Anda di halaman 1dari 9

HAK WARIS ANAK DI LUAR NIKAH

DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM

A. Pendahuluan

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), status anak terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu :
1. Anak yang terlahir dari ikatan pernikahan yang sah. Di sini nasabnya mengikuti
nasab ayahnya. Dan berhak mendapatkan warisan dari ayahnya.
2. Anak yang bukan dari ikatan pernikahan yang sah, maka nasabnya mengikuti
nasab dari ibunya. Tidak mendapatkan hak waris dari ayahnya, tetapi
mendapatkan hak waris dari ibunya.

Tulisan ini akan membahas permasalahan hak waris anak di luar pernikahan
dari Filsafat Hukum.

B. Kajian Filsafat Hukum

Filsafat adalah metode penyelidikan segala sesuatu secara radikal (mendalam),


koheren (berkesesuaian antara satu postulat dengan postulat lainnya), dan
universal (berlaku secara umum), untuk menemukan kebenaran. Sedangkan
definisi yang lainnya terhadap filsafat adalah mencintai kebijaksanaan. Terdapat
definisi filsafat yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Dalam pendidikan
filsafat modern, filsafat dipelajari lewat beberapa cabang, diantaranya adalah:
Ontologis, Epistemologis, Aksiologis (Ethika), & Teleologis.
Di sini Hukum dikaji lewat cabang-cabang filsafat di atas. Secara ontologis,
timbul pertanyaan, Bagaimana hakekat hukum, apakah hukum berasal dari hati
nurani manusia. Ataukah hukum atau norma merupakan etika yang berasal dari
Tuhan, sehingga harus ditaati. Ataukah hukum itu hanya berupa alat semata untuk
menghindarkan orang dari perselisihan, dan dapat menegakkan keadilan.

Secara epistemologis, muncul pertanyaan, apa yang menjadi dasar penilaian


bagi seseorang untuk menyatakan baik/jelek terhadap suatu perkara (misalnya
anak di luar pernikahan)? apakah berasal dari hati nuraninya yang menyatakan
bahwa anak di luar pernikahan merupakan anak yang mempunyai status sama saja
dengan anak pada umumnya? Ataukah yang menjadi dasar penilaian tersebut
adalah hukum adat, dimana memandang anak dari luar nikah, dianggap sebagai
‘anak haram’, dan sebagainya. Basis epistemologis ini sangat menentukan
aksiologi (penilaian) seseorang terhadap suatu perkara.

Selain itu, dalam cabang filsafat teleologis, mencakup pertanyaan, apa yang
menjadi tujuan dari sebuah hukum? Apakah tujuan hukum itu untuk megakkan
kehendak Tuhan , ataukah tujuan hukum itu untuk menghindarkan konflik antar
sesama manusia? Dengan mengkaji dengan menggunakan cabang-cabang filsafat,
kita bisa memetakan letak perbedaan dari satu produk hukum dengan produk
hukum lainnya.

C. Status Anak di Luar Nikah menurut Tinjauan Filsafat

1. Tinjauan Ontologis

Ontologis merupakan cabang filsafat yang membahas hakekat dari segala


sesuatu. Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, ontologi berhubungan dengan
konsepsi terhadap realitas. Sehingga, secara ontologis, memang berbeda-beda
menurut cara pandang dan keyakinan seseorang itu sendiri. Misalnya, terkait
konsep bahwa “alam ini sengaja diciptakan?” ataukah “alam ini tercipta lewat
mekanisme hukum alam itu sendiri”, tergantung posisi orang yang meyakininya.
Studi filsafat bukan untuk menghakimi, bahwa suatu ‘keyakinan’ tertentu
ternyata lebih benar adanya. Tetapi lebih pada pemetaan (mapping) terhadap
berbagai sistem keyakinan yang berbeda-beda di atas. Para filsuf sendiri
berbeda-beda ketika mereka mengutarakan tentang hakekat dari alam semesta.
Plato dan Aristoteles memandang realitas secara berbeda.

Realitas menurut Plato terdiri dari dunia ‘ide’ dan dunia ‘material’. dunia ide
tidak terlihat, lebih tinggi, dan menentukan dunia material. Pengetahuan yang
diasalkan dari hasil pemikiran/renungan lebih tinggi tingkatannya daripada ilmu
yang didapatkan dari pengalaman. Sehingga ilmu logika, matematika, dan seni
lebih tinggi ilmunya daripada keilmuan teknis. Ilmu yang lebih tingkatannya
tersebut berasal dari dunia ‘ide’, maka tugas jiwa manusia (sebagai penghubung
antara dunia ide dan material) adalah mengingat kembali ide-ide. Jiwa dapat
melakukan hal tersebut, karena jiwa berasal dari dunia ide. Sedangkan menurut
Aristoteles, pengetahuan tidak ada keterkaitannya dengan pembagian dunia pada
dualisme di atas (dunia ide dan material), pengetahuan didapat berasal dari
kenyataan-kenyataan (prinsip induksi), dan pengetahuan menggambarkan
kenyataan-kenyataan (prinsip deduksi).

Sedangkan menurut Islam, mengakui adanya dualisme alam, yaitu alam al


syahadah (alam yang terlihat bentuknya) dan alam al ghuyub (alam-alam yang
tidak terlihat wujudnya). pengetahuan tentang yang ghaib didapatkan dari wahyu,
sedangkan pengetahuan tentang alam empiris didapatkan dari
pengalaman-pengalaman, atau proses induksi yang terus menerus. Pengetahuan
dari wahyu, yang tidak terjangkau oleh pemikiran manusia misalnya tentang Allah
dan malaikatnya, tentang adanya Iblis dan Syaitan serta jin, serta para anbiya’
yang hidup di masa lampau. Selain itu, wahyu juga memuat etika apa saja yang
baik dan buruk untuk dilakukan oleh manusia.

Menurut Plato, jiwa yang baik adalah jiwa yang selalu merenung untuk
mendapatkan kebahagiaan (ilmu pengetahuan yang berasal dari dunia ide),
sedangkan dalam Islam, jiwa yang baik adalah jiwa yang tenang (an nafs al
muthma-innah), yang dicirikan dengan cinta kepada Allah (hubb), takut kepada
Allah (khauf) dan selalu berharap ridha dari Allah (raja’). Tujuan hidup manusia
menurut Plato adalah kebijaksanaan, sedangkan menurut Islam, tujuan hidup
manusia adalah beribadah (mengabdi) kepada Allah, dan merealisasikan kehendak
Allah di muka bumi ini sebagai khalifah (wakil Allah) di muka bumi.

Apa hubungannya hal ini dengan ‘masalah hak waris Anak’?

Secara ontologis, semua anak yang dilahirkan di muka bumi ini dalam
keadaan fitrah (suci dari dosa), dan mereka mempunyai status yang sama. Tetapi,
dalam salah satu maqashid asy syari’ah (tujuan umum syariat islam) adalah hifzh
an nasb (menjaga nasab). seseorang harusnya, memperhatikan masalah nasab,
jangan sampai terjadi pencampurbauran nasab seseorang. Untuk mencegah
demikian, maka pernikahan ditekankan dalam islam. Dalam suatu hadits Nabi
Muhammad bersabda: ‘nikah adalah sunnahku, dan barangsiapa meninggalkan
sunnahku, maka ia bukan bagian dari umatku’. di sisi lainnya, Islam sangat
melarang perbuatan zina. Dalam hukum islam sendiri, hukuman bagi pezina
sangat berat.

Pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan ontologi Islam. Secara


hakekatnya, seorang manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Ia tidak dapat
berbuat sekehendaknya (sesuai dengan nafsunya sendiri). ia juga tidak dapat
menemukan kebenaran sendiri, kecuali kebenaran yang datang dari Tuhannya.
Sehingga manusia tidak diperkenankan membuat kebenaran lainnya yang
bertentangan dengan kebenaran dari Allah. Ini lah yang menjadi landasan filosofis
(world view) yang dianut oleh kaum muslimin, dan berbeda dengan kelompok
liberal. Dimana meyakini bahwa manusia pada dasarnya adalah bebas pada
dirinya sendiri, dan tidak ada hal apapun yang bisa membatasi kebebasan manusia
itu sendiri. Pandangan ontologis Kaum muslimin bercirikan theosentrisme,
sedangkan pandangan ontologis kaum liberal, lebih pada antroposentrisme.
Dilihat dari basis ontologisnya, maka produk hukum yang dihasilkan antara Islam
dan Barat tidak mungkin bisa dikompromikan.
2. Tinjauan Aksiologis

Aksiologi merupakan cabang filsafat yang memfokuskan pembahasan tentang


‘Nilai’ (Value), atau segala sesuatu yang dianggap ‘benar’, ‘salah’, ‘baik’, ‘buruk’,
dan sebagainya. Apa-apa yang dianggap sebagai baik, benar, salah, buruk,
merupakan ‘nilai’ yang kita berikan kepada sesuatu. Aksiologi membagi pada dua
tema, yaitu pada :

a. Masalah ethika, yang memfokuskan pada pembahasan, apa yang


melandasi sesuatu dikatakan sebagai ‘baik’ dan ‘benar’, serta
‘buruk’ dan ‘salah’.

b. Masalah estetika, yang memfokuskan pada pembahasan tentang


keindahan. Yaitu kenapa sesuatu itu dikatakan sebagai ‘indah’.
apakah ‘keindahan’ itu tergantung orang yang melihatnya,
ataukah karena ‘kualitas yang melekat padanya’ terlepas dari
sudut pandang yang melihat/mendengarkannya.

Sehingga Aksiologi terbagi menjadi dua hal tersebut. Tema pembahasan pada
moral, norma dan aturan, masuk dalam filsafat ethika. Karena pembahasan nya
fokus pada pertanyaan ‘bagaimana suatu hukum dikatakan baik atau buruk’, dan
‘apa yang melandasi penilaian tersebut’.

Antara Islam dan Barat mempunyai perbedaan penting. Etika Barat


dipengaruhi oleh Utilitarianisme. Sebuah filsafat yang mengukur sebuah tindakan
berdasarkan pada dampak apa yang dihasilkannya. Jika berdampak buruk, maka
harus dihindari, dan jika berdampak baik maka perlu diambil. Dampak baik atau
buruk tergantung, apakah dampak nya itu akan mendatangkan kebahagiaan pada
diri yang bersangkutan atau tidak.

Pada masa sebelumnya juga muncul aliran etika, yang berpangkal pada
paham bahwa perbuatan baik adalah perbuatan yang dapat menimbulkan
kenikmatan atau kelezatan. Baik hewan dan manusia, sama-sama dipahami
mempunyai dorongan nafsu/insting untuk memuaskan hasrat. “kelezatan’
merupakan tujuan, maka segala tindakan yang mengarah kepada pemuasan
kebutuhan instingtif dianggap sebagai keutamaan.

Falsafah demikian sangat menentukan hukum dan norma yang berlaku. Jika
dorongan instingtif dan tindakan-tindakan mendatangkan bagi kebahagiaan
manusia individu dianggap sebgai keutamaan, maka tindakan yang berada jauh
dari koridor agama diberi tempat utama. Termasuk dalam kebebasan untuk
menyalurkan hasrat seksual dan mengkonsumsi minuman beralkohol. Produk
hukum yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan pandangan etikanya. Yaitu
pembebasan hukum dari pengaruh norma keagamaan. Fungsi hukum adalah untuk
melayani kebebasan manusia. Karena hukum berfungsi untuk melayani kebebasan
manusia, maka produk perundangan harus menyediakan payung hukum bagi tiap
individu untuk mengekspressikan perbuatan nya secara bebas.

Hal ini sudah tentu berbeda dengan pandangan bahwa etika (moralitas dalam
perbuatan) ditentukan oleh wahyu Allah. Dalam pandangan ini, perbuatan
dianggap utama, jika perbuatan tersebut didasarkan atas perintah Ilahi. Pandangan
Islam ini juga mempunyai padanan (persamaan) dengan aliran etika naturalisme.
Dalam pandangan kelompok naturalis, bahwa perbuatan manusia harus disesuikan
denan fitrahnya sebagai manusia, yang berbeda dengan hewan. Dengan kembali
kepada fitrahnya tersebut, maka manusia menemukan kebahagiaan.

Hampir sama dengan Islam yang meyakini bahwa islam adalah agama fitrah,
dan aturan syariat adalah sesuai dengan fitrah manusia. Untuk mencapai fitrah
tersebut, maka manusia diberi petunjuk (al Qur’an dan petunjuk Nabi/Sunnah)
dan juga diberi akal pikiran (hati nurani). konsep kebahagiaan ini dikembangkan
oleh para ahli tasawuf, mereka mencoba memperdalam hubungan pribadi dengan
Allah, sehingga merasakan ekstase (kondisi kebahagiaan), karena telah menyatu
dengan Allah. Selain itu juga terdapat sistem syariat, yang dijabarkan lewat ilmu
fiqh. Bertujuan agar syariat dari Allah dapat dipahami secara detail dan dapat
dilaksanakan secara konkret.
Dalam hubungannya dengan ‘anak angkat’, hal ini berkaitan dengan fiqh
keluarga dalam Islam. Keluarga dipahami sebagai ikatan antara lelaki dan
perempuan orang lewat akad (perjanjian), dengan tujuan membentuk hubungan
saling mengasihi dan mengasihi (sakinah mawaddah wa rohmah). ikatan keluarga
merupakan kebutuhan alami manusia, atau melekat pada diri manusia, dan tidak
bersifat tersier. Keluarga terdapat dimanapun suku manusia berada, termasuk
dalam masyarakat primitif sekalipun. Di beberapa spesies (seperti pinguin) juga
ditemukan, hubungan antara induk, pejantan dan anak, yang berbagi tugas antara
satu dengan lainnya. Para ulama, terutama Imam Syatibi, memasukkan hifzh an
Nasab sebagai salah satu dari lima maqashid asy syari’ah.

Konsep ‘hifzh an nasab’ sangat menentukan basis aksiologis (filsafat


penilaian) dalam islam, dimana segala tindakan yang menyebabkan kerancuan
nasab, merupakan tindakan zhalim. Bukan anaknya yang tercela, tetapi tindakan
yang dilakukan oleh keduaorangtua kandung si anak itu lah yang dianggap
sebagai tercela. Meskipun, anak tidak melanggar dosa, tetapi ia tidak memperoleh
warisan dari ayah kandungnya. Karena akan terjadi pembauran hak, antara anak
yang dilahirkan dari perkawinan yang sah dan anak yang terlahir dari perkawinan
yang tidak sah. Sehingga, dalam produk hukum islam (sebagaimana tercantum
dalam KHI), seorang anak dari pernikahan yang tidak sah tidak berhak atas
pewarisan dari ayah kandungnya sendiri, dan tidak berhak menyandang nama
ayahnya (si A bin si Fulan). nasabnya mengikuti nasab ibunya, (si A bin Fulanah).

Hal ini sudah tentu berbeda dengan produk hukum di luar islam, karena
secara epistemologis berbeda. Pada kultur Barat, tidak mengenal konsepsi ‘hifzh
an Nasab’, tidak memikirkan apakah nasab seorang anak tersebut jelas atau tidak
jelas. Selain itu, perkembangan liberalisme di Barat sangat menentukan penilaian
seseorang. Misalnya, kebolehan seorang wanita dalam menggugurkan
kandungannya (aborsi). Karena bagi mereka, kebebasan seseorang tidak dapat
dibatasi oleh aturan agama atau negara, selama tidak merugikan kebebasan orang
lain.
Dalam Liberalisme, benar atau salah tidak ditentukan oleh Tuhan lewat kitab
suciNya, melainkan dari manusia itu sendiri. Pada konsep ontologis seperti ini,
maka hukum benar-benar berasal dari manusia untuk kepentingan manusia itu
sendiri.

3. Tinjauan Teleologis

Tinjauan Teleologis dalam filsafat, mengasumsikan bahwa segala sesuatu


selalu mengarah pada tujuan akhir tertentu. Misalnya dalam pemikiran Plato,
tujuan akhir dari manusia adalah kembali ke alam ide-ide, dan untuk mencapai hal
ini maka ia harus menggunakan akal budinya. Sedangkan menurut Aristoteles,
lebih bersifat ‘realistis’ bahwa tujuan akhir dari manusia itu adalah untuk
memperoleh kebahagiaan. Begitu juga dalam Islam dan Kristen (keduanya adalah
agama samawi, yang mempunyai ciri yang hampir sama), tujuan dari kesemuanya
adalah kembalinya manusia kepada Allah. Sehingga, tujuan dari hukum juga
disesuaikan dengan kehendak Allah, karena dalam pandangan agama samawi,
Allah merupakan tujuan akhir dari kehidupan manusia.

Secara teleologis, produk hukum Barat bukan untuk menegakkan kebenaran


obyektif (yang berasal dari luar sana), tetapi hanya sebagai sarana manusia untuk
menyelesaikan perselisihan semata. Sedangkan hukum dalam islam, merupakan
berasal dari Tuhan, dan tugas manusia adalah menegakkan hukum Tuhan di atas
muka bumi ini. Penegakkan kehendak Tuhan, merupakan bagian dari ibadah.
Karena perbedaan ini lah, kenapa di Amerika mereka melegalkan pernikahan
sejenis, sedangkan pada negara dengan mayoritas muslim, model pernikahan ini
sangat ditentang.
Dalam kedudukannya tentang anak, bahwa pencapaian tujuan kepada Allah,
lebih utama daripada mengikuti ‘perasaan sesaat’ kita. Misalnya muncul
pemikiran bahwa ‘bukankah anak hasil zina adalah seorang anak juga, yang
seharusnya diperlakukan secara sama?” pertanyaan seperti ini muncul, karena
lebih memperhatikan faktor perasaan, daripada faktor ketaatan. Padahal dalam
Islam, faktor ketaatan kepada Allah seharusnya lebih diutamakan daripada faktor
perasaan. Karena mengukur ‘keadilan’ tidak bisa ditentukan hanya menggunakan
standart ‘jatah warisan’ semata.

Anda mungkin juga menyukai