Anda di halaman 1dari 14

SEJARAH DAN KONSERVASI PERKOTAAN

SEBAGAI DASAR PERANCANGAN KOTA ∗

Antariksa ∗∗

Pendahuluan
Dewasa ini kota-kota di dunia telah banyak mengalami perkembangan dan
perubahan yang sangat pesat, dalam perubahan tersebut, bangunan, kawasan
maupun objek budaya yang perlu dilestarikan menjadi rawan untuk hilang dan
hancur, dan dengan sendirinya akan digantikan dengan bangunan, kawasan ataupun
objek lainnya yang lebih bersifat ekonomis-komersial. Gejala penurunan kualitas fisik
tersebut, dengan dapat mudah diamati pada kawasan kota bersejarah, karena
sebagian dari perjalanan sejarah kawasan kota tersebut pada umumnya berada
dalam tekanan pembangunan. Dengan kondisi pembangunan yang ada sekarang,
budaya membangun pun telah mengalami perbedaan nalar, hal ini terjadi karena
kekuatan-kekuatan masyarakat tidak menjadi bagian dalam proses urbanis yang
pragmatis. Urbanisasi dan industrialisasi menjadikan fenomena tersendiri yang
menyebabkan pertambahan penduduk yang signifikan serta permintaan akan lahan
untuk permukiman semakin meningkat di perkotaan. Bagian dari permasalahan itu,
akan membuat kawasan kota yang menyimpan nilai kesejarahan semakin terdesak
dan terkikis. Pertentangan atau kontradiksi antara pembangunan sebagai kota
“modern” dengan mempertahankan kota budaya yang masih mempunyai
kesinambungan dengan masa lalu, telah menjadikan realitas permasalahan bagi
kawasan kota yang masih menyimpan sejumlah peninggalan sejarahnya.
Pendekatan perancangan kota yang banyak dilakukan pun jarang
mengakomodasi keberagaman struktur sosio-kultural yang telah terbentuk di
kawasan tersebut. Para perancang kota lebih sering melihat kota sebagai benda fisik
(physical artifact) ketimbang sebagai benda budaya (cultural artifact). Perangkat
rencana kota yang ada saat ini, selain masih belum banyak dipakai secara sempurna
untuk mengendalikan wujud kota, secara umum pun belum dapat memberikan
panduan operasional bagi terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap
fenomena urban, baik situasi dan kondisi serta masyarakat yang menikmatinya. Atau
dengan kata lain, masih terdapat adanya kesenjangan antara rencana tata ruang
yang bersifat dua dimensi dengan rencana fisik yang bersifat tiga demensi.
Dengan demikian, konservasi/pelestarian bukanlah romantisme masa lalu atau
upaya mengawetkan kawasan kota yang bersejarah, namun lebih ditujukan untuk
menjadi alat dalam mengolah transformasi melalui pemahaman tentang sejarah

Makalah ini disampaikan pada STADIUM GENERAL “Perancangan Kota Untuk Kota Kecil”
Jurusan Teknik Planologi Institut Teknologi Nasional, Malang 21 Juni 2004.
∗∗
Staf Pengajar Jurusan Arsitektur dan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota,
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.

1
perkotaan dan aspek-aspek dalam pelestarian yang dijadikan dasar dalam
merancang sebuah kota.

Sejarah Kota dan Kawasan (What is Urban History and Urban Area?)
Kota adalah wadah dan wajah masyarakat yang akan terus bertahan atau
dipertahankan. Rumusan tersebut perlu adanya suatu penegasan, yaitu bahwa:
setiap kota pasti mempunyai sejarah; di mana, mengapa dan kapan didirikan,
dibangun dan dipertahankan; bagaimana kota itu mesti dibangun dan dikembangkan;
serta adanya kegiatan perencanaan teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai
budaya).
Sejarah perkotaan (urban history) pada dasarnya merupakan bidang studi
internasional yang ingin mencoba menjawab beberapa pertanyaan dasar mengenai
nature of our societies, dengan menggunakan pendekatannya yang cenderung
multidisiplin, maka dalam sejarah perkotaan tidaklah luar biasa untuk dapat
menemukan beberapa ahli di antaranya, adalah ahli sejarah, arsitektur, geografi,
perencana, atau kritikus sastra, dan mereka semua dapat dinamakan sebagai ahli
sejarah perkotaan. Di sisi lain sejarah perkotaan mempunyai hubungan erat dengan
local history, dan studi tersebut difokuskan pada masalah lokal, atau beberapa aspek
dari kehidupan di komunitas lokal serta dilakukan dengan sebuah analisa dan
penjelasan.
Ada empat pendekatan dalam bidang sejarah perkotaan yang dapat
diidentifikasi: Pertama, secara umum ditekankan pada proses urbanisasi termasuk
elemen demografi, struktur atau pendekatan sistem, dan aspek perilaku urbanisasi.
Kedua, adalah urban biography merupakan tempat bersejarah yang istimewa, dan
berhubungan dengan beberapa segi dari sebuah kota, seperti transportasi,
pemerintah kota, perkembangan fisik, masyarakat dan organisasi sosial. Ketiga,
memperlakukan beberapa tema, seperti ekonomi, sosial, arsitektur, dan sebagainya
dalam konteks sebuah kota. Keempat, cultural studies, merupakan jalan baru dalam
“reading” cities, dan memperkenalkan konsep untuk “read” communities.

Belajar dari Sejarah Awal Berkembangnya Perkotaan


Dengan mempelajari sejarah kota, kita akan dapat melihat pengejawantahan
pemikiran jujur tentang penataan kota masa lampau, dari tata cara penataannya,
sampai pada sumber kehidupan warisan sejarah sebagai tempat beraktivitas.
Banyak hal yang dapat dipetik dengan mempelajari sejarah perkotaan dari
Majapahit-Kota Indis-Kota Islam dan dari negara lain seperti India-Cina-Jepang, akan
dapat memberikan tambahan pemahaman arti sejarah perkotaan yang lebih
mendalam.

Tata ruang kota Majapahit


Struktur kekuasaan dari kerajaan Majapahit mempunyai pengaruh besar pada
organisasi ruang kotanya, hal ini dapat dilihat dengan adanya: 1. wilayah inti pusat
kerajaan Majapahit; 2. wilayah inti sistem candi-candi kerajaan Majapahit; 3. wilayah
kantong (enclave) pemujaan arwah nenek moyang; dan 4. wilayah perdesaan
kerajaan Majapahit. Di samping itu, perkembangan dari Majapahit secara makro
wilayah dipengaruhi arus kecenderungan pertumbuhan, yaitu arus perkembangan
kebudayaan Hindhu Jawa; dan perkembangan global di pihak lain. Pada penataan
kota Majapahit mendapatkan pengaruh dari kebudayaan Hindhu-India yang datang

2
ke Jawa melalui medium agama Hindhu-Budha. Dengan demikian, kota Majapahit
merupakan perpaduan antara unsur-unsur dua kebudayaan, India dan Jawa. Untuk
ciri pola tata ruang kota Majapahit, dapat dilihat adanya: 1. pola ruang berpusat,
dengan kawasan inti berpola grid, sedangkan kawasan luar melingkar berpola
sirkular; 2. kawasan antara merupakan kawasan transisi, antara dua hierarkhi
kawasan, antara dua tingkat masyarakat kota, dan dua jenis pola keruangan kota,
terkendali dan organis; 3. keseluruhan kawasan kota merupakan sistem kerungan
terbuka, baik secara ekologis, secara sosial, maupun secara kewilayahan yang
diwujudkan dalam bentuk kota tanpa dinding fisik; dan 4. pemilihan perpaduan pola
keruangan kawasan kota tersebut di atas dapat menjadi strategi keruangan jangka
panjang yang adaptif.

Perkembangan awal kota Indis


Kota Indis, muncul pada waktu hadirnya pemerintah kolonial Belanda, mulai abad ke-
16. Pada awalnya perkembangannnya, kota ini menjiplak kota-kota asalnya, dalam
perkembangannya, seorang ahli perkotaan Peter JM. Nas membedakan kota
menjadi empat macam, yaitu di antaranya: kota awal Indonesia; kota Indis; kota
kolonial; dan kota modern. Dalam kota Indis diketahui terdapat adanya: a. daerah
benteng yang dihuni oleh pejabat-pejabat dan pegawai-pegawai VOC; b. daerah
perdagangan yang dihuni oleh orang-orang asing (kebanyakan orang-orang Cina);
dan c. Kampung (pada awalnya berada di luar benteng), yang dihuni oleh penduduk
pribumi. Kemudian pada perkembangan berikutnya, kota awal Indonesia memiliki
struktur yang jelas mencerminkan tatanan kosmologis dengan pola-pola sosial-
budaya yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu kota-kota pedalaman dengan ciri-ciri
tradisional, religius; dan kota-kota pantai yang berdasarkan pada kegiatan
perdagangan. Ada tiga ciri untuk memahami struktur ruang lingkup sosial kota
kolonial, yaitu antara lain: budaya; teknologi, dan struktur kekuasaan kolonial.
Pada kota-kota lama di Jawa sampai abad ke-18 tidak mengalami perkembangan
yang berarti, dan kota-kota yang tidak mempunyai fungsi perdagangan, umumnya
menjadi kota pusat pemerintah daerah. Bentuk kota kabupaten digambarkan tidak
jauh berbeda dengan perdesaan sekitarnya, dan kelompok bangunan di kota-kota
lebih rapat satu sama lain, dibanding kelompok perumahan di perdesaan. Untuk
kota-kota pantai kuno, kelompok perumahan di kota pusat pemerintahan lebih
jarang, bentuk bangunannya masih tradisionil. Elemen pembentuk ruang pada kota
tradisional Jawa, antara satu dengan lainnya menggunakan dua prinsip, yaitu di
antaranya mikrokosmos dualistis; dan mikrokosmos hirarkhis. (Santoso 1984)

Karakteristik kota Islam


Dengan masuknya Islam, maka pengaruhnya pun juga memberikan ciri atau
karakteristik kota Islam, yaitu antara lain: mempunyai benteng; mempunyai kompleks
kediaman penguasa (istana; bangunan-bangunan pemerintahan; dan bangunan-
bangunan pasukan pengawal); mempunyai civic center (masjid Jamik dengan
madrasahnya; dan pasar); mempunyai perkampungan untuk penduduk dengan
pengelompokkan (etnis; agama; dan ketrampilan); dan di luar benteng terdapat
perkampungan untuk komunitas dengan beberapa (pekerjaan tertentu; dan
pemakaman). Hal ini dapat dilihat pada perkembangan awal dari kota Mataram-Islam
yang tentu saja juga mempunyai komponen-komponen pembentuk kota, dan dapat
dilihat sepintas sebagai berikut:

3
Komponen-komponen kota Mataram-Islam

Kota Gede
Plered
Kartosuro

Pintu Gerbang Pabean


Jaringan Jalan
Benteng
Prit keliling (jagang)
Pasar
Masjid Agung
Alun-alun
Kraton
Taman dan Krapayak
Permukiman Penduduk
Lumbung
Pemakaman

Demak
Cirebon
Banten Lama
Gresik

Kota-kota kuno di wilayah pantai utara Jawa

Untuk komponen-komponen pokok dari kota Mataram-Islam dan kota yang


berkembang di wilayah pantai utara Jawa dapat dikelompokkan: 1. Fungsi tempat
tinggal dalam dua komponen: a. kraton beserta alun-alunnya bagi penguasa dan
keluarga terdekatnya; dan b. permukiman lain yang terbagi dalam dua macam, yaitu
antara lain: dalem bagi golongan bangsawan dan elite birokrat; dan permukiman bagi
rakyat non elit; 2. Fungsi keamanan tercermin dalam komponen, yakni benteng baik
dalam maupun luar, jagang, dan jaringan jalan; 3. Fungsi ekonomi tercermin dalam
keberadaan pasar, jaringan jalan, serta nama tempat yang menunjukkan profesi; 4.
Fungsi religi terlihat dalam keberadaan masjid, nama tempat yang menggambarkan
profesi keagamaan dan alun-alun; dan 5. Fungsi rekreasi terlihat adanya taman dan
krapayak.

Penataan kota di India


Di dalam perencanaan kota dan desa di India waktu itu, salah satunya harus
memperhatikan Vastu-purusha mandala baik dengan tatanan 64 maupun 81.
Dinding atau tembok kota dibangun sepanjang batas dari mandala; dan jalan di buat
dari arah utara-selatan dan timur-barat sepanjang garis padas dari satu padas ke
berikutnya. Vastu-purusha mandala: sebagai dasar perencanaan kota Jaipur di India;
dan semua jalan berada pada arah longitudinal timur-selatan-timur, dan barat-utara-
barat. Swastika, adalah sebagai solar simbol bangsa Aryan kuno, dapat digunakan
untuk perencanaan: 1. rumah tinggal; 2. layout tata ruang; 3. perencanaan kota; dan

4
4. menata sekuen dari jalan. Kheta, yang diperbolehkan untuk bertempat tinggal di
wilayah ini hanya kasta Shudra di sini tidak mempunyai pusat; dan sebagai pusat
adalah dinding/ tembok kota. Kemudian bentuk sederhana dari perencanaan kotanya
haruslah jelas: kasta Brahma, harus bertempat tinggal dan bekerja di wilayah/bagian
utara; kasta Kshatriya, di wilayah/bagian timur; kasta Vaishya, di wilayah/bagian
selatan; dan kasta Shudra di wilayah/bagian barat. Dengan demikian, konsep dan
pedoman penataan kota di India sesuai yang termuat dalam pustaka Manasara
Silpasastra atau Kautilya Arthashastra. Di samping itu, mereka juga mempunyai
unsur-unsur permukiman atau kompleks pusat kerajaan, antara lain: candi (mandira,
devalaya); pasar (apana); jalan dan lorong (vithi); saluran air-selokan; istana raja;
perumahan umum; pasar; gapura-pintu gerbang (gopura); tempat persediaan air,
sumur; tembok kota; jalan bawah tanah; benteng; dan menara jaga, dan sebagainya.

Awal dari perkembangan kota kuno di Cina


Kota-kota kuno Cina yang berhasil diketemukan dan dapat dijelaskan, bahwa: 1.
semua kota di kelilingi dengan dinding/tembok dari tanah; 2. hampir keseluruhan
bentuk pola kota adalah empat persegi dan persegi panjang; 3. keseluruhan
bangunan digunakan untuk tujuan politik dan keagamaan; dan 4. ciri-ciri yang
tetap/konstan adanya wilayah yang spesial menurut prinsip Cina dari segregasi
sosial. Pada perencanaan kota Changan, kota di bangun dengan denah dasar
simitris, mencakup area panjang 6 mil dari timur-barat dan 5 mil 3 meter dari utara-
selatan. Pada bagian dinding-dindingnya mempunyai ketebalan 16 feet dan 22 mil 5
meter panjangnya, dan mempunyai tiga pintu gerbang di utara dan barat, serta
delapan di utara. Kota dibagi menjadi lima bagian: a. di utara istana kekaisaran; b.
istana; c. di sebelah utara istana kekaisaran di kelilingi dinding/tembok dari tanah;
dan d. di selatan dari istana berisi bangunan pemerintahan dan badan-badan
lainnya. Di samping hal tersebut di atas dapat dilihat juga bahwa istana kekaisaran
dan bangunan pemerintahan yang berkembang pada waktu itu seluruhnya terpisah
dari pasar dan daerah tempat masyarakat bertempat tinggal.

Perkembangan awal kota di Jepang


Kata machi adalah berasal dari satu blok ladang yang ditanami. Di mana sebuah ibu
kota disusun/direncanakan dalam sebuah grid empat persegi panjang. Hal ini juga
dimaksudkan bahwa satu blok kota di kelilingi oleh empat jalan, kemudian untuk Jori
sistem adalah pembagian tanah untuk ladang yang ditanami padi, sedangkan Jobo
sistem adalah sistem untuk pembagian tanahnya.
Tsubo, digunakan sebagai unit dasar dari ukuran tanah di dalam perencanaan kota,
dan unit terbesar dari pembagi adalah persegi berjumlah dalam 36 area. Garis dari ri
adalah timur-barat, sedangkan jo adalah selatan-utara. Tsubo di kelilingi oleh empat
jalan yang sempit dan unit pembagi terbesar bo, di kelilingi oleh empat jalan lebar
dinamakan oji. Denah dari kota terdiri dari delapan bo timur-barat, dan sembilan bo
selatan-utara, untuk jalan utama yang di tengah, yang berjalan dari gerbang utama
ke halaman istana adalah merupakan bagian pemerintahan, di dalamnya termasuk
istana kekaisaran dan dinamakan Sujaku-oji. Jalan ini membagi kota ke dalam
bagian yang sama, separuh dari kiri dari bagian kota dinamakan Sakyo, separuh
sebelah kanan dari bagian kota di sebelah barat, dan Ukyo separuh sebelah kanan
dari bagian kota di sebelah timur. Bo adalah menomori di sebelah luar dari pusat
jalan, bo pertama, bo kedua, bo ketiga, dan bo keempat ke timur dan barat. Untuk
menetapkan posisi arah di sebelah utara-selatan, garis dari empat bo dinamakan jo,

5
dimulai dengan jo pertama di utara, sampai jo kesembilan di selatan. Karena itu,
metode penamaan disebut sebagai pola dan perencanaan kota sistem jobo. Empat
persegi panjang bo adalah membagi lagi oleh persilangan yang sempit ke dalam
empat blok bujur yang serupa, dan sebagai akibatnya adalah dimungkinkan untuk
menata setiap rumah menghadap matahari dan dengan halaman tamannya.

KONSERVASI PERKOTAAN
Pemahaman Tentang Konservasi
Jika kita ingin bergerak untuk menyelesaikan masalah pelestarian, ada tiga
pertanyaan kunci yang harus diajukan: (1) Apa yang ingin kita lestarikan?
(Bangunan?, Karakter kota?, Kehidupan?); (2) Mengapa kita ingin melestarikan?
(Karena aspek-aspek tersebut merupakan bagian dari warisan kota?, Untuk
meningkatkan lingkungan dan penduduk?, Untuk menarik uang dari wisatawan?);
dan (3) Untuk siapa kita lakukan pelestarian? (Pengguna saat ini?, Keseluruhan
negara?, Warisan umat manusia?).
Ada beberapa pemahaman dan pengertian mengenai conservation
(konservasi), adalah tindakan untuk memelihara sebanyak mungkin secara utuh dari
bangunan bersejarah yang ada, salah satunya dengan cara perbaikan tradisional,
dengan sambungan baja, dan atau dengan bahan-bahan sintetis. Pendapat lain
mengenai konservasi: adalah, upaya untuk melestarikan bangunan, mengefisienkan
penggunaan dan mengatur arah perkembangan di masa mendatang. Dari Piagam
Burra, pengertian konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan
sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan dapat pula mencakup: preservasi,
restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi.
Untuk itu, alangkah baiknya kalau kegiatan konservasi/preservasi pun haruslah
dapat memberikan manfaat yang tidak sedikit terhadap kota dan komponen-
komponen yang ada di dalamnya. Manfaat tersebut antara lain sebagai atraksi yang
menarik bagi wisatawan mancanegara, merupakan media untuk mempelajari
perkembangan arsitektur dan kota, dan sebagai wadah pembelajaran sejarah kota
bagi masyarakat. Usaha-usaha untuk preservasi akan memberikan manfaat praktis
bila manfaat kegiatan tersebut, adalah sebagai berikut: 1. preservasi
lingkungan/kawasan lama akan memperkaya pengalaman visual, menyalurkan
hasrat kesinambungan, memberikan tautan bermakna dengan masa lampau, dan
memberikan pilihan untuk tetap tinggal dan bekerja di dalam bangunan maupun
lingkungan/kawasan lama; 2. di tengah perubahan dan pertumbuhan yang pesat
sekarang ini, lingkungan/kawasan lama akan menawarkan suasana permanen yang
menyegarkan; 3. untuk mempertahankan bagian kota akan membantu hadirnya
sense of place, identitas diri dan suasana kontras; 4. kota dan lingkungan/kawasan
lama adalah satu aset terbesar dalam industri wisata, sehingga perlu dipreservasi; 5.
salah satu upaya generasi masa kini untuk dapat melindungi dan menyampaikan
warisan berharga kepada generasi mendatang; 6. membuka kemungkinan bagi
setiap manusia untuk memperoleh kenyamanan psikologis dan merasakan bukti fisik
suatu tempat di dalam tradisinya; dan 7. membantu terpeliharanya warisan arsitektur,
yang dapat menjadi catatan sejarah masa lampau.
Dalam konteks pembangunan kota, tindakan untuk melestarikan warisan
budaya perkotaan (urban heritage) diperlukan adanya motivasi. Motivasi tersebut
antara lain adalah: 1. motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan
sejarah; 2. motivasi untuk menjamin terwujudnya atau terpeliharanya tata ruang kota

6
yang khas; 3. motivasi untuk mewujudkan adanya suatu identitas tertentu yang
dikaitkan dengan kelompok masyarakat tertentu yang pernah menjadi bagian dari
kota; dan 4. motivasi ekonomi, suatu bentuk peninggalan tertentu yang dianggap
memiliki nilai atau daya tarik dan perlu dipertahankan sebagai modal
lingkungan/kawasan.

Konservasi Dalam Lingkup Bangunan dan Lingkungan:


Konservasi atau pelestarian dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan,
mula-mula berawal dari konsep preservasi yang bersifat statis, kemudian dari konsep
yang statis tersebut berkembang menjadi konsep konservasi yang bersifat dinamis
dengan cakupan yang lebih luas lagi. Sasarannya tidak terbatas pada objek
arkeologis saja, melainkan meliputi juga karya arsitektur lingkungan dan kawasan,
dan bahkan kota bersejarah dan pada akhirnya, konservasi menjadi payung dari
segenap kegiatan pelestarian lingkungan binaan yang mencakup preservasi,
restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi. Tujuan dari itu semua
adalah untuk memelihara bangunan atau lingkungan sedemikian rupa, sehingga
makna kulturalnya yang berupa: nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial
untuk generasi lampau, masa kini dan masa datang akan dapat terpelihara. Cakupan
konservasi berkaitan dengan alam dan lingkungan:

Pusat kota lama


Lingkungan Lingkungan Kawasan
binaan bersejarah kuno/Tradisional
dan lain-lain

Taman/Ruang Pusat kota lama


terbuka Kawasan
kuno/Tradisional
dan lain-lain.

Kota
bersejarah

Apa yang Dimaksud dengan Konservasi Area? (What is a Conservation Area?)


Konservasi area sebenarnya dapat meliputi beberapa hal, seperti perdesaan
(rural), perkotaan (urban), arkeologi (archeology), atau natural area yang mempunyai
kualitas spesial, dan patut untuk dilindungi. Konservasi area direncanakan/ditentukan
berdasarkan beberapa alasan:
1. untuk melindungi lingkungan atau konteks dari kelompok elemen-elemen
kultural, bersejarah (historical), estetik (aesthetic) atau nilai keilmuan
(scientific value);
2. untuk menuntun dan mengatur perkembangan baru;

7
3. untuk mengurangi atau mengeliminasi ancaman yang spesifik seperti,
pengembangan skala-besar, jalan-jalan, penzoningan kembali atau
tekanan perkembangan;
4. untuk memberi insentif pengembangan dengan perlindungan bagi benda-
benda yang mempunyai nilai dan menetapkan kriteria desainnya;
5. untuk mendapatkan pengakuan pada sebuah area dan mempromosikan
nilai-nilainya; atau
6. untuk melindungi lingkungan, atau dilihat dari pandangan national
monument.
Kemudian bagaimana dengan pemahaman arti area itu sendiri? Penentuan dari
konservasi area tersebut diartikan bahwa kualitas yang spesial dari area itu
dilindungi dan pengembangannya layak untuk diberikan. Pemilik, pengembang,
arsitek, perencana, dan pemerintah yang berwenang akan menjaga bahwa
pengembangan area itu sangat sensitif, dan bahwa perubahan tidak akan
menghancurkan kualitas spesial yang diberikan sebagai makna budaya, dengan
demikian konservasi area dapat diidentifikasi setelah survei komprehensif dan
analisis kualitas pada area itu dilakukan.

Konsep Konservasi
Konsep awal dari pelestarian adalah konservasi, yaitu pengawetan benda-
benda monumen dan sejarah (lazimnya dikenal sebagi preservasi), dan akhirnya hal
itu berkembang pada lingkungan perkotaan yang memiliki nilai sejarah serta
kelangkaan yang menjadi dasar bagi suatu tindakan konservasi. Pada dasarnya,
makna suatu konservasi dan preservasi tidak dapat terlepas dari makna budaya
(Kerr, 1992). Untuk itu, konservasi merupakan upaya memelihara suatu tempat
berupa lahan, kawasan, gedung maupun kelompok gedung termasuk lingkungannya
(Danisworo, 1991). Di samping itu, tempat yang dikonservasi akan menampilkan
makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim
maupun fisik (Danisworo, 1992). Dalam perencanaan suatu lingkungan kota, unit dari
konservasi dapat berupa sub bagian wilayah kota bahkan keseluruhan kota sebagai
sistem kehidupan yang memang memiliki ciri atau nilai khas. Dengan demikian,
Peranan konservasi bagi suatu kota bukan semata bersifat fisik, namun mencakup
upaya mencegah perubahan sosial.
Konsep yang dirumuskan untuk melakukan pekerjaan konservasi hendaklah
disusun dalam suatu rencana (conservation plan) berdasarkan: 1. Penetapan objek
konservasi, suatu upaya pemahaman dalam menilai aspek budaya suatu objek
dengan tolok ukur estetika, kesejarahan, keilmuan, kapasitas demonstratif serta
hubungan asosiasional; dan 2. Perumusan kebijakan konservasi suatu upaya
merumuskan informasi tentang nilai-nilai yang perlu dilestarikan untuk kemudian
dijadikan sebagai landasan penyusunan strategi pelaksanaan konservasi.
Konservasi merupakan bagian integral dari perancangan kota, menurut Sirvani
(1985), meliputi rumusan kebijakan, rencana, pedoman, dan program. Dapat
diuraikan sebagai berikut: 1. Kebijakan Perancangan Kota, merupakan kerangka
strategi pelaksanaan yang bersifat spesifik. 2. Rencana Perancangan Kota,
merupakan produk penting dalam perancangan kota yang berorientasi pada produk
maupun proses; 3. Pedoman Perancangan Kota, dapat berupa pengendalian
ketinggian bangunan, bahan, setback, proporsi, gaya arsitektur, dan sebagainya; dan
4. Program Perancangan Kota, biasanya mengacu pada proses pelaksanaan atau
pada seluruh proses perancangan. Menurut Shirvani (1985), menggunakan

8
terminologi tersebut untuk mengacu pada aspek perencanaan dan perancangan
yang dapat memelihara dan melestarikan lingkungan yang telah ada maupun yang
hendak diciptakan. Dengan demikian diharapkan akan didapatkan: a. Kegiatan
konservasi dan preservasi -sebagai bagian dari pelestarian- merupakan usaha
meningkatkan kembali kehidupan lingkungan kota tanpa meninggalkan makna
kultural maupun nilai sosial dan ekonomi kita; b. Arahan konservasi suatu kawasan
berskala lingkungan maupun bangunan, perlu dilandasi motivasi budaya, aspek
estetis, dan pertimbangan segi ekonomi; dan c. Preservasi dan konservasi yang
mengejawantahkan simbolisme, identitas suatu kelompok ataupun aset kota, perlu
dilancarkan.
Pada bagian lain, sasaran konservasi perlu dirumuskan secara tepat di
antaranya (Budihardjo, 1989): - Mengembalikan wajah objek konservasi; -
Memanfaatkan objek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini; -
Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan
masa lalu yang tercermin dalam objek pelestarian; dan - Menampilkan sejarah
pertumbuhan lingkungan kota dalam wujud fisik tiga dimensi. Akan tetapi dalam
penjabaran konsep di atas, perlu dirumuskan: - Tolok ukur, kriteria, dan motivasi dari
konservasi; dan - Bagian-bagian bangunan atau tempat yang akan dikonservasi,
atau bagian kota yang akan dilestarikan.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam proses penentuan konservasi
adalah sebagai berikut: a. Kriteria Arsitektural, suatu kota atau kawasan yang akan
dipreservasikan atau dikonservasikan memiliki kriteria kualitas arsitektur yang tinggi,
di samping memiliki proses pembentukan waktu yang lama atau keteraturan dan
keanggunan (elegance); b. Kriteria Historis, kawasan yang akan dikonservasikan
memiliki nilai historis dan kelangkaan yang memberikan inspirasi dan referensi bagi
kehadiran bangunan baru, meningkatkan vitalitas bahkan menghidupkan kembali
keberadaannya yang memudar; c. Kriteria Simbolis, kawasan yang memiliki makna
simbolis paling efektif bagi pembentukan citra suatu kota.
Kategori mempertimbangkan objek yang akan dikonservasi dapat dikategorikan
sebagai berikut: 1. Nilai (value) dari objek, mencakup nilai estetik yang didasarkan
pada kualitas bentuk maupun detailnya. Suatu objek yang unik dan karya yang
mewakili gaya zaman tertentu, dapat digunakan sebagai contoh, suatu objek
konservasi; 2. Fungsi objek dalam lingkungan kota, berkaitan dengan kualitas
lingkungan secara menyeluruh. Objek merupakan bagian dari kawasan bersejarah
dan sangat berharga bagi kota. Objek juga merupakan landmark yang memperkuat
karakter kota yang memiliki keterkaitan emosional dengan warga setempat; dan 3.
Fungsi lingkungan dan budaya, penetapan kriteria konservasi tidak terlepas dari
keunikan pola hidup suatu lingkungan sosial tertentu yang memiliki tradisi kuat,
karena suatu objek akan berkaitan erat dengan fase perkembangan wujud budaya
tersebut.

Revitalisasi Kawasan Kota


Salah satu kegiatan dari konservasi adalah revitalisasi atau upaya untuk
mendaur-ulang (recycle) yang tujuannya untuk memberikan vitalitas baru, dan
meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-
vita-lisasi) yang pada awalnya pernah ada namun telah memudar. Kegiatan
revitalisasi muncul karena adanya permasalahan yang muncul sejalan dengan
perkembangan kota yang begitu cepat dan membawa perubahan yang cukup
drastis. Perubahan tersebut seringkali mengakibatkan timbulnya masalah yang

9
pembenahannya seringkali memaksa kota untuk mengabaikan pihak-pihak tertentu
dengan mengatasnamakan program peremajaan kota, penggusuran permukiman
kumuh yang dilakukan dengan alasan demi keindahan kota, perubahan tatanan
perdagangan tradisional menjadi tatanan modern, penghancuran bangunan-
bangunan lama dan diganti dengan bangunan baru dengan dalih tidak memberikan
kontribusi ekonomi bagi daerah. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa revitalisasi
adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang
dulunya pernah vital/hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi.
Skala upaya revitalisasi biasa terjadi pada tingkat mikro kota, seperti sebuah jalan,
atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bias mencakup kawasan kota yang
yang lebih luas.
Revitalisasi kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha
menghidupkan kembali aktivitas perkotaan dan vitalitas kawasan untuk mewujudkan
kawasan yang layak huni (livable), mempunyai daya saing pertumbuhan dan
stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan sosial, berwawasan budaya serta terintegrasi
dalam kesatuan sistem kota. Karakteristik dari kawasan yang membutuhkan
revitalisasi, adalah kawasan mati (tidak berkembang lagi), kawasan yang
perkembangannya melesat dari arah semula, dan kawasan-kawasan yang
“ditinggalkan”. Sejarah perkembangan kota di Barat mencatat bahwa memang
kegiatan revitalisasi ini diawali dengan pemaknaan kembali daerah pusat kota
setelah periode tahun 1960-an. Bahkan ketika isu pelestarian di dunia Barat
meningkat pada periode pertengahan tahun 1970-an, kawasan (pusat) kota tua
menjadi fokus kegiatan revitalisasi.
Dilihat dari pengertian di atas, maka revitalisasi dapat menjadi alternatif dalam
memecahkan masalah pelestarian wajah kota lama, dan kebutuhan ruang teratasi
dengan meminimalisasikan pudarnya eksistensi kota lama. Pada dasarnya proses
revitalisasi kota terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: intervensi
fisik; rehabilitasi ekonomi; dan revitalisasi sosial/institusional. Revitalisasi adalah
salah satu pendekatan dalam meningkatkan vitalitas suatu kawasan kota yang bias
berupa penataan kembali pemanfaatan lahan dan bangunan, renovasi kawasan
maupun bangunan-bangunan yang ada, sehingga dapat ditingkatkan dan
dikembangkan nilai ekonomis dan sosialnya, rehabilitasi kualitas lingkungan hidup,
peningkatan intensitas pemanfaatan lahan dan bangunannya (Sujarto dalam Farma,
2002:23).
Oleh karena itu, revitalisasi kawasan kota dapat juga disebut sebagai konsep
pelestarian yang terintegrasi dengan “wajah” kota lama akan tetap terpelihara,
aktivitas saat ini dapat tertampung dan dapat memberikan keuntungan ekonomi.
Proses ini memerlukan dukungan dan peran aktif masyarakat, sehingga segala
usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat tidak dipatahkan lagi oleh
masyarakat. Disamping hal itu, pemerintah diharapkan dapat bertindak dengan lebih
tegas, yaitu dengan memperjelas konsep-konsep konservasi kotanya, mempunyai
produk-produk berkekuatan hukum, menindak oknum-oknum yang melanggar, serta
mampu memotivasi partisipasi masyarakat.

Mengapa Warisan Budaya? (Why heritage?)


Adanya pengakuan bahwa warisan budaya (cultural heritage) yang di dalamnya
terdapat konservasi, adalah merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan
pemerintahan, dan anggota masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah
bukan sekedar mendata masa lampau, tetapi merupakan bagian integral dari

10
identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Warisan budaya sebuah kota
dapat dilihat dalam tiga bagian faktor:
- Social factors, termasuk di dalamnya menambah citra dan identitas kota,
integrasi ke dalam kehidupan sehari-hari, dan pengembangan sistem nilai dari
masyarakat.
- Politico-economic, menyertakan peran dari heritage pada pariwisata, dan
kepentingan arkeologi dan kesejarahan.
- Planning factors, terutama dipergunakan pada architectural heritage,
redevelopmen dan regenerasi objek heritage untuk dipreservasi serta
integrasinya ke dalam proses pengembangan yang lebih besar pada kota
secara keseluruhan.
Untuk meletakkan isu dari heritage conservation dengan melihat seluruh proses
dari pengembangan kota, baik itu berhubungan dengan isu yang lain, seperti
pengembangan wisata, revitalisasi dari ekonomi daerah dan pemerintah daerah.

Beberapa contoh dari kota-kota yang telah melakukan heritage


conservation
Kathmandu: Its the People’s Heritage (Participation and Awareness-Building)
- Penanggungjawab adalah pemerintah daerah Kathmandu Municipal
Corporation (KMC) yang merealisasikan keinginan untuk mengintegrasikan
konservasi warisan budaya ke dalam proses yang lebih luas dari komunitas
dan partisipasi masyarakat.
- Keterlibatan komunitas sangat penting untuk keberhasilan dari beberapa
langkah heritage, dan implikasinya untuk kebanggaan masyarakat dan citra
kota.
- Preservasi warisan budaya secara langsung berhubungan dengan ekonomi
kota, dan pariwisata menjadi aktivitas yang utama.
- KMC mendirikan Heritage and Tourism Department tahun 1977.
Mengembangkan beberapa strategi heritage conservation di antaranya:
program pendidikan dan kesadaran untuk publik; heritage tour untuk anak-
anak sekolah, media radio dan televisi; partisipasi masyarakat; kerjasama
publik-privat; dan financial incentives.

Penang: Preserving for the Future (Institutional and Policy Environment)


- kehidupan kota dengan arsitektur tradisional yang utuh, streetscape dan
aktivitas sosio-ekonomi –menjaga nilai jual sebagai ‘produk wisata’.
- untuk mengembangkan dan menjaga identitas urban yang unik, kota
difokuskan dengan memperhubungkan perencanaan fisik, kerangka
kebijakan, dan master plan untuk menciptakan wilayah urban yang
berkelanjutan dan dipertahankan untuk generasi mendatang.
- inisiatif program dan studi yang mengkombinasikan konservasi dengan tujuan
luas dari local sustainability.
- mempersatukannya ke dalam rencana dan projek pariwisata, pada dasarnya
menambah nilai ekonomi daerah, tetapi lebih untuk masa mendatang.
- inisiatif ekonomi yang berkelanjutan dijamin oleh kerjasama dengan sektor
privat dalam bangunan potensi wisata untuk pengunjung dan penduduk
setempat.

11
Manila: Getting the Framework Right (Documentation and Preservation)
- Untuk Pilipina, Intramuros (berarti, di kelilingi dinding) merepresentasikan
permulaan dari pendataan sejarah mengenai perkembangan perkotaan
(urban development).
- Usaha dalam restorasi dan redevelopmen dari Intramuros dimulai tahun 1965
untuk mencegah kerugian selanjutnya dan menggabungankan ke dalam
mainstream dari urban development.
- Usaha dari preservasi Intramuros dilakukan dengan memisahkan urban
planning dan biro pengembang bagi kawasan bersejarah. Intramuros
Administration (IA) adalah bertanggungjawab untuk redevelopmen dan
restorasi.
- Tindakan lain juga telah dilakukan, mengklasifikasi Intramuros sebagai
‘cultural zone’, merencanakan master plan kawasan yang terintegrasi,
menghapus tata guna tanah yang tak sesuai, petunjuk perancangan dan
peraturan urban streetscape untuk pengembangan mendatang, restorasi
bangunan bersejarah, dan sebagainya.

Urban Conservation: The Case of Imai-cho, Japan


Dentoteki Kenzobutsu Gun Hozon Chiki atau preservasi untuk kolompok bangunan
bersejarah – Dent Ken Chiki – adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Jepang, di bawah badan perlindungan benda cagar budaya. Istilah ‘preservasi’,
mencerminkan pandangan statis dari pekerjaan pemerintah terhadap bangunan kuno
dan kawasan bersejarah, sedangkan Den Ken Chiki, lebih dinamis secara alami,
dengan konservasi kawasan bersejarah meliputi di dalamnya preservasi, restorasi,
rekonstruksi dan penataan ulang, pertimbangan ekonomi, sosio-kultural, aspek
hukum dan administratif. Perlu untuk diketahui, bahwa di kawasan tersebut, lebih
dari 80% rumah tinggalnya sampai saat ini masih bertahan, yang rata-rata dibangun
pada era Edo (1596 ~1868).

Konservasi dan pembangunan berkelanjutan di kota bersejarah Vigan


Kota Vigan merupakan kota yang terletak di Propinsi Ilocos Sur, Filipina, yang
memiliki banyak bangunan bersejarah, yang terdiri dari 180 buah gedung
pemerintahan dan rumah ibadah, gudang, taman, yang memiliki arsitektur abad ke-
18 dan ke-19, yang merupakan percampuran antara arsitektur Spanyol, Mexico,
Cina, dan arsitektur lokal. Penataan kota Vigan memiliki ciri tata kota Hispanic.
Peninggalan-peninggalan tersebut dapat bertahan dari kerusakan, yang antara lain
disebabkan oleh alam, perang dunia dan kebakaran besar yang terjadi pada tahun
1950 hingga 1970 yang menghancurkan banyak bangunan bersejarah. Kebudayaan
yang dilestarikan juga termasuk industri tradisional, seperti pembuatan guci, batu
bata dan ubin, perabotan kayu, garam, maguey rope, tukang besi, pemotong batu,
dan hand-woven abel fabrics.
Untuk melindungi warisan budaya sejarah kota Vigan, maka dilakukan upaya
preservasi dan konservasi. Pada awalnya (awal tahun 1990-an), usaha pelestarian
ini banyak mendapat halangan dari pemerintah lokal dan para pengusaha, untuk
mendukung hal tersebut UNESCO memberikan solusi preservasi dan konservasi
kota Vigan, sehingga dapat merubah seluruh kultur masyarakat untuk mendukung
pelaksanaan kegiatan tersebut.

12
Untuk mendukung kegiatan preservasi dan konservasi, para stakeholder lokal
perlu meninjau kembali arah pembangunan daerahnya untuk di arahkan ke budaya,
yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: menarik para wisatawan,
pemanfaatan kembali bangunan-bangunan kuno untuk berbagai macam kegiatan
(museum, toko, penginapan, kantor, rumah makan, dan sebagainya), revitalisasi seni
dan kerajinan tradisional, perbaikan dan pembangunan kembali bangunan untuk
melestarikan budaya, mengembalikan keaslian di daerah pusat pelestarian pusat
pelestarian (historic core), dan merehabilitasi jalur sungai kuno di sekeliling kota
Vigan untuk menghidupkan kembali industri di sekitar sungai dan mendukung
kegiatan pariwisata. Pada kegiatan preservasi dan konservasi akan selalu
berkoordinasi dengan badan-badan yang terlibat dalam kegiatan ini, seperti badan
internasional, nasional, dan lokal.

Penutup
Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu berarti
memperhatikan elemen-elemen jalan (street-furniture) dan pembentuk ruangnya,
baik tata hijau (soft-landscape) maupun perkerasannya (hard-landscape). Banyak
contoh kota di dunia yang sudah membagi area/kawasan mana yang perlu
dipreservasi dan mana yang tidak. Ke arah mana preservasi kawasan tersebut
berjalan, perangkat apa saja yang dibutuhkan, jadi pelestarian bukanlah ceritera
masa lalu, atau upaya untuk mengawetkan suatu kawasan bersejarah, namun lebih
ditujukan sebagai alat dalam mengolah transformasi kawasan. Upaya tersebut
merupakan langkah yang bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan bagi
masyarakat agar lebih baik, dan berdasarkan pada kekuatan-kekuatan aset sejarah
lama yang terdapat di kawasannya. Hal ini sebaiknya dititikberatkan pada upaya
pemanfaatan yang kreatif melalui pelaksanaan program partisipasi melalui kegiatan
ekonomi dan budaya kawasan. Untuk itu, perancangan kota harus menjadi
perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan binaan yang
akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru. Dengan demikian,
tanggung jawab terhadap pelestarian kota adalah tanggung jawab bersama yang
membutuhkan tanggung jawab sektoral, multi dimensi, dan disiplin, serta
berkelanjutan (sustainable).

Kepustakaan
Tjandrasasmita, U. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di
Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Kudus: Menara Kudus.
Adrisiyanti, I. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, Jendela: Yogyakarta.
Budihardjo, E. 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Jakarta: Djambatan.
Danisworo, M. 1996. Penataan Kembali Pusat Kota, Suatu Analisis Proses, Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol VII, Nomor 22, September, hlm: 70-
76.
Farma, A.S. 2002. “Strategi Perancangan dalam Meningkatkan Vitalitas Kawasan
Perdagangan Johar Semarang. Tesis, Program Magister Perencanaan
Wilayah dan Kota – Bidang Rancang Kota, ITB, Bandung.
Pontoh, N.K. 1992. “Preservasi dan Konservasi Suatu Tinjauan Teori perancangan”,
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol IV, Nomor 6, Desember, hlm:
34-39.

13
Srinivas, H. 1999. Prioritizing Cultural Heritage in the Asia-Pacific Region: Role of
City Governments, Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.
Srinivas, H. 1999. Mediation for Urban Conservation: The Case of Imai-cho, Japan,
Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.
Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept
and Sources, University of Guelph 49 -464 Reading a Community, pp. 1-7.

© Antariksa 2004

14

Anda mungkin juga menyukai