanan moderat ke membrane yang dibasahi dengan
ketebalan ~500 μm, kemudian diikat pada salah satu ujung silinder, untuk
menjaga agar tablet tetap di dalam silinder. Silinder tersebut kemudian
ditempatkan pada permukaan medium disolusi (900 ml dapar fosfat pH 6,8

mengandung 3% Tween 80) dipertahankan pada 37 ± 0.5 ◦ C, 100 rpm


selama 8 jam. Pada interval waktu tertentu, 5 ml sampel ditarik dan segera
diganti oleh buffer segar dengan kuantitas yang sama. Sampel disaring dan
dianalisis setelah pengenceran yang sesuai dengan spektrofotometri UV
pada 426 nm.

2.2.12 Studi Komparatif


Untuk mengevaluasi efektivitas gum pohon jambu mete, studi
perbandingan dilakukan dengan batch yang dipreparasi dengan HPMC
sebagai polimer mukoadhesif standar. Dua batch tablet bukal disusun
menggunakan 20% gum pohon mete dan 20% HPMC menjaga parameter
lainnya konstan. Batch ini kemudian dievaluasi untuk studi rilis in vitro.

2.2.13 Studi Stabilitas


Stabilitas formulasi dapat didefinisikan sebagai waktu dari tanggal
pembuatan formulasi sampai aktivitas kimia atau biologis yang tidak kurang
dari tingkat yang telah ditentukan potensi berlabel dan karakteristik fisik
tidak berubah secara appreciably atau deleteriously. Batch ideal tablet
buccoadhesive yang diformulasikan mengandung 100 mg kurkumin yang
dikemas dalam kantong plastik dan kemudian disimpan di ruang stabilitas
pada 25◦C / 60% RH, 40◦C / 75% RH dan suhu kamar. Sampel ditarik pada
15, 30 dan 60 hari dan dievaluasi untuk penampilan fisik, kandungan obat
dan pelepasan obat in vitro pada interval waktu tertentu. T50 juga dihitung
dengan menggunakan studi disolusi.

2.3 Hasil dan Pembahasan


Gum dimurnikan menggunakan air sebagai pelarut dan alkohol 90% (v/v)
sebagai non-pelarut. Hasil itu 70% (w/w). Bagian yang larut dalam air dipisahkan
dari gum murni. Gum yang larut dalam air digunakan sebagai polimer
mukoadhesif untuk mengembangkan tablet buccoadhesive. Gum yang larut dalam
air ditandai untuk karakter permukaan dengan SEM, kemurnian, pH, porositas,
tegangan permukaan untuk menilai gum sebagai eksipien untuk mengembangkan
tablet bukal. SEM mikrofotograf menunjukkan bahwa permen gum halus dan
kristal di alam seperti ditunjukkan pada Gambar. 1. Uji untuk kemurnian
mengungkapkan adanya karbohidrat dan gula glikosidik menunjukkan adanya
polisakarida.

Gambar 1. Mikrofotograf hasil SEM dari gum pohon jambu


mete
pH larutan gum (1%, w/v) adalah 4,39, ini sesuai dengan pH alami
Acacia senegal yang memiliki rentang pH 3,8 - 4,9 (Azeez, 2005), yang
menunjukkan bahwa hal tersebut tidak akan menyebabkan iritasi pada epitel
dan mukosa membran rongga bukal. Porositas dan tegangan permukaan gum
masing-masing sebesar 69,5% dan 12,652 dyn/cm. Porositas tinggi dan
tegangan permukaan yang lebih rendah meungkinkan pembasahan yang baik
dan pengembangan polimer dan belitan polimer dan rantai musin.
Penyerapan air gusi ditemukan 72,35 ± 3,54%, lebih dari 4 jam periode . Hal
ini diketahui bahwa sifat perekat dan kohesif polimer mukoadhesif
umumnya dipengaruhi oleh sifat pengembangannya. Penyerapan air yang
lebih tinggi dapat membantu dalam membangun interpenetrasi lebih cepat
dan lebih kuat dari rantai polimer ke dalam mukosa dan meningkatkan
waktu kontaknya. Indeks pengembangan gum (swelling index) ditemukan
11,5 ± 0,36 ml, menunjukkan kapasitas penyerapan air yang baik dari
polisakarida dan karenanya kapabilitas untuk membentuk jaringan tiga
dimensi terhidrasi yang pelepasan obat mungkin diikuti dengan difusi. Pelet
polimer tidak menunjukkan disintegrasi dalam tes disintegrasi in vitro dalam
buffer fosfat pH 6,8 selama 4 jam dan dipertahankan integritasnya. Perilaku
non disintegrasi sangat membantu dalam menjaga kekompakan tablet bukal
selama nya tinggal di rongga mulut dan akan mengakibatkan penerimaan
pasien membaik dan lebih nyaman. Gum yang telah dikarakterisasi dipilih
sebagai eksipien untuk mempersiapkan tablet buccoadhesive untuk
mengetahui karakteristik mukoadhesif nya. Gum tersebut itu dipilih dari
sumber-sumber alam sebagai polimer mukoadhesif karena karakternya yang
beragam seperti biaya rendah, ketersediaan yang melimpah, memudahkan
jika diisolasi, mucoadhesion, tegangan permukaan dan porositas.
Waktu tinggal dari setiap formulasi bukal adalah kriteria penting untuk
penerimaan atau penolakan. Sebuah perangkat buccoadhesive yang ideal
seharusnya tidak menyebabkan iritasi, air liur, kemerahan, rasa tidak enak
lokal, dll, dan harus tinggal di rongga bukal tanpa mengganggu kegiatan
bukal normal. Hasil waktu tinggal bukal dari batch yang berbeda dari tablet
plasebo bukal, disusun dengan menggunakan konsentrasi yang berbeda dari
polisakarida, mengungkapkan bahwa rata-rata waktu tinggal meningkat
seiring dengan meningkatnya konsentrasi polimer (Gambar 2).

Gambar 2. Grafik perbandingan waktu tinggal bukal pada batch yang


berbeda dari tablet bukal

Hal ini mungkin karena kekuatan mukoadhesif lebih tinggi diperoleh


pada konsentrasi yang lebih tinggi dari polimer. Kandungan polimer pada
formulasi meningkatkan derajat pengembangan, yang pada gilirannya
memungkinkan pembentukan sejumlah besar interpenetrasi rantai antara
polimer dan lender (mucus). Hasil interaksi fisik ini berbanding lurus
dengan peningkatan adhesi dengan konsentrasi polimer dan peningkatan
waktu tinggal. Dengan di atas 20% (w/w) dari kandungan polimer, waktu
tinggal tidak meningkat secara signifikan (p> 0,05) dan karenanya, 20%
(w/w) dari konsentrasi polimer dianggap optimal untuk evaluasi penerimaan
bukal. Hasil penelitian penerimaan bukal tablet plasebo (yang mengandung
20%, w/w, polimer) menunjukkan bahwa 7 dari 9 relawan menyukai
administrasi bukal dan hanya dua merasa iritasi ringan (Gambar. 3).

Gambar 3. Perbandingan hasil dari penerimaan tablet

Berdasarkan evaluasi diatas,bukoadesif.


dapat disimpulkan secara aman bahwa
tablet bukal yang diformulasi cocok untuk administrasi bukal dari obat dan
polimer memiliki sifat mukoadesif in vivo yang cukup baik, dimana
diperlukan untuk pengembangan bentuk sediaan bukoadesif. Pengaruh
konsentrasi polimer pada sifat fisikokimia tablet bukal yang diformulasi
diberikan pada Tabel 2.
Tidak ada pengaruh signifikan (p > 0,05) pada rata-rata berat,
ketebalan, serta kadar obat. Kekerasan dari bets F2 tidak signifikan (p >
0,05) jika dibandingkan terhadap F1. Namun, kekerasan dari F3 dan F4
sangat signifikan (p < 0,01) dan signifikan secara ektrem (0,001)
dibandingkan dengan F1. Friabilitas (kerapuhan) dari tablet yang
diformulasi masih dalam batas. Indeks pengembangan F1 diketahui 68,615
± 2.050%. tidak terdapat variasi signifikan (p > 0,05) pada indeks
pengembangan F2, tetapi pada konsentrasi polimer yang lebih tinggi (20%
dan 25%, w/w) peningkatan dalam indeks pengembangan diketahui sangat
signifikan (p < 0,001). Sifat mengembang dari sistem adesif bukal
merupakan sifat penting untuk keseragaman dan lepas diperpanjang dari
obat serta bioadesif yang efektif. Studi indeks pengembangan
mengindikasikan bahwa tingkat pengembangan berkaitan secara langsung
pada konten polimer. Tablet bilayer yang mengandung 25% polimer
memperlihatkan indeks pengembangan yang tertinggi (81,728 ± 1,8355).
Model agar plate yang diguanakan di studi ini mensimulasikan proses
sekresi cairan di sekitar mukosa bukal yang mana dibutuhkan untuk adhesi,
swelling dan pelepasan obatdari tablet (Emami, Varshosaz, & Saljoughian,
2008). Mucoadhesi dapat didefinisikan sebagai adhesi antara polimer dan
lendir (mucus). Secara umum, mucoadhesi dianggap terjadi dalam 3 tahap
utama: pembasahan, interpenetrasi, dan mechanical interlocking antara
lendir dan polimer. Kekuatan mucoadhesi dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti berat molekul polimer, waktu kontak dengan lendir, swelling index
polimer, dan membran biologi yang digunakan dalam studi (Park &
Robinson, 1987). Dalam studi ini, membran usus kambing digunakan
sebagai membran biologi untuk mukoadhesi. Diamati bahwa kekuatan
mukoadhesif tablet bukal meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
polimer dan sangat signifikan (p <0,001) dibandingkan dengan F1. Kekuatan
mukoadhesif maksimum tercatat pada F4 (15,409 ± 0,187 g), sedangkan
minimum pada F1 (7,758 ± 0.538g). Alasan untuk tingginya mukoadhesi
pada kadar gum pohon jambu mete yang lebih tinggi mungkin karena
terbentuknya ikatan bioadhesi sekunder dengan mucin dan kapabilitasnya
untuk melakukan interpenetrasi ekstensif dengan lapisan mucus. Studi in
vitro pelepasan obat dari berbagai batch dengan konsentrasi yang berbeda
dari polimer menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi polimer
mengurangi pelepasan obat secara keseluruhan (Gambar. 4). Namun, tidak
ada perbedaan signifikan (p > 0,05) dalam profil pelepasan dari bets yang
dipreparasi dengan polimer 10% (b/b) (F1) dibandingkan dengan 15% (F2)
dan 20% (F3). Jumlah obat yang dilepaskan pada akhir 8 jam masing-
masing adalah 97,20 ± 0,24%, 96,35 ± 0,31% dan 95,89 ± 0,30% untuk
batch F1, F2 dan F3. Pelepasan obat dari batch yang dipreparasi dengan
25% (b/b) konsentrasi polimer sangat signifikan (p <0,001) dibandingkan
dengan batch lain.

Gambar 4. Profil disolusi in vitro tablet bukal curcumin yang dipreparasi


dengan konsentrasi gum pohon jambu mete yang berbeda-beda (10%, 15%,
20%, dan 25%, b/b).

Ini mungkin dikaitkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari


polimer yang setelah mengembang mengurangi difusi obat dari matriks
tablet bukal. Batch yang dipreparasi dengan konsentrasi polimer 20%,
0,1% penetrasi enhancer, 40 mg lapisan pendukung, dikompresi pada 2 ton
/ cm2 selama 10 detik diidentifikasi sebagai batch yang ideal berdasarkan
waktu tinggal bukal dan kekuatan mukoadhesif optimum 13,99 g.
Perbandingan profil disolusi in vitro kurkumin menggunakan 20% (b/b)
gum pohon jambu mete (20% CTG) dan 20% (w / w) hidroksi propil
metilselulosa (20% HPMC) ditunjukkan pada Gambar. 5.

Gambar 5. Perbandingan profil disolusi in vitro kurkumin menggunakan 20%


(b/b) gum pohon jambu mete (20% CTG) dan 20% (w / w) hidroksi propil
metilselulosa (20% HPMC)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tablet bukal yang disiapkan


dengan gum pohon mete menunjukkan pelepasan lebih cepat (96,8%)
dibandingkan dengan HPMC (86,18%) pada akhir 8 jam. Data disolusi
dari batch yang diootimasi dari tablet bukal, dipreparasi menggunakan
polisakarida, menjadi subjek pada penyesuaian data berdasarkan
persamaan Korsmeyer-Peppas yang berhubungan dengan pelepasan obat
dari sistem polimer (Costa & Lobo, 2001). Nilai eksponen pelepasan (n)
diketahui sebesar 0,847. Ini mengindikasikan adanya anomaly pola
pelepasan (n > 0,5). Uji stabilitas dari tablet bukal kurkumin yang di
formulasi dengan 20% polimer dilakukan pada 25◦C/60% RH dan
40◦C/75% RH. Hasilnya dapat dilihat pada table 3. Uji variasi bobot
menunjukkan bahwa seluruh tablet dalam bobot yang seragam. Ketebalan
tablet berkisar 1,983-2,093 mm, kekerasan semua tablet memiliki kisaran
3.482-3.833kg/cm2. Kehilangan pada total berat tablet dalam uji friabilitas
berada di kisaran 0,11-0,14%. Persentase kandungan obat untuk formulasi
yang berbeda bervariasi antara 95,654-97,928%. Tidak ada perubahan
signifikan dalam karakteristik pelepasan dan sifat fisikokimia tablet yang
digunakan dalam studi pelepasan. Berdasarkan hasilnya dapat disimpulkan
bahwa tablet buccoadhesive yang diformulasi dapat stabil selama 60 hari.
2.4 Kesimpulan
Hasi-hasil ini memperlihatkan bahwa gum natural, A. occidentale, tidak
hanya digunakan untuk mempertahankan (sustain) pelepasan dari kurkumin dari
tablet bukal unidirectional-releas, tetapi juga memperlihatkan bahwa tablet cukup
mukoadhesif untuk aplikasi secara klinis. Tablet bukal mukoadhesif yang
dievaluasi mewakili sistem penghantaran transbuccal yang meningkat dan
berkembang untuk zat obat konvensional. Mekanisme bioadhesi dapat berpotensi
menghasilkan rantai interpenetrasi dan belitan fisik dari gum dengan lapisan
mucus. Tingkat pelepasan senyawa obat serta kekuatan ikatan bioadhesive
formulasi dapat dimodulasi dengan memvariasikan jumlah gum yang
diformulasikan dalam tablet. Tablet bukal mukoadhesif yang dievaluasi dalam
studi ini sangat mudah diformulasi, tidak mahal, memberikan kemudahan dalam
aplikasi dan penghilangan yang baik dari permukaan mucosal. Oleh karena itu,
formulasi tablet seperti yang mengandung gum polisakarida bioadhesive, A.
occidentale, mungkin merupakan sistem pengiriman bukal yang telah ditingkatkan
untuk berbagai zat obat dengan berat molekul rendah.
Jurnal 3 : A focus on mucoadhesive polymers and their application in buccal
dosage forms

3.1 Pendahuluan
Oromukosal digunakan untuk administrasi obat melalui rongga mulut atau
tenggorokan dengan efek sistemik atau lokal. Pembuluh darah pada mukosa mulut
memiliki kecepatan aliran darah 2,4 mL/menit dimana bioavaibilitas obat akan
tinggi apabila diberikan melalui mukosa mulut. Selain itu, resiko kerusakan atau
iritasi pada mukosa mulut sangat rendah tergantung pada obat yang digunakan dan
juga eksipiennya.
Kekurangan dari membran mukosa ini adalah permeabilitasnya rendah untuk
obat konvensional saat proses pengunyahan. Sehingga diciptakan suatu sediaan
yang bersifat mukoadesi, dimana obat akan melekat pada epitel mukosa dan
terabsorpsi langsung ke dalam pembuluh darah. Sediaan yang berkembang adalah
tablet bukal mukoadesi dan film bukal. Sediaan ini mengandung polimer
hidrofilik yang akan basah dengan adanya saliva kemudian mengembang dan
melekat pada permukaan mukosa melalui interaksi dengan mukus. Mukus adalah
cairan kental dan lengket hasil sekresi sel mukus pada daerah sublingual, kelenjar
ludah, serta dinding epitel jalur oral.
Musin adalah glikoprotein hidrofilik yang disusun oleh komponen protein
rantai tunggal (dibentuk oleh asam amino seperti serin, treonin, prolin) yang
merupakan cabang dari rantai oligosakarida. MG1, salah satu jenis mukin yang
diproduksi oleh kelenjar saliva, memegang peran penting dalam mengatur hidrasi,
lubrikasi, dan membatasi penempelan mikroorganisme

Gambar 1. Struktur musin


Mukoadesif adalah hasil interaksi antara polimer mukoadesif dengan musin.
Fase pertama, sediaan mukoadesif akan basah, mengembang, dan menyebar ke
dalam mukus. Kemudian terbentuk 2 lapisan mekanik antara polimer dan lapisan
mukus. Fase kedua adalah hasil interaksi kimia seperti ikatan kovalen dan ion,
ikatan hidrogen, interaksi elektrostatik dan van der waals antara 2 substrat.
Interaksi dipengaruhi oleh faktor polimer, seperti berat molekul, rantai
fleksibilitas, hidrasi, dan ikatan hidrogen. Selain itu, lingkungan bukal juga
menjadi faktor, seperti kekuatan ion dan mukin. Kedua faktor tersebut
memodulasi kekuatan adhesi serta waktu singgah sediaan.

3.2 Polimer Mukoadesi


Polimer mukoadesi harus memiliki karakteristik yang memfasilitasi interaksi
dengan musin. Polimer harus sesuai dengan pH dan kekuatan ion mukus. Rantai
polimer yang berukuran kecil membuat penetrasi ke dalam mukus menjadi
mudah. Selain ukuran rantai yang kecil, polimer harus mampu membuat kompleks
dengan musin. Kecepatan sediaan akan mengembang ketika jumlah air sudah
mencapai titik maksimum yang menyebabkan adhesi atau pelekatan.
Dari berbagai studi, jenis polimer mukoadesi yang biasa digunakan adalah
poliakrilat, hialuronan, kitosan, derivat selulosa, alginat, pektin, dan gelatin.
Polivinilpirolidon (PVP) sangat banyak digunakan sebagai kombinasi dengan
material mukoadesif lainnya yang mungkin memiliki sifat mukoadesi yang buruk.

3.2.1 Poliakrilat

Gambar 2. Struktur Poli Asam Akrilat (PAA)


Poliakrilat adalah polimer asam akrilat yang bertaut silang dengan
ester polialkenil atau diviniglikol. Poli Asam Akrilat (PAA) menunjukkan
karakteristik mukoadesi dengan adanya karbosilat untuk membentuk ikatan
hidrogen kuat dengan rantai oligosakarida pada musin. Dari beberapa derivat
PPA, polikarbofil dan karbomer yang paling banyak diteliti sebagai dasar
untuk penghantaran obat mukoadesi.
Karbomer tertaut silang dengan alil sukrosa atau alilpentaeritritol,
sedangkan polikarbofil tertaut silang dengan diviniglikol. Kedua senyawa
tersebut memiliki struktur akrilat namun berbeda densitas tautan silangnya.
Polikarbofil tidak larut dalam medium cair namun dapat swelling pada pH 4
yang akan membentuk kompleks dengan lapisan mukus, dimana gugus
asam karboksilat dari polikarbofil berikatan dengan permukaan mukus
melalui interaksi ikatan hidrogen.
PAA dapat dikonjugasikan dengan sistein. Polimer tersebut akan
membentuk ikatan kovalen, seperti jembatan disulfida, dengan subdomain
sistein pada glikoprotein mukus dan juga dengan reaksi pertukaran
tiol/disulfide atau melalui oksidasi gugus tiol bebas. Pembentukan ikatan
kovalen antara mukin dengan polimer tiol ini meningkatkan karakteristik
mukoadesi yang lebih baik.

3.2.2 Derivat Selulosa


Derivat selulosa seperti hidroksietilselulosa (HEC),
hidroksipropilmetilselulosa (HPMC), hidroksipropilselulosa (HPC), dan
karboksimetilselulosa (CMC) telah banyak digunakan sebagai polimer
mukoadesi. CMC memiliki sifat mukoadesi yang paling baik karena CMC
merupakan polimer anionik dengan kemampuan membentuk ikatan hidrogen
yang baik. Derivat selulosa non ionik seperti HPMC memiliki sifat
mukoadesi yang intermediet.
3.2.3 Kitosan

Gambar 3. Struktur Kitin dan Kitosan


Kitosan (poli [b-(1-4)-2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa]) adalah
polisakarida yang berasal dari deasetilasi kitin. Polimer kitosan bersifat
hidrofilik, biokompatibel, dan biodegradasi yang memiliki toksisitas rendah.
Gugus OH dan NH2 pada kitosan akan membentuk ikatan hidrogen
dengan lapisan mukus. Interaksi elektrostatik yang terjadi antara muatan
positif gugus amin pada rantai polimer dengan muatan negatif residu asam
salisilat pada glikoprotein menciptakan sifat mukoadesi. Reaksi elektrostatik
terjadi pada kitosan dengan musin sehingga membentuk kompleks
koaservasi. Selain itu, pH menjadi faktor penting terjadinya hidrasi dan
swelling pada sediaan mukoadesi. Sifat mukoadesi dari matriks kitosan akan
berkurang apabila terdapat tautan silang kimia untuk memodulasi pelepasan
obat.

3.2.4 Alginat
Alginat merupakan polisakarida yang berasal dari rumput laut, alga,
dan bakteri. Polisakarida ini bermuatan negatif yang sangat banyak
digunakan untuk produksi mikropartikel yang memiliki sifat bioadesi.
Berat molekul dan rantai fleksibilitas dari alginat menggambarkan
interaksi dengan mukin. Interaksi antara mukin dan molekul alginat
membentuk jembatan yang berkontraksi dengan protein sehingga pelekatan
dapat terjadi.
3.2.5 Pektin

Gambar 4. Struktur Pektin


Pektin merupakan polisakarida yang larut dalam air dan terdapat di
dinding sel tumbuhan. Meskipun merupakan polisakarida heterogen, pectin
yang mengandung (1-4) rantai lurus yang terikat pada residu asam α-D-
galakturonat. Asam galakturonat memiliki gugus karboksil, beberapa
diantaranya membentuk metil ester sementara yang lainnya bereaksi dengan
ammonia dan menghasilkan gugus karboksamide. Kedua kadar esterifikasi
dan amidase dinyatakan sebagai persentase dari gugus karboksil
(tersesterifikasi atau teramidasi) yang berperan penting dalam
pengklasifikasian pektin. Jika kadar esterifikasinya lebih rendah dari 50%
maka tergolong sebagai low methoxy pectin, sementara high methoxy pectin
memiliki DE lebih tinggi dari 50%.
Setelah pektin dan musin dicampur dalam air deionisasi, terbentuk
agregat besar antara pektin dan musin melalui ikatan hidrogen. Peningkatan
jumlah dari pektin dalam campurannya dengan musin akan mengakibatkan
pergeseran nilai zeta potensial ke nilai yang lebih negatif. Gaya tolak-
menolak antara pektin dan musin yang memiliki muatan sama menyebabkan
uncoiling rantai polimer. Penjelasan tadi membuktikan bahwa efek
mukoadhesi dari pektin dapat disebabkan karena adanya mekanisme
adsorpsi pada molekul musin atau gaya tolak-menolak antara pektin dan
musin yang dapat menyebablan pelepasan ikatan antar rantai, dan
mempermudah terbentuknya ikatan rantai. Selain itu, dalam bentuk larutan
pektin dan musin akan membentuk ikatan hidrogen yang kuat. Ikatan ini
akan bersaing dengan ikatan hidrogen yang terdapat dalam air. Muatan
negatif dari musin dan pektin memiliki donor electron yang lebih kuat
dibanding air. Dan gugus hidroksilnya dapat berperan sebagai akseptor
elektron. Selain itu, golongan superior mukoadhesi terlihat pada pektin yang
memiliki berat molekul rendah. Hal ini disebabkan karena mereka dapat
berpenetrasi pada jaringan musin lebih mudah dan menghasilkan interaksi
intermolecular dengan molekul musin.

3.2.6 Asam Hialuronat

Gambar 5. Struktur Asam Hialuronat

Asam hialuronat merupakan jenis polisakarida bercabang yang terdiri


dari asam D-glukoronat dan N-asetil-D-glukosamin yang dihubungkan
melalui ikatan glikosidik. Dalam bentuk larutan, molekul asam hialuronat
akan membentuk struktur coil yang diperluas. Terdapat 5 ikatan hidrogen
berada diantara unit disakarida yang saling berdekatan dan struktur sekunder
terbentuk menyerupai pita dengan dua ikatan heliks yang memutar disetiap
unit disakarida dengan sudut 180°. Asam hialuronat dengan berat molekul
rata-rata akan mempengaruhi aktivitas mucoadhesi, dan asam hialuronat
dengan berat molekul rendah memiliki gaya adhesi yang kuat pada mukosa
bukal. Selain itu, asam hialuronat juga dapat meningkatkan penetrasi obat
seperti asiklovir. Sebagai contoh, studi in vitro mengenai sifat mukoadhesif
dari etil dan benzil ester membuktikan bahwa proses esterifikasi dari gugus
karboksil dapat mengurangi efek adhesi dari asam hialuronat pada mukosa
dikarenakan kemampuan dari makromolekul untuk membentuk ikatan
hidrogennya berkurang. Asam hialuronat menunjukkan kemampuan
pelekatan yang baik melalui hasil interprenetrasi asam hialuronat/mucus
yang menghasilkan lapisan mukus yang kuat.

3.2.7 Lektin
Lektin terbentuk secara alami dari protein atau glikoprotein yang
memiliki afinitas yang tinggi pada residu karbohidrat dari sel membrane.
Setelah terjadi pengikatan mukosa, sel lektin dapat tinggal di permukaan sel
atau mengalami internalisasi (pada ahesi yang dimediasi oleh reseptor).
Interaksi antara situs spesifik dengan reseptor dapat memicu signaling
antarsel pada proses internalisasi obat atau sistem pembawa (proses
endositosis melalui sitoadhesi) ke dalam lisosom atau ke dalam
kompartemen seluler lainnya seperti nucleus. Tipe bioadhesi ini disebut
dengan sitoadhesi. Lektin memiliki keuntungan lain seperti kemampuannya
sebagai pembawa spesifik untuk sediaan targeted release dan controlled
release, namun kebanyakan dari jenisnya bersifat toksik dan imunogenik.

3.2.8 Material Komposit


Ketika beberapa polimer dengan sturktur dan fungsi berbeda digabung,
menghasilkan struktur yang unik dan fitur yang dinamis dari hubungan yang
kompleks dapat menghasilkan bahan baru yang dimanfaatkan untuk
optimalisasi sifat mukoadhesif dan mengontrol laju dari pelepasan obat..
Sebagai contoh, campuran PVT dan kitosan dalam rasio 1:1 memungkinkan
peningkatan kemampuan adhesi yang signifikan dari bahan tunggal.
Penambahan HPMC ke PMM memungkinkan terjadinya pengurangan laju
erosi dari PMM dan meningkatkan kemampuan mengembang dari HPMC
tanpa modifikasi sifat mukoadhesif yang signifikan.
Kombinasi dari beberapa kelas PAA dengan polimer berbeda muatan
seperti kitosan dengan berat jenis rendah memungkinkan membentuk
kompleks interpolyeletrolite (IPECs) yang digunakan pada sistem
pembuatan obat mukoadhesif. Bahan gabungan yang terbuat dari natrium
karboksimetilselulosa (CMC-Na) dan gelatin menentukan pelepasan yang
berkaitan dengan gelatin/HPMC dan gelatin/HPC dengan perbandingan
yang sama. Sifat mukoadhesif dari alginate dapat dimodulasi dengan cara
mencampurnya dengan bahan yang memiliki muatan berbeda.
Interpenetrasi rantai polimer antarmuka dengan permukaan mukosa
dapat ditingkatkan dengan menggunakan molekul yang bersifat tidak
mukoadhesif pada dirinya sendiri, tapi berperan dalam proses adhesi seperti
PEG (polyethylene glycol). Bahan ini dapat berikatan secara kovalen pada
polimer mukoadhesif atau tercampur secara fisik. Sifat mukoadhesif yang
tinggi didapatkan dari pengaruh interaksi elektrostatik yang sinergis antara
muatan positif pada kelompok kitosan termetilasi dan muatan negative dari
residu asam sialat yang berasal dari glikoprotein mucus dan interpenetrasi
dari rantai PEG dalam mucus.

3.2.9 Aplikasi Dalam Bentuk Sediaan Farmasi


Bentuk sediaan mukoadhesif berasal dari kemampuannya untuk
mengoptimalkan penghantaran obat secara lokal dengan cara
mempertahankan bentuk sedian di tempat aksinya atau efikasi dari obat
sistemik dengan cara mempertahankan formulasi yang berinteraksi dengan
situs penyerapan. Beberapa bentuk sediaan bukoadhesive diperbaharui dan
menghasilkan penggunaanya secara klinis dari beberapa molekul obat yang
diberikan melalui rute bukal yang cepat ketika dibutuhkan efek yang segera
atau dalam pelepasan yang terkendali jika dibutuhkan pelepasan yang
diperpanjang.
Dapat digunakan pada beberapa obat yang termetabolisme secara cepat
dengan waktu paruh eliminasi yang singkat, bisa diserap oleh membran
mukosa, melewati metabolisme lintas pertama diperbolehkan untuk
mengurangi dosis dan frekuensi pemberian. Beberapa peneliti menginginkan
perpanjangan waktu retensi dari sediaan atau rekayasa pengiriman molekul
kompleks seperti protein dan peptida. Namun,terdapat hambatan pada rute
pemberian obat secara oral sebagai agen terapeutik yaitu metabolisme
presistemiknya yang luas, ketidakstabilan di lingkungan asam dan degradasi
enzimatik, yang mempengaruhi bioavailabilitas yang rendah dari peptida
oral dan protein. Kriterian bahan yang dapat digunakan untuk formulasi
sediaan mukoadhesif, diantaranya :
 Ukuran sekitar 1-3 cm2 dan dosis harian ≤25 mg;
 Durasi maksimal pengiriman obat secara bukal 4-6 jam;
 Penyalutan rasa yang sesuai dengan target pasien;
 Penambahan eksipien yang fungsional utnuk meningkatkan pelepasan
obat dan penyerapan pada mukosa;
 Strategi yang cocok untuk mengurangi iritasi mukosa pada situs aksi;
 Kesesuaian sifat mekanik dan sifat alir yang digunakan untuk pembuatan
formulasi sediaan bukal yang mudah;
 Kekerasan dan ketahanannya sesuai.

Gambar 6. Ciri utama dari sediaan bukoadhesif yang ideal.

3.2.10 Bentuk Sediaan Tablet


Tablet memperoleh sifat bioadhesi melalui proses dehidrasi dari
mukosa bukal dengan adanya saliva. Beberapa tablet dengan kemampuan
bukoadhesive yang baik melepas obat secara local ke mukosa bukal atau
rongga mulut dan mempertahankan efek sistemiknya. Tablet mukoadhesif
dapat dibuat melalui metode kompresi langsung antara zat aktif dengan
polimer bioadhesif atau dispersi zat aktif obat dalam polimer bioadhesif.
Contohnya, dibuat tablet prolong-released mukoadhesif yang baru
mengandung 24 µg clobetaso-17 propionat, yang cocok untuk pengelolaan
dari oral lichen planus (OLP) yang dirancang dengan menggabungkangkan
polimer mukoadhesif yang memiliki kemampuan swelling yang rendah
(natrium metakrilat dan metil metakrilat) dengan HPMC dan Magnesium
(II) klorida. Dilakukan studi in vivo dan menunjukkan hasil bahwa
penggunaan tablet tiga kali sehari mungkin lebih efektif dan pengobatan
yang aman dari OLP untuk menghindari efek samping dari penggunaan
pengobatan secara umum.
Kegunaan dari siklodekstrin sebagai peningkat penetrasi dan pelarut
dimaksudkan untuk melepaskan obat yang berbeda melalui mukosa bukal
dan sublingual. Kompleks obat-siklodekstrin dapat meningkatkan efikasi
klinis obat dengan cara meningkatkan kelarutan obat dalam air, kecepatan
disolusi dan ketersediaan farmasi. Interaksi dari piroxicam yang memiliki
kelarutan rendah dalam air ditunjukan dengan penyerapan yang rendah
setelah proses administrasi secara oral, dan hidroksipropil-β-siklodekstrin
(HPβCD) diselidiki dalam bentuk larutan dan tablet CR bukoadhesif,
disiapkan melalui metode kempa langsung menggunakan HPMC dan
karbopol 940P. Hasil dari pelepasan secara in vivo ini menunjukkan bahwa
matriks tablet mengandung kompleks padatan piroxicam HPβCD
menunjukkan pelepasan obat yang dibandingkan dengan kompleks yang
didapat dari pencampuran secara fisik atau ‘bebas’ obat. Perbedaan terlihat
pada laju pelepasan piroxicam dari tablet dimana ditunjukkan dengan
kehadiran dari polimer mukoadhesif dan kompleks siklodekstrin.
Disolusi dari obat yang memiliki kelarutan buruk dalam air difasilitasi
dengan pengguanan kompleks kitosan-obat yang disiapkan melalui proses
kempa (spray drying compression). Kemampuan mukoadhesif dari tablet ini
bergantung pada tipe kitosan yang digunakan atau jenis derivat yang
digunakan, metode formulasi (spray drying vs penghalusan ukuran secara
fisik) maupun muatan obat.
Tablet bilayer mukoadhesif juga disiapkan untuk menghasilkan dua
laju pelepasan yang berbeda pada penggantian terapi nikotin. Pelepasan
biphasic yang terjadi baik in vitro dan in vivo terjadi karena adanya lapisan
yang terdisintegrasi secara cepat yang memungkinkan pelepasan awal
nikotin dan lapisan mukoadhesif, yang terdiri dari Carbopol 934P dan HPC
yang mengatur pelepasan obat melalui mukosa bukal selama 4 jam. Analisis
statistic tidak menemukan perbedaan yang signifikan di nilai adhesive
diantara obat bebas dan obat yang mengandung lapisan (P > 0,05). Hasil ini
menunjukkan bahwa tidak ada interkasi yang signifikan antara obat dengan
polimer yang berpengaruh terhadap mukoadhesi.
DAFTAR PUSTAKA

Gowthamarajan, K., Jawahar, N., Wake, P., Jain, K., & Sood, S. (2012).
Development of buccal tablets for curcumin using Anacardium occidentale
gum. Carbohydrate Polymers, 88(4), 1177-1183.
http://dx.doi.org/10.1016/j.carbpol.2012.01.072
Onishi, H., Yumoto, K., & Sakata, O. (2014). Preparation and evaluation of
ritodrine buccal tablets for rational therapeutic use. International Journal Of
Pharmaceutics, 468(1-2), 207-213.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijpharm.2014.04.009
Russo, E., Selmin, F., Baldassari, S., Gennari, C., Caviglioli, G., & Cilurzo, F. et
al. (2016). A focus on mucoadhesive polymers and their application in
buccal dosage forms. Journal Of Drug Delivery Science And Technology,
32, 113-125. http://dx.doi.org/10.1016/j.jddst.2015.06.016

Anda mungkin juga menyukai