A. Pendahuluan
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), status anak terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu :
1. Anak yang terlahir dari ikatan pernikahan yang sah. Di sini nasabnya mengikuti
nasab ayahnya. Dan berhak mendapatkan warisan dari ayahnya.
2. Anak yang bukan dari ikatan pernikahan yang sah, maka nasabnya mengikuti
nasab dari ibunya. Tidak mendapatkan hak waris dari ayahnya, tetapi
mendapatkan hak waris dari ibunya.
Tulisan ini akan membahas permasalahan hak waris anak di luar pernikahan
dari Filsafat Hukum.
Selain itu, dalam cabang filsafat teleologis, mencakup pertanyaan, apa yang
menjadi tujuan dari sebuah hukum? Apakah tujuan hukum itu untuk megakkan
kehendak Tuhan , ataukah tujuan hukum itu untuk menghindarkan konflik antar
sesama manusia? Dengan mengkaji dengan menggunakan cabang-cabang filsafat,
kita bisa memetakan letak perbedaan dari satu produk hukum dengan produk
hukum lainnya.
1. Tinjauan Ontologis
Realitas menurut Plato terdiri dari dunia ‘ide’ dan dunia ‘material’. dunia ide
tidak terlihat, lebih tinggi, dan menentukan dunia material. Pengetahuan yang
diasalkan dari hasil pemikiran/renungan lebih tinggi tingkatannya daripada ilmu
yang didapatkan dari pengalaman. Sehingga ilmu logika, matematika, dan seni
lebih tinggi ilmunya daripada keilmuan teknis. Ilmu yang lebih tingkatannya
tersebut berasal dari dunia ‘ide’, maka tugas jiwa manusia (sebagai penghubung
antara dunia ide dan material) adalah mengingat kembali ide-ide. Jiwa dapat
melakukan hal tersebut, karena jiwa berasal dari dunia ide. Sedangkan menurut
Aristoteles, pengetahuan tidak ada keterkaitannya dengan pembagian dunia pada
dualisme di atas (dunia ide dan material), pengetahuan didapat berasal dari
kenyataan-kenyataan (prinsip induksi), dan pengetahuan menggambarkan
kenyataan-kenyataan (prinsip deduksi).
Menurut Plato, jiwa yang baik adalah jiwa yang selalu merenung untuk
mendapatkan kebahagiaan (ilmu pengetahuan yang berasal dari dunia ide),
sedangkan dalam Islam, jiwa yang baik adalah jiwa yang tenang (an nafs al
muthma-innah), yang dicirikan dengan cinta kepada Allah (hubb), takut kepada
Allah (khauf) dan selalu berharap ridha dari Allah (raja’). Tujuan hidup manusia
menurut Plato adalah kebijaksanaan, sedangkan menurut Islam, tujuan hidup
manusia adalah beribadah (mengabdi) kepada Allah, dan merealisasikan kehendak
Allah di muka bumi ini sebagai khalifah (wakil Allah) di muka bumi.
Secara ontologis, semua anak yang dilahirkan di muka bumi ini dalam
keadaan fitrah (suci dari dosa), dan mereka mempunyai status yang sama. Tetapi,
dalam salah satu maqashid asy syari’ah (tujuan umum syariat islam) adalah hifzh
an nasb (menjaga nasab). seseorang harusnya, memperhatikan masalah nasab,
jangan sampai terjadi pencampurbauran nasab seseorang. Untuk mencegah
demikian, maka pernikahan ditekankan dalam islam. Dalam suatu hadits Nabi
Muhammad bersabda: ‘nikah adalah sunnahku, dan barangsiapa meninggalkan
sunnahku, maka ia bukan bagian dari umatku’. di sisi lainnya, Islam sangat
melarang perbuatan zina. Dalam hukum islam sendiri, hukuman bagi pezina
sangat berat.
Sehingga Aksiologi terbagi menjadi dua hal tersebut. Tema pembahasan pada
moral, norma dan aturan, masuk dalam filsafat ethika. Karena pembahasan nya
fokus pada pertanyaan ‘bagaimana suatu hukum dikatakan baik atau buruk’, dan
‘apa yang melandasi penilaian tersebut’.
Pada masa sebelumnya juga muncul aliran etika, yang berpangkal pada
paham bahwa perbuatan baik adalah perbuatan yang dapat menimbulkan
kenikmatan atau kelezatan. Baik hewan dan manusia, sama-sama dipahami
mempunyai dorongan nafsu/insting untuk memuaskan hasrat. “kelezatan’
merupakan tujuan, maka segala tindakan yang mengarah kepada pemuasan
kebutuhan instingtif dianggap sebagai keutamaan.
Falsafah demikian sangat menentukan hukum dan norma yang berlaku. Jika
dorongan instingtif dan tindakan-tindakan mendatangkan bagi kebahagiaan
manusia individu dianggap sebgai keutamaan, maka tindakan yang berada jauh
dari koridor agama diberi tempat utama. Termasuk dalam kebebasan untuk
menyalurkan hasrat seksual dan mengkonsumsi minuman beralkohol. Produk
hukum yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan pandangan etikanya. Yaitu
pembebasan hukum dari pengaruh norma keagamaan. Fungsi hukum adalah untuk
melayani kebebasan manusia. Karena hukum berfungsi untuk melayani kebebasan
manusia, maka produk perundangan harus menyediakan payung hukum bagi tiap
individu untuk mengekspressikan perbuatan nya secara bebas.
Hal ini sudah tentu berbeda dengan pandangan bahwa etika (moralitas dalam
perbuatan) ditentukan oleh wahyu Allah. Dalam pandangan ini, perbuatan
dianggap utama, jika perbuatan tersebut didasarkan atas perintah Ilahi. Pandangan
Islam ini juga mempunyai padanan (persamaan) dengan aliran etika naturalisme.
Dalam pandangan kelompok naturalis, bahwa perbuatan manusia harus disesuikan
denan fitrahnya sebagai manusia, yang berbeda dengan hewan. Dengan kembali
kepada fitrahnya tersebut, maka manusia menemukan kebahagiaan.
Hampir sama dengan Islam yang meyakini bahwa islam adalah agama fitrah,
dan aturan syariat adalah sesuai dengan fitrah manusia. Untuk mencapai fitrah
tersebut, maka manusia diberi petunjuk (al Qur’an dan petunjuk Nabi/Sunnah)
dan juga diberi akal pikiran (hati nurani). konsep kebahagiaan ini dikembangkan
oleh para ahli tasawuf, mereka mencoba memperdalam hubungan pribadi dengan
Allah, sehingga merasakan ekstase (kondisi kebahagiaan), karena telah menyatu
dengan Allah. Selain itu juga terdapat sistem syariat, yang dijabarkan lewat ilmu
fiqh. Bertujuan agar syariat dari Allah dapat dipahami secara detail dan dapat
dilaksanakan secara konkret.
Dalam hubungannya dengan ‘anak angkat’, hal ini berkaitan dengan fiqh
keluarga dalam Islam. Keluarga dipahami sebagai ikatan antara lelaki dan
perempuan orang lewat akad (perjanjian), dengan tujuan membentuk hubungan
saling mengasihi dan mengasihi (sakinah mawaddah wa rohmah). ikatan keluarga
merupakan kebutuhan alami manusia, atau melekat pada diri manusia, dan tidak
bersifat tersier. Keluarga terdapat dimanapun suku manusia berada, termasuk
dalam masyarakat primitif sekalipun. Di beberapa spesies (seperti pinguin) juga
ditemukan, hubungan antara induk, pejantan dan anak, yang berbagi tugas antara
satu dengan lainnya. Para ulama, terutama Imam Syatibi, memasukkan hifzh an
Nasab sebagai salah satu dari lima maqashid asy syari’ah.
Hal ini sudah tentu berbeda dengan produk hukum di luar islam, karena
secara epistemologis berbeda. Pada kultur Barat, tidak mengenal konsepsi ‘hifzh
an Nasab’, tidak memikirkan apakah nasab seorang anak tersebut jelas atau tidak
jelas. Selain itu, perkembangan liberalisme di Barat sangat menentukan penilaian
seseorang. Misalnya, kebolehan seorang wanita dalam menggugurkan
kandungannya (aborsi). Karena bagi mereka, kebebasan seseorang tidak dapat
dibatasi oleh aturan agama atau negara, selama tidak merugikan kebebasan orang
lain.
Dalam Liberalisme, benar atau salah tidak ditentukan oleh Tuhan lewat kitab
suciNya, melainkan dari manusia itu sendiri. Pada konsep ontologis seperti ini,
maka hukum benar-benar berasal dari manusia untuk kepentingan manusia itu
sendiri.
3. Tinjauan Teleologis