Anda di halaman 1dari 53

TEORI PERTUKARAN

Teori pertukaran yang dibangun oleh George C. Homans merupakan


reaksi terhadap paradigma fakta sosial yang terutama dikemukakan oleh
Durkheim. Homans mengatakan bahwa proses interaksi sosial dapat
memunculkan suatu fenomena baru akibat dari interaksi tersebut. Sekalipun ia
mengakui proses interaksi, namun ia juga memperoalkan bagaimana cara
menerangkan fenomena yang muncul dari proses interaksi.

Substansi Teori Pertukaran

Teori pertukaran adalah teori yang berkaitan dengan tindakan sosial yang
saling memberi atau menukar objek-objek yang mengandung niali antar individu
berdasarkan tatanan sosial tertentu Objek yang ditukarkan tidak berbentuk benda
nyata, namun hal-hal yang tidak nyata.

Adapun prinsip- prinsip teori pertukaran ini adalah (Wirawan, 2012 : 174-
176) :

1. Satuan analisis yaitu sesuatu yang diamati dalam penelitian dan


memainkan peran penting dalam menjelaskan tatanan sosial dan individu.
2. Motif pertukaran diasumsikan bahwa setiap orang mempunyai keinginan
sendiri. Setiap orang akan memerlukan sesuatu tetapi itu tidaklah
merupakan tujuan yang umum. Artinya orang melakukan pertukaran
karena termotivasi oleh gabungan berbagai tujuan dan keinginan yang
khas.
3. Faedah atau Keuntungan berbentuk biaya yang dikeluarkan seseorang
akan memperoleh suatu “hadiah” (reward) yang terkadang tidak
memperhitungkan biaya yang dikeluarkan. Cost dapat didefenisikan
sebagai upaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan kepuasan ditambah
dengan reward apabila melakukan sesuatu. Kepuasan atau reward yang
diperoleh seseorang itu dapat dinilai sebagai sebuah keuntungan.
4. Pengesahan sosial merupakan suatu pemuas dan merupakan motivator
yang umum dalam sistem pertukaran. Besarnya ganjaran tidak diberi
batasan karena sifatnya individual dan emosional. Reward adalah ganjaran
yang memiliki kekuatan pengesahan sosial (social approval).

Teori Pertukaran Perilaku

GEORGE CASPER HOMANS

George Casper Homans lahir di Boston Massachusetts tanggal 11


Agustus 1910. Ia meninggal di Cambridge Massachusetts pada tanggal 29 Mei
1989 dalam usia 78 tahun. Ia adalah seorang sosiolog Amerika dan pendiri
sosiologi perilaku dan teori pertukaran.
Homans terkenal karena penelitiannya dalam perilaku sosial dan karya-
karyanya, termasuk Human Group, Social Behavior: Its Elementary Forms. Teori
pertukaran dan berbagai proposisi digunakan untuk menjelaskan perilaku
sosial. Dalam sosiologi dan psikologi sosial, Homans dianggap sebagai salah satu
teori sosiologis utama pada periode dari tahun 1950 hingga 1970-an.

Homans masuk Harvard College pada tahun 1928 dengan luas konsentrasi
dalam bahasa Inggris dan sastra Amerika. Dengan tinggal di lingkungan di mana
orang sangat menyadari hubungan sosial, Homans menjadi tertarik pada
sosiologi. Dari tahun 1934 sampai 1939 ia adalah seorang Junior Fellow dari
masyarakat terbentuk baru penerima beasiswa di Harvard, melakukan berbagai
studi di berbagai bidang, termasuk sosiologi, psikologi dan sejarah.

George C. Homans memulai karir dalam tradisi fungsionalisme struktural.


Karyanya yang terkenal adalah The Human Group (1950) berkisar pada konsep
sistem yang abstrak tentang kelompok-kelompok dan dititikberatkan pada
komposisi struktural serta operasi kelompok. Bagi Homans semua masyarakat
terorganisir ke dalam sistem berdasarkan sistem sosial yang terkecil yaitu
kelompok. Ia menantang karya sarjana sosiologi klasik yaitu Emile Durkheim.
Bagi Durkheim sosiologi adalah disiplin yang bebas dan fakta sosiologis tidak
bisa dijelaskan oleh psikologi. Homans menyangkal pemikiran tersebut dengan
menyatakan bahwa semua penjelasan perilaku sosial menyangkut masalah
psikologis.

Homans mencoba membawa individu ke dalam analisa sosiologis. Ia


menggunakan perilaku untuk menjelaskan struktur sosial. Walaupun ia
menggunakan proposisi perilaku sebagai pengganti konsep fungsionalisnya tetapi
ia melampaui Merton yang tidak mencoba mengembangkan teori
proposisionalnya.

Teori pertukaran Homans bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat


dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Teori ini
dilandasi oleh prinsip transaksi ekonomis dimana orang menyediakan barang atau
jasa dan sebagai imbalannya adalah memperoleh barang atau jasa yang
diinginkan. Adapun asumsi teori ini adalah interaksi sosial itu mirip dengan
transaksi ekonomi. Namun bagi teori pertukaran, pertukaran sosial tidak hanya
dapat diukur dengan uang saja karena hal-hal yang dipertukarkan adalah hal yang
nyata dan tidak. Seseorang misalnya bekerja di sebuah perusahaan tidak hanya
mengharapkan ganjaran ekstrinsik berupah upah tetapi juga ganjaran instrinsik
berupa kesenangan, persahabatan dan kepuasan kerja. Pemikiran teori ini dapat
dilihat dari skema berikut :

stimulus respon

Gambar 1 : Skema Teori Pertukaran

Homans menjelaskan proses pertukaran dengan lima proposisi yaitu


proposisi sukses, stimulus, nilai, deprivasi satiasi, dan restu agresi. Dalam
merumuskan proposisi-proposisi tersebut ia mencoba saling mengkaitkan
proposisi itu dalam sebuah teori pertukaran sosial. Adapun kelima proposisi itu
adalah (Poloma, 2000 ;61-65).

1. Proposisi Sukses

Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh


ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu. Proposisi ini
menyatakan bahwa bila seseorang berhasil memperoleh ganjaran, maka ia akan
cenderung mengulangi tindakan tersebut. Seorang anak mendapatkan nilai
rapor yang bagus setelah ia belajar sungguh-sungguh dan tekun. Proposisi ini
menyangkut hubungan antara apa yang terjadi pada waktu silam dengan yang
terjadi pada waktu sekarang.

Gambar 2 : Seorang anak senang menerima hadiah


(Sumber : http/kumpulan fotogratis.com/foto Nk menerima kado.html)

2. Proposisi Stimulus

Jika di masa lalu terjadi stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli
merupakan peristiwa dimana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka
semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu, akan
semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama.
Proposisi ini menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau
tingkah laku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama pada
waktu sekarang. Makin sering dalam peristiwa tertentu tingkah laku seseorang
memberikan ganjaran terhadap tingkah laku orang lain, makin sering pula
orang lain itu mengulang tingkah lakunya itu. Sebagai contoh dapat kita lihat
pada mahasiswa meninginkan nilai yang baik dan dengan kesadaran ia selalu
mengikuti perkuliahan serta belajar sebelum ujian. Ia merasakan manfaat dari
belajar bersama sebelum ujian, maka ia akan melakukan kembali belajar secara
bersama dengan teman-temannya untuk mendapatkan hasil ujian yang baik.

Gambar 3 : Mahasiswa untuk mendapatkan nilai baik selalu belajar

3. Proposisi Nilai

Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan
tindakan itu. Proposisi ini memberikan arti atau nilai kepada tingkah laku yang
diarahkan oleh orang lain terhadap aktor. makin bernilai bagi seseorang sesuatu
tingkah laku orang lain yang ditujukan kepadanya makin besar kemungkinan
atau makin sering ia akan mengulangi tingkahlakunya itu. Sebagai contoh
dapat dilihat pada tingkahlaku mahasiswa yang menganggap bahwa ia
mempunyai kesempatan untuk melihat suatu konser favoritnya dan di saat yang
sama ia harus mengenyampingkan perkuliahannya karena ia masih dapat
kuliah di hari yang lain. Ini artinya ia menganggap mana yang lebih penting
kuliah atau menikmati konser yang menyenangkan.
Gambar 4 : Mahasiswa Memilih Pergi ke Konser Musik
(Sumber : malesbanget.com)

Gambar 5 : Lebih Penting Konser Musik daripada Kuliah


(Sumber :blog.djarumbeasiswaplus.org)

4. Proposisi Deprivasi Satiasi

Semakin sering di masa yang baru berlalu seseorang menerima suatu ganjaran
tertentu, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap
unit ganjaran itu. Proposisi ini menjelaskan bahwa makin sering orang
menerima ganjaran dari orang lain, makin berkurang nilai dari setiap tindakan
yang dilakukan berikutnya. Misalnya seorang wanita, setiap berulang tahun
selalu diberikan hadiah boneka oleh teman prianya maka ia merasa hadiah itu
menjadi tidak menarik bagi dirinya karena ia merasa telah jenuh atau bosan
dengan bentuk hadiah yang selalu sama.

Bosan hadiahnya itu


melulu...apa tidak ada yang
lain...

uniabadi.blogspot.com

Gambar 6 : Bila selalu menerima hadiah sama orang jadi bosan

5. Proposisi restu Agresi

Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkannya atau


menerima hukuman yang tidak diinginkannya maka ia akan marah. Ia
cenderung menunjukkan perilaku agresif dan hasil perilaku tersebut bernilai
baginya. Bila tindakan seseorang memperoleh ganjaran yang lebih besar dari
yang diperkirakan atau tidak memperoleh hukuman yang diharapkannya,
maka ia akan merasa senang. Proposisi ini melihat bahwa makin dirugikan
seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar kemungkinan
orang tersebut akan mengembangkan emosi seperti marah.

Gambar 7 : Orang akan Marah Jika Dirugikan


(Sumber : kataucapan.me)

Dalam memahami proposisi yang dimaksud di atas perlu diperhatikan


bahwa (Ritzer, 1985 : 92) :

a. Makin tinggi ganjaran (reward) yang diperoleh atau yang akan diperoleh
makin besar kemungkinan sesuatu tingkah laku akan diulang.

b. Makin tinggi biaya atau ancaman hukuman (punishment) yang akan


diperoleh makin kecil kemungkinan tingkah laku yang serupa akan diulang.

Homans menyatakan teori pertukaran dapat dipakai untuk menjelaskan


perilaku manusia di tingkat institusional dan sub institusional, tetapi teori itu
pada dasarnya bersifat sub institusional dan lebih beruang lingkup mikro.
Berbeda dengan Peter M. Blau lebih memperluas prinsip-prinsip Homans
untuk menjelaskan kelahiran strukur-struktur sosial yang lebih besar (Poloma,
2000 : 76).
Teori Pertukaran Sosial

PETER MICHAEL BALAU

Peter M. Blau lahir di Wina Austria 7 Februari 1918 dan meninggal pada
12 Maret 2002. Ia bermigrasi ke AS tahun 1939 dan menjadi warga AS tahun
1943. Tahun 1942 ia menerima gelar BA dari Elmhrst College di Elmhurst
Illionis. Blau mendapatkan penghargaan luas pertama dalam sosiologi karena
sumbangannya dalam studi tentang organisasi formal. Hasil studi empirisnya
tentang organisasi dan buku ajar yang ditulisnya tentang organisasi formal
masih tetap dikutip secara luas.
Kontribusi Blau terhadap sosiologi adalah ia telah memberikan kontribusi
penting terhadap dua orientasi teoritis yang berbeda. Bukunya Exchange and
Power in Social live (1964) merupakan komponen utama teori pertukaran masa
kini. Kontribusi utama Blau tentang teori pertukaran pada kelompok primer
pada berskala kecil diterapkan pada kelompok besar. Karya itu merupakan
upaya penting untuk mengintegrasikan secara teoritis masalah sosiologi
berskala luas dan berskala kecil. Blau pun berada di barisan terdepan pakar
struktural.

Untuk menjelaskan teori pertukaran, Blau menerima prinsip pertukaran


sosial dari B.F Skinner dan George C. Homans. Bagi Blau fenomena daya tarik
individu akan ganjaran sosial merupakan sesuatu yang bersifat “given” dan
merupakan asal usul struktur sosial. Yang menarik individu ke dalam asosiasi
karena mengharapkan ganjaran intrinsik dan ekstrinsik. Ganjaran ekstrinsik dapat
berupa uang, barang-barang atau jasa-jasa, sedang ganjaran intrinsik dapat berupa
kasih sayang, pujian, kehormatan dan kecantikan.

Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi perilaku yang menjurus pada
pertukaran sosial. Persyaratan tersebut adalah :

1. Perilaku harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai


melalui interaksi dengan orang lain.

2. Perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-


tujuan tersebut.

Perhatian utama teori Blau ditujukan pada perubahan dalam proses-proses


sosial yang bergerak dari struktur sosial yang sederhana menuju struktur sosial
yang lebih kompleks. Perhatian ini dapat dilihat pada perkembangan sistem
stratifikasi dalam kelompok-kelompok yang lebih kompleks. Pada tahap awal
pembentukan kelompok, individu mencoba menunjukkan nilai mereka bagi
kelompok. Para anggota akan memberikan nilai yang berbeda sehingga terjadi
perbedaan status. Tidak setiap orang mampu atau bersedia mengambil tanggung
jawab kepemimpinan kelompok. Akibatnya beberapa dari mereka akan mundur
dan memberi peluang orang lain untuk sebuah posisi.

Adanya diferensiasi kekuasaan dapat mempertinggi tingkat kebutuhan


akan integrasi sosial dari status-status yang berbeda. Dalam hal ini terjadi
hubungan pertukaran yang terkait dengan masalah stratifikasi. Pertukaran terjadi
jika hubungan itu menguntungkan bagi para anggota yang berkedudukan tinggi
atau rendah. Namun, jika hubungan kekuasaan yang bersifat memaksa terjadi
hubungan pertukaran yang tidak seimbang dan dipertahankan dengan
menggunakan sangsi negatif. kekuasaan demikian penuh dengan masalah karena
dapat melahirkan perlawanan. Untuk itu agar masyarakat berfungsi dengan baik,
maka yang berada di bawah perlu mematuhi dan melaksanakan kewajiban mereka
sehari-hari dengan pengarahan dari yang menduduki kekuasaan. Sangat bijaksana
jika yang berkuasa sebanyak mungkin memperendah potensi penggunaan daya
paksa tersebut.

Blau juga menggambarkan “the emergence principle” yaitu adanya nilai-


nilai dan norma-norma yang disetujui secara bersama dalam kelompok. Nilai-nilai
sosial yang diterima bersama berfungsi sebagai media transaksi sosial bagi
organisasi serta kelompok-kelompok sosial. Blau percaya bahwa kompleksitas
pola-pola kehidupan sosial dapat dijembatani oleh nilai-nilai bersama yang
melembaga.

Nilai-nilai yang telah terlembaga akan bertahan bila memenuhi tiga syarat,
yaitu (Poloma, 2000 : 92) :

1. Prinsip-prinsip yang diorganisir harus merupakan bagian dari prosedur-


prosedur yang diformalisir (konstitusi atau dokumen lainnya) sehingga setiap
saat bebas dari orang yang melaksanakannya.
2. Nilai-nilai sosial yang mengesahkan bentuk institusional harus diwariskan
kepada generasi selanjutnya melalui proses sosialisasi.

3. Kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat harus menganut nilai-nilai itu


serta harus meminjamkan kekuasaannya untuk mendukung lembaga-lembaga
yang memasyarakatkan nilai-nilai tersebut.

Lebih jauhnya pembahasan Blau mengenai kelompok-kelompok sosial


yang bersifat “emergent” ini dapat diamati ide-ide sebagai berikut (Poloma, 2000:
93) :

1. Dalam hubungan pertukaran yang elementer, orang tertarik satu sama lain
melalui berbagai kebutuhan dan kepuasan timbal balik. Asumsinya adalah
orang yang memberikan ganjaran, melakukan hal itu sebagai pembayaran bagi
nilai yang diterimanya.

2. Pertukaran mudah berkembang menjadi hubungan-hubungan persaingan


dimana setiap orang harus menunjukkan ganjaran yang diberikannya dengan
maksud menekan orang lain dan sebagai usaha untuk memperoleh ganjaran
yang lebih baik.

3. Persaingan melahirkan munculnyanya sistem stratifikasi dimana individu-


individu dibedakan atas dasar kelangkaan sumber-sumber yang dimilikinya
yang melahirkan konsep “emergent” tentang kekuasaan.

4. Kekuasaan dapat bersifat sah atau bersifat memaksa. Wewewnang tumbuh


berdasarkan nilai-nilai yang sah yang memungkinkan berbagai kelompok dan
organisasi yang bersifat “emergent” tanpa mendasarkan diri atas hubungan
intim yaitu hubungan tatap muka. Para anggota menyadari bahwa berbagai
kebutuhan dan tujuan kelompok maupun pertukaran di tingkat individu. Di
pihak lain, penggunaan kekuasaan yang bersifat memaksa mengundang banyak
masalah sehingga dapat meningkatkan perkembangan nilai-nilai oposisi.
Pertukaran Tidak Seimbang dan Konsekuensinya

Ketidakseimbangan dalam pertukaran dapat terjadi bila pemberian


reward lebih kepada yang lain dan sebaliknya yang menerima reward
membalasnya. Pihak terkecil dalam pertukaran yang tidak seimbang dapat
memperoleh kompensasi social approval atau disebut sebagai kerelaan.
Kerelaan dalam pertukaran tidak seimbang adalah suatu kredit kepada pihak
superior, yaitu posisinya menjadi dominasi sehingga memungkinkan utnuk
memerintah orang lain.

Mikrostruktur dan Makrostruktur

Menurut Blau, proses relasi tatap muka merupakan tipe mikrostruktur.


Relasi adalah struktur dalam arti aturan-aturan, pemuas, kontrol legitimasi, dan
pembagian tugas. Mikro dalam interaksi seperti itu berada pada tahap orang ke
orang, lalu meluas dan jumlahnya bertambah sehingga menjadi bermakna.
Akhirnya kolektivitas itu membentuk makrostruktur.

Nilai dan Struktur Sosial

Reward akan mendorong seseorang bergabung dalam kelompok. Nilai-


nilai yang berlawanan akan ditolak karena memunculkan ketidaksamaan yang
berakibat terjadinya perpecahan dalam kelompok. Nilai dapat menjadikan
kebersamaan sebagai tanda solidaritas bagi mereka secara bersama dan
kebersamaan untuk menuju integrasi dan kesepakatan bagi kelompok.
TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Teori interaksionisme simbolik dianggap sebagai pendatang baru dalam


stusi-studi sosial sehingga ada yang meragukan kebsahannya sebagai pisau
analisis. Namun, sebagian akar mengatakan bahwa teori ini telah berhasil dalam
mengkaji perilaku sosial dalam sosiologi. Posisi teori ini paling kontras sekali
dengan behaviorisme radikal yang mendalami konsep stimulus-respon.

Substansi Teori Interaksionisme Simbolik

Jika ditelusuri lebih dalam bahwa teori interaksionisme simbolik berada di


bawah payung perspektif yang lebih besar yaitu perspektif fenomenologis dan
masuk dalam kategiri paradigma defenisi sosial yang menganggap bahwa subject
matter sosiologi adalah tindakan sosial yang penuh arti (makna) yaitu tindakan
individu yang mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan
kepada orang lain. Pandangan fenomenologis menganggap bahwa kesadaran atau
jiwa manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial
budaya. Pandangan ini menekankan pada pengalaman manusia yang terjadi tiap
hari yang di dalamnya terkandung tindakan sosial atau interaksi yang dilakukan si
aktor.

Kekhasan interaksionisme simbolik adalah manusia saling


menterjemahkan dan saling mendefenisikan tindakannnya melalui simbol-simbol
yang muncul. Ia memandang diri aktor mampu untuk menciptakan realitasnya
sendiri dimana fakta sosial ditempatkan dalam kerangka simbol-simbol interaksi
sosial aktor. Pemaknaan muncul ketika interaksi berlangsung pada realita yang
dikelilingi oleh pranata sosial dan struktur sosial. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada skema berikut :
proses menafsirkan
stimulus respon

Gambar 8 : Skema Interaksionisme Simbolik

Teori interaksionisme simbolik melihat simbol menjadi medium yang


sangat efektif dalam interaksi yang dilakukan si aktor, bahkan simbol
merupakan media yang digunakan oleh aktor untuk menyampaikan pikiran dan
perasaan, maksudnya, tujuannya kepada orang lain. Simbol sebagai media
primer dalam proses komunikasi dapat berupa bahasa, isyarat, gambar, warna
dan lain sebagainya. Manusia hidup melakukan tindak menafsir baik secara
sadar atau tidak.Tidak ada dalam dunia manusia yang tanpa tafsir.

George Ritzer dalam Umiarso (2014) memformulasikan 7 prinsip dari


interaksionisme simbolik sebagai berikut :

1. Manusia tidak seperti hewan-hewan yang lebih rendah, diberkahi dengan


kemampuan untuk berpikir.
2. Kemampuan untuk berpikir dibentuk oleh interaksi sosial.
3. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol-simbol yang
memungkinkan, mereka melaksanakan kemampuan manusia yang khas
untuk berpikir.
4. Makna-makna dan simbol-simbol memungkinkan orang melaksanakan
tindakan dan interaksi manusia yang kahs.
5. Orang mampu memodifikasi dan mengubah makna-makna dan simbol-
simbol yang mereka gunakan di dalam tindakan dan interaksi berdasarkan
penafsiran mereka atas situasi.
6. Orang mampu membuat modifikasi-modifikasi dan perubahan-perubahan
itu, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan dirinya
sendiri yang memungkinkan mereka memeriksa serangkaian tindakan
yang mungkin, menaksir keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian
relatifnya dan kemudian memilih salah satu di antaranya.
7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang terangkai membentuk kelompok-
kelompok dan masyarakat-masyarakat.

Berikut akan dijelaskan beberapa ahli yang dikategorikan dalam teori


interaksionisme simbolik di antaranya adalah Herbert Mead, Charles Horton
Cooley, Herbert Blumer dan Erfing Goffman.

Konsep Diri : I dan Me

HERBERT MEAD

George Herbert Mead (1863-1931) lahir di South Hadley Massachusetts


pada tanggal 27 Pebruari 1863 dari keluarga kelas menengah yang sukses dan
terdidik.Pemikirannya dipengaruhi oleh filsuf William James tentang
interaksionisme simbolik dan psikolog terkenal Wilhelm Wundt tentang symbolic
gestures, society dan the self. Ia meninggal pada tahun 1931 dalam usia 68 tahun.

Mead melihat interaksi sosial berdasarkan kesadaran diri aktor yang


dikembangkan tindakannya dalam empat tahap yaitu (Umiarso, 2014 : 148) :
1. Tahap impulse yaitu tahap menangkap fenomena luar diri aktor yang terjadi
sejak ia dilahirkan dalam realitas sosial.

2. Tahap perception yaitu terjadi saat diri aktor akan menyeleksi situasi dan
kondisi yang hidup disekitarnya.

3. Tahap manipulation yaitu dibangun atas asumsi yangdiformulasikan dalam


bentuk pertanyaan “apa yang harus saya perbuat?”. Pemaknaan sistuasi sejalan
dengan peran yang harus dijalankan oleh diri (self)) aktor. Pada tahap ini
kemampuan manusia untuk memecahkan persoalan dengan berbagai cara.

4. Tahap consummation yaitu tahap kepenuhan tindakan yang dipastikan sesuai


dengan peran yang dimainkan oleh diri aktor.

Menurut Mead perlu dipahami tentang diri sebagai subjek (I) dan objek
(me). Diri adalah subjek dari fenomena pengalaman sendiri yaitu persepsi, emosi,
dan pikiran. Dalam fenomenologi ini dipahami sebagai suatu pengalaman dan
tidak ada yang mengalami tanpa ia mengalaminya sendiri. Oleh sebab itu diri
adalah sebuah “given”. Jika dihubungkan dengan pemahaman tentang makna,
maka konsep diri pribadi akan memunculkan dua sisi yaitu sisi pribadi (self) dan
sisi sosial (person). Artinya, diri pribadi tidak hanya menanggapi atau membuat
persepsi tentang orang lain (the other), tetapi juga mempersepsikan dirinya
sendiri.

Karakter diri secara sosial (person) tidak berdiri sendiri dan lepas dari the
other atau realitas sosial. Pada hakikatnya, diri (self) akan terus menerus
menanggapi stimulus dari luar dan dari dalam. Dalam diri terdapat kemampuan
menanggapi diri sendiri secara sadar dan kemampuan tersebut memerlukan daya
pikir reflektif. Diri juga dipengaruhi oleh varian dari luar seperti aturan, nilai-
nilai, norma-norma dan budaya setempat dimana ia berada.
The Looking Glass Self

CHARLES HORTON COOLEY

Charles Horton Cooley lahir di Ann Arbor, Mich pada tanggal 17 Agustus
1864. Sepanjang karirnya ia telah banyak menghasilkan karya yang cukup
monumental dan kontributif di bidang psikologi dan sosiologi. Karyanya seperti
Human Nature and The Social Order (1902), Social Organization (1909) dan
Social Process (1918).

Karir Cooley cukup dibilang cemerlang ketika ia lulus dari Universitas


Michigan tahun 1887 dan tahun 1889 ia mulai masuk kerja di bidang
kepemerintahan di Komisi Pelayanan Sipil dan Biro Sensus. Ia kemudian
berlabuh di dunia akademis dan ia mulai mengajar pada ilmu-ilmu sosial seperti
ilmu politik dan ekonomi (1892-1904) dan sosiologi (1904-1929). Pandangannya
banyak mempengaruhi perkembangan teori-teori sesudahnya dan menjadi
inspirasi terhadap bangunan teori selanjutnya seperti perkembangan teori
interaksionisme simbolik.

Konsep Diri

Pada konteks interaksi sosial dalam sosialisasi, Cooley memiliki


pandangan konsep diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya
dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini
disebut sebagai the looking-glass self yang mengacu pada konsepsi diri yang
berasal dari membayangkan bagaimana orang lainmenilai diri individu. Melalui
konsep ini ia menyatakan bahwa manusia memiliki kesadaran yang terbentuk
dalam dirinya melalui interaksi sosial yang terjadi. Diri (self) bukan pertama
individual dan kemudian sosial, melainkan ia muncul secara dialektis lewat
komunikasi atau interaksi diri dengan orang lain.

Kesadaran diri individu tentang dirinya yang ia korelasikan dengan


pikiran orang lain. Hal ini bisa dianalogikan dengan perilaku diri individu ketika
bercermin kalau cermin memantulkan sesuatu yang terdapat di depannya, maka
menurut Cooley diri seseorang pun memantulkan sesuatu yang dirasakan sebagai
tanggapan masyarakat terhadapnya.

The Looking Glass Self

Konsep the looking glass self ini memberikan gambaran bahwa konsep
diri terbentuk dari bayangan kembar (diri individu dalam cermin) yang berasal
yang berasal dari hubungan sosial, kesan diri individu dalam seseorang
berkembang dan termanifestasikan melalui interaksi manusia : ‘tidak ada perasaan
tanpa aspek asosiatif atas kita, mereka, atau kamu”.

Dengan demikian siapa anda, dan bagaimana anda berpikir tentang diri
sendiri erat kaitannya dalam interaksi. Dalam berinteraksi manusia memerlukan
komunikasi terus menerus dan dir (self) jelas merupakan poduk sosial dari
dialektika antara individu dan realitas sosial (masyarakat).
CERMIN

DIRI/SELF

Gambar 9 : Diri (self) dalam Cermin

Dalam konsep the looking glass self, terdapat tiga elemen pokok yang
bersifat fundamental, yaitu (Umiarso, 2014 : 143-144) :

1. We imagine how our personality and appearace will look to other


people. Pada elemen ini diri (self) akan membayangkan atau
mengimajinasikan kepribadian dan penampilannya akan dilihat oleh
orang lain.

2. We imagine how other people judge the appearance and personality


that we think we present. Artinya diri (self) akan membayangkan
penilaian orang lain terhadap penampilannya tersebut.

3. We developa self-concept. If we think the evaluation of other is


favorable, our self-concept is enhanced. If we think the evaluation is
unfavorable, our self-concept is diminished. Pada elemen ini, diri
(self) mempunyai perasaan untuk mengembangkan konsep diri (self –
concept) sebagai bentuk tanggapan orang lainnya terhadapnya
seperti perasaan bangga atau malu. Pengembangan ini sangat
tergantung pada “penilaian” orang lain terhadap diri (self). Jika diri
(self) berpikir dalam evaluasi orang lain terhadap kepribadian dan
penampilannya menguntungkan, maka konsep diri akan ditingkatkan.
Namun, jika evaluasi orang lain kurang baik, maka konsep diri akan
diturunkan.

Dari ketiga elemen tersebut dapat ditekankan pada proses pengembangan


konsep diri yaitu imajinasi diri. Namun bukan berarti merupakan fantasi.
Imajinasi yang dimiliki manusia merupakan fakta masyarakat yang solid dan
berfungsi sebagai warisan realitas dunia subjektif. Meskipun fakta objektif tidak
boleh diabaikan sama sekali. Ini dapat dilihat dari kenyataan diri yang mencoba
membatasi sesuatu sebagai realitas yang riil yang terdiri dari pikiran orang lain
dari masyarakat itu sendiri.

Perbandingan Konsep “Diri” Mead dengan Cooley

George Herbert Mead Konsep diri adalah suatu proses yang berasal dari
interaksi sosial individu dengan orang lain. Individu
adalah makhluk yang bersifat sensitif, aktif, kreatif
dan inovatif. Keberadaan sosialnya sangat
menentukan bentuk lingkungan sosialnya dan dirinya
sendiri secara efektif. “Diri” (self) dapat bersifat
sebagai objek maupun subjek sekaligus. Objek yang
dimaksud berlaku pada dirinya sendiri sebagai
karakter dasar dari makhluk lain, sehingga mampu
mencapai kesadaran diri (self conciousness) dan
dasar mengambil sikap untuk dirinya, juga untuk
situasi sosial yang dapat dijabarkan dengan konsep
:pengambilan peran orang lain” (taking the role of
the other). “Diri” akan menjadi objek terlebih dahulu
sebelum ia berada pada posisi subjek. Dalam hal ini,
“diri” akan mengalami proses internalisasi atau
interpretasi subjek, atas realitas struktur yang luas.
Dia merupakan produk dialektis dari “I” impulsif
dari “diri” yaitui aku sebagai subjek dan “me” sisi
sosial dari manusia yaitu “daku” sebagai objek,
perkembangan “diri” (self), sejalan dengan
sosialisasi inividu dalam masyarakat yakni merujuk
kepada kapasitas dan pengalaman manusia sebagai
objek bagi diri sendiri. Ringkasnya, “diri”
Charles Horton Cooley “disi” sebagai segala sesuatu yang dirujuk dalam
pembicaraan biasa melalui kata ganti orang pertama
tunggal seperti “aku” (I), “daku” (me), “milikku”
(mine) dan “diriku” (my self). Segala sesuatu yang
dikaitkan dengan diri menciptakan emosi lebih kuat
dibandingkan dengan yang tidak dikaitkan dengan
diri. Diri dapat dikenal hanya melalui perasaan
subjektif. Konsep diri individu secara signifikan
ditentukan apa yang ia pikirkan tentang pikiran
orang lain mengenai dirinya. Artinya individu
memerlukan respons orang lain yang ditafsirkan
subjektif sebagai data dirinya. Perasaan “diri”
dikembangkan lewat penafsiran individu atas realitas
fisik dan sosial, termasuk aspek-aspek pendapat
tentang tubuh, tujuan, materi, ambisi, gagasan
bersifat sosial yang dianggap milik individu.
Perasaan diri bersifat sosial karena maknanya
diciptkan melalui bahasa dan budaya bersama dari
interpretasi subjektif individu, atas orang-orang yang
mereka anggap penting yang punya hubungan dekat
(significant others). Demikian pula pengambilan
peran dan sikap orang lain secara umum (generalized
others). Kesimpulannya. “diri individu dan
masyarakat bukanlah realitas yang terpisah.
Sumber : Umiarso, 2014 hal 155-156.

HERBERT BLUMER

Herbert Blumer lahir di St. Louis, Missouri pada tanggal 7 Maret 1900.
Setelah lulus dari University of Missouri tahun 1918 sampai 1922 ia mengajar di
sana tetapi tahun 1925 pindah ke Universitas Chicago. Ia melanjutkan
penelitiannya dan karya Mead tentang interaksionisme simbolik.

Herbert Blumer mencoba merekonstruksi kajian interaksionisme simbolik


yang telah dirintis oleh gurunya George Herbert Mead. Blumer kemudian
menyusun sebuah buk yang berjudul “Symbolic Interacsionism”. Interaksionisme
simbolik berpandangan bahwa tindakan manusia didasarkan pada yang ada pada
dirinya. Makna tersebut berasal dari proses interpretasi seseorang terhadap objek
di luar dirinya ketika interaksi sosial sedang berlangsung.

Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang
bukan sebuah entitas psikologis tetapi sebuah aspek dari proses sosial yang
muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Bagi Blumer, manusia
bertindak bukan hanya karena faktor eksternal dan internal saja, namun individu
juga melakukan self indication atau memberi arti, menilai, memutuskan untuk
bertindak berdasarkan referensi yang mengelilinginya tersebut.

Herbert Blumer mengemukakan bahwa interaksionisme simbolik sebagai


perspektif yang bertumpu pada tiga premis yaitu :

1. Premis pertama menunjukkan bahwa tindakan individu sangat bergantung


kepada pemaknaan terhadap sesuatu objek. Makna berasal dari pikiran
individu bukan melekat pada objek atau sesuatu yang inheren dalam objek
tetapi diciptakan oleh individu sendiri. Ini berarti bahwa individu
bertindak terhadap sesuatu berdasarkan pada makna yang diberikan
terhadap sesuatu tersebut.
2. Premis kedua menunjukkan bahwa makna muncul dalam diri aktor dengan
adanya interaksi dengan diri aktor lain. Walaupun makna muncul dari
pikiran masing-masing subjek (aktor), tetapi hal itu tidak ada atau muncul
begitu saja, tetapi melalui pengamatan kepada individu-individu lain yang
sudah lebih dulu mengetahui. Diri sang aktor berinteraksi antara aktor satu
dengan lainnya melalui proses menginterpretasi atau mendefenisikan
tindakan dari masing-masing aktor tersebut bukan hanya bereaksi terhadap
tindakan masing-masing aktor. Dengan demikian interaksi sosial antar
subjek (aktor) dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol dan makna,
penafsiran atau proses memastikan makna tindakan antara masing-masing
aktor yang akhirnya memunculkan tindakan sosial antara mereka.
3. Premis ketiga menunjukkan bahwa makna bukan sesuatu yang final tetapi
terus-menerus dalam proses pemaknaan yang “menjadi”. Dalam hal ini
diri sang aktor perlu jeli dalam menilai simbol yang diperlihatkan orang
lain agar dapat mengantisipasi tindakan orang lain.

INTERAKSIONISME SIMBOLIK

1.Bertindak pada makna terhadap


sesuatu.
2.Makna dari diri aktor yang
berinteraksi dengan aktor lain.
3. Makna sesuatu yang terjadi
terus-menerus

Gambar 10 : Premis Interaksionisme Simbolik Blumer


Kedirian (self) dikonstruksikan melalui interaksi dengan tahapan
sebagai berikut :

1. Tahap individu menginternalisasi objek. Seorang individu secara sadar


memahami realitas tempat dia berhubungan dan berusaha melepaskan
diri tekanannya. Ketika ia meninternalisasi objek berbentuk fisik dan
menguasainya lalu menjadi bagian dari pengalaman batinnya.
2. Tahap terjadinya transmisi. Proses transmisi terjadi ketika individu
merealisasikannya. Ia juga merupakan objek bersama dengan objek-
objek lain di lingkungannya.

Pandangan George H.Mead dan Herbert Blumer

Aspek Persamaan Mead dan Blumer


Tekanan Individu memeiliki kesendirian dan karenanya
memiliki kemapuan untuk melakukan self
interaction.
Arti Pentingnya Makna Penentu tindakan seseorang. Manusia bertindak atas
sesuatu berdasar makna yang dimiliki.
Kapasitas/Fungsi Self *Self interaction termanifestasikan dalam peran
Interaction yang dimainkan seseorang ketika mereka
membuat indikasi-indikasi terhadap dirinya.
*Self interaction memungkinkan individu
mengevaluasi dan menganalisis sesuatu
berdasarkan apa yang dipikirkan.

Kapasitas/Fungsi Melalui interaksi dengan dirinya sendiri, individu


Individu dalam Self dapat mengantisipasi efek-efek dari berbagai
Interaction alternatif sikapnya dan karenanya dia dapat
memilihnya.
Perilaku Individu Tidak hanya sebagai respon terhadap lingkungan,
juga bukan hasil dari disposisi, sikap, dan motif tak
sadar atau nilai-nilai sosial.
Kritik terhadapnya Keduanya dikritik tidak memperhitungkan struktur
sosial dan efek-efek yang tidak diharapkan dan
karya mereka dinilai memberikan kontribusi besar
bagi psikologi sosial tetapi gagal sebagai teori
sosial.
Sumber : Umiarso, 2014 hal 172-173

Perbedaan Pandangan G.H Mead dan Herbert Blumer

Aspek G. H Mead Herbert Blumer


Pendekatan Behaviorisme Behaviorisme Sosial
Keberadaan Menolak Mengakui struktur sebagai
Struktur (Posisi sesuatu yang fleksibel dan
Sosial, Organisasi kemampuan improvisasi
dsb)
Hakikat Manusia Makhluk Kreatif Makhluk yang sadar dan
refleksif
Sumber : Umiarso, 2014 hal 172
Teori Dramaturgi

Dunia ini panggung sandiwara


Ceritanya mudah berubah
Kisah Mhabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap insan punya satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara
Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak
Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara
(Teks lagu Panggung Sandiwara oleh Ahmad Albar
Sumber : Mulyana, 2004 :103)

..diri bukan sesuatu bersifat organik yang memiliki lokasi tertentu....Dalam


menganalisis diri kita terseret dari pemiliknya, dari orang yang paling untung
atau rugi olehnya, karena ia dan tubuhnya sekadar menyediakan pasak tempat
bergantung suatu hasil kerjasama untuk sementara waktu...sarana
memperoduksi dan memupuk diri tidak berada di dalam pasak. Diri sebagai
produk interaksi antarpribadi inilah sebagai milik sang aktor yang dianalisis
Goffman (dikutip dari Anderson dan Meyer dalam Mulyana, 2004 : 109).

ERVING GOFFMAN
Goffman lahir pada tanggal 11 Juni 1922 di Mannville, Alberta
Kanada.Master dan doktornya diberikan di Universitas Chicago tahun 1949
dan 1953 di bidang sosiologi dan antropologi sosial. Erving Goffman dianggap
sebagai sosiolog mikro karena ia lebih berkonsentrasi pada analisis rinci dari
interaksi dan norma-norma yang mengatur interaksi tersebut. Oleh sebab itu
komunikasi merupakan fokus utama kajiannya. Ia mengkaji interaksi sosial,
ritus, kesopanan, pembicaraan dan semua hal yang menjalin hubungan sehari-
hari.

Interaksi dianggap sebagai dasar kebudayaan yang memiliki norma,


mekanisme dan regulasi. Ritual-ritual dianggap ajang menegaskan tatanan
moral dan sosial sehingga diri sang aktor berusaha mengatur citra dirinya
sendiri. Goffman memberikan asumsi bahwa diri sang aktor perlu menyadari
peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Aktor harus mendefenisikan situasi
yang dibedakan menjadi strip yaitu sebuah sekuen aktivitas dan frame
merupakan pola pengaturan dasar yang digunakan untuk mendefenisikan strip
(Umiarso, 2014 : 249-250).

Dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life


diterbitkan tahun 1959 menjelaskan proses dan makna dalam interaksi.
Goffman menganalogikan dunia sosial seperti panggung sandiwara dimana
individu-individu menjadi aktor yang memegang peran dalam hubungan sosial
sebagai representasi yang tunduk pada aturan yang baku. Dalam panggung
sandiwara aktor memiliki kemampuan menampilkan “kesan realitas” kepada
diri aktor lain agar dapat meyakinkan gambaran (citra) yang akan diberikan
kepada orang lain.

Asumsi dasar teori Goffman adalah bahwa peran yang ditampilkan atau
yang diharapkan dalam interaksi antar diri sang aktor mengandung simbol
tertentu yang digunakan sebagai standar dari perilaku bersama. Kontribusi
Goffman lain yang juga kuat adalah tentang stigma dalam bukunya “Stigma :
Notes on the Management of Spoiled Identity. Ia meneliti bagaimana diri sang
aktor mengelola penempilan diri mereka sendiri, terlebih pada saat penampilan
mereka tidak sesuai dengan standar yang disetujui dalam perilaku atau
penampilan yang semestinya, maka mereka mencoba untuk melindungi
identitats mereka tersebut dengan cara mengelola penampilan dirinya
(Umiarso, 2014 : 253-254).

Presentasi Diri

Jika Mead menganggap diri pada dasarnya bersifat sosial, bagi goffman
individu tidak sekedar mengambil peran orang lain melainkan bergantung pada
orang lain untuk melengkapkan citra diri. Atau dengan kata lain, diri bukanlah
sesuatu yang dimiliki individu tetapi yang dipinjamkan orang lain kepadanya.

Menurut interaksionisme simbolik manusia memainkan berbagai peran


dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran yang terlibat
dalam kegiatan yang menunjukkan satu sam lainnya siapa dan apa mereka.
mereka menandai satu sama lain dann situasi-situasi yang mereka masuki.
Presentasi diri bertujuan memproduksi defenisi siatuasi dan identitas sosial
bagi aktor dan defenisi situasi tersebut mempengaruhi ragam ingteraksi yang
layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada.

Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka


ingin menyajikan gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ini disebut
sebagai “pengelolaan kesan” (impression management) yaitu teknik-teknik
yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini dapat dilihat pada atribut, milik
atau aktivitas manusia, busana yang dipakai, rumah yang dihuni, cara berjalan
dan berbicara, cara menghabiskan waktu luang dan pekerjaan yang kita
lakukan. Cara kita berbicara di depan kelas ketika adanya diskusi berbeda pada
saat kita berada diantara teman-teman di luar kelas. Busana yang dipakai di
rumah berbeda ketika akan pergi ke kantor. Kita mengelola informasi yang kita
berikan kepada orang lain. Orang lain pun berbuat hal yang sama terhadap kita,
dan kita memperlakukannya sesuai dengan citra dirinya yang kita bayangkan
dalam benak kita. Jadi, kita bukan hanya sebagai pelaku, tetapi juga sekaligus
sebagai khalayak.

Panggung Depan dan Panggung Belakang

Menurut Goffman, kehidupan sosial dibagi menjadi “wilayah depan”


(front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan
menunjukkan kepada peristiwa sosial yang memungkinkan individu bergaya
atau menampilkan peran formalnya. Sedang wilayah belakang menunjukkan
kepada tempat dan peristiwa yang memungkinkannya mempersiapkan
perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian
depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedangkan wilayah
belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar
rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih
untuk memainkan perannya di panggung depan.

Goffman membagi panggung depan menjadi dua bagian, yaitu front


pribadi (personal front) dan setting yaitu situasi fisik yang harus ada ketika
aktor harus melakukan pertunjukkan. Tanpa setting aktor biasanya tidak dapat
melakukan pertunjukkan Misalnya seorang dokter bedah memerlukan ruang
operasi, seorang guru memerlukan ruangan kelas, dan seorang sopir
memerlukan kendaraan. Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap
khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting. Dokter
diharapkan mengenakan jas dokter, dengan stetoskop menggantung di leher,
dosen membawa buku ketika mengajar di kelas, wartawan diharapkan
membawa kamera, alat perekam atau buku catatan. Personal front juga
mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang kator misalnya guru berbicara
teratur dan sopan, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan
usia, ciri-ciri fisik dan sebagainya.

Berbeda dengan panggung depan, panggung belakang memungkinkan


adanya pembicaraan dengan menggunakan kata-kata kasar, duduk dan berdiri
sembrono, merokok, berpakaian seenaknya, mengomel, berteriak, bertindak
agresif, bersenandung dan sebagainya. Panggung belakang biasanya berbatasan
dengan panggung depan tetapi tersembunyi dari pandangan khalayak. Ini
bertujuan untuk melindungi rahasia pertunjukkan, dan khalayak biasanya tidak
diizinkan memasuki panggung belakang kecuali dalam keadaan darurat.

Ada 7 hal yang disembunyikan aktor dalam pertunjukkan, yaitu (Mulyana,


2004 : 116) :

1. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan


tersembunyi seperti meminum-minuman keras sebelum pertunjukkan.

2. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat


persiapan pertunjukkan juga langkah-langkah yang diambil untuk
memperbaiki kesalahan tersebut.

3. Aktor mungkin merasa perlu menunjukkan produk akhir dan


menyembunyikan proses memproduksinya.

4. Aktor mungkin perlu menyembunyikan “kerja kotor” yang dilakukan


untuk membuat produk akhir dari khalayak, seperti kejam, semi legal
dan menghinakan.

5. Dalam melakukan pertunjukkan tertentu, aktor mungkin harus


mengabaikan standar lain.

6. Aktor mungkin perlu menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau


perundingan yang dibuat sehingga pertunjukkan dapat berlangsung.
7. Aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya
hubungan khusus atau jarak sosial lebih dekat dengan khalayak
daripada jarak sosial yang sebenarnya.

Penggunaan Tim

Goffman tidak hanya melihat individu tetapi juga kelompok yang ia sebut
tim. Aktor berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya baik di
keluarga, tempat bekerja, partai politik atau organisasi lain. Semua anggota
disebut sebati “tim pertunjukkan” (performance team) yang mendramatisasikan
suatu aktivitas. kerjasam tim sering dilakukan oleh para anggota dalam
menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah depan. Sepasang suami
istri menyembunyikan pertengkaran dari anak-anak mereka, menjaga
keselarasan dan setelah anaknya pergi bertengkar kembali. Pertunjukkan yang
dibawakan tim sangat bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya untuk
memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak.

Interaksi Sebagai Ritual

Menurut Goffman, interaksi mirip dengan upacara keagamaan yang sarat


dengan berbagai ritual. Aspek-aspek “remeh” dalam perilaku yang sering luput
dari perhatian orang merupakan butki-bukti penting seperti kontak mata antara
orang-orang yang tidak saling mengenal di tempat umum. Perilaku saling
melirik satu sama lain untuk kemudian berpaling ke arah yang lain
menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak saling mengenal menaruh
kepercayaan kepada yang lain untuk tidak saling menganggu. Ini seperti
adanya aturan tidak tertulis yang diterima orang dalam berinteraksi. Bahkan
kita merasa tidak nyaman, takut dan gugup bila ada seseorang menatap kita
lebih lama dari yang lazimnya. menjaga jarak atau berpaling ke arah lain
adalah untuk menjaga privasi orang. Ini merupakn ritual antarpribadi atau
menghargai diri yang “keramat” (sacred self).

Penghargaan atas diri yang “keramat” dibalas dengan tindakan serupa


sehingga berlangsunglah upacara kecil seperti anggukan kepala, senyuman,
atau saling berjabat tangan ketika bertemu dengan orang lain atau bertanya
“apa khabar ?” meskipun sebenarnya orang yang bersangkutan sedang sakit,
ucapan maaf, terima kasih atau lambaian tangan ketika berpisah dengan orang
lain adalah ritual antarpribadi untuk memelihara hubungan dengan orang lain.

Pandangan Yang Berpengaruh

Ada beberapa pandangan ahli interaksionisme simbolik yang


mempengaruhi Erving Goffman di antaranya adalah (Wirawan, 2012: 255) :

1. Pemikiran Charles Horton Cooley tentang the looking glass self yang
mendeskripsikan tentang sikap sang aktor lain sebagi cermin bagi diri
sang aktor sendiri dalam menilai objek di lingkungannya. Teori ini
menunjuk kepada pengembangan konsep diri seorang individu
berdasarkan pandangan ketika individu membanyangkan citra diri
melalui pandangan orang lain, maka aktor juga membayangkan
penilaian orang lain sebagai harga diri dan rasa malu.
2. Pemikiran George Herbert Mead tentang konsep I dan Me. Diri sang
aktorn yang objektif dan subjektif yang menunjuk pada ketidaksesuaian
antara diri manusiawi dan diri sang aktor sebagai hasil proses
sosialisasi. Diri muncul dalam proses interaksi karena manusia baru
menyadari dirinya sendiri dalam interaksi sosial.
3. Pemikiran Herbert Blumer mengenai diri sebagai sebuah proses bukan
benda. Diri sang aktor merupakan individu yang sadar dan reflektif,
menyatukan objek melalui proses komunikasi. Individu dapat
mengetahui sesuatu, menilai, memberi makna dan memberi tindakan
dalam konteks sosial (self indication).
C.H COOLEY :
the looking glass self

ERVING G.H MEAD :


GOFFMAN I dan Me
Dramaturgi

H. BLUMER :
Self Indication

Gambar 11 : Skema Pengaruh Pandangan Interaksionisme Simbolik


Terhadap Goffman
TEORI IMAGINASI SOSIOLOGIS

Semangat untuk mengembalikan sosiologi kepada masyarakat dari


mana dia berasal sesungguhnya merupakan tindakan deprofesionalisasi
sosiologi. Berdasarkan atas pendapat Mills bahwa pada dasarnya manusia
memang tidak rasional, makhluk yang hanya tanggap pada impuls, slogan
politik, status, simbol, dan sebagainya, untuk ini sosiologi menyediakan sarana
sebagai pembuang sifat egois, picik dan kebanggaan (yang tidak layak) pada
dongeng, dan ketika manusia tumbuh dewasa, sosiologi menolongnya untuk
“mengetahui di mana dia berada “, ke mana boleh pergi, dan apa jika ada yang
dapat dilakukan saat ini sebagai sejarah dan di masa depan sebagai
pertanggungjawaban” (Horowitz dalam Poloma, 2000 : 335).

C.WRIGHT MILLS
Wright Mills dilahirkan pada tanggal 28 Agustus 1916 di Waco Texas. Ia
kuliah di Universitas Texas dan menjelang tahun 1939 mendapatkan gelar
sarjana dan master. meninggal pada usia 45 tahun. Mills sebagai seorang ahli
teori tidak pernah mengenyampingkan prinsip-prinsip psikologis dan mencoba
menghubungkan masalah sosiologis dengan struktur. Pada tahun 1950an Mills
telah mengumandangkan “Imaginasi Sosiologis”.

Imaginasi sosiologi adalah gabungan dari “dua cara penelitian” yang


diidentifikasi oleh Mills sebagai makrokospik dan molekuar. Makrokospik
berhubungan dengan keseluruhan struktur sosial dalam lingkup ahli sejarah
dengan menampilkan tipe-tipe fenomena historis dan secara sistematis
menghubungkan dengan berbagai lingkungan institusional masyarakat lalu
dihubungkan dengan tipe-tipe manusia yang ada. Kesadaran akan sejarah
membuat dia tetap sepenuhnya berpikir tentang fakta konflik sosial dan
kebutuhan analisis sosiologis. Ini menjelaskan bahwa Mills menitikberatkan
perhatiannya atas biografi dan sejarah sebagai sumber data sosiologis.

Menurut C. Wright Mills, “kaum ilmiawan” (The scientists) tidak peduli


dengan masyarakat dan sejarah padahal perspektif ini dibutuhkan karena
mengandung tiga masalah yaitu (Poloma, 2000 : 329) :

1. Arti penting kedudukan ide dalam sejarah manusia


2. Hakikat kekuasaan dan hubungannya dengan pengetahuan.
3. Pengertian tindakan moral dan penempatan pengetahuan di dalamnya.

Mills menulis tentang politik dan kekuasaan yang mengkaji White-Collar


Workers dan pemegang kekuasaan. Ia mengakui bahwa kelas menengah
berkembang yang dtidak dirapkan muncul antara produsen dan kelas pekerja.
Kelas menengah baru telah lahir sebagai bagian dari penduduk Amerika yang
terdiri dari para manajer, buruh upahan, salesman dan pekerja kantor. Sebagian
besar mereka adalah karyawan berkerah putih (white collar-workers). Mereka
semakin kehilangan kekuatan pribadinya.
Menurut Mills, karyawan berkerah putih ini harus ditempatkan dalam
masa sejarah disertai dengan pemahaman struktur sosial dan memahaminya
dalam kerangka psikologis dan sosiologis. Dengan menggunakan penjelasan
sejarah, Mills menggambarkan bahwadunia pengusaha kecil di masa silam
adalah orang yang bebas, bukan terikat dan bukan orang yang dibatasi oleh
tradisi.

Perubahan yang terjadi adalah dalam kelas berkerah putih sejak tahun
1900 umumnya menunjukkan keruntuhan posisi mereka dengan
kecenderungan yaitu : 1) hilangnya prestise bila dibandingkan dengan
pengusaha tipe lama; 2) merosotnya pendapatan riil; 3) mekanisasi jabatan
yang mengancam eksistensi sekian lapangan kerja yang dipegang oleh
karyawan berkerah putih; 4) pembatasan otonomi pekerja kantor dan 5)
banyaknya pekerjaan karyawan berkerah putih bersifat rutin dan membosankan
dan hanya sedikit harapan untuk membangkitkan minat kerja di masa datang.

Selanjutnya, Mills melihat bahwa adanya Power Elite yang menentukan.


Mereka adalah yang duduk di tingkat tertinggi struktur kekuasaan dan dapat
mengambil keputusan dengan berbagai akibat besar. Mereka itu terdiri dari
pemimpin ekonomi, pemimpin politik dan pemimpin militer. Ketiga unsur
inilah terletaknya kekuatan yang penting dalam sejarah. Ketiga unsur itu juga
telah mempengaruhi dan tumbuh besar mendominasi selama abad keduapuluh.

Kekuasaan yang berada di tingkat menengah walaupun bergerak, namun di


tingkat nasional dan internasional baik membuat keputusan perang atau damai,
daerah miskin dan masalah kemelaratan dan keputusan-keputusan lain dapat
diambil oleh elit kekuasaan yang terdiri dari elit ekonomi, elit politik dan elit
militer tersebut.

Pada masa kini, hampir tidak mungkin memisahkan bisnis raksasa dengan
pemerintahan yang kuat dan kekuasaan militer. Menurut Mills di Amerika
terdapat struktur militer sebagai bagian terpenting dari struktur politik. Hal ini
terjadi karena pergeseran fokus elit kekuasaan dari masalah-masalah nasional
ke isu-isu internasional yang memberikan suara lebih besar kepada para
pemimpin militer dalam proses pengambilan keputusan.

Dengan demikian, setiap harapan untuk mewujudkan pemerintahan yang


bertanggung jawab hanya dapat digapai lewat pertumbuhan kesadaran
masyarakat akan situasi kekuasaan di Amerika Serikat dan di tambah dengan
minat sosiologis terhadap isu-isu yang relevan. Kepercayaan terhadap
kebebasan manusia untuk mengubah sejarah menyebabkan Mills menuntut
pembaharuan sosiologi yang bermanfaat bagi masyarakat. Bagi Mills
kemampuan sosiologi untuk mempengaruhi perubahan sosial tidak bolah
berhenti hanya karena kekaguman terhadap model ilmu alam. Mills
menghimbau adanya “imaginasi sosiologis” bagi sosiologi yang relevan dan
merupakan inti masalah kekinian.

Himbauan Mills terhadap “imajinasi sosiologis” ini adalah suatu kritikan


terhadap model naturalistis yang sudah dominan dalam sosiologi kontemporer.
Ia mengatakan bahwa sosiologi lebih banyak terlena dengan metode-metode
yang bersifat praktis ketimbang dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan.
Bagi Mills kemampuan untuk melakukan “imajinasi sosiologis” harus dimiliki
oleh sosiologi sehingga dapat menangkap sejarah dan biorafi serta daya
gunanya dalam masyarakat.
TEORI PILIHAN RASIONAL

Banyak perbincangan mengenai teori sosiologi yang dianggap


memberikan kekecewaan karena dianggap khayalan semata dan tumbuh secara
parsial. Orang yang tidak memiliki kompetensi di suatu bidang seringkali
kurang memahami dengan baik bidang yang lain. teori pilihan rasional
meberikan suatu tren yang analisisnya di tingkat mikro sosiologi.Pilihan
rasional sebelumnya mendominasi kajiannya di bidang ekonomi berkembang
ke bidang ilmu politik.

JAMES S. COLEMAN

Fokus Perhatian Pilihan Rasional

Teori pilihan rasional menekankan pada perilaku atau tindakan seseorang


sebagai suatu tujuan atau para pelaku harus dipandang sebagai seseorang
termotivasi oleh kepentingan diri. Pada tahun 1989 James S. Coleman
mendirikan jurnal Rationality and Society yang bertujuan untuk menyebarkan
pemikiran pilihan rasional. Coleman menerbitkan buku yang sangat berpengaruh
berjudul Foundations of Social Theory (1990) dan The Rational Reconstruction
of Society tahun 1992.

Menurut Coleman sosiologi seharusnya memusatkan perhatian kepada


sistem sosial namun fenomena makro itu harus dijelaskan oleh faktor internalnya
sendiri. Coleman lebih menekankan analisisnya pada faktor individual. Dengan
demikian gagasan dasar teori ini adalah adanya tindakan seseorang yang
mengarah kepada suatu tujuan dan tujuan tersebut ditentukan oleh nilai atau
pilihan.

Penekanan Coleman pada pandangan bahwa individu adalah homo


sociologicus mendorong perspektif ini pada proses sosialisasi yang akrab antara
individu dan masyarakat. Kontrasnya adalah homo economicus dalam
pandangan Coleman harus diperjelas. Ini semua adalah upaya Coleman
menyerang teori sosial tradisonal yang hanya melatunkan mantra-mantra yang
sudah tidak relevan dalam perjalanan masyarakat yang telah berubah saat ini.

Ada dua unsur utama dalam teori pilihan rasional Coleman ini, yaitu aktor
dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang
dapat dikontrol oleh aktor. Tindakan rasional individu dilanjutkan ada masalah
hubungan mikro-makro atau makro-mikro.

Analisis di Tingkat Makro-Mikro

Salah satu contoh pendekatan Coleman dalam menganalisis fenomena


makro adalah pada kasus perilaku kolektif terjadi pemindahan kontrol secara
sepihak untuk memaksimalkan kepentingan individu dan tidak harus
menyebabkan keseimbangan sistem. Fenomena lain yang terkait dengan tingkat
analisis makro Coleman adalah norma. Merskipun norma menerangkan perilaku
individu, namun tidak dijelaskan mengapa dan bagaimana cara norma itu
terwujud yaitu dengan adanya sekelompok aktor yang rasional. Norma
diprakarsai oleh beberapa orang yang melihat adanya keuntungan dari
pengalamannya terhadap norma tersebut dan adanya kerugian ketika melakukan
pelanggaran terhadap norma itu. Norma akan efektif jika aktor memiliki
kemampuan melaksanakan konsensus. Norma adalah fenomena tingkat makro
yang ada berdasarkan tindakan bertujuan di tingkat mikro. Ketika ada norma dan
sanksi, maka dapat mempengaruhi tindakan individu. Untuk melanjutkan
analisisnya di tingkat makro, Coleman membahas aktor kolektif. Dalam
kolektivitas aktor tidak boleh bertindak menurut kepentingan pribadi, tetapi
harus berdasarkan pada kepentingan kolektivitas.

Selain itu ada tiga bentuk lembaga dalam menjelaskan pilihan-pilihan


tindakan, apakah berdasarkan pelaku tunggal atau pelaku kelompok. Tiga bentuk
lembaga tersebut adalah (Wirawan, 2012 :200-202) :

1. Norma : pelaku sosial menjadi pengikut suatu hukum atau atruran. Teori
pilihan rasional memfokuskan pada pemunculan dan penerapan norma-
norma-norma. Struktur interaksi dimana norma-norma didasarkan adalah
ketika aktorkelompok memiliki kontrol atas seorang pelaku tunggal.
2. Pasar : didasarkan pada perkumpulan pertukaran di antara pelaku tunggal
yang meliputi para individu, seperti pasar petani, pelaku kelompok, seperti
pasar modal Hubungan antara kepentingan kolektif di dalam pasar
menghasilkan adanya “tangan yang tidak terlihat” (invisible hand).
3. Hirarki. Prinsip fundamental organisasi bagi pelaku tunggal adalah
memunculkan kekuasaan atau pengaruh terhadap seperangkat pelaku
subordinat. Di dalam struktur yang paling sederhana para subordinat
dalam suatu hubungan berfungsi sebagai superordinat di dalam satu
bentuk hubungan yang lain.
Sebagian besar penganut teori pilihan rasional selalu mendasari
bahasannya pada kata-kata kunci seperti asumsi intensionalitas, asumsi
rasionalitas, perbedaan antara informasi yang “sempurna” dan “tidak
sempurna”, antara “resiko” dan “ketidakpastian”, dan perbedaan antara
tindakan “strategis” dan “saling ketergantungan” (Wirawan, 2012 : 210-213).
Pertama, asumsi intensionalitas.Intentional explaining tidak hanya
menyatakan bahwa setiap invidu bertindak secara intensional dengan maksud
tertentu tetapi juga mempertimbangkan praktik-praktik sosial seperti
keyakinan/kepercayaan masyarakat serta keinginan-keinginan
individu.Tindakan ini disertai dengan pencarian akibat-akibat yang tidak
dimaksudkan dari tindakan yang bertujuan dari para pelaku. Teori ini
memperhatikan dua bentuk yaitu negatif atau kontradiksi sosial
(counterfinality dan suboptimality).
Kedua, asumsi rasionalitas. Rasionalitas diartikan bahwa ketika
bertindak dan beraksi, individu memiliki rencana yang koheren dan
memaksimalkan kepuasan dirinya serta meminimalkan biaya yang
dibutuhkan.
Ketiga, ada perbedaan antara ketidakpastian dan resiko. Asumsinya
adalah orang-orang telah mengetahui dengan pasti konsekuensi-konsekuensi
dari tindakan mereka. Tidak ada setting dalam kehidupan nyatauntuk
mendapatkan informasi yang sempurna. Ketika dihadapkan pada resiko,
orang-orang dapat mengatribusikan berbagai kemungkinan ke berbagai hasil
(outcome) sementara bila dihadapkan pada ketidakpastian, maka mereka tidak
dapat melakukan hal itu.

Keempat, ada perbedaan antara pilihan-pilhan strategis dan


parametrik. Pilihan parametrik merujuk pada pilihan-pilihan yang dihadapi
oleh para individu yang dihadapkan dengan lingkungan pilihan independen.
Contoh dari pilihan strategis adalah suboptimality dan couterfinality dimana
seseorang sebelum menentukan pilihan-pilihan harus melakukan
pertimbangan terhadap pilihan-pilhan tersebut.
1. Asumsi intensionalitas

2. Asumsi rasionalitas

Teori Pilihan Rasional

3. Ketidakpastian dan resiko.

4. Pilihan-pilhan strategis dan parametrik.

Gambar 12 : Asumsi Yang mendasari Teori Pilihan Rasional


Namun, dalam perjalanannya Coleman mendapat kritikan dari
Tilly (Ritzer, 2003 : 400) yaitu :
1. Tidak menyebutkan mekanisme kausal
2. Mempromosikan reduksionisme yang tidak lengkap sehingga dianggap
menyesatkan.
3. Mendukung sebentuk teori umum analisis pilihan rasional yang selama
beberapa waktu telah menarik ilmuan sosial ke jalan gelap dimana mereka
selalu mengembara tanpa tujuan menjadi korban reduksionisme individual.
Beberapa peneliti mengemukakan bahwa teori pilihan rasional
dianggap kurang lengkap karena seharusnya sosiologi berfokus pada
fenomena tingkat makro sementara pilihan rasional penjelasannya berada
pada tingkat individual yang merupakan bidang teori yang berada di luar
batas sosiologi.
Dari perspektif interaksionisme simbolik Denzin dalam Ritzer (2003 :
401) menjelaskan bahwa teori pilihan rasional gagal dalam mengemukakan
jawaban meyakinkan atas pertanyaan apakah mungkin ada masyarakat yang
norma idealnya tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari dan apakah
memang ada norma tentang rasionalitas yang mengatur aktivitas interaksi
antar individu yang sebenarnya. Teori pilihan rasional sedikit sekali
manfaatnya bagi teori sosial masa kini. Skemanya tentang kehidupan
kelompok dan gambarannya tentang kehidupan manusia, tindakan, interaksi,
kedirian, jenis kelamin, emosionalitas, kekuasaan, bahasa, politik ekonomi
kehidupan sehari-hari dan sejarah sangat sempit dan sama sekali tidak
memadai untuk tujuan interpretatif.
TEORI STRUKTURASI

Manusia selalu mempunyai ide tentang dunia sosial, tentang dirinya,


tentang masa depannya, dan tentang kondisi kehidupannya. Melalui idenya
manusia masuk ke dalam dunia sambil mempunyai niat untuk mempengaruhi dan
mengubahnya. Dunia modern dicirikan oleh tumbuh dan berkembangnya
refleksivitas. Hidup kita semakin hari semakin sedikit ditentukan oleh kepastian
dan ketentutan tradisi. Kita mengambil keputusan karena refleksivitas. Risiko
menjadi sebuah keniscayaan. Jadi, yang terpenting bukan menghindari risiko,
melainkan manajemen resiko. Giddens mengajak kita untuk mengolah tantangan
baru dengan cara yang baru pula. Resep untuk mengatasi masalah yang timbul
karena peradaban masyarakat industri harus dengan cara meradikalkan dan
mengembangkan modernitas secara lebih dinamis (Giddens dalam Wirawan, 2012
: 292).

ANTHONY GIDDENS

Anthony Gidden lahir pada


tanggal 8 Januari 1938 di Edmonton
London Utara. Bukunya yang
pertama sekali mendapatkan
penghargaan berjudul Class Structure
of Advanced Societies (1975) dan tahun 1984 karyanya The Constitutions of
Society : Outline of The Theory of The Society mencapai puncaknya dan tahun
1985 ia diangkat menjadi profesor sosiologi di Universitas Cambridge.

Agen dan Struktur


Giddens meneliti sejumlah besar teori mulai dari teori yang berorientasi
individual atau agen maupun masyarakat atau struktur. Giddens memulai bukan
dari kedua kutub tersebut, namun menitikberatkan pada praktik sosial yang
berulang yang menghubungkan antara agen dan struktur. Agen dan struktur tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, tetapi dilihat sebagai hubungan dialektik dan
saling mempengaruhi. Agen dan struktur adalah dwi rangkap, yaitu seluruh
tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan
sosial. Agen dan struktur saling jalin menjalin dalam praktik atau aktivitas
manusia.
Tindakan dilihat sebagai perulangan dimana aktivitas bukan dihasilkan
sekali jadi saja oleh aktor, namun dilakukan secara terus menerus atau mereka
ciptakan ulang melalui suatu cara dan dengan cara itu juga mereka menyatakan
diri mereka sendiri sebagai aktor. Atau dengan kata lain Giddens menjelaskan
tentang agen-struktur secara historis, processual dan dinamis. Inilah yang
dimaksud oleh Giddens dengan strukturasi.
Teori strukturasi memiliki elemen yang dimulai dari pemikiran tentang
agen yang terus menerus memonitor pemikiran dan aktivitas mereka sendiri serta
konteks sosial dan fisik mereka. Dalam hal ini aktor melakukan rasionalisasi
kehidupan mereka. Rasionalisasi adalah mengembangkan kebiasaan sehari-hari
yang memberikan rasa aman kepada aktor dan kemungkinan menghadapi
kehidupan secara efisien. Selain rasionalisasi aktor juga memiliki motivasi untuk
bertindak yang menjadi pendorong melakukan tindakan.
Tidak hanya rasionalisasi dan motivasi, kesadaran juga diperlukan.
Giddens membedakan kesadaran diskursif dan kesadaran praktis. Kesadaran
diskursif memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-
kata. Kesadaran praktis melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar tanpa
mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan.
Giddens memberi penekanan pada keagenan (agency) yakni menyangkut
kejadian yang dilakukan seorang individu, yaitu peran individu. Agen memiliki
kemampuan untuk menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial dan agen
tidak akan berarti apa-apa tanpa kekuasaan agen tersebut. Paksaan dan batasan
terhadap aktor tidak menjadikan aktor tidak memiliki pilihan dan peluangh untuk
membuat pertentangan.
Konsep strukturasi mendasari bahwa agen dan struktur adalah dua
kumpulan yang tidak berdiri sedniri tetapi mencerminkan dualitas ciri-ciri
struktural sistem sosial sekaligus medium dan hasil praktik sosial yang dibentuk
secara berulang-ulang.

Dualisme Subjek-Objek
Dualisme subjek (dirinya)-objek (struktur) berkaitan dengan orientasi
individu terhadap struktur. Ada tiga orientasi individu terhadap struktur yaitu
(Gidden dalam Wirawan, 2012 ; 299-300) :

1. Orientasi rutin-praktis yaitu aktor yang secara psikologi mencari rasa


aman dan berusaha menghindari akibat-akibat tindakan yang tidak disadari
atau belum terbayangkan. Orientasi ini menempatkan diri invidu sebagai
objek-objek.
2. Orientasi yang bersifat teoritis. Di sini aktor mampu memelihara jarak
dirinya dengan struktur masyarakat sehingga memahami tentang struktur
tersebut dan memberikan respon yang muncul dari struktur tersebut.
3. Orientasi yang bersifat strategik-pemantauan, dimana individu tidak
hanya mampu memelihara jarak dengan struktur, tetapi juga memiliki
kepentingan dengan apa yang dilahirkan oleh struktur tersebut sehingga
dianggap cepat tanggap terhadap kondisi yang ada.
Konsep Kekuasaan

Kekuasaan merupakan alat analisis kehidupan sosial yang terkait dengan


dualitas struktur karena kekuasaan terkait dengan tindakan manusia dan struktur.
Davis menyimpulkan ada 5 karakteristik utama dari kekuasaan menurut
pandangan strukturasionis yaitu (Wirawan, 2012 : 306-307) :

1. Kekuasaan sebagai bagian integral dari interaksi sosial (power as


integration to social interaction). Setiap interaksi sosial selalu melibatkan
kekuasaan sehingga dapat diterapkan pada semua jenjang kehidupan sosial
dari hal yang sempit maupun secara luas.
2. Kekuasaan merupakan hal yang pokok dalam diri manusia (power as
intrinsic to human agency).Kekuasan dapat mempengaruhi dan
mengintervensi serangkaian peristiwa.
3. Kekuasaan adalah konsep relasional termasuk hubungan otonomi dan
ketergantungan (power as relational concept, involving relations of
otonomy and dependence). Kekuasan bukan sekedar kapasitas
transformasi aktor untuk mencapai tujuan, melainkan juga konsep
relasional. Artinya setiap aktor dapat mempengaruhi lingkungan di mana
peristiwa interaksi itu terjadi agar aktor lauin dapat memenuhi
keinginannya.
4. Kekuasaan bersifat membatasi dan memberi kebebasan (power as
contraining as well as enabling).Kekuasaan bergandengan tangan dengan
dominasi yang terstruktur dimana anggota masyarakat melakukan
intervensi terhadap jalannya interaksi dan melakukan kontrol terhadap
perilaku orang lain dengan adanya pemberian sanksi.
5. Kekuasaan sebagai proses (power as process). Terjadinya hubungan
dialektik antara aktor dan struktur secara kontinu melakukan produksi dan
reproduksi melalui proses strukturasi.
Strukturasionis

WHAT IS
POWER ?

1. power as integration to social interaction


2. power as intrinsic to human agency
3.power as relational concept, involving
relations of otonomy and dependence
4. power as contraining as well as enabling
5. power as process

Gambar 13 : Skema Konsep Strukturasionis tentang Kekuasaan

Penggunaan Teori Strukturasi dalam Riset


Inti dari teori strukturasi dapat kita lihat dari empat hal yang digunakan
dalam risetnya yaitu (Ritzer, 2003 : 512) :

1. Teori strukturasi memusatkan perhatian pada tatanan institusi sosial yang


melintasi waktu dan ruang. Institusi tersebut adalah tatanan simbolik,
institusi politik, institusi ekonomi, dan institusi hukum.
2. Pemusatan perhatian pada perubahan institusi sosial melintasi ruang dan
waktu.
3. Peneliti harus peka terhadap cara-cara pemimpin berbagai institusi ikut
campur tangan mengubah pola sosial.
4. Pakar strukturasi perlu memonitor dan peka terhadap pengaruh temuan
penelitian mereka terhadap kehidupan sosial, seperti dampak dari
perpecahan, dan masalah sosial yang terjadi.
Namun, teori strukturasi dari Giddens ini juga dikritik oleh beberapa ahli.
Misalnya Ian Craib mengkritik sebagai berikut :

1. Pusat perhatian dari kajian Giddens yang menekankan tindakan sosial


dinilai dari segi ontologis memiliki kedalaman yang kurang. Giddens
dianggap gagal menjelaskan struktur sosial yang melandasi kehidupan
sosial.
2. Upaya dalam membuat sintesis teoritis tidak bertautan cesara tepat dengan
kompleksitas kehidupan sosial. Craib menjelaskan bahwa kehidupan sosial
itu sangat rumit dan ruwet tidak bisa dijelaskan dengan pendekatan
tunggal.
3. Giddens dianggap tidak bertolak dari landasan teoritis tertentu maka ia
mengalami kekurangan untuk menganalisis secara kritis tentang
masyarakat modern akibatnya kritikannya terhadap masyarakat modern
cendrung berkualitas khusus untuk tujuan tertentu ketimbang
menganalisis secara sistematis dari inti teori tersebut.
4. Giddens kelihatannya secara fragmentaris tidak berkaitan secara utuh
menyebabkan pemikirannya dianggap sepengal sehingga teorinya tidakl
dapat dipersatukan satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru


Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Poloma, Margareth M, 2000. Sosiologi Kotemporer. Jakarta :
PT.RajaGrafindo Persada.
Ritzer, George &Douglas J.Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta : Kencana.
Ritzer, George. 1980. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.
Jakarta : CV. Rajawali.
Umiarso & Elbadiansyah. 2014. Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik
Hingga Modern. Jakarta : Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai