Anda di halaman 1dari 40

PENGUJIAN RESIDU ANTIBIOTIKA DALAM SUSU SEGAR DARI

BEBERAPA PETERNAKAN SAPI PERAH DI PROVINSI JAWA BARAT


MENGGUNAKAN METODE BIOASSAY

SITI GUSTI NINGRUM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN


MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTUTUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ABSTRACT

SITI GUSTI NINGRUM. Detection of Antibiotic Residues in Raw Milk from


Various Dairy Farms in West Java Province Using Bioassay Method. Under
direction of HADRI LATIF and AGATHA WINNY SANJAYA

The objective of this study was to determine the presence of antibiotic


residues in raw milk from various dairy farms in the region of West Java,
including Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Bogor, and Cianjur. Five samples
were taken from each district (total n = 25) and analyzed using bioassay method.
The results showed that none of the 25 raw milk samples contained detectable
amounts of beta lactam, tetracyclines, makrolida, and aminoglycosides.

Keywords: Antibiotic residue, milk, bioassay, dairy farm.


RINGKASAN

SITI GUSTI NINGRUM. Pengujian Residu Antibiotika dalam Susu Segar dari
Beberapa Peternakan Sapi Perah di Wilayah Jawa Barat Menggunakan Metode
Bioassay. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan AGATHA WINNY SANJAYA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan residu antibiotika


dalam susu segar dari berberapa peternakan sapi perah di provinsi Jawa Barat
seperti Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Bogor, dan Cianjur. Lima sampel
diambil dari tiap kabupaten (total n = 25) dan dianalisa menggunakan metode
bioassay. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 25 sampel susu segar tidak
mengandung antibiotika dari golongan beta laktam, tetrasiklin, makrolida, dan
aminoglikosida.

Kata kunci: Residu antibiotika, susu, bioassay, peternakan sapi perah


PENGUJIAN RESIDU ANTIBIOTIKA DALAM SUSU SEGAR DARI
BEBERAPA PETERNAKAN SAPI PERAH DI PROVINSI JAWA BARAT
MENGGUNAKAN METODE BIOASSAY

SITI GUSTI NINGRUM

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN


MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pengujian Residu Antibiotika


dalam Susu Segar dari Beberapa Peternakan Sapi Perah di Provinsi Jawa Barat
Menggunakan Metode Bioassay adalah karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2011

Siti Gusti Ningrum


NIM B0407006
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Judul Skripsi : Pengujian Residu Antibiotika dalam Susu Segar dari
Beberapa Peternakan Sapi Perah di Provinsi Jawa Barat
Menggunakan Metode Bioassay
Nama : Siti Gusti Ningrum
NIM : B04070066

Disetujui,

Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, M.S. Dr. drh. Hadri Latif, M.Si.
Pembimbing II Pembimbing I

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini


Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

Tanggal Lulus :
i

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Pengujian Residu Antibiotika dalam Susu Segar dari
Beberapa Peternakan Sapi Perah di Wilayah Jawa Barat Menggunakan Metode
Bioassay. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Selama penyusunan skripsi ini penulis telah mendapatkan berbagai
bantuan baik materi, informasi, saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. drh. Hadri Latif,
M.Si. dan Ibu Prof. Dr. drh. Agatha Winny Sanjaya, M.S selaku pembimbing,
serta Dr.Iis Arifiantini, M.Si yang telah banyak memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh Denny Widaya Lukman,
M.Si, Bapak Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si, Ibu Prof. Dr. drh. Mirnawati
Bachrum Sudarwanto, Ibu drh. Herwin Pisestiyani, M.Si, Ibu Dr. Ir. Etih Sudarnika
M.Si, Bapak drh. Chaerul Basri, M.Epid beserta staf KESMAVET FKH IPB, serta
Ibu drh. Nuraini beserta staf Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP),
yang telah membantu penulis selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

Siti Gusti Ningrum


ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Redep, Kalimantan Timur pada tanggal


05 Agustus 1989 dari pasangan Achmad Sudjali dan Suparmiasih. Penulis
merupakan anak kedua dari empat orang bersaudara.
Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Samarinda dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
dan penulis memilih bidang Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah
Anatomi Veteriner I pada tahun ajaran 2009/2010, serta mata kuliah Anatomi
Topografi pada tahun ajaran 2010/2011. Pada tahun 2009 penulis dipilih menjadi
Duta Lingkungan FKH IPB.
iii

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………. v
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………… vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………… 1
1.2 Tujuan …………………………………………………………………….. 2
1.3 Manfaat ………………………………………………………………….... 2
1.4 Hipotesis ………………………………………………………………….. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Susu…………………………………………………………..….. 3
2.2 Keamanan Pangan ...…………………………………………………….. 4
2.3 Penggunaan Antibiotika dalam Peternakan ………….……………….. 4
2.3.1 Penisilin……………………………………………………………… 4
2.3.2 Aminoglikosida ………...………………………………………….. 5
2.3.3 Tetrasiklin ..…………………………………………………………. 6
2.3.4 Makrolida ………………………………………………………….... 6
2.4 Residu Antibiotika dalam Susu …..………………………………….….. 6
2.5 Dampak Residu Antibiotika pada Konsumen ..………………………... 8
2.6 Metode Pengujian Residu Antibiotika………………………………....... 9
2.6.1 Uji Cepat ………………………………………………………….. 9
2.6.2 Uji Tapis dengan Bioassay ……………………………………… 9
2.6.3 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) …………...... 11
2.6.4 High Performance Liquid Chromatographic …………………… 11
BAB III BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..……………………………………….… 12
3.2 Alat dan Bahan …...……………………………………………………… 12
3.3 Metode Penelitian……………………………………………………….... 12
3.3.1 Pengambilan dan Persiapan Sampel ..……..…………………. 12
3.3.2 Persiapan Uji dan Pengujian Sampel ….……………………… 13
3.3.2.1 Persiapan Uji ….…………………………………………... 13
3.3.2.1.1 Analisa Residu Golongan Penisilin …………... 13
3.3.2.1.2 Analisa Residu Golongan Aminoglikosida…. 14
3.3.2.1.3 Analisa Residu Golongan Tetrasiklin ………... 14
3.3.2.1.4 Analisa Residu Golongan Makrolida .………… 15
3.3.2.2 Persiapan Larutan Dapar ….………………………..…… 15
3.3.2.3 Persiapan Larutan Baku ………………………………… 15
3.4.2.4 Cara Pengujian Sampel Susu ………………………....... 16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Residu Penisilin dalam Susu……………………………………………. 18
4.2 Residu Aminoglikosida dalam Susu…..………………………………… 20
4.3 Residu Tetrasiklin dalam Susu………………………………………….. 21
4.4 Residu Makrolida dalam Susu…………………………………………... 21
iv

BAB V SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan …………………………………………………………..……… 24
5.2 Saran …………………………………………………………...…………. 24
BAB VI DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 25
v

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Syarat mutu susu segar ……………………………………………………….. 3
2 Withdrawal time beberapa jenis antibiotika ……..…………………………… 8
3 Batas maksimum residu antibiotika dalam susu ........................................... 9
4 Hasil uji residu penisilin ……………………………………………………….. 19
5 Hasil uji residu aminoglikosida ……………..…………………………………. 20
6 Hasil uji residu tetrasiklin ………………...…………………………………… 21
7 Hasil uji residu makrolida ………………..……………………………………. 22
vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Contoh hasil uji residu antibiotika menggunakan metode bioassay………… 17


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Provinsi Jawa Barat merupakan pemasok susu terbesar dalam skala
nasional. Produksi susu segar di Jawa Barat mencapai 239 000 ton per tahun.
Jumlah ini setara dengan 41.38% produksi susu nasional (Raharjo 2010).
Konsumsi susu di Indonesia pada tahun 2005 adalah 845 743 ton sedangkan
konsumsi susu di provinsi Jawa Barat adalah 176 650 ton. Pada tahun 2006,
terjadi peningkatan konsumsi susu di Indonesia menjadi 896 791 ton, begitu pula
yang terjadi di Jawa Barat. Konsumsi susu di Jawa Barat meningkat hingga
208 698 ton (Ditjenak 2006).
Peningkatan kondisi kesehatan ternak dan optimalisasi produksi susu dapat
dilakukan dengan melakukan kontrol terhadap penyakit yang dapat menyerang
sapi perah. Antibiotika merupakan obat yang paling banyak digunakan di
peternakan sapi perah untuk tujuan tersebut. Selain digunakan sebagai agen
terapeutik untuk mengobati penyakit dan mencegah terjadinya penyakit,
penggunaan antibiotika di peternakan juga bertujuan sebagai pemacu
pertumbuhan (growth promotor). Sebagai pemacu pertumbuhan, antibiotika
tersebut biasanya ditambahkan dalam pakan atau yang disebut dengan feed
additive. Penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan atau untuk
pengobatan dan pencegahan penyakit yang tidak sesuai, dosis yang berlebihan,
dan tidak memperhatikan masa henti obat (withdrawal time) dapat menimbulkan
residu antibiotika dalam susu yang dihasilkan, termasuk pada produk hasil
olahannya. Berdasarkan kenyataan di lapangan, ada peternak yang langsung
menjual produksi susu sebelum masa henti obat. Hal ini dapat menyebabkan
susu tersebut masih mengandung antibiotika. Keberadaan residu antibiotika
pada susu segar perlu mendapat perhatian karena sebagian besar antibiotika
tahan terhadap pemanasan. Hal ini menunjukkan bahwa produk olahan susu
tetap beresiko mengandung antibiotika meskipun telah mengalami proses
pengolahan.
Adanya residu antibiotika dalam susu akan membahayakan kesehatan
manusia (Wiryosuhanto 1990) dan berdampak buruk terhadap pengolahan susu
untuk jenis olahan tertentu. Bahaya potensial residu antibiotika dalam makanan
terhadap kesehatan secara umum dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu aspek
2

toksikologis, aspek mikrobiologis, dan aspek imunopatologis. Ditinjau dari aspek


teknologi pengolahan susu, keberadaan residu antibiotika dalam susu dapat
menghambat atau menggagalkan proses fermentasi yang menggunakan mikroba
dalam pengolahannya (Lukman 2010).
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah keberadaan residu antibiotika
pada produk olahan susu sehingga aman dikonsumsi melalui pengujian secara
rutin terhadap keberadaan residu antibiotika pada susu segar. Uji yang umum
digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi keberadaaan residu antibiotika
dalam susu adalah dengan menggunakan metode bioassay.

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan keberadaan residu antibiotika
dalam susu segar yang dihasilkan di wilayah Jawa Barat.

1.3 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai pentingnya keamanan susu dari bahaya residu antibiotika
sebagai upaya untuk perlindungan terhadap kesehatan masyarakat.

1.4 Hipotesis
Susu segar yang dihasilkan dari peternakan sapi perah di Jawa Barat tidak
mengandung residu antibiotika.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Susu


Susu adalah cairan yang berasal dari ambing ternak perah yang sehat dan
bersih yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar sesuai ketentuan
yang berlaku yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu
apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan
(BSN 2008). Susu segar harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar aman
dikonsumsi dan digunakan untuk proses pengolahan lanjutan. Syarat mutu dari
susu segar dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 3141.1:2011

No. Karakteristik Syarat


1. Berat jenis (pada suhu 27.5 °C) minimum 1.0270
2. Kadar lemak minimum 3.0%
3. Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 7.8%
4. Kadar protein minimum 2.8%
5. Warna, bau, rasa dan kekentalan tidak ada perubahan
6. Derajat asam 6 - 7.5 °SH
7. Uji alkohol (70%) negatif
8. pH 6.3 - 6.75
9. Cemaran mikroba maksimum:
1. Total kuman 1 x 106 CFU/ml
2. Salmonella negatif
3. E. coli (patogen) negatif
4. Koliform 1 x 103 CFU/ml
10. Jumlah sel somatis maksimum 4 x 105 sel/ml
11. Cemaran logam berbahaya, maksimum:
1. Timbal (Pb) 0.02 ppm
2. Merkuri (Hg) 0.03 ppm
3. Arsen (As) 0.1 ppm
12. Residu antibiotika (golongan laktam,
tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida) Negatif
13. Uji pemalsuan Negatif
14. Titik beku -0.520 °C s/d -0.560 °C
15. Uji peroksidase Positif

Susu merupakan hasil utama pada usaha budidaya ternak perah. Susu
yang dihasilkan harus memenuhi syarat ASUH yaitu aman, sehat, utuh, dan halal
(Hidayat 2010). Hal ini membutuhkan perhatian khusus karena susu merupakan
sumber utama yang paling memungkinkan terjadinya foodborne disease pada
4

masyarakat, terutama anak-anak. Foodborne disease bisa disebabkan oleh virus,


bakteri, cendawan, dan residu antibiotika (Gustiani 2009).

2.2 Keamanan pangan


Keamanan pangan menuntut tanggung jawab bersama antara pemerintah,
konsumen, dan produsen (Sparringa 2006). Masalah keamanan pangan meliputi
berbagai aspek mulai dari pangan dihasilkan hingga dikonsumsi. Masyarakat
berhak mendapatkan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Pangan
dikatakan aman jika tidak ada bahan berbahaya dalam kandungannya. Bahan
berbahaya dalam pangan terbagi menjadi tiga, yaitu bahaya biologi (mikroba),
bahaya kimia (residu pestisida, residu hormon, residu antibiotika, dan residu atau
kontaminan lainnya), dan bahaya fisik (debu, bulu, rambut, rumput, ranting kayu,
pecahan kaca).

2.3 Penggunaan Antibiotika dalam Peternakan


Antibiotika sering digunakan dalam peternakan dengan tujuan mengobati
dan menghindari penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, terutama
infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika juga dipercaya dapat memperbaiki
konversi pakan ternak sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi dan
meningkatkan laju pertumbuhan, sehingga mendekati pertumbuhan yang ideal
sesuai dengan potensi genetik yang dimiliki ternak. Hal ini menyebabkan
antibiotika tersebut biasanya ditambahkan dalam makanan sebagai imbuhan
pakan atau disebut sebagai antibiotic growth promotors (AGP) (Parakkasi &
Effendi 1992). Antibiotika yang banyak dipakai di peternakan antara lain
golongan beta laktam (prokain penisilin G, kalium penisilin G), golongan
tetrasiklin (tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin), golongan aminoglikosida
(gentamisin sulfat, neomisin, dihidrostreptomisin sulfat), dan golongan makrolida
(eritromisin, tilosin) (Lastari & Murad 1995).

2.3.1 Penisilin
Penisilin merupakan antibiotika kelompok β-laktam yang penggunaannya
efektif terutama untuk melawan sebagian besar bakteri gram positif. Senyawa ini
sering digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk semua infeksi karena tidak
menimbulkan efek samping yang toksik dan bersifat bakterisidal (Olson 2003).
Menurut Admin (2007), absorbsi penisilin bisa melalui peroral, intramuscular,
5

intravena, intratracheal, intrauterine, dan intramamary. Melalui peroral, penisilin


di dalam lambung mamalia akan mengalami inaktifasi oleh asam lambung
sampai 70%. Pada individu tua yang produksi asam lambung sangat menurun,
pemberian penisilin dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam proses
absorbsinya di duodenum. Melalui intramuskuler, penisilin diserap cukup cepat.
Penyuntikan secara intravena menghasilkan kadar tinggi di dalam plasma
darah, yang segera diikuti eliminasi yang cepat pula selama 4-6 jam. Melalui
intrauterine, absorbsi penisilin terjadi setelah infusi intrauterine dengan dosis
1.5 juta IU penisilin yang diberikan secara intrauterine. Melalui intramamary,
absorbsi penisilin berlangsung secara difusi jaringan lokal (Admin 2007).
Menurut Admin (2007), dalam keadaan normal penisilin didistribusikan
dengan cepat dari plasma darah ke dalam jaringan tubuh. Persentase volume
distribusi (apparent volume distribution, AVD) sebesar 50% memperlihatkan
cepat dan mudahnya distribusi penisilin ke dalam jaringan. Melalui ginjal penisilin
diekskresikan dengan cepat yaitu mencapai 60-80% dari obat yang dimasukkan,
sedangkan ekskresi lewat kelenjar susu hanya mencapai 16% dari yang ada di
dalam plasma. Hal ini menunjukkan bahwa penisilin lebih banyak dieliminasi dari
tubuh melalui ginjal daripada melalui susu.

2.3.2 Aminoglikosida
Aminoglikosida merupakan golongan antibiotika yang efektif melawan
bakteri gram negatif. Antibiotika yang termasuk golongan ini adalah streptomisin,
neomisin, kelompok kanamisin-gentamisin, dan spektinomicin. Streptomisin
merupakan obat pilihan pertama untuk menangani kasus tuberculosis. Namun,
aminoglikosida memiliki potensi toksik dan residu pada pangan asal hewan
(Riviere & Papich 2009).
Menurut Adams (2001), absorpsi aminoglikosida lebih baik melalui
parenteral sehingga absorpsi terjadi sangat cepat dan tuntas. Distribusi
aminoglikosida terjadi dalam waktu 1 jam setelah injeksi. Polykationik dari
antibiotika ini menyebabkan penetrasi aminoglikosida melalui membran barier
dengan cara difusi sederhana sangat terbatas sehingga konsentrasi
aminoglikosida yang ditemukan di cairan sekresi sangat sedikit. Rute ekskresi
utama dari aminoglikosida adalah melalui ginjal.
6

2.3.3 Tetrasiklin
Menurut Mutschler (1991), tetrasiklin merupakan golongan antibiotika
berspektrum luas yang bekerja pada semua mikroba yang peka terhadap
penisilin, bakteri gram negatif, mikoplasma, leptospira, rikettsia, dan amoeba.
Obat ini sering digunakan untuk mengatasi Bruselosis di peternakan sapi perah.
Menurut Karlina et al. (2009), dalam plasma darah semua jenis tetrasiklin terikat
oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi. Tetrasiklin mampu
berpenestrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh dengan cukup baik.
Golongan tetrasiklin dapat menembus membran barier dan terdapat dalam susu
dalam kadar yang relatif tinggi. Selain melalui susu, antibiotika ini diekskresikan
melalui empedu dan urin.

2.3.4 Makrolida

Makrolida merupakan golongan antibiotika yang efektif melawan hampir


semua bakteri gram positif. Jenis antibiotika yang termasuk dalam golongan ini
antara lain eritromisin, tilmikosin, tylosin, dan spiramisin. Eritromisin merupakan
obat pilihan untuk pneumonia akibat mikoplasma (Mutschler 1991).
Menurut Plumb dan Pharm (1999), makrolida diabsorpsi di usus halus
setelah administrasi melalui oral. Beberapa faktor dapat mempengaruhi
bioavailabilitas makrolida antara lain dosis, keasaman gastrointestinal, makanan
dalam lambung, dan waktu kosong lambung. Makrolida peka terhadap degradasi
asam, sedangkan absorpsi sangat lambat melalui intramuscular atau subkutan
pada sapi. Bioavailabilitas makrolida hanya sekitar 40% melalui subkutan dan
65% melalui intramuscular. Makrolida didistribusikan ke seluruh tubuh terutama
melalui cairan dan jaringan. Makrolida diekskresikan terutama melalui empedu.
Namun, level makrolida sekitar 50% dapat ditemukan dalam susu.

2.4 Residu Antibiotika dalam Susu


Residu antibiotika adalah senyawa asal dan/atau metabolitnya yang
terdapat dalam jaringan produk hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya
dari antibiotika tersebut. Residu dalam bahan pangan meliputi senyawa asal
yang tidak berubah, metabolit dan/atau konjugat lain. Beberapa metabolit obat
diketahui bersifat kurang atau tidak toksik dibandingkan dengan senyawa
asalnya, namun beberapa metabolit bersifat lebih toksik (Lukman 2010).
7

Menurut Rahayu (2010), senyawa yang dimasukkan ke dalam tubuh, akan


mengalami berbagai proses yang terdiri dari penyerapan (absorbsi), distribusi,
metabolisme (biotransformasi), dan eliminasi. Kecepatan proses biologik tersebut
tergantung kepada jenis, bentuk senyawa, cara masuknya, dan metabolisme dari
senyawa tersebut. Penyerapan terjadi di dalam saluran pencernaan yang
sebagian besar dilakukan oleh usus apabila bahan tersebut dimasukkan melalui
mulut. Senyawa yang berbentuk asli maupun metabolitnya akan dibawa oleh
darah dan akan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh setelah terjadi
penyerapan. Metabolisme akan terjadi di dalam organ-organ tubuh yang
berfungsi untuk hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang mampu
melakukannya. Eliminasi akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal,
dalam bentuk kemih dan lewat usus dalam bentuk tinja.
Senyawa-senyawa dalam bentuk murni maupun metabolitnya akan
tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu tertentu tergantung pada
waktu paruh senyawa tersebut atau metabolitnya. Pada kondisi ternak yang
sehat kecepatan eliminasi akan jauh lebih cepat daripada ternak sakit. Dalam
keadaan tubuh lemah atau terdapat gangguan metabolisme, maka eliminasi obat
akan terganggu. Timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam tubuh akan
terjadi apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam waktu yang lama,
itulah yang disebut dengan residu (Rahayu 2010).
Ambing kaya akan suplai darah terutama dari a. externa pudenda,
a. subcutanea abdominis, dan a. perinealis. Rasio volume sirkulasi darah melalui
kelenjar susu terhadap volume produksi susu adalah 670:1. Hal ini menunjukkan
adanya oportunitas dari obat-obatan yang larut dalam lemak yang secara difusa
pasif melalui sirkulasi darah masuk ke dalam susu. Masuknya agen antimikroba
ke dalam susu segar tergantung dari pengaruh kimia alami, derajat ionisasi,
solubilitas lipid dan tingkat plasma protein binding pada konsentrasi equilibrium
yang berhasil menembus barier seluler. Agen antimikroba yang memiliki lipid-
soluble, asam atau basa lemah yang tidak terionisasi dan bebas (tidak berikatan
dengan protein) dalam plasma mampu melakukan penetrasi ke dalam membran
sel, masuk ke dalam susu, dan berdifusi ke dalam cairan transelular
(Giguere et al 2006).
Menurut Bishop (2005), penggunaan produk obat-obatan dalam menangani
berbagai permasalahan kesehatan di peternakan dapat menyebabkan terjadinya
residu dalam susu dan mempengaruhi kualitas susu tersebut. Kehadiran
8

substansi antimikrobial dalam susu seperti residu antibiotika dapat


mengakibatkan masalah kesehatan yang serius. Hadirnya residu antibiotika
dalam susu dapat diakibatkan oleh tidak diperhatikannya withdrawal time
antibiotika tersebut. Withdrawal time dari golongan penisilin, makrolida,
tetrasiklin, dan aminoglikosida disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Withdrawal time beberapa jenis antibiotika

No. Jenis antibiotika Withdrawal time

1. Penisilin G 96 jam
2. Eritromisin 36 jam
3. Tetrasiklin 72 jam
4. Streptomisin 48 jam
Sumber: Bishop (2005).

2.5 Dampak Residu Antibiotika pada Konsumen


Residu antibiotika dalam makanan dan penggunaannya dalam bidang
kedokteran hewan berkaitan dengan aspek kesehatan, aspek teknologi, dan
aspek lingkungan. Ancaman potensial residu antibiotika dalam makanan
terhadap kesehatan secara umum dibagi menjadi tiga kategori, yaitu aspek
toksikologis, aspek mikrobiologis, dan aspek imunopatologis. Residu antibiotika
bersifat toksik terhadap hati, ginjal, dan pusat hemopoitika (pembentukan darah)
bila ditinjau dari aspek toksikologis, sedangkan dari aspek mikrobiologis, residu
antibiotika dapat mengganggu mikroflora dalam saluran pencernaan dan
menyebabkan terjadinya resistensi mikroorganisme yang dapat menimbulkan
masalah kesehatan manusia dan hewan. Bahaya potensial residu antibiotika dari
aspek imunopatologis dapat menimbulkan reaksi alergi yang ringan dan lokal,
hingga menyebabkan shock yang berakibat fatal. Dampak negatif keberadaan
residu antibiotika dalam bahan pangan dari aspek teknologi pengolahan dapat
menghambat atau menggagalkan proses fermentasi yang menggunakan mikroba
dalam pengolahannya (Lukman 2010). Oleh sebab itu perlu dilakukan
pengawasan untuk mencegah keberadaan residu antibiotika dalam susu dengan
menetapkan batas maksimum residu antibiotika dalam susu sebagaimana
dituangkan dalam SNI 01-6366-2000 (Tabel 3).
9

Tabel 3 Batas maksimum residu antibiotika dalam susu (mg/kg)

Jenis antibiotika Batas maksimum residu (mg/kg)

Penisilin 0,1
Oksitetrasiklin 0,05
Streptomisin 0,1
Eritromisin 0,1
Sumber: BSN (2000).

2.6 Metode Pengujian Residu Antibiotika


Metode pengujian residu antibiotika dapat berupa uji cepat, uji tapis
(screening test) atau uji konfirmasi. Begitu banyak jenis uji yang ada, namun
tidak ada satu pun uji yang paling baik untuk dilakukan pada semua produk
(Wehr & Frank 2004).

2.6.1 Uji Cepat


Menurut Wehr dan Frank (2004), uji cepat merupakan metode pengujian
residu antibiotika yang tidak memakan waktu banyak dan mudah
penggunaannya. Pengujian dengan menggunakan uji cepat digunakan sangat
luas hampir di seluruh dunia dalam bentuk test kits. Test kits ini memudahkan
pengujian residu antibiotika dalam susu saat pengambilan atau penerimaan di
pabrik susu. Uji cepat mampu menguji golongan maupun jenis dari antibiotika
tertentu. Namun uji cepat hanya dapat menguji residu antibiotika secara kualitatif.
Beberapa jenis uji cepat yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan residu
antibiotika dalam susu antara lain adalah milkguard beta lactams rapid test kit,
chloramphenicol rapid test kit, milk test kit, milk antibiotic analysis test kit,
beta star, dan lain-lain.

2.6.2 Uji Tapis dengan Bioassay


Metode uji tapis pada umumnya merupakan uji kualitatif atau
semikuantitatif. Uji ini didesain agar dapat memberikan hasil positif atau negatif
yang mengindikasikan hadir atau tidaknya residu antibiotika dalam susu atau
produk peternakan lainnya. Uji tapis ini tidak dapat mengidentifikasi secara
spesifik residu antibiotika yang ada dalam sampel. Uji ini berfungsi untuk
mengidentifikasi kehadiran residu antibiotika dengan cepat, mudah digunakan,
10

dan relatif tidak mahal. Salah satu metode uji tapis yang umum digunakan untuk
mendeteksi residu antibiotika pada pangan, termasuk susu adalah bioassay.
Bioassay merupakan suatu pengujian yang menggunakan mikroorganisme
untuk mendeteksi senyawa antibiotika yang masih aktif (BSN 2008). Menurut
Eenennaam et al. (1993), sensitifisitas dari metode bioassay dapat ditunjukkan
dengan konsentrasi minimum residu antibiotika yang bisa dideteksi. Limit deteksi
bioassay terhadap golongan beta laktam adalah 0.00125 ppm. Nilai ini
menunjukkan bahwa pengujian residu beta laktam dalam bahan pangan asal
hewan bisa terdeteksi hingga 0.00125 ppm. Limit deteksi bioassay terhadap
golongan tetrasiklin adalah 0.03 ppm. Nilai ini menunjukkan bahwa pengujian
residu tetrasiklin dalam bahan pangan asal hewan bisa terdeteksi hingga
0.03 ppm. Limit deteksi bioassay terhadap golongan aminoglikosida dan
makrolida adalah 0.1 ppm. Nilai ini menunjukkan bahwa pengujian residu beta
laktam dalam bahan pangan asal hewan bisa terdeteksi hingga 0.1 ppm. Limit
deteksi ini masih di bawah batas maksimum residu yang telah ditetapkan oleh
SNI nomor 01-6366-2000. Hal ini menunjukkan bahwa metode bioassay dapat
diandalkan untuk mendeteksi residu antibiotika dari golongan beta laktam,
tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida.
Menurut Eenennaam et al. (1993), spesifisitas dari metode bioassay dapat
ditunjukkan dari tipe golongan antibiotika yang dapat dideteksi dengan melihat
hambatan pertumbuhan bakteri. Bakteri tersebut adalah Bacillus
stearothermophilus ATCC 7953 untuk golongan beta laktam, Bacillus cereus
ATCC 11778 untuk golongan tetrasiklin, Bacillus subtilis ATCC 6633 untuk
golongan aminoglikosida, dan Kocuria rizophila ATCC 9341 untuk golongan
makrolida. Bakteri-bakteri ini digunakan karena kemampuannya untuk melakukan
pertumbuhan yang cepat pada suhu optimum sehingga memungkinkan untuk
memperoleh hasil analisis dalam waktu beberapa jam saja. Sporanya dapat
disimpan dalam waktu cukup lama sehingga dapat digunakan sewaktu-waktu
(Pikkemat et al. 2009).
Prinsip dari uji ini adalah adanya daya hambatan pertumbuhan bakteri oleh
antibiotika yang terkandung dalam produk peternakan menunjukkan positif ada
residu. Sebaliknya, jika tidak ada daya hambatan pertumbuhan bakteri oleh
antibiotika maka produk peternakan dinyatakan tidak mengandung residu
antibiotika atau negatif residu (Zulfianti 2005).
11

2.6.3 Enzyme Linked Immunosorbent Assay


Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu
metode yang sangat banyak digunakan pada beberapa tahun terakhir. Metode
ELISA dapat digunakan untuk menguji puluhan sampel dalam sekali pengujian
dengan waktu yang singkat. Hingga saat ini, ELISA telah menjadi metode yang
popular untuk mendeteksi residu antibiotika dan residu pestisida dalam pangan
asal hewan karena memiliki sensitivitas yang tinggi, sederhana, dan kemampuan
untuk menguji banyak sampel hanya dengan volume yang sedikit
(Wang et al 2009).

2.6.4 High Performance Liquid Chromatographic


High performance liquid chromatographic (HPLC) merupakan metode yang
sangat membantu dalam konfirmasi keberadaan residu antibiotika dalam pangan
asal hewan. Metode HPLC untuk pengujian residu antibiotika didasarkan pada
reversed-phase chromatography dan multisignal UV-visiblediode-array detection
(UV-DAD). Spektrum UV berperan sebagai alat identifikasi tambahan
(Husgen & Schuster 2001). Metode HPLC mampu mengkonfirmasi kehadiran
dan identifikasi antibiotika dalam susu. Umumnya, analisis HPLC digunakan
untuk membantu identifikasi residu yang positif pada uji cepat atau uji tapis.
Informasi tambahan ini dapat membantu dalam pencegahan insidensi yang sama
di masa mendatang (Wehr & Frank 2004).
BAB III
BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2009.
Pengambilan sampel susu dilakukan di beberapa daerah di wilayah Jawa Barat
yaitu Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung,
Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Cianjur. Pengujian sampel dilakukan di Balai
Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP), jalan Pemuda no. 29A Kotamadya
Bogor, Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, tabung reaksi,
tabung sentrifus, labu ukur, gelas ukur, erlenmeyer, botol timbang, pipet
volumetric, pipet graduasi, botol media, pengocok tabung, sentrifus, penangas
air, lemari steril, homogenizer, autoklaf, lemari pendingin, freezer, timbangan
analitik, inkubator, magnet pengaduk, pH meter, pipet mikro, jangka sorong,
burner, ose, pinset, dan gunting. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah
susu segar, media agar (yeast ekstract, peptone, bacto agar, dextrose, beef
extract, glucose), media cair heart infusion broth, larutan buffer (KH2PO4,
Na2HPO4, H3PO4, NaOH, K2HPO4, HCl, NaCl), mikroorganisme (spora
Bacillus stearothermophilus ATCC 7953, spora Bacillus cereus ATCC 11778,
spora Bacillus subtillis ATCC 6633, vegetatif Kocuria rizophila ATCC 9341),
larutan baku pembanding (natrium penisilin, oksitetrasiklin hidroklorida,
kanamisin sulfat, tilosin-tartrat), dan kertas cakram.

3.3 Metode Penelitian


Metode pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode uji
tapis (screening test) residu antibiotika pada susu secara bioassay yang
mengacu pada SNI No. 7424:2008.

3.3.1 Pengambilan dan Persiapan Sampel


Sampel yang diuji adalah susu segar berupa sampel kandang yang
diperoleh dari beberapa peternakan sapi perah di wilayah Jawa Barat
(Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung,
13

Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Cianjur). Lima sampel diambil dari masing-
masing kabupaten kemudian dibawa ke laboratorium dalam cooling box.

3.3.2 Persiapan Uji dan Pengujian Sampel


Pemeriksaan residu antibiotika dalam susu dilakukan dengan metode uji
tapis secara bioassay yang ditujukan terhadap empat golongan antibiotika, yaitu
tetrasiklin, makrolida, aminoglikosida, dan penisilin. Secara umum, tahapan
pengujian residu antibiotika dalam susu dengan metode ini yaitu sampel susu
yang telah dihomogenisasi diteteskan pada kertas cakram lalu kertas cakram
tersebut ditempelkan di atas permukaan media agar yang telah dicampur dengan
biakan bakteri uji dan diinkubasikan pada suhu tertentu (tergantung jenis
antibiotika yang akan diuji) selama 16-18 jam. Contoh susu dinyatakan positif
mengandung residu antibiotika bila terbentuk zona hambatan di sekitar kertas
cakram.

3.3.2.4 Persiapan Uji


3.3.2.1.1 Analisa Residu Golongan Penisilin
Persiapan Media Agar
Sebanyak 5 gram peptone, 12 gram yeast extract, 15-18 gram bacto agar,
dan 1 gram dextrose dilarutkan dalam 1000 ml aquadest (pH 5.7 ± 0.1), didihkan,
dan disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 15 psi selama
15 menit.

Persiapan Kultur Media


Bakteri Bacillus stearothermophillus ATCC 7953 diinokulasikan ke dalam
agar miring dan diinkubasi pada suhu 55 oC selama 1 minggu. Bakteri yang telah
ditumbuhkan tersebut dipanen dan dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis
steril 20 ml sebanyak 4 tabung. Larutan tersebut dipanaskan dalam penangas air
pada suhu 65 oC selama 30 menit. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 10 menit dan supernatan dibuang. Kemudian, ditambahkan
larutan NaCl fisiologis steril secukupnya lalu dikocok. Selanjutnya, dimasukkan
ke dalam refrigerator dengan suhu 4 oC selama 18-24 jam. Larutan tersebut
dipanaskan kembali dalam penangas air pada suhu 65 oC selama 30 menit.
Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan
14

diambil supernatannya. Hasilnya disimpan dalam refrigerator sebagai suspensi


spora.

3.3.2.1.2 Analisa Residu Golongan Aminoglikosida


Persiapan Media Agar
Sebanyak 5 gram peptone, 3 gram beef extract, 18 gram bacto agar,
dilarutkan dalam 1000 ml aquadest (pH 8.5 ± 0.1), didihkan, dan disterilisasi
dengan otoklaf pada suhu 121 oC dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.

Persiapan Kultur Media


Bakteri Bacillus subtillis ATCC 6633 diinokulasikan ke dalam agar miring
o
dan diinkubasi pada suhu 36 C selama 1 minggu. Bakteri yang telah
ditumbuhkan tersebut dipanen dan dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis
steril 20 ml sebanyak 4 tabung. Larutan tersebut dipanaskan dalam penangas air
pada suhu 65 oC selama 30 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 10 menit dan supernatan dibuang. Kemudian ditambahkan
larutan NaCl fisiologis steril secukupnya lalu dikocok. Selanjutnya, dimasukkan
ke dalam refrigerator dengan suhu 4-8 oC selama 18-24 jam. Larutan tersebut
dipanaskan kembali dalam penangas air pada suhu 65oC selama 30 menit.
Kemudian, disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan
diambil supernatannya. Hasilnya disimpan dalam refrigerator sebagai spora.

3.3.2.1.3 Analisa Residu Golongan Tetrasiklin


Persiapan Media Agar
Sebanyak 6 gram peptone, 1.5 gram beef extract, 3 gram yeast extract,
15-18 gram bacto agar, dan 1.35 gram KH2PO4 dilarutkan dalam 1000 ml
aquadest (pH 5.7 ± 0.1), didihkan, dan disterilisasi dengan otoklaf pada suhu
121 oC dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.

Persiapan Kultur Media


Bakteri Bacillus cereus ATCC 11778 diinokulasikan ke dalam agar miring
dan diinkubasi pada suhu 30 oC selama 1 minggu. Kemudian bakteri yang telah
ditumbuhkan tersebut dipanen dan dimasukkan ke dalam larutan NaCl fisiologis
steril 20 ml sebanyak 4 tabung. Larutan tersebut dipanaskan dalam penangas air
pada suhu 65 oC selama 30 menit, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan
15

3000 rpm selama 10 menit dan supernatan dibuang. Kemudian ditambahkan


larutan NaCl fisiologis steril secukupnya lalu dikocok. Selanjutnya, dimasukkan
ke dalam refrigerator dengan suhu 4-8 oC selama 18-24 jam. Larutan tersebut
dipanaskan kembali dalam penangas air pada suhu 65 oC selama 30 menit,
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 5 menit dan diambil
supernatannya. Hasilnya disimpan dalam refrigerator sebagai spora.

3.3.2.1.4 Analisa Residu Golongan Makrolida


Persiapan Media Agar
Sebanyak 6 gram peptone, 1.5 gram beef extract, 3 gram yeast extract,
1 gram glucose, dan 15-18 gram bacto agar dilarutkan dalam 1000 ml aquadest
(pH 8.5 ± 0.1), didihkan, dan disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 oC
dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.

Persiapan Kultur Media


Bakteri Kocuria rizophillia ATCC 9341 diinokulasikan ke dalam agar miring
dan diinkubasi pada suhu 18-24 jam. Sebanyak 1 ose kuman biakan
Kocuria rizophillia ATCC 9341 diambil, kemudian dimasukkan ke dalam 10 ml
media Heart Infusion Broth (HIB). Kemudian diinkubasikan selama 18-24 jam
dalam inkubator dengan suhu 36 oC. Kuman siap digunakan untuk pengujian.

3.3.2.5 Persiapan Larutan Dapar


Sebanyak 6 gram KH2PO4 dan 18.9 gram Na2HPO4 dilarutkan dalam
1000 ml aquadest lalu larutan disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 oC
dengan tekanan 15 psi selama 15 menit.

3.3.2.6 Persiapan Larutan Baku


Penisilin
Pengenceran larutan baku dibuat dengan larutan dapar hingga konsentrasi
0,01 IU/ml.
16

Larutan baku konsentrasi 1000 IU/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar


Konsentrasi menjadi 100 IU/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar


Konsentrasi menjadi 10 IU/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar


Konsentrasi menjadi 1 IU/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar


Konsentrasi menjadi 0,1 IU/ml

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar


Konsentrasi menjadi 0.01 IU/ml (sebagai larutan standar)

Tetrasiklin (Oksitetrasiklin), Aminoglikosida (Kanamisin), dan Makrolida


(Tilosin)

Pengenceran larutan baku dibuat dengan larutan dapar hingga konsentrasi


1.0 g/ml.
Larutan baku konsentrasi 1000 g/ml.

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar


Konsentrasi menjadi 100 g/ml.

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar


Konsentrasi menjadi 10 g/ml.

Diambil 2 ml + 18 ml larutan dapar


Konsentrasi menjadi 1.0 g/ml (sebagai larutan standar)

3.3.2.4 Cara Pengujian Sampel Susu


Kultur media disiapkan untuk masing-masing golongan antibiotika. Tiap
cawan petri berisi lima lembar kertas cakram, yang terdiri dari tiga kertas cakram
masing-masing ditetesi 75 µl sampel yang akan dianalisa, satu kertas yang
ditetesi 75 µl dari larutan baku pembanding sebagai kontrol positif, dan satu
kertas yang ditetesi larutan dapar fosfat sebagai kontrol negatif (Gambar 1).
Kertas cakram tersebut diletakkan di atas permukaan kultur media. Cawan petri
ditutup dan diinkubasi pada suhu yang berbeda tergantung golongan antibiotika.
Kultur media untuk golongan tetrasiklin diinkubasi pada suhu 30 oC ± 1, golongan
o
penisilin pada suhu 55 C ± 1, sedangkan golongan makrolida dan
aminoglikosida pada suhu 36 oC ± 1, masing-masing selama 16-18 jam. Untuk
17

mendapatkan data yang akurat maka pengujian sampel dilakukan dengan tiga
kali pengulangan sehingga setiap jenis golongan antibiotika menggunakan tiga
cawan petri.
Hasil uji ditentukan dengan mengamati dan mengukur diameter zona
hambatan yang terbentuk di sekeliling kertas cakram menggunakan jangka
sorong. Apabila di sekitar kertas cakram terdapat zona hambatan maka susu
yang diperiksa dinyatakan positif mengandung antibiotika, namun apabila di
sekitar kertas cakram tidak terdapat zona hambatan maka susu yang diperiksa
dinyatakan negatif mengandung residu antibiotika. Konsentrasi antibiotika yang
berada dalam sampel dapat ditentukan secara semi kuantitatif. Semakin luas
zona hambatan di sekitar kertas indikator maka semakin tinggi konsentrasi residu
antibiotika dalam sampel. Berikut adalah salah satu gambar hasil pengujian
residu antibiotika pada sampel (Gambar 1).

4
Gambar 1 Contoh hasil uji residu antibiotika menggunakan metode bioassay.
Sampel 1 (1), sampel 2 (2), sampel 3 (3), kontrol positif (4), dan
kontrol negatif (5)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Masyarakat yang sehat dan produktif dapat terwujud melalui perlindungan


dan jaminan keamanan produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal
(ASUH). Salah satu upaya yang harus dilakukan untuk menjamin keamanan
pangan dapat dilakukan melalui pengawasan higiene dan sanitasi serta
pengendalian residu antibiotika dalam susu segar. Implementasi Good Farming
Practices (GFM) dan pengawasan keamanan susu segar melalui pengujian
residu antibiotika diharapkan dapat menurunkan kejadian residu antibiotika
dalam susu.
Antibiotika yang digunakan pada peternakan sapi perah beresiko menjadi
penyebab terjadinya residu antibiotika (Pikkemaat et al. 2009). Diperlukan
perhatian khusus pada pengobatan dengan antibiotika selama sapi laktasi untuk
meminimalkan resiko antibiotika memasuki rantai makanan. Salah satu cara
untuk memonitoring adanya antibiotika dalam produk pangan termasuk susu
segar adalah dengan melakukan uji residu antibiotika pada susu segar secara
rutin.
Saat ini terdapat banyak jenis uji yang akurat untuk mendeteksi residu
antibiotika dalam susu. Menurut Eenennaam et al. (1993), peternak sapi perah
sebaiknya membuat program pencegahan residu antibiotika dengan melakukan
uji tapis terhadap keberadaan residu antibiotika dalam susu. Harapannya,
dengan program ini mampu menurunkan kejadian residu antibiotika dalam
pangan asal hewan. Dalam menjalankan program monitoring yang efektif
diperlukan metode analisis spesifik, sensitif, dan dapat diandalkan yang dapat
mendeteksi residu antibiotika.
Pada penelitian ini, pengujian residu antibiotika pada sampel susu segar
dilakukan dengan menggunakan metode bioassay berdasarkan golongan
antibiotika yaitu beta laktam (penisilin), aminoglikosida, tetrasiklin, dan makrolida.

4.1 Residu Penisilin dalam Susu


Pada penelitian ini, susu segar yang diambil secara acak pada beberapa
kabupaten di wilayah Jawa Barat diuji untuk mengetahui keberadaan residu
penisilin. Hasil pengujian residu penisilin dari 25 sampel susu segar disajikan
pada Tabel 4.
19

Tabel 4 Hasil uji residu penisilin

Hasil pengujian residu penisilin


No. Asal sampel
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5

1 Bandung negatif negatif negatif negatif negatif

2 Bogor negatif negatif negatif negatif negatif

3 Cianjur negatif negatif negatif negatif negatif

4 Sumedang negatif negatif negatif negatif negatif

5 Tasikmalaya negatif negatif negatif negatif negatif

Berdasarkan hasil pengujian, tidak ditemukan residu penisilin dari


25 sampel susu yang diambil dari daerah Bandung, Sumedang, Bogor, Cianjur,
dan Tasikmalaya. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya zona hambatan
pada media agar pada uji bioassay. Menurut Eenennaam et al. (1993),
spesifisitas dari metode bioassay dapat ditunjukkan dari tipe golongan antibiotika
yang dapat dideteksi dengan melihat hambatan pertumbuhan bakteri (Bacillus
stearothermophilus untuk golongan beta laktam) pada media agar. Limit deteksi
bioassay terhadap golongan beta laktam adalah 0.00125 ppm. Limit deteksi ini
masih di bawah batas maksimum residu yang telah ditetapkan oleh SNI nomor
01-6366-2000 tentang batas cemaran dan residu antibiotika (0.1 ppm). Hal ini
menunjukkan bahwa metode bioassay dapat diandalkan untuk mendeteksi residu
antibiotika dari golongan beta laktam, khususnya grup penisilin.
Menurut Admin (2007), dalam keadaan normal penisilin didistribusikan
dengan cepat dari plasma ke dalam jaringan tubuh. Persentase volume disribusi
(apparent volume distribution, AVD) sebesar 50% memperlihatkan cepat dan
mudahnya didistribusi penisilin ke dalam jaringan, begitu pula dengan proses
ekskresinya. Melalui ginjal, penisilin diekskresikan dengan cepat yaitu mencapai
60-80% dari obat yang dimasukkan, sedangkan ekskresi lewat kelenjar susu
hanya mencapai 16% dari yang ada di dalam plasma. Hal ini menunjukkan
bahwa penisilin lebih banyak dieliminasi dari tubuh melalui ginjal daripada melalui
susu.
Withdrawal time (waktu henti obat) penisilin dari susu adalah 96 jam
(Bishop 2005). Waktu henti obat penisilin ini menjadi acuan bagi peternak untuk
20

memerah susu. Dengan memperhatikan masa henti obat penisilin dapat


menghindari residu penisilin dalam susu segar.

4.2 Residu Aminoglikosida dalam Susu


Pada penelitian ini, susu segar yang diambil secara acak pada beberapa
kabupaten di wilayah Jawa Barat diuji terhadap residu aminoglikosida. Hasil
pengujian residu aminoglikosida dari 25 sampel susu segar disajikan pada
Tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji residu aminoglikosida

Hasil pengujian residu aminoglikosida


No. Asal sampel
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5

1 Bandung negatif negatif negatif negatif negatif

2 Bogor negatif negatif negatif negatif negatif

3 Cianjur negatif negatif negatif negatif negatif

4 Sumedang negatif negatif negatif negatif negatif

5 Tasikmalaya negatif negatif negatif negatif negatif

Tidak ditemukan adanya residu aminoglikosida dari 25 sampel susu segar


di wilayah Jawa Barat (Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten
Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Tasikmalaya) yang diuji dengan
menggunakan bioassay. Hal ini ditunjukkan dengan tidak terbentuknya hambatan
pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis pada media agar yang digunakan pada
metode ini untuk golongan aminoglikosida. Limit deteksi bioassay terhadap
golongan aminoglikosida adalah 0.1 ppm sedangkan batas maksimum residu
aminoglikosida adalah 0.1 ppm. Limit deteksi ini masih setara dengan batas
maksimum residu aminoglikosida yang diperbolehkan di Indonesia. Hal ini
menunjukkan metode bioassay dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan
residu antibiotika golongan aminoglikosida pada susu segar.
Aminoglikosida merupakan golongan antibiotika yang efektif melawan
bakteri gram negatif. Antibiotika yang termasuk dalam golongan ini antara lain
streptomisin, neomisin, kelompok kanamisin-gentamisin, dan spektinomisin.
Streptomisin merupakan obat pilihan pertama untuk menangani kasus
21

tuberculosis. Namun, aminoglikosida memiliki potensi toksik dan residu pada


pangan asal hewan (Riviere 2009).

4.3 Residu Tetrasiklin dalam Susu


Pada penelitian ini, susu segar yang diambil secara acak pada beberapa
kabupaten di wilayah Jawa Barat diuji terhadap residu tetrasiklin. Hasil pengujian
residu tetrasiklin terhadap 25 sampel susu segar disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji residu tetrasiklin

Hasil pengujian residu tetrasiklin


No. Asal sampel
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5

1 Bandung negatif negatif negatif negatif negatif

2 Bogor negatif negatif negatif negatif negatif

3 Cianjur negatif negatif negatif negatif negatif

4 Sumedang negatif negatif negatif negatif negatif

5 Tasikmalaya negatif negatif negatif negatif negatif

Hasil pengujian sampel pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak


ditemukan residu tetrasiklin dari 25 sampel susu yang diambil dari Kabupaten
Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan
Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona
hambatan pertumbuhan bakteri Bacillus cereus pada media agar. Limit deteksi
bioassay terhadap golongan tetrasiklin adalah 0.03 ppm. Limit deteksi ini masih
di bawah batas maksimum residu yang telah ditetapkan oleh SNI nomor
01-6366-2000 tentang batas cemaran dan residu antibiotika (0.05 ppm). Hal ini
menunjukkan bahwa metode bioassay dapat digunakan untuk mendeteksi residu
antibiotika dari golongan tetrasiklin pada susu segar.

4.4 Residu Makrolida dalam Susu


Pada penelitian ini, susu segar yang diambil secara acak pada beberapa
kabupaten di wilayah Jawa Barat diuji terhadap residu makrolida. Hasil pengujian
residu makrolida dari 25 sampel susu segar disajikan pada Tabel 7.
22

Tabel 7 Hasil uji residu makrolida

Hasil pengujian residu makrolida


No. Asal sampel
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5

1 Bandung negatif negatif negatif negatif negatif

2 Bogor negatif negatif negatif negatif negatif

3 Cianjur negatif negatif negatif negatif negatif

4 Sumedang negatif negatif negatif negatif negatif

5 Tasikmalaya negatif negatif negatif negatif negatif

Tidak ditemukan adanya residu aminoglikosida dari 25 sampel susu segar


di wilayah Jawa Barat (Bandung, Sumedang, Bogor, Cianjur, dan Tasikmalaya)
pada penelitian dengan menggunakan uji bioassay. Hal ini ditunjukkan dengan
tidak terbentuknya hambatan pertumbuhan bakteri Kocuria rizophila pada media
agar yang digunakan pada metode ini untuk golongan makrolida. Limit deteksi
bioassay terhadap golongan makrolida adalah 0.1 ppm sedangkan batas
maksimum residu makrolida adalah 0.1 ppm. Limit deteksi ini masih setara
dengan batas maksimum residu makrolida yang diperbolehkan di Indonesia. Hal
ini menunjukkan metode bioassay dapat digunakan untuk mendeteksi
keberadaan residu antibiotika golongan makrolida pada susu segar.
Makrolida merupakan golongan antibiotika yang efektif melawan hampir
semua bakteri gram positif. Jenis antibiotika yang termasuk dalam golongan ini
adalah eritromisin, tilmikosin, tylosin, dan spiramisin. Eritromisin merupakan obat
pilihan untuk pneumonia akibat mikoplasma (Mutschler 1991).
Menurut Mamani (2009), metode uji tapis (screening test) ini hanya dapat
mengetahui ada atau tidaknya kandungan residu antibiotika berdasarkan
golongan antibiotikanya. Meskipun demikian, bioassay merupakan metode yang
sangat berguna untuk screening awal sejumlah besar sampel. Batas bawah limit
deteksi bioassay masih di bawah atau setara dengan batas maksimum residu
yang ditetapkan SNI nomor 01-6366-2000 untuk golongan penisilin, tetrasiklin,
aminoglikosida, dan makrolida.
Hasil penelitian ini mengindikasikan tidak ada kejadian residu antibiotika
dalam 25 sampel susu yang diambil dari Kabupaten Bandung, Kabupaten
Sumedang, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Tasikmalaya.
23

Tidak ditemukannya residu antibiotika dari golongan penisilin, aminoglikosida,


tetrasiklin, dan makrolida pada seluruh sampel yang diuji kemungkinan
disebabkan oleh penggunaan obat-obat ini secara tepat dengan memperhatikan
waktu henti obat. Susu yang diperah sebelum masa henti obat terakhir tidak
dicampur dan dijual bersama dengan susu dari sapi yang tidak dalam
pengobatan dengan antibiotika tersebut. Menurut Martaleni (2007), waktu henti
obat harus menjadi acuan bagi peternak untuk memerah susu. Dengan
memperhatikan waktu henti obat, keberadaan residu antibiotika dalam susu
segar dapat dihindari.
Kemungkinan lainnya adalah konsentrasi residu antibiotika pada sampel
berada di bawah limit deteksi uji, yaitu kurang dari 0.00125 ppm untuk penisilin,
0.03 ppm untuk tetrasiklin, dan 0.1 ppm untuk aminoglikosida dan makrolida,
sehingga tidak ditemukan residu antibiotika pada sampel dalam penelitian ini.
Meskipun demikian, terkait dengan SNI No. 01-6366-2000 tentang batas
maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan
asal hewan. Pemerintah menetapkan batas maksimum residu antibiotika dalam
pangan asal hewan khususnya susu dengan batas maksimum residu untuk
penisilin, aminoglikosida, tetrasiklin, dan makrolida berturut-turut yaitu 0.1 ppm,
0.1 ppm, 0.05 ppm, dan 0.1 ppm. Pada pengujian ini, limit deteksi masih dibawah
atau setara dengan batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan pemerintah.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh balai
pengujian mutu produk peternakan (BPMPP) tahun 2010. Lembaga ini
melaporkan bahwa prevalensi antibiotika di wilayah Jawa Barat cukup tinggi,
terutama di Bogor yaitu 3.06% untuk penisilin, 28.57% untuk makrolida, 2.55%
untuk aminoglikosida, dan 47.45% untuk tetrasiklin. Oleh sebab itu, monitoring
terhadap penggunaan obat hewan di peternakan dan penggunaan tes atau
kombinasi tes dengan sensitivitas tinggi maupun spesifisitas tinggi sangat
diperlukan. Perbedaan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dengan hasil
surveilan yang dilakukan oleh BPMPP dapat disebabkan oleh banyak faktor
diantaranya karena tujuan penelitian yang dilakukan berbeda sehingga metode
penarikan contohnya (sampling method) juga berbeda. Pada penelitian ini hanya
melihat gambaran keberadaan residu antibiotika dalam susu segar di Provinsi
Jawa Barat. Sedangkan tujuan penelitian yang dilakukan oleh BPMPP tahun
2010 adalah melakukan surveilan residu antibiotika di Provinsi Jawa Barat.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
1. Tidak ditemukan adanya residu antibiotika dari golongan beta laktam,
makrolida, tetrasiklin, dan aminoglikosida dalam sampel susu yang diperoleh
dari peternakan sapi perah di wilayah Jawa Barat.
2. Bioassay dapat digunakan sebagai uji tapis untuk mendeteksi residu
antibiotika dari golongan beta laktam, makrolida, tetrasiklin, dan
aminoglikosida pada susu segar.

5.2 Saran
1. Untuk mengetahui prevalensi residu antibiotika pada susu segar di wilayah
Jawa Barat maka perlu adanya perhitungan jumlah sampel yang sesuai
dengan hasil surveilan sebelumnya.
2. Perlu secara konsisten menerapkan good farming practices di peternakan
sapi perah untuk mencegah keberadaan residu antibiotika dalam susu segar.
25

DAFTAR PUSTAKA

Adams R, ed. 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-8. Lowa:


Lowa State University Press.

Admin. 2007. Penisilin dan penggunaannya dalam dunia veteriner.


http://www.vet-indo.com [18 Februari 2011].

Bayarski Y. 2006. Macrolide antibiotics uses, side effects, advantages and


aisadvantages. http://ezinearticles.com/?Macrolide-Antibiotics-Uses,-Side-
Effects,-Advantages-And-Disadvantages&id=395138 [24 Februari 2010].

Bishop MY, ed. 2005. The Veterinary Formula. Ed ke-6. Cambridge: Great Britain
University Press.

[BPMPP] Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan. 2010. Laporan hasil


pengujian residu antibiotika dalam produk peternakan tahun 2010. Bogor:
BPMPP.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI No. 01-6366-2000 tentang Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan
Makanan Asal Hewan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2008. SNI No. 7424:2008 tentang Metode
Uji Tapis (Screening Test) Residu Antibiotika pada Daging, Telur, dan Susu
secara Bioassay. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI No. 3141.1:2011 tentang Susu
Segar. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[Ditjenak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Peternakan Edisi 2006.


Jakarta: CV. Arena Seni.

Eenennaam ALV, Cullor JS, Peran VL, Gardner A, Smith WL, Dellinoer J,
Outerbocks WM. 1993. Evaluation of milk antibiotic residue screening tests
in cattle with naturally occurring clinical mastitis. Dairy Sci 76: 3041-3053.

Giguere S, Prescott JF, Baggot JD, Walker RD, Dawling PM. 2006. Antimicrobial
Therapy in Veterinary Medicine, 4th Ed. USA: Blackwell Publishing.

Gustiani E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal


ternak (daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan.
Litbang Pertanian 28(3): 96-100.

Hidayat A. 2010. Manajemen Kesehatan Pemerahan. Bandung: Dinas


Peternakan Jawa Barat.

Husgen G, Schuster R. 2001. HPLC for Food Analysis. Germany: Agilent


Technologies Company.
26

Jamarun N. 1988. Ternak Lingkungan. Padang: Departemen Pendidikan


Kebudayaan Pusat Penilitian Universitas Andalas.

Karlina, Siagian RI, Wijaya A. 2009. Farmakokinetika klinik tetrasiklin.


http://yosefw.wordpress.com/2009/03/19/farmakokinetika-klinik-tetrasiklin
[20 Februari 2011].

Katzung BG. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC : Jakarta.

Lastari P, Murad J. 1995. Residu antibiotika dalam air susu sapi dan peternakan
di Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran 103:15-18.

Lukman, DW. 2010. Residu antibiotika dalam pangan asal hewan.


http://Penelitian Kesehatan Masyarakat Veteriner/residu-antibiotik-dalam-
pangan-asal_16.html [16 Juli 2010].

Mamani MCV, Reyes FGR, Rath S. 2009. Multiresidue determination of


tetracyclines, sulphonamides and chloramphenicol in bovine milk using
HPLC-DAD. Food Chem117: 545-552.

Martaleni. 2007. Deteksi residu antibiotika pada karkas, organ, dan kaki ayam
pedaging yang diperoleh dari pasar tradisional Kabupaten Tanggerang
[Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Mutschler E. 1991. Dinamika Obat. Bandung: Penerbit ITB.

Olson J. 2003. Clinical Pharmacology Made Ridiculously Simple. Jakarta: EGC.

Parakkasi A, Effendi A.1992. Higiene dan Penyakit Ternak. Jakarta: Yayasan


Obor Indonesia.

Pikkemat MG, Rapallini MLBA, Dijk SOV, Elferink JWA. 2009. Comparison of
three microbial screening methods for antibiotics using routine monitoring
samples. Anal Chim Acta 637: 298-304.

Plumb DC, Pharm D. 1999. Veterinary Drug Handbook, Third Edition. Lowa:
Lowa State University Press.

Raharjo B. 2010. Jawa Barat pemasok susu terbesar nasional. Republika.


http://www.republika.co.id [26 Mei 2011].

Rahayu ID. 2010. Prinsip pengobatan pada ternak. http://imbang.staf.umm.ac.id


[3 Februari 2011].

Riviere JE, Papich MG. 2009. Veterinary Pharmacology and Therapeutics, Ninth
Edition. USA: Wiley Blackwell.

Sparringa RA. 2006. Direktori Keamanan Pangan Indonesia. Jakarta: Direktorat


SPKP, Deputi III, Badan POM RI.

Wang S, Xu B, Zhang Y, He JX. 2009. Development of enzyme-linked


immunosorbent assay (ELISA) for the detection of neomycin residues in pig
muscle, chicken muscle, egg, fish, milk and kidney. Meat Sci 82: 53-58.
27

Wehr M, Frank JF. 2004. Standard Methods for The Examination of Dairy
Products. Washington: American Public Health Association.

Wiryosuhanto. 1990. Tinjauan penggunaan antibiotika di Indonesia saat ini dan


yang akan datang. [Makalah] Di dalam: Seminar Nasional Penggunaan
Antibiotika dalam Bidang Kedokteran Hewan.

Zulfianti W. 2005. Penentuan kadar residu antibiotik dalam susu menggunakan


metode bioassay [skripsi]. Jakarta: Program Sarjana, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.

Anda mungkin juga menyukai