3 Sejarah - Dan - Konservasi - Perkotaan - Sebagai PDF
3 Sejarah - Dan - Konservasi - Perkotaan - Sebagai PDF
Antariksa ∗∗
Pendahuluan
Dewasa ini kota-kota di dunia telah banyak mengalami perkembangan dan
perubahan yang sangat pesat, dalam perubahan tersebut, bangunan, kawasan
maupun objek budaya yang perlu dilestarikan menjadi rawan untuk hilang dan
hancur, dan dengan sendirinya akan digantikan dengan bangunan, kawasan ataupun
objek lainnya yang lebih bersifat ekonomis-komersial. Gejala penurunan kualitas fisik
tersebut, dengan dapat mudah diamati pada kawasan kota bersejarah, karena
sebagian dari perjalanan sejarah kawasan kota tersebut pada umumnya berada
dalam tekanan pembangunan. Dengan kondisi pembangunan yang ada sekarang,
budaya membangun pun telah mengalami perbedaan nalar, hal ini terjadi karena
kekuatan-kekuatan masyarakat tidak menjadi bagian dalam proses urbanis yang
pragmatis. Urbanisasi dan industrialisasi menjadikan fenomena tersendiri yang
menyebabkan pertambahan penduduk yang signifikan serta permintaan akan lahan
untuk permukiman semakin meningkat di perkotaan. Bagian dari permasalahan itu,
akan membuat kawasan kota yang menyimpan nilai kesejarahan semakin terdesak
dan terkikis. Pertentangan atau kontradiksi antara pembangunan sebagai kota
“modern” dengan mempertahankan kota budaya yang masih mempunyai
kesinambungan dengan masa lalu, telah menjadikan realitas permasalahan bagi
kawasan kota yang masih menyimpan sejumlah peninggalan sejarahnya.
Pendekatan perancangan kota yang banyak dilakukan pun jarang
mengakomodasi keberagaman struktur sosio-kultural yang telah terbentuk di
kawasan tersebut. Para perancang kota lebih sering melihat kota sebagai benda fisik
(physical artifact) ketimbang sebagai benda budaya (cultural artifact). Perangkat
rencana kota yang ada saat ini, selain masih belum banyak dipakai secara sempurna
untuk mengendalikan wujud kota, secara umum pun belum dapat memberikan
panduan operasional bagi terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap
fenomena urban, baik situasi dan kondisi serta masyarakat yang menikmatinya. Atau
dengan kata lain, masih terdapat adanya kesenjangan antara rencana tata ruang
yang bersifat dua dimensi dengan rencana fisik yang bersifat tiga demensi.
Dengan demikian, konservasi/pelestarian bukanlah romantisme masa lalu atau
upaya mengawetkan kawasan kota yang bersejarah, namun lebih ditujukan untuk
menjadi alat dalam mengolah transformasi melalui pemahaman tentang sejarah
∗
Makalah ini disampaikan pada STADIUM GENERAL “Perancangan Kota Untuk Kota Kecil”
Jurusan Teknik Planologi Institut Teknologi Nasional, Malang 21 Juni 2004.
∗∗
Staf Pengajar Jurusan Arsitektur dan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota,
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.
1
perkotaan dan aspek-aspek dalam pelestarian yang dijadikan dasar dalam
merancang sebuah kota.
Sejarah Kota dan Kawasan (What is Urban History and Urban Area?)
Kota adalah wadah dan wajah masyarakat yang akan terus bertahan atau
dipertahankan. Rumusan tersebut perlu adanya suatu penegasan, yaitu bahwa:
setiap kota pasti mempunyai sejarah; di mana, mengapa dan kapan didirikan,
dibangun dan dipertahankan; bagaimana kota itu mesti dibangun dan dikembangkan;
serta adanya kegiatan perencanaan teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai
budaya).
Sejarah perkotaan (urban history) pada dasarnya merupakan bidang studi
internasional yang ingin mencoba menjawab beberapa pertanyaan dasar mengenai
nature of our societies, dengan menggunakan pendekatannya yang cenderung
multidisiplin, maka dalam sejarah perkotaan tidaklah luar biasa untuk dapat
menemukan beberapa ahli di antaranya, adalah ahli sejarah, arsitektur, geografi,
perencana, atau kritikus sastra, dan mereka semua dapat dinamakan sebagai ahli
sejarah perkotaan. Di sisi lain sejarah perkotaan mempunyai hubungan erat dengan
local history, dan studi tersebut difokuskan pada masalah lokal, atau beberapa aspek
dari kehidupan di komunitas lokal serta dilakukan dengan sebuah analisa dan
penjelasan.
Ada empat pendekatan dalam bidang sejarah perkotaan yang dapat
diidentifikasi: Pertama, secara umum ditekankan pada proses urbanisasi termasuk
elemen demografi, struktur atau pendekatan sistem, dan aspek perilaku urbanisasi.
Kedua, adalah urban biography merupakan tempat bersejarah yang istimewa, dan
berhubungan dengan beberapa segi dari sebuah kota, seperti transportasi,
pemerintah kota, perkembangan fisik, masyarakat dan organisasi sosial. Ketiga,
memperlakukan beberapa tema, seperti ekonomi, sosial, arsitektur, dan sebagainya
dalam konteks sebuah kota. Keempat, cultural studies, merupakan jalan baru dalam
“reading” cities, dan memperkenalkan konsep untuk “read” communities.
2
ke Jawa melalui medium agama Hindhu-Budha. Dengan demikian, kota Majapahit
merupakan perpaduan antara unsur-unsur dua kebudayaan, India dan Jawa. Untuk
ciri pola tata ruang kota Majapahit, dapat dilihat adanya: 1. pola ruang berpusat,
dengan kawasan inti berpola grid, sedangkan kawasan luar melingkar berpola
sirkular; 2. kawasan antara merupakan kawasan transisi, antara dua hierarkhi
kawasan, antara dua tingkat masyarakat kota, dan dua jenis pola keruangan kota,
terkendali dan organis; 3. keseluruhan kawasan kota merupakan sistem kerungan
terbuka, baik secara ekologis, secara sosial, maupun secara kewilayahan yang
diwujudkan dalam bentuk kota tanpa dinding fisik; dan 4. pemilihan perpaduan pola
keruangan kawasan kota tersebut di atas dapat menjadi strategi keruangan jangka
panjang yang adaptif.
3
Komponen-komponen kota Mataram-Islam
Kota Gede
Plered
Kartosuro
Demak
Cirebon
Banten Lama
Gresik
4
4. menata sekuen dari jalan. Kheta, yang diperbolehkan untuk bertempat tinggal di
wilayah ini hanya kasta Shudra di sini tidak mempunyai pusat; dan sebagai pusat
adalah dinding/ tembok kota. Kemudian bentuk sederhana dari perencanaan kotanya
haruslah jelas: kasta Brahma, harus bertempat tinggal dan bekerja di wilayah/bagian
utara; kasta Kshatriya, di wilayah/bagian timur; kasta Vaishya, di wilayah/bagian
selatan; dan kasta Shudra di wilayah/bagian barat. Dengan demikian, konsep dan
pedoman penataan kota di India sesuai yang termuat dalam pustaka Manasara
Silpasastra atau Kautilya Arthashastra. Di samping itu, mereka juga mempunyai
unsur-unsur permukiman atau kompleks pusat kerajaan, antara lain: candi (mandira,
devalaya); pasar (apana); jalan dan lorong (vithi); saluran air-selokan; istana raja;
perumahan umum; pasar; gapura-pintu gerbang (gopura); tempat persediaan air,
sumur; tembok kota; jalan bawah tanah; benteng; dan menara jaga, dan sebagainya.
5
dimulai dengan jo pertama di utara, sampai jo kesembilan di selatan. Karena itu,
metode penamaan disebut sebagai pola dan perencanaan kota sistem jobo. Empat
persegi panjang bo adalah membagi lagi oleh persilangan yang sempit ke dalam
empat blok bujur yang serupa, dan sebagai akibatnya adalah dimungkinkan untuk
menata setiap rumah menghadap matahari dan dengan halaman tamannya.
KONSERVASI PERKOTAAN
Pemahaman Tentang Konservasi
Jika kita ingin bergerak untuk menyelesaikan masalah pelestarian, ada tiga
pertanyaan kunci yang harus diajukan: (1) Apa yang ingin kita lestarikan?
(Bangunan?, Karakter kota?, Kehidupan?); (2) Mengapa kita ingin melestarikan?
(Karena aspek-aspek tersebut merupakan bagian dari warisan kota?, Untuk
meningkatkan lingkungan dan penduduk?, Untuk menarik uang dari wisatawan?);
dan (3) Untuk siapa kita lakukan pelestarian? (Pengguna saat ini?, Keseluruhan
negara?, Warisan umat manusia?).
Ada beberapa pemahaman dan pengertian mengenai conservation
(konservasi), adalah tindakan untuk memelihara sebanyak mungkin secara utuh dari
bangunan bersejarah yang ada, salah satunya dengan cara perbaikan tradisional,
dengan sambungan baja, dan atau dengan bahan-bahan sintetis. Pendapat lain
mengenai konservasi: adalah, upaya untuk melestarikan bangunan, mengefisienkan
penggunaan dan mengatur arah perkembangan di masa mendatang. Dari Piagam
Burra, pengertian konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan
sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan dapat pula mencakup: preservasi,
restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi.
Untuk itu, alangkah baiknya kalau kegiatan konservasi/preservasi pun haruslah
dapat memberikan manfaat yang tidak sedikit terhadap kota dan komponen-
komponen yang ada di dalamnya. Manfaat tersebut antara lain sebagai atraksi yang
menarik bagi wisatawan mancanegara, merupakan media untuk mempelajari
perkembangan arsitektur dan kota, dan sebagai wadah pembelajaran sejarah kota
bagi masyarakat. Usaha-usaha untuk preservasi akan memberikan manfaat praktis
bila manfaat kegiatan tersebut, adalah sebagai berikut: 1. preservasi
lingkungan/kawasan lama akan memperkaya pengalaman visual, menyalurkan
hasrat kesinambungan, memberikan tautan bermakna dengan masa lampau, dan
memberikan pilihan untuk tetap tinggal dan bekerja di dalam bangunan maupun
lingkungan/kawasan lama; 2. di tengah perubahan dan pertumbuhan yang pesat
sekarang ini, lingkungan/kawasan lama akan menawarkan suasana permanen yang
menyegarkan; 3. untuk mempertahankan bagian kota akan membantu hadirnya
sense of place, identitas diri dan suasana kontras; 4. kota dan lingkungan/kawasan
lama adalah satu aset terbesar dalam industri wisata, sehingga perlu dipreservasi; 5.
salah satu upaya generasi masa kini untuk dapat melindungi dan menyampaikan
warisan berharga kepada generasi mendatang; 6. membuka kemungkinan bagi
setiap manusia untuk memperoleh kenyamanan psikologis dan merasakan bukti fisik
suatu tempat di dalam tradisinya; dan 7. membantu terpeliharanya warisan arsitektur,
yang dapat menjadi catatan sejarah masa lampau.
Dalam konteks pembangunan kota, tindakan untuk melestarikan warisan
budaya perkotaan (urban heritage) diperlukan adanya motivasi. Motivasi tersebut
antara lain adalah: 1. motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan
sejarah; 2. motivasi untuk menjamin terwujudnya atau terpeliharanya tata ruang kota
6
yang khas; 3. motivasi untuk mewujudkan adanya suatu identitas tertentu yang
dikaitkan dengan kelompok masyarakat tertentu yang pernah menjadi bagian dari
kota; dan 4. motivasi ekonomi, suatu bentuk peninggalan tertentu yang dianggap
memiliki nilai atau daya tarik dan perlu dipertahankan sebagai modal
lingkungan/kawasan.
Kota
bersejarah
7
3. untuk mengurangi atau mengeliminasi ancaman yang spesifik seperti,
pengembangan skala-besar, jalan-jalan, penzoningan kembali atau
tekanan perkembangan;
4. untuk memberi insentif pengembangan dengan perlindungan bagi benda-
benda yang mempunyai nilai dan menetapkan kriteria desainnya;
5. untuk mendapatkan pengakuan pada sebuah area dan mempromosikan
nilai-nilainya; atau
6. untuk melindungi lingkungan, atau dilihat dari pandangan national
monument.
Kemudian bagaimana dengan pemahaman arti area itu sendiri? Penentuan dari
konservasi area tersebut diartikan bahwa kualitas yang spesial dari area itu
dilindungi dan pengembangannya layak untuk diberikan. Pemilik, pengembang,
arsitek, perencana, dan pemerintah yang berwenang akan menjaga bahwa
pengembangan area itu sangat sensitif, dan bahwa perubahan tidak akan
menghancurkan kualitas spesial yang diberikan sebagai makna budaya, dengan
demikian konservasi area dapat diidentifikasi setelah survei komprehensif dan
analisis kualitas pada area itu dilakukan.
Konsep Konservasi
Konsep awal dari pelestarian adalah konservasi, yaitu pengawetan benda-
benda monumen dan sejarah (lazimnya dikenal sebagi preservasi), dan akhirnya hal
itu berkembang pada lingkungan perkotaan yang memiliki nilai sejarah serta
kelangkaan yang menjadi dasar bagi suatu tindakan konservasi. Pada dasarnya,
makna suatu konservasi dan preservasi tidak dapat terlepas dari makna budaya
(Kerr, 1992). Untuk itu, konservasi merupakan upaya memelihara suatu tempat
berupa lahan, kawasan, gedung maupun kelompok gedung termasuk lingkungannya
(Danisworo, 1991). Di samping itu, tempat yang dikonservasi akan menampilkan
makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim
maupun fisik (Danisworo, 1992). Dalam perencanaan suatu lingkungan kota, unit dari
konservasi dapat berupa sub bagian wilayah kota bahkan keseluruhan kota sebagai
sistem kehidupan yang memang memiliki ciri atau nilai khas. Dengan demikian,
Peranan konservasi bagi suatu kota bukan semata bersifat fisik, namun mencakup
upaya mencegah perubahan sosial.
Konsep yang dirumuskan untuk melakukan pekerjaan konservasi hendaklah
disusun dalam suatu rencana (conservation plan) berdasarkan: 1. Penetapan objek
konservasi, suatu upaya pemahaman dalam menilai aspek budaya suatu objek
dengan tolok ukur estetika, kesejarahan, keilmuan, kapasitas demonstratif serta
hubungan asosiasional; dan 2. Perumusan kebijakan konservasi suatu upaya
merumuskan informasi tentang nilai-nilai yang perlu dilestarikan untuk kemudian
dijadikan sebagai landasan penyusunan strategi pelaksanaan konservasi.
Konservasi merupakan bagian integral dari perancangan kota, menurut Sirvani
(1985), meliputi rumusan kebijakan, rencana, pedoman, dan program. Dapat
diuraikan sebagai berikut: 1. Kebijakan Perancangan Kota, merupakan kerangka
strategi pelaksanaan yang bersifat spesifik. 2. Rencana Perancangan Kota,
merupakan produk penting dalam perancangan kota yang berorientasi pada produk
maupun proses; 3. Pedoman Perancangan Kota, dapat berupa pengendalian
ketinggian bangunan, bahan, setback, proporsi, gaya arsitektur, dan sebagainya; dan
4. Program Perancangan Kota, biasanya mengacu pada proses pelaksanaan atau
pada seluruh proses perancangan. Menurut Shirvani (1985), menggunakan
8
terminologi tersebut untuk mengacu pada aspek perencanaan dan perancangan
yang dapat memelihara dan melestarikan lingkungan yang telah ada maupun yang
hendak diciptakan. Dengan demikian diharapkan akan didapatkan: a. Kegiatan
konservasi dan preservasi -sebagai bagian dari pelestarian- merupakan usaha
meningkatkan kembali kehidupan lingkungan kota tanpa meninggalkan makna
kultural maupun nilai sosial dan ekonomi kita; b. Arahan konservasi suatu kawasan
berskala lingkungan maupun bangunan, perlu dilandasi motivasi budaya, aspek
estetis, dan pertimbangan segi ekonomi; dan c. Preservasi dan konservasi yang
mengejawantahkan simbolisme, identitas suatu kelompok ataupun aset kota, perlu
dilancarkan.
Pada bagian lain, sasaran konservasi perlu dirumuskan secara tepat di
antaranya (Budihardjo, 1989): - Mengembalikan wajah objek konservasi; -
Memanfaatkan objek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini; -
Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan
masa lalu yang tercermin dalam objek pelestarian; dan - Menampilkan sejarah
pertumbuhan lingkungan kota dalam wujud fisik tiga dimensi. Akan tetapi dalam
penjabaran konsep di atas, perlu dirumuskan: - Tolok ukur, kriteria, dan motivasi dari
konservasi; dan - Bagian-bagian bangunan atau tempat yang akan dikonservasi,
atau bagian kota yang akan dilestarikan.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam proses penentuan konservasi
adalah sebagai berikut: a. Kriteria Arsitektural, suatu kota atau kawasan yang akan
dipreservasikan atau dikonservasikan memiliki kriteria kualitas arsitektur yang tinggi,
di samping memiliki proses pembentukan waktu yang lama atau keteraturan dan
keanggunan (elegance); b. Kriteria Historis, kawasan yang akan dikonservasikan
memiliki nilai historis dan kelangkaan yang memberikan inspirasi dan referensi bagi
kehadiran bangunan baru, meningkatkan vitalitas bahkan menghidupkan kembali
keberadaannya yang memudar; c. Kriteria Simbolis, kawasan yang memiliki makna
simbolis paling efektif bagi pembentukan citra suatu kota.
Kategori mempertimbangkan objek yang akan dikonservasi dapat dikategorikan
sebagai berikut: 1. Nilai (value) dari objek, mencakup nilai estetik yang didasarkan
pada kualitas bentuk maupun detailnya. Suatu objek yang unik dan karya yang
mewakili gaya zaman tertentu, dapat digunakan sebagai contoh, suatu objek
konservasi; 2. Fungsi objek dalam lingkungan kota, berkaitan dengan kualitas
lingkungan secara menyeluruh. Objek merupakan bagian dari kawasan bersejarah
dan sangat berharga bagi kota. Objek juga merupakan landmark yang memperkuat
karakter kota yang memiliki keterkaitan emosional dengan warga setempat; dan 3.
Fungsi lingkungan dan budaya, penetapan kriteria konservasi tidak terlepas dari
keunikan pola hidup suatu lingkungan sosial tertentu yang memiliki tradisi kuat,
karena suatu objek akan berkaitan erat dengan fase perkembangan wujud budaya
tersebut.
9
pembenahannya seringkali memaksa kota untuk mengabaikan pihak-pihak tertentu
dengan mengatasnamakan program peremajaan kota, penggusuran permukiman
kumuh yang dilakukan dengan alasan demi keindahan kota, perubahan tatanan
perdagangan tradisional menjadi tatanan modern, penghancuran bangunan-
bangunan lama dan diganti dengan bangunan baru dengan dalih tidak memberikan
kontribusi ekonomi bagi daerah. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa revitalisasi
adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang
dulunya pernah vital/hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi.
Skala upaya revitalisasi biasa terjadi pada tingkat mikro kota, seperti sebuah jalan,
atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bias mencakup kawasan kota yang
yang lebih luas.
Revitalisasi kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha
menghidupkan kembali aktivitas perkotaan dan vitalitas kawasan untuk mewujudkan
kawasan yang layak huni (livable), mempunyai daya saing pertumbuhan dan
stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan sosial, berwawasan budaya serta terintegrasi
dalam kesatuan sistem kota. Karakteristik dari kawasan yang membutuhkan
revitalisasi, adalah kawasan mati (tidak berkembang lagi), kawasan yang
perkembangannya melesat dari arah semula, dan kawasan-kawasan yang
“ditinggalkan”. Sejarah perkembangan kota di Barat mencatat bahwa memang
kegiatan revitalisasi ini diawali dengan pemaknaan kembali daerah pusat kota
setelah periode tahun 1960-an. Bahkan ketika isu pelestarian di dunia Barat
meningkat pada periode pertengahan tahun 1970-an, kawasan (pusat) kota tua
menjadi fokus kegiatan revitalisasi.
Dilihat dari pengertian di atas, maka revitalisasi dapat menjadi alternatif dalam
memecahkan masalah pelestarian wajah kota lama, dan kebutuhan ruang teratasi
dengan meminimalisasikan pudarnya eksistensi kota lama. Pada dasarnya proses
revitalisasi kota terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: intervensi
fisik; rehabilitasi ekonomi; dan revitalisasi sosial/institusional. Revitalisasi adalah
salah satu pendekatan dalam meningkatkan vitalitas suatu kawasan kota yang bias
berupa penataan kembali pemanfaatan lahan dan bangunan, renovasi kawasan
maupun bangunan-bangunan yang ada, sehingga dapat ditingkatkan dan
dikembangkan nilai ekonomis dan sosialnya, rehabilitasi kualitas lingkungan hidup,
peningkatan intensitas pemanfaatan lahan dan bangunannya (Sujarto dalam Farma,
2002:23).
Oleh karena itu, revitalisasi kawasan kota dapat juga disebut sebagai konsep
pelestarian yang terintegrasi dengan “wajah” kota lama akan tetap terpelihara,
aktivitas saat ini dapat tertampung dan dapat memberikan keuntungan ekonomi.
Proses ini memerlukan dukungan dan peran aktif masyarakat, sehingga segala
usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat tidak dipatahkan lagi oleh
masyarakat. Disamping hal itu, pemerintah diharapkan dapat bertindak dengan lebih
tegas, yaitu dengan memperjelas konsep-konsep konservasi kotanya, mempunyai
produk-produk berkekuatan hukum, menindak oknum-oknum yang melanggar, serta
mampu memotivasi partisipasi masyarakat.
10
identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Warisan budaya sebuah kota
dapat dilihat dalam tiga bagian faktor:
- Social factors, termasuk di dalamnya menambah citra dan identitas kota,
integrasi ke dalam kehidupan sehari-hari, dan pengembangan sistem nilai dari
masyarakat.
- Politico-economic, menyertakan peran dari heritage pada pariwisata, dan
kepentingan arkeologi dan kesejarahan.
- Planning factors, terutama dipergunakan pada architectural heritage,
redevelopmen dan regenerasi objek heritage untuk dipreservasi serta
integrasinya ke dalam proses pengembangan yang lebih besar pada kota
secara keseluruhan.
Untuk meletakkan isu dari heritage conservation dengan melihat seluruh proses
dari pengembangan kota, baik itu berhubungan dengan isu yang lain, seperti
pengembangan wisata, revitalisasi dari ekonomi daerah dan pemerintah daerah.
11
Manila: Getting the Framework Right (Documentation and Preservation)
- Untuk Pilipina, Intramuros (berarti, di kelilingi dinding) merepresentasikan
permulaan dari pendataan sejarah mengenai perkembangan perkotaan
(urban development).
- Usaha dalam restorasi dan redevelopmen dari Intramuros dimulai tahun 1965
untuk mencegah kerugian selanjutnya dan menggabungankan ke dalam
mainstream dari urban development.
- Usaha dari preservasi Intramuros dilakukan dengan memisahkan urban
planning dan biro pengembang bagi kawasan bersejarah. Intramuros
Administration (IA) adalah bertanggungjawab untuk redevelopmen dan
restorasi.
- Tindakan lain juga telah dilakukan, mengklasifikasi Intramuros sebagai
‘cultural zone’, merencanakan master plan kawasan yang terintegrasi,
menghapus tata guna tanah yang tak sesuai, petunjuk perancangan dan
peraturan urban streetscape untuk pengembangan mendatang, restorasi
bangunan bersejarah, dan sebagainya.
12
Untuk mendukung kegiatan preservasi dan konservasi, para stakeholder lokal
perlu meninjau kembali arah pembangunan daerahnya untuk di arahkan ke budaya,
yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: menarik para wisatawan,
pemanfaatan kembali bangunan-bangunan kuno untuk berbagai macam kegiatan
(museum, toko, penginapan, kantor, rumah makan, dan sebagainya), revitalisasi seni
dan kerajinan tradisional, perbaikan dan pembangunan kembali bangunan untuk
melestarikan budaya, mengembalikan keaslian di daerah pusat pelestarian pusat
pelestarian (historic core), dan merehabilitasi jalur sungai kuno di sekeliling kota
Vigan untuk menghidupkan kembali industri di sekitar sungai dan mendukung
kegiatan pariwisata. Pada kegiatan preservasi dan konservasi akan selalu
berkoordinasi dengan badan-badan yang terlibat dalam kegiatan ini, seperti badan
internasional, nasional, dan lokal.
Penutup
Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu berarti
memperhatikan elemen-elemen jalan (street-furniture) dan pembentuk ruangnya,
baik tata hijau (soft-landscape) maupun perkerasannya (hard-landscape). Banyak
contoh kota di dunia yang sudah membagi area/kawasan mana yang perlu
dipreservasi dan mana yang tidak. Ke arah mana preservasi kawasan tersebut
berjalan, perangkat apa saja yang dibutuhkan, jadi pelestarian bukanlah ceritera
masa lalu, atau upaya untuk mengawetkan suatu kawasan bersejarah, namun lebih
ditujukan sebagai alat dalam mengolah transformasi kawasan. Upaya tersebut
merupakan langkah yang bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan bagi
masyarakat agar lebih baik, dan berdasarkan pada kekuatan-kekuatan aset sejarah
lama yang terdapat di kawasannya. Hal ini sebaiknya dititikberatkan pada upaya
pemanfaatan yang kreatif melalui pelaksanaan program partisipasi melalui kegiatan
ekonomi dan budaya kawasan. Untuk itu, perancangan kota harus menjadi
perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan binaan yang
akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru. Dengan demikian,
tanggung jawab terhadap pelestarian kota adalah tanggung jawab bersama yang
membutuhkan tanggung jawab sektoral, multi dimensi, dan disiplin, serta
berkelanjutan (sustainable).
Kepustakaan
Tjandrasasmita, U. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di
Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Kudus: Menara Kudus.
Adrisiyanti, I. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, Jendela: Yogyakarta.
Budihardjo, E. 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Jakarta: Djambatan.
Danisworo, M. 1996. Penataan Kembali Pusat Kota, Suatu Analisis Proses, Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol VII, Nomor 22, September, hlm: 70-
76.
Farma, A.S. 2002. “Strategi Perancangan dalam Meningkatkan Vitalitas Kawasan
Perdagangan Johar Semarang. Tesis, Program Magister Perencanaan
Wilayah dan Kota – Bidang Rancang Kota, ITB, Bandung.
Pontoh, N.K. 1992. “Preservasi dan Konservasi Suatu Tinjauan Teori perancangan”,
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol IV, Nomor 6, Desember, hlm:
34-39.
13
Srinivas, H. 1999. Prioritizing Cultural Heritage in the Asia-Pacific Region: Role of
City Governments, Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.
Srinivas, H. 1999. Mediation for Urban Conservation: The Case of Imai-cho, Japan,
Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.
Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept
and Sources, University of Guelph 49 -464 Reading a Community, pp. 1-7.
© Antariksa 2004
14