Anda di halaman 1dari 4

Patricia Anais Aristyawan

120117006/KP F

TUGAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL


SEJARAH PERKEMBANGAN HPI

Seiring dengan perkembangan peradaban barat, asas-asas dan pola berpikir HPI sudah
berkembang dalam masyarakat sejak masa Kekaisaran Romawi (abad ke-2 sampai ke-6 SM). Ada
beberapa tahapan perkembangan HPI.

A. Masa Kekaisaran Romawi (Abad 2-6 SM)


Pada masa ini timbul pola hubungan internasional sederhana dalam hubungan antara
warga (cives) Romawi dengan penduduk provinsi atau municipia di Italia. Dengan
timbulnya sengketa dalam hubungan ini, terbentuklah suatu peradilan khusus yang disebut
Praetor Peregrinis. Peradilan ini menggunakan hukum Ius Civile dan Ius Gentium sebagai
dasar dalam mengadili, dimana Ius Gentium merupakan Ius Civile yang telah
dikembangkan dengan diberi unsur-unsur asing.
Ius Gentium memuat kaidah-kaidah hukum yang dapat dikategorikan ke dalam Ius
Privatum (persoalan hukum perorangan) dan Ius Publicum (persoalan kewenangan negara
sebagai kekuasaan publik). Ius Privatum kemudian menjadi cikal bakal HPI sedangkan Ius
Publicum menjadi cikal bakal hukum internasional publik.
Pada masa ini timbul beberapa asas HPI:
• Lex Rei Sitae
Asas ini mengatur bahwa dimana suatu tempat benda berada, maka hukum tempat
itulah yang berlaku. Contohnya, A WN Spanyol, B WNI. Jaminan hak tanggungan di
Argentina. Maka yang berlaku adalah hukum Argentina.
• Lex Loci Contractus
Asas ini mengatur bahwa dimana suatu perjanjian dibuat, maka hukum tempat
peranjian itulah yang berlaku. Contohnya suatu peranjian dibuat di Inggris. Maka hukum
Inggris yang berlaku.
• Lex Domisili
Asas ini berkaitan dengan status personal; sifatnya ekstrateritorial; melekat pada
seseorang. Asas Lex Domisili biasa digunakan oleh negara common law.

B. Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abad 6-10 M)


Pada akhir abad 6 M, Kekaisaran Romawi ditaklukkan bangsa barbar dari Eropa. Hal ini
memunculkan berbagai suku bangsa di Roma yang memberlakukan prinsip personal, alih-alih
territorial. Dengan prinsip ini, dalam satu wilayah bisa berlaku beberapa hukum sekaligus
karena hukum yang berlaku digantungkan pada subjek hukum yang bersangkutan. Tumbuh
beberapa prinsip HPI yang dibuat atas dasar asas genealogis:
• Hukum yang digunakan ialah hukum dari pihak tergugat
• Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan
berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak
• Proses pewarisan diatur berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris
• Pengesahan perkawinan harus dilakukan berdasar hukum dari pihak suami
Patricia Anais Aristyawan
120117006/KP F

C. Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad 11-12 M)


Terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 SM, ada dua perkembangan yang berlangsung di Eropa.
Yang pertama di Eropa utara, dimana kota-kota berbentuk feodal. Dan di Eropa selatan, yang
merupakan pusat perdagangan pada masa itu. Karena kota-kota di Eropa utara berbentuk
feodal, maka HPI tidak berlaku, karena banyak tuan tanah (landlords) yang berkuasa dan
memberlakukan hukum mereka sendiri terhadap semua orang dan semua hubungan hukum
yang berlangsung diwilayahnya. Yang berlaku ialah asas teritorial para tuan tanah itu sendiri.
Lain halnya dengan Eropa selatan yang berisi kota otonom yang memiliki hukum sendiri-
sendiri serta hukum lokal. Hukum-hukum ini kemudian saling bertabrakan sehingga ada asas
teritorial.

D. Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad 13-15M)


Perkembangan teori ini diawali oleh gagasan seorang ahli bernama Accursius. Ia menyatakan
bahwa bila seseorang dari suatu kota tertentu dituntut secara hukum di kota lain, maka ia tidak
diadili berdasarkan hukum dari kota lain, sebab ia bukan subjek hukum di sana. Doktrin yang
telah dikemukakan Accursius kemudian dikembangkan oleh Bartolus De Sassoferrato.
Bartolus menghubungkan statuta personalia dengan lex originis dan statuta realia dengan
kekuasaan territorial hukum itu. Ia membedakan statuta ke dalam statuta yang mengijinkan
sesuatu dan yang melarang sesuatu.
 Statuta Personalia
Objek pengaturannya ialah orang. Statuta ini bersifat ekstrateritorial. Statuta ini melekat
dan berlaku di mana pun mereka berada atau ke mana pun mereka pergi.
 Statuta Realia
Statuta ini mencakup peristiwa berkaitan dengan status benda. Pada statuta ini berlaku
prinsip teritorial. Statuta ini hanya berlaku di dalam wilayah kekuasaan penguasa kota
yang memberlakukannya, dan tetap berlaku terhadap siapa saja yang berada dalam
teritorial kota yang bersangkutan.
 Statuta Mixta
Statuta ini dilandasi prinsip teritorial, berlaku terhadap siapa saja yang melakukan
perbuatan hukum di dalam wilayah kota yang bersangkutan.

E. Teori Statuta di Prancis (Abad 16)


Pada abad ke-16, provinsi-provinsi di Prancis memiliki hukum tersendiri yang
disebut coutume, yang pada hakekatnya sama dengan statuta. Karena ada keanekaragaman
coutume tersebut dan makin meningkatnya perdagangan antar provinsi, maka konflik hukum
antar provinsi meningkat pula. Para ahli seperti Dumoulin dan D’Argentre kemudian
memodifikasi teori statuta Italia.
Charles Dumoulin memasukkan peranjian ke Statuta Personalia, bukan Mixta. Jadi
ditekankan ke subjek hukumnya. Menurutnya, dalam konteks penetapan hukum yang harus
berlaku atas suatu perjanjian, kebebasan individu dicerminkan pula dalam kebebasan para
pihak untuk memilih dan menentukan hukum yang berlaku atas kontrak. Dumoulin di sini
Patricia Anais Aristyawan
120117006/KP F

memperluas ruang lingkup status personalia Bartolus dan memasukkan perjanjian ke


dalamnya.
Sedangkan Betrand D’Argentre memperluas ruang lingkup statuta realia dan
memasukkan perjanjian-perjanjian serta perbuatan-perbuatan hukum lain ke dalam lingkup
statuta realia.

F. Teori Statuta di Belanda (Abad 17)


Teori Argentre ternyata diikuti para sarjana hukum Belanda setelah pembebasan dari
penjajahan Spanyol. Pada saat itu segi kedaulatan sangat ditekankan. Hukum yang dbuat
Negara berlaku secara mutlak di dalam wilayah Negara tersebut. Prinsip dasar yang digunakan
penganut teori statuta di negeri belanda adalah kedaulatan eksklusif Negara. Berdasarkan
ajaran D’Argentre, Ulrik Huber mengajkan tiga prisip dasar untuk menyelesaikan perkara-
perkara HPI:

 Hukum suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas teritorial negara itu
 Semua orang yang secara tetap atau sementara berada di dalam teritorial wilayah suatu
negara berdaulat merupakan subek hukum dari negara tersebut dan tunduk serta terikat
pada hukum negara tersebut.
 Berdasarkan prinsip sopan santun antar negara (comitas gentium), hukum yang berlaku
di negara asalnya tetap memiliki kekuatan berlaku di mana-mana, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan subek hukum dari negara pemberi pengakuan.
Ketiga prinsip ini juga harus memperhatikan dua prinsip lain yaitu:

 Dianggap sebagai perbuatan hukum yang sah menurut Hukum setempat harus diakui
atau dianggap sah juga di negara lain.
 Dianggap sebagai perbuatan hukum yang batal menurut hukum setempat akan dianggap
batal di mana pun.

Menurut Huber, setiap negara memiliki kedaulatan sehingga negara memiliki


kewenangan penuh untuk menetapkan kaidah-kaidah HPI-nya. Dalam kenyataan, negara-
negara itu tidak dapat bertindak secara bebas, dalam arti bahwa berdasarkan asas comitas
gentium negara itu harus mengakui pelaksanaan suatu hak yang telah diperolah secara sah di
negara lain.

G. Teori HPI Universal (Abad 19 M)


Pada abad ke-19 muncul teori HPI universal yang dicetuskan oleh Joseph Story, Friedrich
Carl Von Savigny, dan Pasquae Manchini.
Titik tolak pandangan Von Savigny adalah bahwa suatu hubungan hukum yang sama
harus memberi penyelesaian yang sama pula, baik bila diputuskan oleh hakim Negara A
maupun Negara B. Maka, penyelesaian soal-soal yang menyangkut unsur-unsur asingpun
hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga putusannya juga akan sama dimana-mana.
Bersatunya pergaulan internasional akan menimbulkan satu sistem hukum supra
nasional yaitu hukum perdata internasional. Oleh karena titik tolak berfikir Von Savigny adalah
Patricia Anais Aristyawan
120117006/KP F

bahwa HPI itu bersifat hukum supra nasional sehingga bersifat universal, maka ada yang
menyebut pikiran Von Savigny ini dengan istilah teori HPI universal.
Pendapat von Savigny kemudian berkembang menjadi asas HPI yang digunakan
sekarang yaitu choice of law (titik taut sekunder). Menggunakan the most characteristic
connection, dimana apabila subjek perjanjian tidak menentukan hukum mana yang dipilih,
maka tidak lagi perlu teori-teori seperti lex cause atau lex fori lagi. Cukup dilihat hukum dari
pihak yang paling karakteristik dalam perjanjian (penjual).

Anda mungkin juga menyukai