Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

Invaginasi Pos Colostomi


A. Pengertian
Invaginasi adalah suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam segmen lainnya,
yang pada umumnya berakibat dengan terjadinya obstruksi ataupun strangulasi. Invaginasi
sering disebut juga sebagai intussusepsi. Umumnya bagian yang proximal (intussuseptum)
masuk ke bagian distal (intususepien) (Syamsuhidayat, 2005).

Gambar 1. Intususepsi usus halus yang masuk ke usus besar (Mckee, jawetz 1996)

Insiden penyakit ini tidak diketahui secara pasti, masing-masing penulis mengajukan
jumlah penderita yang berbeda-beda. Kelainan ini umumnya ditemukan pada anak-anak
dibawah 1 tahun dan frekuensinya menurun dengan bertambahnya usia. Umumnya invaginasi
ditemukan lebih sering pada laki-laki dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan
3:2 (Sapan, 2007).

Insiden invaginasi pada bulan Maret – Juni, September – Oktober menunjukkan angka yang
tinggi. Hal ini mungkin berhubungan dengan musim kemarau dan musim penghujan dimana pada
musim-musim tersebut insiden infeksi saluran dan gastroenteritis meninggi. Sehingga banyak ahli
yang menganggap bahwa motilitas usus yang meningkat merupakan salah satu faktor penyebab
(Wood, 2012).

Invaginasi yang terjadi pada bayi prematur, sering menimbulkan salah diagnosa dengan
Necrotizing Entero Colitis (NEC), sehingga menyebabkan salah atau tertundanya didalam
penanganan intervensi bedah (Jeffrey,2003).
B. Etiologi
Invaginasi terbagi atas Idiopatik dan Kausatif:

1. Idiopatik: Pada kepustakaan 95% invaginasi pada anak umur 1 bulan sampai 3 tahun
sering tidak dijumpai penyebab yang jelas, sehingga digolongkan ”Infatil idiophatic
intususseption”. Pada saat operasi hanya ditemukan penebalan dari dinding ileum
terminal berupa hyperplasia jaringan follikel submukosa yang diduga sebagai infeksi
rotavirus. Penebalan ini merupakan titik awal (lead point) terjadinya invaginasi
(Stringer,1992).
2. Kausatif : Pada penderita invaginasi yang berumur lebih 2 tahun biasanya ditemukan
adanya kelainan usus sebagai penyebab terjadinya invaginasi, seperti: Inverted
Meckel’s Divertikulum, Hemangioma, Lymphoma, Duplikasi usus, Polip Usus
(Ravitch, 2007).

Ein’s dan Raffensperger (2003), pada pengamatannya mendapatkan “Specific leading


points” berupa eosinophilik, granuloma dari ileum, papillary lymphoid hyperplasia dari ileum
hemangioma dan perdarahan submukosa karena hemophilia atau Henoch’s purpura.
Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab invaginasi pada anak yang berusia diatas
6 tahun.

Invaginasi dapat juga terjadi setelah laparotomi yang biasanya timbul setelah dua minggu
pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus disebabkan manipulasi usus yang
kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal (Ravitch, 2007).

C. Jenis Invaginasi

Invaginasi dapat dibagi menurut lokasinya yaitu pada bagian usus mana yang terlibat
(Pickering, 2000):

1. Ileo-ileal, adalah bagian ileum masuk ke bagian ileum.

2. Ileo-colica, adalah bagian ileo-caecal masuk ke bagian kolon.

3. Ileo-caecal, adalah bagian ileo-caecal masuk ke bagian apex dari invaginasi.

4. Appedicial-colica, adalah bagian caput dari caecum terinvaginasi.

5. Colo-colica, adalah bagian colon masuk ke bagian kolon.

Pada kolon dikenal dengan jenis colo colica dan sekitar ileo caecal dan ileo colica, jenis-
jenis yang disebutkan di atas dikenal dengan invaginasi tunggal dimana dindingnya terdiri
dari tiga lapisan. Jika dijumpai dindingnya terdiri dari lima lapisan, hal ini sering pada
keadaan yang lebih lanjut disebut tipe invaginasi ganda, sebagai contoh adalah tipe invaginasi
ileo-ileo colica atau colo colica (Sabiston,2010).
D. Patologi
Pada invaginasi dapat berakibat terjadinya obstruksi ataupun strangulasi dari usus.
Obstruksi yang terjadi secara mendadak ini, akan menyebabkan bagian apex invaginasi
menjadi udem dan kaku, jika hal ini telah terjadi maka tidak mungkin bagian usus yang tidak
viabel tersebut dapat kembali normal secara spontan (Winset, 2004).

Gambar 2. Gambaran Invaginasi melalui laparaskopi (Winset, 2004)

Gambar 3. Invaginasi tipe ileocaecal (Sudiyatmo, 2012)

Pada sebagian besar kasus invaginasi obstruksi usus terjadi pada daerah ileo – caecal.
Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial, akibat dari penyakit invaginasi
yang berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium masuk kedalam caecum dan kolon,
akan dijumpai mukosa intussusseptum menjadi edem dan kaku, mengakibatkan obstruksi
yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan strangulata dan perforasi usus (Ravitch,2007).
Gambar 4. Usus yang sudah rusak dan Perforasi (Nasution, 2013).
Pada gambar diatas dapat terlihat usus yang sudah rusak dan telah terjadi perforasi

E. Gambaran Klinis
Secara klasik perjalanan invaginasi memperlihatkan gambaran sebagai berikut :

Anak atau bayi yang biasanya dengan keadaan gizi yang baik, tiba-tiba menangis
kesakitan, terlihat kedua kakinya terangkat ke atas, penderita tampak seperti kejang dan pucat
menahan sakit, serangan nyeri perut seperti ini berlangsung dalam beberapa menit. Diluar
serangan anak atau bayi kelihatan seperti normal kembali, pada waktu itu sudah terjadi proses
invaginasi (Thomson, 1992).

Serangan nyeri perut datangnya berulang-ulang dengan jarak waktu 15-20 menit, lama
serangan 2-3 menit. Pada umumnya selama serangan nyeri perut diikuti dengan muntah berisi
cairan dan makanan yang ada di lambung. Sesudah beberapa kali serangan dan setiap kalinya
memerlukan tenaga, maka di luar serangan si penderita terlihat lelah dan lesu dan tertidur
sampai datang serangan kembali. Proses invaginasi yang belum terjadi gangguan pasase isi
usus secara total, anak masih dapat defekasi tetapi biasanya terjadi diare ataupun feses yang
lunak, kemudian feses bercampur darah segar dan lendir, kemudian defekasi hanya berupa
darah segar bercampur lendir tanpa feses (Stringer, 1992).

Karena sumbatan belum total, perut belum kembung dan tidak tegang, dengan demikian
mudah teraba gumpalan usus yang terlibat invaginasi sebagai suatu massa tumor berbentuk
sosis di dalam perut di bagian kanan atas, kanan bawah, atas tengah atau kiri bawah. Tumor
lebih mudah teraba pada waktu terdapat peristaltik, sedangkan pada perut bagian kanan
bawah teraba kosong yang disebut “dance’s sign” ini akibat caecum dan kolon terdorong ke
distal, ikut proses invaginasi (Ravitch, 2007).

Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit meng-akibatkan gangguan


venous return sehingga terjadi kongesti, edem, hiperfungsi goblet sel serta laserasi mukosa
usus, ini memperlihatkan gejala buang air besar darah dan lendir, tanda ini baru dijumpai
sesudah 6-8 jam serangan sakit yang pertama kali, kadang – kadang sesudah 12 jam. Buang
air besar darah lendir ini bervariasi jumlahnya dari kasus ke kasus, ada juga yang dijumpai
hanya pada saat melakukan colok dubur. Sesudah 18-24 jam serangan sakit yang pertama,
usus yang tadinya tersumbat partial berubah menjadi sumbatan total, diikuti proses edem
yang semakin bertambah, sehingga pasien dijumpai dengan tanda-tanda obstruksi, seperti
perut kembung dengan gambaran peristaltik usus yang jelas, muntah warna hijau dan
dehidrasi (Ravitch, 2007).

Oleh karena perut kembung maka massa tumor tidak dapat diraba lagi dan defekasi
hanya berupa darah dan lendir. Apabila keadaan ini berlanjut terus akan dijumpai muntah
feses, dengan demam tinggi, asidosis, toksis dan terganggunya aliran pembuluh darah arteri,
pada segmen yang terlibat menyebabkan nekrosis usus, ganggren, perforasi, peritonitis
umum, syok dan kematian (Lucian,1987).

Gambar 5.Usus yang rusak (Nasution, 2013).

Pada gambar dapat terlihat keadaan usus yang sudah tidak bagus lagi.
Pemeriksaan colok dubur didapatkan:
- Tonus sfingter melemah, mungkin invaginasi dapat diraba berupa massa seperti portio.

- Bila jari ditarik, keluar darah bercampur lendir.

Perlu perhatian bahwa untuk penderita malnutrisi gejala-gejala invaginasi tidak khas,
tanda-tanda obstruksi usus berhari-hari baru timbul, pada penderita ini tidak jelas tanda
adanya sakit berat, defekasi tidak ada darah, invaginasi dapat mengalami prolaps melewati
anus, hal ini mungkin disebabkan pada pasien malnutrisi tonus yang melemah, sehingga
obstruksi tidak cepat timbul (Ravitch, 2007).

Suatu keadaan disebut dengan invaginasi atypical, bila kasus itu gagal dibuat diagnosis
yang tepat oleh seorang ahli bedah, meskipun keadaan ini kebanyakan terjadi karena
ketidaktahuan dokter dibandingkan dengan gejala tidak lazim pada penderita (Irish, 2012).
F. Diagnosis Klinis
Untuk menegakkan diagnosis invaginasi didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium dan radiologi, tetapi diagnosis pasti dari suatu invaginasi adalah ditemukannya
suatu keadaan dimana segmen usus masuk ke dalam segmen lainnya, pada saat dilakukan
operasi laparotomi (Stringer, 1992).

Gejala klinis yang menonjol dari invaginasi dikenal dengan “Trias Invaginasi”, yang terdiri
dari (Mac Mohan 1991):

1. Nyeri perut yang datangnya secara tiba-tiba, nyeri bersifat serang serangan, nyeri
menghilang selama 10-20 menit, kemudian timbul lagi serangan (colicky abdominal
pain).

2. Teraba massa tumor di perut bentuk bujur pada bagian kanan atas, kanan bawah, atas
tengah, kiri bawah atau kiri atas (palpebra abdominal mass).

3. Buang air besar campur darah dan lendir ataupun terjadi diare (red currant jelly
stools).

Bila penderita terlambat datang ke rumah sakit, sumbatan atau obstruksi pada usus yang
disebabkan oleh invaginasi dapat menyebabkan perut sangat menggembung atau distensi
sehingga pada saat pemeriksaan sukar untuk meraba adanya massa tumor, oleh karena itu
untuk kepentingan diagnosis harus berpegang kepada gejala trias invaginasi yang lainnya
(Mac Mohan, 1991).

Mengingat invaginasi sering terjadi pada anak berumur di bawah 1 tahun, sedangkan
penyakit diare umumnya juga terjadi pada anak usia di bawah 1 tahun maka apabila ada
pasien datang berumur di bawah satu tahun dengan keluhan sakit perut yang bersifat kolik
sehingga anak menjadi rewel sepanjang hari atau malam, ada muntah, buang air besar campur
darah dan lendir maka dapat dipikirkan kemungkinan terjadinya invaginasi (Ravitch, 2007).

G. Penatalaksanaan
Keberhasilan penatalaksanaan invaginasi ditentukan oleh cepatnya pertolongan
diberikan, jika pertolongan sudah diberikan kurang dari 24 jam dari serangan pertama maka
akan memberikan prognosis yang lebih baik (Stringer, 1992).

Penatalaksanaan dari invaginasi pada umumnya meliputi resusitasi, kofirmasi diagnostik


melalui ultrasonografi, reduksi hidrostasis, reduksi dengan barium enema (kecuali anak
mengalami tanda-tanda peritonitis), dengan intervensi bedah merupakan pilihan terakhir
kecuali pada kasus khusus (Francis R, 2001).

Penatalaksanaan penanganan suatu kasus invaginasi pada bayi dan anak sejak dahulu
mencakup dua tindakan penanganan yang dinilai berhasil dengan baik yaitu:
1. Reduksi dengan barium enema

Reduksi dengan barium enema merupakan terapi awal pada invaginasi pada anak, namun
kontroversi terhadap terapi ini masih terus diperdebatkan (Catarina, 2007).

Sebelum dilakukan tindakan reduksi, maka terhadap penderita: dipuasakan, resusitasi


cairan, dekompresi dengan pemasangan pipa lambung. Bila sudah dijumpai tanda gangguan
pasase usus dan hasil pemeriksaan laboratorium dijumpai peninggian dari jumlah leukosit
dan neutrofil segmen maka antibiotika berspektrum luas dapat diberikan. Narkotik seperti
Demerol dapat diberikan (1mg/kg BB) untuk menghilangkan rasa sakit (Saxton, 1994).

Telah disebutkan pada bab terdahulu bahwa barium enema berfungsi dalam diagnostik
dan terapi (Saxton, 1994). Reduksi invaginasi dengan nonoperatif telah menunjukkan lama
rawat inap, pemulihan yang lebih cepat, mengurangi biaya rumah sakit, dan mengurangi
kompilkasi yang berhubungan dengan operasi abdomen (Somme, 2006).

Telah dilaporkan bahwa reduksi hidrostatis kurang berguna bagi pasien dengan gejala
invaginasi lebih dari 48 jam, dan khususnya pasien dengan keadaan umum yang jelek dan
membutuhkan operasi reduksi sebagai penanganannya (Van den Ende, 2005).

Menurut Syamsuhidayat tahun 2005 barium enema dapat diberikan bila tidak dijumpai
kontra indikasi seperti:

- Adanya tanda obstruksi usus yang jelas baik secara klinis maupun pada foto
abdomen.

- Dijumpai tanda-tanda peritonitis.

- Gejala invaginasi sudah lewat dari 24 jam.

- Dijumpai tanda – tanda dehidrasi berat.

- Usia penderita dibawah 1 tahun.

Hasil reduksi ini akan memuaskan jika dalam keadaan tenang tidak menangis atau
gelisah karena kesakitan oleh karena itu pemberian sedatif sangat membantu (Gabriel, 2011).
Kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke rektum dan difiksasi dengan plester, melalui
kateter bubur barium dialirkan dari kontainer yang terletak 3 kaki di atas meja penderita dan
aliran bubur barium dideteksi dengan alat fluoroskopi sampai meniskus intussusepsi dapat di
identifikasi dan dibuat foto. Meniskus sering dijumpai pada kolon transversum dan bagian
proksimal kolon descendens (Saxton, 1994). Bila kolom bubur barium bergerak maju
menandai proses reduksi sedang berlanjut, tetapi bila kolom bubur barium berhenti dapat
diulangi 2-3 kali dengan jarak waktu 3-5 menit.

Reduksi dinyatakan gagal bila tekanan barium dipertahankan selama 10-15 menit tetapi
tidak dijumpai kemajuan. Antara percobaan reduksi pertama, kedua dan ketiga, bubur barium
dievakuasi terlebih dahulu (Saxton, 1994).
Reduksi barium enema dinyatakan berhasil, apabila:

- Rectal tube ditarik dari anus maka bubur barium keluar dengan disertai massa feses dan
udara.

- Pada fluoroskopi terlihat bubur barium mengisi seluruh kolon dan sebagian usus halus,
jadi adanya refluks ke dalam ileum.

- Hilangnya massa tumor di abdomen.

- Perbaikan secara klinis pada anak dan terlihat anak menjadi tertidur serta norit test
positif.

Penderita perlu dirawat inap selama 2-3 hari karena sering dijumpai kekambuhan selama
36 jam pertama. Keberhasilan tindakan ini tergantung kepada beberapa hal antara lain, waktu
sejak timbulnya gejala pertama, penyebab invaginasi, jenis invaginasi dan teknis
pelaksanaan-nya (Ravitch, 2007). Jika reduksi dengan enema gagal untuk mengatasi keadaan
ini, intervensi bedah dapat dilakukan (Zuo, 2008).

2. Reduksi dengan tindakan operasi


a. Memperbaiki keadaan umum

Tindakan ini sangat menentukan prognosis, jangan melakukan tindakan operasi sebelum
mengoptimalkan keadaan umum pasien (pasien baru dapat dioperasi apabila sudah yakin
bahwa perfusi jaringan telah baik, hal ini ditandai apabila produksi urine sekitar 0,5-1 cc/kg
BB/jam). Nadi kurang dari 120x/menit, pernafasan tidak melebihi 40x/menit, akral yang
tadinya dingin dan lembab telah berubah menjadi hangat dan kering, turgor kulit mulai
membaik dan temperatur badan tidak lebih dari 38°C. Biasanya perfusi jaringan akan baik
apabila setengah dari perhitungan dehidrasi telah masuk, sisanya dapat diberikan sambil
operasi berjalan dan pasca bedah (Ashcraft,1994).

Yang dilakukan dalam usaha memperbaiki keadaan umum adalah:


a) Pemberian cairan dan elektrolit untuk rehidrasi (resusitasi).

b) Tindakan dekompresi abdomen dengan pemasangan sonde lambung.

c) Pemberian antibiotik dan sedatif.

Suatu kesalahan besar apabila langsung melakukan operasi karena usus dapat menjadi
nekrosis karena perfusi jaringan masih buruk (Ashcraft, 1994).
Gambar 11. Usus yang sudah rusak (Nasution, 2013)

Harus diingat bahwa obat anestesi dan stress operasi akan memperberat keadaan umum
penderita serta perfusi jaringan yang belum baik akan menyebabkan bertumpuknya hasil
metabolik di jaringan yang seharusnya dibuang lewat ginjal dan pernafasan, begitu pula
perfusi jaringan yang belum baik akan mengakibatkan oksigenasi jaringan akan buruk pula.
Bila dipaksakan kelainan tersebut akan irreversible (Ravitch, 2007).

b. Tindakan reposisi usus

Tindakan selama operasi tergantung kepada temuan keadaan usus, reposisi manual
dengan cara “milking” dilakukan dengan halus dan sabar, juga bergantung pada keterampilan
dan pengalaman operator. Insisi operasi untuk tindakan ini dilakukan secara transversal
(melintang), pada anak-anak dibawah umur 2 tahun dianjurkan insisi transversal
supraumbilikal oleh karena letaknya relatif lebih tinggi. Ada juga yang menganjurkan insisi
transversal infraumbilikal dengan alasan lebih mudah untuk eksplorasi usus, mereduksi
intusussepsi dan tindakan appendektomi bila dibutuhkan. Tidak ada batasan yang tegas kapan
kita harus berhenti mencoba reposisi manual itu. Reseksi usus dilakukan apabila: pada kasus
yang tidak berhasil direduksi dengan cara manual, bila viabilitas usus diragukan atau
ditemukan kelainan patologis sebagai penyebab invaginasi. Setelah usus direseksi dilakukan
anastomosis ”end to end”, apabila hal ini memungkinkan tetapi bila tidak mungkin maka
dilakukan “exteriorisasi” atau enterostomi (Ashcraft, 1994).

Gambar 12. Milking Prosedur (Ashcraft, 1994)


H. Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan baik maka invaginasi dapat menyebabkan perforasi usus dan
berlanjut menjadi peritonitis (Ravitch, 2007).

I. Perawatan Pasca Operasi


Pada kasus tanpa reseksi Nasogastric tube berguna sebagai dekompresi pada saluran
cerna selama 1 – 2 hari dan penderita tetap dengan infus. Setelah oedem dari intestine
menghilang, pasase dan peristaltik akan segera terdengar. Kembalinya fungsi intestine
ditandai dengan menghilangnya cairan kehijauan dari nasogastric tube. Abdomen menjadi
lunak, tidak distensi. Dapat juga didapati peningkatan suhu tubuh pasca operasi yang akan
turun secara perlahan. Antibiotika dapat diberikan satu kali pemberian pada kasus dengan
reduksi. Pada kasus dengan reseksi perawatan menjadi lebih lama.

Anda mungkin juga menyukai