Anda di halaman 1dari 14

Produksi Antibiotik dari Bakteri Streptomyces griceus

Rekayasa Bioproduk Bidang farmasi

Dibuat untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Matakuliah


Rekayasa Bioproduk

Oleh :
Tsani Adiyanti
240120180501

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI AGROINDUSTRI


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2019
I . PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular granulomatosa kronik yang telah
dikenal sejak berabad-abad yang lalu dan paling sering disebabkan oleh bakteri. Di
Indonesia, tuberculosis merpakan maalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien
tuberculosis di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina
dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Salah satu obat
yang diberikan kepada pasien TBC adalah antibiotik.
Antibiotik merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan pada fasa pertumbuhan
stasioner oleh beberapa kelompok mikroorganisme (J, Bhadra, & M, 2014). Antibiotik
tidak diperlukan untuk pertumbuhan mikroba, tetapi memiliki peranan penting terutama
di bidang kesehatan.
Salah satu bakteri yang bisa menghasilkan antibiotik untuk TBC yaitu bakteri di
kelas Actinomycetes, yang merupakan anggota yang dominan dari populasi mikroba di
tanah. Banyak bakteri dari kelas ini mempunyai kemampuan dalam menghasilkan
antibakteri misalnya Streptomyces yang terbukti mampu menghaslkan macam-macam
anti jamur atau anti bakteri seperti Amfoterisin B yang diisolasi dari Streptomyces
nodusus, dan Streptomisin yang diisolasi dari Streptomyces griseus.
Proses isolasi bakteri ini menggunakan cara fermentasi. Fermentasi adalah salah
satu proses pengolahan dengan memanfaatkan mikroorganisme. Setelah di fermentasi
baru dilakukan pemurnian untuk mendapatkan antibiotik yang murni dan bisa digunakan
kepada pasien TBC.

1
II. PEMBAHASAN

2.1 Antibiotik

Antibiotik dapat didefinisikan sebagai senyawa obat yang digunakan untuk


mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Senyawa antibiotik ini diproduksi oleh
suatu mikroorganisme untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme penyebab penyakit secara selektif. Senyawa antibiotik yang mampu
membunuh bakteri disebut bakterisida dan senyawa antibiotik yang hanya mampu
menghambat atau menghentikan pertumbuhan bakteri disebut bakteristatis. (Bahi &
Anizar, 2013)
Antibiotik merupakan produk metabolit sekunder yang dihasilkan pada fasa
pertumbuhan stasioner. Antibiotik tidak diperlukan untuk pertumbuhan mikroba, tetapi
memiliki peranan penting terutama dibidang kesehatan. Antibiotik yang digunakan untuk
membasmi mikroba, khususnya penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat
toksisitas (racun) selektif yang tinggi. Sehingga antibiotic tersebut bersifat sangat toksik
untuk mikroba tetatpi relatif aman untuk inangnya.
Penelitian terhadap senyawa antibiotik dari mikroorganisme diawali oleh
penemuan senyawa penicillin (ᵝ-laktam antibiotik) oleh Alexander Fleming pada tahun
1936, yang merupakan inhibitor pertumbuhan bakteri yang diproduksi oleh jamur
Penicillium sp. Pada tahun 1942, Weksman melaporkan senyawa streptomycin yang
diisolasi pertama dari bakteri Streptomyces griseus yang kemudian digunakan untuk
pengobatan penyakit tuberculosis (TBC) (Bahi & Anizar, 2013).

Gambar 1. Struktur kimia senyawa Streptomisin

2
2.2 Bakteri Streptomyces griseus

Bakteri adalah suatu organisme yang jumlahnya paling banyak dan tersebar luas
dibandingkan dengan organisme lainnya. Bakteri umumnya merupakan organisme
uniseluler (bersel tunggal), prokariota/tidak mengandung klorofil serta berukuran
mikroskopik (sangat kecil). Bakteri berasal dari bahasa latin yaitu bacterium. Bakteri
memiliki jumlah spesies yang banyak dan tumbuh di tanah, air, di organisme lain, dan
juga berada di lingkungan yang biasa maupun ekstrim.
Pertumbuhan bakteri dalam peningkatan jumlah maupun penabahan jumlah sel
dipenaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan bakteri tersebut, yaitu seperti pH, suhu temperature, kandungan garam,
sumber nutrisi, zat kimia dan zat sisa metabolisme.
Bakteri Streptomyces griseus merupakan bakteri Gram positif yang memiliki
rentang pH 5-11 tetapi optimum di pH 9 (Basa). Bakteri ini bersifat Aerob, selain itu
Streptomyces griseus merupakan bakteri mesofil yang memiliki suhu optimum 25-35 ºC.
Bakteri ini tersebar luas di tanah yang berfungsi sebagai pengurai sisa-sisa makhluk
hidup. Hal ini dibuktikan dengan karakter yang khas berupa bau koloni yang menyerupai
bau tanah pada media (Alwi, Merdekawaty, & Umrah, 2012). Selain pada tanah, bakteri
ini juga di temukan pada tumbuhan yang membusuk. Bakteri Streptomyces griseus
berperan penting dalam kesehatan dan industry karena mensintesis lebih dari 50
antibiotik yang berhasil diisolasi dari spesies ini.
Bakteri Streptomyces griseus adalah sumber utama senyawa antibiotik saat ini.
Bakteri ini memproduksi kurang lebih 80 % antibiotik alami yang berguna secara klinis.
Streptomisin adalah salah satu contoh antibiotik yang berasal dari Bakteri Streptomyces
griseus (Putri, lisdiyanti, & Kusmiati, 2018). Streptomisin digunakan untuk membunuh
kuman penyebab TBC (dibantu dengan obat lain), Pneumonia, dan Disentri.
Streptomisin merupakan salah satu contoh antibiotik yang dikelompokn ke dalam
golongan aminoglikosida (J, Bhadra, & M, 2014) dapat diperoleh dengan menginokulasi
mikroorganisme pada medium yang steril dan membiarkan proses fermentasi terjadi
secara aerobik selama 48-96 jam. Streptomisin dapat dihasilkan melalui proses
fermentasi dengan menggunakan beragam substrat seperti tebu, bagas, kulit jeruk, dan
kulit nanas (Lim, 2015).

3
Klasifikasi Bakteri Streptomyces griseus

Domain : Bacteria
Phylum : Actinobacteria
Classis : Actinomycetes
Ordo : Actinomycitales
Familia : Strepyomycetaceae
Genus : Streptomyces
Spesies : griseus

Mekanisme Kerja Antibiotik pada Sel Bakteri

Antibiotik memunyai peran penting pada pengobatan penyakit infeksi pada abad
ke 20 yaitu sejak ditemukannya Penisilin. Selanjutnya ratusan antibiotik telah diproduksi
dan disintesis untuk penggunaan klinik. Banyaknya jumlah serta variasi antibiotik yang
ada pada saat ini memberi kesempatan yang luas untuk pemakaian antibiotik, tetapi sulit
juga untuk menentukan pengobatan penyakit infeksi, sehingga harus diketahui
mekanisme kerja dari obat-obat antimikroba terhadap sel bakteri penyebab infeksi.
Secara umum mekanisme kerja antibiotik pada sel bakteri dapat terjadi melalui
beberapa cara, yaitu:
a. Menghambat sintesis dinding sel bakteri
b. Menghambat fungsi membrane plasma
c. Menghambat sintesis protein melalui penghambatan pada tahap translasi dan
transkripsi material genetic
d. Menghambat sintesis asam nukleat
e. Menghambat metabolism folat.
Streptomisin merupakan salah satu antibiotik yang bersifat bakteriosidal.
Streptomisin membunuh bakteri dengan cara menghambat sintesis protein dalam tubuh
bakteri.

4
Gambar 2. Mekanisme Kerja Antibiotik

a. Penghambatan pada sintesis dinding sel


Bakteri mempunyai dinding sel yag merupakan lapisan luar dan kaku untuk
mempertahankan bentuk sel dan mengatur tekanan osmotic di dalam sel. Dinding sel
bakteri Gram positif mempunyai struktur dinding sel yang berbeda dengan bakteri Gram
negative. Dinding sel bakteri Gram positif mengandung peptidoglikan dan teikhoat atau
asam teikuronat dengan atau tanpa envelop yang terdiri dari protein dan polisakarida,
sedangkan dinding sel bakteri Gram negative mengandung peptodoglikan,
lipopolisakarida, lipoprotein, fosfolipid dan protein.
Tempat kerja antibiotik pada dinding sel bakteri adalah lapisan peptidoglikan.
Lapisan ini sangat penting dalam mempertahankan kehidupan bakteri dari lingkungan
yang hipotonik, sehingga kerusakan atau hilangnya lapisan ini akan menyebabkan
hilangnya kekauan dinding sel dan akan mengakibatkan kematian (Neu & Gootz, 1996)

b. Penghambatan pada fungsi membrane plasma


Contoh antimikroba yang bekerja melalui mekanisme ini adalah amfoterisin B,
kolistin, imidazole, polien dan polimiksin.
Sitoplasma pada sel-sel hidup berikatan dengan membrane sitoplasma yang
berperan di dalam barrier permeabilitas selektif, berfungsi di dalam transport aktif dan
mengontrol komposisi internal dari sel. Bila fungsi integritas membrane sel ini
terganggu, maka ion dan makromolekul akan keluar dari sel dan akan menghasilkan
kerusakan dan kematian sel. Membran sitoplasma bakteri dan jamur mempunyai struktur
yang berbeda dengan sel-sek hewan dan dapat lebih mudah dirusak oleh beberapa bahan
kimia atau obat. Sebagai contoh adalah polimiksin B yang bekerja pada bakteri gram

5
negative yang mengandung lipid bermuatan positif pada permukaannya. Polimiksin
mempunyai aktivitas antagonis Mg2+ dan Ca2+ yang secara kompetisi menggantikan
Mg2+ atau Ca2+ dari gugus fosfat yang bermuatan negative pada lipid membran.
Polimiksin ini menyebabkan disorganisasi permeabilitas membran sehingga asam
nukleat dan kation-kation akan pecah dan sel akan mengalami kemaian. Biasanya
polimiksin tidak digunakan untuk pemakaian sistemik karena dapat berikatan dengan
berbagai ligan pada jaringan tubuh dan juga bersifat toksik terhadap ginjal dan system
saraf.
Gramisidin juga merupakan antibiotik yang aktif pada membrane sel yang
bekerja melaui pembentukan pori pada membrane sel dan biasanya hanya digunakan
secara topical. Polien bekerja pada membrane sel jamur yang tidak ada pada sel bakteri,
sebaliknya polimiksin inaktif terhadap jamur (Carroll, Brooks, Butel, & Morse, 2013).

c. Penghambatan pada sintesis protein


Bakteri memiliki ribosom 70S sedangkan mamalia memiliki ribosom 80S.
Subunit dari masing-masing tipe ribosom, komposisi kimiawi, dan spesifisitas
fungsionalnya berbeda sehingga dapat dijelaskan mengapa obat-obat antimikroba dapat
menghambat sintesis protein pada ribosom bakteri tetapi tidak menimbulkan efek pada
ribosom mamalia.
Pada sintesis protein mikroba secara normal, pesan mRNA secara simultan
dibaca oleh beberapa ribosom yang ada di sepanjang untai RNA yang disebut sebagai
polisom.
Antibiotik yang bekerja melalui mekanisme ini adalah:
 Aminoglikosida
Mekanisme kerja dari streptomisin telah dipelajari jauh sebelum ditemukannya
aminoglikosida yang lain seperti kanamisisn, neomisin, gentamisin, tobramisin,
amikasin, dan sebagainya, namun semua antibiotik ini mempunyai mekanisme
kerja yang sama. Tahap awal adalah perlekatan aminoglikosida pada reseptor
protein spesifik yaitusubunit 30S pada ribosom bakteri dan selanjutnya
aminoglikosida akan menghambat aktivitas kompleks inisiasi dari pembentukan
peptide. Kemudian pesan mRNA akan dibaca oleh “region pengenal” pada
ribosom, sehingga terjadi insersi asam amino yang salah pada peptide yang
menghasilkan protein nonfungsional. Sebagai akibat terakhir perlekatan

6
aminoglikosida akan menghasilkan pecahnya polisom menjadi monosom yang
tidak mampu mensintesis protein (Nurtami & Auerkari, 2002).
Resistensi kromosomal mikroba terhadap aminoglikosida tergantung pada tidak
adanya reseptor protein spesifik pada subunit 30S ari ribosom. Resistensi melalui
plasmid tergantung dari pembentukan enzim-enzim adenilat, fosforilat dan
asetilat yang dapat merusak obat. Resistensi lain terjadi karena defek
permeabilitas yaitu perubahan membrane luar yang dapat menurunkan transport
aktif aminoglikosida ke dalam sel sehingga obat tidak mencapai ribosom.
Mekanisme ini juga melalui plasmid.

 Tetrasiklin
Tetrasiklin berikatan dengan subunit 30S dari ribosom mikroba. Selanjutnya akan
menghambat sintesisi 0elalui pengha0batan pada perlekatan aminoasil-tRNA.
Akibatnya akan terjadi penghambatan di dalam pengenalan asam aminoyang brau
terbentuk pada rantai peptida.
Resistensi terhadap tetrasiklin terjadi karena perubahan permeabilitas envelop sel
mikr6ba. Pada sel yang peka, obat akan berada pada lingkungan dan tidak akan
meninggalkan sel, sedangkan pada sel-sel yang resisten obat tidak dapat di
transportasikan secara aktif kedalam sel atau akan hiang dengan cepat sehingga
konsentrasi hambat minimal tidak dapat dipertahankan. Mekanisme dikontrol
oleh plasmid.

 Kloramfenikol
Antibiotik ini berikatan dengan subunit 50S dari ribosom dan akan
mempengaruhi pengikatan asam amino yang baru pada rantai peptida karena
kloramfenikol menghambat peptidil transferase. Kloramfenikol bersifat
bakteriostatik dan pertumbuhn mikroorganisme akan berlangsung lagi apabila
antibiotik ini menurun. Resistensi bakteri terhadap kloramfenikol disebabkan
bakteri menghasilkan enzim kloramfenikol asetiltransferase yang dapat merusak
aktivitas obat. Pembentukan enzim ini berada dibawah kontrol Plasmid.

7
 Makrolid: eritromisin, azitromisin, klaritromisin
Obat-obat ini berikatan dengan subunit 50S ribosom dengan tempat ikatan pada
23S tRNA. Selanjutnya akan berpengaruh dalam pembentukan inisiasi kompleks
pada sintesis rantai peptida atau berpengaruh pada reaksi translokasi aminoasil.
Beberapa bakteri resistensi terhadap mikrolid tidak memiliki reseptor yang tepat
pada ribosom melalui metilasi tRNA. Mekanisme ini dapat melalui control
plasmid atau kromosom.

 Linkomisin, klindamisin
Antibiotik golongan ini bekerja dengan berikatan pada subunit 50S ribosom
mikroba dengan tempat ikatan, aktivitas antibakteri dan cara kerja seperti
makrolid. Mutasi pada kromosom menimbulkan resistensi karena tidak terjadi
ikatan pada subunit 50S ribosom. (Sudigdoadi)

d. Penghambatan melalui sintesis asam nukleat


Rifampin menghambat pertumbuhan bakteri melalui pengikatan pada DNA-
dependet RNA polymerase. Rantai polipeptida dari enzim polimerase melekat pada
faktor yang menunjukan spsifisitas di dalam pengenalan letak promoter dalam proses
transkripsi DNA. Rifampin berikatan secara nonkovalen dan kuat pada subunit RNA
polimerase dan mempengaruhi proses inisiasi secara spesifik sehingga mengakibatkan
hambatan pada sintesis RNA bakteri. Resistensi terhadarp rifampin terjadi karena
perubahan pada RNA polimerase akibat mutasi kromosomal.

e. Penghambatan pada metabolism folat


Trimetoprim dan sulfonamide mempengaruhi metabolism folat melalui
panghambatan kompetitif biosintesis tetrahidrofolat yang bekerja sebagai pembawa 1
fragmen karbon yang diperlukan untuk sintesis DNA, RNA, dan protein dinding sel
(Sudigdoadi).

Tahapan Pembuatan Antibiotik Streptomisin

Streptomisin merupakan salah satu contoh antibiotik yang dikelompokan ke


dalam golongan aminoglikosida. Streptomisin dapat diperoleh dengan menginokulasi
mikroorganisme pada medium yang steril dan membiarkan proses fermentasi terjadi

8
secara aerobik. Streptomisin dapat dihasilkan oleh bakteri Streptomyces griseus yang
tergolong dalam kelompok Actinomycetes.
Streptomisisn terbagi atas dua jenis, yaitu Streptomisin A dan Streptomisin B
(Hanko & Rohrer). Streptomisin yang digunakan untuk pengobatan adalah Streptomisin
A. Penggunaan antibiotik ini dilakukan melalui system injeksi. Hasil fermentasi bakteri
Streptomyces griseus tidak hanya menghasilkan streptomisin, tetapi juga menghasilkan
zat lain seperti mannosidostreptomisin (Streptomisin B), serta beberapa enzim
ekstraseluler dan inhibitor. Oleh karena itu, untuk memperoleh streptomisin hasil
fermentasi diperlukan beragam proses pemisahan dan pemurnian.

Gambar 3. Proses ekstraksi dan pemurnian antibiotik


Metode elaborasi (terperinci) sangat penting dalam ekstraksi dan pemurnian
antibiotik, karena jumlah antibiotik yang terdapat dalam cairan fermentasi hanya sedikit.
Dari gambar 3 bisa dilihat, jika antibiotik larut dalam pelarut organik yang tidak dapat
brcampur dengan air, maka pemurniannya relative lebih mudah, karena memungkinkan u
untuk mengekstraksi antibiotik ke dalam suatu pelrut bervolume kecil, sehingga lebih
mudah mengumpulkan antibiotik tersebut. Jika antibiotik tidak larut dalam pelarut,
selanjutnya harus dipinahkan dari cairan fermentasi melalui adsorpsi, pertukatan ion,
atau presipitasi secara kimia. Pada semua cara, tujuannya untuk memperoleh prduk
Kristal antibiotik yang sangat murni, meskipun sejumlah antibiotik tidak mudah
terkristalisasi dan sulit dimurnikan.

9
 Pemurnian dengan Karbon Aktif

Gambar 4. Poros karbon aktif


Proses pemurnian streptomisin banyak menggunakan bantuan karbon aktif
sebagai adsorben. Karbon aktif merupakan suatu material dengan porositas yang tinggi.
Karena memiliki jumlah pori yang sangat besar, karbon aktif sering digunakan sebagai
adsorben untuk menghilangkan pengotor. Penggunaan karbon aktif akan diikuti dengan
proses elusi dan presipitasi untu mendapatkan endapan streptomisin. Zat yang biasa
digunakan untuk mengendapkan streptomisin adalah aseton ataupun eter.
Pada metode ini, larutan streptomisin yang ingin dimurnikan diproses pada
kondisi asam (pH 1-4) dengan karbon aktif. Dengan metode ini pengotor seperti pirogen
akan teradsorp ke permukaan karbok aktif sementara streptomisin tetap tertinggal di
dalam larutan. Jika pH yang digunakan lebih dari pH 4, akan terjadi sedikit kehilangan
streptomisin akibat teradsorp oleh karbon aktif (D & T)
Tabel 1. Efek pH terhadap efisiensi Adsorpsi Streptomisin
Streptomisin dalam Efisiensi
pH kultur fitrat setelah adsorpsi
adsorpsi adsorsi (%)
(μg/ml)
4 67 53
5 30 80
6 < 11 > 93
7 < 11 > 93
8 < 11 > 93

10
 Pemurnian Resin Penukar Ion
Selain memanfaatkan karbon aktif, pemurnian streptomisin juga dapat dilakukan
dengan memanfaatkan resin penukar ion. Resin penukar ion yang digunakan memiliki
gugus asam karboksilat. Resin jenis ini dapat menghasilkan streptomisin dengan tigkat
kemurnian yang cukup tinggi. Adsorpsi streptomisin pada resin penukar kation
terkarboksilasi dapat terjadi secara maksimum pada pH 7-8. Adsorpsi maksimum dapat
juga terjadi bila pH larutan awal berkisar antara 7-8 dan resin yang digunakan telah
terkonversi sebagian dalam bentuk garam yang mudah melepas kation seperti ion
natrium, kalium, maupun ammonium.
Umumnya resin penukar ion memiliki bentuk bulat da memiliki poros yang
banyak. Resin penukar ion memiliki sisi aktif pada permukaannya yang dapat
membentuk kesetimbangan dengan ion yang ada dalam larutan. Sisi aktif ini memiliki
ion H+, OH-, Na+, atau Cl-. Ketika ditempatkan dalam larutan yang memiliki ion dengan
afinitas yang tinggi terhadap sisi aktif dan resin, terjadi pertukaran ion pada sisi aktif dari
resin. Sama seperti karbon aktif, resin penukar ion dapat digunakan untuk
menghilangkan pengotor yang tidak diinginkan.
Secara ringkas, proses pemurnian streptomisin dipisahkan dari hasil fermentasi
dengan mengalirkan kaldu fermentasi melewati resin penukar ion. Kemudian resin dicuci
dengan asam dan diregenerasi dengan basa untuk digunakan kembali pada pr6ses
selanjutnya. Oleh karena itu, tidak diperlukan pelarut organic dan resin penukar ion dapat
dilakukan secara berulang.

Gambar 5. Resin Penukar Ion

Setelah didapatkan hasil antibiotik murni, dilakukan beberapa pengujian, yaitu:

11
 Invitro dengan menggunakan tabung reaksi di reaksikan dengan bakteri yang di
targetkan
 Invivo dengan menggunakan hewan percobaan
 Diujikan terhadap pasien yang memiliki penyakit akibat bakteri target

12
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, M., Merdekawaty, L., & Umrah. (2012). Identifikasi Actinomycetes yang Terdapat
pada Tanah di sekitar Danau Lindu Sulawesi Tengah. Jurnal Biocelebes, 6(1), 1-
10.

Bahi, M., & Anizar. (2013). Senyawa Antibiotika dari Bakteri dan Jamur Endofit : Mini
review. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung (pp. 429-432).
Lampung: Unila.

Carroll, K. C., Brooks, G. F., Butel, J. S., & Morse, S. A. (2013). In Jawetz, Melnick, &
Adelberg's, Medical Microbiology (26th ed., pp. 149-405). 2013: The McGraw-
Hill Companies, Inc.

D, R. B., & T, M. (n.d.). Selecive Carbon Adsorption of Impurities from Acidic


Streptomycin Solution.

Hanko, V., & Rohrer, J. (n.d.). Determination of Streptomycin and Impurities Using
HPAE-PAD.

J, M., Bhadra, S., & M, M. (2014). Production of Streptomycin from Streptomyces


griseus Under Solid State fermentation, and Its Production Enhancement by
Mutation and Analysis by HPLC. World Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Science, 3(8), 907-922.

Lim, R. (2015). Proses Pemurnian Streptomisisn dari Produk Fermentasi. 1-10.

Neu, H. C., & Gootz, T. D. (1996). Antimicrobial Chemoterapy. In B. S (Ed.), Medical


Microbiology. Texas: University of Texas Medical Branch at Galveston.

Nurtami, & Auerkari, E. (2002). Mekanisme Inhibisi Sintesis Protein dan Dasar
Molekuler Resistensi Antibiotik. Jurnal kedokteran gigi, 9(1), 25-28.

Putri, A. L., lisdiyanti, P., & Kusmiati, M. (2018). Identifikasi Aktinomisetes Sedimen
Air Tawar Mamasa, Sulawesi Barat dan Aktivitasnya sebagai Antibakteri dan
Pelarut Fosfat. Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia, 5(2), 139-148.

Sudigdoadi, S. (n.d.). Mekanisme Timbulnya Resistensi Antibiotik pada Infeksi Bakteri.


Bandung: Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UNPAD.

13

Anda mungkin juga menyukai