Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perusahaan Pembiayaan Infrastrukutur


Perusahaan pembiayaan infrastruktur adalah badan usaha yang khusus didirikan
untuk melakukan pembiayaan dana pada proyek infrastruktur. Infrastruktur adalah
rasarana yang dapat memperlancar mobilitas arus barang dan jasa. Setiap pihak yang
melakukan kegiatan usaha sebagai perusahaan pembiayaan infrastruktur, wajib terlebih
dahulu memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan. Persetujuan atau penolakan
Pembiayaan Infrastruktur bagi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur diberikan paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap. Izin usaha
berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi pemberian


pinjaman langsung (direct lending) untuk pembiayaan infrastruktur, refinancing atas
infrastruktur yang telah dibiayai oleh pihak lain, dan pemberian pinjaman subordinasi
(subordinated loans) yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur. Selain itu, untuk
mendukung kegiatan usaha, perusahaan pembiayaan infrstruktur juga dapat melakuka
pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk penjaminan PrPuntuk
pembiayaan infrastruktur, pemberian jasa konsultasi (advisory services), penyertaan
modal (equity investment), upaya mencarikan swap market yang berakitan dengan
pembiayaan infrastruktur, serta kegiataan atau pembiayaan fasilitas lain yang berkaitan
dengan pembiayaan infrastruktur setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan.

Untuk membiayai kegiatan, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat


memperoleh dana antara lain dengan penerbiatan surat-surat berharga, pinjaman jangka
menengah dan atau jangka panjang yang bersumber dari Pemeritah Republik Indonesia,
pemerintah asing, organisasi multilateral , bank dan /atau lembaga keungan baik dalam
maupun luar negeri, serta hibah (grant). Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat
menempatkan dana dalam bentuk Surat Utang Negara, Sertifakat Bank Indonesia dan/atau
instrumen keuangan lainnya yang mempunyai peringkat dilarang menarik dana secara
langsung dari masyarakat dalam bentuk Giro, Deposit, dan atau Tabungan.

Pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang


Lembaga Pembiayaan, pengertian lembaga pembiayaan ialah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana dan/atau barang modal.
Pada Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 mengenal tiga jenis lembaga
pembiayaan yang meliputi :

1. Perusahaan Pembiayaan (PP), yaitu Badan usaha yang khusus didirikan untuk
melakukan pembiayaan konsumen, dan/atau usaha kartu kredit. Secara subtansial,

3
4

2. pengertian pembiayaan konsumen pada dasarnya tidak berbeda dengan kredit


konsumen. Kredit konsumen adalah kredit yang diberikan kepada konsumen guna
pembelian barang konsumsi dan jasa seperti yang dibedakan dari pinjaman yang
digunakan untuk tujuan produktif atau dagang.

2. Perusahaan Modal Ventura,yaitu Badan usaha yang melakukan usaha


pembiayaan atau penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima
bantuan pembiayaan untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan
saham, pentertaan melalui pembeliian obligasi, konversi dan/atau pembiayaan
berdasarkan pembagian atas hasil usaha.

3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, yaitu Badan usaha yang didirikan khusus


untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana proyek infrastruktur.

Dasar Pengaturan Lembaga Pembiayaan Infrastruktur

Sumber hukum perdata : perjanjian dan UU yg mengatur


(1) Kebebasan berkontrak
(2) Pinjaman, pembiayaan, jaminan
(3) Pemborongan pekerjaan
(4) Badan hukum, perusahaan dan investasi

Sumber hukum administrasi negara


(1) Keagrariaan
(2) Sumber daya alam
(3) Lingkungan dan tata ruang
(4) Perizinan dan perpajakan

Lembaga Pembiayaan meliputi:


a. Perusahaan Pembiayaan;
b. Perusahaan Modal Ventura; dan
c. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.

Suatu perusahaan pembiayaan tidak diperkenankan :


1. menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk Giro, Deposito, dan
Tabungan
2. menerbitkan surat sanggup bayar (promissory notes), kecuali sebagai jaminan atas
utang pada bank yang menjadi kreditornya. Surat sanggup tersebut tidak dapat
dialihkan dan dikuasakan kepada pihak manapun
3. Memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak lain
5

Ciri khas Pembiayaan Infrastruktur

1. Hanya disediakan bagi proyek besar (jalan tol, pelabuhan/bandara, pengeboran minyak,
tambang emas)
2. Biasanya dilakukan scr sindikasi oleh beberapa sumber pembiayaan
3. Tdk menggunakan sistem kredit konvensiional yg didukung jaminan kebendaan atau
orang
4. Jaminan hanya terbatas pd aset unit ekonomi yg dibiayai
5. Mrp pinjaman yg berisiko tinggi jk dibanding dng kredit konvensional
6. Pengembalian pinjaman bersumber dr pendapatan (revenue) proyek ybs
7. Kelangsungan pendapatan (economic viability) proyek menjadi pertimbangan utama
pihak penyandang dana
8. Kelayakan teknis (technical feasibility) menjadi pertimbangan utama pihak
penyandang dana
9. Kontrak pembangunan proyek yg memuat bentuk pemborongan pekerjaan mjd jaminan
pembiayaan proyek dan pengembaliannya.

Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur

a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk


Pembiayaan Infrastruktur;
b. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/atau
c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang
berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur.

Manfaat Pembiayaan Infrastruktur


- Sumber Pengembalian Pinjaman.
- Membuka Lapangan Kerja.
- Sarana Alih Tekhnologi.
- Memperbaiki Infrastruktur,
- Sumber Peningkatan Pendapatan Negara

ProdukPerusahaan Pembiayaan Infrastruktur


Produk perusahaan pembiayaan infrastruktur diantaranya pemberian dukungan kredit
(creditenhancement), penjaminan pembiayaan infrastruktur, pemberian jasa konsultasi
(advisory invesment), dan penyertaan modal (equity investment).
6

2.2 Kondisi Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia


Ketika zaman dituntut untuk serba cepat didalam melakukan pembangunan
infrastruktur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prsarana masyrakat
didalam menunjang kegiatan – kegiatan masyarakat serta memenuhi dan memperkuat
kegiatan sendi – sendi perekonomian pada masyarakat Indonesia maka pada
era globalisasi persaingan disektor ekonomi tidak bisa untuk dibendung lagi, disusul
dengan diadakannya perjanjian masyarakat ekonomi ASEAN maka setiap anggota negara
– negara se Asia Tenggara pun mulai menunjukkan taring nya disektor ekonomi tak
terkecuali Negara Indonesia maka untuk bisa bersaing diantara negara – negara Asia
Tenggara maka disini pemerintah Indonesia telah mencetuskan kebijakan – kebijakan yang
bertujuan untuk memperkuat perekonomian NKRI salah satunya adalah program
penyedian Pembiayaan Infrastruktur adalah suatu pembiayaan terhadapsuatu unit
ekonomi tertentu di mana pihak pemberi pinjaman akan cukup puas dng
mempergunakan cash flow dan earnings dari unit ekonomi tsb sbg sumber dana utk
pengembalian pinjaman utk pembiayaan proyek tersebut, dan dengan menggunakan aset
dari unit ekonomi tersebut sebagai jaminan utang yang bersangkutan. Untuk perusahaan –
perusahaan baru yang ingin meningkatkan kualitas didalam melakukan pembangunan –
pembangunan infrastruktur dengan cepat dan tepat sasaran. Sehingga melihat penejelasan
diatas penulis ingin menjelaskan terkait program penyedian Pembiayaan
Infrastruktur yang telah diberlakukan di Negara Indonesia dan sejauh mana program ini
telah berjalan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 4 Tahun 2015, infrastruktur adalah fasilitas


teknis, fisik, sistem, perangkat keras dan lunak yang diperlukan untuk melakukan
pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan
ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik. Pembangunan infrastruktur di
Indonesia banyak dilakukan dan membutuhkan banyak sekali pembiayaan dalam
pelaksanaannya. Kebutuhan dana pembangunan infrastruktur di Indonesia yang relative
sangat besar dan kualitas infrastruktur di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-
negara di Asia lainnya, infrastruktur di Indonesia termasuk kedalam kategori tertinggal.
Kurangnya kualitas infrastruktur Indonesia tidak lepas akibat dari permasalahan
pendanaan. Hal itu dikarenakan belanja infrastruktur rendah dan tidak memadai untuk
mebiayai pembangunan yang ada di Indonesia.

Pengeluaran untuk infrastruktur dari APBN pada tahun 2013 hanya berkisar 2,3 %
dari produk domestik bruto (PDB) atau sebesar Rp 203 triliun, jika digabung dengan
sumber lain seperti APBD, BUMN dan pihak swasta total pengeluaran untuk infrastruktur
mencapai Rp 438 trilliun atau 4,72% dari PDB. Kesimpulannya adalah pembangunan
infrastruktur yang ada di Indonesia masih bergantung pada dana APBN dan APBD
sedangkan peran swasta belum teralu terlihat dalam pembangunan infrastruktur di
Indonesia.
7

Adanya keterbatasan modal dan ketergantungan pada sumber pendanaan yang


berasal dari pemerintah mengakibatkan PT. SMI (Persero) dan PIP belum berperan
optimal dalam memenuhi semua kebutuhan infrastruktur sehingga pemerintah berinisiatif
menciptakan pembiayaan pembangunan melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta
(KPS). KPS merupakan alternative pembiayaan melalui desain, pengadaan dan kontruksi
(engineering, procurement, construction) kontrak, di mana sektor public melakukan
penawaran kompetitif untuk membuat kontrak terpisah untuk elemen desain dan
konstruksi dari sebuah proyek.

Di Indonesia, banyak pembangunan infrastruktur mangkrak yang salah satunya


diakibatkan karena tidak jelasnya sumber pembiayaan dari pembangunan tersebut.
Paradigma masyarakat yang hanya terkotakkan dengan acuan bahwa pembangunan
infrastruktur hanya dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) saja.

Indonesia merupakan ekonomi terbesar ke 16 di dunia dengan total Produk


Domestik Bruto (PDB) hampir mencapai USD 1 trilyun. Pendapatan per kapita Indonesia
diprediksi akan meningkat menjadi sebesar US$ 14,900 pada tahun 2025 (peringkat 12
dunia) serta meningkat menjadi US$ 46,900 pada tahun 2045 (peringkat 7 atau 8 dunia).
Jika sesuai dengan rencana pemerintah tersebut, maka Indonesia akan masuk ke dalam
negara kategori high income country pada tahun 2025, walaupun hal ini akan sangat
tergantung kepada perkembangan penyediaan infrastruktur di Indonesia.

Indonesia memiliki semua hal-hal fundamental yang diperlukan untuk mencapai


target tersebut berupa sumber daya alam yang berlimpah, lokasi yang strategis, jumlah
penduduk yang besar (tenaga kerja dan pasar yang besar), dan lain lain. Namun perlu
disadari bahwa potensi yang dimiliki Indonesia untuk menjadi salah satu kekuatan
ekonomi dunia tidak serta merta bisa terwujud. Terdapat tantangan-tantangan yang perlu
dihadapi, yaitu sebagai berikut:

1. Saat ini Indonesia sedang dilanda fase “krisis infrastruktur” yang terlihat dari indikator
biaya logistik seperti biaya logistik di Indonesia mencapai 17% dari harga pokok
penjualan (total biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha) dan Angka itu tergolong
paling boros dibanding biaya logistik di Malaysia yang hanya 8%, Filipina 7% dan
Singapura 6%; Biaya logistik di Indonesia mencapai 24% dari total Produk Domestik
Bruto (PDB) dan merupakan biaya logistik tertinggi di dunia.
2. Daya saing infrastruktur yang rendah. Berdasarkan Global Competitiveness Report,
infrastruktur Indonesia berada pada rangking 82 dari 139 negara pada tahun 2010.
Kondisi infrastruktur Indonesia sempat membaik pada tahun 2014 menjadi rangking 56
dari 144 negara, namun posisi ini turun lagi pada tahun 2015 menjadi rangking 62 dari
140 negara.
3. Keterbatasan ketersediaan anggaran pembiayaan infrastruktur. Anggaran infrastruktur
di Indonesia hanya 3% dari PDB Indonesia, sementara misalnya Pemerintah China
menganggarkan setidaknya 8-10% dari PDB.
8

4. Defisit energi dan ketenagalistrikan khususnya di daerah luar pulau Jawa. Hal ini
menyebabkan Indonesia menjadi kurang menarik bagi para investor untuk
mengembangkan bisnis dan akan mengganggu kemajuan perusahaan yang akan
berinvestasi di Indonesia.

Karena faktor keterbatasan anggaran, masih banyak kebutuhan infrastruktur yang


belum teranggarkan. Kemampuan Pemerintah Indonesia, melalui APBN/D dan penugasan
BUMN/D, hanya sekitar 60% dari total nilai kebutuhan infrastruktur. Pada skema
pembiayaan infrastruktur konvensional, Pemerintah Indonesia biasanya memenuhi
kekurangan anggaran ini dari pinjaman luar negeri. Namun, melihat kondisi
perekonomian dunia dan potensi Indonesia, skema pinjaman luar negeri untuk
infrastruktur tidak lagi bisa diandalkan oleh Pemerintah. Alternatifnya adalah skema
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) diharapkan dapat menjadi solusi
dalam pembiayaan infrastruktur.

KPBU sebagai solusi pembiayaan infrastruktur di Indonesia saat ini terhambat oleh
3 (tiga) pokok permasalahan, yaitu: (1) peraturan dan perundangan di bidang infrastruktur
yang tidak sinkron dan saling tumpang tindih menghalangi investasi swasta di bidang
infrastruktur; (2) perencanaan/ persiapan proyek infrastruktur kurang matang dan kurang
melibatkan semua stakeholder terkait; (3) pelaksanaan proyek yang baik karena kurangnya
pengawasan terhadap proyek-proyek infrastruktur yang sedang dilaksanakan dan
pengambilan keputusan yang tidak efektif terhadap proyek-proyek yang sedang terhambat
(bottleneck).

Pemerintah memegang pendekatan proaktif dan terus mengevaluasi dan


memperkuat kebijakan dalam rangka mendukung penyediaan infrastruktur menggunakan
metode KPBU. Dalam rangka membangun kerangka peraturan lintas sektor untuk
melaksanakan KPBU dalam pembangunan infrastruktur, Pemerintah Indonesia telah
mengubah Peraturan Presiden Nomor 67/2005 tentang KPBU sebanyak empat kali yaitu
Peraturan Presiden No. 13/2010 dan No. 56/2011 dan No. 66/2013 dan terakhir Peraturan
Presiden No. 38/2015. Dalam perubahan terakhir sudah termasuk mengakomodasi
pengembangan kawasan dan pengembangan kota dalam bundling proyek KPBU, juga
sudah mengarahkan pembayaran dengan Availability Payment (AP) atau Performance–
Based Annuity Schemes (PBAS) untuk memberikan kepastian pembayaran pembangunan
infrastruktur dengan kriteria tertentu.

Pemerintah telah menyediakan berbagai ketentuan perundang-undangan dan


peraturan untuk mengatasi masalah utama yang mempengaruhi pelaksanaan proyek
KPBU, misalnya UU No. 2/2012 tentang pembebasan lahan untuk proyek-proyek
infrastruktur publik dan Peraturan Menteri Keuangan No. 223/PMK.011/2012 dari
Kementerian Keuangan tentang Dana untuk Viability Gap (VGF). Serta PermenKeu No.
219/PMK.01/2015 tentang pendirian BLU LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara)
yang ditugaskan untuk membiayai pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur dalam
Proyek Strategi Nasional termasuk didalamnya adalah Proyek Prioritas yang telah menjadi
9

kewajiban Pemerintah berdasarkan UU No. 2/2012 tersebut. Selain itu juga akan didirikan
Bank Tanah dibawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) untuk
membebaskan lahan untuk proyek infrastruktur diluar PSN.

Dikarenakan adanya anggaran yang terbatas dari pemerintah dan menurunnya


kemampuan pemerintah untuk menerbitkan surat berharga, maka pendanaan infrastruktur
dengan skema pinjaman akan lebih banyak dialihkan pada badan usaha. Untuk pendanaan
infrastruktur, instrumen pendanaan pinjaman yang dipandang cocok untuk proyek KPBU
yaitu obligasi, baik obligasi korporasi, obligasi proyek maupun sukuk. Obligasi dapat
diterbitkan untuk tenor yang panjang disesuaikan dengan karakteristik proyek KPBU.
Selama ini penerbitan obligasi telah dilakukan oleh pemerintah antara lain dalam bentuk
SUN, ORI, Sukuk Negara, dan sebagainya. Namun demikian, obligasi yang diterbitkan
oleh korporasi swasta masih sangat terbatas peranannya sehingga pemerintah perlu turun
tangan untuk mengembangkannya.

Beberapa justifikasi yang memperkuat pemilihan instrumen obligasi sebagai opsi yang
harus dikaji lebih dalam untuk dikembangkan dalam proyek KPBU adalah:

 rasio Corporate Bond vs Bank Loan di Indonesia hanya 7,5% yang menandakan bahwa
saat ini pinjaman bank secara konvensional masih mendominasi, padahal pinjaman
bank memiliki tenor yang pendek sementara proyek infrastruktur KPBU bersifat jangka
panjang;
 rasio Corporate Bond vs Government Bond di Indonesia kurang dari 20% yang
menandakan bahwa pemerintah masih sebagai pihak yang paling dominan menerbitkan
obligasi padahal ruang fiskal APBN semakin sempit;
 masih kecilnya volume Corporate Bond yang diterbitkan di Indonesia yaitu hanya USD
21 milyar atau 2% GDP yang menandakan bahwa pasar obligasi korporasi masih
terbuka untuk dioptimalkan; dan (4) penerbit (emiten) Corporate Bond di Indonesia
didominasi (85%) sektor finansial (Bank) sementara untuk infrastruktur hanya 6%.
Emiten terkonsentrasi pada beberapa perusahaan (75% corporate bond diterbitkan oleh
30 perusahaan). Hal ini menandakan bahwa instrumen ini belum menjadi pilihan bagi
pelaku usaha sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut.
 Emiten Corporate Bond di Indonesia didominasi (85%) sektor finansial (Bank)
sementara untuk infrastruktur hanya 6%. Emiten terkonsentrasi pada beberapa
perusahaan (75% corporate bond diterbitkan oleh 30 perusahaan). Hal ini menandakan
bahwa instrumen ini belum menjadi pilihan bagi pelaku usaha.
10

Ada 3 (tiga) pilar pengembangan instrumen obligasi di suatu negara, yaitu: (1) basis
investor yang kuat; (2) penerbitan obligasi yang efisien; dan (3) kelembagaan yang
kredibel. Ketiganya harus diperhatikan oleh pemerintah secara menyeluruh karena saling
berhubungan satu dengan yang lain.

1. Membangun Basis Investor Yang Kuat

Untuk membangun basis investor yang kuat diperlukan upaya untuk


meningkatkan rasio tabungan nasional terhadap GDP dengan cara mendorong
masyarakat untuk menabung/ berinvestasi di lembaga keuangan. Selain melalui
instrumen perbankan, perlu didorong penguatan instrumen investasi pada lembaga
asuransi dan jaminan sosial agar rasio kepersertaannya meningkat. Diharapkan
lembaga-lembaga tersebut mampu menggalang dana masyarakat dalam jumlah yang
cukup untuk membiayai infrastruktur.

2. Penerbitan Yang Efektif

Untuk menuju penerbitan obligasi yang efektif, diperlukan regulasi yang clear
mengenai persyaratan, prosedur dan biaya penerbitan obligasi., termasuk kewajiban
emiten untuk keterbukaan infromasi.

3. Kelembagaan Yang Kredibel

Dibutuhkan kelembagaan yang terpercaya untuk mendorong instrumen


oblligasi yaitu penjamin emisi (underwriter), wali amanat, penanggung (gurantor),
lembaga kliring, bursa efek, lembaga pemeringkat efek, dan lembaga penunjang seperti
akuntan publik, konsultan hukum.
11

2.3 Kondisi Pembangunan Infrastruktur di Indonesia


Pembangunan infrastruktur sangat dibutuhkan di Indonesia. Banyak biaya yang
dibutuhkan dalam sebuah proyek infrastruktur. Lalu bagaimana sumber pembiayaannya?
Sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur yang besar tidak bisa hanya
mengandalkan uang dari pemerintah saja seperti APBN dan APBD. Dalam pembangunan
sebuah proyek yang besar juga membutuhkan peran swasta dalam segi pembiayaan. Hal
ini bukan perkara negara tidak mampu membiayai, namun pemerintah juga perlu untuk
memikirkan bagaimana mengalokasikan anggaran dana APBN dan APBD agar lebih
efisien dan tepat sasaran. Karena anggaran dana APBN dan APBD tidak hanya digunakan
untuk pembangunan infrastruktur saja. Selain itu, dalam pembangunan sebuah proyek
infrastruktur perlu diperhatikan dalam memilih sumber pembiayaannya.

Selain terkait dengan sumber pembiayaan, bagaimana dengan skema pembiayaannya?


Di Indonesia banyak sekali skema pembiayaan yang bisa diterapkan dalam pembangunan
infrastruktur. Contohnya seperti skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Namun
proyek-proyek yang menggunakan skema ini masih bermasalah sehingga proyek menjadi
mangkrak. Beberapa proyek yang menggunakan skema KPS seperti Sistem Penyediaan
Air Minum (SPAM) Umbulan, SPAM Lampung, kereta Bandara Soekarno Hatta,
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang dan Pelabuhan Cimalaya. Proyek-proyek
tersebut masih belum jelas bagaimana nasibnya. Lalu, apa solusinya? Kini ada Peraturan
Menteri Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah
Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Skema KPBU menjadi keharusan
dalam pembangunan infrastruktrur di Indonesia terutama pembangunan yang
membutuhkan pembiayaan besar. Selain skema KPBU, alternatif skema pembiayaan yang
disarankan oleh pemerintah adalah Pembiayaan Investasi Non APBN (PINA) dengan
memanfaatkan sumber –sumber pembiayaan jangka panjang. Dengan adanya 2 skema
alternative tersebut, diharapkan dapat membantu pembangunan infrastruktur di Indonesia
dalam segi pembiayaan dan tidak ada lagi proyek-proyek yang mangkrak dan tidak jelas
sumber pembiayaannya.

Infrastruktur adalah suatu rangkaian yang terdiri atas beberapa bangunan fisik yang
masing-masing saling mengkait dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Misalnya
jaringan jalan, dimana jalan adalah merupakan sarana yang salah satu fungsinya dapat
dipengaruhi dan mempengaruhi beberapa sektor lainnya seperti : Pemukiman,
perdagangan, kawasan industri, wilayah pusat pemerintahan dan lain sebagainya, sehingga
setiap kali terjadi pembangunan Infrastruktur seyogyanya diperlukan koordinasi secara
mendalam dan antisipatif antar institusi terkait agar kemanfaatannya dapat berfungsi
secara maksimal dan berdayaguna tinggi serta nyaman bagi masyarakat pengguna.

Beberapa contoh hasil pembangunan infrastruktur di Indonesia contohnya jakarta


(misalnya jalan) terkadang hanya bermanfaat bagi pengguna diluar pejalan kaki saja (tidak
adanya trotoar, alih fungsi trotoar), disisi lain pelaksanaan pembangunannya saling
tumpang tindih, misalnya untuk hal-hal yang terkait antara lain : jaringan telepon, listrik,
irigasi, penghijauan, lampu lalu lintas, rambu-rambu, pusat perdagangan, papan iklan,
perubahan peruntukan wilayah (konsistenitas), tugas, kewajiban, kewenangan dan
12

tanggungjawab pelaku pembangunan dan lain-lain. Infrastruktur yang baik adalah berjalan
sesuai fungsinya, mampu untuk mendukung dinamika dan meningkatkan ekonomi.

Infrastruktur yang ada di jakarta (misalya jalan) bila dilihat dari kacamata saat
kegiatan pembangunan berlangsung, nampaknya yang ada adalah sebatas memperbaiki
dan merubah semata tanpa memikirkan keselamatan dengan merugikan pihak lain seperti
hilangnya/minimnya fasilitas trotoar bagi pejalan kaki dan nampak belum adanya upaya
untuk membangun infrastruktur khususnya yang mempunyai kriteria pertahanan seperti :
jaringan jalan, komunikasi, kelistrikan, kesehatan, air bersih, pusat konsentrasi masyarakat
seperti pasar, stadion, pelabuhan udara dan laut, kawasan industri, perumahan, pusat
pemerintah dan lain-lain yang mampu berperan dan mendukung, baik pada saat negara
dalam keadaan normal maupun darurat.

Pembangunan infrastruktur di Indonesia terbagi jadi beberapa bagian yaitu


transportasi, telekomunikasi, sanitasi, dan energi. Jika keempat bagian itu di bangun secara
benar dan teratur maka Indonesia bisa bebas dari permasalahan pembangunan infrastruktur
dan menjadi negara yang maju. Berikut penjelasan dari keempat bagian dari pembangunan
infrastruktur di Indonesia.
1. Transportasi

Transportasi diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal
ke tempat tujuan. Proses pengangkutan merupakan gerakan dari tempat asal, dari
mana kegiatan angkutan dimulai, ke tempat tujuan, kemana kegiatan pengangkutan
diakhiri. Peranan transportasi sangat penting untuk saling menghubungkan daerah
sumber bahan baku, daerah produksi, daerah pemasaran dan daerah pemukiman
sebagai tempat tinggal konsumen.

Unsur-unsur transportasi meliputi:


1. Ada muatan yang diangkut
2. Tersedia kendaraan sebagai pengangkutnya
3. Ada jalanan yang dapat dilalui
4. Ada terminal asal dan terminal tujuan

5. Sumber daya manusia dan organisasi atau manajemen yang menggerakkan


kegiatan transportasi tersebut.

Sistem transportasi dari suatu wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu sistem
yang terdiri dari prasarana/sarana dan sistem pelayanan yang memungkinkan adanya
pergerakan ke seluruh wilayah, sehingga (Santoso, 1996:1): terakomodasinya
mobilitas penduduk, dimungkinkan adanya pergerakan barang, dimungkinkan akses
ke semua wilayah.
13

Di kota Jakarta trasnportasi khusunya transportasi umum masih jauh dari kata
memuaskan, kita sebagai ibukota negara Indonesia transportasi umum kita sangat
jauh tertinggal dari ibukota negara-negara tetangga seperti kualalumpur (Malaysia),
singapura (singapura), dan Bangkok (Thailand). Contohnya di Bangkok (Thailand)
sudah ada monorel sedangkan di Jakarta pembangunan monorel kita masih simpang
siur, kenapa ? karena pembangunan monorel yang sudah direncanakan sejak tahun
2004 silam ada masalah internal dari pihak pemerintah daerah Jakarta yang
menyebabkan monorel Jakarta sampai sekarang pembangunannya tidak bisa
dilanjutkan kembali. Contoh berikutnya adalah di singapura (singapura) sudah ada
kereta bawah tanah sedangkan di Jakarta pembangunan kereta bawah tanah sampai
sekarang masih menjadi wacana yang belum begitu jelas kapan pembangunannya
akan dilaksanakan. Contoh yang terkahir dari kualalumpur (Malaysia), di
kualalumpur angkutan umum seperti bus kota sangat tertata rapih, berhenti di halte
bus yang sudah ditentukan, bentuk bus yang menarik, dan pengelolaan manajemen
bus yang dikelola langsung oleh pemerintah daerah kualalumpur, berbeda dengan di
Jakarta kita bisa lihat bus kota yang ada di Jakarta sangat tidak tertata rapih, berhenti
tidak di halte bus melainkan berhenti dimana saja, bentuk bus yang sudah tua, dan
pengelolaan manajemen yang sangat buruk.

Seharusnya ini menjadi acuan atau tolak ukur pemerintah daerah Jakarta untuk
menangani masalah transportasi umum dijakarta, pemerintah seharusnya sudah
sadar Jakarta sebgai ibukota negara Indonesia bisa menjadi kota yang memiliki
transportasi umum yang baik dan maju.

3. Telekomunikasi
Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan/ atau penerimaan
dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan
bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.
Menara adalah bangunan khusus yang berfungsi sebagai sarana penunjang
untuk menempatkan peralatan telekomunikasi yang desain atau bentuk konstruksinya
disesuaikan dengan keperluan penyelenggaraan telekomunikasi.
Penyelenggara Telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha
milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan
instansi pertahanan keamanan negara.
Penyedia Menara adalah badan usaha yang membangun, memiliki,
menyediakan serta menyewakan Menara Telekomunikasi untuk digunakan bersama
oleh Penyelenggara Telekomunikasi.
Kontraktor Menara adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang jasa konstruksi pembangunan Menara
yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil
perencanaan Menara untuk pihak lain.
14

Pengelola Menara adalah badan usaha yang mengelola atau mengoperasikan


Menara yang dimiliki oleh pihak lain.
Jaringan Utama adalah bagian dari jaringan infrastruktur telekomunikasi yang
menghubungkan berbagai elemen jaringan telekomunikasi yang berfungsi
sebagai Central Trunk, Mobile Switching Center (MSC) dan Base Station
Controller (BSC). Pembangunan Menara harus memiliki Izin Mendirikan Menara dari
instansi yang berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian Izin Mendirikan Menara wajib memperhatikan ketentuan tentang penataan
ruang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Penyelenggara Telekomunikasi, Penyedia Menara, dan atau Kontraktor Menara


dalam mengajukan Izin Mendirikan Menara wajib menyampaikan informasi rencana
penggunaan Menara Bersama. Informasi harus dilakukan dengan perjanjian tertulis
antara Penyelenggara Telekomunikasi.

Bidang usaha jasa konstruksi untuk pembangunan Menara sebagai bentuk


bangunan dengan fungsi khusus merupakan bidang usaha yang tertutup untuk
penanaman modal asing. Penyedia Menara, Pengelola Menara atau Kontraktor Menara
yang bergerak dalam bidang usaha adalah Badan Usaha Indonesia yang seluruh
modalnya atau kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pelaku usaha dalam negeri.

Penyelenggara Telekomunikasi yang Menaranya dikelola pihak ketiga harus


menjamin bahwa pihak ketiga tersebut memenuhi kriteria sebagai Pengelola Menara
dan/ atau Penyedia Menara. Sedangkan untuk Penyelenggara Telekomunikasi yang
pembangunan Menaranya juga dilakukan oleh pihak ketiga, juga harus menjamin
bahwa pihak ketiga tersebut memenuhi kriteria Kontraktor Menara.

Pembangunan Menara harus sesuai dengan standar baku tertentu untuk


menjamin keamanan lingkungan dengan memperhitungkan faktor-faktor yang
menentukan kekuatan dan kestabilan konstruksi Menara, antara lain:

1. Tempat/ space penempatan antena dan perangkat telekomunikasi untuk penggunaan


bersama;
2. Ketinggian Menara;
3. Struktur Menara;
4. Rangka struktur Menara;
5. Pondasi Menara; dan
6. Kekuatan angin.
15

Menara harus dilengkapi dengan sarana pendukung dan identitas hukum yang jelas.
Sarana pendukung harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
antara lain:
1. Pentanahan (grounding);
2. Penangkal petir;
3. Catu daya;
4. Lampu Halangan Penerbangan (Aviation Obstruction Light); dan
5. Marka Halangan Penerbangan (Aviation Obstruction Marking).
Sedangkan Identitas hukum terhadap menara antara lain:
1. Nama pemilik menara;
2. Lokasi menara;
3. Tinggi menara;
4. Tahun pembuatan/ pemasangan menara;
5. Kontraktor menara; dan
6. Beban maksimum menara.

Ketentuan Pembangunan Menara di Kawasan Tertentu


Izin Mendirikan Menara di kawasan tertentu harus memenuhi ketentuan perundang-
undangan yang berlaku untuk kawasan dimaksud. Kawasan tertentu merupakan kawasan
yang sifat dan peruntukannya memiliki karakteristik tertentu, antara lain:
1. Kawasan bandar udara/ pelabuhan;
2. Kawasan pengawasan militer;
3. Kawasan cagar budaya;
4. Kawasan pariwisata; atau
5. Kawasan hutan lindung.

Penggunaan Menara Bersama


Penyelenggara Telekomunikasi atau Penyedia Menara yang memiliki Menara, atau
Pengelola Menara yang mengelola Menara, harus memberikan kesempatan yang sama
tanpa diskriminasi kepada para Penyelenggara Telekomunikasi lain untuk menggunakan
Menara miliknya secara bersama-sama sesuai kemampuan teknis Menara.
16

Calon pengguna Menara dalam mengajukan surat permohonan untuk penggunaan


Menara Bersama, harus memuat keterangan sebagai berikut:
1. Nama Penyelenggara Telekomunikasi dan penanggung jawabnya;
2. Izin penyelenggaraan telekomunikasi;

3. Maksud dan tujuan penggunaan Menara yang diminta dan spesifikasi teknis
perangkat yang digunakan; dan
4. Kebutuhan akan ketinggian, arah, jumlah, atau beban Menara.

3. Sanitasi

Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan


maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan
berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan
manusia. Pemerintah Indonesia harus bisa mengatasi masalahsanitasi ini karena bila
pemerintah Jakarta tidak bisa mengatasi sanitasi ini negara Indonesia ini akan memiliki
kebudayaan hidup yang tidak sehat dan lingkungan yang tidak sehat juga.
4. Energi

Energi sangat memegang perang yang penting dalam kehidupan manusia begitu
juga dengan masyarakat di Indonesia. Indonesia sudah dipastikan memerlukan sumber
energi yang besar untuk menghidupi kota Indonesia ini. Untuk itu masalah ini pemerintah
Indonesia juga harus mengambil tindakan untuk mengatasi masalah energy ini. Mungkin
di pikiran kita saat ini terlintas untuk menggunakan energi nuklir, ya seharusnya
pemerintah Indonesia juga memikirkan energi alternatif yaitu nuklir. Wacana energi
nuklir sudah sering diperbincangkan tetapi ada pro kontra terhadap energi nukliri ini,
bagi pihak yang kontra menjelaskan bahwa energi nuklir sangat berbahaya karena radiasi
dari nuklir tersebut dapa menyebabkan kematian bila seseorang menghirup udara yang
sudah tercemar oleh nuklir, sedangkan pro menjelaskan energi ini sangat baik dan efisien
pemakain dibandingkan dengan energi minyak bumi atau batu bara. Pemerintah inonesia
harus bisa membuat keputsan tentang masalah energi ini karena Indonesia sangat
mebutuhkan energi yang sangat besar.
Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia, pemerintah
mencanangkan empat pilar utama Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Indonesia yang diluncurkan bersamaan dengan digelarnya Infrastructure Summit 2005.
Keempat pilar utama tersebut meliputi:

1. Pilar pertama adalah reformasi peraturan perundangan. Reformasi ini bertujuan


untuk membuka peluang swasta secara langsung dalam pembangunan infrastruktur.
Undang- Undang Pelayaran, Undang-Undang Penerbangan, dan Undang-Undang
Perkeretaapian dan semua turunannya direvisi sehingga membuka kemungkinan
17

tidak hanya swasta tetapi juga masyarakat dan pemerintah daerah dapat ikut serta
dalam pembangunan infrastruktur.

2. Pilar kedua adalah penyusunan daftar proyek yang akan dipercepat


pembangunannya, baik yang dibiayai oleh APBN maupun oleh skema KPS. Untuk
proyek KPS, disusun KPS Book yang berisi informasi terkait proyek yang akan
ditawarkan kepada pihak swasta. Beberapa proyek dipilih menjadi model proyek
yang diharapkan dapat menjadi acuan proyek-proyek sejenis. Selain itu juga disusun
kerangka pengelolaan risiko yang memberikan jenis penjaminan yang sesuai dalam
pembangunan infrastruktur. Agar jaminan Pemerintah ini tidak secara langsung
berimplikasi pada APBN, maka disusunlah konsep cikal bakal Indonesia
Infrastructure Guarantee Fund.

3. Pilar ketiga adalah pembentukan forum komunikasi yang erat antar pemangku
kepentingan. Forum ini adalah gagasan awal terbentuknya Indonesia
Infrastructure Forum yang menjadi wadah diskusi para pemangku kepentingan
bidang infrastruktur, terutama dari unsur pemerintah, swasta, akademisi, dan
masyarakat sipil. Forum ini mengadakan pertemuan reguler dengan tujuan
menjembatani informasi, interaksi, dan pewujudan aksi bersama untuk mempercepat
pembangunan infrastruktur di Indonesia. Forum ini sedianya merupakan organisasi
komplementer Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KPPI)
yang beranggotakan para menteri dan kepala lembaga terkait.

4. Pilar keempat adalah peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan institusi.
Pada beberapa kementerian, dilahirkan badan pengatur sektor yang berfungsi sebagai
regulator bagi sektor terkait. Sebagai contoh adalah di bidang jalan tol, yang diatur
oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), dan di bidang air minum, dengan
dibentuknya Badan Pengatur Sistem Penyediaan Air Minum.

Untuk melengkapi komitmen pemerintah dalam mendukung KPS di


Indonesia, dibentuk beberapa lembaga yang secara spesifik berperan dalam
pelaksanaan KPS, seperti Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF), yang
dibentuk untuk memitigasi risiko- risiko tertentu yang terdapat pada pembangunan
proyek infrastruktur. Penjaminan pemerintah ini bersifat tidak langsung (non-
recourse) sehingga pola penjaminan dilakukan di luar neraca keuangan (off-balance
sheet), yang berarti neraca keuangan Pemerintah tidak terekspos secara langsung.
Risiko yang ditanggung adalah risiko yang tidak mungkin ditanggung oleh pihak lain
selain pemerintah, seperti pembebasan lahan dan kepastian naiknya tarif secara
berkala berdasarkan perjanjian konsesi. Selanjutnya pemerintah membentuk PT
Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk menutup celah pembiayaan, khususnya
pembiayaan antara (bridging finance) dan dana ekuitas. PT SMI bersama
dengan lembaga donor, seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), Bank
Pembangunan Jerman GIZ, membentuk Indonesia Infrastructure Funds and
Facilities (IIFF).
18

Dalam rangka memacu pembangunan ekononomi di Indonesia, Pemerintah


meluncurkan Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Elemen utama yang perlu diprioritaskan pada kesuksesan program MP3EI dalam
rangka pendayagunaan sumber daya alam dan sumber daya mineral dengan
optimal adalah melalui pembangunan konektivitas dalam pulau (intra island), antar
pulau (inter islands), dan internasional. Jaringan transportasi adalah salah satu
komponen utama konektivitas tersebut. Skema pembiayaan percepatan
pembangunan ekonomi pada bidang transportasi dalam MP3EI ditunjukkan pada
Gambar 1.

Pada Gambar 1 terlihat bahwa hanya (10-15) persen dari investasi yang
diperlukan dapat dipenuhi oleh Pemerintah. Sisanya diharapkan berasal dari dunia
usaha dan masyarakat. KPS dan investasi swasta murni (Private Finance Initiative,
PFI) diyakini dapat digunakan untuk membantu mewujudkan master plan ini ke
dalam bentuk pembangunan riil.

Gambar 1 Kebutuhan Investasi Infrastruktur Transportasi pada MP3EI


19

Prospek Kerjasama Pemerintah-Swasta di masa depan


Kebanyakan analis investasi internasional percaya bahwa prospek pengembangan dan
pelaksanaan proyek-proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta di Indonesia dalam
tahun- tahun mendatang sangat menjanjikan. Pertama, peraturan-perundangan sektor
yang diperlukan telah hampir lengkap. Bila peraturan-perundangan mengenai pengadaan
tanah dapat diselesaikan pada tahun 2011, maka perangkat peraturan-perundangan sektor
telah dapat dianggap lengkap. Kedua, perangkat kelembagaan dan peraturan-
perundangan tentang Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) termasuk kelembagaan
pembiayaan dan penjaminan infrastruktur juga sudah cukup lengkap.
Dalam rangka pengembangan kerangka kelembagaan, Pemerintah telah berupaya
melakukan berbagai langkah terobosan guna mendukung pelaksanaan KPS.
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur telah diubah untuk kedua kalinya melalui
Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011. Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan
Infrastruktur (KKPPI) sebagai salah satu komite tingkat kementerian telah direvitalisasi
melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2011. Sementara itu, PT Sarana Multi
Infrastruktur (SMI) melalui anak perusahaannya PT Indonesia Infrastructure Finance
(IIF) serta PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) juga telah beroperasi secara penuh
masing-masing sebagai instrumen pembiayaan dan penjaminan pembangunan
infrastruktur melalui skema KPS. Landasan hukum operasional PT PII telah ditetapkan
melalui Perpres 78/2010 serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 260/2010.
Ketiga, hambatan dalam bidang pembiayaan swasta meskipun masih ada namun
dapat disiasati. Sebagaimana diketahui, jangka-waktu pengembalian modal (payback
period) dari proyek-proyek KPS biasanya panjang, yang tidak sesuai dengan masa jatuh-
tempo sumber dana perbankan. Selain itu, prinsip kehati-hatian yang diterapkan
dalam perbankan di Indonesia juga tidak memungkinkan penerapan pola pembiayaan
project financing karena tidak adanya jaminan (collateral) atas pinjaman. Namun dengan
semakin stabil dan kuatnya perekonomian Indonesia dan semakin tingginya kepercayaan
asing terhadap ekonomi kita, maka kemungkinan bagi masuknya investor asing
dalam bidang infrastruktur dan diperolehnya pinjaman dana asing oleh investor dalam
negeri menjadi terbuka lebar.
Keempat, masalah penyiapan proyek KPS sedang dalam proses untuk diatasi.
Sebagaimana diketahui, salah satu masalah dalam penyiapan proyek KPS di Indonesia
adalah kurangnya pemahaman para pemangku kepentingan mengenai KPS, yang
menyebabkan proyek yang diusulkan menjadi proyek KPS adalah yang kelayakannya
rendah, tidak adanya anggaran untuk menyiapkan proyek, dan proses penyiapan kurang
maksimal dan kurang seksama sehingga proyek KPS justru menjadi gagal. Permasalahan
lain yaitu kurangnya pengalaman kita dalam penyiapan dan pelaksanaan proyek KPS dan
belum banyak contoh-contoh proyek KPS yang telah berhasil dilaksanakan yang bisa
menjadi “showcase” bagi pelaksanaan KPS di Indonesia. Upaya Bappenas dalam rangka
mengatasi masalah-masalah diatas yaitu: (a) melaksanakan program sosialisasi dan
pelatihan mengenai KPS, sehingga pemahaman para pemangku kepentingan mengenai
KPS menjadi lebih baik dan kualitas usulan proyek KPS menjadi lebih tinggi; (b)
memberikan bantuan teknis (tenaga ahli) untuk penyiapan proyek KPS bagi instansi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang mempunyai usulan proyek KPS yang dinilai
akan bisa menjadi layak.

Anda mungkin juga menyukai